Anda di halaman 1dari 3

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN HIPERTENSI DALAM PENCEGAHAN

KOMPLIKASI HIPERTENSI DIPUSKESMAS MATITI


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di seluruh dunia dan
faktor risiko yang paling umum untuk penyakit kardiovaskular dan belum dikontrol secara
optimal di seluruh dunia. Namun, hal itu dapat dicegah dan diobati secara efektif untuk
mengurangi risiko stroke dan serangan jantung. Tekanan darah adalah kekuatan yang diberikan
darah untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan
darah melebihi batas normal, yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg pada penilaian berulang. Hipertensi disebut juga tekanan darah tinggi, yang
disebabkan oleh tidak berfungsinya pembuluh darah ketika darah yang membawa oksigen dan
nutrisi terhambat untuk mencapai jaringan tubuh (Hastuti, 2020).

Menurut World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa hipertensi atau tekanan
darah tinggi adalah kondisi medis serius yang secara signifikan meningkatkan risiko penyakit
jantung, otak, ginjal, dan penyakit lainnya.Angka kejadian hipertensi di dunia pada tahun 2021
diperkirakan sebanyak 1,28 miliar orang dewasa berusia 30-79 tahun di seluruh dunia menderita
hipertensi, sebagian besar (dua pertiga) tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Kasus hipertensi global sebesar 22% dari total populasi dunia. Prevalensi kejadian hipertensi
tertinggi berada di benua Afrika 27% dan terendah di benua amerika 18%, sedangkan di asia
tenggara berada diposisi ke-3 tertinggi dengan prevalensi sebesar 25% (Cheng, et al 2020).

Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 34,1% jumlah kasus hipertensi di Indonesia


sebesar 63.309.620 orang, sedangkan angka kematian di Indonesia akibat hipertensi sebesar
427.218 kematian. Riskesdes (dalam kemenkes RI,2021).Berdasarkan Riskesdas di Indonesia
2019 prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia 18 tahun sebesar
63.309 (34,1%) tertinggi di Kalimantan Selatan (44.1%), sedangkan terendah di Papua sebesar
(22,2%). Hipertensi terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun (31,6%), umur 45-54 tahun
(45,3%), umur 55-64 tahun (55,2%).
Prevalensi hipertensi di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2019 Sebanyak 29,19% untuk
prevalensi di Kabupaten Deli Serdang sebanyak 484.684 jiwa (Sumatera Utara, 2019). Salah satu
desa yang ada di Kabupaten Deli Serdang adalah Desa Sikeben yang berada di Kecamatan
Sibolangit, Sumatera Utara yang merupakan desa dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai
petani dan peternak yang mengharuskan mereka bekerja dari pagi sampai sore. Karena
Kesibukan tersebut hal ini menyebabkan masyarakat di Desa Sikeben tidak memiliki waktu
untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Sehingga peneliti banyak menjumpai masyarakat yang
tidak sadar bahwasanya mereka mengalami hipertensi. Selain itu gaya hidup masyarakat yang
buruk di desa ini dapat menyebabkan hipertensi adalah merokok. Pravalensi Hipertensi di
kota Medan sebesar 4,97%. (Kemenkes RI, 2019). Prevalensi hipertensi di Sumatera Utara
(Tahun 2021) cukup tinggi yaitu sebesar 62.309 jiwa (24,7% )(Simamora & Rista, 2021).
Berdasarkan kemenkes, data prevalensi di Sumatera Utara yaitu 29,19% dari jumlah
penduduk di Sumatera Utara.

Data yang diperoleh jumlah penduduk hipertensi di Doloksanggul ( kabupaten humbang


hasundutan) adalah 37,69% dari data yang dilihat pasien hipertensi yang mendapat pencapaian
pelayanan kesehatan penderita hipertensi hanya 17.904 (33,78%) (Dinas Kesehatan Sumut,
2020). Pravalensi Hipertensi berdasarkan Hasil Pengukuran pada Penduduk Umur ≥ 18
Tahun menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara, tercatat pravalensi tertinggi
yaitu: Kabupaten Karo 45,49%, Tertinggi ke dua yaitu:Tapanuli Utara 41,02%, dan urutan
ke tiga tertinggi yaitu: Humbang Hasundutan 37,69%, Gejala dari hipertensi sangat bervariasi
dimulai dari tanpa gejala, sakit kepala ringan/rasa berat ditengkuk, mumet (vertigo), jantung
berdebar-debar, mudah lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging, dan mimisan.

Secara umum, tekanan darah tinggi lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita hingga
usia 55 tahun. Hipertensi berhubungan dengan jenis kelamin dan usia pada pria. Namun, seiring
bertambahnya usia. Pria memiliki risiko lebih tinggi terkena tekanan darah tinggi karena
beberapa faktor risiko lain, seperti kelelahan, stres, pekerjaan, merokok, alkohol, dan makan
yang tidak terkontrol. Namun, wanita di usia 60-an memiliki peningkatan risiko tekanan darah
tinggi karena wanita pascamenopause memiliki mekanisme perlindungan pembuluh darah
melalui hormon estrogen (Verra Widhi A, Tasman, 2021).
Tekanan darah sistolik secara bertahap meningkat seiring bertambahnya usia, dan orang
lanjut usia dengan hipertensi berisiko tinggi terkena penyakit kardiovaskular. Faktor usia
memiliki pengaruh penting terhadap tekanan darah karena risiko tekanan darah tinggi meningkat
seiring bertambahnya usia. Orang yang berusia di atas 40 tahun menderita suatu kondisi di mana
dinding pembuluh darah kehilangan elastisitasnya . Angka kejadian hipertensi meningkat antara
usia 50 dan 60 tahun pada usia 60 tahun (Irwansyah, 2021).Gejala dari hipertensi sangat
bervariasi dimulai dari tanpa gejala, sakit kepala ringan/rasa berat ditengkuk, mumet (vertigo),
jantung berdebar-debar, mudah lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging, dan mimisan.
Gejala yang paling sering dikeluhkan klien hipertensi adalah nyeri kepala sampai tengkuk. Nyeri
yang timbul pada kasus hipertensi diakibatkan karena ada penyempitan pembuluh darah akibat
vasokontriksi sehingga tekanan vaskuler serebral meningkat (Mauliddia, dkk 2022).Tekanan
darah yang tinggi umumnya meningkatkan resiko terjadinya komplikasi seperti penyakit jantung,
gagal jantung kongestif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Hipertensi yang tidak
diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya memperpendek harapan hidup
(Oktaria, dkk 2023).

Berbagai upaya diperlukan untuk mengatasi hipertensi yaitu dengan terapi farmakologis dan
non farmakologis. Terapi farmakologis dapat diberikan dengan anti hipertensi tunggal maupun
kombinasi. Pemberian obat anti hipertensi didasari ada atau tidak kondisi khusus (komorbid
maupun komplikasi). Terapi non farmakologis berupa terapi tanpa menggunakan obat-obatan
melainkan menggunakan terapi pendamping yang berguna meredakan nyeri. Terapi non
farmakologis yang dapat digunakan mengatasi nyeri pada hipertensi adalah menggunakan
aromaterapi (Febriani, dkk 2022).

Data survei awal, dari puskesmas

Anda mungkin juga menyukai