Anda di halaman 1dari 3

Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan sepanjang ada

permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang berkepentingan dan jika syarat objektif tidak
terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum yang tanpa perlu ada permintaan dari para pihak,
sehingga perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapa pun.

Terdapat juga perjanjian yang batal mutlak, jika suatu perjanjian yang dibuat tidak sesuai
dengan aturan hukum yang sudah ditentukan, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum,
karena perjanjian sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk
saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apa pun. Misalnya jika suatu perjanjian wajib
dibuat dengan akta Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi ternyata tidak dilakukan,
maka perbuatan hukum atau perjanjian tersebut batal demi hukum. Hal tersebut dinamakan Kebatalan
Mutlak.

Berkaitan dengan kebatalan atau pembatalan akta Notaris, Pasal 84 UUJN telah mengatur
tersendiri, yaitu jika Notaris melanggar (tidak melakukan) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (1) huruf i, k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48 – Pasal 52, maka akta yang bersangkutan hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum.

Untuk menentukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan atau akan menjadi batal demi hukum, dapat dilihat dari:

1. Isi (dalam) pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika Notaris melakukan
pelanggaran, maka akta tersebut termasuk akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan.

2. Jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai akta yang mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka pasal lainnya yang dikategorikan melanggar
menurut Pasal 84 UUJN, termasuk ke dalam akta batal demi hukum.

Akta Notaris batal atau batal demi hukum atau mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan, tanpa perlu tindakan aktif atau upaya pembatalan dari pihak yang terlibat dari dalam perjanjian,
maka secara otomatis akan batal atau batal demi hukum karena ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi.

Berdasarkan urian di atas kebatalan akta Notaris meliputi:

1. Dapat dibatalkan

2. Batal demi hukum

3. Mempunyai kekuatan pebuktian sebagai akta di bawah tangan

Pembatalan akta Notaris meliputi:

1. Dibatalkan oleh para pihak sendiri

2. Dibuktikan dengan asas praduga sah

A. AKTA NOTARIS DAPAT DIBATALKAN

Akta notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka yang membuatnya, oleh
karena itu syarat sahnya perjanjian harus terpenuhi sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat
sahnya perjanjian tersesbut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal
akta, dan syarat objektif dicantumkann dalam Badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan
perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian
dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian dibuatnya.

Unsur subjektif yang pertama berupa adanya kesepakatan bebas dari para pihak yang berjanji,
atau tanpa tekanan dan inventaris dari pihak mana pun, tapi semata-mata keinginan para pihak yang
berjanji.

Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan, apabila dpat dibuktikan bahwa kontrak ternyata disepakati di
bawah paksaan atau ancaman yang menimbulkan ketakutan orang yang diancam sehingga orang tidak
mempunyai pilihan lain, selain menandatangani kontrak tersebut, maka akta tersebut dapat dibatalkan.

Berkaitan dengan kesepakatan iin dalam praktek dikenal doktrin Penyalahgunaan Keadaan,
dalam Common Law ada 3 tolok ukur untuk diklasifikasikan yaitu:

1. Para pihak yang berkontrak berada dalam posisi yang sangat tidak seimbang dalam upaya untuk
menegosiasikan penawaran dan penerimaan.

2. Pihak yang lebih kuat tertsebut secara tidak rasional menggunakan posisi kekuatan yang sangat
mendominasi tersebut untuk menciptakan suatu kontrak yang didasarkan pada tekanan dan
ketidakseimbangan dari hak dan kewajiban.

3. Pihak yang kedudukannya lebih lemah tersebut tidak mempunyai pilihan lain selain menyetujui
kontrak tersebut.

1. Subjek Hukum – Manusia

Mengenai batas usia dewasa bertindak dalam hukum sampai dengan saat ini belum ada dalam
hukum Positif Indonesia, batasan usia memang ada untuk tindakan hukum tertentu saja. Hal tersebut
masih tetap menjadi masalah karena undang-undang yang ada (hukum positif) tidak menyebutkan
dengan tegas batas umur dewasa tersebut.

Dalam praktek Notaris melihat batas umur seseorang dikatakan dewasa didasarkan kepada
Pasal 330 KUHPerdata, padahal kalau dikaji lebih lanjut batasan usia dewasa 21 tahun pada Pasal 330
KUHPerdata tidak mengatur batas usia dewasa, tapi mengatur kebelum dewasaan.

Adanya pluralitas batas umur dewasa tersebut sampai sekarang masih saja ada, padalah
sebenarnya hal tersebut sudah harus diakhiri atau diselesaikan. Sudah tentu caranya tidak harus selalu
dengan bentuk peraturan perundang-undangan, tapi juga dpaat dilakukan oleh para Notaris/PPAT
dilakukan secara konsisten, bahwa mereka berusia tertentu, misalnya 18 tahun dapat bertindak dalam
hukum secara penuh.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sering dijadian rujukan untuk menentukan


batasan dewasa (secara hukum), yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam
konvensi mengenai hak anak-anak yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangs-Bangsa, telah secara tegas
menyatakan bahwa: Yang dimaksud anak dalam konvensi ini aalah setiap orang yang berusia di bawah
18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa
dicapai lebih awal.
Hal di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa dalam konvensi yang diselenggarakan
oleh PBB bahwa batas usia mulai dewasa adalah 18 tahun. Berdasarkan uraian di atas, dan pandangan
secar umum dalam masyarakat sebagai hukum yang hidup, sangat beralasan batasan usia bertindak
dalam hukum secara umum, yaitu 18 tahun atau telah/pernah menikah sebelum mencapai umur
tersebut.

2. Subjek Hukum – Badan Hukum Perdata

Institusi yang berbadan hukum perdata dalam Hukum Indonesia, antara lain:

1. Perseroan Terbatas

2. Yayasan

3. Koperasi

4. Perkumpulan

3. Subjek Hukum – Badan Hukum Publik

Dalam keadaan tertentu bahwa lembaga pemerintahan sebagai badan hukum public dapat
terlibat dalam/untuk membuat akta, misalnya Gubernur/Walikota/Bupati yang sesuai dengan
kewenangan masing-masing.

B. AKTA NOTARIS BATAL DEMI HUKUM

Unsur objektif yang pertama berupa objek yang tertentu yang diperjanjikan. Prestasi merupakan
pokok/pokok perjanjian. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1234 KHUPerdata.

Anda mungkin juga menyukai