Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FILSAFAT

HAKIKAT MANUSIA MENURUT ARTHUR SCHOPENHAUER

Disusun Oleh:

M. Dior (1500013030)
Wahyu Anggraeni (1700013140)
Zahdia Tendikat Fitri (1700013148)
Mully desfarras (1700013184)
Ayu Mutia (1700013190)
Risqi Fitria P (1700013144)
Sabila Nurjihan (1700013265)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
2018/2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan anugerah-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Arthur Schopenhauer (1788-
1868)”, yang merupakan salah satu tugas mata kuliah filsafat manusia. Kami menyadari
bahwa keberhasilan penulisan makalah ini tidak terlepas dari dukungan, dorongan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami ingin mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Dra. Sumaryati, M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah filsafat manusia.
Kami senantiasa menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak demi penyempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini dapat
berguna bagi semua pihak yang berkepentingan dan menjadi amal ibadah. Aamiin.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Yogyakarta, 27 April 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar……………………………………………………………………………i
Daftar Isi………………………………………………………...……………………….ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..
1. Latar Belakang Masalah…………………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN……............................................................................................
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menarik kiranya menelaah konsep jati diri manusia menurut Arthur Schopenhauer,
karena filsafat nihilistiknya ingin menekan potensi tindak kejahatan dalam diri manusia
yang selalu mengedepankan egoisme dan kepentingan individunya. Pemilihan tokoh
Schopenhauer sebagai landasan filosofis tentang jati diri manusia didasarkan pada tiga
pertimbangan: Pertimbangan pertama, latar belakang filsafat Schopenhauer lahir dari
perenungan terhadap dampak negatif perang di zamannya dan juga dari 3 pengalaman
pribadinya. Schopenhauer memiliki pandangan hidup negatif bahwa seluruh isi dunia
hanya penderitaan yang harus dilawan. Pertimbangan kedua, filsafat Schopenhauer mampu
meneorikan sumber penderitaan hidup berasal dari dalam diri manusia, dari Kehendak
yang selalu mendorong memenuhi kepentingan egoisme sehingga menyebabkan kerugian
terhadap orang lain. Pertimbangan ketiga, filsafat Schopenhauer memiliki solusi dalam
meredam potensi buruk egoisme dengan jalur estetik dan asketik.

Solusi ini mengajak manusia tidak saling menyakiti sebaliknya saling menghormati
sehingga tidak menambah beban penderitaan hidupnya dan hidup orang lain. Seorang
filosof idealisme Jerman bernama Arthur Schopenhauer melihat dunia sebagai kehendak
dan representasi. Dunia tidak lain adalah sebuah kehendak yang menjadi representasi dari
diri. Subyek yang mempersepsi mutlak ada di hadapan obyek. Dari pemikiran tentang
kehendak ini, Schopenhauer mengembangkan satu pemikiran filosofis tentang kehendak
irasional, buta dan tak terhentikan. Kehendak ini ternyata menghasilkan penderitaan bagi
manusia itu sendiri. Manusia hanyalah berlangkah dari satu pintu penderitaan ke pintu
yang lain.Cara yang terbaik adalah menerima dan menghadapi kenyataan bahwa
penderitaan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Keberanian Schopenhauer untuk
mengelaborasi makna penderitaan patut menjadi bahan diskusi yang tak terbantahkan.
Meskipun dia dikenal sebagai filosof pesimistis, Schopenhauer menyumbang gagasan bagi
pemikiran selanjutnya khususnya dalam bidang psikologi dan seni drama. Dalam dunia
Buddhisme yang terkenal dengan kebijaksanaan hidup manusia, makna penderitaan
(duhkha) menjadi bahan permenungan yang tidak pernah habis. Kebijaksanaan Buddhisme
mengupas dan menelisik penderitaan (duhkha) sebagai keinginan yang selalu muncul dan
menghalangi manusia untuk mencapai pencerahan. Setiap kehendak atau keinginan
menjadikan manusia tidak lagi sejati.

Dalam penulisan ini, makna penderitaan sebagai rangkaian kehendak yang tak
terpuaskan coba untuk dielaborasi dalam sebuah studi perbandingan. Studi ini didasarkan
pada pemikiran filosof barat Arthur Schopenhauer dan kebijaksanaan timur, yaitu
Buddhisme. Tema yang sangat luas ini akan dipersempit dalam uraian ini secara khusus
pada pemikiran Schopenhauer tentang kehendak dalam bukunya The World as Will and
Representation dan pemikiran filosofis Buddhisme.
BAB II
PEMBAHASAN

Arthur Schopenhauer: Sang Filosof Kehendak Buta

Arthur Schopenhauer (1788-1860) lahir di Gdanks, Polandia. Masa remajanya


dipenuhi dengan kehidupan yang pesimistis. Ia sendiri kurang bergaul dan pendiam.
Pengaruh dari keluarga turut menyumbang masa remajanya yang melankolis. Ayahnya
meninggal (kemungkinan) bunuh diri. Kemudian ia juga berpisah dengan ibunya. Ia
meninggalkan profesi sebagai pedagang dan memilih untuk memperdalam filsafat. Dia
menjadi mahasiswa di Universitas Göttingen pada 1809. Di sana, ia mempelajari biologi,
kimia, psikologi, astronomi dan filsafat yang berkonsentrasi pada Plato dan Immanuel
Kant. Kemudian, ia berpindah ke Universitas Berlin. Di Berlin, dari tahun 1811 hingga
1812, dia telah menghadiri kuliah Johann Gottlieb Fichte, seorang filosof pos-kantian dan
teolog Friedrich Schleiermacher. Tahun 1814, Schopenhauer mulai mengerjakan karyanya
yang berjudul “The World as Will and Representation” (Die Welt als Wille und
Vorstellung). Buku ini selesai pada tahun 1818 dan kemudian diterbitkan pada tahun
berikutnya. Buku ini membuat dirinya diterima sebagai pengajar di Universitas yang sama
dengan Hegel mengajar, yaitu Berlin. Tidak berapa lama ia mengajar di sana, ia
memutuskan untuk meninggalkan Universitas Berlin. Mahasiswa yang dia ajar semakin
menyusut dan kalah pamor dari Hegel menjadi sebab ia tidak mau lagi berkecimpung
dalam dunia akademis. Ia lebih memilih untuk hidup menyendiri dalam rumah warisan
orang tuanya. Ada beberapa karya pentingnya yang lain yang juga perlu disebut yaituUber
der Willen in der Natur (Tentang Kehendak dalam Alam, 1836), dan Die Beiden
Grundprobleme der Ethic (Kedua masalah Pokok Etika, 1841). Masih ada begitu banyak
lagi yang tidak bisa disebut satu per satu. Namun buku-buku yang ditulisnya tidak
mendapat respon yang baik dari orang-orang sezamannya. Hal ini membuatnya marah.
Barulah ketika ia memasuki usia senja, buku-bukunya mulai mendapat simpati dari publik.
Publik mulai tertarik karena isi dan gaya menulisnya yang mengesankan. Dalam
kehidupannya, ia sendiri mengalami rasa takut dan kecemasan terhadap orang lain. Ia
beberapa kali gagal dalam usahanya untuk menjalin hubungan dengan wanita. Ia selalu
membawa pistol di sampingnya, bahkan ketika ia berbaring di tempat tidur. Ia
digambarkan berjalan-jalan dengan anjing kecilnya yang setia menemaninya.
Schopenhauer meninggal di Frankfurt pada 1860.
Yang khas dari filsafat Schopenhauer adalah kejelasan dan kekonkretannya. Ia
menyerang filsafat hagel, yang dinilainya terlalu abstrask dan “menutup-nutupi sisi gelap
manusia”. Dengn nada sinis ia pun mengomentari filsfat hegel yang mengabaikan kekuatan
irrasional (nonrasio atatu nonintelek), yakni kehendak.

Pemikiran Schopenhauer Tentang Dunia Sebagai Ide Dan Kehendak

a. Dunia Sebagai Ide

Menurut Gusmin (2005) Realitas dunia ini dipahami oleh Schopenhauer sebagai
sebuah ide. Dalam kalimat awal karyanya The World as Will and Idea, berbunyi “The
World is my idea. Schopenhauer hendak berkata bahwa dunia fenomenal ini dapat
diketahui karena adanya subyek yang mempersepsi dan ide-ide yang diterima. Ia sangat
menekankan peran subyek. Obyek tidak pernah berdiri sendiri tanpa subyek yang
melakukan persepsi atas obyek. Hal ini sangat berbeda dengan pemahaman dari
materialisme. Materialisme berkata bahwa realitas direduksi pada materi. Schopenhauer
menolak materialisme dengan menyatakan bahwa karena segala pengetahuan merupakan
hasil dari subyek yang mempersepsi. Pengetahuan dalam hal ini selalu merupakan hasil
konstruksi subyek atas dunia fenomena. Tidak ada pengetahuan di luar dari subyek.
Dengan mengatakan bahwa dunia adalah ide, Schopenhauer menjelaskan cara pandang
bahwa dunia ini ada sejauh ada subyek yang mempersepsi. Keberadaan subyek melampaui
obyek, sehingga obyek tidak pernah berdiri sendiri. Obyek selalu dalam relasi dengan
subyek.

b. Dunia Sebagai Kehendak

Kehendak ini dibedakan dari pemahaman sehari-hari sebagai keinginan atau maksud
tertentu dari manusia. Sebaliknya, Schopenhauer menyebut kehendak (wille) menjadi
representasi dari dunia. (Menurut Bryan Magee, 2008) Tentang istilah kehendak ini juga
dibahas dalam The Story of Philosophy karangan Bryan Magee. Ia menulis bahwa
penggunaan istilah “kehendak” ini telah menimbulkan kesalahpahaman, karena banyak
orang merasa sulit memikirkan adanya suatu kehendak yang tidak memiliki kepribadian
sama sekali, tanpa pikiran dan kecerdasan, tanpa tujuan dan maksud. Namun begitulah
yang dikatakan Schopenhauer dengan jelas. Dunia yang dimaksud di sini adalah noumenal
world.Immanuel Kant, sang pencetus tesis dunia sebagai fenomena dan noumena,
menyatakan ketidakmungkinan seseorang untuk mencapai realitas dalam dirinya sendiri
(thing in-it-self). Menurut Schopenhauer, ketidakmungkinan seseorang untuk mencapai
realitas tersebut bukannya tanpa solusi. Ia menyebut adanya “pintu belakang” untuk
mencapai dunia noumena. Kumara Ari Yuana mengurai kata-kata Schopenhauer, “jalan
masuk dengan melalui pintu dari dalam masih terbuka untuk memahami realitas hakiki,
yang tidak mungkin dimasuki tanpa adanya pintu itu (menurut yuana, 2010). Menurut
idealisme transendental Kant, manusia sebagai subyek, bukannya pencipta dunia
pengalaman-pengalaman atau realitas, tetapi hanya pencipta syarat-syarat penentu
terjadinya proses pengenalan atau pengetahuan.

c. Kehendak Irrasional dan Transendental

Apakah dunia ini seperti yang tampak? Pertanyaan ini mengantar pada permenungan
yang tidak pernah selesai. Sejak Plato dengan manusia gua dan bayang-bayang yang
tergambar di dinding, permenungan dan pemikiran tentang realitas dunia dimulai. Plato
membuka pintu mengawali penjelajahan filosofis untuk melihat bahwa dunia ide adalah
dunia yang sejati. Schopenhauer, sebagaimana diulas Simon Tjahjadi, berpendapat bahwa
hakikat dunia ini bukanlah sesuatu yang rasional (akal budi, logos, ide, Roh Absolut, atau
subjek transendental) melainkan sesuatu yang bersifat irrasional. Ia menamakan unsur
tidak rasional ini sebagai “kehendak untuk hidup” (der Wille zum Leben) atau “kehendak”
(Wille). Lebih lanjut Simon Petrus L. Tjahjadi mengurai pemikiran Schopenhauer bahwa
kehendak bersifat transendental dalam dunia noumena. Namun Schopenhauer menolak jika
hal ini diartikan bahwa kita tidak bisa mengalaminya, sebab menurutnya realitas yang tidak
terjangkau oleh pengetahuan, yaitu kehendak transendental, bisa kita alami berkat
kemampuan “hati” (Kant tidak sampai pada pandangan ini). Hati (das Herz) di sini
bukanlah pengetahuan rasional, melainkan kemampuan intuitif untuk menangkap dan
mengalami sesuatu. Dengan demikian, hati bukan hanya mampu melampaui batas-batas
kesanggupan rasio, melainkan juga ikut menentukan daya kekuatan rasio itu. “Apa yang
ditolak itu,” kata Schopenhauer, “tidak akan diterima juga oleh kepala (rasio).” Dalam hati
kita menemukan hasrat, kerinduan, harapan, cinta, kebencian, kesedihan, penderitaan,
keengganan, pengertian mendalam, fantasi dan imajinasi; semua ini merupakan
pengalaman hidup kita. Dan pengalaman ini memperlihatkan kehendak. Dari penjelasan
ini, kita dapat menangkap esensi noumena atau das Ding an sich yang tidak terpahami
dalam Kant lantas dapat dipahami oleh subyek sebagai kehendak dalam kacamata
Schopenhauer. Kehendak ini bersifat irrasional karena ia transendental. Kehendak berada
pada realitas dirinya sendiri. Kehendak ini berada pada tataran yang tidak dapat dicerap
indra manusia, apalagi oleh rasio. Kehendak dapat dilihat sebagai daya hidup yang
menggerakkan seluruh alam semesta ini. Halnya tidak dapat dimengerti oleh rasio, namun
menurut Schopenhauer kehendak itu satu dan sama. Kita secara noumenal tidak memiliki
individualitas dan kesendirian.

d. Kehendak Sebagai Sumber Penderitaan

Apabila dilihat secara khusus, menurut Schopenhauer, kehendak merupakan


“desakan kuat yang tidak sadar, buta dan tidak bisa dihentikan.” Kehendak memerlukan
pemuasan sepenuhnya secara terus-menerus. Begitulah seterusnya sampai tidak berhingga.
Namun justru pemuasan sepenuhnya dan tidak berhingga inilah yang tidak mungkin
tercapai. Keadaan ini menyiksa dan menyebabkan berbagai penderitaan dalam hidup. Bagi
Schopenhauer kehendak adalah sumber penderitaan dan karena kehendak mewujudkan
dirinya dalam semua bidang kehidupan, maka kehidupan itu sendiri adalah penderitaan.
Penyebabnya ialah kehendak untuk hidup itu sendiri. Kita menderita karena disiksa dan
dirongrong oleh tuntutan-tuntutan kehendak untuk hidup. Ada dua hal yang menjadi
pertimbangan manusia, yaitu apakah ia hendak menyetujui kehendak (Bejahung des
Willens) atau penyangkalan kehendak (Verneinung des Willens). Ketika manusia justru
menghendaki untuk memilih menyetujui kehendak, ia masuk ke dalam jurang penderitaan.
Ia tidak pernah akan mengalami kepuasan, melainkan seperti kata Schopenhauer ia
akan“keluar dari satu penderitaan untuk masuk ke penderitaan yang lain.” Sedangkan jalan
kedua yang ditawarkan ialah menyangkal kehendak. Satu-satunya solusi yang membawa
manusia keluar dari penderitaan ialah menyangkal kehendaknya sendiri. Saat itulah ia
mengalami sebuah pembebasan dari penderitaan.

e. Prinsip Individuasi (Principium Individuationis/PI)

Dalam menanggapi pertanyaan tentang bagaimana manusia sampai pada kesadaran


bahwa ia perlu menyangkal diri, Schopenhauer menjawab pertanyaan ini dengan mengacu
kepada apa yang disebutnya sendiri sebagai prinsip individuasi (Principium
Individuationis). Schopenhauer menjelaskan bahwa prinsip individuasi (Principium
Individuationis) adalah kesadaran tentang kesatuan di balik kemajemukan individu dalam
ruang dan waktu. Menurut prinsip ini, kemajemukan individu hanyalah “maya” atau
bayangan yang kelihatan dalam dunia fenomenal. Kesadaran ini tercermin dalam orang-
orang yang mengalami sebuah cara pandang yang membedakan antara yang maya dan
yang sejati. Bagi sebagian besar orang, perbedaan antara yang maya dan yang sejati tidak
terlihat. Mereka hanya sampai pada fenomena-fenomena saja. Mereka tidak mampu untuk
mencapai apa yang ada di balik fenomena tersebut. Berbeda halnya dengan orang yang
bijaksana; mereka adalah orang yang mampu menembus prinsip individuasi ini. Dengan
prinsip individuasi ini orang dapat menyingkap dunia maya sehingga sampai pada dunia
noumena.

f. Jalan Estetika dan Etika

Schopenhauer membuka mata kita bahwa kehendak untuk hidup membawa manusia
kepada penderitaan. Kita menderita karena disiksa dan dirongrong oleh tuntutan-tuntutan
kehendak-kehendak untuk hidup. Menurut Schopenhauer, ada jalan pertama sebagai
permulaan untuk keluar dari penderitaan. Jalan itu adalah jalan estetika dan etika. Jalan
estetika memaksudkan melalui seni, orang sampai kepada kontemplasi. Melalui
kemampuan imajinasi pemandangan estetik itu membukanya pada idea-idea abadi yang
terjelma dalam karya seni. Kontemplasi estetik ini tanpa pamrih merenggut orang genial
dari cengkeraman keinginan dan kecondongan yang mengacaukan ini. Schopenhauer
melihat kepada sejarah filsafat Yunani tentang theoria, pemandangan idea-idea serta
realitas abadi yang oleh Plato dan Aristoteles dianggap kegiatan yang paling luhur yang
dapat dicapai manusia. Etika dalam Schopenhauer berisi tentang bagaimana manusia
menampilkan empati atau sikap belas kasih kepada orang lain. Etika Schopenhauer sendiri
diinspirasikan dari perjumpaannya dengan ajaran Buddhisme. Penyangkalan diri sebagai
perwujudan untuk pembebasan dari penderitaan dipakai oleh Schopenhauer. Pemikirannya
ini menyumbangkan satu proses pencarian manusia untuk membebaskan diri dari
penderitaan.

g. Relevansi: Beberapa Sumbangan Pemikiran

1. Kehendak untuk Menjadi dan Memiliki

Filsafat Schopenhauer memberikan perspektif tentang kehendak sebagai sumber


penderitaan. Kehendak yang ditimbulkan dalam diri manusia lahir dari kehendak buta,
irrasional dan Sedari semula spekulasi para bijak India keluar dari usaha mereka untuk
memperbaiki hidup. Ketika dikonfrontasikan dengan penderitaan fisik, mental dan rohani,
mereka mencari jalan untuk mengerti sebab-sebabnya sambil berusaha untuk memahami
kodrat manusia dan alam semesta agar dapat menghapus sebab-sebab penderitaan itu
(menurut kohler, 2010). Kehidupan manusia yang selalu dirundung penderitaan meminta
penjelasan maksud dan tujuannya bagi manusia. Karena itu, penting untuk memahami
makna penderitaan, mengapa penderitaan muncul dan bagaimana mengatasi penderitaan
dalam kehidupan manusia.Salah satu hal yang menyebabkan penderitaan adalah kehendak
untuk memiliki dan kehendak untuk menjadi. Ketika kehendak itu berseberangan dengan
apa yang ia miliki dan apa yang ia inginkan terdapat jurang, di situlah penderitaan muncul.
Penderitaan menjadi nyata karena manusia tidak mampu untuk meraih apa yang
dikehendakinya, baik karena keterbatasannya maupun jauhnya hal yang ingin dicapai.

2. Ajaran Pratitya samutpada dan Penyangkalan Kehendak

Dalam ajaran Pratitya Samutpada, Buddha mengajarkan bahwa kehidupan manusia


tidak pernah berhenti, melainkan terus berlangsung melewati proses jatuh dan bangun.
Kehidupan manusia berinteraksi dengan proses-proses lainnya. Dengan ajaran ini,
Buddhisme memberikan wawasan baru bahwa penderitaan tidak semata-mata tidak bisa
dihilangkan. Penderitaan dapat dilalui dengan cara hidup yang benar. Ajaran ini termaktub
dalam ajaran empat kebenaran mulia dan delapan jalan kebenaran. Inilah sumbangan yang
diberikan oleh Buddhisme. Dalam Schopenhauer, kehendak bersifat irrasional, buta dan
tidak bisa dihentikan. Mengikuti kehendak berarti pula manusia masuk dalam jurang
penderitaan. Sebabnya ialah semakin manusia melakukan keinginannya, ia semakin
mengalami bahwa hidupnya tidak pernah terpuaskan. Ia jatuh dari satu penderitaan kepada
penderitaan yang lain. Satu-satunya cara ialah manusia harus sampai pada penyangkalan
kehendak. Hanya saja persoalannya, Schopenhauer tidak menjelaskan secara gamblang
dalam hidupnya sendiri bagaimana itu dilaksanakan. Malahan, hidup Schopenhauer sendiri
seringkali jatuh dalam melakukan kehendaknya sendiri. Hidupnya tidak mencerminkan
sebuah penyangkalan kehendak. Di sinilah poin kelemahan Schopenhauer.

3. Jalan Etika dan Delapan Jalan Kebenaran


Buddhisme memberikan satu pemikiran yang dikenal sebagai delapan jalan
kebenaran. Isinya ialah pandangan yang benar, niat yang benar, bicara yang benar,
tindakan yang benar, mata pencarian yang benar, usaha yang benar, pemusatan hati dan
pikiran yang benar, dan konsentrasi yang benar. Kedelapan jalan ini tidak bisa dipikirkan
secara terpisah, melainkan menjadi satu kesatuan. Halnya juga tidak dijalankan secara
berurutan, melainkan secara serempak. Usaha ini adalah cara dimana Buddhisme
memberikan sebuah tuntunan hidup. Ketika usaha ini dijalankan oleh manusia, ia
mengalami pencerahan sebagaimana sang Buddha.
Schopenhauer, seorang yang pesimis, memberikan pemikiran filosofis bahwa hidup
adalah penderitaan. Contoh nyata ialah bahwa manusia itu tidak pernah bisa merasa tenang
dan tidak merasa puas. Cara yang paling mampu membawa manusia untuk keluar dari
kehendak ialah menyangkal diri. Tidak berhenti di situ, Schopenhauer menawarkan sebuah
usaha untuk berbela rasa. Schopenhauer mengambil inspirasi dari Buddha sendiri dengan
ajarannya belas kasih. Kesadaran sebagai manusia muncul dalam upaya memiliki sikap
belas kasih kepada sesama. Sehingga dapat dikatakan bahwa belas kasih menjadi satu etika
yang menjadi bagian pemikiran filosofis Schopenhauer.
Di tempat lain, Schopenhauer memang tidak serta merta menunjukkan
optimismenya. Sebab, pada dasarnya filsafat yang dianut Schopenhauer adalah idealisme
yang bernada pesimisme. Ia memandang hidup sebagai sebuah penderitaan.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Manusia tidak pernah bisa melepaskan diri dari penderitaan. Sampai kapanpun
persoalan abadi tentang penderitaan tidak pernah jenuh untuk dikupas dan dimaknai secara
baru. Meskipun kita tahu bahwa persoalan penderitaan sejak awal pemikiran tentangnya
telah bergulir. Pemikiran tentang penderitaan sebagai rangkaian kehendak yang tidak
terpenuhi menjadi satu penelitian yang terus berlanjut. Penderitaan menjadi satu persoalan
besar yang sejak semula terus digumuli oleh para filosof barat dan pemikir tentang
kebijaksanaan timur, terutama dalam Buddhisme. Penderitaan mendapat sorotan dari
berbagai macam perspektif.

Kehendak sebagai hasil pemikiran filosofis dan hasil proses pemikiran timur
mendapat makna yang baru. Sumbangan pemikiran baik dari pemikiran barat maupun
timur membuka cakrawala tentang sebuah kehidupan manusia yang tidak pernah habis
untuk dikupas. Kehendak ada bersama manusia dan menjadi bagian dari manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Gusmian dkk (eds.), Teks-teks Kunci Estetika: Filsafat Seni, Yogyakarta: Galang
Press, 2005, hlm. 46.

John M. Kohler (Penerj. Sermada Kelen), Filsafat Asia, Maumere: Ledalero, 2010,
hlm. 13

Kumara Ani Yuana, The Greatest Philosophers - 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad
6 SM - Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis,Yogyakarta : Andi, 2010, hlm. 210.

Magee Bryan, (diterj. Marcus Widodo dan Hardono Hadi),Kisah Tentang Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm. 140.

Schopenhauer, Arthur.The World as Will and Representation, In two Volumes. Vol.


I, terj. E.D.J (New York: Dorer Publications, Inc. 1969

Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, Konfrontasi Para Filsuf Dari


Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 334.

Anda mungkin juga menyukai