Disusun Oleh:
M. Dior (1500013030)
Wahyu Anggraeni (1700013140)
Zahdia Tendikat Fitri (1700013148)
Mully desfarras (1700013184)
Ayu Mutia (1700013190)
Risqi Fitria P (1700013144)
Sabila Nurjihan (1700013265)
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar……………………………………………………………………………i
Daftar Isi………………………………………………………...……………………….ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..
1. Latar Belakang Masalah…………………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN……............................................................................................
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menarik kiranya menelaah konsep jati diri manusia menurut Arthur Schopenhauer,
karena filsafat nihilistiknya ingin menekan potensi tindak kejahatan dalam diri manusia
yang selalu mengedepankan egoisme dan kepentingan individunya. Pemilihan tokoh
Schopenhauer sebagai landasan filosofis tentang jati diri manusia didasarkan pada tiga
pertimbangan: Pertimbangan pertama, latar belakang filsafat Schopenhauer lahir dari
perenungan terhadap dampak negatif perang di zamannya dan juga dari 3 pengalaman
pribadinya. Schopenhauer memiliki pandangan hidup negatif bahwa seluruh isi dunia
hanya penderitaan yang harus dilawan. Pertimbangan kedua, filsafat Schopenhauer mampu
meneorikan sumber penderitaan hidup berasal dari dalam diri manusia, dari Kehendak
yang selalu mendorong memenuhi kepentingan egoisme sehingga menyebabkan kerugian
terhadap orang lain. Pertimbangan ketiga, filsafat Schopenhauer memiliki solusi dalam
meredam potensi buruk egoisme dengan jalur estetik dan asketik.
Solusi ini mengajak manusia tidak saling menyakiti sebaliknya saling menghormati
sehingga tidak menambah beban penderitaan hidupnya dan hidup orang lain. Seorang
filosof idealisme Jerman bernama Arthur Schopenhauer melihat dunia sebagai kehendak
dan representasi. Dunia tidak lain adalah sebuah kehendak yang menjadi representasi dari
diri. Subyek yang mempersepsi mutlak ada di hadapan obyek. Dari pemikiran tentang
kehendak ini, Schopenhauer mengembangkan satu pemikiran filosofis tentang kehendak
irasional, buta dan tak terhentikan. Kehendak ini ternyata menghasilkan penderitaan bagi
manusia itu sendiri. Manusia hanyalah berlangkah dari satu pintu penderitaan ke pintu
yang lain.Cara yang terbaik adalah menerima dan menghadapi kenyataan bahwa
penderitaan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Keberanian Schopenhauer untuk
mengelaborasi makna penderitaan patut menjadi bahan diskusi yang tak terbantahkan.
Meskipun dia dikenal sebagai filosof pesimistis, Schopenhauer menyumbang gagasan bagi
pemikiran selanjutnya khususnya dalam bidang psikologi dan seni drama. Dalam dunia
Buddhisme yang terkenal dengan kebijaksanaan hidup manusia, makna penderitaan
(duhkha) menjadi bahan permenungan yang tidak pernah habis. Kebijaksanaan Buddhisme
mengupas dan menelisik penderitaan (duhkha) sebagai keinginan yang selalu muncul dan
menghalangi manusia untuk mencapai pencerahan. Setiap kehendak atau keinginan
menjadikan manusia tidak lagi sejati.
Dalam penulisan ini, makna penderitaan sebagai rangkaian kehendak yang tak
terpuaskan coba untuk dielaborasi dalam sebuah studi perbandingan. Studi ini didasarkan
pada pemikiran filosof barat Arthur Schopenhauer dan kebijaksanaan timur, yaitu
Buddhisme. Tema yang sangat luas ini akan dipersempit dalam uraian ini secara khusus
pada pemikiran Schopenhauer tentang kehendak dalam bukunya The World as Will and
Representation dan pemikiran filosofis Buddhisme.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Gusmin (2005) Realitas dunia ini dipahami oleh Schopenhauer sebagai
sebuah ide. Dalam kalimat awal karyanya The World as Will and Idea, berbunyi “The
World is my idea. Schopenhauer hendak berkata bahwa dunia fenomenal ini dapat
diketahui karena adanya subyek yang mempersepsi dan ide-ide yang diterima. Ia sangat
menekankan peran subyek. Obyek tidak pernah berdiri sendiri tanpa subyek yang
melakukan persepsi atas obyek. Hal ini sangat berbeda dengan pemahaman dari
materialisme. Materialisme berkata bahwa realitas direduksi pada materi. Schopenhauer
menolak materialisme dengan menyatakan bahwa karena segala pengetahuan merupakan
hasil dari subyek yang mempersepsi. Pengetahuan dalam hal ini selalu merupakan hasil
konstruksi subyek atas dunia fenomena. Tidak ada pengetahuan di luar dari subyek.
Dengan mengatakan bahwa dunia adalah ide, Schopenhauer menjelaskan cara pandang
bahwa dunia ini ada sejauh ada subyek yang mempersepsi. Keberadaan subyek melampaui
obyek, sehingga obyek tidak pernah berdiri sendiri. Obyek selalu dalam relasi dengan
subyek.
Kehendak ini dibedakan dari pemahaman sehari-hari sebagai keinginan atau maksud
tertentu dari manusia. Sebaliknya, Schopenhauer menyebut kehendak (wille) menjadi
representasi dari dunia. (Menurut Bryan Magee, 2008) Tentang istilah kehendak ini juga
dibahas dalam The Story of Philosophy karangan Bryan Magee. Ia menulis bahwa
penggunaan istilah “kehendak” ini telah menimbulkan kesalahpahaman, karena banyak
orang merasa sulit memikirkan adanya suatu kehendak yang tidak memiliki kepribadian
sama sekali, tanpa pikiran dan kecerdasan, tanpa tujuan dan maksud. Namun begitulah
yang dikatakan Schopenhauer dengan jelas. Dunia yang dimaksud di sini adalah noumenal
world.Immanuel Kant, sang pencetus tesis dunia sebagai fenomena dan noumena,
menyatakan ketidakmungkinan seseorang untuk mencapai realitas dalam dirinya sendiri
(thing in-it-self). Menurut Schopenhauer, ketidakmungkinan seseorang untuk mencapai
realitas tersebut bukannya tanpa solusi. Ia menyebut adanya “pintu belakang” untuk
mencapai dunia noumena. Kumara Ari Yuana mengurai kata-kata Schopenhauer, “jalan
masuk dengan melalui pintu dari dalam masih terbuka untuk memahami realitas hakiki,
yang tidak mungkin dimasuki tanpa adanya pintu itu (menurut yuana, 2010). Menurut
idealisme transendental Kant, manusia sebagai subyek, bukannya pencipta dunia
pengalaman-pengalaman atau realitas, tetapi hanya pencipta syarat-syarat penentu
terjadinya proses pengenalan atau pengetahuan.
Apakah dunia ini seperti yang tampak? Pertanyaan ini mengantar pada permenungan
yang tidak pernah selesai. Sejak Plato dengan manusia gua dan bayang-bayang yang
tergambar di dinding, permenungan dan pemikiran tentang realitas dunia dimulai. Plato
membuka pintu mengawali penjelajahan filosofis untuk melihat bahwa dunia ide adalah
dunia yang sejati. Schopenhauer, sebagaimana diulas Simon Tjahjadi, berpendapat bahwa
hakikat dunia ini bukanlah sesuatu yang rasional (akal budi, logos, ide, Roh Absolut, atau
subjek transendental) melainkan sesuatu yang bersifat irrasional. Ia menamakan unsur
tidak rasional ini sebagai “kehendak untuk hidup” (der Wille zum Leben) atau “kehendak”
(Wille). Lebih lanjut Simon Petrus L. Tjahjadi mengurai pemikiran Schopenhauer bahwa
kehendak bersifat transendental dalam dunia noumena. Namun Schopenhauer menolak jika
hal ini diartikan bahwa kita tidak bisa mengalaminya, sebab menurutnya realitas yang tidak
terjangkau oleh pengetahuan, yaitu kehendak transendental, bisa kita alami berkat
kemampuan “hati” (Kant tidak sampai pada pandangan ini). Hati (das Herz) di sini
bukanlah pengetahuan rasional, melainkan kemampuan intuitif untuk menangkap dan
mengalami sesuatu. Dengan demikian, hati bukan hanya mampu melampaui batas-batas
kesanggupan rasio, melainkan juga ikut menentukan daya kekuatan rasio itu. “Apa yang
ditolak itu,” kata Schopenhauer, “tidak akan diterima juga oleh kepala (rasio).” Dalam hati
kita menemukan hasrat, kerinduan, harapan, cinta, kebencian, kesedihan, penderitaan,
keengganan, pengertian mendalam, fantasi dan imajinasi; semua ini merupakan
pengalaman hidup kita. Dan pengalaman ini memperlihatkan kehendak. Dari penjelasan
ini, kita dapat menangkap esensi noumena atau das Ding an sich yang tidak terpahami
dalam Kant lantas dapat dipahami oleh subyek sebagai kehendak dalam kacamata
Schopenhauer. Kehendak ini bersifat irrasional karena ia transendental. Kehendak berada
pada realitas dirinya sendiri. Kehendak ini berada pada tataran yang tidak dapat dicerap
indra manusia, apalagi oleh rasio. Kehendak dapat dilihat sebagai daya hidup yang
menggerakkan seluruh alam semesta ini. Halnya tidak dapat dimengerti oleh rasio, namun
menurut Schopenhauer kehendak itu satu dan sama. Kita secara noumenal tidak memiliki
individualitas dan kesendirian.
Schopenhauer membuka mata kita bahwa kehendak untuk hidup membawa manusia
kepada penderitaan. Kita menderita karena disiksa dan dirongrong oleh tuntutan-tuntutan
kehendak-kehendak untuk hidup. Menurut Schopenhauer, ada jalan pertama sebagai
permulaan untuk keluar dari penderitaan. Jalan itu adalah jalan estetika dan etika. Jalan
estetika memaksudkan melalui seni, orang sampai kepada kontemplasi. Melalui
kemampuan imajinasi pemandangan estetik itu membukanya pada idea-idea abadi yang
terjelma dalam karya seni. Kontemplasi estetik ini tanpa pamrih merenggut orang genial
dari cengkeraman keinginan dan kecondongan yang mengacaukan ini. Schopenhauer
melihat kepada sejarah filsafat Yunani tentang theoria, pemandangan idea-idea serta
realitas abadi yang oleh Plato dan Aristoteles dianggap kegiatan yang paling luhur yang
dapat dicapai manusia. Etika dalam Schopenhauer berisi tentang bagaimana manusia
menampilkan empati atau sikap belas kasih kepada orang lain. Etika Schopenhauer sendiri
diinspirasikan dari perjumpaannya dengan ajaran Buddhisme. Penyangkalan diri sebagai
perwujudan untuk pembebasan dari penderitaan dipakai oleh Schopenhauer. Pemikirannya
ini menyumbangkan satu proses pencarian manusia untuk membebaskan diri dari
penderitaan.
A. KESIMPULAN
Manusia tidak pernah bisa melepaskan diri dari penderitaan. Sampai kapanpun
persoalan abadi tentang penderitaan tidak pernah jenuh untuk dikupas dan dimaknai secara
baru. Meskipun kita tahu bahwa persoalan penderitaan sejak awal pemikiran tentangnya
telah bergulir. Pemikiran tentang penderitaan sebagai rangkaian kehendak yang tidak
terpenuhi menjadi satu penelitian yang terus berlanjut. Penderitaan menjadi satu persoalan
besar yang sejak semula terus digumuli oleh para filosof barat dan pemikir tentang
kebijaksanaan timur, terutama dalam Buddhisme. Penderitaan mendapat sorotan dari
berbagai macam perspektif.
Kehendak sebagai hasil pemikiran filosofis dan hasil proses pemikiran timur
mendapat makna yang baru. Sumbangan pemikiran baik dari pemikiran barat maupun
timur membuka cakrawala tentang sebuah kehidupan manusia yang tidak pernah habis
untuk dikupas. Kehendak ada bersama manusia dan menjadi bagian dari manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Gusmian dkk (eds.), Teks-teks Kunci Estetika: Filsafat Seni, Yogyakarta: Galang
Press, 2005, hlm. 46.
John M. Kohler (Penerj. Sermada Kelen), Filsafat Asia, Maumere: Ledalero, 2010,
hlm. 13
Kumara Ani Yuana, The Greatest Philosophers - 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad
6 SM - Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis,Yogyakarta : Andi, 2010, hlm. 210.
Magee Bryan, (diterj. Marcus Widodo dan Hardono Hadi),Kisah Tentang Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm. 140.