BIAYA KULIAH
Oleh: Safir Senduk
Sebentar lagi adalah tahun ajaran baru bagi mereka yang baru masuk ke
sekolah tinggi, entah itu sekolah tinggi, akademi, institut atau apa pun.
Beberapa dari Anda yang memiliki anak umur 18 atau 19 tahun yang akan
masuk ke sekolah itu mungkin masih belum memutuskan sekolah mana
yang tepat untuk anak Anda. Bisa karena alasan lokasi, mutu, atau yang
paling sering: karena masalah biaya.
Bagaimana kalau pada saat ini anak Anda yang berumur 18/19 tahun
datang kepada Anda, duduk dan mengatakan: "Mama/Papa, tolong belikan
saya mobil baru. Saya tadi melihat mobil baru di koran, dan sepertinya
mobil itu cocok buat saya. Saya perlu mobil supaya gampang pergi ke
mana-mana. Harganya cuma Rp 45 juta. Beli, ya?"
Tapi bagaimana kalau anak Anda datang kepada Anda, duduk, dan
mengatakan: "Mama/Papa, saya sudah lihat tiga sekolah yang menurut
saya cukup baik. Saya hitung-hitung, sampai lulus cuma perlu bayar Rp 60
juta. Jadi sekitar Rp 12 juta setahun. Saya ingin masuk ke situ. Bisa, ya?"
Apa jawab Anda? Bukan hanya Anda dan suami/istri akan mengiyakan,
tapi mungkin bersedia me-lakukan apa pun supaya anak Anda bisa masuk
ke sekolah yang dia inginkan. Anda mungkin akan menguras semua isi
tabungan Anda, pinjam uang ke bank, atau mengambil pekerjaan
sampingan.
Malah ada lagi cara yang paling mudah, yakni pinjam uang ke saudara. "Ini
menyangkut masa depan anak, lo..." begitu pikir Anda. "Jika saya tidak
menyanggupinya, berarti saya mungkin akan menghancurkan masa depan
anak saya. Uang tidak jadi masalah buat kita. Saya akan pinjam uang
kalau perlu. Yang penting dia bisa kuliah di tempat yang dia inginkan."
Yah, kalau pada saat ini Anda tidak memiliki uang cukup untuk mampu
membayar biaya kuliah di tempat yang diinginkan anak Anda, maka uang
yang Anda pinjam dari bank atau dari saudara untuk bisa membayar biaya
kuliah tersebut bisa membuat Anda terpuruk dalam hutang. Entah itu
selama beberapa bulan atau beberapa tahun.
Antropolog adalah profesi yang luar biasa dan saya memberikan respek
penuh kepada profesi ini. Tapi harus diakui, pada kenyataannya profesi
antropolog di Indonesia tidak akan mendapatkan penghasilan yang bisa
dikatakan besar. Karena itu, daripada menyekolah-kan anak Anda ke
jurusan antropologi di universitas yang mahal, kenapa Anda tidak
mempertimbangkan jurusan antropologi di perguruan tinggi yang lebih
murah biayanya? Toh itu tidak akan mempengaruhi income anak Anda
kelak, kan?
Berkaitan dengan strategi 1 ini ada beberapa hal yang sebaiknya Anda
ketahui:
Kalau Anda tidak percaya, coba Anda tanyakan hal ini ke bagian SDM di
perusahaan Anda, orang macam apa yang akan mereka terima sebagai
karyawan baru: mereka yang kuliah di sekolah mahal dan bergengsi tapi
kemampuan pas-pasan, atau mereka yang lulusan sekolah tidak terkenal
tapi keterampilannya oke.
Strategi 2: Cari sekolah S1 yang lebih murah kalau anak Anda ingin
terus ke jenjang S2.
Strategi 3: Beritahu anggaran biaya Anda pada anak Anda - atau kalau
perlu libatkan saja dia sekalian.
Pada saat ini, biaya kuliah di universitas swasta yang cukup ternama di
Indonesia adalah Rp 60 juta hingga lulus. Setelah lima tahun kuliah dan
lulus, maka si sarjana baru akan bekerja dan mendapatkan gaji sebesar,
katakan saja Rp 1 juta per bulan.
Dengan asumsi bahwa gaji itu akan naik 15 persen per tahun, maka
sarjana itu cuma perlu waktu 4 tahun 1 bulan untuk bisa mendapatkan
kembali Rp 60 jutanya. Tentunya dengan asumsi bahwa semua gajinya
tidak dibelanjakan.
Sekarang, bagaimana kalau si sarjana itu bekerja di bidang yang tidak ada
hubungannya dengan bidang kuliahnya? Maka Rp 60 juta yang sudah
dikeluarkan orang tuanya bisa dikatakan hampir sia-sia. Karena itu, akan
lebih baik apabila sejak awal si sarjana kuliah di tempat yang lebih murah.
Toh, bidang pekerjaannya berbeda dengan bidang kuliahnya, kan? Jadi
buat apa mengambil kuliah di tempat yang mahal biayanya kalau toh
bidang pekerjaannya nanti tak berkaitan dengan bidang kuliah?