I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejadian mati mendadak masih merupakan penyebab kematian utama baik di
Negara maju maupun Negara berkembang seperti Indonesia. Henti jantung/cardiac
arrest merupakan penyebab kematian terbesar pada penderita dewasa yang menderita
penyakit jantung koroner (PJK) yaitu sekitar 60%. Di Eropa diperkirakan terdapat
700.000 kasus henti jantung/tahunnya. Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) Indonesia tahun 2007 yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2008 di Jakarta, prevalensi penyakit jantung secara nasional
adalah 7,5 %. Penyakit jantung iskemik merupakan penyebab kematian ketiga (8,7%).
Berdasarkan penelitian, BHJD akan memberikan hasil yang terbaik jika dilakukan
dalam waktu lima menit pertama ketika penderita diketahui tidak sadarkan diri dengan
menggunakan automated external defibrillator (AED). Pada umumnya waktu yang
diperlukan setelah dilakukan permintaan tolong awal dengan jarak antara system
pelayanan kegawatdaruratan medis serta lokasi kejadian akan memakan waktu lebih dari
5 menit, sehingga untuk mempertahankan angka keberhasilan yang tinggi, tindakan
BHJD bergantung pada pelatihan umum BHJD terhadap kaum awam serta ketersediaan
alat AED sebagai fasilitas umum. Keberhasilan kejut jantung menggunakan defibrillator
akan menurun 7-10% permenit jika tindakan BHJD tidak dilakukan, sehingga semakin
lama waktu untuk melakukan kejut jantung untuk pertama kali, maka akan semakin kecil
peluang keberhasilan tindakan tersebut. Selain BHJD diperlukan pula Bantuan Hidup
Jantung Lanjutan dalam usaha menyelamatkan pasien henti jantung serta pengelolahan
pasca henti jantung dan penanganan kegawatdaruratan kardiopulmonal lainnya.
Oleh karena itu Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut/BHJL (Advanced Cardiac
Life Support/ACLS) sangat diperlukan bagi para tenaga kesehatan terutama dokter yang
berperan langsung dalam resusitasi pasien, baik di dalam maupun di luar rumah sakit
sebagai suatu tindakan medic dalam mengatasi kedaruratan/kegawatan jantung agar
memperoleh hasil yang maksimal untuk menyelamatkan hidup pasien.
B. Tujuan Pelatihan
1. Mampu melakukan tindakan bantuan hidup dasar (BHD), termasuk
mendahulukan kompresi dada dan mengintegrasikan penggunaan Automated
External Defibrillator (AED)/Defibrilator Eksternal Otomatis (DEO).
2. Mampu mengelolah henti jantung hingga kembalinya sirkulasi spontan (return of
spontaneous circulation (ROSC)), penghentian resusitasi, atau melakukan
rujukan.
3. Mampu mengenali dan melakukan pengelolaan dini terhadap kondisi sebelum
henti jantung yang dapat menyebabkan terjadinya henti jantung atau mempersulit
resusitasi
4. Mampu mengidentifikasi dan mempercepat penanganan pasien yang menderita
sindroma koroner akut.
5. Mampu mendemonstrasikan komunikasi yang efektif sebagai seorang anggota
atau pemimpin tim resusitasi
III. HASIL
Kegiatan dibuka oleh Panitia dari PERKI ( Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskuler ) Kalimantan Barat pada tanggal 29 September 2023 dan dilanjutkan
oleh pemberian materi – materi:
A. Airway Management
1. Pemberian suplementasi oksigen
Pada kegawatan kardiopulmoner, pemberian oksigen harus dilakukan
secepatnya jika saturasi kurang dari 94%.
Tabel 1. Alat suplementasi oksigen, kecepatan aliran dan persentase oksigen yang dihantarkan
Untuk mengatasi henti jantung diperlukan integrasi dari tindakan bantuan hidup
dasar, bantuan hidup jantung lanjut serta perawatan pasca-henti jantung. Henti
jantung dapat disebabkan oleh 4 irama, yaitu Fibrilasi Ventrikel (VF), takikardi
ventrikel tanpa nadi (VT tanpa nadi), Pulseless Electrical Activity (PEA), dan
asistol. Dasar keberhasilan bantuan hidup jantung dasar adalah RJP yang berkualitas
dan untuk kasus VF/VT tanpa nadi defibrilasi segera.
Gambar 4. Algoritme Henti Jantung
F. Bradikardia
Bradikardia adalah denyut jantung yang kurang dari 60x/menit. Bradikardi akan
menjadi masalah bila simtomatik atau sudah menimbulkan gejala dan tanda akibat
denyut jantung yang terlalu lambat, umumnya tanda dan gejala timbul pada denyut
jantung <50x/menit.
Pasien bradikardia tanpa gejala tidak memerlukan terapi, akan tetapi jika ada
gejala, terapi sesuai dengan algoritma bradikardia. Lakukan penilaian gambaran
EKG, jika gambaran EKG menunjukkan gambaran sinus bradikardi tetapi bukan AV
block derajat 2 tipe II dan AV block total maka lakukan :
- Berikan atropine sulfat 0,5 mg intravena sambil memperhatikan monitor EKG
adakah respon peningkatan denyut jantung. Jika tidak ada, ulangi pemberian
atropine sulfat berikutnya sebanyak 0,5 mg sampai ada respon peningkatan denyut
jantung atau sampai dosis maksimal, yaitu 3 mg. Bila pasien bradikardi dengan
gejala perfusi yang buruk, langsung berikan atropine sulfat 0,5 mg sambil
menunggu monitor datang atau terpasang.
- Bila pemberian atropine sulfat maksimal tetapi belum ada respon, berikan epinefrin
2-10 mcg/menit atau dopamine 2-10 mcg/kgBB/menit
- Jika belum ada respon juga, maka pertimbangkan untuk konsul ahli dan
pemasangan pacu jantung transvena.
Jika gambaran EKG adalah AV block derajat 2 tipe II atau AV block total, segera
pasang pacu jantung transkutan sambil menunggu pemasangan pacu jantung
transvena.
G. Takikardia
Takikardia adalah denyut jantung >100 x/menit. Denyut jantung yang cepat
dengan irama yang normal seringkali merupakan respon fisiologis. Takiaritmia yang
ekstrim (≥150 x/menit) dapat menimbulkan gejala klinis yang disebabkan oleh
menurunnya curah jantung dan meningkatnya kebutuhan oksigen miokardium.
Ada 2 klasifikasi takiaritmia, yaitu takiaritmia QRS sempit dan Takiaritmia QRS
lebar.
Gambar 7. Algoritma Takikardia
Catatan :
Kardioversi
o QRS sempit teratur :50-100 J
o QRS sempit tidak teratur :120-200 J bifasik atau 200 J monofasik
o QRS lebar tidak teratur :100 J
o QRS lebar tidak teratur : dosis defibrilasi (TIDAK sinkronisasi)
Adenosine IS
o Dosis I : 6 mg IV bolus cepat diikuti flush 20 cc NaCl 0,9%
o Dosis II :12 mg IV jika diperlukan
Obat antiaritmia IV untuk takikardi QRS lebar teratur
o Amiodarone IV : dosis 150 mg IV dalam 10 menit dan dapat diulang 150 mg IV
setiap 10 menit jika diperlukan, maksimum pemberian 2,2 gram IV/24 jam.
Dilanjtkan dosis pemeliharaan 30 mg IV selama 6 jam dan 540 mg IV dalam 18 jam.
H. Sindroma Koroner Akut
Sindroma koroner akut (SKA) adalah sekumpulan keluhan dan tanda klinis yang
sesuai dengan iskemia miokard akut dan merupakan kegawatan kardiovaskular yang
memiliki komplikasi yang dapat berakibat fatal. SKA dapat berupa angina pectoris
tidak stabil, infark miokard dengan non-ST elevasi (NSTEMI), infark miokard
dengan ST elevasi (STEMI) dan atau kematian jantung mendadak. Tujan terapi SKA
adalah mengurangi daerah miokard yang mengalami infark sehingga fungsi ventrikel
kiri dapat dipertahankan, mencegah komplikasi kardiak fatal dan menangani
komplikasi SKA.
Kaji EKG 12
sadapan
ST elevasi atau baru atau ST depresi atau inverse gelombang T Normal atau perubahan ST
curiga LBBB baru; sangat dinamis; sangat mungkin terdapat segmen/gelombang T
iskemi
mungkin terjadi luka Angina tidak stabil risiko nondiagnostik
tinggi/Non-ST Elevasi MI Ya
(UA/NSTEMI)
Disusun Oleh:
TAHUN 2023