KATA PENGANTAR
Kepemimpinan adalah seni dan ilmu dalam membimbing dan menginspirasi individu atau
kelompok menuju pencapaian tujuan bersama. Dalam makalah ini, kami akan membahas
kepemimpinan dengan merujuk pada konsep Asthabratha, delapan karakter atau sifat
kepemimpinan dalam tradisi Hindu yang menciptakan landasan etis dan spiritual.
Asthabratha, yang berasal dari ajaran Hindu kuno, mencakup sifat-sifat seperti kendali diri,
kemurahan hati, keberanian, keteguhan, kesabaran, tidak mencuri, kendali atas panca indera, dan
intelektualitas. Bagaimana sifat-sifat ini dapat diaplikasikan dalam konteks kepemimpinan
modern? Apakah nilai-nilai etis dan spiritual ini dapat memberikan panduan bagi pemimpin
masa kini?
Dalam proses penulisan, kami akan menggali konsep-konsep Asthabratha dan menerapkannya
dalam konteks tantangan dan dinamika kepemimpinan masa kini. Kami akan melihat bagaimana
pemimpin dapat menciptakan keseimbangan antara keberhasilan organisasi dan kesejahteraan
personal, serta bagaimana mereka dapat memimpin dengan bijaksana dalam menghadapi
kompleksitas tuntutan lingkungan bisnis dan sosial.
Makalah ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan wawasan tentang aplikasi Asthabratha
dalam kepemimpinan, tetapi juga untuk mendorong refleksi dan diskusi tentang kebijaksanaan
dan etika dalam memimpin. Sumber daya yang digunakan mencakup literatur klasik, penelitian
kontemporer, dan studi kasus yang merefleksikan berbagai konteks kepemimpinan.
Semoga makalah ini dapat memberikan pandangan baru tentang kepemimpinan yang
berlandaskan nilai-nilai etis dan spiritual. Terima kasih atas perhatian Anda, dan kami berharap
makalah ini menjadi kontribusi yang bermanfaat dalam mendiskusikan peran kepemimpinan
yang berkelanjutan dan bermakna.
[Penulis]
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Dama (Kendali Diri): Pemimpin harus memiliki kendali diri dan kemampuan untuk
mengendalikan keinginan dan emosinya. Ini menciptakan kepemimpinan yang stabil dan
tidak mudah terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal.
2. Dana (Kemurahan Hati): Pemimpin harus murah hati dan berbagi dengan orang lain.
Kemurahan hati menciptakan iklim keadilan sosial dan membantu menciptakan rasa
persatuan di antara masyarakat.
3. Daya (Kekuatan): Pemimpin perlu memiliki kekuatan, baik secara fisik maupun
mental, untuk melindungi kepentingan rakyatnya. Kekuatan di sini juga mencakup
keberanian dan tekad.
6. Asteya (Tidak Mencuri): Pemimpin seharusnya tidak terlibat dalam tindakan mencuri
atau korupsi. Mencuri di sini tidak hanya merujuk pada pencurian materi, tetapi juga
mencakup penggunaan kekuasaan yang tidak etis.
7. Indriya Nigraha (Kendali atas Indra): Ini mencakup kendali atas panca indera, yang
melibatkan pengendalian diri terhadap hasrat dan keinginan sensoris. Pemimpin yang
memiliki kendali diri terhadap indra dapat membuat keputusan dengan lebih bijaksana.
8. Dhi (Intelektualitas): Pemimpin seharusnya memiliki kecerdasan, pengetahuan, dan
kebijaksanaan. Kemampuan untuk membuat keputusan yang cerdas dan berpikir jernih
adalah sifat yang sangat dihargai.
Sifat-sifat Asthabratha dirancang untuk membentuk dasar kepemimpinan yang etis, kuat,
dan berkeadilan dalam konteks pemerintahan dan kepemimpinan dalam masyarakat
Hindu. Konsep ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin yang baik harus memiliki
keseimbangan antara kekuatan fisik, kecerdasan, dan nilai-nilai etis.
1. Kendali Diri (Dama): Kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri merupakan aspek
penting kepemimpinan. Seorang pemimpin yang memiliki kendali diri dapat membuat
keputusan dengan bijaksana dan tidak terpengaruh oleh emosi yang mungkin memicu
tindakan impulsif.
2. Kemurahan Hati (Dana): Kemurahan hati menciptakan pemimpin yang peduli terhadap
kesejahteraan anggota timnya dan masyarakat pada umumnya. Pemimpin yang murah
hati dapat memotivasi dan membimbing orang lain dengan kasih sayang dan empati.
3. Kekuatan (Daya): Kekuatan fisik dan mental memungkinkan seorang pemimpin untuk
melindungi kepentingan tim atau masyarakat. Ini menciptakan citra pemimpin yang kuat
dan dapat diandalkan.
Sifat-sifat ini bekerja bersama untuk membentuk kepemimpinan yang etis, kuat, dan
berkeadilan. Seorang pemimpin yang menerapkan sifat Asthabratha dapat menjadi
panutan bagi timnya dan dapat membangun fondasi yang kokoh untuk keberhasilan
jangka panjang.
Mahatma Gandhi:
Kendali Diri (Dama): Gandhi dikenal sebagai tokoh yang memiliki kendali diri yang
kuat. Ia mempraktikkan prinsip-prinsip non-kekerasan dan kebenaran.
Kemurahan Hati (Dana): Gandhi menjunjung tinggi nilai-nilai kemurahan hati dan
keadilan sosial. Ia berjuang untuk hak-hak sipil dan politik, serta kemiskinan.
Kekuatan (Daya): Meskipun pendek dan tampak lemah, Gandhi memiliki kekuatan moral
yang besar. Pengaruhnya membantu memimpin India menuju kemerdekaan dari
penjajahan Inggris.
Nelson Mandela:
Keteguhan (Dhriti): Mandela memiliki ketabahan dan tekad yang luar biasa selama masa
tahanan politiknya. Ia memimpin perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan dan
kemudian memimpin negaranya sebagai presiden.
Kesabaran (Kshama): Selama masa tahanannya yang berkepanjangan, Mandela
menunjukkan kesabaran yang besar untuk mencapai tujuannya melalui perubahan damai
dan rekonsiliasi.
Tidak Mencuri (Asteya): Mandela dikenal karena integritasnya. Setelah memimpin
negaranya menuju demokrasi, ia juga mempromosikan rekonsiliasi nasional dan
memerangi korupsi.
2.4 Apa karakteristik utama dari watak mendung dalam kepemimpinan asthabrata?
Mendung mempunyai sifat menakutkan (berwibawa) tetapi setelah berubah menjadi air
dalam hal ini hujan dapat menyegarkan semua makhluk hidup. Untuk itu pemimpin harus
dapat bersifat seperti mendung yaitu harus dapat menjaga kewibawaan dengan berbuat
jujur, terbuka dan semua yang menjadi programnya dapat bermanfaat bagi anak buah
dan sesama. Dapat memberikan kesejukan bagi masyarakat maupun aparatur pemerintah
ketika dalam keadaan situasi yang mulai memanas dan menimbulkan ketidak nyamanan,
maka seorang pemimpin akan tampil sebagai penyejuk untuk kembali menciptakan
keamanan dan kenyamanan.
Dari sifat mendung dapat dipahami bahwa wibawa itu melekat pada seorang pemimpin,
atau pemimpin pasti orang yang punya wibawa dalam sistem merit organisasi. Wibawa,
karena itu, syarat tak tertulis bagi seseorang bisa memimpin orang lain. Sulit
mengukurnya karena dia terasa dalam menggerakkan organisasi. Wibawa tidak bisa
diukur karena tak ada satuannya. Jika sikap diam, tindakan, dan ucapan seorang mampu
menggerakkan orang lain, dia layak disebut pemimpin berwibawa, yang memiliki sifat
mendung. Jika pendekatan dan gaya memimpin seseorang mempengaruhi cara orang lain
bertindak dalam menyelesaikan problem bersama, dia pantas disebut pemimpin yang
punya wibawa.
Pendeknya, wibawa seorang pemimpin sanggup dan mampu mengendap dalam bawah
sadar orang banyak, sehingga apapun keputusan yang dia buat akan "digugu" dan ditiru
orang-orang di bawah dan di sekitarnya. Sebab semua orang sudah menganggap
keputusan itu baik untuk semua. Tak semua orang, bahkan tak semua pemimpin, punya
wibawa seperti ini.Barangkali ada bakat juga.Sebab kita sering bertemu orang yang
punya aura wibawa yang tinggi sehingga kita menaruh hormat kepadanya, ada juga orang
yang sok berwibawa hanya karena ayahnya orang terkenal, tapi kita muak melihatnya.
Namun, di dunia modern, wibawa juga bisa diciptakan dengan cara latihan dan belajar
secara terus menerus. Orang yang terus belajar biasanya orang yang haus ilmu, karena itu
dia tak akan sombong, rendah hati, tapi luas wawasan. Faktor-faktor inilah biasanya yang
melahirkan sosok pemimpin dengan sifat mendung. Pemimpin yang rela berkorban akan
mampu memfokuskan diri untuk mencapai visi kelompok secara detail yang artinya dia
mampu berguna bagi orang sekitar. Sifat rela berkorban ini pun tentunya harus didasari
dengan kecerdasan dan kebijakan dari seorang pemimpin. Pemimpin ideal yang rela
berkorban akan mampu mengambil keputusan secara tepat tanpa merugikan banyak
pihak.
2.6 Bagaimana cara pemimpin yang memiliki sifat "mendung" dalam menjalankan tugas
sebagai abdi negara?
Pemimpin dengan watak mendung harus memiliki sifat membawa pengaruh bagi sekitar,
murah senyum, sabar, terbuka, transparan, adil, tulus hati, rendah hati walau sudah
menguasai pekerjaan, tampil energik, bahagia, memiliki hati penuh kedamaian, bersikap
baik, bersosok pelindung dan pemecah masalah. Jika kita memiliki sifat-sifat tersebut
maka para staff maupun bawahan akan lebih terbuka dan mempercayai pimpinanannya
untuk menjadi pemimpin bagi diri mereka dalam semua organisasi dan sejenisnya.
Tentunya tetap ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memimpin suatu
organisasi. Beberapa sifat-sifat pemimpin yang patut dihindari adalah sifat arogan, bossy,
menciptakan ketakutan dalam tim, terlalu jaim, bypass, safety player, dan menghindari
komunikasi dengan anggota yang bermasalah.
Abdi Negara yang tidak koruptif berperan dalam menciptakan peradilan yang berwibawa.
Peradilan berwibawa sendiri diyakini dapat tercipta dari kolaborasi ASN dan peran
pemerintah.
Fokus pada peran abdi negara ASN dalam membangun kepercayaan publik, ASN harus
menjunjung etika sesama abdi negara. Selain itu, lanjut Amzulian, ASN harus
menghindari bersikap arogan, ego institusi, dan memeras sesama kolega sendiri.
2.7 Bagaimana hubungan kewibawaan dalam astabrata dalam kaitannya dengan tugas
pamong praja sebagai pelayan masyarakat?
Dalam Astabrata, konsep kewibawaan terkait erat dengan pelaksanaan ajaran moral dan etika
yang dipegang teguh oleh pamong praja. Pemahaman dan praktik Astabrata mencakup empat
aspek penting, yaitu Satya (kejujuran), Dama (pengendalian diri), Dāna (pemberian), dan Bheda
(diskriminasi yang bijaksana). Kewibawaan dalam konteks ini bukan hanya terkait dengan
kekuasaan atau posisi, melainkan merupakan hasil dari integritas pribadi dan ketaatan terhadap
prinsip-prinsip moral.
Ketika diterapkan pada tugas pamong praja sebagai pelayan masyarakat, kewibawaan menjadi
fondasi esensial dalam menjalankan tanggung jawab mereka. Integritas pribadi, ketaatan pada
aturan hukum, dan keteladanan dalam perilaku menjadi kunci untuk membangun kepercayaan
masyarakat. Pamong praja yang memiliki kewibawaan yang kuat cenderung lebih efektif dalam
memimpin dan memberikan pelayanan yang adil serta berkualitas.
Dalam konteks ini, kewibawaan pamong praja tidak hanya terlihat dari sikap dan tindakan
mereka, tetapi juga dari kemampuan mereka dalam memahami dan merespons kebutuhan
masyarakat. Kewibawaan yang dibangun melalui penerapan nilai-nilai Astabrata akan membantu
menciptakan hubungan yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat. Pelayanan yang
transparan, bertanggung jawab, dan berlandaskan keadilan menjadi cermin dari kewibawaan
tersebut.
Sebagai pelayan masyarakat, pamong praja diharapkan dapat menjalankan tugas mereka dengan
penuh dedikasi, tanpa pamrih, dan selalu berorientasi pada kepentingan umum. Kewibawaan
mereka bukan hanya merupakan aspek personal, tetapi juga mencerminkan kredibilitas institusi
pemerintahan secara keseluruhan. Dengan demikian, pemahaman dan penerapan nilai-nilai
Astabrata dalam kehidupan sehari-hari pamong praja dapat membentuk fondasi yang kuat untuk
menjaga kewibawaan mereka dalam melayani dan memimpin masyarakat