Anda di halaman 1dari 131

Bersihan jalan napas tidak efektif adalah ketidakmampuan

membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas untuk


mempertahankan jalan nafas tetap paten.

Diagnosis ini diberi kode D.0001, masuk dalam kategori


fisiologis, subkategori respirasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


bersihan jalan napas tidak efektif dengan lengkap, mulai dari
tanda dan gejala wajib yang harus muncul, cara menulis
diagnosis, luaran, serta intervensi utamanya.

Baca seluruh artikel atau cari bagian yang anda inginkan


pada Daftar Isi berikut:

 Tanda dan Gejala


o Batuk tidak efektif
o Tidak mampu batuk
o Sputum berlebih
o Mengi, wheezing, dan/atau ronchi kering
o Mekonium di jalan napas (pada neonatus)
 Penyebab (Etiologi)
o Spasme jalan napas
o Hipersekresi jalan napas
o Disfungsi neuromuskuler
o Benda asing dalam jalan napas
o Adanya jalan napas buatan
o Sekresi yang tertahan
o Hiperplasia dinding jalan napas
o Proses infeksi
o Respon alergi
o Efek agen farmakologis (mis. Anestesi)
o Merokok (aktif dan pasif)
o Terpajan polutan
 Kondisi Klinis Terkait
o Gulliain barre syndrome
o Sklerosis multiple
o Myasthenia gravis
o Prosedur diagnostik (mis. bronkoskopi, transesophageal
echocardiography [TEE])
o Depresi sistem saraf pusat
o Cidera Kepala
o Stroke
o Kuadriplegia
o Sindrom aspirasi mekonium
o Infeksi saluran napas
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Latihan Batuk Efektif (I.01006)
o Manajemen Jalan Napas (I.01011)
o Pemantauan Respirasi (I.01014)
 Diagnosis Terkait
 Formulir Diagnosis Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
 Referensi

Tanda dan Gejala


Untuk dapat mengangkat diagnosis bersihan jalan napas tidak
efektif, Perawat harus memastikan bahwa minimal 80% dari
tanda dan gejala dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

DS:

Tidak ada

DO:

1. Batuk tidak efektif


2. Tidak mampu batuk
3. Sputum berlebih
4. Mengi, wheezing, dan/atau ronchi kering
5. Mekonium di jalan napas (pada neonatus)
Namun, bila data diatas tidak muncul, atau yang muncul hanya
satu atau dua saja (kurang dari 80%), maka Perawat harus
mempertimbangkan adanya masalah lain, misalnya “pola
napas tidak efektif” atau “gangguan pertukaran gas,” yang
sama-sama masalah keperawatan pada sub
kategori respirasi dalam SDKI.
Berikut penjelasan masing-masing tanda dan gejala diatas:

Batuk tidak efektif


Batuk adalah mekanisme pertahanan mendasar untuk menjaga
jalan napas bebas dari benda asing (Fernández-Carmona,
2018).

Batuk tidak efektif berarti respon batuk yang dilakukan oleh


pasien tidak mampu menjaga jalan napas tetap bersih, atau
tidak mampu mengeluarkan sputum.

Tidak mampu batuk


Refleks batuk biasanya dimulai oleh iritasi mukosa trakea atau
laring (Standring, 2021). Batuk merupakan refleks defensif
yang penting, dan diperlukan untuk menjaga kesehatan paru-
paru (Polverino, 2012).

Pasien yang tidak mampu batuk berisiko mengalami


atelektasis, pneumonia berulang, dan penyakit saluran napas
kronis akibat aspirasi dan retensi sekret (Polverino, 2012).

Sputum berlebih
Tubuh manusia memproduksi lendir (mukus) untuk menjaga
saluran pernapasan tetap lembab sehingga benda asing yang
dapat menimbulkan ancaman dapat terperangkap dan dipaksa
keluar dengan batuk.

Pada situasi tertentu, misalnya ketika ada infeksi di paru-paru,


tubuh memproduksi mukus secara berlebihan.

Ketika mekanisme pertahanan tubuh mencoba untuk


membuang kelebihan mukus tersebut dengan batuk, maka
yang keluar adalah sputum atau dahak.

Mengi, wheezing, dan/atau ronchi kering


Ada banyak Perawat yang masih belum mengetahui bahwa
mengi dan wheezing itu adalah hal yang sama.
Mengi adalah terjemahan Bahasa Indonesia untuk Wheezing.
Dalam KBBI mengi diartikan seabgai penyakit sesak napas
atau penyakit bengek.

Mengi (wheezing) dan ronki sama-sama dihasilkan oleh saluran


jalan napas yang menyempit dan udara yang mengalir
melaluinya jalan napas tersebut (Zimerman & Williams, 2021).

Mengi adalah suara napas tambahan yang disebabkan oleh


gerakan udara melalui saluran udara kecil yang menyempit,
seperti bronkiolus (Zimerman & Williams, 2021).

Contoh suara wheezing pada pasien COPD:

Contoh suara wheezing pada pasien COPD (Hawaii COPD)

Sedangkan ronchi adalah suara kasar dan keras yang


disebabkan oleh penyempitan saluran udara yang lebih besar,
termasuk saluran trakeobronkial (Zimerman & Williams, 2021).

Contoh suara ronchi:

Contoh suara ronchi pada pasien (Hawaii COPD)

Mengi atau ronchi dapat didengar selama fase ekspirasi, atau


inspirasi dan ekspirasi, tetapi terdengar pada saat inspirasi
saja (Zimerman & Williams, 2021).

Bandingkan suara wheezing dan ronchi diatas dengan suara


napas normal berikut:

Contoh suara napas normal (Hawaii COPD)

Mekonium di jalan napas (pada neonatus)


Mekonium adalah zat awal yang ada pada usus janin yang
sedang berkembang dan merupakan buang air besar pertama
bayi baru lahir (Skelly, Zulfiqar, & Sankararaman, 2021).

Mekonium bisa berwarna hijau, coklat, atau kuning.

Bayi baru lahir (neonatus) yang sehat dan cukup bulan


mengeluarkan mekonium antara 24 hingga 48 jam setelah
lahir. Namun bayi prematur biasanya mengelurkan mekonium
lebih lambat (Skelly, Zulfiqar, & Sankararaman, 2021).
Mekonium ini biasanya ditemukan di jalan napas pada saat
persalinan, oleh sebab itu biasanya dibutuhkan penghisapan
lendir (suction).

Penyebab (Etiologi)
Penyebab merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan status kesehatan.

Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi


bagian “berhubungan dengan ….” atau “b.d” pada struktur
rumusan diagnosis keperawatan.

Adapun penyebab (etiologi) untuk masalah bersihan jalan


napas tidak efektif adalah:

1. Spasme jalan napas.


2. Hipersekresi jalan napas.
3. Disfungsi neuromuskuler
4. Benda asing dalam jalan napas
5. Adanya jalan napas buatan
6. Sekresi yang tertahan
7. Hyperplasia dinding jalan napas
8. Proses infeksi
9. Respon alergi
10. Efek agen farmakologis (mis. Anestesi)
11. Merokok aktif
12. Merokok pasif
13. Terpajan polutan
Berikut penjelasan dari masing-masing etiologi diatas.

Spasme jalan napas


Jalan napas yang menghubungkan tenggorokan ke paru-paru
disebut bronkus.

Pada situasi tertentu (alergi atau penyakit), otot-otot yang


melapisi bronkus tersebut dapat mengencang dan
menyebabkan jalan napas menyempit. Kondisi ini disebut
dengan bronkospasme (Cleveland Clinic, diakses 25 Juni
2022).
Bronkospasme dapat menyebabkan kelenjar bronkial
menghasilkan lendir dalam jumlah besar, yang bisa sangat
lengket dan sulit dikeluarkan, hingga akhirnya dapat
menyumbat jalan napas.

Ketika mukus menumpuk di bronkus, paru-paru menjadi sangat


teriritasi, dan mengaktifkan mekanisme pertahanan tubuh
yaitu reflek batuk (DocDoc, diakses 25 Juni 2022).

Hipersekresi jalan napas


Mukus (lender) adalah produk sekretori normal dari lapisan
epitel.

Dalam kondisi normal, mukus yang disekresikan ke jalan napas


melindungi jalan napas dan melembabkan udara.

Kondisi hipersekresi atau sekresi yang berlebihan dapat


disebabkan oleh berbagai jenis kondisi stres, antara lain
(Shen, 2018):

 Merokok
 Infeksi
 Faktor patogen (penyakit)
 Stres oksidatif
Sekresi yang berlebihan menyebabkan mukus atau sputum
menumpuk pada jalan napas.

Disfungsi neuromuskuler
Kondisi disfungsi neuromuskular mengurangi Gerakan paru
saat pasien menarik dan menghembuskan napas, mengurangi
kekuatan, dan kemampuan batuk (Morrow, Zampoli, van
Aswegen, & Argent, 2013).

Berkurangnya fungsi tersebut mengakibatkan sekresi mukus


yang normal terjadi di jalan napas menjadi menumpuk, dan
menyebabkan kelebihan mukus.

Benda asing dalam jalan napas


Seperti yang telah dibahas sebelumnya, mukus merupakan
produksi normal saluran napas yang berfungsi untuk
menangkap benda asing, termasuk mikroorganisme.

Adanya benda asing dalam jalan napas memicu sekresi mukus


lebih banyak dari normal, yang akhirnya menyebabkan
bertambahnya produksi sputum.

Adanya jalan napas buatan


Jalan napas buatan, seperti endotrakeal tube (ETT) dikenali
oleh tubuh sebagai benda asing.

Seperti halnya penjelasan diatas, benda asing dapat memicu


sekresi mukus.

Sekresi yang tertahan


Sekresi yang tertahan membuat penumpukan mukus yang
banyak di jalan napas.

Ada beragam faktor yang dapat membuat sekresi ini tertahan,


salah satunya adalah karena batuk tidak efektif, atau tidak
mampu batuk.

Hiperplasia dinding jalan napas


Hiperplasia adalah peningkatan produksi sel dalam jaringan
atau organ normal.

Hiperplasia mungkin merupakan tanda perubahan abnormal


atau prakanker, yang disebut hiperplasia patologis. Namun
bisa juga karena pertumbuhan sel normal, yang disebut
hiperplasia fisiologis (A.D.A.M Medical Encyclopedia, diakses
25 Juni 2022).

Hiperplasia dinding jalan napas (mucous cell hyperplasia)


dapat terjadi sebagai respons terhadap patogen, oksidan,
racun, partikel, dan asap rokok, yang menyebabkan
hipersekresi mukus sementara (Shaykhiev, 2019).

Disebut sementara karena hiperplasia tersebut biasanya


menghilang setelah rangsangan tidak ada lagi.
Proses infeksi
Proses infeksi disebabkan oleh adanya patogen yang masuk ke
dalam tubuh.

Di saluran pernapasan, patogen tersebut dianggap sebagai


benda asing dan tubuh berespon dengan meningkatkan sekresi
mukus.

Semakin lama patogen tersebut berada dalam tubuh, semakin


banyak pula mukus yang disekresikan, yang meningkatkan
produksi mukus menjadi berlebih.

Respon alergi
Sistem kekebalan tubuh biasanya merespon zat berbahaya
seperti bakteri, virus dan racun dengan menghasilkan gejala
seperti pilek dan hidung tersumbat, dan radang tenggorokan,
serta telinga dan mata yang gatal.

Reaksi alergi dapat menghasilkan gejala yang sama sebagai


respons terhadap zat yang umumnya tidak berbahaya, seperti
debu, bulu, atau serbuk sari.

Sistem kekebalan yang peka menghasilkan antibodi terhadap


alergen ini, yang menyebabkan bahan kimia yang disebut
histamin dilepaskan ke dalam aliran darah, menyebabkan
gatal, pembengkakan jaringan yang terkena, gatal-gatal, ruam,
dan gejala lainnya, termasuk peningkatan produksi mukus
(Vorvick, 2020).

Efek agen farmakologis (mis. Anestesi)


Pasien dengan anestesi selama operasi berisiko mendapatkan
masalah bersihan jalan napas tidak efektif.

Ini terjadi karena spasme jalan napas atau bronkospasme.

Penyebab bronkospasme tersebut beragam, antara lain


(Vojdani, 2018):

 Anafilaksis yang dimediasi IgE


 Mekanisme non-alergi yang dipicu oleh faktor mekanis (yaitu,
intubasi orotrakeal),
 Diinduksi oleh obat (yaitu, atracurium, morfin dan
meperidine)
 Bronkospasme pada pasien dengan jalan napas hiper-reaktif

Merokok (aktif dan pasif)


Asap rokok merupakan sumber utama paparan bahan kimia
beracun dan merupakan penyebab utama penyakit yang dapat
dicegah (Ueha, 2017).

Riwayat merokok yang lama secara signifikan meningkatkan


risiko berbagai penyakit hipersekresi mukus pada organ
pernapasan, seperti radang tenggorokan kronis dan penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) (Ueha, 2017).

Selain menyebabkan hipersekresi mukus, asap rokok


mengganggu ekskresi mukus dengan menghancurkan silia
yang berfungsi memindahkan mukus dari paru-paru ke
tenggorokan (Ueha, 2017).

Akibatnya, mukus menumpuk di saluran pernapasan,


mengiritasi jaringan sensitif di dalamnya dan menyebabkan
‘batuk perokok’ (Ueha, 2017).

Meskipun batuk penting untuk mengeluarkan lendir dari


saluran pernapasan dan menjaga saluran udara tetap bersih,
batuk kronis menyebabkan ketidaknyamanan fisiologis dan
mengganggu kualitas hidup (Ueha, 2017).

Terpajan polutan
Polutan seperti sulfur dioksida dan ozon bereaksi secara kimia
dengan permukaan paru-paru, menyebabkan peradangan yang
menghasilkan mukus, batuk, dan masalah pernapasan yang
serius (Hendrick, 2009).

Kondisi Klinis Terkait


Masalah bersihan jalan napas tidak efektif biasanya ditemukan
pada penyakit-penyakit atau kondisi klinis berikut (PPNI,
2017):

1. Gullian barre syndrome


2. Sklerosis multipel
3. Myasthenia gravi.
4. Prosedur diagnostik (mis. bronkoskopi, transesophageal
echocardiography [TEE])
5. Depresi sistem saraf pusat
6. Cedera Kepala
7. Stroke
8. Kuadriplegia
9. Sindron aspirasi mekonium
10. Infeksi saluran Napas
Meski dalam buku SDKI hanya dituliskan 10 kondisi klinis
terkait, namun masalah bersihan jalan napas tidak efektif
tidak terbatas pada 10 kondisi itu saja.

Berikut adalah penjelasan dari ke-10 kondisi klinis diatas:

Gulliain barre syndrome


Guillain-barre syndrome (GBS) adalah penyakit langka
neuropati yang dimediasi imun pasca-infeksi (Nguyen & Taylor,
2022).

Sindrom ini hasil dari kerusakan autoimun saraf di sistem saraf


perifer yang menyebabkan gejala seperti mati rasa,
kesemutan, dan kelemahan yang dapat berkembang menjadi
kelumpuhan (Nguyen & Taylor, 2022).

Patofisiologi multiple-barre syndrome sehingga pada akhirnya


menyebabkan masalah bersihan jalan napas tidak efektif
adalah karena disebabkan oleh disfungsi neuromuskuler.

Sklerosis multiple
Sklerosis multiple atau multiple sclerosis (MS) adalah penyakit
autoimun pada sistem saraf pusat (SSP) yang ditandai dengan
peradangan kronis, demielinasi, gliosis, dan kehilangan fungsi
saraf (Tafti, Ehsan, & Xixis, 2022).

Multiple sclerosis adalah penyakit autoimun kronis pada


sistem saraf pusat (SSP) yang ditandai dengan peradangan,
demielinasi, gliosis, dan hilangnya saraf.

Secara patologis, infiltrat limfositik perivaskular, dan makrofag


menghasilkan degradasi selubung mielin yang mengelilingi
neuron.

Gejala neurologis bervariasi dan dapat mencakup gangguan


penglihatan, mati rasa dan kesemutan, kelemahan fokal,
inkontinensia kandung kemih dan usus, dan disfungsi kognitif.

Sama seperti multiple-barre syndrome, hubungan antara


sklerosis multiple dengan masalah bersihan jalan napas tidak
efektif juga disebabkan karena adanya kondisi disfungsi
neuromuskuler.

Myasthenia gravis
Myasthenia gravis adalah gangguan autoimun yang
mempengaruhi sambungan neuromuskular.

Manifestasi klinis myasthenia gravis antara lain kelemahan


otot umum yang dapat melibatkan otot-otot pernapasan dan
dapat menyebabkan krisis miastenia, yang merupakan
keadaan darurat medis.

Hubungan myasthenia gravis dengan masalah bersihan jalan


napas tidak efektif adalah karena adanya kondisi disfungsi
neuromuskuler.

Prosedur diagnostik (mis. bronkoskopi, transesophageal


echocardiography [TEE])
Hubungan antara prosedur diagnostik dengan masalah
bersihan jalan napas tidak efektif adalah karena adanya benda
asing dan anestesi.

Prosedur diagnostik dimana jalan napas pasien dimasukan


suatu benda seperti bronkoskopi dapat memicu sekresi mukus
lebih banyak dari normal, yang akhirnya menyebabkan
bertambahnya produksi sputum.

Selain itu, prosedur diagnostic ini juga menggunakan anestesi,


dimana pasien dengan anestesi berisiko mendapatkan
masalah bersihan jalan napas tidak efektif, karena spasme
jalan napas atau bronkospasme.

Depresi sistem saraf pusat


Depresi sistem saraf pusat (SSP) adalah bentuk depresi yang
disebabkan oleh penyalahgunaan depresan SSP (Ohwovoriole,
2021).

Depresan SSP adalah zat yang dapat memperlambat sistem


saraf pusat, misalnya opioid, obat penenang, dan hipnotik
(Ohwovoriole, 2021).

Obat-obat tersebut digunakan untuk mengobati rasa sakit,


kecemasan, gangguan tidur, dan stress (Ohwovoriole, 2021).

Pasien dengan depresi SSP mengalami berbagai gejala.


Beberapa gejala paling umum yang ringan antara lain
(Ohwovoriole, 2021):

 Bicara cadel
 Refleks melambat
 Toleransi rasa sakit yang lebih tinggi
 Mengantuk
 Sakit kepala
 Kepala terasa ringan.
Dalam situasi di mana kondisinya pasien semakin parah, gejala
yang muncul dapat berupa (Ohwovoriole, 2021):

 Kebingungan
 Kelelahan yang ekstrem
 Kesulitan bernapas
 Kesulitan untuk tetap terjaga
 Jari dan bibir yang mulai membiru (sianosis)
 Tekanan darah rendah
 Masalah memori
Depresi SSP dapat menyebabkan masalah bersihan jalan napas
tidak efektif karena tertahannya sekresi pada jalan napas efek
dari ketidakmampuan mengeluarkan sekret.

Cidera Kepala
Cidera kepala atau traumatic brain injury (TBI) adalah
presentasi umum di unit gawat darurat, yang menyumbang
lebih dari satu juta kunjungan setiap tahun (Shaikh & Waseem,
2021).

Cidera kepala diklasifikasikan sebagai ringan, sedang, dan


berat berdasarkan skor Glasgow Coma Scale (GCS) (Shaikh &
Waseem, 2021):

 Ringan = GCS 14 hingga 15, juga disebut gegar otak


 Sedang = GCS 9 sampai 13
 Berat = GCS 3 hingga 8
Cidera kepala dapat menyebabkan disfungsi neuromuskuler
dan tertahannya sekresi yang pada akhirnya menimbulkan
masalah bersihan jalan napas tidak efektif.

Stroke
Stroke, atau cerebrovascular disease, adalah kondisi medis
darurat yang ditandai dengan gangguan perfusi akut atau
pecahnya pembuluh darah otak (Khaku & Tadi, 2021).

Stroke menyebabkan disfungsi neuromuskuler yang


merupakan salah satu etiologi diagnosis bersihan jalan napas
tidak efektif.

Kuadriplegia
Kuadriplegia (Quadriplegia, juga dikenal sebagai tetraplegia),
adalah bentuk kelumpuhan yang mempengaruhi keempat
anggota badan, ditambah batang tubuh (Kuriakose, 2020).

“Quad” berasal dari kata Latin untuk empat.


Kebanyakan pasien dengan tetraplegia mengalami
kelumpuhan yang signifikan di bawah leher, dan banyak yang
sama sekali tidak dapat bergerak (Kuriakose, 2020).

Disfungsi neuromuskuler adalah faktor yang menghubungkan


penyakit ini dengan masalah bersihan jalan napas tidak efektif.

Sindrom aspirasi mekonium


Sindrom aspirasi mekonium terjadi ketika bayi baru lahir
menghirup campuran mekonium dan cairan ketuban ke dalam
paru-paru sekitar waktu persalinan (Hopkins Medicine, diakses
25 Juni 2022).

Sindrom aspirasi mekonium, penyebab utama penyakit parah


dan kematian pada bayi baru lahi (terjadi pada sekitar 5 hingga
10 persen kelahiran).

Hubungan penyakit ini dengan masalah bersihan jalan napas


tidak efektif adalah benda asing pada jalan napas (mekonium).

Infeksi saluran napas


Infeksi saluran pernapasan, terdiri dari infeksi saluran atas
(seperti flu), dan infeksi saluran bawah (seperti pneumonia,
bronkitis, dan TBC) (Roche, diakses pada 25 Juni 2022).

Penyakit infeksi saluran napas berakhir dengan banyak


etiologi yang menjadi masalah bersihan jalan napas tidak
efektif, termasuk:

 Spasme jalan napas.


 Hipersekresi jalan napas.
 Benda asing dalam jalan napas
 Sekresi yang tertahan
 Proses infeksi
 Respon alergi

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan aktual, yang
berarti penulisannya menggunakan metode tiga bagian, yaitu:
[masalah] + [penyebab] + [tanda/gejala].

Sehingga contoh rumusan penulisan diagnosisnya menjadi


seperti ini:

Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan


dengan spasme jalan nafas dibuktikan dengan batuk tidak
efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih, mengi.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan dapat menjadi:

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d spasme jalan


nafas d.d batuk tidak efektif, sputum berlebih, mengi,
dyspnea.

Perhatikan:

1. Masalah = Bersihan jalan napas tidak efektif


2. Penyebab = spasme jalan napas
3. Tanda/gejala = Batuk tidak efektif, dst.
4. b.d = berhubungan dengan
5. d.d = dibuktikan dengan
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis bersihan jalan napas tidak efektif
adalah: “Bersihan Jalan Napas Meningkat.”

Bersihan jalan napas diberi kode L.01002 dalam SLKI.

Bersihan jalan napas meningkat berarti kemampuan pasien


membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk
mempertahankan jalan napas tetap paten meningkat.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa bersihan jalan napas


meningkat adalah:

1. Batuk efektif meningkat


2. Produksi sputum menurun
3. Mengi menurun
4. Wheezing menurun
5. Mekonium (pada neonatus) menurun
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Berdasarkan komponen tersebut, contoh rumusan penulisan


luarannya menjadi:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka bersihan jalan nafas meningkat, dengan kriteria hasil:

1. Batuk efektif meningkat


2. Produksi sputum menurun
3. Mengi menurun
4. Wheezing menurun
Perhatikan!

1. Label = “Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3


x 24 jam, maka bersihan jalan nafas”
2. Ekspektasi = “Meningkat”
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.
Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),
intervensi utama untuk diagnosis bersihan jalan napas tidak
efektif adalah:

1. Latihan batuk efektif


2. Manajemen jalan napas
3. Pemantauan Respirasi

Latihan Batuk Efektif (I.01006)


Intervensi Latihan batuk efektif pada Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01006).

Latihan batuk efektif adalah intervensi yang dilakukan untuk


melatih pasien yang tidak memiliki kemampuan batuk secara
efektif agar dapat membersihkan laring, trakea, dan bronkiolus
dari sekret atau benda asing di jalan napas.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi Latihan batuk efektif


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi kemampuan batuk


 Monitor adanya retensi sputum
 Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
 Monitor input dan output cairan (misal: jumlah dan
karakteristik)
Terapeutik

 Atur posisi semi-fowler dan fowler


 Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
 Buang sekret pada tempat sputum
Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif


 Anjurkan Tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik,
ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut
dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
 Anjurkan mengulangi Tarik napas dalam hingga 3 kali
 Anjutkan batuk dengan kuat langsung setelah Tarik napas
dalam yang ke-3
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika


perlu.

Manajemen Jalan Napas (I.01011)


Intervensi manajemen jalan napas dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01011).

Manajemen jalan napas adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola kepatenan
jalan napas.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen jalan


napas berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)


 Monitor bunyi napas tambahan (misalnya: gurgling, mengi,
wheezing, ronchi kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik

 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan


chin-lift (jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal)
 Posisikan semi-fowler atau fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi

 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada


kontraindikasi
 Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu.

Pemantauan Respirasi (I.01014)


Intervensi pemantauan respirasi dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01014).

Pemantauan respirasi adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengumpulkan dan menganalisis data untuk
memastikan kepatenan jalan napas dan keefektifan pertukaran
gas.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pemantauan respirasi


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas


 Monitor pola napas (seperti bradypnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik)
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai analisa gas darah
 Monitor hasil x-ray thoraks
Terapeutik

 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien


 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.
Gangguan penyapihan ventilator adalah ketidakmampuan
beradaptasi dengan pengurangan bantuan ventilator
mekanik yang dapat menghambat dan memperlama
proses penyapihan.

Diagnosis ini diberi kode D.0002, masuk dalam kategori


fisiologis, subkategori respirasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


gangguan penyapihan ventilator dengan lengkap.

Kita akan mempelajari tanda dan gejala yang harus muncul


untuk dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara
menulis diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi
utamanya.

Baca seluruh artikel atau cari bagian yang anda inginkan pada
Daftar Isi berikut:

 Tanda dan Gejala


 Penyebab (Etiologi)
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Penyapihan Ventilasi Mekanik (I.01021)
o Pemantauan Respirasi (I.01014)
 Diagnosis Terkait
 Referensi

Tanda dan Gejala


Untuk dapat mengangkat diagnosis gangguan penyapihan
ventilator, Perawat harus memastikan bahwa minimal 80%
dari tanda dan gejala dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

DS:

Tidak ada

DO:

1. Frekuensi napas meningkat


2. Penggunaan otot bantu napas
3. Napas megap-megap
4. Upaya napas dan bantuan ventilator tidak sinkron
5. Napas dangkal
6. Agitasi
7. Nilai gas darah arteri tidak normal
Bila data diatas tidak muncul, atau yang muncul hanya satu
atau dua saja (kurang dari 80%), maka Perawat harus
mempertimbangkan adanya masalah lain, misalnya “pola
napas tidak efektif” atau “gangguan pertukaran gas,” yang
sama-sama masalah keperawatan pada sub
kategori respirasi dalam SDKI.

Penyebab (Etiologi)
Penyebab (etiologi) dalam diagnosis keperawatan adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.

Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi


bagian “berhubungan dengan ….” pada struktur diagnosis
keperawatan.

Penyebab (etiologi) untuk masalah gangguan penyapihan


ventilator adalah:

Penyebab Fisiologis

1. Hipersekresi jalan napas


2. Ketidakcukupan energi
3. Hambatan upaya nafas ( misalnya nyeri saat bernapas,
kelemahan otot pernapasan, efek sedasi)
Penyebab Psikologis

1. Kecemasan
2. Perasaan tidak berdaya
3. Kurang terpapar informasi tentang proses penyapihan
4. Penurunan motivasi
Penyebab Situasional

1. Ketidakdekuatan dukungan sosial


2. Ketidaktepatan kecepatan proses penyapihan
3. Riwayat kegagalan berulang dalam upaya penyapihan
4. Riwayat ketergantungan ventilator > 4 hari

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan aktual, yang
berarti penulisannya menggunakan metode tiga bagian, yaitu:

[masalah] + [penyebab] + [tanda/gejala].

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Gangguan penyapihan ventilator berhubungan dengan riwayat


ketergantungan ventilator > 4 hari dibuktikan
dengan frekuensi napas meningkat, penggunaan otot bantu
napas, napas megap-megap, upaya napas dan bantuan
ventilator tidak sinkron, napas dangkal, agitasi

Atau bila disederhanakan menjadi:

Gangguan penyapihan ventilator b.d riwayat ketergantungan


ventilator > 4 hari d.d frekuensi napas meningkat,
penggunaan otot bantu napas, napas megap-megap, upaya
napas dan bantuan ventilator tidak sinkron, napas dangkal,
agitasi

Perhatikan:

1. Masalah = Gangguan penyapihan ventilator


2. Penyebab = Riwayat ketergantungan ventilator > 4 hari
3. Tanda/gejala = frekuensi napas meningkat, dst.
4. b.d = berhubungan dengan
5. d.d = dibuktikan dengan
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis gangguan penyapihan ventilator
adalah: “Penyapihan ventilator meningkat.”

Penyapihan ventilator meningkat diberi kode L.01002 dalam


SLKI.

Penyapihan ventilator meningkat berarti kemampuan pasien


untuk beradaptasi dengan pengurangan bantuan ventilator
mekanik meningkat.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa penyapihan


ventilator meningkat adalah:

1. Frekuensi napas membaik


2. Penggunaan otot bantu napas menurun
3. Napas megap-megap menurun
4. Kesingkronan bantuan ventilator meningkat
5. Napas dangkal menurun
6. Agitasi menurun
7. Nilai gas darah arteri membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka penyapihan ventilator meningkat, dengan kriteria hasil:

1. Frekuensi napas membaik


2. Penggunaan otot bantu napas menurun
3. Napas megap-megap menurun
4. Kesingkronan bantuan ventilator meningkat
5. Napas dangkal menurun
6. Agitasi menurun
7. Nilai gas darah arteri membaik
Perhatikan!

1. Label = “Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3


x 24 jam, maka penyapihan ventilator”
2. Ekspektasi = “Meningkat”
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis gangguan penyapihan
ventilator adalah:

1. Penyapihan ventilasi mekanik


2. Pemantauan respirasi

Penyapihan Ventilasi Mekanik (I.01021)


Intervensi penyapihan ventilasi mekanik dalam Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01021).

Penyapihan ventilasi mekanik adalah intervensi yang


dilakukan oleh perawat untuk memfasilitasi pasien bernapas
tanpa bantuan ventilasi mekanik (ventilator).
Tindakan yang dilakukan pada intervensi penyapihan ventilasi
mekanik berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Periksa kemampuan untuk disapih (meliputi: hemodinamik


stabil, kondisi optimal, bebas infeksi)
 Monitor predictor kemampuan untuk mentolerir penyapihan
(mis. Tingkat kemampuan bernapas, kapasitas vital, Vd/Vt,
MVV, kekuatan inspirasi, FEV1, tekanan inspirasi negatif)
 Monitor tanda-tanda kelelahan otot pernapasan (misal:
kenaikan PaCO2 mendadak, napas cepat dan dangkal,
Gerakan dinding abdomen paradoks), hipoksemia, dan
hipoksia jaringan saat penyapihan)
 Monitor status cairan dan elektrolit
Terapeutik

 Posisikan semi-fowler (30 – 45 derajat)


 Lakukan pengisapan jalan napas, jika perlu
 Berikan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan ujicoba penyapihan (30 – 120 menit dengan napas
spontan yang dibantu ventilator)
 Gunakan Teknik relaksasi, jika perlu
 Hindari pemberian sedasi farmakologis selama percobaan
penyapihan
 Berikan dukungan psikologis
Edukasi

 Ajarkan cara pengontrolan napas saat penyapihan


Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian obat yang meningkatkan kepatenan


jalan napas dan pertukaran gas.

Pemantauan Respirasi (I.01014)


Intervensi pemantauan respirasi dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01014).

Pemantauan respirasi adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengumpulkan dan menganalisis data untuk
memastikan kepatenan jalan napas dan keefektifan pertukaran
gas.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pemantauan respirasi


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas


2. Monitor pola napas (seperti bradypnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik)
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai analisa gas darah
10. Monitor hasil x-ray thoraks
Terapeutik

1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien


2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

Diagnosis Terkait
Daftar diagnosis lainnya yang masuk dalam kategori fisiologis
dan subkategori respirasi adalah:

1. Bersihan jalan napas tidak efektif


2. Gangguan Pertukaran Gas
3. Gangguan ventilasi spontan
4. Pola napas tidak efektif
5. Risiko aspirasi
Pola napas tidak efektif adalah adalah inspirasi
dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan
ventilasi adekuat.
Diagnosis ini diberi kode D.0005, masuk dalam kategori
fisiologis, subkategori respirasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan pola


napas tidak efektif secara komprehensif, namun dengan
Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari tanda dan gejala yang harus muncul


untuk dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara
menulis diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi
utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:

 Tanda dan Gejala


 Penyebab (Etiologi)
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Manajemen Jalan Napas (I.01011)
o Pemantauan Respirasi (I.01014)
 Diagnosis Terkait
 Referensi

Tanda dan Gejala


Untuk dapat mengangkat diagnosis pola napas tidak efektif,
Perawat harus memastikan bahwa minimal 80% dari tanda
dan gejala dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

DS:

Mengeluh sesak (dispnea)

DO:

1. Penggunaan otot bantu pernapasan


2. Fase ekspirasi memanjang
3. Pola napas abnormal (mis. takipnea, bradipnea,
hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes)
4. Adanya bunyi napas tambahan (mis. wheezing, rales)
Bila data diatas tidak muncul, atau yang muncul hanya satu
atau dua saja (kurang dari 80%), maka Perawat harus
mempertimbangkan adanya masalah lain, misalnya “gangguan
ventilasi spontan” atau “gangguan pertukaran gas,” yang
sama-sama masalah keperawatan pada sub
kategori respirasi dalam SDKI.

Penyebab (Etiologi)
Penyebab (etiologi) dalam diagnosis keperawatan adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.

Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi


bagian “berhubungan dengan ….” pada struktur diagnosis
keperawatan.

Penyebab (etiologi) untuk masalah pola napas tidak efektif


adalah:

1. Depresi pusat pernapasan


2. Hambatan upaya napas (mis. nyeri saat bernapas, kelemahan
otot pernapasan)
3. Deformitas dinding dada
4. Deformitas tulang dada
5. Gangguan neuromuskular
6. Gangguan neurologis (mis. elektroensefalogram [EEG] positif,
cidera kepala, gangguan kejang)
7. Imaturitas neurologis
8. Penurunan energi
9. Obesitas
10. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
11. Sindrom hipoventilasi
12. Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5
keatas)
13. Cidera pada medula spinalis
14. Efek agen farmakologis
15. Kecemasan

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan aktual, yang
berarti penulisannya menggunakan metode tiga bagian, yaitu:

[masalah] + [penyebab] + [tanda/gejala].

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Pola napas tidak efektif berhubungan dengan deformitas


dinding dada dibuktikan dengan sesak napas, penggunaan
otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang, takipnea.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Pola napas tidak efektif b.d deformitas dinding


dada d.d sesak napas, penggunaan otot bantu pernapasan,
fase ekspirasi memanjang, takipnea.

Perhatikan:

1. Masalah = Pola napas tidak efektif


2. Penyebab = deformitas dinding dada
3. Tanda/gejala = sesak napas, dst.
4. b.d = berhubungan dengan
5. d.d = dibuktikan dengan
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”
Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis pola napas tidak efektif adalah: “pola
napas membaik.”

Pola napas membaik diberi kode L.01004 dalam SLKI.

Pola napas membaik berarti inspirasi dan/atau ekspirasi telah


memberikan ventilasi adekuat

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa pola napas membaik


adalah:

1. Dispnea menurun
2. Penggunaan otot bantu napas menurun
3. Pemanjangan fase ekspirasi menurun
4. Frekuensi napas membaik
5. Kedalaman napas membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka pola napas membaik, dengan kriteria hasil:

1. Dispnea menurun
2. Penggunaan otot bantu napas menurun
3. Pemanjangan fase ekspirasi menurun
4. Frekuensi napas membaik
5. Kedalaman napas membaik
Perhatikan:

1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x


24 jam, maka pola napas
2. Ekspektasi = Membaik
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis pola napas tidak efektif
adalah:

1. Manajemen jalan napas


2. Pemantauan respirasi

Manajemen Jalan Napas (I.01011)


Intervensi manajemen jalan napas dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01011).

Manajemen jalan napas adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola kepatenan
jalan napas.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen jalan


napas berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)


2. Monitor bunyi napas tambahan (misalnya: gurgling, mengi,
wheezing, ronchi kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik

1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan


chin-lift (jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal)
2. Posisikan semi-fowler atau fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
8. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi

1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada


kontraindikasi
2. Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,


jika perlu.

Pemantauan Respirasi (I.01014)


Intervensi pemantauan respirasi dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01014).

Pemantauan respirasi adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengumpulkan dan menganalisis data untuk
memastikan kepatenan jalan napas dan keefektifan pertukaran
gas.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pemantauan respirasi


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas


2. Monitor pola napas (seperti bradypnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik)
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai analisa gas darah
10. Monitor hasil x-ray thoraks
Terapeutik

1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien


2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

Diagnosis Terkait
Daftar diagnosis lainnya yang masuk dalam kategori fisiologis
dan subkategori respirasi adalah:

1. Bersihan jalan napas tidak efektif


2. Gangguan penyapihan ventilator
3. Gangguan pertukaran gas
4. Gangguan ventilasi spontan
5. Risiko aspirasi
Gangguan ventilasi spontan adalah penurunan
cadangan energi yang mengakibatkan pasien tidak
mampu bernapas secara adekuat.

Diagnosis ini diberi kode D.0004, masuk dalam kategori


fisiologis, subkategori respirasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


gangguan ventilasi spontan secara komprehensif, namun
dengan Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari tanda dan gejala yang harus muncul


untuk dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara
menulis diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi
utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:

 Tanda dan Gejala


 Penyebab (Etiologi)
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Dukungan Ventilasi (I.01002)
o Pemantauan Respirasi (I.01014)
 Diagnosis Terkait
 Referensi

Tanda dan Gejala


Untuk dapat mengangkat diagnosis gangguan ventilasi
spontan, Perawat harus memastikan bahwa minimal 80% dari
tanda dan gejala dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

DS:

Mengeluh sesak (dispnea)

DO:

1. Penggunaan otot bantu napas meningkat


2. Volume tidak menurun
3. PCO2 meningkat
4. PO2 menurun
5. SaO2 menurun
Bila data diatas tidak muncul, atau yang muncul hanya satu
atau dua saja (kurang dari 80%), maka Perawat harus
mempertimbangkan adanya masalah lain, misalnya “pola
napas tidak efektif” atau “gangguan pertukaran gas,” yang
sama-sama masalah keperawatan pada sub
kategori respirasi dalam SDKI.

Penyebab (Etiologi)
Penyebab (etiologi) dalam diagnosis keperawatan adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.

Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi


bagian “berhubungan dengan ….” pada struktur diagnosis
keperawatan.

Penyebab (etiologi) untuk masalah gangguan ventilasi spontan


adalah:

1. Gangguan metabolisme
2. Kelelahan otot pernapasan
Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan aktual, yang
berarti penulisannya menggunakan metode tiga bagian, yaitu:

[masalah] + [penyebab] + [tanda/gejala].

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan


otot pernapasan dibuktikan dengan dispnea, penggunaan otot
bantu napas meningkat, PCO2 meningkat, PO2 menurun, SaO2
menurun.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Gangguan ventilasi spontan b.d kelelahan otot


pernapasan d.d dispnea, penggunaan otot bantu napas
meningkat, PCO2 meningkat, PO2 menurun, SaO2 menurun.

Perhatikan:

1. Masalah = Gangguan ventilasi spontan


2. Penyebab = kelelahan otot pernapasan
3. Tanda/gejala = dispnea, dst.
4. b.d = berhubungan dengan
5. d.d = dibuktikan dengan
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis gangguan ventilasi spontan
adalah: “ventilasi spontan meningkat.”

Ventilasi spontan meningkat diberi kode L.01007 dalam SLKI.

Ventilasi spontan meningkat adalah peningkatan keadekuatan


cadangan energi sehingga pasien mampu bernapas secara
adekuat.
Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa ventilasi spontan
meningkat adalah:

1. Dispnea menurun
2. Penggunaan otot bantu napas menurun
3. Volume tidak membaik
4. PCO2 membaik
5. PO2 membaik
6. SaO2 membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka ventilasi spontan meningkat, dengan kriteria hasil:

1. Dispnea menurun
2. Penggunaan otot bantu napas menurun
3. Volume tidak membaik
4. PCO2 membaik
5. PO2 membaik
6. SaO2 membaik
Perhatikan:

1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x


24 jam, maka ventilasi spontan
2. Ekspektasi = Meningkat”
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.
Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,
maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis gangguan ventilasi spontan
adalah:

1. Dukungan ventilasi
2. Pemantauan respirasi

Dukungan Ventilasi (I.01002)


Intervensi dukungan ventilasi dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01002).

Dukungan ventilasi adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk memfasilitasi pasien agar dapat
mempertahankan pernapasan spontan dalam rangka
memaksimalkan pertukaran gas di paru-paru.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi dukungan ventilasi


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi adanya kelelahan otot bantu napas


 Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status
pernapasan
 Monitor status respirasi dan oksigenasi (misal: frekuensi dan
kedalaman napas, penggunaan otot bantu napas, bunyi napas
tambahan, saturasi oksigen)
Terapeutik

 Pertahankan kepatenan jalan napas


 Berikan posisi semi-fowler dan fowler
 Fasilitasi mengubah posisi senyaman mungkin
 Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan (misal: nasal kanul,
masker wajah, masker rebreathing atau non-rebreathing)
 Gunakan bag-valve mask, jika perlu
Edukasi

 Ajarkan melakukan Teknik relaksasi napas dalam


 Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
 Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian bronkodilator, jika perlu

Pemantauan Respirasi (I.01014)


Intervensi pemantauan respirasi dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01014).

Pemantauan respirasi adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengumpulkan dan menganalisis data untuk
memastikan kepatenan jalan napas dan keefektifan pertukaran
gas.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pemantauan respirasi


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas


 Monitor pola napas (seperti bradypnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik)
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai analisa gas darah
 Monitor hasil x-ray thoraks
Terapeutik

 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien


 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

Gangguan pertukaran gas adalah kelebihan atau


kekurangan oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida
pada membran alveolus-kapiler.

Gangguan pertukaran gas terjadi akibat ketidakseimbangan


ventilasi-perfusi, atau perubahan membran alveolus-kapiler.

Diagnosis ini diberi kode D.0003, masuk dalam kategori


fisiologis, subkategori respirasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


gangguan pertukaran gas secara komprehensif, namun dengan
Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari tanda dan gejala yang harus muncul


untuk dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara
menulis diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi
utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:

 Tanda dan Gejala


 Penyebab (Etiologi)
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Pemantauan Respirasi (I.01014)
o Terapi Oksigen (I.01026)
 Diagnosis Terkait
 Referensi
Tanda dan Gejala
Untuk dapat mengangkat diagnosis gangguan pertukaran gas,
Perawat harus memastikan bahwa minimal 80% dari tanda
dan gejala dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

DS:

Mengeluh sesak

DO:

1. PCO2 meningkat/menurun
2. PO2 menurun
3. pH arteri meningkat/menurun
4. Takikardia
5. Adanya bunyi napas tambahan (mis. wheezing, rales)
Bila data diatas tidak muncul, atau yang muncul hanya satu
atau dua saja (kurang dari 80%), maka Perawat harus
mempertimbangkan adanya masalah lain, misalnya “pola
napas tidak efektif” atau “bersihan jalan napas tidak efektif,”
yang sama-sama masalah keperawatan pada sub
kategori respirasi dalam SDKI.

Penyebab (Etiologi)
Penyebab (etiologi) dalam diagnosis keperawatan adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.

Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi


bagian “berhubungan dengan ….” pada struktur diagnosis
keperawatan.

Penyebab (etiologi) untuk masalah gangguan pertukaran gas


adalah:

1. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
2. Perubahan membran alveolus-kapiler.

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan aktual, yang
berarti penulisannya menggunakan metode tiga bagian, yaitu:

[masalah] + [penyebab] + [tanda/gejala].

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Gangguan pertukaran gas berhubungan


dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dibuktikan
dengan napas sesak, PCO2 menurun, PO2 menurun, pH arteri
meningkat, takikardia, wheezing.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-


perfusi d.d napas sesak, PCO2 menurun, PO2 menurun, pH
arteri meningkat, takikardia, wheezing.

Perhatikan:

1. Masalah = Gangguan pertukaran gas


2. Penyebab = ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
3. Tanda/gejala = napas sesak, dst.
4. b.d = berhubungan dengan
5. d.d = dibuktikan dengan
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis gangguan pertukaran gas
adalah: “pertukaran gas meningkat.”

Pertukaran gas meningkat diberi kode L.01003 dalam SLKI.

Pertukaran gas meningkat berarti oksigenasi dan/atau


eliminasi karbondioksida pada membrane alveolus-kapiler
dalam batas normal.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa pertukaran gas


meningkat adalah:
1. Dispnea menurun
2. Bunyi napas tambahan menurun
3. Takikardia menurun
4. PCO2 membaik
5. PO2 membaik
6. pH arteri membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka pertukaran gas meningkat, dengan kriteria hasil:

1. Sesak napas menurun


2. Wheezing menurun
3. Takikardia menurun
4. PCO2 membaik
5. PO2 membaik
6. pH arteri membaik.
Perhatikan:

1. Label = “Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3


x 24 jam, maka pertukaran gas“
2. Ekspektasi = “Meningkat”
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.
Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi
dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis gangguan pertukaran gas
adalah:

1. Pemantauan respirasi
2. Terapi oksigen.

Pemantauan Respirasi (I.01014)


Intervensi pemantauan respirasi dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01014).

Pemantauan respirasi adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengumpulkan dan menganalisis data untuk
memastikan kepatenan jalan napas dan keefektifan pertukaran
gas.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pemantauan respirasi


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas


2. Monitor pola napas (seperti bradypnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik)
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai analisa gas darah
10. Monitor hasil x-ray thoraks
Terapeutik

1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien


2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.

Terapi Oksigen (I.01026)


Intervensi terapi oksigen dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01026).

Terapi oksigen adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat


untuk memberikan tambahan oksigen dalam rangka mencegah
dan mengatasi kekurangan oksigen jaringan.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi terapi oksigen


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

1. Monitor kecepatan aliran oksigen


2. Monitor posisi alat terapi oksigen
3. Monitor aliran oksigen secara periodik dan pastikan fraksi
yang diberikan cukup
4. Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. Oksimetri, Analisa
gas darah), jika perlu
5. Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan
6. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan
atelektasis
8. Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
9. Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan
oksigen
Terapeutik

1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung, dan trakea, jika perlu


2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
4. Berikan oksigen tambahan, jika perlu
5. Tetap berikan oksigen saat pasien di transportasi
6. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan tingkat
mobilitas pasien
Edukasi
1. Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen
dirumah
Kolaborasi

1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen


2. Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan/atau tidur
Pola napas tidak efektif adalah adalah inspirasi
dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi
adekuat.

Diagnosis ini diberi kode D.0005, masuk dalam kategori


fisiologis, subkategori respirasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan pola


napas tidak efektif secara komprehensif, namun dengan
Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari tanda dan gejala yang harus muncul


untuk dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara
menulis diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi
utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:

 Tanda dan Gejala


 Penyebab (Etiologi)
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Manajemen Jalan Napas (I.01011)
o Pemantauan Respirasi (I.01014)
 Diagnosis Terkait
 Referensi
Tanda dan Gejala
Untuk dapat mengangkat diagnosis pola napas tidak efektif,
Perawat harus memastikan bahwa minimal 80% dari tanda
dan gejala dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

DS:

Mengeluh sesak (dispnea)

DO:

1. Penggunaan otot bantu pernapasan


2. Fase ekspirasi memanjang
3. Pola napas abnormal (mis. takipnea, bradipnea,
hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes)
4. Adanya bunyi napas tambahan (mis. wheezing, rales)
Bila data diatas tidak muncul, atau yang muncul hanya satu
atau dua saja (kurang dari 80%), maka Perawat harus
mempertimbangkan adanya masalah lain, misalnya “gangguan
ventilasi spontan” atau “gangguan pertukaran gas,” yang
sama-sama masalah keperawatan pada sub
kategori respirasi dalam SDKI.

Penyebab (Etiologi)
Penyebab (etiologi) dalam diagnosis keperawatan adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.

Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi


bagian “berhubungan dengan ….” pada struktur diagnosis
keperawatan.

Penyebab (etiologi) untuk masalah pola napas tidak efektif


adalah:

1. Depresi pusat pernapasan


2. Hambatan upaya napas (mis. nyeri saat bernapas, kelemahan
otot pernapasan)
3. Deformitas dinding dada
4. Deformitas tulang dada
5. Gangguan neuromuskular
6. Gangguan neurologis (mis. elektroensefalogram [EEG] positif,
cidera kepala, gangguan kejang)
7. Imaturitas neurologis
8. Penurunan energi
9. Obesitas
10. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
11. Sindrom hipoventilasi
12. Kerusakan inervasi diafragma (kerusakan saraf C5
keatas)
13. Cidera pada medula spinalis
14. Efek agen farmakologis
15. Kecemasan

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan aktual, yang
berarti penulisannya menggunakan metode tiga bagian, yaitu:

[masalah] + [penyebab] + [tanda/gejala].

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Pola napas tidak efektif berhubungan dengan deformitas


dinding dada dibuktikan dengan sesak napas, penggunaan
otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang, takipnea.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Pola napas tidak efektif b.d deformitas dinding


dada d.d sesak napas, penggunaan otot bantu pernapasan,
fase ekspirasi memanjang, takipnea.

Perhatikan:

1. Masalah = Pola napas tidak efektif


2. Penyebab = deformitas dinding dada
3. Tanda/gejala = sesak napas, dst.
4. b.d = berhubungan dengan
5. d.d = dibuktikan dengan
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”
Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis pola napas tidak efektif adalah: “pola
napas membaik.”

Pola napas membaik diberi kode L.01004 dalam SLKI.

Pola napas membaik berarti inspirasi dan/atau


ekspirasi telah memberikan ventilasi adekuat
Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa pola napas membaik
adalah:

1. Dispnea menurun
2. Penggunaan otot bantu napas menurun
3. Pemanjangan fase ekspirasi menurun
4. Frekuensi napas membaik
5. Kedalaman napas membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka pola napas membaik, dengan kriteria hasil:

1. Dispnea menurun
2. Penggunaan otot bantu napas menurun
3. Pemanjangan fase ekspirasi menurun
4. Frekuensi napas membaik
5. Kedalaman napas membaik
Perhatikan:

1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x


24 jam, maka pola napas
2. Ekspektasi = Membaik
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis pola napas tidak efektif
adalah:

1. Manajemen jalan napas


2. Pemantauan respirasi

Manajemen Jalan Napas (I.01011)


Intervensi manajemen jalan napas dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01011).

Manajemen jalan napas adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola kepatenan
jalan napas.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen jalan


napas berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)


2. Monitor bunyi napas tambahan (misalnya: gurgling, mengi,
wheezing, ronchi kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik

1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan


chin-lift (jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal)
2. Posisikan semi-fowler atau fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
8. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi

1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada


kontraindikasi
2. Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,


jika perlu.

Pemantauan Respirasi (I.01014)


Intervensi pemantauan respirasi dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01014).

Pemantauan respirasi adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengumpulkan dan menganalisis data untuk
memastikan kepatenan jalan napas dan keefektifan pertukaran
gas.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pemantauan respirasi


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas


2. Monitor pola napas (seperti bradypnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik)
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai analisa gas darah
10. Monitor hasil x-ray thoraks
Terapeutik

1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien


2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu.
Risiko aspirasi adalah adalah risiko mengalami masuknya
sekresi gastrointestinal, sekresi orofaring, benda cair atau
padat ke dalam saluran trakeobronkhial akibat disfungsi
mekanisme protektif saluran napas

Diagnosis ini diberi kode D.0006, masuk dalam kategori


fisiologis, subkategori respirasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI), dan merupakan satu-satunya
diagnosis risiko pada subkategori respirasi.

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


risiko aspirasi secara komprehensif, namun dengan Bahasa
sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari faktor risiko yang harus muncul untuk


dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara menulis
diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:

 Faktor Risiko
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Manajemen Jalan Napas (I.01011)
o Pencegahan Aspirasi (I.01018)
 Diagnosis Terkait
 Referensi
Faktor Risiko
Untuk dapat mengangkat diagnosis risiko aspirasi, Perawat
harus memastikan bahwa salah satu dari risiko dibawah ini
muncul pada pasien, yaitu:

1. Penurunan tingkat kesadaran


2. Penurunan refleks muntah dan/atau batuk
3. Gangguan menelan
4. Disfagia
5. Kerusakan mobilitas fisik
6. Peningkatan residu lambung
7. Peningkatan tekanan intragastrik
8. Penurunan motilitas gastrointestinal
9. Sfingter esofagus bawah inkompeten
10. Perlambatan pengosongan lambung
11. Terpasang selang nasogastrik
12. Terpasang trakeostomi atau ETT
13. Trauma/pembedahan leher, mulut, dan/atau wajah
14. Efek agen farmakologis
15. Ketidakmatangan koordinasi menghisap, menelan, dan
bernapas.

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan risiko, yang
berarti penulisannya menggunakan metode dua bagian, yaitu:

[masalah] + [faktor risiko]

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Risiko aspirasi dibuktikan dengan gangguan menelan.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Risiko aspirasi d.d gangguan menelan.

Perhatikan:

1. Masalah = Risiko aspirasi


2. Faktor risiko = Gangguan menelan
3. d.d = dibuktikan dengan
4. Diagnosis risiko tidak menggunakan berhubungan dengan
(b.d) karena tidak memiliki etiologi.
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis Risiko aspirasi adalah: “tingkat
aspirasi menurun.”

Tingkat aspirasi menurun diberi kode L.01006 dalam SLKI.

Tingkat aspirasi menurun berarti ada penurunan masuknya


partikel cair atau padat ke dalam paru-paru.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa tingkat aspirasi


menurun adalah:

1. Tingkat kesadaran meningkat


2. Kemampuan menelan meningkat
3. Dispnea menurun
4. Kelemahan otot menurun
5. Akumulasi sekret menurun
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka tingkat aspirasi menurun, dengan kriteria hasil:

1. Tingkat kesadaran meningkat


2. Kemampuan menelan meningkat
3. Dispnea menurun
4. Kelemahan otot menurun
5. Akumulasi sekret menurun
Perhatikan:
1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x
24 jam, maka tingkat aspirasi
2. Ekspektasi = menurun
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis risiko aspirasi adalah:

1. Manajemen jalan napas


2. Pencegahan respirasi

Manajemen Jalan Napas (I.01011)


Intervensi manajemen jalan napas dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01011).

Manajemen jalan napas adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola kepatenan
jalan napas.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen jalan


napas berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi
1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan (misalnya: gurgling, mengi,
wheezing, ronchi kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik

1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan


chin-lift (jaw thrust jika curiga trauma fraktur servikal)
2. Posisikan semi-fowler atau fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
8. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi

1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak ada


kontraindikasi
2. Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi

1. Kolaborasi
pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu.

Pencegahan Aspirasi (I.01018)


Intervensi pencegahan aspirasi dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01018).

Pencegahan aspirasi adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan mengurangi risiko
masuknya partikel makanan/cairan ke dalam paru-paru.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pencegahan aspirasi


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi
1. Monitor tingkat kesadaran, batuk, muntah, dan kemampuan
menelan
2. Monitor status pernapasan
3. Monitor bunyi napas, terutama setelah makan/minum
4. Periksa residu gaster sebelum memberi asupan oral
5. Periksa kepatenan selang nasogastric sebelum memberi
asupan oral
Terapeutik

1. Posisikan semi fowler (30 – 45 derajat) 30 menit sebelum


memberi asupan oral
2. Pertahankan posisi semi fowler (30 – 45 derajat) pada pasien
tidak sadar
3. Pertahankan kepatenan jalan napas (mis. Teknik head-tilt
chin-lift, jaw thrust, in line)
4. Pertahankan pengembangan balon endotracheal tube (ETT)
5. Lakukan penghisapan jalan napas, jika produksi sekret
meningkat
6. Sediakan suction di ruangan
7. Hindari memberi makan melalui selang gastrointestinal, jika
residu banyak
8. Berikan makanan dengan ukuran kecil dan lunak
9. Berikan obat oral dalam bentuk cair
Edukasi

1. Ajarkan makan secara perlahan


2. Ajarkan strategi mencegah aspirasi
3. Ajarkan teknik mengunyah atau menelan, jika perlu
Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, jika perlu


SIRKULASI

Gangguan sirkulasi spontan adalah


ketidakmampuan untuk mempertahankan sirkulasi
yang adekuat untuk menunjang kehidupan .
Diagnosis ini diberi kode D.0007, masuk dalam kategori
fisiologis, subkategori sirkulasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


gangguan sirkulasi spontan secara komprehensif, namun
dengan Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari tanda dan gejala yang harus muncul


untuk dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara
menulis diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi
utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:

 Tanda dan Gejala


 Penyebab (Etiologi)
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Manajemen Defibrilasi (I.02038)
o Resusitasi Cairan (I.03139)
o Resusitasi Jantung Paru (I.02083)
 Diagnosis Terkait
 Referensi

Tanda dan Gejala


Untuk dapat mengangkat diagnosis gangguan sirkulasi
spontan, Perawat harus memastikan bahwa minimal 80% dari
tanda dan gejala dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

DS:

Tidak berespon (unrespon)

DO:

1. Frekuensi nadi < 50 kali/menit atau > 150 kali/menit


2. Tekanan darah sistolik < 60 mmHg atau > 200 mmHg
3. Frekuensi napas < 6 kali/menit atau > 30 kali/menit
4. Kesadaran menurun atau tidak sadar
Bila data diatas tidak muncul, atau yang muncul hanya satu
atau dua saja (kurang dari 80%), maka Perawat harus
mempertimbangkan adanya masalah lain, misalnya “penurunan
curah jantung” atau “perfusi perifer tidak efektif” yang sama-
sama masalah keperawatan pada sub
kategori sirkulasi dalam SDKI.

Penyebab (Etiologi)
Penyebab (etiologi) dalam diagnosis keperawatan adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.

Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi


bagian “berhubungan dengan ….” pada struktur diagnosis
keperawatan.

Penyebab (etiologi) untuk masalah gangguan sirkulasi spontan


adalah:
1. Abnormalitas kelistrikan jantung
2. Abnormalitas struktur jantung
3. Penurunan fungsi ventrikel

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan aktual, yang
berarti penulisannya menggunakan metode tiga bagian, yaitu:

[masalah] + [penyebab] + [tanda/gejala].

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Gangguan sirkulasi spontan berhubungan


dengan abnormalitas kelistrikan jantung dibuktikan
dengan tidak ada respon, frekuensi nadi tidak ada, frekuensi
napas tidak ada, pasien tidak sadar.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Gangguan sirkulasi spontan b.d abnormalitas kelistrikan


jantung d.d tidak ada respon, frekuensi nadi tidak ada,
frekuensi napas tidak ada, pasien tidak sadar.

Perhatikan:

1. Masalah = Gangguan sirkulasi spontan


2. Penyebab = Abnormalitas kelistikan jantung
3. Tanda/gejala = Tidak ada respon, dst.
4. b.d = berhubungan dengan
5. d.d = dibuktikan dengan
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis gangguan sirkulasi spontan
adalah: “sirkulasi spontan meningkat.”

Sirkulasi spontan meningkat diberi kode L.02015 dalam SLKI.


Sirkulasi spontan meningkat berarti kemampuan pasien untuk
mempertahankan sirkulasi yang adekuat untuk menunjang
kehidupan meningkat.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa sirkulasi spontan


meningkat adalah:

1. Tingkat kesadaran meningkat


2. Frekuensi nadi membaik
3. Tekanan darah membaik
4. Frekuensi napas membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam,


maka sirkulasi spontan meningkat, dengan kriteria hasil:

1. Tingkat kesadaran meningkat


2. Frekuensi nadi membaik
3. Frekuensi napas membaik
Perhatikan:

1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x


24 jam, maka sirkulasi spontan
2. Ekspektasi = Meningkat
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.
Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,
maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis gangguan sirkulasi spontan
adalah:

1. Manajemen defibrilasi
2. Resusitasi cairan
3. Resusitasi jantung paru

Manajemen Defibrilasi (I.02038)


Intervensi manajemen defibrilasi dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02085).

Manajemen defibrilasi adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola aliran listrik
kuat dengan metode asinkron ke jantung melalui elektroda
yang ditempatkan pada permukaan dada

Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen


defibrilasi berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Periksa irama pada monitor setelah RJP 2 menit


Terapeutik

 Lakukan resusitasi jantung paru (RJP) hingga mesin


defibrillator siap
 Siapkan dan hidupkan mesin defibrillator
 Pasang monitor EKG
 Pastikan irama EKG henti jantung (VF atau VT tanpa nadi)
 Atur jumlah energi dengan metode asynchronized (360 joule
untuk monofasik dan 120-200 joule untuk bifasik)
 Angkat paddle dari mesin dan oleskan jeli pada paddle
 Tempelkan paddle sternum (kanan) pada sisi kanan sternum
di bawah klavikula dan paddle apeks (kiri) pada garis
midaksilaris setinggi elektroda V6
 Isi energi dengan menekan tombol charge pada paddle atau
tombol charge pada mesin defibrillator dan menunggu hingga
energi yang diinginkan tercapai
 Hentikan RJP saat defibrillator siap
 Teriak bahwa defibrillator telah siap (misal: “I’m clear, you’re
clear, everybody’s clear”)
 Berikan syok dengan menekan tombol pada kedua paddle
bersamaan
 Angkat paddle dan langsung lanjutkan RJP tanpa menunggu
hasil irama yang muncul pada monitor setelah pemberian
defibrilasi
 Lanjutkan RJP sampai 2 menit

Resusitasi Cairan (I.03139)


Intervensi resusitasi cairan dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.03139).

Resusitasi cairan adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk memberikan cairan intra vena dengan cepat
sesuai indikasi.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi resusitasi cairan


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi kelas syok untuk estimasi kehilangan darah


 Monitor status hemodinamik
 Monitor status oksigen
 Monitor kelebihan cairan
 Monitor output cairan tubuh (mis. Urin, cairan nasogastric,
cairan selang dada)
 Monitor nilai BUN, kreatinin, protein total, dan albumin, jika
perlu
 Monitor tanda dan gejala edema paru
Terapeutik
 Pasang jalur IV berukuran besar (mis. nomor 14 atau 16)
 Berikan infus cairan kristaloid 1-2 L pada dewasa
 Berikan infus cairan kristaloid 20 mL/KgBB pada anak
 Lakukan cross matching produk darah
Kolaborasi

 Kolaborasi penentuan jenis dan jumlah cairan (mis:


kristaloid, koloid)
 Kolaborasi pemberian produk darah

Resusitasi Jantung Paru (I.02083)


Intervensi resusitasi jantung paru dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02083).

Resusitasi jantung paru adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk memberikan pertolongan pertama pada kondisi
henti napas dan henti jantung dengan teknik kombinasi
kompresi pada dada dan bantuan napas.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi resusitasi jantung


paru berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi keamanan penolong, lingkungan dan pasien


 Identifikasi respon pasien (mis: memanggil pasien, menepuk
bahu pasien)
 Monitor nadi karotis dan napas setiap 2 menit atau 5 siklus
RJP
Terapeutik

 Pakai alat pelindung diri


 Aktifkan emergency medical system atau berteriak minta
tolong
 Posisikan pasien telentang di tempat datar dan keras
 Atur posisi penolong berlutut disamping pasien
 Raba nadi karotis dalam waktu < 10 detik
 Berikan rescue breathing jika ditemukan ada nadi tetapi
tidak ada napas
 Kompresi dada 30 kali dikombinasikan dengan bantuan
napas (ventilasi) 2 kali jika ditemukan tidak ada nadi dan
tidak ada napas.
 Kompresi dengan tumit telapak tangan menumpuk di atas
telapak tangan yang lain tegak lurus pada pertengahan dada
(seperdua bawah sternum)
 Kompresi dengan kedalaman kompresi 5-6 cm dengan
kecepatan 100-120 kali per menit
 Bersihkan dan buka jalan napas dengan head-tilt chin-
lift atau jaw thrust (jika curiga cedera servikal)
 Berikan bantuan napas dengan menggunakan bag valve
mask dengan Teknik EC-Clamp
 Kombinasikan kompresi dan ventilasi selama 2 menit atau
sebanyak 5 siklus
 Hentikan RJP jika ditemukan ada tanda-tanda kehidupan,
penolong yang lebih mahir datang, ditemukan adanya tanda-
tanda kematian biologis, do not resuscitation (DNR).
Edukasi

 Jelaskan tujuan dan prosedur Tindakan kepada keluarga


atau pengantar pasien
Kolaborasi

 Kolaborasi tim medis untuk bantuan hidup lanjut.


Penurunan curah jantung adalah ketidakmampuan
jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh.
Diagnosis ini diberi kode D.0008, masuk dalam kategori
fisiologis, subkategori sirkulasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


penurunan curah jantung secara komprehensif, namun dengan
Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari tanda dan gejala yang harus muncul


untuk dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara
menulis diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi
utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:
 Penyebab (Etiologi)
o Perubahan irama jantung
o Perubahan Preload
o Perubahan Afterload
o Perubahan Kontraktilitas
 Tanda dan Gejala
o Tanda dan Gejala Perubahan Irama Jantung
o Tanda dan Gejala Perubahan Preload
o Tanda dan Gejala Perubahan Afterload
o Tanda dan Gejala Penurunan Kontraktilitas
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Perawatan Jantung (I.02075)
o Perawatan Jantung Akut (I.02076)
 Diagnosis Terkait
 Referensi

Penyebab (Etiologi)
Penyebab (etiologi) dalam diagnosis keperawatan adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.

Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi


bagian “berhubungan dengan ….” pada struktur diagnosis
keperawatan.

Penyebab (etiologi) untuk masalah penurunan curah jantung


adalah:

1. Perubahan irama jantung


2. Perubahan preload
3. Perubahan afterload
4. Perubahan kontraktilitas

Perubahan irama jantung


Irama jantung normal atau disebut irama sinus (sinus rhythm)
adalah irama jantung yang regular secara memiliki kecepatan
antara 60 sampai 100 denyut per menit saat beristirahat.
Perubahan irama jantung berarti irama jantung menjadi lebih
cepat (sinus takikardia) atau menjadi lebih lambat (sinus
bradikardia).

Perubahan Preload
Preload, atau disebut juga dengan tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri (left ventricular end-diastolic pressure/LVEDP),
adalah jumlah peregangan ventrikel pada akhir diastol.

Adanya perubahan preload berarti ventrikel kiri tidak adekuat


mengisi sehigga mengakibatkan darah kembali ke vena cava.

Perubahan Afterload
Afterload, atau disebut juga dengan resistensi vaskular
sistemik (systemic vascular resistance/SVR), adalah jumlah
resistensi yang harus diatasi jantung untuk membuka katup
aorta dan mendorong volume darah keluar ke sirkulasi
sistemik.

Perubahan afterload berarti darah yang dipompa ke seluruh


tubuh menjadi tidak efektif, sehingga mengakibatkan jaringan
tubuh kekurangan oksigen.

Perubahan Kontraktilitas
Kontraktilitas adalah kemampuan intrinsik otot jantung untuk
menghasilkan tenaga dan berkontraksi tanpa tergantung
kepada preload maupun after load.

Adanya perubahan kontraktilitas berarti jantung tidak mampu


memompa sebagaimana mestinya yang menyebabkan
terjadinya penurunan jumlah darah yang dipompa oleh
ventrikel kiri.

Tanda dan Gejala


Untuk dapat mengangkat diagnosis penurunan curah jantung,
sebelumnya Perawat harus menentukan apakah masalahnya
diakibatkan oleh perubahan irama jantung, perubahan preload,
perubahan afterload, atau perubahan kontraktilitas.
Menentukan penyebab munculnya masalah ini sangat penting
karena tanda dan gejala yang muncul berbeda-beda.

Tanda dan Gejala Perubahan Irama Jantung


DS:

Palpitasi (dada terasa berdebar kencang)

DO:

1. Bradikardia/takikardia
2. Gambaran EKG Aritmia atau gangguan konduksi

Tanda dan Gejala Perubahan Preload


DS:

Lelah

DO:

1. Edema
2. Distensi vena jugularis
3. Central venous pressure (CVP) meningkat/menurun
4. Hepatomegali

Tanda dan Gejala Perubahan Afterload


DS:

Dispnea (sesak napas)

DO:

1. Tekanan darah meningkat/menurun


2. Nadi perifer teraba lemah
3. Capillary refill time (CRT) > 3 detik
4. Oliguria
5. Warna kulit pucat dan/atau sianosis

Tanda dan Gejala Penurunan Kontraktilitas


DS:
1. Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)
2. Ortopnea
3. Batuk
DO:

1. Terdengar suara jantung S3 dan/atau S4


2. Ejection fraction (EF) menurun
Bila data diatas tidak muncul, atau yang muncul hanya satu
atau dua saja (kurang dari 80%), maka Perawat harus
mempertimbangkan adanya masalah lain, misalnya “gangguan
sirkulasi spontan” atau “perfusi perifer tidak efektif” yang
sama-sama masalah keperawatan pada sub
kategori sirkulasi dalam SDKI.

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan aktual, yang
berarti penulisannya menggunakan metode tiga bagian, yaitu:

[masalah] + [penyebab] + [tanda/gejala].

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan


irama jantung dibuktikan dengan dada berdebar, takikardia,
dan aritmia.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Penurunan curah jantung b.d perubahan irama


jantung d.d dada berdebar, takikardia, dan aritmia.

Perhatikan:

1. Masalah = Penurunan curah jantung


2. Penyebab = Perubahan irama jantung
3. Tanda/gejala = Dada berdebar, dst.
4. b.d = berhubungan dengan
5. d.d = dibuktikan dengan
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis penurunan curah jantung
adalah: “curah jantung meningkat.”

Curah jantung meningkat diberi kode L.02008 dalam SLKI.

Curah jantung meningkat berarti keadekuatan jantung


memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jantung meningkat.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa curah jantung


meningkat adalah:

1. Kekuatan nadi perifer meningkat


2. Ejection fraction (EF) meningkat
3. Palpitasi menurun
4. Bradikardia menurun
5. Takikardia menurun
6. Gambaran EKG Aritmia menurun
7. Lelah menurun
8. Edema menurun
9. Distensi vena jugularis menurun
10. Dispnea menurun
11. Oliguria menurun
12. Pucat/sianosis menurun
13. Paroximal nocturnal dyspnea (PND) menurun
14. Ortopnea menurun
15. Batuk menurun
16. Suara jantung S3 menurun
17. Suara jantung S4 menurun
18. Tekanan darah membaik
19. Pengisian kapiler membaik
Kriteria hasil diatas dipilih sesuai dengan tanda dan gejala
yang muncul sesuai penyebab (etiologi) dari penurunan curah
jantung yang ditemukan.
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka curah jantung meningkat, dengan kriteria hasil:

1. Palpitasi menurun
2. Takikardia menurun
3. Gambaran EKG aritmia menurun
Perhatikan:

1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x


24 jam, maka curah jantung
2. Ekspektasi = Meningkat
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis penurunan curah jantung
adalah:
1. Perawatan jantung
2. Perawatan jantung akut

Perawatan Jantung (I.02075)


Intervensi perawatan jantung dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02075).

Perawatan jantung adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi, merawat, dan membatasi
komplikasi akibat ketidakseimbangan antara suplai dan
konsumsi oksigen miokard.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi perawatan jantung


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung


(meliputi: dispnea, kelelahan, edema, ortopnea, PND,
peningkatan CVP).
 Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung
(meliputi: peningkatan berat badan, hepatomegaly, distensi
vena jugularis, palpitasi, ronkhi basah, oliguria, batuk, kulit
pucat)
 Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik,
jika perlu)
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor keluhan nyeri dada (mis: intensitas, lokasi, radiasi,
durasi, presipitasi yang mengurangi nyeri)
 Monitor EKG 12 sadapan
 Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
 Monitor nilai laboratorium jantung (mis: elektrolit, enzim
jantung, BNP, NTpro-BNP)
 Monitor fungsi alat pacu jantung
 Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan
sesudah aktivitas
 Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum
pemberian obat (mis: beta blocker, ACE Inhibitor, calcium
channel blocker, digoksin)
Terapeutik

 Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki ke


bawah atau posisi nyaman
 Berikan diet jantung yang sesuai (mis: batasi asupan kafein,
natrium, kolesterol, dan makanan tinggi lemak)
 Gunakan stocking elastis atau pneumatik intermitten, sesuai
indikasi
 Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya hidup
sehat
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stress, jika perlu
 Berikan dukungan emosional dan spiritual
 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >
94%
Edukasi

 Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi


 Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
 Anjurkan berhenti merokok
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output
cairan harian
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu


 Rujuk ke program rehabilitasi jantung

Perawatan Jantung Akut (I.02076)


Intervensi perawatan jantung akut dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02076).

Perawatan jantung akut adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi, dan mengelola pasien yang
baru mengalami episode ketidakseimbangan antara
ketersedian dan kebutuhan oksigen miokard.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi perawatan jantung


akut berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi
 Identifikasi karakteristik nyeri dada (meliputi faktor pemicu
dan Pereda, kualitas, lokasi, radiasi, skala, durasi, dan
frekuensi)
 Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
 Monitor EKG 12 sadapan untuk perubahan ST dan T
 Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan risiko aritmia
(mis: kalium, magnesium serum)
 Monitor enzim jantung (mis: CK, CK-MB, Troponin T, Troponin
I)
 Monitor saturasi oksigen
 Identifikasi stratifikasi pada sindrom koroner akut (mis: skor
TIMI, Killip, Crusade)
Terapeutik

 Pertahankan tirah baring minimal 12 jam


 Pasang akses intravena
 Puasakan hingga bebas nyeri
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi ansietas dan
stress
 Sediakan lingkungan yang kondusif untuk beristirahat dan
pemulihan
 Siapkan menjalani intervensi koroner perkutan, jika perlu
 Berikan dukungan emosional dan spiritual
Edukasi

 Anjurkan segera melaporkan nyeri dada


 Anjurkan menghindari manuver Valsava (mis: mengedan saat
BAB atau batuk)
 Jelaskan Tindakan yang dijalani pasien
 Ajarkan Teknik menurunkan kecemasan dan ketakutan
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian antiplatelet, jika perlu


 Kolaborasi pemberian antianginal (mis: nitrogliserin, beta
blocker, calcium channel blocker)
 Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
 Kolaborasi pemberian inotropic, jika perlu
 Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah manuver
Valsava (mis: pelunak tinja, antiemetik)
 Kolaborasi pencegahan trombus dengan antikoagulan, jika
perlu
 Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada, jika perlu
Perfusi perifer tidak efektif adalah penurunan
sirkulasi darah pada level kapiler yang dapat
mengganggu metabolisme tubuh.
Diagnosis ini diberi kode D.0009, masuk dalam kategori
fisiologis, subkategori sirkulasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


perfusi perifer tidak efektif secara komprehensif, namun
dengan Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari tanda dan gejala yang harus muncul


untuk dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara
menulis diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi
utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:

 Penyebab (Etiologi)
 Tanda dan Gejala
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Perawatan Sirkulasi (I.02079)
o Manajemen Sensasi Perifer (I.06195)
 Diagnosis Terkait
Penyebab (Etiologi)
Penyebab (etiologi) dalam diagnosis keperawatan adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status kesehatan.

Penyebab inilah yang digunakan oleh Perawat untuk mengisi


bagian “berhubungan dengan ….” pada struktur diagnosis
keperawatan.

Penyebab (etiologi) untuk masalah perfusi perifer tidak efektif


adalah:

1. Hiperglikemia
2. Penurunan konsentrasi hemoglobin
3. Peningkatan tekanan darah
4. Kekurangan volume cairan
5. Penurunan aliran arteri dan/atau vena
6. Kurang terpapar informasi tentang faktor pemberat (mis.
merokok, gaya hidup monoton, trauma, obesitas, asupan
garam, imobilitas)
7. Kurang terpapar informasi tentang proses penyakit (mis.
diabetes melitus, hiperlipidemia)
8. Kurang aktivitas fisik

Tanda dan Gejala


Untuk dapat mengangkat diagnosis perfusi perifer tidak
efektif, Perawat harus memastikan bahwa minimal 80% dari
tanda dan gejala dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

DS:

Tidak ada

DO:

1. Pengisian kapiler (cappilary refill) >3 detik


2. Nadi perifer menurun atau tidak teraba
3. Akral teraba dingin
4. Warna kulit pucat
5. Turgor kulit menurun
Bila data diatas tidak muncul, atau yang muncul hanya satu
atau dua saja (kurang dari 80%), maka Perawat harus
mempertimbangkan adanya masalah lain, misalnya “gangguan
sirkulasi spontan” atau “risiko perfusi perifer tidak efektif”
yang sama-sama masalah keperawatan pada sub
kategori sirkulasi dalam SDKI.

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan aktual, yang
berarti penulisannya menggunakan metode tiga bagian, yaitu:

[masalah] + [penyebab] + [tanda/gejala].

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan


aliran arteri dibuktikan dengan pengisian kapiler 5 detik,
akral dingin, kulit pucat, turgor kulit menurun.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan aliran


arteri d.d pengisian kapiler 5 detik, akral dingin, kulit pucat,
turgor kulit menurun.

Perhatikan:

1. Masalah = Perfusi perifer tidak efektif


2. Penyebab = Penurunan aliran arteri
3. Tanda/gejala = Pengisian kapiler 5 detik, dst.
4. b.d = berhubungan dengan
5. d.d = dibuktikan dengan
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis perfusi perifer tidak efektif
adalah: “perfusi perifer meningkat.”
Perfusi perifer meningkat diberi kode L.02011 dalam SLKI.

Perfusi perifer meningkat berarti keadekuatan aliran darah


pembuluh darah distal untuk menunjang fungsi jaringan
meningkat.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa perfusi perifer


meningkat adalah:

1. Kekuatan nadi perifer meningkat


2. Warna kulit pucat menurun
3. Pengisian kapiler membaik
4. Akral membaik
5. Turgor kulit membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam,


maka perfusi perifer meningkat, dengan kriteria hasil:

1. Pengisian kapiler membaik


2. Akral membaik
3. Warna kulit pucat menurun
4. Turgor kulit membaik
Perhatikan:

1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x


24 jam, maka perfusi perifer
2. Ekspektasi = Meningkat
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis penurunan curah jantung
adalah:

1. Perawatan sirkulasi
2. Manajemen sensasi perifer

Perawatan Sirkulasi (I.02079)


Intervensi perawatan sirkulasi dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02079).

Perawatan sirkulasi adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan merawat area lokal
dengan keterbatasan sirkulasi perifer.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi perawatan sirkulasi


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Periksa sirkulasi perifer (mis: nadi perifer, edema, pengisian


kapiler, warna, suhu, ankle-brachial index)
 Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi (mis: diabetes,
perokok, orang tua, hipertensi, dan kadar kolesterol tinggi)
 Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada
ekstremitas
Terapeutik
 Hindari pemasangan infus, atau pengambilan darah di area
keterbatasan perfusi
 Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi
 Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada area
yang cidera
 Lakukan pencegahan infeksi
 Lakukan perawatan kaki dan kuku
 Lakukan hidrasi
Edukasi

 Anjurkan berhenti merokok


 Anjurkan berolahraga rutin
 Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit
terbakar
 Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah,
antikoagulan, dan penurun kolesterol, jika perlu
 Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara
teratur
 Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta
 Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat (mis:
melembabkan kulit kering pada kaki)
 Anjurkan program rehabilitasi vaskular
 Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi (mis:
rendah lemak jenuh, minyak ikan omega 3)
 Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan
(mis: rasa sakit yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya rasa).

Manajemen Sensasi Perifer (I.06195)


Intervensi manajemen sensasi perifer dalam Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.06195).

Manajemen sensasi perifer adalah intervensi yang dilakukan


oleh perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola
ketidaknyamanan pada perubahan sensasi perifer.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen sensasi


perifer berdasarkan SIKI, antara lain:
Observasi

 Identifikasi penyebab perubahan sensasi


 Identifikasi penggunaan alat pengikat, prosthesis, sepatu,
dan pakaian
 Periksa perbedaan sensasi tajam atau tumpul
 Periksa perbedaan sensasi panas atau dingin
 Periksa kemampuan mengidentifikasi lokasi dan tekstur
benda
 Monitor terjadinya parestesia, jika perlu
 Monitor perubahan kulit
 Monitor adanya tromboplebitis dan tromboemboli vena
Terapeutik

 Hindai pemakaian benda-benda yang berlebihan suhunya


(terlalu panas atau dingin)
Edukasi

 Anjurkan penggunaan thermometer untuk menguji suhu air


 Anjurkan penggunaan sarung tangan termal saat memasak
 Anjurkan memakai sepatu lembut dan bertumit rendah
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu


 Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika perlu
Risiko gangguan sirkulasi spontan didefinisikan
sebagai risiko mengalami ketidakmampuan untuk
mempertahankan sirkulasi yang adekuat untuk
menunjang kehidupan.
Diagnosis ini diberi kode D.0010, masuk dalam kategori
fisiologis, subkategori sirkulasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


risiko gangguan sirkulasi spontan secara komprehensif, namun
dengan Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari faktor risiko yang harus muncul untuk


dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara menulis
diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:

 Faktor Risiko
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Perawatan Jantung Akut (I.02076)
o Pertolongan Pertama (I.02080)
 Diagnosis Terkait
 Referensi

Faktor Risiko
Untuk dapat mengangkat diagnosis risiko gangguan sirkulasi
spontan, Perawat harus memastikan bahwa salah satu dari
risiko dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

1. Kekurangan volume cairan


2. Hipoksia
3. Hipotermia
4. Hipokalemia/Hiperkalemia
5. Hipoglikemia / Hiperglikemia
6. Asidosis
7. Toksin (mis. keracunan, overdosis obat)
8. Tamponade Jantung
9. Tension Pneumothorax
10. Trombosis Jantung
11. Trombosis Paru (Emboli Paru)

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan risiko, yang
berarti penulisannya menggunakan metode dua bagian, yaitu:

[masalah] + [faktor risiko]

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Risiko gangguan sirkulasi spontan dibuktikan dengan tension


pneumothorax.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Risiko gangguan sirkulasi spontan d.d tension pneumothorax.

Perhatikan:

1. Masalah = Risiko gangguan sirkulasi spontan


2. Faktor risiko = Tension pneumothorax
3. d.d = dibuktikan dengan
4. Diagnosis risiko tidak menggunakan berhubungan dengan
(b.d) karena tidak memiliki etiologi.
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis risiko gangguan sirkulasi spontan
adalah: “sirkulasi spontan meningkat.”

Sirkulasi spontan meningkat diberi kode L.02015 dalam SLKI.

Sirkulasi spontan meningkat berarti kemampuan untuk


mempertahankan sirkulasi yang adekuat untuk menunjang
kehidupan meningkat.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa sirkulasi spontan


meningkat adalah:

1. Tingkat kesadaran meningkat


2. Saturasi oksigen meningkat
3. Gambaran EKG aritmia menurun
4. Frekuensi nadi membaik
5. Tekanan darah membaik
6. Frekuensi napas membaik
7. Suhu tubuh membaik
8. ETCO2 membaik
9. Produksi urin membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka sirkulasi spontan meningkat, dengan kriteria hasil:

1. Tingkat kesadaran meningkat


2. Frekuensi nadi membaik
3. Tekanan darah membaik
4. Frekuensi napas membaik
Perhatikan:

1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x


24 jam, maka sirkulasi spontan
2. Ekspektasi = Meningkat
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis risiko aspirasi adalah:

1. Perawatan jantung akut


2. Pertolongan pertama

Perawatan Jantung Akut (I.02076)


Intervensi perawatan jantung akut dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02076).

Perawatan jantung akut adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi, dan mengelola pasien yang
baru mengalami episode ketidakseimbangan antara
ketersedian dan kebutuhan oksigen miokard.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi perawatan jantung


akut berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi karakteristik nyeri dada (meliputi faktor pemicu


dan Pereda, kualitas, lokasi, radiasi, skala, durasi, dan
frekuensi)
 Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
 Monitor EKG 12 sadapan untuk perubahan ST dan T
 Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan risiko aritmia
(mis: kalium, magnesium serum)
 Monitor enzim jantung (mis: CK, CK-MB, Troponin T, Troponin
I)
 Monitor saturasi oksigen
 Identifikasi stratifikasi pada sindrom koroner akut (mis: skor
TIMI, Killip, Crusade)
Terapeutik

 Pertahankan tirah baring minimal 12 jam


 Pasang akses intravena
 Puasakan hingga bebas nyeri
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi ansietas dan
stress
 Sediakan lingkungan yang kondusif untuk beristirahat dan
pemulihan
 Siapkan menjalani intervensi koroner perkutan, jika perlu
 Berikan dukungan emosional dan spiritual
Edukasi

 Anjurkan segera melaporkan nyeri dada


 Anjurkan menghindari manuver Valsava (mis: mengedan saat
BAB atau batuk)
 Jelaskan Tindakan yang dijalani pasien
 Ajarkan Teknik menurunkan kecemasan dan ketakutan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian antiplatelet, jika perlu
 Kolaborasi pemberian antianginal (mis: nitrogliserin, beta
blocker, calcium channel blocker)
 Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
 Kolaborasi pemberian inotropic, jika perlu
 Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah manuver
Valsava (mis: pelunak tinja, antiemetik)
 Kolaborasi pencegahan trombus dengan antikoagulan, jika
perlu
 Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada, jika perlu

Pertolongan Pertama (I.02080)


Intervensi pertolongan pertama dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02080).

Pertolongan pertama adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk memberikan penanganan dasar dan segera
pada kondisi kegawatdaruratan baik dengan alat maupun
tanpa alat.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pertolongan pertama


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi keamanan penolong, pasien dan lingkungan


 Identifikasi respon pasien dengan AVPU (alert, verbal, pain,
unresponsive)
 Monitor tanda-tanda vital
 Monitor karakteristik luka (mis: drainase, warna, ukuran,
bau)
Terapeutik

 Meminta pertolongan, jika perlu


 Lakukan RICE (rest, ice, compression, elevation) pada cidera
otot ekstremitas
 Lakukan penghentian perdarahan (mis: penekanan, balut
tekan, pengaturan posisi)
 Bersihkan kulit dari racun atau bahan kimia yang menempel
dengan sabun dan air mengalir
 Lepaskan sengatan dari kulit
 Lepaskan gigitan serangga dari kulit menggunakan pinset
atau alat yang sesuai
Edukasi

 Ajarkan Teknik perawatan luka


Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian obat-obatan (mis: antibiotik


profilaksis, vaksin, antihistamin, antiinflamasi, dan
analgetic), jika perlu

Risiko penurunan curah jantung adalah diagnosis


keperawatan yang didefinisikan sebagai risiko mengalami
pemompaan jantung yang tidak adekuat untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh.

Diagnosis ini diberi kode D.0011, masuk dalam kategori


fisiologis, subkategori sirkulasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


risiko penurunan curah jantung secara komprehensif, namun
dengan Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari faktor risiko yang harus muncul untuk


dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara menulis
diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:

 Faktor Risiko
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Perawatan Jantung (I.02075)
o Perawatan Jantung Akut (I.02076)
 Diagnosis Terkait
 Referensi

Faktor Risiko
Untuk dapat mengangkat diagnosis risiko penurunan curah
jantung, Perawat harus memastikan bahwa salah satu dari
risiko dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

1. Perubahan afterload
2. Perubahan frekuensi jantung
3. Perubahan irama jantung
4. Perubahan kontraktilitas
5. Perubahan preload

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan risiko, yang
berarti penulisannya menggunakan metode dua bagian, yaitu:

[masalah] + [faktor risiko]

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Risiko penurunan curah jantung dibuktikan dengan perubahan


irama jantung.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Risiko penurunan curah jantung d.d perubahan irama jantung.

Perhatikan:

1. Masalah = Risiko penurunan curah jantung


2. Faktor risiko = Perubahan irama jantung
3. d.d = dibuktikan dengan
4. Diagnosis risiko tidak menggunakan berhubungan dengan
(b.d) karena tidak memiliki etiologi.
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis risiko penurunan curah jantung
adalah: “curah jantung meningkat.”

Curah jantung meningkat diberi kode L.02008 dalam SLKI.

Curah jantung meningkat berarti keadekuatan jantung


memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jantung meningkat.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa curah jantung


meningkat adalah:

1. Kekuatan nadi perifer meningkat


2. Ejection fraction (EF) meningkat
3. Palpitasi menurun
4. Bradikardia menurun
5. Takikardia menurun
6. Gambaran EKG Aritmia menurun
7. Lelah menurun
8. Edema menurun
9. Distensi vena jugularis menurun
10. Dispnea menurun
11. Oliguria menurun
12. Pucat/sianosis menurun
13. Paroximal nocturnal dyspnea (PND) menurun
14. Ortopnea menurun
15. Batuk menurun
16. Suara jantung S3 menurun
17. Suara jantung S4 menurun
18. Tekanan darah membaik
19. Pengisian kapiler membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].


Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka curah jantung meningkat, dengan kriteria hasil:

1. Gambaran aritmia menurun


2. Lelah menurun
3. Dispnea menurun
4. Tekanan darah membaik
Perhatikan:

1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x


24 jam, maka curah jantung
2. Ekspektasi = Meningkat
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis risiko penurunan curah
jantung adalah:

1. Perawatan jantung
2. Perawatan jantung akut
Perawatan Jantung (I.02075)
Intervensi perawatan jantung dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02075).

Perawatan jantung adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi, merawat, dan membatasi
komplikasi akibat ketidakseimbangan antara suplai dan
konsumsi oksigen miokard.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi perawatan jantung


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung


(meliputi: dispnea, kelelahan, edema, ortopnea, PND,
peningkatan CVP).
 Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung
(meliputi: peningkatan berat badan, hepatomegaly, distensi
vena jugularis, palpitasi, ronkhi basah, oliguria, batuk, kulit
pucat)
 Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik,
jika perlu)
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor keluhan nyeri dada (mis: intensitas, lokasi, radiasi,
durasi, presipitasi yang mengurangi nyeri)
 Monitor EKG 12 sadapan
 Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
 Monitor nilai laboratorium jantung (mis: elektrolit, enzim
jantung, BNP, NTpro-BNP)
 Monitor fungsi alat pacu jantung
 Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan
sesudah aktivitas
 Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum
pemberian obat (mis: beta blocker, ACE Inhibitor, calcium
channel blocker, digoksin)
Terapeutik
 Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki ke
bawah atau posisi nyaman
 Berikan diet jantung yang sesuai (mis: batasi asupan kafein,
natrium, kolesterol, dan makanan tinggi lemak)
 Gunakan stocking elastis atau pneumatik intermitten, sesuai
indikasi
 Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya hidup
sehat
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stress, jika perlu
 Berikan dukungan emosional dan spiritual
 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >
94%
Edukasi

 Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi


 Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
 Anjurkan berhenti merokok
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output
cairan harian
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu


 Rujuk ke program rehabilitasi jantung

Perawatan Jantung Akut (I.02076)


Intervensi perawatan jantung akut dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02076).

Perawatan jantung akut adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi, dan mengelola pasien yang
baru mengalami episode ketidakseimbangan antara
ketersedian dan kebutuhan oksigen miokard.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi perawatan jantung


akut berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi
 Identifikasi karakteristik nyeri dada (meliputi faktor pemicu
dan Pereda, kualitas, lokasi, radiasi, skala, durasi, dan
frekuensi)
 Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
 Monitor EKG 12 sadapan untuk perubahan ST dan T
 Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan risiko aritmia
(mis: kalium, magnesium serum)
 Monitor enzim jantung (mis: CK, CK-MB, Troponin T, Troponin
I)
 Monitor saturasi oksigen
 Identifikasi stratifikasi pada sindrom koroner akut (mis: skor
TIMI, Killip, Crusade)
Terapeutik

 Pertahankan tirah baring minimal 12 jam


 Pasang akses intravena
 Puasakan hingga bebas nyeri
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi ansietas dan
stress
 Sediakan lingkungan yang kondusif untuk beristirahat dan
pemulihan
 Siapkan menjalani intervensi koroner perkutan, jika perlu
 Berikan dukungan emosional dan spiritual
Edukasi

 Anjurkan segera melaporkan nyeri dada


 Anjurkan menghindari manuver Valsava (mis: mengedan saat
BAB atau batuk)
 Jelaskan Tindakan yang dijalani pasien
 Ajarkan Teknik menurunkan kecemasan dan ketakutan
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian antiplatelet, jika perlu


 Kolaborasi pemberian antianginal (mis: nitrogliserin, beta
blocker, calcium channel blocker)
 Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
 Kolaborasi pemberian inotropic, jika perlu
 Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah manuver
Valsava (mis: pelunak tinja, antiemetik)
 Kolaborasi pencegahan trombus dengan antikoagulan, jika
perlu
 Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada, jika perlu

Risiko perdarahan adalah diagnosis keperawatan yang


didefinisikan sebagai berisiko mengalami kehilangan
darah baik internal (terjadi di dalam tubuh) maupun
eksternal (terjadi hingga keluar tubuh).

Diagnosis ini diberi kode D.0012, masuk dalam kategori


fisiologis, subkategori sirkulasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


risiko perdarahan secara komprehensif, namun dengan Bahasa
sederhana agar lebih mudah dimengerti.
Kita akan mempelajari faktor risiko yang harus muncul untuk
dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara menulis
diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:

 Faktor Risiko
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Pencegahan Perdarahan (I.02067)
 Diagnosis Terkait
 Referensi

Faktor Risiko
Untuk dapat mengangkat diagnosis risiko perdarahan, Perawat
harus memastikan bahwa salah satu dari risiko dibawah ini
muncul pada pasien, yaitu:

1. Aneurisma
2. Gangguan gastrointestinal (misalnya ulkus lambung, polip,
varises)
3. Gangguan fungsi hati (misalnya sirosis hepatis)
4. Komplikasi kehamilan (misalnya ketuban pecah sebelum
waktunya)
5. Komplikasi pasca partum (misalnya atoni uterus, retensi
plasenta)
6. Gangguan koagulasi (misalnya trombositopenia)
7. Efek agen farmakologis
8. Tindakan pembedahan
9. Trauma
10. Kurang terpapar informasi tentang pencegahan
perdarahan
11. Proses keganasan

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan risiko, yang
berarti penulisannya menggunakan metode dua bagian, yaitu:
[masalah] + [faktor risiko]

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Risiko perdarahan dibuktikan dengan kurang terpapar


informasi tentang pencegahan perdarahan.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Risiko perdarahan d.d kurang terpapar informasi tentang


pencegahan perdarahan.

Perhatikan:

1. Masalah = Risiko perdarahan


2. Faktor risiko = Kurang terpapar informasi tentang
pencegahan perdarahan
3. d.d = dibuktikan dengan
4. Diagnosis risiko tidak menggunakan berhubungan dengan
(b.d) karena tidak memiliki etiologi.
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis risiko perdarahan adalah: “tingkat
perdarahan menurun.”

Tingkat perdarahan menurun diberi kode L.02017 dalam SLKI.

Tingkat perdarahan menurun berarti kehilangan darah baik


internal (terjadi di dalam tubuh) maupun eksternal (terjadi
hingga keluar tubuh) menurun.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa tingkat perdarahan


menurun adalah:

1. Membran mukosa lembab meningkat


2. Kelembaban kulit meningkat
3. Hemoptisis menurun
4. Hematemesis menurun
5. Hematuria menurun
6. Hemoglobin membaik
7. Hematokrit membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka tingkat perdarahan menurun, dengan kriteria hasil:

1. Kognitif meningkat
2. Hemoglobin membaik
3. Hematokrit membaik
Perhatikan:

1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x


24 jam, maka tingkat perdarahan
2. Ekspektasi = Menurun
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.
Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),
intervensi utama untuk diagnosis risiko perdarahan
adalah pencegahan perdarahan.

Pencegahan Perdarahan (I.02067)


Intervensi pencegahan perdarahan dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02067).

Pencegahan perdarahan adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan menurunkan risiko atau
komplikasi stimulus yang menyebabkan perdarahan atau risiko
perdarahan.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pencegahan


perdarahan berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Monitor tanda dan gejala perdarahan


 Monitor nilai hematokrit/hemoglobin sebelum dan setelah
kehilangan darah
 Monitor tanda-tanda vital ortostatik
 Monitor koagulasi (mis: prothrombin time (PT), partial
thromboplastin time (PTT), fibrinogen, degradasi fibrin
dan/atau platelet)
Terapeutik

 Pertahankan bed rest selama perdarahan


 Batasi tindakan invasive, jika perlu
 Gunakan kasur pencegah decubitus
 Hindari pengukuran suhu rektal
Edukasi

 Jelaskan tanda dan gejala perdarahan


 Anjurkan menggunakan kaus kaki saat ambulasi
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk menghindari
konstipasi
 Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan
 Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K
 Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu


 Kolaborasi pemberian produk darah, jika perlu
 Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu

Risiko perfusi gastrointestinal tidak efektif adalah


diagnosis keperawatan yang didefinisikan sebagai
berisiko mengalami penurunan sirkulasi
gastrointestinal.
Diagnosis ini diberi kode D.0013, masuk dalam kategori
fisiologis, subkategori sirkulasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


risiko perfusi gastrointestinal tidak efektif secara
komprehensif, namun dengan Bahasa sederhana agar lebih
mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari faktor risiko yang harus muncul untuk


dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara menulis
diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:
 Faktor Risiko
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Manajemen Perdarahan (I.02040)
o Konseling Nutrisi (I.03094)
 Diagnosis Terkait
 Referensi

Faktor Risiko
Untuk dapat mengangkat diagnosis risiko perfusi
gastrointestinal tidak efektif, Perawat harus memastikan
bahwa salah satu dari risiko dibawah ini muncul pada pasien,
yaitu:

1. Varises gastroesofagus
2. Aneurisma aorta abdomen
3. Diabetes melitus
4. Sirosis hepatis
5. Perdarahan gastrointestinal akut
6. Gagal jantung kongestif
7. Koagulasi intravaskuler diseminata
8. Ulkus duodenum atau ulkus lambung
9. Kolitis iskemik
10. Pankreatitis iskemik
11. Ginjal polikistik
12. Stenosis arteri ginjal
13. Gagal ginjal
14. Sindroma kompartemen abdomen
15. Trauma abdomen
16. Anemia

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan risiko, yang
berarti penulisannya menggunakan metode dua bagian, yaitu:

[masalah] + [faktor risiko]

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:


Risiko perfusi gastrointestinal tidak efektif dibuktikan
dengan trauma abdomen.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Risiko perfusi gastrointestinal tidak efektif d.d trauma


abdomen.

Perhatikan:

1. Masalah = Risiko perfusi gastrointestinal tidak efektif


2. Faktor risiko = Trauma abdomen
3. d.d = dibuktikan dengan
4. Diagnosis risiko tidak menggunakan berhubungan dengan
(b.d) karena tidak memiliki etiologi.
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis risiko perfusi gastrointestinal tidak
efektif adalah: “perfusi gastrointestinal meningkat.”

Perfusi gastrointestinal meningkat diberi kode L.02010 dalam


SLKI.

Perfusi gastrointestinal meningkat berarti keadekuatan aliran


darah pada gastrointestinal untuk mempertahankan fungsi
organ meningkat.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa perfusi


gastrointestinal meningkat adalah:

1. Mual menurun
2. Muntah menurun
3. Bising usus membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].


Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka perfusi gastrointestinal meningkat, dengan kriteria hasil:

1. Mual menurun
2. Muntah menurun
3. Bising usus membaik
Perhatikan:

1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x


24 jam, maka perfusi gastrointestinal
2. Ekspektasi = Meningkat
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis risiko perfusi
gastrointestinal tidak efektif adalah:

1. Pengontrolan perdarahan
2. Konseling nutrisi
Dalam buku SIKI Edisi 1, Cetakan II (2018), intervensi
pengontrolan perdarahan tidak ada, baik di daftar isi maupun
di isinya.

Kemungkinan ada kesalahan redaksi atau kesalahan penulisan


di daftar taut.

Sehingga Perawat.Org mengganti intervensi pengontrolan


perdarahan menjadi manajemen perdarahan sebagai
penjelasan, hingga terbit buku SIKI terbaru dari PPNI.

Manajemen Perdarahan (I.02040)


Intervensi manajemen perdarahan dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02040).

Manajemen perdarahan adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola kehilangan
darah saat terjadi perdarahan.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen


perdarahan berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi penyebab perdarahan


 Periksa adanya darah pada muntah, sputum, feses, urin,
pengeluaran NGT, dan drainase luka, jika perlu
 Periksa ukuran dan karakteristik hematoma, jika ada
 Monitor terjadinya perdarahan (sifat dan jumlah)
 Monitor nilai hemoglobin dan hematokrit sebelum dan
setelah kehilangan darah
 Monitor tekanan darah dan parameter hemodinamik (tekanan
vena sentral dan tekanan baji kapiler atau arteri pulmonal),
jika ada
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor koagulasi darah (prothrombin time (PT), partial
tromboplastin time (PTT), fibrinogen, degradasi fibrin, dan
jumlah trombosit), jika ada
 Monitor deliveri oksigen jaringan (mis: PaO2, SaO2,
hemoglobin, dan curah jantung)
 Monitor tanda dan gejala perdarahan masif
Terapeutik

 Istirahatkan area yang mengalami perdarahan


 Berikan kompres dingin, jika perlu
 Lakukan penekanan atau balut tekan, jika perlu
 Tinggikan ekstremitas yang mengalami perdarahan
 Pertahankan akses IV
Edukasi

 Jelaskan tanda-tanda perdarahan


 Anjurkan melapor jika menemukan tanda-tanda perdarahan
 Anjurkan membatasi aktivitas
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian cairan, jika perlu


 Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu

Konseling Nutrisi (I.03094)


Intervensi konseling nutrisi dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.03094).

Konseling nutrisi adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk memberikan bimbingan kepada pasien dalam
melakukan modifikasi asupan nutrisi.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi konseling nutrisi


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi kebiasaan makan dan perilaku makan yang akan


diubah
 Identifikasi kemajuan modifikasi diet secara regular
 Monitor intake dan output cairan, nilai hemoglobin, tekanan
darah, kenaikan berat badan, dan kebiasaan membeli
makanan
Terapeutik

 Bina hubungan terapeutik


 Sepakati lama waktu pemberian konseling
 Tetapkan tujuan jangka pendek dan jangka Panjang yang
realistis
 Gunakan standar nutrisi sesuai program diet dalam
mengevaluasi kecukupan asupan makanan
 Pertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pemenuhan
kebutuhan gizi (mis. Usia, tahap pertumbuhan dan
perkembangan, penyakit)
Edukasi

 Informasikan perlunya modifikasi diet (misal: penurunan atau


penambahan berat badan, pembatasan natrium atau cairan,
pengurangan kolesterol
 Jelaskan program gizi dan persepsi pasien terhadap diet
yang diprogramkan
Kolaborasi

 Rujuk pada ahli gizi, jika perlu

Risiko perfusi miokard tidak efektif adalah diagnosis


keperawatan yang didefinisikan sebagai berisiko
mengalami penurunan sirkulasi arteri koroner yang
dapat mengganggu metabolisme miokard.
Diagnosis ini diberi kode D.0014, masuk dalam kategori
fisiologis, subkategori sirkulasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


risiko perfusi miokard tidak efektif secara komprehensif,
namun dengan Bahasa sederhana agar lebih mudah
dimengerti.

Kita akan mempelajari faktor risiko yang harus muncul untuk


dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara menulis
diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi utamanya.
Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan
pada daftar isi berikut:

 Faktor Risiko
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Manajemen Aritmia (I.02035)
o Manajemen Syok Kardiogenik (I.02051)
o Pencegahan Emboli (I.02066)
o Perawatan Jantung (I.02075)
 Diagnosis Terkait
 Referensi

Faktor Risiko
Untuk dapat mengangkat diagnosis risiko perfusi miokard
tidak efektif, Perawat harus memastikan bahwa salah satu
dari risiko dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

1. Hipertensi
2. Hiperlipidemia
3. Hiperglikemia
4. Hipoksemia
5. Hipoksia
6. Kekurangan volume cairan
7. Pembedahan jantung
8. Penyalahgunaan zat
9. Spasme arteri koroner
10. Peningkatan protein C-reaktif
11. Tamponade jantung
12. Efek agen farmakologis
13. Riwayat penyakit kardiovaskuler pada keluarga
14. Kurang terpapar informasi tentang faktor risiko yang
dapat diubah (misalnya merokok, gaya hidup kurang gerak,
obesitas)
Diagnosis ini ditegakkan pada pasien yang belum beresiko
mengalami gangguan pompa jantung. Jika pasien telah
berisiko mengalami gangguan pompa jantung maka lebih tepat
menggunakan diagnosis penurunan curah jantung atau risiko
penurunan curah jantung.

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan risiko, yang
berarti penulisannya menggunakan metode dua bagian, yaitu:

[masalah] + [faktor risiko]

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Risiko perfusi miokard tidak efektif dibuktikan


dengan spasme arteri koroner.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Risiko perfusi miokard tidak efektif d.d spasme arteri


koroner.

Perhatikan:

1. Masalah = Risiko perfusi miokard tidak efektif


2. Faktor risiko = Spasme arteri koroner
3. d.d = dibuktikan dengan
4. Diagnosis risiko tidak menggunakan berhubungan dengan
(b.d) karena tidak memiliki etiologi.
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis risiko perfusi gastrointestinal tidak
efektif adalah: “perfusi miokard meningkat.”

Perfusi gastrointestinal meningkat diberi kode L.02011 dalam


SLKI.

Perfusi miokard meningkat berarti keadekuatan aliran darah


arteri koronaria untuk mempertahankan fungsi jantung
meningkat.
Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa perfusi miokard
meningkat adalah:

1. Gambaran EKG iskemia/injuri/infark menurun


2. Nyeri dada menurun
3. Arteri apikal membaik
4. Tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/MAP)
membaik
5. Takikardia membaik
6. Bradikardia membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka perfusi miokard meningkat, dengan kriteria hasil:

1. Gambaran EKG iskemia menurun


2. Nyeri dada menurun
3. Tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/MAP)
membaik
4. Takikardia membaik
Perhatikan:

1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x


24 jam, maka perfusi miokard
2. Ekspektasi = Meningkat
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.
Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,
maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis risiko perfusi miokard tidak
efektif adalah:

1. Manajemen aritmia
2. Manajemen syok kardiogenik
3. Pencegahan emboli
4. Perawatan jantung

Manajemen Aritmia (I.02035)


Intervensi manajemen aritmia dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02035).

Manajemen aritmia adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola gangguan
irama dan/atau frekuensi jantung yang berpotensi mengganggu
hemodinamik atau mengancam nyawa.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen aritmia


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Periksa onset dan pemicu aritmia


 Identifikasi jenis aritmia
 Monitor frekuensi dan durasi aritmia
 Monitor keluhan nyeri dada (intensitas, lokasi, faktor
pencetus, dan faktor Pereda)
 Monitor respon hemodinamik akibat aritmia
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor kadar elektrolit
Terapeutik

 Berikan lingkungan yang tenang


 Pasang jalan napas buatan (mis. OPA, NPA, LMA, ETT), jika
perlu
 Pasang akses intravena
 Pasang monitor jantung
 Rekam EKG 12 sadapan
 Periksa interval QT sebelum dan sesudah pemberian obat
yang dapat memperpanjang interval QT
 Lakukan maneuver valsava
 Lakukan masase karotis unilateral
 Berikan oksigen, sesuai indikasi
 Siapkan pemasangan ICD (implantable cardioverter
defibrillator)
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu


 Kolaborasi pemberian kardioversi, jika perlu
 Kolaborasi pemberian defibrilasi, jika perlu

Manajemen Syok Kardiogenik (I.02051)


Intervensi manajemen syok kardiogenik dalam Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02051).

Manajemen syok kardiogenik adalah intervensi yang dilakukan


oleh perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola
ketidakmampuan tubuh menyediakan oksigen dan nutrient
untuk mencukupi kebutuhan jaringan akibat penurunan fungsi
pompa jantung.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen syok


kardiogenik berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi,


frekuensi napas, TD, MAP)
 Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
 Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit,
CRT)
 Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
 Periksa seluruh permukaan tubuh terhadap adanya DOTS
(deformity/deformitas, open wound/luka terbuka,
tenderness/nyeri tekan, swelling/bengkak)
 Monitor EKG 12 lead
 Monitor rontgen dada (mis: kongesti paru, edema paru,
pembesaran jantung)
 Monitor enzim jantung (mis: CK, CKMB, Troponin)
 Identifikasi penyebab masalah utama (mis: volume, pompa
atau irama)
Terapeutik

 Pertahankan jalan napas paten


 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >
94%
 Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu
 Pasang jalur IV
 Pasang kateter urin untuk menilai produksi urin
 Pasang selang nasogastrik untuk dekompresi lambung, jika
perlu
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian inotropik (mis: dobutamine), jika TDS


70 – 100 mmHg tanpa disertai tanda/gejala syok
 Kolaborasi pemberian vasopressor (mis: dopamine), jika TDS
70 – 100 mmHg disertai tanda/gejala syok
 Kolaborasi pemberian vasopressor (mis: norefinefrin), jika
TDS < 70 mmHg
 Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
 Kolaborasi pompa intra-aorta, jika perlu

Pencegahan Emboli (I.02066)


Intervensi pencegahan emboli dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02066).

Pencegahan emboli adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan menurunkan risiko
hambatan aliran darah akibat embolus (mis: bekuan darah,
udara).
Tindakan yang dilakukan pada intervensi pencegahan emboli
berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Periksa Riwayat penyakit secara rinci untuk melihat faktor


risiko (mis: pascaoperasi, fraktur, kemoterapi, kehamilan,
pasca persalinan, imobilisasi, kelumpuhan, edema
ekstremitas, PPOK, stroke, Riwayat DVT sebelumnya)
 Periksa trias Virchow (stasis vena, hiperkoagulabilitas, dan
trauma yang mengakibatkan kerusakan intima pembuluh
darah)
 Monitor adanya gejala baru dari mengi (hemoptisis, nyeri
saat inspirasi, nyeri pleuritik)
 Monitor sirkulasi perifer (mis: nadi perifer, edema, CRT,
warna, suhu, dan adanya rasa sakit pada ekstremitas)
Terapeutik

 Posisikan anggota tubuh yang beresiko emboli 20 derajat


diatas posisi jantung
 Pasangkan stoking atau alat kompresi pneumatic intermitten
 Lepaskan stoking atau alat kompresi pneumatic intermiten
selama 15-20 menit setiap 8 jam
 Lakukan Latihan rentang gejak aktif dan pasif
 Lakukan perubahan posisi setiap 2 jam
 Hindari memijat atau menekan otot ekstremitas
Edukasi

 Anjurkan melakukan fleksi dan ekstensi kaki paling sedikit


10 kali setiap jam
 Anjurkan melaporkan perdarahan yang berlebihan (mis:
mimisan yang tidak biasa, muntah darah, urin berdarah, gusi
berdarah, perdarahan pervaginam, perdarahan menstruasi
yang berat, feses berdarah), nyeri atau bengkak yang tidak
biasa, warna biru atau ungu pada jari kaki, nyeri di jari kaki,
bisul atau bitnik putih di mulut atau tenggorokan.
 Anjurkan berhenti merokok
 Anjurkan minum obat antikoagulan sesuai dengan waktu dan
dosis
 Anjurkan asupan makanan yang tinggi vitamik K
 Ajarkan menghindari duduk dengan kaki menyilang atau
duduk lama dengan kaki tergantung
 Ajarkan melakukan tindakan pencegahan (mis: berjalan,
banyak minum, hindari alkohol, hindari imobilitas jangka
Panjang)
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian trombolitik, jika perlu


 Kolaborasi pemberian antikoagulan dosis rendah atau
antiplatelet dosis tinggi (mis: heparin, clopidogrel, warfarin,
aspirin, dipyridamole, dekstran), jika perlu
 Kolaborasi pemberian prometazin intravena dalam larutan
NaCl 0,9% 25 cc – 50cc dengan aliran lambat

Perawatan Jantung (I.02075)


Intervensi perawatan jantung dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02075).

Perawatan jantung adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi, merawat, dan membatasi
komplikasi akibat ketidakseimbangan antara suplai dan
konsumsi oksigen miokard.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi perawatan jantung


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung


(meliputi: dispnea, kelelahan, edema, ortopnea, PND,
peningkatan CVP).
 Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung
(meliputi: peningkatan berat badan, hepatomegaly, distensi
vena jugularis, palpitasi, ronkhi basah, oliguria, batuk, kulit
pucat)
 Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik,
jika perlu)
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor keluhan nyeri dada (mis: intensitas, lokasi, radiasi,
durasi, presipitasi yang mengurangi nyeri)
 Monitor EKG 12 sadapan
 Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
 Monitor nilai laboratorium jantung (mis: elektrolit, enzim
jantung, BNP, NTpro-BNP)
 Monitor fungsi alat pacu jantung
 Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan
sesudah aktivitas
 Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum
pemberian obat (mis: beta blocker, ACE Inhibitor, calcium
channel blocker, digoksin)
Terapeutik

 Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki ke


bawah atau posisi nyaman
 Berikan diet jantung yang sesuai (mis: batasi asupan kafein,
natrium, kolesterol, dan makanan tinggi lemak)
 Gunakan stocking elastis atau pneumatik intermitten, sesuai
indikasi
 Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya hidup
sehat
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stress, jika perlu
 Berikan dukungan emosional dan spiritual
 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >
94%
Edukasi

 Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi


 Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
 Anjurkan berhenti merokok
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output
cairan harian
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu


 Rujuk ke program rehabilitasi jantung
Risiko perfusi perifer tidak efektif adalah diagnosis
keperawatan yang didefinisikan sebagai berisiko
mengalami penurunan sirkulasi darah pada level
kapiler yang dapat mengganggu metabolisme tubuh.
Diagnosis ini diberi kode D.0015, masuk dalam kategori
fisiologis, subkategori sirkulasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


risiko perfusi perifer tidak efektif secara komprehensif, namun
dengan Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari faktor risiko yang harus muncul untuk


dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara menulis
diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:

 Faktor Risiko
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Pencegahan Syok (I.02068)
o Perawatan Sirkulasi (I.02079)
 Diagnosis Terkait

Faktor Risiko
Untuk dapat mengangkat diagnosis risiko perfusi perifer tidak
efektif, Perawat harus memastikan bahwa salah satu dari
risiko dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

1. Hiperglikemia
2. Gaya hidup kurang gerak
3. Hipertensi
4. Merokok
5. Prosedur endovaskuler
6. Trauma
7. Kurang terpapat informasi tentang faktor pemberat (misalnya
merokok, gaya hidup kurang gerak, obesitas, imobilitas)

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan risiko, yang
berarti penulisannya menggunakan metode dua bagian, yaitu:

[masalah] + [faktor risiko]

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Risiko perfusi perifer tidak efektif dibuktikan


dengan hiperglikemia.

Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat


menjadi:

Risiko perfusi perifer tidak efektif d.d hiperglikemia.

Perhatikan:

1. Masalah = Risiko perfusi perifer tidak efektif


2. Faktor risiko = Hiperglikemia
3. d.d = dibuktikan dengan
4. Diagnosis risiko tidak menggunakan berhubungan dengan
(b.d) karena tidak memiliki etiologi.
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis risiko perfusi gastrointestinal tidak
efektif adalah: “perfusi perifer meningkat.”

Perfusi perifer meningkat diberi kode L.02011 dalam SLKI.

Perfusi perifer meningkat berarti keadekuatan aliran darah


pembuluh darah distal untuk menunjang fungsi jaringan
meningkat.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa perfusi


gastrointestinal meningkat adalah:

1. Kekuatan nadi perifer meningkat


2. Warna kulit pucat menurun
3. Pengisian kapiler membaik
4. Akral membaik
5. Turgor kulit membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,


maka perfusi perifer meningkat, dengan kriteria hasil:

1. Kekuatan nadi perifer meningkat


2. Warna kulit pucat menurun
3. Pengisian kapiler membaik
4. Akral membaik
5. Turgor kulit membaik
Perhatikan:
1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x
24 jam, maka perfusi perifer
2. Ekspektasi = Meningkat
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis risiko perfusi perifer tidak
efektif adalah:

1. Pencegahan syok
2. Perawatan sirkulasi

Pencegahan Syok (I.02068)


Intervensi pencegahan syok dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02068).

Pencegahan syok adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan menurunkan risiko
terjadinya ketidakmampuan tubuh menyediakan oksigen dan
nutrient untuk mencukupi kebutuhan jaringan.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pencegahan syok


berdasarkan SIKI, antara lain:
Observasi

 Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi,


frekuensi napas, TD, MAP)
 Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
 Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit,
CRT)
 Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
 Periksa Riwayat alergi
Terapeutik

 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >


94%
 Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu
 Pasang jalur IV, jika perlu
 Pasang kateter urin untuk menilai produksi urin, jika perlu
 Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi
Edukasi

 Jelaskan penyebab/faktor risiko syok


 Jelaskan tanda dan gejala awal syok
 Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan tanda dan
gejala awal syok
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari alergen
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian IV, jika perlu


 Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu
 Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika perlu

Perawatan Sirkulasi (I.02079)


Intervensi perawatan sirkulasi dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02079).

Perawatan sirkulasi adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan merawat area lokal
dengan keterbatasan sirkulasi perifer.
Tindakan yang dilakukan pada intervensi perawatan sirkulasi
berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Periksa sirkulasi perifer (mis: nadi perifer, edema, pengisian


kapiler, warna, suhu, ankle-brachial index)
 Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi (mis: diabetes,
perokok, orang tua, hipertensi, dan kadar kolesterol tinggi)
 Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada
ekstremitas
Terapeutik

 Hindari pemasangan infus, atau pengambilan darah di area


keterbatasan perfusi
 Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi
 Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada area
yang cidera
 Lakukan pencegahan infeksi
 Lakukan perawatan kaki dan kuku
 Lakukan hidrasi
Edukasi

 Anjurkan berhenti merokok


 Anjurkan berolahraga rutin
 Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit
terbakar
 Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah,
antikoagulan, dan penurun kolesterol, jika perlu
 Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara
teratur
 Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta
 Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat (mis:
melembabkan kulit kering pada kaki)
 Anjurkan program rehabilitasi vaskular
 Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi (mis:
rendah lemak jenuh, minyak ikan omega 3)
 Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan
(mis: rasa sakit yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya rasa).

Risiko perfusi renal tidak efektif adalah diagnosis


keperawatan yang didefinisikan sebagai berisiko
mengalami penurunan sirkulasi darah ke ginjal.
Diagnosis ini diberi kode D.0016, masuk dalam kategori
fisiologis, subkategori sirkulasi dalam Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI).

Dalam artikel ini, kita akan belajar diagnosis keperawatan


risiko perfusi renal tidak efektif secara komprehensif, namun
dengan Bahasa sederhana agar lebih mudah dimengerti.

Kita akan mempelajari faktor risiko yang harus muncul untuk


dapat mengangkat diagnosis ini, bagaimana cara menulis
diagnosis dan luaran, serta memilih intervensi utamanya.

Baca seluruh artikel atau lihat bagian yang anda inginkan


pada daftar isi berikut:

 Faktor Risiko
 Penulisan Diagnosis
 Luaran (HYD)
 Intervensi
o Pencegahan Syok (I.02068)
o Manajemen Perdarahan (I.02040)
 Diagnosis Terkait
 Referensi

Faktor Risiko
Untuk dapat mengangkat diagnosis risiko perfusi renal tidak
efektif, Perawat harus memastikan bahwa salah satu dari
risiko dibawah ini muncul pada pasien, yaitu:

1. Kekurangan volume cairan


2. Embolisme vaskuler
3. Vaskulitis
4. Hipertensi
5. Disfungsi ginjal
6. Hiperglikemia
7. Keganasan
8. Pembedahan jantung
9. Bypass kardiopulmonal
10. Hipoksemia
11. Hipoksia
12. Asidosis metabolik
13. Trauma
14. Sindrom kompartemen abdomen
15. Luka bakar
16. Sepsis
17. Sindrom respon inflamasi sistemik
18. Lanjut usia
19. Merokok
20. Penyalahgunaan zat

Penulisan Diagnosis
Diagnosis ini merupakan diagnosis keperawatan risiko, yang
berarti penulisannya menggunakan metode dua bagian, yaitu:

[masalah] + [faktor risiko]

Sehingga contoh penulisannya menjadi seperti ini:

Risiko perfusi renal tidak efektif dibuktikan


dengan kekurangan volume cairan.
Atau bila rumusannya kita disederhanakan, maka dapat
menjadi:

Risiko perfusi renal tidak efektif d.d kekurangan volume


cairan.

Perhatikan:

1. Masalah = Risiko perfusi renal tidak efektif


2. Faktor risiko = Kekurangan volume cairan
3. d.d = dibuktikan dengan
4. Diagnosis risiko tidak menggunakan berhubungan dengan
(b.d) karena tidak memiliki etiologi.
Pelajari lebih rinci pada: “Cara menulis diagnosis keperawatan
sesuai SDKI.”

Luaran (HYD)
Dalam Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), luaran
utama untuk diagnosis risiko perfusi gastrointestinal tidak
efektif adalah: “perfusi renal meningkat.”

Perfusi renal meningkat diberi kode L.02012 dalam SLKI.

Perfusi renal meningkat berarti keadekuatan aliran darah


arteri renalis untuk menunjang fungsi ginjal meningkat.

Kriteria hasil untuk membuktikan bahwa perfusi renal


meningkat adalah:

1. Jumlah urin meningkat


2. Tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/MAP)
membaik
3. Kadar urea nitrogen darah membaik
4. Kadar kreatinin plasma membaik
Ketika menulis luaran keperawatan, Perawat harus
memastikan bahwa penulisan terdiri dari 3 komponen, yaitu:

[Label] + [Ekspektasi] + [Kriteria Hasil].

Contoh:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam,
maka perfusi renal meningkat, dengan kriteria hasil:

1. Jumlah urin meningkat


2. Tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/MAP)
membaik
3. Kadar urea nitrogen darah membaik
4. Kadar kreatinin plasma membaik
Perhatikan:

1. Label = Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x


24 jam, maka perfusi renal
2. Ekspektasi = Meningkat
3. Kriteria Hasil = Dengan kriteria hasil 1, 2, 3, dst,
Lebih jelas baca artikel “Cara menulis luaran keperawatan
sesuai SLKI.”

Intervensi
Saat merumuskan intervensi apa yang harus diberikan kepada
pasien, perawat harus memastikan bahwa intervensi dapat
mengatasi penyebab.

Namun bila penyebabnya tidak dapat secara langsung diatasi,


maka perawat harus memastikan bahwa intervensi yang dipilih
dapat mengatasi tanda/gejala.

Selain itu, perawat juga harus memastikan bahwa intervensi


dapat mengukur luaran keperawatan.

Selengkapnya baca di “Cara menentukan intervensi


keperawatan sesuai SIKI”.

Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),


intervensi utama untuk diagnosis risiko perfusi renal tidak
efektif adalah:

1. Pencegahan syok
2. Pengontrolan perdarahan
Dalam buku SIKI Edisi 1, Cetakan II (2018), intervensi
pengontrolan perdarahan tidak ada, baik di daftar isi maupun
di isinya.

Kemungkinan ada kesalahan redaksi atau kesalahan penulisan


di daftar taut.

Sehingga Perawat.Org mengganti intervensi pengontrolan


perdarahan menjadi manajemen perdarahan sebagai
penjelasan, hingga terbit buku SIKI terbaru dari PPNI.

Pencegahan Syok (I.02068)


Intervensi pencegahan syok dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02068).

Pencegahan syok adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan menurunkan risiko
terjadinya ketidakmampuan tubuh menyediakan oksigen dan
nutrient untuk mencukupi kebutuhan jaringan.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pencegahan syok


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi,


frekuensi napas, TD, MAP)
 Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
 Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor kulit,
CRT)
 Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
 Periksa Riwayat alergi
Terapeutik

 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >


94%
 Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu
 Pasang jalur IV, jika perlu
 Pasang kateter urin untuk menilai produksi urin, jika perlu
 Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi
Edukasi
 Jelaskan penyebab/faktor risiko syok
 Jelaskan tanda dan gejala awal syok
 Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan tanda dan
gejala awal syok
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari alergen
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian IV, jika perlu


 Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu
 Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika perlu

Manajemen Perdarahan (I.02040)


Intervensi manajemen perdarahan dalam Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.02040).

Manajemen perdarahan adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan mengelola kehilangan
darah saat terjadi perdarahan.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen


perdarahan berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi penyebab perdarahan


 Periksa adanya darah pada muntah, sputum, feses, urin,
pengeluaran NGT, dan drainase luka, jika perlu
 Periksa ukuran dan karakteristik hematoma, jika ada
 Monitor terjadinya perdarahan (sifat dan jumlah)
 Monitor nilai hemoglobin dan hematokrit sebelum dan
setelah kehilangan darah
 Monitor tekanan darah dan parameter hemodinamik (tekanan
vena sentral dan tekanan baji kapiler atau arteri pulmonal),
jika ada
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor koagulasi darah (prothrombin time (PT), partial
tromboplastin time (PTT), fibrinogen, degradasi fibrin, dan
jumlah trombosit), jika ada
 Monitor deliveri oksigen jaringan (mis: PaO2, SaO2,
hemoglobin, dan curah jantung)
 Monitor tanda dan gejala perdarahan masif
Terapeutik

 Istirahatkan area yang mengalami perdarahan


 Berikan kompres dingin, jika perlu
 Lakukan penekanan atau balut tekan, jika perlu
 Tinggikan ekstremitas yang mengalami perdarahan
 Pertahankan akses IV
Edukasi

 Jelaskan tanda-tanda perdarahan


 Anjurkan melapor jika menemukan tanda-tanda perdarahan
 Anjurkan membatasi aktivitas
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian cairan, jika perlu


 Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu

Diagnosis Terkait
Daftar diagnosis lainnya yang masuk dalam kategori fisiologis
dan subkategori sirkulasi adalah:

1. Gangguan sirkulasi spontan


2. Penurunan curah jantung
3. Perfusi perifer tidak efektif
4. Risiko gangguan sirkulasi spontan
5. Risiko penurunan curah jantung
6. Risiko perdarahan
7. Risiko perfusi gastrointestinal tidak efektif
8. Risiko perfusi miokard tidak efektif
9. Risiko perfusi perifer tidak efektif
10. Risiko perfusi serebral tidak efektif

Anda mungkin juga menyukai