Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH MANAJEMEN KEUANGAN INTERNASIONAL

“SISTEM KEUANGAN MONETER INTERNASIONAL”

Dosen Pengampu: Nailal Husna, S.E, M.Si

Kelas M.6.Keu

Disusun Oleh:
1. Nugroho Adi Laksono (2110011211128)
2. Muhammad Asad Jundurrahman (2110011211144)
3. M. Farhan Firman (2110011211083)
4. Juanta Ramadhana (2110011211033)

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BUNG HATTA
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya dan
karunianya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Adapun
tema dari makalah ini adalah “Sistem Keuangan Moneter Internasional”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada Ibu Nailal Husna, S.E, M.Si sebagai dosen pengampu mata kuliah Manajemen
Keuangan Internasional yang telah memberikan pemahaman dan tugas dalam
penyusunan makalah ini. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang turut membantu dalam membantu makalah ini.

Kami jauh dari kata sempurna dan ini merupakan langkah yang baik dari studi yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik
dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan semoga makalah ini dapat berguna
bagi kami khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada umumnya.

Padang, 09 Maret 2024

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. 1


DAFTAR ISI ............................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 3
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 5
2.1 Sejarah Sistem Moneter Internasional ......................................................... 5
2.2 Macam-macam Sistem Penetapan Kurs Valuta Asing ................................. 8
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurs Valuta Asing ................................ 11
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 16
BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Interpendensi perekonomian dunia membuat setiap perubahan kurs riil suatu
negara mempengaruhi perubahan yang sebaliknya pada kurs riil negara lain. Hal ini
menyulitkan pembuat kebijakan untuk mencapai stabilitas harga dan Tingkat
kesempatan kerja penuh (full employment). Interpendensi itu sendiri ternyata
ditentukan oleh pengaturan moneter dan kurs yang dipakai oleh banyak negara, yang
sering disebut Sistem Moneter Internasional. Seiring dengan perkembangan
globalisasi, berbagai sistem moneter internasional telah muncul dan berkembang
sepanjang sejarah. Di antara sistem-sistem tersebut termasuk sistem Bretton Woods
yang diciptakan setelah Perang Dunia II, sistem nilai tukar mengambang yang
diperkenalkan pada tahun 1970-an, dan sistem nilai tukar tetap yang diterapkan oleh
beberapa negara.
Permasalahan sistem kurs valuta asing dan perkembangan sistem keuangan
internasional telah menjadi fokus perhatian selama beberapa dekade terakhir karena
dampaknya yang signifikan terhadap stabilitas ekonomi global. Salah satu
permasalahan utama adalah volatilitas nilai tukar mata uang, yang dapat menciptakan
ketidakpastian bagi pelaku pasar dan merugikan ekonomi negara-negara tergantung
pada perdagangan internasional. Sistem kurs valuta asing yang tidak stabil atau
bergejolak dapat mengganggu arus modal, mengurangi investasi asing, dan
memperburuk ketidakseimbangan perdagangan.
Perkembangan sistem keuangan internasional juga telah menghadapi tantangan
dalam mengatasi ketidakstabilan ekonomi global dan meningkatnya kompleksitas arus
modal lintas negara. Meskipun lembaga-lembaga seperti IMF telah berusaha untuk
memfasilitasi kerjasama internasional dan menyediakan dukungan keuangan dalam
mengatasi krisis, namun ketidaksepakatan antara negara-negara besar dan tantangan
struktural dalam regulasi keuangan internasional tetap menjadi permasalahan yang
belum terselesaikan. Dengan demikian, terus ada tekanan untuk memperkuat kerangka
kerja keuangan internasional agar dapat lebih efektif menanggapi tantangan ekonomi
global yang terus berkembang.
2. RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimana sejarah masa lalu dari sistem moneter internasional?
2) Apa saja jenis-jenis sistem penetapan kurs valuta asing?
3) Apa faktor yang mempengaruhi kurs valuta asing?
3. TUJUAN PENELITIAN
1) Mengenal lebih mendalam terkait sejarah sistem moneter internasional
2) Mengetahui bermacam jenis sistem penetapan kurs valuta asing
3) Mengenal faktor-faktor yang mempengaruhi kurs valuta asing
BAB II

PEMBAHASAN

1. SEJARAH SISTEM MONETER INTERNASIONAL


Sistem moneter internasional dapat didefinisikan sebagai struktur, instrumen,
institusi, dan perjanjian yang menentukan kurs atau nilai berbagai mata uang di
dunia. Termasuk juga penyesuaian aliran modal dan perdagangan internasional, dan
neraca pembayaran (Eiteman et. al., 1995, hal. 26). Dalam sejarahnya, menurut para
ahli sistem moneter internasional dimulai dari tahun 1821, saat diberlakukannya
standar emas (gold standard). Namun, ada beberapa ahli ekonomi yang menganggap
bahwa sistem moneter internasional baru dimulai pada tahun 1876 (Eiteman,
1995,hal. 28) atau tahun 1880 (Dunn dan Ingram, 1996, hal. 432).

Standar Emas, 1821-1914

Pada tahun 1821, bersamaan dengan perang Napoleon dan inflasi di Eropa
Barat, Inggris kembali ke sistem standar emas. Dari tahun 1821 sampai 1880, banyak
negara kemudian menggunakan standar emas. Dan tahun 1880, sebagian besar
negara di dunia telah menggunakan sistem standar emas, termasuk Amerika
Serikat.Periode dari tahun 1880 sampai 1914 tercatat dalam sejarah dunia sebagai
sistem standar emas klasik. Periode ini ditandai oleh meningkatnya perdagangan
bebas internasional, stabilitas kurs dan harga, perpindahan tenaga kerja dan modal
yang semakin bebas antar negara, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan
meningkatnya perdamaian dunia.
Perkembangan selanjutnya dari era standar emas adalah disetujuinya nilai
paritas antar mata uang yang bersifat tetap. Cara ini ditempuh untuk menciptakan
mekanisme yang mampu mempertahankan nilai mata uang dalam satuan emas.
Sistem ini secara tidak langsung telah membatasi penambahan jumlah uang yang
beredar harus disertai dengan penambahan cadangan emas.

Periode antar Perang Dunia, 1918-1940

Selama perang dunia I dan awal 1920-an, nilai mata uang disepakati dapat
berfluktuasi sampai batas yang wajar. Namun karena adanya ketidakstabilan situasi
politik dan ekonomi menimbulkan perubahan yang sangat besar pada nilai mata uang
suatu negara yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi perekonomian secara riil.
Periode ini oleh Dunn dan Ingram (1996, hal. 446) disebut sebagai episode kurs yang
berfluktuasi. Karena alasan-alasan tersebut, beberapa usaha telah ditempuh untuk
kembali ke sistem standar emas. Amerika Serikat kembali ke standar emas pada
1919, Inggris 1925, dan Perancis 1928. Nilai poundsterling pada April 1925 kembali
menjadi US$ 4.86656/£ (paritas sebelum perang), sehingga menyebabkan
meningkatnya pengangguran dan stagnasi ekonomi di Inggris.
Masalah yang dihadapi negara-negara yang ingin kembali ke standar emas
adalah penentuan nilai paritas baru yang stabil untuk emas. Masalah ini belum sempat
dipecahkan secara tuntas, sampai bangkrutnya sistem perbankan Austria pada 1931,
yang menyebabkan sebagian besar negara yang melakukan perdagangan
internasional membatalkan niat mereka untuk kembali ke sistem standar emas. Dari
tahun 1934 sampai akhir Perang Dunia II, Amerika kembali ke standar emas namun
banyak mata uang utama dunia yang diperdagangkan kehilangan kemampuan-nya
untuk diubah menjadi mata uang lain (less convertibility).

Persetujuan Bretton Woods, 1945-1971

Negosiasi Bretton Woods berhasil melahirkan kesepakatan untuk menerapkan


standar tukar emas. Dalam persetujuan tersebut ditetapkan Sistem Moneter
Internasional. Selain itu juga disepakati pembentukan institusi untuk membantu
negara-negara dalam hal manajemen neraca pembayaran internasional dan kebijakan
penentuan nilai tukar mata uang. Institusi tersebut dikenal dengan sebutan Dana
Moneter Internasional (International Monetary Fund). Selain IMF juga dibentuk
Bank Dunia (World Bank) yang berfungsi membantu pembangunan dan rekonstruksi
perekonomian secara umum.
Dalam persetujuan Bretton Woods disepakati bahwa semua negara harus
menetapkan nilai mata uangnya dalam emas, tetapi tidak diwajibkan
mempertukarkan mata uangnya dengan emas. Hanya US$ yang dapat dikonversikan
ke emas (US$ 35/ons emas). Oleh karena itu, semua negara akan menetapkan nilai
tukar mata uangnya terhadap US$, kemudian menghitung nilai pari emas mata
uangnya untuk mendapatkan kurs terhadap US$ seperti yang dikehendaki.
Sistem Kurs Mengambang, 1971-Sekarang

Perubahan dari sistem kurs tetap ke sistem kurs mengambang dimulai dari
krisis Agustus 1971, di mana Amerika Serikat menghentikan pembelian dan
penjualan emas secara resmi. Hal ini menyebabkan perubahan dalam sistem moneter
internasional, dengan nilai tukar mata uang utama yang diperbolehkan berfluktuasi
terhadap dolar AS dan secara tidak langsung terhadap emas. Perjanjian Smithsonian
kemudian dicapai pada Desember 1971, di mana AS setuju untuk mendevaluasi dolar
dan negara lain setuju untuk mengapresiasi mata uang mereka terhadap dolar.
Pada pertengahan tahun 1972, terjadi penyesuaian nilai mata uang dimana
dolar AS melemah karena defisit neraca pembayarannya terus berlanjut. Mata uang
dolar AS juga masih tidak bisa dikonversi ke emas, dan harga emas di pasar bebas
London meningkat drastis dari $38/ons menjadi $70/ons pada Agustus 1972.
Sebelum Persetujuan Smithsonian berumur satu tahun, tekanan pasar menyebabkan
devaluasi kedua dolar AS menjadi $42,22/ons emas pada Februari 1973.
Pada bulan Maret 1973, negara-negara yang menandatangani Persetujuan
Smithsonian menyadari perlunya terobosan baru dalam sistem moneter internasional.
IMF mengundang Komite 20 untuk memberikan saran perubahan, tetapi perundingan
pada Juli 1975 gagal mencapai kesepakatan karena krisis minyak dan perbedaan
pendapat. Namun, pertemuan tersebut menjadi dasar bagi perundingan di Jamaika
pada Januari 1976.
Perjanjian Jamaika mencapai beberapa kesepakatan, termasuk penerimaan
sistem kurs mengambang yang masih diperbolehkan campur tangan pemerintah,
penghapusan emas sebagai aset cadangan, penjualan sejumlah emas oleh IMF,
peningkatan kuota IMF, penyesuaian hak voting, dan peningkatan proporsi pinjaman
bagi negara berkembang, terutama yang bukan eksportir minyak. OPEC juga
mendapatkan 10% dari total hak voting dalam IMF.

Krisis dolar Amerika Serikat, 1977-1978

Nilai dolar AS merosot selama 1977-1978 karena kebijakan ekspansi moneter,


memperburuk masalah neraca pembayaran. Penurunan berlanjut sepanjang 1977,
yang mengakibatkan Menteri Keuangan AS, Michael Blumenthal, menyatakan
bahwa dolar terlalu terlalu bernilai.
Meningkatnya nilai dolar, 1980-1983

Setelah penurunan nilai dolar pada 1977-1978, AS mengubah kebijakan


moneter dengan upaya menstabilkan penawaran uang dan inflasi, yang kemudian
menghasilkan stabilitas tingkat bunga. Ini mengurangi inflasi dan memicu kenaikan
nilai dolar, didukung oleh pertumbuhan ekonomi dan tingkat bunga riil yang tinggi,
menarik modal masuk ke AS.

Penurunan nilai dolar, 1985-1987

Setelah mencapai puncak pada Maret 1985, nilai dolar mengalami penurunan
dalam kurun waktu sekitar 2,5 tahun menyebabkan perubahan kebijakan pemerintah
dan penurunan kinerja ekonomi nasional secara relatif terhadap pertumbuhan negara
utama lain.

Nilai dolar selama 1988-1993

Pada tahun 1988 nilai dolar kembali menguat namun menurun kembali di tahun
1990. Hingga memasuki tahun 1991 dan 1992 nilai dolar kembali stabil.
2. MACAM-MACAM SISTEM PENETAPAN KURS VALUTA ASING

Kurs valuta asing adalah harga mata uang suatu negara dalam unit komoditas
(seperti emas dan perak) atau mata uang negara lain. Suatu mata uang dapat
dikatakan konvertibel apabila mata uang tersebut bisa dipertukarkan secara bebas
dengan mata uang negara lain (Krugman dan Obstfeld, 1994). Ada beberapa istilah
yang perlu diketahui selama mempelajari sistem moneter internasional yaitu
devaluasi, depresiasi, soft dan hard currency.

A. Devaluasi diartikan sebagai turunnya nilai mata uang suatu negara yang
menggunakan sistem kurs tertambat terhadap nilai mata uang negara lain.
B. Depresiasi mengacu pada turunnya nilai mata uang negara yang menggunakan
sistem kurs mengambang terhadap mata uang negara lain.
C. Soft currency terjadi apabila mata uang tersebut diharapkan mengalami
devaluasi atau depresiasi terhadap sebagian mata uang di dunia sehingga tidak
secara luas diterima negara-negara yang melakukan perdagangan
internasional.
D. Hard currency adalah mata uang yang diharapkan mengalami revaluasi atau
apresiasi relatif terhadap sebagian besar mata uang dunia.

Dalam sistem penetapan kurs valuta asing dibedakan menjadi dua jenis yaitu
sistem kurs mengambang bebas dan sistem kurs tetap. Diantara kedua sistem ini
terdapat sistem yang dikembangkan dari kedua sistem tersebut yakni sistem kurs
mengambang terkendali, sistem kurs dengan pengaturan zona target, sistem kurs
tertambat, sistem kurs tertambat merangkak dan sistem kurs tertambat pada
sekeranjang mata uang.

1. Sistem kurs mengambang bebas


Dalam sistem kurs mengambang bebas, tingkat kurs sepenuhnya
ditentukan oleh interaksi permintaan dan penawaran mata uang, tanpa adanya
campur tangan pemerintah. Fluktuasi volume permintaan dan penawaran mata
uang dipengaruhi oleh perubahan pada sejumlah parameter ekonomi, misalnya:
perubahan tingkat harga, perbedaan suku bunga, tingkat pertumbuhan ekonomi,
tingkat pendapatan,dan lain-lain. Adanya perubahan pada salah satu parameter
ekonomi akan menyebabkan perubahan kurs melalui penyesuaian pasar. Sistem
ini sering pula disebut sistem kurs mengambang bersih/murni (clear/ pure
floating rates).
Kelebihan dari sistem kurs mengambang bebas adalah mampu
menyesuaikan nilai tukar mata uang terhadap perubahan kondisi perekonomian
dengan cepat sehingga nilai tukar mencerminkan nilai yang wajar atau
sesungguhnya. Sedangkan kelemahan utama dari sistem ini justru terletak pada
aspek yang membuat mekanisme pasar dapat bekerja secara optimal. Karena kurs
dapat berubah secara bebas tanpa ada intervensi dari otoritas moneter, maka hal
ini sering kali menyulitkan pemerintah maupun pengusaha dalam membuat
perencanaan atau perhitungan bisnis.
2. Sistem kurs tetap
Dalam sistem kurs tetap seperti Bretton Wood, pemerintah menjaga nilai
mata uang pada tingkat yang telah ditetapkan dengan membeli atau menjual
valuta asing dalam jumlah yang tidak terbatas. Apabila nilai mata uang resmi
yang telah ditetapkan tidak dapat dipertahankan lagi, maka pemerintah akan
menetapkan nilai mata uang baru dan mengumumkannya.
Secara umum, ada empat alternatif kebijakan yang akan diambil
pemerintah sebelum melakukan devaluasi atau revaluasi, yakni membiayai
defisit transaksi berjalan melalui pinjaman luar negeri, pengetatan anggaran
belanja negara, pengendalian harga dan upah, dan pengendalian kurs. Sistem kurs
tetap jika dapat dipertahankan akan sangat menarik, khususnya bagi perusahaan
yang melakukan bisnis internasional karena dapat mengurangi risiko nilai tukar.
Sistem kurs tetap mempunyai dua kelemahan utama. Pertama, nilai tukar
sering kali tidak mencerminkan nilai yang sesungguhnya dari suatu mata uang
karena otoritas moneter selalu menjaga stabilitas kurs pada tingkat yang
diinginkan. Kedua, jika pelaku pasar (khususnya spekulan valuta asing) menilai
nilai tukar suatu mata uang terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka mata uang
tersebut akan mendapat tekanan jual atau beli yang sangat besar. Tentu upaya ini
akan dapat mengurangi cadangan devisa negara jika pemerintah tetap
mempertahankan nilai tukar mata uang tersebut.
3. Sistem kurs mengambang terkendali
Sistem kurs mengambang bebas menyebabkan ketidakpastian dan
fluktuasi kurs yang tinggi. Karena itu untuk mengurangi hal tersebut, banyak
negara yang menganut sistem mengambang melakukan intervensi via bank
sentral untuk mengurangi fluktuasi kurs. Intervensi bank sentral dapat berupa
mengurangi fluktuasi harian, cenderung melawan angin dan tertambat tak resmi.
Dalam kebijakan fluktuasi harian, pemerintah mencoba mempersempit
fluktuasi kurs melalui pasar dengan menjual atau membeli mata uang domestik.
Cenderung melawan angin digunakan pemerintah untuk mencegah fluktuasi
besar dalam jangka pendek dan jangka menengah agar tercipta kestabilan
ekonomi bagi para eksportir dan importir. Sedangkan tertambat tak resmi
digunakan untuk mengubah kurs tanpa melalui mekanisme pasar.
4. Pengaturan Zona Target
Negara-negara industri menyesuaikan kebijakan ekonomi mereka untuk
menentukan tingkat kurs dengan margin tertentu, di atas atau di bawah nilai mata
uang gabungan. Sistem seperti ini telah digunakan oleh negara-negara Eropa
dalam sebuah wadah yang dinamakan Sistem Moneter Eropa (EMS).
5. Sistem Kurs Tertambat
Apabila suatu negara menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan nilai
mata uang satu atau sekelompok negara, maka negara tersebut menganut sistem
kurs tertambat. Sekitar 50 negara di dunia menganut sistem kurs ini.
6. Sistem Kurs Tertambat Merangkak
Dalam sistem ini, suatu negara menetapkan nilai mata uang dikaitkan
dengan nilai mata uang negara lain. Tetapi dalam jangka waktu tertentu, nilai
mata uang negara tersebut berubah sedikit demi sedikit, mencapai tingkat
tertentu.
7. Sistem Kurs Tertambat pada Sekeranjang Mata Uang
Sekitar 34 negara menambatkan mata uang mereka pada sekeranjang mata
uang yang berisi kumpulan mata uang negara mitra dagang utama. Nilai
sekeranjang mata uang lebih stabil dibandingkan nilai mata uang satu negara.
Besarnya persentase nilai mata uang yang dimasukkan dalam keranjang dihitung
dari bobot relatif peran masing-masing negara terhadap negara bersangkutan. 29
negara dari 34 negara yang menganut sistem ini menambatkan mata uang mereka
pada sekeranjang mata uang mitra dagang utama. Lima negara lainnya
menambatkan pada Special Drawing Rights (SDR).
3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KURS VALUTA ASING
1. Neraca Perdagangan
Seperti halnya komoditi lainnya, mata uang pada dasarnya dapat dianggap
sebagai komoditi selain sebagai alat pembayaran. Dengan demikian harga atau
daya beli atau nilai tukar satu mata uang terhadap mata uang negara lain
ditentukan oleh hukum pasar melalui kekuatan permintaan dan penawaran. Oleh
sebab itu perlu untuk memahami faktor apa yang mempengaruhi permintaan dan
penawaran satu mata uang.
Permintaan Rupiah ditentukan permintaan barang dan jasa buatan
Indonesia oleh orang Amerika. Semakin banyak impor Amerika dari Indonesia
maka setakin besar kebutuhan Rupiah untuk membayar impor dari Indonesia.
Sedangkan permintaan US$ ditentukan oleh permintaan orang Indonesia atas
barang dan jasa buatan Amerika Serikat. Semakin banyak permintaan barang dan
jasa buatan Amerika Serikat atau semakin besar impor Indonesia dari Amerika
Serikat, maka semakin besar permintaan US$. Ini berarti semakin besar pula
penawaran Rupiah untuk ditukarkan dengan US$ guna membayar impor dari
Amerika Serikat.
2. Inflasi
Tingkat inflasi di Indonesia pada tahun 1998 mencapai 80% berarti terjadi
kenaikan harga barang-barang secara umum sebesar delapan puluh persen.
Sementara itu inflasi di Amerika Serikat pada tahun yang sama hanya sekitar 4%
berarti daya beli US$ mengalami penurunan kurang lebih sebesar empat persen.
Akibat inflasi yang tinggi di Indonesia tersebut maka orang Indonesia melihat
bahwa barang-barang buatan Amerika Serikat menjadi relatif lebih murah.
Akibatnya orang Indonesia akan meminta atau mengimpor barang-barang dan
jasa buatan Amerika lebih banyak.
Di sisi lain barang-barang dan jasa buatan Indonesia yang mengalami
kenaikkan harga sebesar 80% menjadi relatif lebih mahal dar sudut pandang orang
Amerika Serikat. Akibatnya permintaan orang Amerika atas barang dan jasa
buatan Indonesia turun atau ekspor Indonesia ke Amerika berkurang, barang dan
jasa tidak lagi kompetitif dan perolehan devisa US$ menurun berarti penawaran
US$ turun. Kedua hal tersebut mengakibatkan Rupiah akan mengalami depresiasi
terhadap, US$ sebagai akibat inflasi di Indonesia yang lebih tinggi dibanding
inflasi di Amerika Serikat.
3. Tingkat suku bunga
Tingkat bunga deposit secara teoritis mencerminkan tingkat keuntungan
riil ditambah dengan tingkat keuntungan premi risiko. Dengan demikian apabila
inflasi di Indonesia adalah 80% maka tingkat bunga deposito Rupiah secara
teoritis harus diatas 80%. Sementara itu apabila tingkat inflasi di Amerika Serikat
sebesar 4% maka tingkat bunga deposito US$ diatas 4%. Tetapi apabila dalam
kenyataannya tingkat bunga Rupiah hanya 50% berarti keuntungan riil penabung
di Indonesia mengalami penurunan. Jika ini terjadi maka pemilik modal tentu
lebih senang menanamkan dananya dalam bentuk US$. Akibatnya permintaan
US$ meningkat karena orang lalu menukarkan Rupiahnya menjadi US$ untuk
didepositokan dalam US$, sehingga Rupiah akan mengalami depresiasi terhadap
US$. Begitu pula sebaliknya jika keuntungan deposito US$ ternyata lebih rendah
dibandingkan dengan Rupiah maka diperkirakan Rupiah akan mengalami
apresiasi terhadap US$.
4. Market Expectation
Apabila pasar berpengharapan inflasi akan tinggi di masa datang, maka
pemilik modal akan segera membelanjakan uangnya baik untuk barang-barang
durable yang diperkirakan akan mengalami kenaikan harga ataupun untuk
dibelanjakan/ditukarkan dalam bentuk mata uang lain yang nilainya stabil.
Pengalaman menunjukkan bahwa depresiasi Rupiah terhadap US$ juga
disebabkan oleh pengharapan pasar tentang kepastian di masa datang. Pasar
memperoleh informasi bahwa masalah utang luar negeri yang begitu besar dan
hamper delapan puluh persen tidak dilakukan lindung nilai, mengindikasikan
bahwa bila negosiasi dengan kreditur tidak berhasil maka swasta dan pemerintah
harus membayar utangnya sesuai dengan jadwal semula.
5. Reputasi bank sentral
Sering diartikan dengan kredibilitas pimpinan puncak bank sentral
kemandirian atau independensi pengelola bank sentral dari campur tangan
pemerintah. Contohnya terlihat saat Alan Greenspan menggantikan Volcker
sebagai Ketua Federal Reserve pada 2 Juni 1987. Pasar bereaksi negatif terhadap
ketidakpastian tentang kebijakan Greenspan, dengan dolar merosot terhadap yen
dan obligasi Treasury turun lebih dari $100 miliar. Independensi Bank Sentral
seperti Bundesbank di Jerman dan Federal Reserve di AS sering menjadikan
contoh pelajaran berharga.
6. Intervensi Bank Sentral Di Pasar Valuta Asing
Upaya mengendalikan nilai tukar rupiah tidak selalu diartikan hanya
menekan laju depresiasi atau memelihara kurs dalam “range” yang konstan,
namun upaya stabilisasi nilai tukar lebih diartikan menjaga nilai tukar rupiah yang
bergerak dengan teratur (orderly manner). Oleh karena itu, apabila nilai tukar
bergejolak tajam karena faktor “uncertainty” dan pasar membutuhkan suatu acuan
atau “guidance” dari Otoritas Moneter/Bank Sentral sebagai sinyal. Kegiatan
intervensi yang dilakukan oleh Otoritas Moneter/Bank Sentral adalah merupakan
sinyal kepada peserta pasar bahwa pergerakan nilai tukar sudah terlalu jauh dari
fundamental.
Disamping itu peranan intervensi yang dilakukan oleh Bank Sentral tidak
lepas dari beberapa hal sebagai berikut:
a) mengurangi volatilitas yang berlebihan dalam jangka pendek, mencegah
spekulasi dari pelaku pasar dan langsung di sterilisasi untuk mengurangi
dampak “spill-over” dari luar negeri ke pasar valas domestik.
b) mendorong kebijakan ekonomi makro jangka menengah terutama berkaitan
dengan target “output” dan keseimbangan “harga”.
Disadari bahwa berhasil tidaknya intervensi yang dilakukan sangat
mempengaruhi kredibilitas Otoritas Moneter. Oleh sebab itu, intervensi yang
dilakukan oleh Otoritas Moneter harus mempunyai strategi yang tepat serta
mempertimbangan beberapa faktor yang mempengaruhi intervensi tersebut.
BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Sistem moneter internasional telah mengalami evolusi sepanjang sejarah,
dimulai dari standar emas pada abad ke-19 hingga perkembangan menuju sistem kurs
mengambang saat ini. Periode standar emas klasik dari tahun 1880 hingga 1914
ditandai dengan stabilitas kurs dan harga, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan
perdagangan internasional yang meningkat. Periode antar Perang Dunia melihat
ketidakstabilan kurs yang disebabkan oleh perang dan ketidakpastian politik.
Persetujuan Bretton Woods pada 1945 menciptakan IMF dan Bank Dunia serta
menetapkan sistem tukar emas yang berbasis dolar AS. Krisis dolar AS pada 1971
mengakhiri sistem tukar emas dan memulai era sistem kurs mengambang. Berbagai
sistem penetapan kurs valuta asing, seperti kurs mengambang bebas, kurs tetap, dan
variasi lainnya, memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kurs valuta asing meliputi neraca perdagangan, inflasi, tingkat
suku bunga, ekspektasi pasar, reputasi bank sentral, dan intervensi bank sentral.
DAFTAR PUSTAKA

Dra. Sri Handaru Yuliati MBA., &. H. (2005). Sistem Moneter Internasional.
Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Sartono, D. R. (2003). Faktor Penentu Nilai Tukar dan Sistem Moneter Internasional.
Yogtakarta: BPFE-YOGYAKARTA.
Samiun, R. (2003). Evaluasi Program Intervensi Dalam Rangka Stabilisasi Nilai Tukar.
Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 1(3), 27–44.
https://doi.org/10.21098/bemp.v1i3.175
Suseno, I. S. (2014). Seri Kebanksentralan No. 12. 12, 46.
http://lib.ibs.ac.id/materi/BI%20Corner/Terbitan%20BI/Seri%20Kebanksentralan/
12.%20Sistem%20dan%20Nilai%20kebijakan%20Nilai%20Tukar.pdf

Anda mungkin juga menyukai