Anda di halaman 1dari 9

DESA jurnal Desain dan Arsitektur/Vol.

1/juli 2020

JURNAL DESAIN DAN ARSITEKTUR


TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
https://ojs.unikom.ac.id/index.php/desa/index
E-ISSN: 2747-2469 Prodi Teknik Arsitektur
P-ISSN: xxxx-xxxx UNIKOM

PENERAPAN STRATEGI INFILL ARCHITECTURE PADA BANGUNAN

Fajar Purnama1 Tri Widianti Natalia2


1,2
Prodi Teknik Arsitektur, Universitas Komputer Indonesia, Jl. Dipati Ukur 112-119, Bandung 40132,

Abstrak ARTICLE INFO

Received _______________
Accepted ________________
Building infill adalah metode mendirikan bangunan dengan mengisi small gap pada Available online _________________
*
wilayah yang sekelilingnya terdapat bangunan eksisting dan menitikberatkan pada Corresponding Author
keselarasan antara hasil rancangan dan lingkungan sekitar. Lingkungan bersejarah Tampilkan nama personil yang akan bertindak sebagai
perwakilan yang akan melakukan korespondensi.
merupakan wilayah yang cocok dalam penerapan pendekatan Building Infill. Desain infill Tampilkan no kontak yang aktif sehingga memudahkan
diperlukan sebagai salah satu strategi pemeliharaan. Strategi ini ditemukan lebih fokus untuk dihubungi, senantiasa mengecek email yang
pada bangunan warisan yang tidak teramati dalam arsitektur biasa. Tujuan dari tulisan masuk

ini adalah untuk lebih memahami tentang bagaimana penerapan dari metode building
infill sebagai salah satu upaya strategi pada bangunan. Metode pengumpulan data dari Fajar Purnama
jurnal sejenis melalui pencarian dengan memanfaatkan kata kunci Infill Arsitektur di Universitas Komputer Indonesia
Google Scholar dan ScientDirect. Hasil dari penelitian ini untuk mengetahui strategi – +62 81325884148
strategi penerapan infill architecture pada bangunan. Email: fpurnama24@gmail.com

Copyright ©2022. Brigitta Salsa


This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License

Kata Kunci:

1. Pendahuluan

Latar Belakang

Pendekatan arsitektur infill pertama kali dikemukakan oleh arsitek Belanda, NJ Habraken, pada tahun 1962,
dimana dijelaskan pemisahan antara struktur bangunan (penopang), serta strategi dalam merancang dan membangun
rumah hunian (Bukit, Hanan, dan Wibowo , 2012). Perspektif ini kemudian dikembangkan dalam skala yang lebih luas
berdasarkan dimasukkannya pendekatan di kawasan perkotaan, yang awalnya dikembangkan pada tahun 1976 pada
Konferensi PBB tentang Pemukiman Manusia Kedua (Habitat II) dan secara resmi ditetapkan oleh American real estate
pada tahun 1979 (Pormousavi , Naser, dan Shokouhi, 2014). Selanjutnya dikembangkan teori (Brolin, 1980) yang
menjelaskan pentingnya unsur kontekstualitas daerah karena memperkuat nilai-nilai karakteristik suatu daerah (Wirawan,
2014). Dalam konteks sejarah, penerapan arsitektur infill mewujudkan beberapa kriteria desain, termasuk skala, material
dan detail, lanskap, pemandangan dan landmark, perkembangan sejarah, serta struktur perkotaan, butiran, kepadatan, dan
campuran. Hal ini diharapkan menjadi panduan bagi perancang dan pengambil kebijakan dalam proses memasukkan
bangunan baru (Warren, 1998).
Pada lingkungan warisan perkotaan, penggunaan karakter visual dan spasial elemen bangunan diterapkan
sebagai kriteria keberhasilan penerapan pengisi sesuai konteks (Soosani, 2013). Meskipun penerapan ini memperoleh
desain responsif pada bangunan publik, namun tetap diperlukan ikatan untuk menyatukan struktur baru dan lama (Alfirevic
dan Simonovic, 2015). Selain itu, pedoman desain perencanaan kota saat ini telah dikembangkan oleh komisi
pembangunan, sebagai bagian dari implementasi perencanaan wilayah (Dillon, 2021).

1
Fajar Purnama

Penggunaan infill ini karena menurut Abioso (2020), interaksi antara desain arsitektural dengan psikologi manusia
adalah hal yang sangat penting, tetapi terkadang hal tersebut diabaikan. Oleh karena itu, penggunaan infill architecture
pada desain merupakan pendekatan yang baik dalam menghadapi interaksi antara desain arsitektural maupun psikologi
manusia di sekitarnya. Infill architecture banyak berbicara mengenai hubungan antara bangunan yang baru dibangun
dengan kawasan dimana bangunan tersebut dibangun, sehingga dengan menerapkannya konsep infill architecture, suatu
bangunan harus memikirkan bagaimana dampak dibangunnya bangunan tersebut terhadap lingkungan sekitar, termasuk
tetangga yang tinggal di lingkungan tersebut. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk lebih memahami tentang bagaimana
penerapan dari metode building infill sebagai salah satu strategi pada penerapannya.

2. Kajian Pustaka

Dalam perencanaan kota, infill, atau in-fill, adalah pendedikasian ulang lahan di lingkungan perkotaan, biasanya
ruang terbuka hingga konstruksi baru yang biasanya terjadi di ruang kota yang mengalami keterbatasan lahan. Metode
infill juga berlaku, di dalam pemerintahan kota, konstruksi pada lahan yang belum dikembangkan yang tidak berada di
pinggiran kota. Metode infill telah dipromosikan sebagai penggunaan infrastruktur yang ada secara ekonomis dan solusi
untuk urban sprawl (Alfirevic & Alfirevic, 2015).
Building infill didefinisikan sebagai pembangunan yang dilakukan dalam sebuah lahan yang belum
dikembangkan atau dianggap tidak menguntungkan yang di sekitarnya terdapat bangunan-bangunan lain. Pendekatan
Building infill sering juga didefinisikan yaitu pembangunan yang dilakukan dengan mengisi celah lahan yang tersedia pada
lingkungan yang telah terbangun (Maryland Department of Planning, 2001).
Menurut Ayu Steffina (2015) Infill design dapat dilakukan dengan cara membuat fungsi baru pada bangunan lama
tanpa merubah kondisi bangunan dan site, pengurangan maupun penambahan elemen-elemen tertentu serta membuat
bangunan baru dalam area kompleks bangunan lama dengan mempertahankan keberadaan bangunan lama. Infill design
juga dapat menciptakan simbiosis antara dua tipe bangunan tersebut.

Adapun 3 cara penerapan Infill design, yaitu :


A. Extension
Extension adalah menambah bangunan lama dengan suatu desain bangunan yang serupa atau tipikal sehingga
menjadi sesuatu yang terintegrasi. Bagian bangunan baru yang ditambahkan ke bagian lama masih memiliki hubungan.
Penambahan arsitektur semacam ini paling sederhana karena seolah-olah melanjutkan desain bangunan lama.
B. Derrivation
Derrivantion adalah bangunan lama menjadi inspirasi pada bangunan baru, namun desain bangunan baru tidak
memiliki keterkaitan dengan bangunan lama, dari fungsi dan aktivitas antara bangunan lama dan baru tidak saling
mengganggu atau berpengaruh satu sama lain.
C. Transformation
Transformation adalah penambahan yang didasarkan pada perubahan bentuk secara keseluruhan. Dalam hal ini,
bangunan baru memiliki bentuk yang sama sekali berbeda dengan bangunan lama. Desain bangunan baru sama sekali
tidak memiliki keterkaitan dengan bangunan lama atau bangunan sekitarnya bisa dibilang kearah lebih modern. Metode
ini merupakan metode yang paling radikal dibandingkan dengan yang lain.

3. Metode

Untuk mendapatkan data mengenai apa saja yang diperlukan, maka digunakan pendekatan kualitatif. Tujuan dari
penggunaan pendekatan kualitatif adalah untuk memahami apa saja permasalahan yang terjadi pada subjek dengan cara
menggali dan mengumpulkan informasi terkait secara terperinci. Metode pengumpulan data dari jurnal sejenis melalui
pencarian dengan memanfaatkan kata kunci Infill Arsitektur di Google Scholar dan ScientDirect. Hasil dari penelitian ini
untuk mengetahui strategi – strategi penerapan infill architecture pada bangunan.

2
DESA Volume 1 Issue 1 February 2019/pp. 1-8

4. Pembahasan dan Hasil

4.1 Penerapan Strategi infill arsitektur pada jurnal sejenis

1. Rahmat, F., Yuli, N. G., & Maharika, I. F. (2022). Infill Architecture: Contextualizing Design in An
Urban Setting. Engineering and Technology Quarterly Reviews, 5(2).

Elemen Infill Arsitektur


Beberapa ahli menjelaskan elemen arsitektur infill dari sebuah bangunan hingga skala perkotaan, dimana konteks
regional dipandang sebagai faktor penting dalam menentukan dasar desain untuk pembangunan baru. Berikut ini adalah
variabelvariabel yang digunakan untuk mengkaji elemen-elemen arsitektur ini, berdasarkan skala bangunan biasa
perkotaan.

• Material and Details


Hal ini digunakan untuk mengamati beberapa faktor seperti warna, tekstur, atau material, dalam penerapan
arsitektur infill (Alfirevic dan Simonovic, 2015). Selain itu bukaan/ventilasi udara dan dekorasi juga diperhatikan (Nasrollah,
Ghafari, dan Taheri, 2019). Dalam lingkungan warisan budaya, penggunaan warna yang berbeda sering kali menonjol,
meskipun tidak mudah diterapkan dalam lingkungan perumahan umum dengan banyak keragaman selera. Meskipun pola
pembentukannya serupa, penggunaan tekstur memberikan hasil yang identik dan berbeda pada bangunan warisan dan
bangunan biasa. Untuk bukaan dan dekorasi pada pintu, jendela, dan ventilasi udara, seluruh elemennya juga harus sesuai
dengan konteks kedua lingkungan tersebut. Hal ini dikarenakan bukaan berpengaruh langsung terhadap tampilan
bangunan, yang selanjutnya mempengaruhi desain struktur. Sedangkan arah bangunan sebaiknya berada pada poros
utama jalan karena berkaitan dengan kegiatan kawasan, dengan infrastruktur khusus tersebut sebagai pusat sirkulasi (Tabel
2).
Tabel 1 : Pedoman arsitektur pengisi mengenai material dan detail

Bangunan cagar budaya memiliki karakter yang kuat berdasarkan detail arsitekturnya, dimana penerapan desain

3
Fajar Purnama

infill perlu memperhatikan bentuk atau gaya lingkungan sekitar, untuk memberikan wawasan dan masukan pada instalasi
baru (Nasrollah, Ghafari, dan Taheri, 2019). Hal ini sejalan dengan pola blok, jalan, dan lingkungan sekitar, gaya bangunan
masyarakat mengalami kesulitan dalam mendukung persamaan tersebut. Namun dilihat dari komposisi massa bangunan,
seperti tinggi dan ukuran desain. Keterikatan bentuk atap bangunan baru dengan tipe lama juga perlu diperhatikan karena
mempengaruhi cakrawala kawasan (Alfirevic dan Simonovic, 2015).

Gambar 1 : Elemen gaya dan pengaruh gedung pencakar langit dalam konteks perkotaan

• Skala
Dalam penerapan arsitektur infill pada skala warisan perkotaan, pertimbangan skala dan hierarki bangunan baru
terhadap lingkungan sekitarnya sangatlah penting (Nasrollah, Ghafari, dan Taheri, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa
elemen arsitektur pada bangunan biasa selanjutnya diamati dengan menilai rangka bangunan terkait dengan tinggi dan
ukuran struktur di sekitarnya (Gambar 2). Penerapan skala baru juga diterapkan pada keselarasan dan kelestarian bangunan
di dalam kawasan. Hal ini menyebabkan skala bangunan baru disesuaikan dengan struktur di sekitarnya (Alfirevic dan
Simonovic, 2015).

Gambar 2 : Konteks skala bangunan baru dengan struktur lama

• Posisi Penempatan

Hal ini merupakan penempatan bangunan baru pada suatu kawasan yang mempengaruhi ruang visual, dengan
perlu adanya pertimbangan terhadap pola massa bangunan lama (Nasrollah, Ghafari, dan Taheri, 2019). Hal ini juga
mempunyai kemiripan dengan arah bangunan, yaitu dengan memperluas permukaan fasad lingkungan sekitar ke arah
yang baru (Alfirevic dan Simonovic, 2015). Sedangkan penempatan bangunan baru di area publik diposisikan sesuai
dengan bangunan eksisting di sekitarnya. Pada kawasan tersebut, pelaksanaan pembangunan gedung baru dilakukan
dengan penyesuaian batas dan mempertimbangkan ruang terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa penempatan bangunan
perlu juga mempertimbangkan arkeologi kawasan tersebut (lihat Gambar 3).

4
DESA Volume 1 Issue 1 February 2019/pp. 1-8

Gambar 3: Setting gedung baru dalam konteks perkotaan

Pada urban legacy, unsur fungsional bangunan mengandung fungsi budaya, sosial, ekonomi, dan politik
(Nasrollah, Ghafari, dan Taheri, 2019). Hal ini mempengaruhi tipologi posisinya yang berdasarkan pada bangunan publik.
Bentuk fungsi pembukaan hunian juga berbeda dengan pertokoan (Gambar 4), hal ini menunjukkan bahwa bangunan baru
perlu mempertimbangkan tipologi esensialitas disekitarnya.

Gambar 4: Setting gedung baru dalam konteks perkotaan

• Pendekatan mimesis dan replika literal

Pendekatan mimesis sering digunakan dalam arsitektur infill, meniru karakteristik visual objek di sekitarnya
(Alfirevic dan Simonovic, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa bangunan baru perlu menerapkan elemen visual yang ada
pada struktur di sekitarnya, karena adanya peniruan warna cat, bahan, tekstur, bukaan, arah, serta dekorasi. Oleh karena
itu, bangunan baru ini diharapkan memiliki elemen arsitektur yang serupa dengan desain tetangganya. Dengan
menggunakan pendekatan replikasi literal pada bangunan cagar budaya, hasil serupa masih terlihat melalui peniruan
elemen atau bentuk yang sudah ada (Gambar 5). Hal ini banyak diterapkan pada bangunan cagar budaya karena memiliki
kemiripan yang tinggi dengan metode mimesis. Pada bangunan biasa, penerapan metode ini dilakukan dengan meniru
bentuk, bukaan, warna, dan tekstur atap dari bangunan eksisting ke bangunan baru. Hal ini menegaskan bahwa gedung
baru diharapkan memiliki elemen visual yang mirip dengan gedung lama.

Gambar 5 : Pendekatan mimesis dan replikasi literal

5
Fajar Purnama

• The contrast and intention opposition approaches

Menurut pendekatan kontras, bangunan baru seringkali berbeda dari tipe yang sudah ada karena sangat berbeda
dengan konteks regional (Gambar 6). Sedangkan penjajaran dua gaya berbeda ditekankan dalam metode ini. Hal ini
menyoroti bahwa arsitektur bangunan baru dianggap mewakili era konstruksi, dan perawatan intensif direkomendasikan
saat menggunakan pendekatan ini (Alfirevic dan Simonovic, 2015). Metode oposisi intensi juga mempunyai kemiripan
dengan pendekatan kontras, karena sengaja dilakukan untuk memberikan bentuk yang berbeda. Meski merupakan
pendekatan tandingan secara sadar, namun tetap terlihat mengubah karakter kontekstual daerah, terkait pencapaian
persatuan melalui gagasan independen (Feisal, 2019).

Gambar 6 : Pendekatan penerapan kontras dan pertentangan

2. Preservation Alliance of Greater Philadelphia. (2007). Sense Of Place: Design Guidelines For New
Construction In Historic Districts. Philadephia. Menjelaskan panduan desain dengan metode building
infill pada Kawasan bersejarah

Menurut Preservation Alliance of Greater Philadelphia (2007), terdapat beberapa panduan


yang bisa diaplikasikan pada konstruksi baru dengan Metode Building infill di dalam kawasan
bersejarah yaitu :

a) General.
Bangunan baru yang didesain harus sesuai dengan ukuran, skala, warna, material dan karakter dengan
bangunan eksisting di sekitarnya. Walaupun pada akhirnya bangunan baru menerapkan gaya bangunan yang
berbeda tetapi selama bangunan baru tersebut dapat mencerminkan suasana atau gaya arsitektur di
sekitarnya (sense of place), gaya bangunan baru tersebut masih dapat diterima.
b) Ketinggian.
Bangunan yang didesain dalam hal ketinggian bangunan harus konsisten dengan ketinggian bangunan di
sekitarnya walaupun dalam hal ini bangunan baru tidak mesti mutlak memiliki tinggi yang sama persis, tetapi
perbedaan ketinggian yang terjadi tidak signifikan.
c) Massing.
Jika yang dibangun adalah bangunan Mid-rise atau High-rise, bangunan tersebut harus memiliki keterkaitan
dengan susunan ketinggian dan karakter bangunan dengan area sekitar. Podium bangunan harus
berhubungan dengan skala bangunan lain dan desain menara harus memiliki elemen yang menjadi
karakter atau ciri khas bangunan di sekitarnya.
d) Street Wall.
Bangunan baru harus dapat menjaga hubungan dengan jalan yang umum dilakukan bangunan lain pada
wilayah tersebut seperti jarak antara muka bangunan dengan badan jalan, ada tidaknya parkir paralel di
depan bangunan dan lainnya.
e) Facade Composition.
Komposisi fasad harus mencakup beberapa unsur yaitu :
1. Komposisi fasad bangunan dibagi menjadi 3 yaitu bagian dasar bangunan, tengah dan atas.
2. Tepi atas bangunan didefinisikan dengan artikulasi atau desain yang serupa dengan
bangunan di sekitarnya.
3. Pola bukaan dan persentase bukaan pada fasad bersifat konsisten dengan bangunan
eksisting di sekitarnya.

6
DESA Volume 1 Issue 1 February 2019/pp. 1-8

4. Persentase yang cukup bagi bukaan dan pintu masuk terutama pada bagian lantai pertama
bangunan. Lantai pertama bangunan harus memiliki persentase bukaan yang besar sehingga
menimbulkan kesan ramah pejalan kaki.
5. Untuk bangunan tempat tinggal, hindari penempatan pintu garasi pada lantai pertama yang
memenuhi fasad bangunan dan berhadapan langsung dengan jalur pejalan kaki.

f) Pengalaman Pejalan Kaki.


Bangunan baru harus menggabungkan elemen arsitektur pada lantai pertama bangunan seperti
bukaan yang banyak sehingga terkesan ramah pejalan kaki.
g) Material dan Detail.
Bangunan baru harus menggunakan bahan bangunan yang serupa dengan lingkungan sekitarnya.
Bangunan baru sebisa mungkin mengadopsi detail bangunan seperti tekstur atau elemen yang menjadi
karakter bangunan di lingkungan tersebut.

3. Maryland Department of Planning. (2001). Models and Guidelines for Infill Development. Maryland :
Maryland Department of Planning. Menjelaskan tentang Design Elements of Successful Infill Projects.

Proyek pengisi harus meningkatkan desain dan fungsi komunitas yang ada. Infill mencakup berbagai
bentuk dan penafsiran yang berbeda, namun baik di lingkungan perkotaan atau pedesaan, tampilan dan
fungsi infill harus menghormati prinsip-prinsip umum untuk memastikan bahwa proyek memberikan
manfaat bagi masyarakat yang ada.

Konektivitas

Infill harus mencapai konektivitas antara sistem transportasi di dalam dan di luar lokasi, lanskap jalan, dan
jaringan ruang terbuka. Akses publik ke dan antar fasilitas tersebut tidak boleh dibatasi. Pengenalan trotoar
pada proyek-proyek pengisi baru dapat meningkatkan dukungan masyarakat terhadap retrofit trotoar di
daerah dimana tidak ada trotoar di kedua sisi jalan.

NEW SIDEWALKS AS PART OF A NEW INFILL PROJECT CAN ACT AS A CATALYST TO GARNER PUBLIC SUPPORT FOR NEW SIDEWALKS IN AN EXISTING COMMUNITY

Sirkulasi

Jika pengembangan infill cukup besar, jalan-jalan baru harus dibangun secara saling
berhubungan , multi- modal jaringan (biasanya dalam bentuk grid atau pola grid yang dimodifikasi) untuk
menjaga kelangsungan sistem sirkulasi masyarakat yang ada. Sistem jalan baru harus memenuhi
kebutuhan pengendara sepeda, kereta bayi, kursi roda, pejalan kaki dan kendaraan bermotor.
Strategi transportasi secara keseluruhan harus mendukung kemudahan berjalan kaki dibandingkan
perjalanan dengan mobil. Kontrol akses mungkin merupakan komponen penting; pemotongan
tepi jalan harus diminimalkan bila memungkinkan. Sistem jalan tertutup harus dihindari. Jalan buntu, jika
dibatasi pada desain lubang kunci pendek, dapat digunakan untuk meningkatkan cakupan kepadatan dan
menyambung ke jaringan utama. Blok harus pendek untuk meningkatkan peluang berbelok dan
meningkatkan orientasi pejalan kaki.

7
Fajar Purnama

Parkir

Peraturan parkir harus disesuaikan untuk mengakomodasi pengembangan infill. Persyaratan parkir
dalam peraturan zonasi dapat menghambat proyek pengisian – lokasi mungkin tidak cukup besar untuk
menampung ruang yang diperlukan, atau persyaratan tersebut dapat membuat proyek menjadi terlalu
mahal. Namun dalam banyak kasus, jumlah parkir yang diperlukan untuk pengisian berdasarkan zonasi lokal
tidak diperlukan, mengingat adanya peluang untuk parkir di jalan, parkir bersama, atau peningkatan jumlah
pejalan kaki, bersepeda, atau angkutan umum. Parkir bersama khususnya harus dipertimbangkan untuk
proyek mixe-duse yang berlokasi dalam jarak ¼ mil dari fasilitas parkir. Konfigurasi alternatif— seperti
garasi gang—juga dapat meningkatkan desain dan fungsi proyek pengisi. Parkir untuk proyek komersial atau
penggunaan campuran harus diakomodasi di belakang bangunan, bukan di depan bangunan, untuk
mempertahankan lanskap jalan yang berorientasi pada pejalan kaki

DALAM CONTOH INI, BANGUNAN DITARIK SAMPAI GARIS TAMPROLAN. TOTAL 15 RUANG PARKIR TERLETAK DI
BELAKAN

4. Kesimpulan

Dari Penelitian jurnal sejenis di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan infill memandang kontekstualitas
sebagai faktor yang tidak terlalu penting dan perlu dipertahankan, berdasarkan perspektif skala bangunan dan perkotaan.
Berdasarkan literatur yang dikaji, sebagian besar pendekatan tersebut cocok untuk digunakan di kawasan pelestarian
sejarah yang memiliki bangunan cagar budaya. Namun, penerapan yang lebih umum pada bangunan biasa di area
kontekstual digunakan melalui elemen pengisi lokal. Dalam menganalisis kontekstualitas lokasi, unsur yang sesuai juga
adalah material dan detail, bentuk, skala, posisi tempat, dan kegunaan. Selain itu, strategi penerapan infill juga memiliki
pendekatan yang beragam, mulai dari metode yang sengaja dibuat mirip dengan kondisi arsitektur lokal (mimesis) hingga
yang sengaja dibuat berbeda dengan menjaga kontekstualitas (kontras).
Metode building infill dapat dirasakan penerapannya ketika gaya arsitektur yang disajikan menggunakan gaya
arsitektur yang kontras atau berbeda dengan sekitarnya atau bangunan kanan-kirinya, namun tetap memperhatikan
kontekstualitas dari keberadaannya terhadap bangunan sekitarnya. Pendekatan tersebut adalah dengan menerapkan
pendekatan asosiatif. Pada pendekatan asosiatif, terdapat beberapa elemen bangunan yang harus saling berkaitan dengan
bangunan lain disekitarnya. Elemen bangunan tersebut adalah ketinggian bangunan, susunan massa bangunan, elemen
pembatas bangunan dengan jalan, komposisi fasad, penggunaan material, penerapan desain serta jumlah lantai bangunan.

8
DESA Volume 1 Issue 1 February 2019/pp. 1-8

5. Referensi

Maryland Department of Planning. (2001). Models and Guidelines for Infill Development. Maryland :
Maryland Department of Planning.

Rahmat, F., Yuli, N. G., & Maharika, I. F. (2022). Infill Architecture: Contextualizing Design in An Urban
Setting. Engineering and Technology Quarterly Reviews, 5(2).

Wicaksana, M. A. (2017). Pusat Komunitas Di Kawasan Baciro Dengan Pendekatan Konsep Infill
Desain.

Purwantiasning, A. W., Rosyadi, M. A., & Sari, Y. (2019). Pemahaman Metode Building Infill sebagai
Penerapan Konsep KonservasiKawasan Bersejarah Melalui Studi Preseden. Prosiding Semnastek.

Alfirevic, Djordje., & Alfirevic, Sanja Simonovis. (2015). Infill Architecture: Design Approaches For In-
Between Buildings And “Bond” As Integrative Element . Reasearch Gate.

Rahmat, F., Yuli, N. G., & Maharika, I. F. (2022). Infill Architecture: Contextualizing Design in An Urban
Setting. Engineering and Technology Quarterly Reviews, 5(2).

Rosyadi, M. A., Purwantiasning, A. W., & Sari, Y. (2019). Pendekatan Building Infill Pada Perancangan
Youth Center Di Kotatua Jakarta. PURWARUPA Jurnal Arsitektur, 3(4), 49-56.

Anda mungkin juga menyukai