Anda di halaman 1dari 18

KEBERAGAMAN MASYARAKAT DI DESA PENGLIPURAN BALI SEBAGAI

BENTUK TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA

Laporan Hasil Observasi

Disusun Oleh:

1. KUNTUM RISALATUL AWALIA 11. NONIK NABILA PURNAMA SARI


2. M. AGUS MUSTAKIM 12. RAFFI AHMAD MAULANA
3. M. ZALFI FALCHA AKBAR
4. MOH. ALFIN MAULANA 13. RATNA FAIRUZ IVANA R.
5. MUHAMMAD FARID 14. RE TEGAR SAMUDRA
6. MUTIARA AMELIA PUTRI 15. SHAFA AZZAHRA OCTAVIANY
7. NADIA EVITA 16. TSABITAH AL FADIYAH
8. NIKEN CAHYA WARDHANI
17. ZEICA AKHSANA PUTRA SONDA
9. NIKMATUL MAULAYA S. A.
18. ZYABELA ERGY AGISTI
10. NIRMA NUR ADINDA

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 BOJONEGORO

BOJONEGORO

2023
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Observasi studi lingkungan adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi


tentang lingkungan melalui pengamatan langsung. Kegiatan ini dapat dilakukan untuk
berbagai tujuan, seperti penelitian, pengembangan, dan pemantauan lingkungan. Dalam
observasi studi lingkungan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti Tujuan,
Lokasi, Waktu, Metode, Data, dan lainnya. Dengan melakukan observasi studi lingkungan
yang efektif, kita dapat memperoleh data dan informasi yang akurat tentang lingkungan.
Data dan informasi ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti penelitian,
pengembangan, dan pemantauan lingkungan.

Man 1 Bojonegoro mengadakan observasi studi lingkungan ke Bali dengan tujuan


untuk menambah wawasan dan tempat wisata, kesenian dan adat istiadat di Bali. Mengenal
kebudayaan tanah air. Sebagai pengalaman menulis karya ilmiah, dan memperdalam
pengetahuan siswa tentang pulau Bali.

Desa Penglipuran merupakan salah satu desa adat tradisional yang masih bertahan
hingga saat ini. Desa ini terkenal dengan keasrian lingkungannya yang masih terjaga
dengan baik. Oleh karena itu, Desa Penglipuran dijadikan objek studi lingkungan untuk
mempelajari bagaimana masyarakat desa ini dapat menjaga lingkungannya dengan baik.
Desa Penglipuran memiliki lingkungan yang asri dan bersih. Hal ini terlihat dari
banyaknya pepohonan yang tumbuh di desa ini, serta kebersihan lingkungannya yang
terjaga. Desa Penglipuran juga merupakan desa yang memiliki budaya yang masih terjaga
dengan baik. Masyarakat desa ini masih memegang teguh adat istiadat dan tradisi yang
telah diwariskan secara turun-temurun. Studi lingkungan di Desa Penglipuran dapat
memberikan beberapa manfaat, antara lain Meningkatkan pemahaman tentang konsep
pembangunan berkelanjutan. Mengembangkan strategi pengelolaan lingkungan. Studi
lingkungan di Desa Penglipuran telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari dalam
maupun luar negeri. Studi ini telah menghasilkan berbagai temuan dan rekomendasi yang
bermanfaat bagi pengelolaan lingkungan di desa-desa lainnya.
Rumusan Masalah

1. Bagaimana Observasi Lingkungan di Desa Penglipuran?


2. Apa Sejarah Desa Penglipuran?
3. Bagaimana Desa Penglipuran dapat mempertahankan kearifan lokalnya di tengah
arus modernisasi?
4. Bagaimana Desa Penglipuran dapat mengembangkan pariwisatanya tanpa merusak
kearifan lokalnya?
BAB II

KAJIAN TEORI SESUAI FOKUS

Observasi studi lingkungan adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi


tentang lingkungan melalui pengamatan langsung. Kegiatan ini dapat dilakukan untuk
berbagai tujuan, seperti penelitian, pengembangan, dan pemantauan lingkungan. Observasi
studi lingkungan ini bertujuan untuk mempelajari kondisi lingkungan di Bali, baik di
kawasan pariwisata maupun non-pariwisata. Observasi ini juga bertujuan untuk
mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk pengelolaan lingkungan di Bali. Desa
Penglipuran merupakan contoh desa yang berhasil menjaga lingkungannya dengan baik.
Hal ini tidak terlepas dari kesadaran masyarakat desa yang tinggi akan pentingnya
lingkungan. Upaya-upaya yang dilakukan masyarakat Desa Penglipuran untuk menjaga
lingkungannya dapat menjadi contoh bagi desa-desa lain di Indonesia.

Kerukunan umat beragama di Desa Penglipuran, Bali, merupakan salah satu hal
yang menonjol di desa ini. Mayoritas penduduk Desa Penglipuran beragama Hindu, namun
terdapat juga umat beragama Islam, Kristen, dan Katolik. Meskipun berbeda agama,
masyarakat Desa Penglipuran hidup rukun dan rukun. Ada beberapa faktor yang
mendukung kerukunan umat beragama di Desa Penglipuran, antara lain pemahaman yang
mendalam tentang ajaran agama, kearifan lokal, keterlibatan pemerintah desa.

Data keberagaman masyarakat di Desa Penglipuran, Bali, berdasarkan hasil


observasi studi lingkungan pada bulan Agustus 2023. mayoritas penduduk Desa
Penglipuran beragama Hindu, yaitu sekitar 95%. Sisa penduduknya beragama Islam,
Kristen, dan Katolik. Masjid, gereja, dan pura di Desa Penglipuran berdiri berdampingan
dengan damai. Masyarakat Desa Penglipuran saling menghormati tempat ibadah masing-
masing. Keberagaman masyarakat di Desa Penglipuran merupakan kekayaan yang perlu
dilestarikan. Keragaman ini dapat menjadi kekuatan untuk membangun desa yang maju
dan sejahtera.

Berikut adalah beberapa contoh kerukunan umat beragama di Desa Penglipuran.


Masyarakat Desa Penglipuran memiliki tradisi ngejot, yaitu tradisi saling berbagi makanan
antar umat beragama. Tradisi ini dilakukan setiap hari raya keagamaan. Masjid, gereja, dan
pura di Desa Penglipuran berdiri berdampingan dengan damai. Masyarakat Desa
Penglipuran saling menghormati tempat ibadah masing-masing. Warga Desa Penglipuran
saling membantu dalam berbagai kegiatan keagamaan. Misalnya, umat Hindu membantu
umat Islam dalam membangun masjid, dan sebaliknya. Kerukunan umat beragama di Desa
Penglipuran merupakan contoh yang baik bagi desa-desa lain di Indonesia. Kerukunan
beragama merupakan hal yang penting untuk menjaga keutuhan bangsa.

Nilai dan norma yang ada dalam masyarakat desa Penglipuran didasarkan pada
konsep ajaran agama Hindu Tri Hita Karana, yaitu tiga hal yang menyebabkan kebaikan,
diantaranya hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan
hubungan manusia dengan lingkungan. Konsep tersebut digunakan oleh masyarakat
sebagai pedoman orientasi dan motivasi dalam lingkungan dan lingkungan laku. Nilai-nilai
sosial yang tumbuh di masyarakat yang mengandung makna luhur yang mendasari dalam
kehidupan sehari-hari yaitu Tat twam asi yang merupakan konsep tentang saling
menghargai antara sesama manusia, adanya toleransi dan hidup saling berdampingan.
Salunglung Sebayantaka yaitu suatu konsep yang mengandung makna rasa
sepenanggungan atau senasib.

Masyarakat Desa Adat Penglipuran merupakan satu kelompok masyarakat Bali


(Bali Mula) yang menganut Agama Hindu Masyarakat Desa Penglipuran masih tetap
mempertahankan tempat-tempat suci (pura) dan ritual tradisional warisan nenek moyang
mereka. Desa Penglipuran memiliki bahasa yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat
Bali pada umumnya. Di Bali sendiri Bahasa Bali memiliki tingkatan kegunaannya,
misalnya ada yang di sebut Bali Alus, Bali Madya, dan Bali Kasar. Bahasa yang halus
digunakan untuk berkomunikasi secara formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa
adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan orang yang berkasta
lebih tinggi. Bahasa madya digunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya atasan
kepada bawahannya, sedangkan bahasa bali kasar dipergunakan untuk berkomunikasi oleh
orang-orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan hingga abdi
dalemnya.

Organisasi sosial kemasyarakatan di Desa Penglipuran dapat digolongkan menjadi


dua, yaitu Lembaga Desa Pakraman Penglipuran dan Lembaga Dinas Lingkungan
Penglipuran. Lembaga Desa Pakraman Penglipuran bersifat otonom karena tidak
berhubungan langsung dengan lembaga dinas pemerintahan (kelurahan maupun
lingkungan). Hubungan lembaga desa pakraman dengan lembaga pemerintahan dinas
hanyalah hubungan yang bersifat konsultatif. Sistem pemerintahan di Lembaga Desa
Pakraman Penglipuran disusun dalam satu kepemimpinan adat yang disebut Prajuru Desa
Adat Penglipuran. Prajuru (pengurus) Desa Adat di Penglipuran ini dibedakan menjadi dua
bagian, yakni prajuru desa adat dan prajuru ulu apad. Prajuru Desa Adat terdiri atas
Bendesa atau kelihan adat, dua orang penyarikan, dan seka-seka. Sedangkan prajuru ulu
apad terdiri atas dua belas orang yang disebut dengan Jero Kancan Roras meliputi dua Jero
Bayan (Jero Bayan Mucuk dan Jero Bayan Nyoman), dua orang Jero Bahu (Jero Bahu
Mucuk dan Jero Bahu Nyoman), dua orang Jero Singgukan (Jero Singgukan Mucuk dan
Jero Singgukan Nyoman), dua orang Jero Cacar (Jero Cacar Mucuk dan Jero Cacar
Nyoman), dua orang Jero Balung (Jero Balung Mucuk dan Jero Balung Nyoman), dan dua
orang Jero Pati (Jero Pati Mucuk dan Jero Pati Nyoman).
BAB III

GAMBARAN OBJEK

Sejarah Desa Adat Penglipuran dimulai sejak 700-an tahun yang lalu, yaitu pada
zaman kerajaan Bangli. Menurut penuturan para sesepuh/ penglingsir, Desa Penglipuran
merupakan sepihan dari Desa Bayung Gede, Kintamani. Kata Penglipuran berasal dari kata
Pengeling dan Pura. Pengeling berasal dari kata eling yang berarti mengingat/mengingat.
Pura berarti tempat/benteng/tanah leluhur. Jadi Penglipuran artinya ingat kepada tanah
leluhur/ tempat asal mulanya. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa pendahulu/leluhur
Desa Penglipuran berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani. Jarak antara Kota Bangli
dengan Desa Bayung Gede sangat jauh (sekitar 25 km) dan perjalanan jaman dulu hanya
dapat dilakukan dengan berjalan kaki atau naik kuda, maka untuk memudahkan
komunikasi dibuatlah semacam istirahat di daerah Kubu (4,5 km) dari kota Bangli. Dari
waktu ke waktu akhirnya warga ini terus bertambah banyak karena sudah ada yang
berkeluarga. Sebelum bernama Penglipuran, desa ini dulunya bernama Desa Kubu Bayung
yang artinya orang Bayung yang tinggal di wilayah Kubu.

Selanjutnya masyarakat terus bertambah dan sepakat untuk membuat desa sendiri
dan terlepas dari kewajiban desa asalnya (Bayung Gede) serta membuat tempat suci
sendiri (Pura Kahyangan Tiga). Dalam penataan pola tata ruang desa, konsepnya tetap
sama dengan konsep desa leluhurnya yang ada di desa Bayung Gede. Berdasarkan sejarah
tersebut, Desa Penglipuran sering dikunjungi oleh peneliti-peneliti maupun pelajar yang
ingin lebih mendalami tentang Sejarah desa Penglipuran maupun meneliti persamaan
maupun perbedaan antara kebudayaan masyarakat Desa Penglipuran dengan leluhurnya
yaitu Desa masyarakat Bayung Gede (Sulistyawati, Budiartha, Prianta, Purnawan, &
Sarjana, 2014). Penghargaan Kalpataru sempat diraih Desa Penglipuran dalam kategori
Penyelamat Lingkungan pada tahun 1995. Pemberian penghargaan didasarkan pada
kemampuan masyarakat Desa Penglipuran menjaga kelestarian alam dan menjaga tradisi-
tradisi budaya yang ada. Desa Penglipuran juga pernah masuk dalam sembilan pemenang
Citra Pesona Award 2013. Sederet prestasi yang pernah diraih Desa Penglipuran mampu
membangun kesan atau citra yang baik di mata wisatawan sebagai salah satu desa wisata
yang menarik untuk dikunjungi (Sulistyawati et al., 2014).
Konsep desa di Bali memiliki dua pengertian, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa
adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di daerah Bali, yang mempunyai satu
kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu, yang secara turun
temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang mempunyai wilayah tertentu, dan harta
kekayaan tersendiri serta mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Landasan dasar desa
adat di Bali adalah konsep Tri Hita Karana (Dwijendra, 2003).

Ajaran Tri Hita Karana adalah salah satu ajaran dalam agama Hindu yang pada
intinya mengajarkan tentang keseimbangan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan),
manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan lingkungannya (palemahan).
Ketiga keseimbangan tersebut merupakan penyebab terjadinya kebahagiaan. Sebagai salah
satu ajaran, Tri Hita Karana.

Konsepsi ajaran tersebut melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang paling
makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana alit/manusia).
Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Yang Maha Esa), tenaga adalah
berbagai tenaga alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta. Dalam perumahan (tingkat
desa); jiwa adalah parhyangan (pura desa), tenaga adalah pawongan (masyarakat) dan
jasad adalah palemahan (wilayah desa). Demikian pula halnya dalam banjar: jiwa adalah
parhyangan (pura banjar), tenaga adalah pawongan (warga banjar) dan jasad adalah
palemahan (wilayah banjar). Pada rumah tinggal jiwa adalah sanggah pemerajan (tempat
suci), energi adalah penghuni dan jasad adalah pekarangan. Sedangkan pada manusia, jiwa
adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad adalah stula sarira/tubuh manusia.
deskripsi konsep Tri Hita Karana dalam susunan kosmos (Dwijendra, 2003).

Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau
keharmonisan manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga,
memberikan turunan konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga
dan Angga berarti badan, yang lebih menekan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya
Angga dan Nista Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri
Loka, yaitu: Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (Sorga). Nilai
ketiga tersebut didasarkan secara vertikal, dimana nilai utama pada posisi teratas/sakral,
madya pada posisi tengah dan nista pada posisi terendah/kotor (Dwijendra, 2003).
Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana agung)
sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah; gunung memiliki
nilai utama; Dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam perumahan,
Kahyangan Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya), Kuburan (nista), juga berlaku
dalam skala rumah dan manusia (Dwijendra, 2003). Sumber : (Budihardjo, 1986) dikutip
dari (Dwijendra, 2003).

Sanga Mandala kemudian juga berkembang menjadi sembilan bentuk manifestasi Tuhan
dalam menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata
Nawa Sanga. Kesembilan bagian ini kemudian diimplementasikan ke dalam bentuk
penzoningan ruang baik secara makro maupun mikro. Konsep 9 zona tersebut secara
berurutan adalah : (1)utamaning utama, (2)utamaning madya, (3)utamaning nista,
(4)madyaning utama, (5)madyaning madya, (6)madyaning nista, (7)nistaning utama,
(8)nistaning madya, dan (9)nistaning nista.

Rumah arsitektur tradisional Bali, adalah satu kompleks rumah yang terdiri dari
beberapa bangunan, oleh tembok yang termasuk tembok termasuk penyengker. Perumahan
adalah kumpulan beberapa rumah di dalam kesatuan wilayah yang disebut banjar adat atau
desa adat, juga merupakan kesatuan keagamaan dengan pura kayangan tiga yakni; pura
desa, pura puseh, pura dalem. rumah dan Terwujudnya bentuk terlepas dari dasar
perumahan ini, tidak pemikiran yang dilandasi oleh tata kehidupan masyarakat yang
bersumber dari agama Hindu. Dalam agama falsafah Hindu, manusia dan alam ini diyakini
terbentuk oleh lima unsur yang sama yang disebut “Panca Maha Bhuta”, yakni : apah (zat
cair), bayu (angin), teja (sinar), akasa (eter), pertiwi (zat padat) (Wastika, 2005).
Penglipuran memiliki suasana pedesaan yang asri serta penduduknya yang selaras
dengan adat istiadatnya yang masih terjaga.Desa Penglipuran juga memiliki arsitektur
bangunan tradisional yang sama satu dengan lainnya yakni angkul-angkul atau gerbang
rumah yang terbuat dari tanah dengan sedikit atap dari bambu, pintu pun hanya
selebarorang dewasa berkacak pinggang dengan tinggi sekitar dua setengah meter. Ada 76
angkul-angkul yang berasal dari 76 pekarangan rumah yangberjajar rapi dari ujung utara
hingga selatan desa.

Selain keseragaman angkul-angkul, masing-masing rumah keluarga memiliki


bangunan seragam di dalamnya mulai dari bangunan suci (merajan), umah paon atau
dapur, hingga bale saka enam. Antara satu rumah dengan rumah lainnya, sebuah lorong
yang menghubungkannya sebagai tanda keharmonisan mereka terdapat
kehidupanbermasyarakat. Di sisi lain, seluruh rumah masyarakat Desa Panglipuran
sebagian besar bahan bangunannya bermaterialkan dari bambu yang bertujuan untuk
membentuk keserasian dan kebersamaan antar warga. Selain itu, hal tersebut bertujuan
untuk menghargai alam sehingga bisa terus bersahabat dengan alam. Keseragaman angkul-
angkul di Desa Penglipuran ditambah dengan zonasi perumahan yang teratur dan rapi
sehingga sangat indah dilihat dari sudut manapun di sepanjang jalan setapak di Desa
Penglipuran.

Manusia sebagai mikro kosmos dan alam sebagai makro kosmos yang tidak bisa
lepas keterkaitannya, dimana manusia dilahirkan oleh alam ini, dan selalu akan bergantung
dengan alam. Di dalam tatwa seperti Tutur Suksema, Tutur Diatmika, Tatwa Jenana, Tatwa
Pelepasan, Komoksan, selalu mengajarkan agar kita selalu mengharmoniskan diri dengan
alam. Unsur-unsur bhuana alit dan bhuana agung adalah sama, hanya dalam skala yang
berbeda. Bhuana agung sebagai wadah dan bhuana alit sebagai isi. Hubungan harmonis
antara bhuana agung dan bhuana alit, memberikan perlambang manik ring cecupu, atau
janin di dalam rahim, merupakan hal yang mutlak dan harus dipertahankan untuk
ketenangan dan kesetabilan alam. Hasil hubungan yang harmonis antara wadah dan jiwa,
akan menimbulkan energi (kaya).

Gabungan dari unsur jasmani, jiwa dan energi merupakan sumber kehidupan yang
baik dan sempurna yang disebut ‘Tri Hita Karana” (tiga unsur sumber kebaikan). Jiwa dan
gerak yang digerakkan oleh tenaga dapat diwujudkan pada suatu tempat. Dalam
keseluruhannya dengan desa adat maka: 1). Kayangan tiga merupakan jiwa pada karang
desa, yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh kehidupan desa; 2). Krama desa merupakan
warga desa atau aparatur desa, merupakan penggerak atau tenaga yang menghidupi desa;
3). Karang desa adalah wilayah tempat krama desa melakukan aktivitas untuk menjaga
hubungan harmonis ketiga unsur di atas (Wastika, 2005).

Sesuai dengan filosofi di bali yang menganggap tempat suci di bali yaitu meru
memiliki setara pohon kelapa sehingga pemerintah bali memperingatkan agat tidak
dibuatnya hotel melebihi pohon kelapa yang tinggi. Selain faktor tersebut ada juga faktor
dari lingkungan bali yang sempit tidak seluas pulau lainya agar tidak terjadi kelebihan
kapasitas di pulau bali. Selanjutnya untuk kenyamanan pemndangan di bali juga
diperhitungkan agar tidak terhalang oleh bangunan -bangunan yang melebihi kapasitas.
Bahwa suatu bangunan itu dibangun dengan berapa lantai tentu mengacu pada stabilitas
daya dukung tanah dan juga kondisi eksisting di sekitar rencana bangunan. Jika tidak ada
stabilitas tanah yang memenuhi maka 5 lantai pun yang akan dibangun pada suatu
bangunan tersebut bisa dibangun dengan aman asal di desain dengan memenuhi prinsip
dan kaidah teknis. Terkait lokasi dan budaya budaya di Bali yang kemungkinan ada
sesuatu alasan, atau larangan atau sebagainya terhadap tidak diperbolehkan membangun
bangunan melebihi suatu ukuran.

Desa Penglipuran merupakan desa wisata yang ramai dikunjungi oleh berbagai
turin lokal maupun mancanegara. Desa penglipuran menyuguhkan berbagai wisata, mulai
dari hutan bambu yang rimbun tempat flora dan fauna endemic bali. Pura pura tempat
berdoa para umat hindu, hingga Masyarakat yang berjualan di rumah.

Hutan bambu yang berada di Desa Adat Penglipuran ini sangat terjaga
kelestariannya, karena selain untuk mewarisi sumber daya alam secara turuntemurun,
masyarakat Desa Adat Penglipuran juga memanfaatkan kegunaan bambu dari hutan bambu
untuk keperluan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat sehingga konservasi hutan
bambu di Desa Adat Penglipuran tetap dilakukan sampai sekarang.

Pura Penataran Desa Adat Penglipuran merupakan tempat yang sakral. Ritus Keni
Kesipat dilaksanakan di Pura Penataran karena merupakan pura sentral yaitu palinggih
atau bangunan yang sudah ada dibuatkan kembali di Pura Penataran. Selain itu Ritus Keni
Kesipat dilaksanakan di Pura Penataran karena hanya di Pura Penataran terdapat larangan-
larangan seperti melewati Kori Agung bagi ibu hamil dan orang tua yang mempunyai
kumpi atau buyut, dilarang duduk, menyentuh ataupun berada di bawah cucuran atap Bale
Deha, Bale Agung, Palinggih Ratu Pingit, Palinggih Ratu Ayu Melasem. Ritus Keni
Kesipat dilakukan apabila seseorang melakukan pelanggaran terkait dengan tabu atau
larangan-larangan di Pura Penataran sehingga apabila seseorang melanggar akan
dinetralisir agar orang yang melakukan pelanggaran dan lingkungan suci kembali.

Setiap rumah warga hampir serupa. Keserupaan dari setiap rumah tampak pada
pintu gerbang rumah, atap rumah dan dinding rumah memakai bambu, lebar pintu gerbang
yang cuman muat untuk seseorang dewasa. Dalam masyarakat Bali pintu tipe ini disebut
angkul-angkul Bukan hanya model rumah yang serupa, Pembagian dari tiap-tiap tata
ruangan rumah sama, seperti ruang tidur dan dapur. Cat tembok pintu gerbang yang
dipakai bukan cat tembok yang umumnya kita kenal, tetapi memakai cat dengan bahan
dasar dari tanah liat. Arah dari setiap rumah warga mempunyai keserupaan. Kelihatannya
mereka ingin mewujudkan kebersamaan dan menjaga kosep bersatu dengan alam. Liburan
ke desa Penglipuran Bangli dan menyaksikan banyak dinding kamar yang sudah berbeda
memakai batu bata. Sebenarnya dulunya di tahun 1998, semua dinding kamar memakai
bambu.
BAB IV

TEMUAN HASIL OBSERVASI

Hutan Bambu

Rumah Rumah Masyarakat dan Toko Souvenir


Pura di Sekitar Desa
BAB V

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Setiap Rumah Memiliki Usaha

Dengan dijadikannya Desa Penglipuran sebagai daerah tujuan wisata, maka


terdapat pengembangan-pengembangan lainnya untuk mendukung penyelenggaraan
kepariwisataan di Desa Penglipuran. Pada tanggal 15 Desember 2012, Desa Penglipuran
resmi dideklarasikan sebagai desa wisata oleh pemerintah pusat melalui Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia setelah melakukan pengaturan fisik
dan sumber daya manusia. Di dalam Desa Penglipuran, jalan setapak yang berupa jalan
berpaving blok yang lebarnya kurang lebih 3 m yang dimulai dari ujung utara sampai
dengan ujung selatan desa dengan panjang sekitar 1 km sehingga memudahkan bagi para
pengunjung untuk menikmati daya tarik wisata ini.

Jumlah warga Desa Wisata Penglipuran per Januari 2021 ialah 1.111 orang dalam
jumlah KK 277, dengan mata pencarian : pengrajin ,pedagang souvenir, kulineran,
pertanian , pengurus home stay , kariawan, PNS , pemandu wisata dan aktor pariwisata
yang lain. Warga Desa Wisata Penglipuran beragama Hindu, junjung tinggi adat istiadat,
nilai bergotong-royong, kekerabatan, kearifan lokal yang berdasarkan ide Tri Hitha
Karana.

Hampir di setiap rumah di sepanjang jalan setapak Desa Penglipuran terdapat kios-
kios atau toko cinderamata yang menjual berbagai macam jenis cinderamata khas Bali
seperti topeng, kain hingga kamen ataupun kerajinan daribambu seperti miniatur bangunan
tradisional Desa Penglipuran. Seluruh anggota kelompok tersebut merupakan masyarakat
asli Desa Penglipuran. Lembaga pengelola wisata ini merupakan lembaga baru di bawah
naungan desa adat dan bertanggung jawab penuh kepada desa adat yang mempunyai
kedudukan sejajar dengan lembaga adat lainnya.

Hutan Bambu

Menurut IPB (1993), Bali mempunyai kebun bambu seluas 12.681,77 Ha yang
dapat menghasilkan 1 1.412.900 batang bambu. Kekurangan bambu sekitar I .949.315
batang per bulan tidak mudah diatasi tanpa impor dari pulau Iain. Kebutuhan sebanyak itu
tidak dapat dipenuhi Oleh produksi lokal sehingga bambu banyak datangkan dari Iuar Bali
terutama dari Jawa dan Nusa Tenggara Barat (Arinasa,2013 : 3-4).

Oleh karena itu, konservasi hutan lumbung di Bali perlu dilakukan, seperti yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Penglipuran Bangli yang melestarikan hutan bambu
yang mereka miliki dengan tetap menjaga keanekaragaman jenis bambu yang ada terutama
bambu endemik asli Pulau Bali. kawasan hutan juga terdapat dua buah Mertiwi yaitu Pura
Empu Haji dan Pura Empu Nalwah. Selain itu adanya kawasan hutan bambu yang baik
akan memunculkan berbagai mata air di antaranya mata air Tirta Bulan (bulan) dan mata
air Matan Ai (matahari) yang ada di Sungai Sangsang di hilir hutan bambu Desa Adat
Penglipuran. Bentuk pelestarian hutan bambu yang dilakukan masyarakat Desa Adat
Penglipuran yaitu mulai dari gotong-royong, perawatan kawasan hutan bambu, awig-awig
serta kepemilikan hutan bambu (hutan duwe) sampai dengan adanya mitos-mitos tentang
hutan bambu.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penglipuran merupakan salah satu desa adat yang sangat unik berada di Kabupaten
Bangli. Keunikannya terlihat dari struktur desa yang tertata rapi, serta bentuk bangunan
kuno yang sangat khas. Penglipuran juga memiliki adat budaya tradisi yang sangat kuat
dan tetap dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya sampai saat ini. Keunikan Desa Adat
Penglipuran dan didukung oleh suasana desa yang sangat bersih, indah, tenang, dan
nyaman, menjadikan Desa Penglipuran sebagai destinasi objek wisata yang sangat
terkenal.
Secara geografis, Desa Penglipuran terletak di daerah pegunungan dengan suasana
yang sangat tenang dan nyaman. Semilir angin yang sejuk, semerbak tumbuhan yang hijau,
dan lingkungan yang indah dan bersih serta penataan bangunan yang sangat rapi
menampilkan Desa Penglipuran sangat damai, tenteram, dan rukun. Kehidupan masyarakat
penglipuran sangat sederhana, menjunjung tinggi kekeluargaan dan menjaga tradisi adat
yang telah terwarisi sejak lama. Masyarakat sangat taat dan patuh dalam menjalankan
segala peraturan adat yang ada, sehingga segala aktivitas kemasyarakatan yang dilakukan
berjalan dengan lancar.

Terdapat beberapa bangunan arsitektur kuno di Desa Penglipuran yang sangat


kental dengan seni tradisinya yaitu bangunan tempat suci dan bangunan perumahan.
Sebagai ciri khas dari bangunan desa penglipuran, atapnya menggunakan bambu.
Pondamen dibuat dari batu padas Bangli, dengan bentuk yang sederhana tanpa ukiran.
Bangunan fisik juga menjadi perhatian yang cukup besar dalam penataan wilayah
Penglipuran dengan memanfaatkan potensi lingkungan alam yang ada sebagai bahan
utama pendiriannya.

Angkul-angkul adalah bangunan fisik yang bersifat profan dan menjadi ikon Desa
Penglipuran. Bentuk angkul-angkul dibuat sangat artistik dengan standar ukuran yang
sama antara satu dengan yang lainnya. Berjejernya angkul-angkul di timur dan barat jalan
dari utara ke selatan menampilkan wajah Desa Penglipuran sangat unik dan indah. Dibalik
kesehoran Penglipuran sebagai desa wisata, terdapat beberapa hasil karya seni yang sangat
terkenal, baik dalam bidang seni rupa maupun seni pertunjukan, dan telah berkembang
sejak lama. Semua hasil karya seni pertunjukan ini, tidak hanya tumbuh dan berkembang,
tetapi juga sangat terkenal di wilayah Bangli dan sekitarnya. Hal ini diwujudkan dengan
menampilkan karya seni pertunjukan Penglipuran di beberapa daerah Bangli untuk
menghibur masyarakat.

Saran

Kami menyadari bahwa observasi ini banyak sekali kekurangan, oleh karena itu,
observasi ini perlu ditindak lanjuti untuk mengetahui hasil yang baik. Selain itu lakukanlah
observasi dengan teliti, buatlah daftar pertanyaan, bersikap baik pada Masyarakat saat
bertanya, dan buatlah catatan singkat tentang hasil pengamatan.

Anda mungkin juga menyukai