Anda di halaman 1dari 22

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi ialah suatu kondisi cahaya masuk ke mata tidak bisa dipusatkan jelas

maka bayangan yang terlihat menjadi buram. Faktor yang menjadi penyebabnya bisa

dikarenakan ukuran panjang bola mata yang terlalu panjang atau pendek, perubahan

kornea, dan lensa mata yang mengalami penuaan. Kelainan refraksi tersusun dari

miopia, hipermetropia, dan astigmatisme. (Kemenkes RI, 2018).

Kelainan refraksi adalah keterbatasan fungsional mata serta bisa dimanifestasikan

sebagai penurunan ketajaman penglihatan, kesulitan dalam mempersepsikan visual,

atau kombinasi dari semuanya. (Defriva, Ibrahim, & Rosita, 2019).

Dari uraian di atas maka simpulannya bahwa kelainan refraksi ialah kondisi dimana

bayangan yang terbentuk pada mata tidak jelas yang disebabkan karena bola mata tidak

mampu memfokuskan cahaya yang masuk ke mata, hal ini dikarenakan ukuran pada

bola mata yang tidak seperti pada normalnya. Kelainan refraksi juga disebabkan karena

perubahan pada kornea mata serta usia lensa mata yang menua sehingga berdampak

pada penurunan tajam penglihatan dan kesulitan guna jelas melihat.

Kelainan refraksi terbagi jadi beberapa jenis yaitu miopia (rabun jauh), hipermetropia

(rabun dekat), serta astigmatisme. (Chuck et al, 2018).

Miopia (rabun jauh) ialah suatu kelainan refraksi yang mana cahaya masuk ke mata

dan sejajar dengan sumbu optik dibiaskan ke dalam kemudian jatuh depan retina. Hal

8
9

ini disebabkan karena bola mata yang tidak bisa memfokuskan bayangan untuk tepat ke

retina. (Nemeth et al., 2021).

Hipermetropia merupakan salah satu kelainan refraksi pada mata dimana sinar yang

datang bersamaan dengan sumbu pada mata serta tanpa adanya akomodasi kemudian

dibiaskan di belakang retina, sehingga bayangan yang terbentuk menjadi kabur. (Chuck

et al., 2018).

Menurut Chuck et al., (2018), Astigmatisma yaitu kondisi dengan kurvatura yang

berlainan sepanjang meridian yang berbeda pada bebrapa permukaan refraktif mata

(kornea, permukaan anterior atau posterior dari lensa mata), membuat pantulan cahaya

dari suatu sumber tidak fokus ke satu titik di retina.

2.1.1 Jenis Kelainan Refraksi

A. Miopia

1) Definisi

Miopia adalah kelainan pada mata diakibatkan karena daya refraksi sangat kuat

maka sinar yang datang tanpa adanya akomodasi dan sejajar dengan sumbu

mata jatuh di depan retina. Miopia terjadi saat mata memiliki daya bias cahaya

yang berlebihan yang menyebabkan cahaya yang masuk ke mata tidak fokus di

titik pusat. (Pramesti, 2022).

Miopia atau yang biasa dikenal dengan istilah rabun jauh (nearsightedness)

adalah kelainan pada mata yang terjadi saat cahaya masuk sejajar dengan sumbu

optikus dibiaskan ke dalam dan jatuh depan retina. Ini akibat bola mata yang
10

tidak bisa memfokuskan bayangan untuk tepat ke retina. (Nemeth et al., 2021).

Miopia jarang terjadi pada bayi dan anak-anak prasekolah. Ini lebih sering

terjadi pada bayi prematur dan anak-anak dengan retinopati prematuritas. Selain

itu, ada kecenderungan genetik untuk miopia dan anak-anak dari orang tua

dengan miopia perlu diskrining pada usia dini. Insiden miopia meningkat

sepanjang tahun sekolah, terkhusus sebelum usia sepuluh tahun. Prevalensi

miopia pada penuaan condong meningkat dengan bertambahnya usia (Ariaty,

2019).

2) Klasifikasi

Menurut Budiono (2019) derajat miopia dapat dikategorikan sebagai berikut :

Menurut umur munculnya miopia tersusun dari: 1. Miopia kongenital ialah

miopia yang muncul dari lahir serta tetap sampai masa anak-anak. Prevalensinya

tidak tinggi namun derajat miopianya tinggi. Bentuk yang sering terjadi ialah

youth onseth dialami pada usia 5 tahun sampai usia remaja. Apabila terjadi youth

onset ini, umumnya bisa dialami progresivitas dari miopia yang bertambah.

Prevalensinya mengalami peningkatan dari 2% pada usia 6 tahun jadi 20% pada

usia 20 tahun. 2. Early adult onset myopia, yaitu miopia yang dialami pada usia

dewasa sampai 40 tahun. Prevalensi miopia 25-30% pada usia 40 tahun. 3. Adult

onset myopia biasanya ditemukan pada usia 40 tahun atau lebih. (Budiono,

2019).
11

Sedangkan sesuai perjalanan penyakitnya, terdapat miopia stasioner itu menetap

sesudah dewasa sesuai bertambahnya usia akibat bertambahnya panjang bola

mata, serta ada miopia maligna yakni miopia yang progresif dan bisa akibatkan

ablasi retina sampi kebutaan atau seperti miopia pernisiosa (Ahsan, 2017).

3) Etiologi

Miopia terjadi saat berkas cahaya yang masuk ke mata sejajar sumbu optik

dibiaskan ke dalam sehingga jatuh di depan retina. Ini akibat bola mata yang

tidak bisa memfokuskan bayangan untuk jatuh tepat ke retina. Pada mata yang

mengalami miopia, ukuran bola mata lebih panjang daripada ukuran bola mata

pada normalnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi salah satunya

aktivitas mata seperti jarak melihat objek yang terlalu dekat. Hal tersebut juga

mengakibatkan kornea menjadi terlalu melengkung atau lensa yang mengalami

peningkatan kekuatan optik sehingga mata mengalami miopia. (Nemeth et al.,

2021).

Hal lain yang menjadi faktor risiko seperti penyakit mata tertentu,pasca operasi

atau pasca trauma atau kecelakaan, herediter atau faktor genetik, aktivitas kerja

yang terlalu dekat atau berlebihan seperti membaca, menonton televisi,

menggunakan laptop dan komputer, bermain gadget, kurangnya faktor atau

aktifitas jarak jauh terutama sport atau aktifitas di luar rumah, terpapar

pencahayaan yang kuat dan lama dari sinar gawai, dari aktivitas tersebut

menyebabkan adanya tekanan otot ekstraokuler selama konvergensi yang terlalu


12

banyak atau berlebih sehingga mengakibatkan sumbu atau bola mata memiliki

ukuran yang terlalu panjang. (Ahsan, 2017).

4) Tanda dan Gejala

Beberapa tanda dan gejala miopia diantaranya yaitu penglihatan kabur saat

melihat jarak jauh dan hanya terlihat jelas apabila dekat, memicingkan mata

untuk dapat melihat dengan jelas, penderita miopia biasanya lebih cepat merasa

lelah pada mata, pusing, mengantuk, bilik mata depan lebih dalam, retina tipis,

sering menggosok mata, mengalami kesulitan dalam membaca apabila tidak

menggunakan alat bantu, sakit kepala, serta mual (Wenbo, 2017).

5) Pengobatan

Koreksi mata miopia dengan memakai lensa minus/negatif ukuran teringan yang

sesuai untuk mengurangi kekuatan daya pembiasan di dalam mata. Biasanya

pengobatan dengan kaca mata dan lensa kontak. Pada keadaan tertentu, miopia

dapat diatasi dengan pembedahan pada kornea antara lain keratotomi radial,

keratektomi fotorefraktif, Laser Asissted In situ Interlamelar Keratomilieusis

(Lasik).

B. Hipermetropia

1) Definisi

Hipermetropia biasa dikenal dengan istilah rabun dekat. Hipermetropia

merupakan suatu kelainan refraksi dari mata dimana sinar–sinar yang berjalan

sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi dibiaskan dibelakang retina, oleh

karena itu bayangan yang dihasilkan kabur. (Chuck et al., 2018).


13

Hipermetropia adalah suatu keadaan dimana daya refraktif mata terlalu rendah

sehingga cahaya tanpa akomodasi yang sejajar dengan sumbu mata difokuskan

di belakang retina. (Budiono, 2019).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipermetropia adalah suatu kondisi dimana

mata tidak dapat berakomodasi atau menyesuaikan untuk memfokuskan

bayangan sehingga jatuh di belakang retina. Hipermetropia terjadi ketika

kekuatan bola mata tidak seimbang dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa

rendah atau lemah, sehingga fokus cahaya berada di belakang retina.

2) Klasifikasi

Mata memiliki kapasitas akomodasi, yaitu kemampuan untuk mengoreksi

kelengkungan lensa dengan mengatur tonus badan siliaris. Jika badan siliaris

meningkatkan tonus, maka badan siliaris meregang dan lensa menjadi lebih

cembung, sehingga meningkatkan daya refraksi. Berdasarkan kemampuan

akomodasinya, hipermetropia dibagi menjadi 2 yaitu:

a) Hipermetropia laten adalah hipermetropia yang sepenuhnya bisa

dikoreksi oleh kemampuan akomodasi.

b) Hipermetropia manifes, hipermetropia ini terdiri atas :

(1) Hipermetropia fakultatif, yaitu hipermetropia yang bisa dikoreksi

baik melalui daya akomodasi mata penderitanya atau bisa juga

dengan menggunakan koreksi lensa cembung. Orang yang

memiliki hipermetropia ini mampu melihat dengan normal tanpa

menggunakan bantuan kacamata. Apabila menggunakan koreksi


14

kacamata plus, maka penglihatan akan jelas sehingga otot mata

tidak akan bekerja keras untuk berakomodasi.

(2) Hipermetropia absolut, merupakan jenis hipermetropia yang

tidak bisa dikoreksi menggunakan daya akomodasi dan harus

menggunakan koreksi lensa cembung. (Budiono, 2019).

Hipermetropi terbagi menjadi beberapa derajat kategori, kategori

hipermetropi menurut Althomali (2018) yaitu :

(a) Ringan : ≤ +2.75 D hingga < +3.00 D

(b) Sedang : +3.00 D hingga +5.00 D

(c) Berat : > +5.00 D

3) Etiologi

Penyebab utama hipermetropia adalah ukuran bola mata yang lebih pendek.

Karena bola mata yang lebih pendek maka bayangan benda yang dilihat akan

difokuskan di belakang retina. Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia dapat

dibagi atas : Hipermetropia aksial atau sumbu, merupakan kelainan refraksi

akibat sumbu anteroposterior atau bola mata yang pendek. Hipermetropia

kurvatur, yaitu kelengkungan pada kornea atau lensa yang kurang sehingga

bayangan difokuskan di belakang retina.

Hipermetropia terjadi ketika ada ketidaksesuaian antara panjang bola mata

dengan daya refraksi kornea dan lensa, sehingga fokus cahaya berada di

belakang retina. Hal ini disebabkan oleh penurunan panjang sumbu bola mata
15

(sumbu rabun dekat), kelainan genetik tertentu, atau penurunan indeks bias

(hiperopia refraksi), seperti aphakia. (Bergen, 2017).

4) Tanda dan Gejala

Pasien dengan hipermetropia biasanya mengalami kesulitan untuk melihat dari

dekat karena kesulitan akomodasi. Hal tersebut karena optik mata terlalu lemah

sehingga menyebabkan otot mata bekerja lebih keras untuk melihat dengan

jelas. Keluhan akan bertambah seiring bertambahnya usia karena melemahnya

badan siliaris untuk menampung dan menurunkan elastisitas vitreus atau lensa.

Seiring bertambahnya usia, lensa secara bertahap tidak dapat fokus pada retina,

sehingga akan tetap berada di belakangnya. Oleh karena itu, perlu ditambahkan

lensa positif atau cembung seiring bertambahnya usia. Pada hipermetropia,

tanda dan gejala yang dirasakan antara lain sakit kepala di dahi, silau, dan

terkadang mata juling atau penglihatan ganda. Penderita rabun jauh juga

mengeluhkan kelelahan mata dan rasa sakit karena harus terus-menerus

beradaptasi untuk melihat atau memfokuskan gambar di bagian belakang retina.

Pasien rabun jauh muda jarang mengeluh karena mata mereka masih memiliki

kemampuan beradaptasi yang kuat untuk melihat objek dengan jelas. Pasien

yang banyak membaca sering mengeluh kelelahan setelah membaca. Keluhan

meliputi sakit kepala, sakit mata, dan mata terasa seperti ada tekanan.

5) Pengobatan

Mata yang mengalami hipermetropia akan membutuhkan lensa cembung

(konveks) untuk membawa cahaya yang lebih intens ke mata. Koreksi

hipermetropia yaitu dengan lensa aktif maksimum untuk menghasilkan


16

penglihatan normal. Pasien hipermetropia harus diberikan kacamata dengan

lensa positif terbesar yang masih memberikan ketajaman visual yang maksimal.

C. Astigmatisma

1) Definisi

Astigmatisma yaitu suatu kondisi dengan kurvatura yang berlainan sepanjang

meridian yang berbeda-beda pada satu atau lebih permukaan refraktif mata

(kornea, permukaan anterior atau posterior dari lensa mata), akibatnya pantulan

cahaya dari suatu sumber atau titik cahaya tidak terfokus pada satu titik di retina.

(Chuck et al., 2017).

Astigmatisme adalah kondisi dimana sinar yang masuk ke dalam mata menyebar

dan tidak dipusatkan pada satu titik sehingga bayangan tidak dapat difokuskan.

(Ginting, 2018).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa astigmatisme adalah suatu keadaan dimana

sinar sejajar tidak dibiaskan dengan daya atau kekuatan yang sama pada seluruh

bidang bias, sehingga titik fokus pada retina tidak berada pada satu titik,

melainkan menyebar dan mengakibatkan bayangan tidak terbentuk dengan jelas.

2) Klasifikasi

Astigmatisme regular yaitu suatu kondisi pembiasan dimana terdapat 2 daya

pembiasan yang saling tegak lurus. Hal ini disebabkan karena kornea yang

mempunyai kemampuan dalam bias yang berbeda pada meridian


17

permukaannya. Bayangan yang muncul pada astigmatisme regular biasanya

berbentuk garis lurus, oval, dan lingkaran.

Astigmatisme ireguler yaitu astigmatisme yang terjadi ketika kedua meridian

tidak tegak lurus satu sama lain. Hal ini disebabkan akibat dari kelengkungan

kornea berbeda pada meridian yang sama, sehingga bayangan menjadi tidak

beraturan. Astigmatisme iregular terjadi bisa disebabkan karena infeksi pada

kornea, trauma, dan akibat dari kelainan pembiasan.

Astigmatisme lazim (astigmat with the rule) adalah kondisi astigmatisme umum

yang koreksinya menggunakan silinder negatif dengan sumbu lurus lebar (45-

90 derajat). Kondisi ini sering terjadi pada anak-anak karena perkembangan

normal pada serat kornea.

Astigmatisme tidak lazim (astigmat against the rule) merupakan kondisi

vertikal (60-120 derajat) atau dengan silinder positif dengan sumbu lurus lebar

(30-150 derajat). Hal ini terjadi karena kornea yang melengkung pada sepanjang

wilayah garis horizontal lebih kuat dibandingkan kornea yang melengkung di

vertikal. (Ahsan, 2017).

Astigmatisma didefinisikan sebagai kesalahan silinder ≥ 0.50 DC (nilai absolut).

Menurut Althomali (2018) astigmatisma sendiri dikategorikan sebagai berikut :

a. Ringan : ≥ 0.50 DC sampai ˂ 3.00 DC


b. Berat : ≥ 3.00 DC
18

3) Etiologi

Astigmatisme terjadi ketika lensa dan juga kornea memiliki permukaan datar

atau tidak rata, sehingga tidak memberikan satu titik fokus. Variasi dalam

kelengkungan kornea atau lensa membuat cahaya tidak mungkin fokus pada satu

titik. Sebagian bayangan akan difokuskan di depan retina sedangkan sebagian

cahaya akan difokuskan di belakang retina. Akibatnya, penglihatan menjadi

terganggu. Mata yang lemah dapat diibaratkan seperti melihat melalui segelas

air yang jernih. Bayangan yang terlihat bisa terlalu besar, terlalu tipis, terlalu

lebar, atau redup. (Budiono, 2019).

4) Tanda dan Gejala

Seseorang dengan astigmatisme akan mengeluhkan penglihatan kabur ketika

penglihatan dekat terbaik, penglihatan ganda, melihat sesuatu berukuran bulat,

penglihatan menjadi buram pada jarak dekat atau jauh, perubahan objek yang

terlihat, pengecilan antara kelopak mata, sakit kepala, ketegangan dan nyeri

mata, kelelahan mata. (Wenbo, 2017).

5) Pengobatan

Koreksi mata astigmatisme melibatkan pemakaian lensa yang berbeda pada dua

kekuatannya. Pengobatan dilakukan dengan lensa kontak yang keras atau lensa

kontak lunak jika karena trauma atau yang bertujuan untuk memberikan efek

permukaan tidak rata.


19

2.1.2 Pemeriksaan Kelainan Refraksi

D. Pemeriksaan Visus Mata

Pemeriksaan ini dilakukan secara bergantian antara mata satu dengan yang lainnya,

Snellen chart berada di hadapan pasien yang duduk menghadap Snellen chart yang

berjarak 6 meter, pasien menutup mata kiri dengan tujuan untuk menguji mata kanan,

pasien diminta membaca baris terkecil yang masih dapat dibaca menggunakan mata

yang tidak ditutup, setelah itu letakkan lensa positif 0,50 untuk menghilangkan

akomodasi pada saat pemeriksaan, jika penglihatan tidak membaik, maka pasien

tidak mengalami hipermetropia, namun jika bertambah jelas dengan kekuatan lensa

yang ditambah berangsur membaik, maka pasien menderia hipermetropia. Lensa

positif terkuat yang masih memberikan ketajaman terbaik adalah ukuran yang tepat

untuk mata, jika penglihatan tidak membaik maka gunakan lensa negatif, namun

apabila menjadi jelas, maka pasien mengalami miopia. Ukuran pada lensa koreksi

adalah lensa negatif yang paling ringan yang memberikan ketajaman visual secara

maksimal, apabila penglihatan tidak maksimal pada pemeriksaan baik

hipermetropia maupun miopia dimana penglihatan tidak mencapai 6/6 maka akan

dilakukan uji pinhole. (Ahsan, 2017).

E. Pemeriksaan Subjektif

Pemeriksaan refraksi subjektif adalah pemeriksaan mata (refraksi) yang melibatkan

kerjasama antara pasien dan pemeriksa. Pengujian bias subjektif dapat dilakukan

dengan menggunakan pinhole trial and error yaitu kombinasi lensa koreksi

kesalahan refraksi yang digunakan untuk mencapai koreksi visual terbaik (BCVA).

Pengujian dengan teknik ini dilakukan dengan menempatkan lensa sferis positif atau

negatif untuk memperoleh visus penglihatan 6/6. Lensa sferis negatif yang dipilih
20

adalah lensa sferis negatif terkecil, dan untuk lensa sferis positif, lensa sferis positif

terbesar dipilih. Metode ini merupakan pemeriksaan klinis yang biasanya digunakan

oleh dokter mata. (Pujol et al., 2017).

Untuk melakukan tes ini, tempatkan lubang jarum pada hadapan mata yang akan

diperiksa selanjutnya minta untuk membaca huruf paling akhir yang sebelumnya

bisa dibaca, jika penglihatan tidak membaik maka mata tidak dapat dikoreksi lebih

lanjut karena media penglihatan keruh atau terdapat kelainan pada retina atau saraf

optik, jika penglihatan membaik, mata memiliki astigmatisme yang tidak dikoreksi.

F. Pemeriksaan Objektif

Pemeriksaan refraksi objektif merupakan pemeriksaan mata (refraksi) dimana pasien

yang diperiksa bersifat pasif, hasil dari pemeriksaan ini didapatkan dari streak

retinoskopi, refraktometri, dan keratometri. (Pujol et al., 2017).

Pemeriksaan objektif dapat dilakukan dengan autorefraktometri, yaitu suatu alat

yang digunakan untuk memeriksa kelainan refraksi.

G. Pengobatan

Ada beberapa cara beserta alat yang digunakan untuk membantu ketajaman

penglihatan untuk pembiasan cahaya sehingga bayangan dipusatkan pada titik fokus

yaitu :

1) Kacamata

Kacamata adalah alat penyesuaian atau koreksi terbanyak yang digunakan karena

tidak sulit dirawat dan murah. Efek kacamata minus yang kuat diperlukan untuk
21

mata miopia, karena memberi kesan benda yang terlihat lebih kecil dari

sebenarnya. Sedangkan pada pemakaian lensa positif pada mata yang mengalami

hipermetropia memberikan kesan yang sebaliknya yaitu terlihat lebih besar.

Keluhan pemakaian kacamata adalah kacamata tidak selalu bersih, mengurangi

kecerahan penglihatan warna, menghalangi penglihatan tepi, terkadang

pemakaian yang terlalu lama membuat rasa kurang nyaman. Kelebihan dan

kekurangan lensa berbahan kaca lebih mudah berkabut daripada lensa berbahan

plastik dan juga lensa kaca rentan pecah daripada kacamata dengan lensa plastik.

Kacamata dengan lensa kaca terasa berat dari kacamata plastik. (Ahsan, 2017).

2) Lensa Kontak

Lensa kontak adalah lensa tipis yang ditempatkan di depan kornea untuk

mengoreksi atau memperbaiki penglihatan yang mengalami kelainan refraksi.

Keuntungan menggunakan lensa kontak adalah perbesaran yang terjadi tidak

terlalu berbeda dengan bayangan normal, lapang pandang penglihatan lebih luas,

aktivitas tidak terbatasi, dan lain-lain. Namun beberapa keluhan yang terjadi pada

pemakaian lensa kontak diantaranya mata bisa merah dan terinfeksi, sulit

digunakan di lingkungan yang berdebu, waktu penggunaan yang terbatas,

pemakaian yang harus bersih, rawan alergi, dan mudah hilang. (Budiono, 2019).

3) Bedah Refraksi

Prosedur bedah refraktif dilakukan untuk memperbaiki masalah penglihatan serta

mengurangi gejala gangguan penglihatan karena kelainan refraksi. Beberapa

tindakan bedah refraksi yaitu :


22

a. PRK (Photo Refractive Keratectomy), merupakan prosedur generasi pertama

dari bedah refraktif. Tindakannya yaitu dilakukan dengan membuang bagian

anterior dari kornea atau lapisan epitel. Dokter kemudian memodifikasi

bentuk kornea menggunakan sinar laser. Penggunaan lensa kontak

diperlukan pasca operasi guna melindungi kornea. Namun, seseorang yang

baru menjalani prosedur ini mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama

hingga mampu melihat kembali dengan jelas karena ada sebagian kornea

yang dibuang. (Spadea, 2019).

b. LASIK (Laser-assisted in Situ Keratomileusis)

Operasi LASIK tidak berbeda jauh dengan PRK, tindakan ini juga dilakukan

dengan cara mengubah bentuk kornea. Pada prosedur ini, untuk membuka

bagian depan kornea menggunakan laser kemudian dokter akan mulai

melakukan perubahan bentuk kornea lalu setelah selesai kornea akan ditutup

kembali. Waktu untuk pemulihan yang dibutuhkan pasien pasca operasi

LASIK sedikit lebih cepat jika dibandingkan dengan operasi PRK. Sejauh ini

LASIK menjadi prosedur bedah refraksi yang paling umum atau sering

dilakukan. (Spadea, 2019).

c. SMILE (Small Incision Lenticule Extraction)

SMILE merupakan perkembangan terkini dari bedah refraktif. Metode ini

didapatkan efek samping yang relatif lebih sedikit daripada jenis operasi

lainnya. Prosedur SMILE juga menggunakan laser dan di dalamnya

termasuk memotong kornea. Namun sayatan bedah ini berukuran kecil


23

karena hanya sebagai jalan keluar kornea yang sudah dipotong dengan laser.

(Indriani, 2022).

2.2 Aktivitas

A. Aktivitas Membaca

Aktivitas membaca dengan jarak dekat dapat menyebabkan kelainan refraksi, seperti

membaca buku pada jarak < 30 cm. Aktivitas membaca pada jarak yang dekat serta

dilakukan durasi lama akan menimbulkan penurunan tajam penglihatan hingga

kelainan refraksi. Beberapa penelitian terkait aktivitas jarak membaca dengan

kelainan refraksi mendapat hasil terdapat korelasi kuat dengan prevalensi serta

progresitivitas gangguan refraksi. Seseorang yang banyak membaca seperti anak

sekolah atau siswa, dokter, pengacara, peneliti atau pekerjaan yang menggunakan

mikroskop, dan editor mengalami kelainan refraksi. Kelainan refraksi bisa

bertambah pada usia anak sekolah dan remaja, bahkan pada usia 20-30 tahun

sekalipun. (Arsa, 2018).

Kegiatan yang dilakukan dengan jarak terlalu dekat (< 30 cm) contohnya membaca

serta berkelanjutan dan durasi lebih dari 2 jam, dapat menyebabkan timbulnya

kelainan refraksi. Dampak dari kegiatan ini merupakan suatu kumulatif. Hubungan

ini bisa jadi karena membaca dari jarak dekat dapat menyebabkan rabun jauh, atau

karena orang yang rabun jauh cenderung membaca dari jarak yang lebih dekat ketika

lensa korektif tidak dipakai. Intensitas cahaya yang terlalu gelap atau cenderung

redup yang digunakan sebagai penerangan juga merupakan faktor pemicu yang

mempengaruhi terjadinya kelainan refraksi. Penerangan yang tidak memadai bisa

mengakibatkan gangguan pada akomodasi mata. Otot mata yang berkontraksi


24

berkelanjutan akan mengakibatkan kelainan refraksi. Jarak yang aman yang

dianjurkan pada saat membaca adalah lebih dari atau samadengan 30 cm dari mata

dengan posisi saat membaca adalah duduk dan penerangan ruangan memiliki

intensitas cahaya yang baik (tidak terlalu gelap ataupun terlalu terang). Apabila

menggunakan lampu belajar maka difokuskan pada buku yang sedang dibaca. (Arsa,

2018).

B. Aktivitas Menonton Televisi

Seperti halnya membaca, menonton televisi pada jarak yang dekat serta durasi yang

terlalu lama juga mampu menyebabkan kelelahan pada mata. Pada normalnya jarak

menonton televisi ideal dari layar televisi yaitu 2 meter dan lebih baik apabila mata

sejajar dengan layar televisi posisinya, dan ruangan dengan pencahayaan yang

memadai. Menonton televisi terlalu lama dapat mengakibatkan kelelahan pada mata

dan penglihatan pun menjadi kabur. (Rahmawati & Asthiningsih, 2021). Layar

televisi memancarkan sinar biru dengan panjang gelombang 400-500 nm

(nanometer) yang bersifat miopigenik. Hal tersebut dapat berefek samping pada mata

mengalami miopia ringan apabila terpapar secara kontinyu. (Aryani, 2021).

C. Penggunaan Smartphone dan Laptop/Komputer

Terpaku pada layar laptop atau komputer merupakan aktivitas yang mengakibatkan

mata lelah. Seseorang dengan gangguan penglihatan tanpa koreksi bisa

menimbulkan rasa tidak nyaman saat menggunakan komputer sampai penglihatan

menjadi buram atau kabur serta ketegangan pada otot mata. Mata relatif kurang

berkedip pada saat menggunakan gawai dan komputer sehingga mata menjadi kering

dan kelelahan pada mata. (Rahmawati & Asthiningsih, 2020).


25

Peningkatan penggunaan smartphone dan komputer yang tidak mengindahkan

waktu memicu keluhan yang dialami seperti tidak nyamanan ocular dan otot yang

menegang. Ketidaknyamanan visual yang terjadi pada pengguna gawai merupakan

masalah kesehatan yang sering terjadi. Bila bekerja di depan komputer dan laptop

atau gadget, istirshatkan otot pada bola mata dengan cara melihat ke arah lain dengan

jangkauan yang jauh selama 5 hingga 10 menit setiap 1-2 jam sekali serta usahakan

untuk lebih sering berkedip agar membasahi permukaan bola mata. (Arsa, 2018).

D. Aktivitas di Luar Ruangan

Kegiatan outdoor merupakan salah satu faktor protektif pada kelainan refraksi.

Anak-anak yang menghabiskan cukup banyak durasi di luar ruangan cenderung

memiliki mata yang lebih sehat. Cahaya yang terang menjadi salah satu sistem

pertahanan atau proteksi terhadap kelainan refraksi miopia. Kegiatan yang dilakukan

di luar ruangan dapat merangsang dopamin dilepaskan oleh retina sehingga bisa

memperlambat perpanjangan aksial bola mata. Kegiatan yang dilakukan di luar

ruangan efektif dilakukan selama 10 sampai 14 jam dalam seminggu untuk

mencegah risiko kelainan refraksi. (Wu et al, 2018).

Pada penelitian terkait aktivitas outdoor mampu menghambat pemanjangan aksis

bola mata sebagai tindakan preventif kelainan refraksi pada anak, diperoleh hasil

bahwa kegiatan di luar rumah yang rendah meningkatkan prevalensi miopia yang

terjadi pada anak. (Tandean et al, 2022).


26

2.3 Konsep Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah yaituperiode dimana anak dimulai dari usia 6 sampai 12 tahun mulai

memasuki fase belajar di lingkungan sekolah dengan pertumbuhan dan perkembangan

motorik yang mengalami peningkatan. Pada usia ini anak mengalami masa peralihan

atau transisi. Tahap ini disebut masa usia sekolah dimana ada lingkungan lain selain

keluarga yang berada di lingkungan sekolah. (Ratnaningsih et al, 2019).

Perkembangan anak yang bisa diperoleh pada lingkungan sekolahnya diantaranya

mampu lebih mandiri. Fase usia sekolah juga merupakan fase penting dalam proses

peningkatan basic skill seperti baca tulis, berhitung, dan perkembangan konsep diri.

Anak usia sekolah memiliki lingkungan sosial bertambah luas dari lingkungan

keluarganya. Lingkungan di sekolah sebagai tempat belajar berinteraksi sosial,

mengembangkan nilai moral dan budaya dari kelompok teman dan juga guru,

mengembangkan kemampuan kognitif. (Pardede, 2020).

Ketika bayi lahir, mata normal berukuran sekitar 2/3 ukuran dewasa. Pertumbuhan

meningkat cepat akan tetapi akan melambat hingga berusia 3 tahun hingga selanjutnya

dengan perlambatan sampai pubertas, lalu setelah itu terjadi sedikit penurunan. Pada

umumnya kornea yang normal jernih dan semakin bertambahnya usia lengkungan pada

kornea cenderung menjadi rata, dengan meningkatnya perubahan pada refraksi mata.

Ketajaman visual membaik secara cepat serta bisa mencapai 20/30 – 20/20 pada usia

2-3 tahun, tetapi 20/40 umumnya dikatakan biasa untuk anak umur 3 tahun. Ketika

anak berusia 4 tahun visus mata sebesar 20/30, lalumpada usia 5 atau 6 tahun sering

dijumpai anak memiliki visus mata 20/20. Perkembangan visual atau penglihatan utama

pada anak berusia 5 tahun dengan potensi ketajaman penglihatan yang maksimal, dan
27

anak yang berusia 6 tahun dengan potensi gangguan penglihatan ringan, kemampuan

mengenali banyak warna, dan persepsi yang berkembang penuh. Anak-anak seringkali

tidak sadar bahwa visusnya menurun dan kondisi tersebut tidak membuat mereka

mengeluh bahkan ketika mereka mengalami kelelahan pada mata. Perilaku anak yang

menunjukkan bahwa anak tersebut mengalami kelainan refraksi yang tidak dikoreksi

seperti mengedipkan mata secara berlebihan, mengerutkan kening terus menerus, sering

memicingkan mata saat melihat, dan mengucek matanya. Agar tidak bertambah buruk,

lebih baik dilakukan pemeriksaan kesehatan mata direkomendasikan untuk dilakukan

secara rutin 2 sampai 3 tahun saat anak sekolah, bahkan bisa dilakukan sesering

mungkin apabila terdapat riwayat keluarga yang memiliki kelainan refraksi (Ahsan,

2017).

2.4 Penelitian Terkait


Beberapa penelitian terkait kejadian kelainan refraksi yang disebabkan karena faktor-

faktor yang telah dijelaskan taitu :

A. Pada penelitian oleh Ariaty, Hengky, dan Arfianty pada tahun 2019 yang berjudul

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Miopia pada Siswa/I SD Katolik Kota

Parepare, penelitian ini dilakukan dengan metode analitik dan pendekatan cross

sectional study dengan kuesioner, dari penelitian ini didapatkan hasil terdapat

pengaruh faktor genetik dengan miopia, terdapat pengaruh pada perilaku diantaranya

jarak membaca, durasi penggunaan gawai, jarak menggunakan gawai, lama

penggunaan laptop, jarak penggunaan laptop dengan terjadinya kelainan refraksi di

SD Katolik Kota Parepare.

B. Pada penelitian yang berjudul Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Miopia pada

Anak SD di Daerah Perkotaan dan Daerah Pinggiran Kota yang dilakukan oleh
28

Wulansari dkk pada tahun 2018 diketahui bahwa metode yang digunakan adalah

analitik observasional melalui studi pendekatan potong lintang ini didapatkan hasil

bahwa ada hasil yang signifikan antara miopia dengan jarak membaca buku

(p=0,011) dan aktivitas di luar ruangan (p=0,002).

C. Berdasarkan penelitian yang berjudul Faktor-faktor Terjadinya Kelainan Refraksi

pada Pelajar Kelas 3 SMP Al-Azhar di Kota Medan Tahun 2018 yang dilakukan oleh

Arsa pada tahun 2018 diketahui bahwa dari total 203 siswa hanya 197 siswa yang

memenuhi syarat penelitian dan diperiksa menggunakan Snellen Chart dan dengan

Trial Lens serta diberikan kuesioner didapatkan hasil terdapat hubungan pada jenis

kelamin, riwayat orang tua, posisi membaca tidur, serta posisi membaca dengan

duduk tidak tegap, melakukan kegiatan outdoor, aktivitas olahraga dengan kejadian

kelainan refraksi. Setelah dilakukan uji analisis multivariate dari keseluruhan

variabel, didapatkan riwayat pada orang tua yang menggunakan kacamata dan juga

membaca buku dengan posisi tiduran mempengaruhi kelainan refraksi.

D. Menurut penelitian Loyra, Anakotta, dan Soumea tahun 2017 dengan judul

penelitian Gambaran Kelainan Refraksi Pada Siswa SMA Negeri Siwalima Ambon

Tahun 2017, penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dan tehnik

random sampling berjumlah 86 siswa didapatkan hasill bahwa terdapat 34 siswa atau

sebanyak 39,5% mengalami miopia dengan jumlah terbanyak terjadi pada siswa

perempuan sebanyak 25 siswa dan mayoritas berusia 17 tahun.


29

2.5 Kerangka Teori

Klasifikasi
Aktivitas : Kelainan Refraksi :
1. Aktivitas
1. Miopia
membaca Kelainan Refraksi
2. Hipermetropia
2. Aktivitas 3. Astigmatisma
menonton Fungsi mata yang mengalami
televisi (Chuck et al,
keterbatasan dan dapat
3. Aktivitas 2018).
penggunaan dimanifestasikan sebagai
smartphone dan penurunan ketajaman visual,
laptop/komputer mengalamikesulitan dalam
4. Aktivitas di luar
mempersepsikan visual, atau
ruangan
(Arsa, 2018) kombinasi dari semuanya.
(Defriva, Ibrahim, & Rosita, Dampak :
- Gangguan
2019).
penglihatan
- Mengalami
keterlambatan
dalam stimulasi
kognitif, seperti
proses membaca,
pemahaman
materi, dan
kreativitas.
(Tanuwidjaja &
Respati, 2019)

Anda mungkin juga menyukai