Anda di halaman 1dari 22

Referat

Epistaksis

Oleh:

Linda Angelia, S.Ked 04054821820081


Nyimas Badrya Ulfa, S.Ked 04054821820017
Rati Amira Lekabreda, S.Ked 04054821820010
Feisal Moulana, S.Ked 04011181520040
Reni Wahyu Novianti, S.Ked 04084821921114

Pembimbing:
dr. Andrey Dwi Anandya, Sp.T.H.T.KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul

Epistaksis

Oleh:
Linda Angelia, S.Ked 04054821820081
Nyimas Badrya Ulfa, S.Ked 04054821820017
Rati Amira Lekabreda, S.Ked 04054821820010
Feisal Moulana, S.Ked 04011181520040
Reni Wahyu Novianti, S.Ked 04084821921114

Telah dinilai dan dinyatakan diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala Leher (T.H.T.K.L.) RSUP Dr. Moh. Hoesin Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang Periode 11 Maret 2019 – 15 April 2019.

Palembang, 20 Maret 2019

dr. Andrey Dwi Anandya, Sp.T.H.T.KL


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Epistaksis” untuk memenuhi tugas sebagai bagian dari sistem pembelajaran dan
penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L.
Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Andrey Dwi Anandya, Sp.T.H.T.KL, selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan
baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat
dan pelajaran bagi kita semua.

Palembang, Maret 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ....................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi ..................................................................................................................... 3
2.2 Definisi ...................................................................................................................... 3
2.3 Klasifikasi ................................................................................................................. 5
2.4 Kekerapan ................................................................................................................. 7
2.5 Etiologi ...................................................................................................................... 7
2.6 Patogenesis ............................................................................................................... 9
2.7 Diagnosis ................................................................................................................... 11
2.8 Penatalaksanaan ....................................................................................................... 12
2.9 Komplikasi ................................................................................................................ 16
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epistaksis atau perdarahan dan hidung banyak dijumpai sehari-hari
baik pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala
atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti
sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat,
walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal
bila tidak segera ditangani. 1
Beberapa literatur menyebutkan bahwa 60% dari populasi dunia
mengalami epistaksis sekali dalam seumur hidup mereka dan hanya 6% dari
total 60% yang memerlukan tindakan medis untuk memberhentikan
perdarahan. Berdasarkan distribusi umur, ada dua puncak kejadian
epistaksis yaitu pada umur 10 tahun ke atas dan yang kedua yaitu pada usia
lebih dari 50 tahun. Epistaksis muncul lebih sering pada laki-laki
dibandingkan perempuan. 2, 3
Bagi sebagian pasien, epistaksis bisa terjadi karena adanya trauma
atau adanya ketakutan dari diri sendiri. Epistaksis juga bisa terjadi secara
masif dan berakibat fatal. Sebagian besar kasus epistaksis dapat berhenti
sendiri tetapi sebagai seorang dokter perlunya pendekatan pada semua kasus
epistaksis baik kasus yang minor ataupun pada kasus epistaksis yang
diakibatkan oleh penyakit sistemik. 4

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dan atas ke


bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3)
puncak hidung (tip), 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares
anterior).1
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka hidung luar
dibentuk oleh 1) tulang hidung (Os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila
dan 3) pars nasalis os frontalis, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri
dari lempeng-lempeng tulang rawan hialin yang terletak di bagian bawah
hidung.5

Gambar 1. Hidung luar dan septum nasi. A. Permukaan lateral rangka tulang
dan cartilaginosa hidung luar. B. Facies anterior rangka tulang dan
cartilaginosa hidung luar. C. Rangka tulang dan cartilaginosa septum nasi
(sekat rongga hidung).5

Kavum Nasi
Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan
oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.

6
Septum nasi dibentuk oleh cartilago septi nasi, lamina verticalis osis
ethmoidalis, dan vomer. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang bermuara ke dalam nasofaring. Bagian dan kavum nasi yang letaknya
tepat di belakang nares, disebut vestibulum.1,5

Gambar 2. A. Dinding lateral cavum nasi kanan. B. Dinding lateral cavum


nasal kanan; concha nasalis superior, media, dan inferior dibuang sebagian
untuk memperlihatkan muara dari sinus paranasalis dan ductus lacrimalis
ke dalam meatus.5

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,


lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi.
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1)
lamina perpendikularis Os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila
dan 4) krista nasalis Os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.1,5
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah
konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil
disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan

7
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dan labirin etmoid.1
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Tergantung dan letak meatus, ada tiga meatus
yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus
medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara
konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.1
Batas rongga hidung. Dinding inferior merupakan dasar rongga
hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau
atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang berasal dan os etmoid, tulang ini berlubang-
lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf
olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os
sfenoid.1,5

Vaskularisasi Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dan a.
karotis interna.1
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dan cabang a.
maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina mayor dan
a.sfenopalatina yang keluar dan foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media.1
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dan cabang-cabang
a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dan cabang-

8
cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina
mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.1,5
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai
ke intrakranial.1,5
Pendarahan cavum nasi berasal dari cabang-cabang arteria maxillaris,
yang merupakan salah satu cabang terminal arteria carotis externa. Cabang
yang terpenting adalah arteria sphenopalatina. Arteria sphenopalatina
beranastomosis dengan ramus septalis arteria labialis superior yang
merupakan cabang dari arteria facialis di daerah vestibulum. Darah di dalam
anyaman vena submucosa dialirkan oleh vena-vena yang menyertai arteri. 5

Gambar 3. A. Dinding lateral cavum nasi memperlihatkan pendarahan


membrana mucosa. B. Septum nasi memperlihatkan pendarahan membrana
mucosa.5

2.2 Definisi
Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam
hidung. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi
pada anak-anak dan orang tua. Epistaksis bisa disebabkan oleh faktor lokal
maupun sistemik.6

9
2.3 Epidemiologi
Epistaksis merupakan kejadian perdarahan spontan kedua yang sering
terjadi. 60% pasien pernah mengalami setidaknya satu kali episode
epistaksis dalam hidup mereka. 80% kasus terjadi karena rupturnya pleksus
Kiesselbach. Insiden epistaksis sedikit lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan wanita. Pada anak-anak, 30% pasien yang mengalami
perdarahan pada salah satu hidung berkisar pada umur 5 tahun. Pada anak
yang berusia antara 6-10 tahun mengalami peningkatan jumlah hingga 56%.
Perdarahan hidung jarang terjadi pada awal masa kelahiran dan pasca
pubertas. Epistaksis paling umum terjadi pada anak yan tinggal pada daerah
yang kering, khususnya jika mereka memiliki riawayat infeksi pernafasan
atas atau rinitis alergi.6
Frekuensi epistaksis sulit ditentukan karena sebagian besar episode
berhenti secara spontan atau dengan self treatment dan karena itu tidak
dilaporkan. 1,6
Kejadian epistaksis sedikit lebih tinggi pada laki-laki daripada
perempuan. Bagi kebanyakan orang, epistaksis merupakan gangguan
fisiologis saja. Namun, masalah yang mengancam nyawa pada pasien
dengan usia lanjut dan adanya penyakit yang mendasari seperti penyakit
kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, kelainan hormonal dan
kelainan kongenital.1,6

2.4 Etiologi
Epistaksis memiliki penyebab lokal dan sistemik. Faktor-faktor lokal
seperti trauma, benda asing dan penggunaan alat medis seperti intubasi
endotrakeal dan nasogastric tube juga merupakan penyebab epistaksis.
Infeksi dan inflamasi seperti sinusitis, rinitis alergi dan dekongestan topikal
juga merupakan faktor lokal yang berkontribusi terhadap epistaksis.3,9
Faktor sistemik seperti kardiovaskular terkait dengan risiko kejadian
epistaksis karena volume yang berlebihan dan peningkatan tekanan di
pembuluh darah vena yang memicu pecahnya daerah pleksus Kiesselbach.

10
Faktor-faktor ini termasuk gagal jantung kongestif, stenosis mitral, obstruksi
vena kava superior. Disfungsi koagulasi biasanya terjadi pada penggunaan
obat-obatan seperti OAINS, clopidogrel dan warfarin. Sepertiga pasien
dengan epistaksis berulang memiliki gangguan hemostasis yang mendasari
seperti defisiensi faktor koagulasi, penyakit Von Willebrand dan beberapa
kelainan fungsi platelet yang langka.2,4
Tabel 1. Penyebab epistaksis.3,4
Tipe Penyebab
Lokal Idiopatik
Sinusitis kronik
Rinitis
Neoplasma intranasal
Perforasi septum
Iritan (contoh : rokok)
Deviasi septum
Infeksi
Trauma
Neoplasia
Benda Asing
Telengiektasis
Sistemik Hipertensi
Obat-obatan (antikoagulan)
Penyakit kelainan darah seperti
hemofilia, leukimia
Disfungsi platelet
Trombositopenia
Penyakit hati seperti sirosis hepatis

2.5 Patofisiologi
Suplai darah dari hidung sangat kompleks dan didistribusi sebagian
besar oleh arteri karotis interna dan eksterna. Arteri karotis eksterna
memperdarahi hidung melalui arteri fasialis dan arteri maxilla interna.
Arteri labialis superior yang merupakan salah satu cabang terminal dari
arteri fasialis yang berkontribusi sebagai suplai darah pada bagian anterior
hidung dan septum melalui cabang septum. Arteri maksilla interna
memasuki fossa pterigomaksilla dan membelah menjadi 6 cabang yaitu
alveolar superior posterior, palatina decendens, infraorbital, sphenopalatina,
pterygoid canal dan pharyngeal. Arteri palatina descendens melalui canalis
palatina mayor dan sebagai suplai darah pada bagian dinding lateral kavum

11
nasi. Masuk kembali ke hidung melalui cabang dari foramen foramen
incisive untuk mengirigasi septum anterior. Arteri sphenopalatina memasuki
hidung melalui foramen sphenopalatina yang terletak kira-kira 10 mm
secara dorsal ke garis teoritis yang ditarik antara kedua pasang posterior dari
turbinat tengah dan bawah untuk mesuplai dinding hidung lateral, dan juga
memiliki cabang ke septum. Arteri karotid internal mengirigasi hidung
melalui arteri ophthalmic yang memasuki tulang orbita melalui fisura orbita
superior dan terbagi menjadi beberapa cabang.6
Salah satunya, arteri ethmoid posterior yang keluar dari orbit untuk
hidung melalui foramen ethomoid posterior, terletak 2 mm sampai 9 mm
anterior ke kanal optik. Arteri ethmoid anterior keluar dari orbit melalui
foramen ethmoid anterior. Kedua pembuluh darah tersebut melewati atap
ethmoid untuk memasuki fossa cranial anterior dan kemudian turun ke
rongga hidung di mana terbagi menjadi cabang lateral dan cabang septum
untuk mesuplai dinding lateral hidung dan septum hidung. Plesus
Kiesselbach atau Little Area, terletak di sepertiga bawah septum tulang
rawan dan merupakan sumber yang paling sering untuk kebanyakan
epistaksis anterior. Banyak dari arteri yang mesuplai septum memiliki
anastomosis di pleksus ini. Mukosa yang menutupi area ini tipis dan rapuh
dan pembuluh-pembuluh kecil yang mesuplai selaput lendir hidung
memiliki dukungan struktural yang minimal. Kemacetan pembuluh darah
yang disebabkan oleh kondisi seperti URI atau pengeringan mukosa dari
kelembaban lingkungan yang rendah membuat daerah ini rentan terhadap
perdarahan. Saraf sensorik mengikuti pola umum anatomis pembuluh
darah.6

2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pada epistaksis akan tergantung pada etiologi dan
patofisiologi yang mendasarinya. Namun, pasen mungkin akan berubah
secara emosional karena kehilangan darah yang bisa mereka amati.
Kecemasan ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan takikardi.

12
Berdasarkan sumber perdarahan, epistaksis terbagi atas epistaksis anterior
dan posterior.1
Pada epistaksis anterior, kebanyakan berasal dari Pleksus Kiesselbach
di septum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Pada bagian
depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a.
etmoidalis anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor. Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis. Perdarahan biasanya ringan karena
keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan
kebanyakan terjadi pada anak-anak, seringkali berulang dan dapat berhenti
sendiri.1,2
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau
arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat
berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis aau pasien dengan penyakit kardiovaskular karena pecahnya
a. sfenopalatina.1

2.7 Penegakkan Diagnosis


Pada anamnesis, ditanyakan mengenai beratnya perdarahan, frekuensi,
durasi, riwayat perdarahan di hidung sebelumnya dan sumber perdarahan
apakah dari depan atau dari belakang hidung. Pertanyaan selanjutnya yaitu
mengenai tatalaksana awal yang dilakukan oleh pasien untuk menghentikan
perdarahan. Riwayat trauma pada kepala dan leher sehingga menimbulkan
gejala perdarahan pada hidung perlu ditanyakan kepada pasien. Selain itu,
seorang dokter juga harus menanyakan mengenai kondisi medis yang
menyertai (seperti hipertensi, aterosklerosis, koagulopati, penyakit hati),
obat-obatan yang sedang dikonsumsi (seperti komadin, NSAID), riwayat
merokok dan minum alkohol juga penting untuk ditanyakan.6
Pada pemeriksaan fisik, setelah memeriksa keadaan umum pasien dan
memastikan tanda vital stabil, perhatian diarahkan pada hidung. Hidung
harus diperiksa dengan teliti untuk menentukan lokasi dan penyebab
perdarahan. Lampu kepala dan spekulum hidung sebaiknya digunakan

13
untuk visualisasi yang optimal. Jika pasien mengalami trauma nasal,
perhatikan adanya septal hematoma, yang tampak berupa massa
hitamkebiruan pada septum anterior memenuhi kavum nasal. Terkadang
dapat dilihat hemangioma mukosa atau teleangiektasis. Jika tidak dijumpai
sumber perdarahan, namun dijumpai darah yang mengalir di tenggorokan,
kemungkinan asal perdarahan dari daerah posterior.
Pemeriksaan penunjang tidak diperlukan atau tidak membantu pada
epistaksis untuk yang pertama kalinya atau jarang berulang dan disertai
dengan riwayat mengorek hidung atau trauma terhadap hidung. Tetapi,
pemeriksaan penunjang diperlukan bila terjadi perdarahan hebat atau
dicurigai terdapat koagulopati.6
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai kondisi pasien dan masalah
medis penyebab epistaksis. Pemeriksaan ini tidak dilakukan bila
perdarahan bersifat minor dan tidak berulang. Bila terdapat riwayat
perdarahan yang berat dan berulang, kelainan platelet atau neoplasia
dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Bleeding time digunakan untuk
menilai kecurigaan terdapatnya kelainan perdarahan dan pemeriksaan
INR (International Normalized Ratio) aPTT(activated Partial
Thromboplastin Time) dan PT (Prothrombin Time) dilakukan bila
pasien dicurigai mengonsumsi warfarin atau menderita penyakit liver.6,9
2) Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan CT-Scan dan MRI diindikasikan untuk menilai anatomi
dan menentukan kehadiran dan perluasan dari rinosinusitis, benda asing
dan neoplasma.
3) Nasofaringoskopi
Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila tumor dicurigai sebagai penyebab
perdarahan.

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ada empat yaitu:
 Langkah awal pertolongan pertama

14
 Pemantauan kehilangan darah
 Evaluasi penyebab
 Melakukan prosedur untuk menghentikan perdarahan
Langkah awal pertolongan pertama pada pasien adalah pemeriksa
memeninta pasien untuk dalam posisi duduk dengan badan membungkuk ke
depan agar tidak tertelan darah. Kemudian minta pasien untuk menekan
hidung secara bersamaan dan pasien diminta untuk bernafas lewat mulut
(gambar 4.a). Menekan tulang hidung adalah cara yang salah dan tidak
efektif (gambar 4.b). 4,7,8

A B

Gambar 4. (a). Kompresi manual dengan tehnik yang benar. (b) kompresi
manual dengan tehnik yang salah. 4
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya,
nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih
dahulu misalnya dengan memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh
darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau diisap.1,4
Untuk mengevaluasi penyebab kita perlu untuk menghentikan
perdarahannya terlebih dahulu. Alat-alat yang diperlukan untuk
pemeriksaan antara lain yaitu lampu kepala, spekulum hidung dan alat
penghisap. Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari
darah dan bekuan darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian pasang
tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi adrenalin 1/5000-
1/10.000 lalu dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan
perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pdaa saat dilakukan tindakan
selanjutnya. Tampon dibiarkan selama 10-15 menit lalu dibuka kemudian
dilihat apakah perdarahan berasal dari anterior atau posterior.1

15
Gambar 5. Algoritma Tatalaksana Epistaksis9

2.8.1 Epistaksis Anterior


Penatalaksanaan pada epistaksis anterior tidak terlalu
membutuhkan perawatan medis yang intensif karena biasanya
perdarahan dapat berhenti sendiri. Pasien diminta untuk menekan
hidung luar selama 10-15 menit dan seringkali berhasil. Pada
epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan

16
jelas,dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam
trikloroasetat10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik
diberikan analgesia topikal terlebih dahulu dan sesudahnya diberikan
krim antibiotik.
Bila dengan kaustik pendarahan anterior masih terus
berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan
kapas atau kain kasa sebanyak 2-4 buah yang diberi pelumas vaselin
atau salep antibiotika. Pemakaian pelumasdiperlukan agar tampon
mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan pendarahan baru
saat dimasukkan atau dicabut. Dapat juga dipakai tampon rolyang
dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½
cm,diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak
rongga hidung.Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal
perdarahan dan dapatdipertahankan selama 1-2 hari, setelah 1-2 hari,
harus diambil untuk mencegahinfeksi hidung. Bila pendarahan masih
belum berhenti, dipasang tampon baru.1,6,9

Gambar 6. Pemasangan tampon anterior3

17
2.8.2 Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab
biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan
pernenikaaan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior jarang terjadi
dibandingkan epistaksis anterior dan biasanya ditangani oleh dokter
spesialis. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan
pemasangan tampon posterior yang disebut tampon Bellocq. Tampon
ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3
cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan
sebuah di sisi berlawanan. 1,6
Posterior nasal packing atau tampon posterior dilakukan dengan
memasukkan kateter melalui salah satu lubang hidung atau keduanya
ke nasofaring dan keluar melalui mulut. Tampon kasa di kaitkan
diujung kateter lalu ditempatkan di nasofaring posterior, lalu kateter
ditarik dari hidung sehingga tampon kasa dapat berada di belakang
koana dan menutupi aliran rogga hidung posterior serta memberikan
efek penekanan pada sumber perdarahan. Bila masih ada perdarahan
maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua
benang yang keluar dan hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa
di depan nares anterior supaya tampon yang terletak di nasofaring
tetap di ternpatnya. Benang lain yang keluar dan mulut diikatkan
secara longgar pada pipi pasien. 1,6
Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut
setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat
menyebabkan laserasi mukosa. Bila perdarahan berat dan kedua sisi,
misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan bantuan dua kateter
masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon
posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring. 1,6
Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter
Folley dengan balon. Akhir akhir ini juga banyak tersedia tampon
buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon
dan bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya pemakaian

18
endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau
ligasi a.sfenopalatina dengan panduan endoskop. 1,6

Gambar 6. Pemasangan tampon posterior3

2.9 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau
sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan
yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga
dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah
secara mendadak dapat menyebabkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,
insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan
kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus
dilakukan secepatnya.1
Pada kauterisasi dapat terjadi sinekia dan perforasi septum. Pada
pemasangan tampon anterior juga dapat menyebabkan sinekia, rinosinusitis,
sindrom shock toksik dan disfungsi tuba eustachius. Pemasangan tampon
posterior dapat terjadi disfagia, luka pada ala nasi dan columela,
hipoventilasi dan bisa terjadi tuli mendadak.3,7

19
2.10 Prognosis
Prognosis pada kasus epistaksis umumnya adalah baik tetapi bisa jadi
prognosisnya bervariasi. Penanganan yang bersifat suportif dan mengontrol
penyakit yang mendasari dapat mengurangi perdarahan berulang. Sebagian
pasien memiliki tingkat kekambuhan kecil yang dapat sembuh spontan atau
membutuhkan perawatan yang minimal. Sebagian kecil lainnya perlu
mendapatkan perawatan yang lebih intensif. Faktor yang menyebabkan
terjadinya perdarahan yang berulang yaitu usia, riwayat hipertensi
sebelumnya, penggunaan obat antikoagulan, tanda-tanda vital pasien, jenis
kemasan tampon dan riwayat epistaksis posterior yang berat sebelumnya.6

20
BAB III
KESIMPULAN

Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang dapt berlangsung


ringan sampai dengan berat dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal.
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior
dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus
Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis
posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid
posterior.
Pendarahan ini dapat berhenti sendiri atau sampai harus segera diberi
pertolongan. Pada kasus yang berat, pertolongan harus dilakukan di rumah sakit
dengan orang yang yang berkompetensi pada bidang ini.
Penentuan asal pendarahan pada kasus epistaksis sangat penting karena
berkaitan dengan cara penatalaksanaannya. Untuk menghentikan pendarahan ini
dapat dilakukan tampon anterior, kauterisasi dan tampon posterior.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007. Buku Ajar


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Soto-Galindo GA, Treviño González JL. 2017. Epistaxis Diagnosis and
Treatment Update: A Review. Annals of Otolaryngology and Rhinology
Review. 4(4): 1176.
3. Kucik C., Clenney T. 2005. Management of Epistaxis. American Academy
of Family Physician. 71(2).
4. Dhillon. R.S., East C.A. 2000. Ear, nose, and throat and Head and Neck
Surgery Second Edition. China: Hartcourt Publishers.
5. Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta. 2006.
6. Bertrand B., Eloy Ph., Rombaux Ph., Lamarque C., Watelet JB., Collet S.
2005. Guideline of the management of epistaxis. 1:27-43.
7. Bull, Tony R. 2003. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th edition. New York:
Thieme Stuttgart.
8. Van De Water, Thommas R., Staecker, Henrich. 2006. Otolaryngology
Basic Sciene and Clinical Review. United States of America: Thieme
Medical Publishers Inc.
9. Probst R., Grevers G., Heinrich I. 2006. Basic Otorhinolaryngology. New
York: Geig Thieme Verlag Stuttgart .

22

Anda mungkin juga menyukai