Anda di halaman 1dari 5

LEGAL OPINI

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN NOMINEE YANG DILAKUKAN WARGA


NEGARA ASING SEBELUM TERJADINYA PERALIHAN HAK ATAS TANAH

I. Kasus Posisi
1. Pada tahun 1982 para Penggugat membeli sebidang tanah kintal dari Andreas
Arnoldus Maramis Sertifikat Hak Milik Nomor : 447/Paal Dua tahun 1982 melalui
kuasanya Adrian Willem Maramis dengan harga Rp. 1.687.000. (satu juta enam ratus
delapan puluh tujuh ribu rupiah) yang terletak di Desa Paal Dua Kecamatan Manado
Tengah Kotamadya Daerah Tingkat II Manado dahulu, sekarang Jalan Rajawali No.
09 Kelurahan Paal Dua Lingkungan I Kecamatan Paal Dua Kota Manado, seluas
kurang lebih 241 M2.
2. Tahun 1979 para Penggugat menguasai dengan cara menyewa. Kemudian terjadi jual
beli antara Penggugat dengan Andreas Arnoldus Maramis melalui kuasanya Andre
Willem Maramis tanggal 12 Juni 1982 sesuai Akta Jual – beli Nomor : 90/VI/1982
memakai nama Henky Mandagie. Dengan demikian terhitung sejak tahun 1979 para
Penggugat secara terus-menerus telah menguasai dan menduduki tanah kintal tersebut
sampai meninggalnya Henky Mandagie pada tahun 2016.
3. Setelah para Penggugat memiliki tanah kintal tersebut diperoleh dari hasil pembelian,
selanjutnya para Penggugat mengurus Akte jual – beli sebagai persyaratan untuk
menerbitkan Sertifikat Hak Milik atas nama Lie Wan Fong. Namun karena pada saat
mengurus Sertifikat Hak Milik tersebut Penggugat Lie Wan Fong masih memiliki
status warga negara asing, maka menurut peraturan yang berlaku pada saat itu tidak
dibenarkan Penggugat sebagai warga negara asing (keturunan tionghoa) memperoleh
status hak milik atas tanah.
4. Berdasarkan hal tersebut, selanjutnya para Penggugat mmeminjam nama Henky
Mandagie warga negara Indonesia, yang tak lain adalah kakak ipar dari Penggugat Lie
Wan Fong suami Tergugat I Lie Mey Fong untuk ditulis dalam akta jual – beli
Nomor : 90/VI/1982 tanggal 12 Juli tahun 1982 dibuat dihadapan Camat Manado
Tengah Herman Tatareda, BA. Dahulu, sekarang masuk wilayah Kecamatan Paal Dua
Kota Manado dan Sertifikat Hak Milik Nomor : 447/Paal Dua Tahun 1982.
5. Sejak tahun 2002 Para Penggugat telah memiliki status kewarga negaraan Indonesia
sehingga berhak sepenuhnya untuk mempunyai hak milik terhadap tanah kintal yang
dibeli oleh para Penggugat sesuai Akta jual – beli nomor : 90/VI/1982 tanggal 12 Juli
1982 pada saat itu meminjam nama Henky Mandagie mohon segera dibalik nama
menjadi atas nama Lie Wan Fong.
6. Para Penggugat telah menjadi warga negara Indonesia sejak Tahun 2002, maka
menurut hukum para Penggugat berhak untuk mmempunyai hak milik atas tanah
kintal tersebut, maka memerintahkan kepada Tergugat I dan Tergugat II agar Sertifikat
Hak Milik Nomor : 447/Paal Dua tahun 1982 atas nama Henky Mandagie segera
menyerahkan kepada Penggugat dan selanjutnya diproses balik nama menjadi atas
nama pemilik yang sesungguhnya yaitu Lie Wan Fong
7. Pada saat almarhum Henky Mandagie masih hidup, para Penggugat telah
menyampaikan kepada alm. Henky Mandagie bahwa Sertifikat Hak Milik Nomor :
447/Paal Dua tahun 1982 atas tanah kintal akan dibalik nama menjadi hak milik
Penggugat Lie Wan Fong. Permohonan para Penggugat tersebut pada saat itu diterima
dengan baik oleh alm. Henky Mandagie dan diketahui pula oleh Tergugat I dan II.
Namun karena sebelum dilakukan proses balik nama, alm. Henky Mandagie telah
meninggal dunia tahun 2016 sehingga proses balik nama terhadap Sertifikat Hak
Milik Nomor : 447/Paal Dua tahun 1982 juga tidak dapat dilaksanakan.
8. Para Penggugat telah berupaya bertemu dengan Tergugat I dan Tergugat II, untuk
menyelesaikan masalah ini dengan maksud bahwa Sertifikat Hak Milik Nomor :
447/Paal Dua tahun 1982 atas tanah kintal akan dibalik nama atas nama Pengguat Lie
Wan Fong sebagai hak milik yang sesungguhnya, tetapi Tergugat I dan II menolak
dengan alasan yang tidak jelas dan sangat bertentangan dengan niat baik dari alm.
Henky Mandagie yang pada pokoknya bersedia menyerahkan Sertifikat Hak Milik
nomor : 447/Paal Dua atas tanah kintal kepada Penggugat untuk diproses balik nama
menjadi atas nama Penggugat

II. Isu Hukum


1. Bagaimana akibat hukum dari perjanjian nominee yang dilakukan warga negara asing
sebelum terjadinya peralihan hak atas tanah berdasarkan Putusan Nomor:
91/PDT/2019/PT MND?

III. Dasar Hukum


Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan pokok-pokok agraria
Pasal 1320 KUHPerdata
Pasal 1338 KUHPerdata

IV. Analisis
Perjanjian nominee merupakan suatu upaya untuk memberikan kemungkinan bagi
warga negara asing yang memiliki hak milik atas tanah dengan jalan menggunakan
kedok melakukan jual beli atas nama Warga Negara Indonesia, sehingga secara
yuridis formal tidak menyalahkan peraturan. Sedangkan hal tersebut bertentangan
dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UU nomor 5 Tahun 1960) yang di singkat
UUPA. Perjanjian nominee adalah perjanjian dimana salah satu pihak (nominee)
secara resmi terrdaftar sebagai pemilik suatu harta atau hak, namun sebenarnya
bertindak atas nama pihak lain yang merupakan pemilik sebenarnya. Dalam konteks
jual beli tanah atau properti, nominee agreement sering digunakan ketika orang asing
ingin memiliki properti di Indonesia yang seharusnya hanya dimiliki oleh warga
negara Indonesia. Dengan menggunakan perjanjian nominee, orang asing dapat
menggunakan pihak ketiga (nominee) yang merupakan warga negara Indonesia untuk
mewakili mereka dalam kepemilikan tanah atau properti. Praktik ini menuai
kontroversi karena melanggar ketentuan hukum yang mengatur kepemilikan properti
oleh orang asing di Indonesia. Pasal 1320 KUHPer mengatur beberapa syarat yang
diperlukan agar suatu perjanjian dianggap sah dan mengikat para pihak di Indonesia.
Perjanjian nominee yang dilakukan oleh warga negara asing sebelum terjadinya
peralihan hak atas tanah memiliki implikasi hukum yang kompleks. Dalam kasus
yang diuraikan dalam Putusan Nomor 91/PDT/2019/PT MND, terdapat perjanjian
nominee yang dilakukan oleh Penggugat, yang pada awalnya merupakan warga
negara asing, untuk memperoleh hak atas tanah di Indonesia. Namun, setelah
Penggugat menjadi warga negara Indonesia, terdapat perubahan status yang
mempengaruhi kedudukan hukum atas tanah yang menjadi objek sengketa. Perjanjian
nominee merupakan perjanjian yang sering digunakan oleh warga negara asing untuk
memperoleh hak atas tanah di Indonesia. Namun, sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, warga
negara asing tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh pertimbangan kedaulatan negara dan perlindungan terhadap sumber
daya alam yang dimiliki oleh negara. Dalam kasus ini, perjanjian nominee yang
dilakukan sebelum peralihan status kewarganegaraan Penggugat menjadi warga
negara Indonesia menimbulkan pertanyaan tentang keabsahan perjanjian tersebut.
Meskipun pada awalnya Penggugat melakukan pembelian tanah melalui perjanjian
nominee saat masih merupakan warga negara asing, peralihan status kewarganegaraan
menjadi warga negara Indonesia memungkinkan Penggugat untuk memiliki hak milik
yang sah atas tanah tersebut. Akibat hukum dari perjanjian nominee yang dilakukan
warga negara asing sebelum terjadinya peralihan hak atas tanah adalah batal dan tidak
mengikat karena perjanjian tersebut dibuat secara tidak sah. Perjanjian nominee atau
perwakilan adalah kontrak yang dibuat antara warga negara asing dan warga negara
Indonesia, dimana warga negara asing meminjam nama warga negara Indonesia untuk
dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah pada sertifikatnya, tetapi kemudian
warga negara Indonesia berdasarkan akta pernyataan yang dibuatnya mengingkari
bahwa pemilik sebenarnya adalah warga negara asing selaku pihak yang
mengeluarkan uang untuk pembelian tanah tersebut dan penguasaannya dilakukan
atau diwakilkan kepada warga negara asing tersebut. Hal ini berakibat bahwa
perjanjian nominee dijadikan suatu celah bagi warga negara asing untuk memiliki
tanah di Negara Indonesia, dimana hal ini bertentangan dengan Undang-Undang
nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan pokok-pokok agraria. Karena perjanjian
nominee ini tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia, maka
perjanjian nominee ini bersifat tidak mengikat dan batal bagi kedua belah pihak.
Dalam kasus putusan tersebut, perjanjian nominee yang dilakukan warga negara asing
sebelum terjadinya peralihan hak atas tanah tidak diterima sebagai dalil untuk
membuktikan hak milik atas tanah objek sengketa. Hal ini disebabkan oleh beberapa
alasan:
• Tidak diterima perjanjian nominee: Dalam kasus tersebut, para Penggugat
tidak dapat menggunakan perjanjian nominee sebagai dalil untuk
membuktikan hak milik atas tanah objek sengketa, karena putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia tidak diterima karena tidak dapat membuktikan
bahwa tanah objek sengketa adalah miliknya berdasarkan jual beli.
• Tidak diterima hukum pemberian hak milik: Dalam kasus tersebut, para
Penggugat tidak dapat menggunakan hukum pemberian hak milik sebagai dalil
untuk membuktikan hak milik atas tanah objek sengketa, karena putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak diterima karena tidak dapat
membuktikan bahwa tanah objek sengketa adalah miliknya berdasarkan jual
beli.
• Tidak diterima hukum pemberian nama: Dalam kasus tersebut, para Penggugat
tidak dapat menggunakan hukum pemberian nama sebagai dalil untuk
membuktikan hak milik atas tanah objek sengketa, karena putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia tidak diterima karena tidak dapat membuktikan
bahwa tanah objek sengketa adalah miliknya berdasarkan jual beli.
• Tidak diterima hukum pemberian hak milik terhadap tanah kintal: Dalam
kasus tersebut, para Penggugat tidak dapat menggunakan hukum pemberian
hak milik terhadap tanah kintal sebagai dalil untuk membuktikan hak milik
atas tanah objek sengketa, karena putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia tidak diterima karena tidak dapat membuktikan bahwa tanah objek
sengketa adalah miliknya berdasarkan jual beli.
Perjanjian nominee dan hak atas tanah yang dimiliki oleh Penggugat setelah peralihan
status kewarganegaraan tergantung pada kasus spesifik. Dalam kasus yang disebutkan
dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 91/PDT/2019/PT MND, Penggugat telah
memiliki hak milik atas tanah kintal sebelumnya, yang dibeli oleh Penggugat sesuai
dengan Akta jual-beli nomor : 90/VI/1982 tanggal 12 Juli 1982. Namun, Penggugat
tidak dapat membuktikan bahwa tanah objek sengketa adalah miliknya berdasarkan
jual beli, sehingga putusan Mahkamah Agung tidak diterima. Dalam kasus ini,
Penggugat telah memiliki status kewarga negaraan Indonesia sejak tahun 2002,
sehingga berhak sepenuhnya untuk mempunyai hak milik terhadap tanah kintal yang
dibeli oleh para Penggugat sesuai Akta jual-beli nomor : 90/VI/1982 tanggal 12 Juli
1982. Namun, karena Penggugat telah menjadi warga negara Indonesia sejak tahun
2002, maka putusan Mahkamah Agung telah menarik kembali Sertifikat Hak Milik
Nomor : 447/Paal Dua tahun 1982 kepada Penggugat, yang telah diterima oleh
Penggugat. Berdasarkan Putusan Nomor 91/PDT/2019/PT MND, keabsahan
perjanjian nominee yang dilakukan sebelum peralihan status kewarganegaraan
Penggugat menjadi warga negara Indonesia diakui sebagai sah dan mengikat. Hal ini
karena perjanjian nominee tersebut telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku,
termasuk ketentuan dalam Hukum Perjanjian (Buku III KUH Perdata) dan prinsip
pacta sunt servanda. Setelah peralihan status kewarganegaraan menjadi warga negara
Indonesia, Penggugat memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya dan
berhak memperoleh hak milik yang sah atas tanah yang sebelumnya menjadi objek
sengketa. Dengan demikian, hak atas tanah yang dimiliki oleh Penggugat setelah
peralihan status kewarganegaraan diakui sebagai sah dan berharga.

Anda mungkin juga menyukai