Anda di halaman 1dari 30

PENDAHULUAN

Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan gagal napas tipe


hipoksemia yang ditandai dengan kelainan paru akut. Acute respiratory distress
syndrome pertama kali diperkenalkan oleh dr. Thomas L.Petty dkk. tahun 1967
yang bekerja di rumah sakit bedah Vietnam.1 Acute respiratory distress syndrome
awalnya dikenal sebagai stiff lung, wet lung, shock lung, dan tahun 1994
dinamakan sebagai adult respiratory distress syndrome.2 Acute respiratory
distress syndrome dapat terjadi pada semua usia yang sakit berat. Acute
respiratory distress syndrome terjadi pada laki-laki dan perempuan baik dewasa
maupun anak-anak sehingga istilah adult respiratory distress syndrome berubah
menjadi acute respiratory distress syndrome.1
Insiden ARDS sulit ditentukan karena perbedaan etiologi, letak geografis,
manifestasi klinis, dan definisi. Gross dkk. tahun 2003 dikutip dari 3 memperkirakan
insiden ARDS sebanyak 64,2 kasus tiap (/) 100.000 orang/ tahun.3 Insiden ARDS
setiap tahunnya meningkat antara 5-80 orang/ 100.000 orang/ tahun. Tujuh sampai
10% pasien tersebut membutuhkan perawatan di ruang intensive care unite (ICU)
dan 5-8% pasien tersebut membutuhkan ventlasi mekanis. Rata-rata angka
mortalitas ARDS sebanyak 25-75%.4 National Hearth Lung and Blood Institude
memperkirakan insiden ARDS di Amerika tahun 2007 sebanyak 190.000/ tahun
dan 25- 40% diantaranya berakibat fatal dengan angka mortalitas sebanyak 50-
70%.2
Acute respiratory distress syndrome merupakan kelainan paru berat yang
ditandai inflamasi paru difus dan tanda-tanda gagal napas tipe hipoksemia.
Kelainan paru yang terjadi kembali normal dalam waktu 6-12 bulan.5 Pasien
ARDS umumnya membutuhkan ventilasi mekanis lebih dari 24 jam. Population
based cohort study yang dilakukan Rubenfeld GD dkk. tahun 2003dikutip dari 6 dan
dilakukan selama lebih dari 16 bulan di dapatkan 21% pasien yang di rawat
dengan menggunakan ventilasi mekanis memenuhi kriteria diagnosis ARDS.6
Penggunaan ventilasi mekanis tidak sepenuhnya aman tetapi memiliki berbagai
efek samping. Salah satu efek samping penggunaan ventilasi mekanis ini

1
berhubungan dengan pengaturan ventilator yang dikenal dengan ventilator induce
lung injury (VILI). Ventilator induced lung injury akan memperparah kerusakan
paru.5 Lung protective ventilation strategy yang dilakukan oleh ARDS network
study terbukti dapat menurunkan angka mortalitas pasien ARDS dari 40%
menjadi 31 %.7
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk membahas
perkembangan kriteria diagnosis ARDS, patogenesis ARDS, dan pengaturan lung
protective ventilation strategy pasien ARDS. Pemahaman yang baik mengenai hal
tersebut diharapkan dapat mengurangi insiden VILI sehingga angka mortalitas
pasien ARDS dapat turun.

DEFINISI DAN DIAGNOSIS ARDS

Acute respiratory distress syndrome bukanlah suatu penyakit. Acute


respiratory distress syndrome merupakan suatu kumpulan gejala. Seseorang
dinyatakan menderita ARDS jika memenuhi suatu kriteria tertentu. Kriteria
diagnosis ARDS terus berevolusi.8 Tujuan penyusunan kriteria diagnosis ARDS
adalah untuk memudahkan penelitian epidemiologis, penegakan diagnosis,
merencanakan penatalaksanaan yang tepat, dan menentukan prognosis pasien.9
Definisi ARDS didasarkan pada perubahan fisiologis dan gambaran
radiologis. Definisi ARDS pertama kali dideklarasikan oleh Ausbaugh dkk. tahun
1967. Ausbaugh dkk. mendefinisikan ARDS berdasarkan keluhan klinis pasien.
Acute respiratory distress syndrome merupakan kumpulan gejala yang ditandai
keluhan sesak napas akut, takipnea, hipoksemia berat, kelainan pada rontgen
toraks, dan penurunan complience sistem respirasi. Penemuan metode kateterisasi
arteri pulmonalis di ruang ICU menyebabkan definisi ARDS berubah. Acute
respiratory distress syndrome merupakan salah satu bentuk edema paru
nonkardiogenik ditandai peningkatan jumlah protein dan sel di dalam alveoli
sedangkan tekanan atrium kiri normal.8
Empat kriteria diagnosis ARDS digunakan tahun 1980-an. Tiga kriteria
berdasarkan kriteria fisologis dan pemeriksaan radiologis, sedangkan 1 kriteria

2
berdasarkan pemeriksaan tekanan arteri pulmonalis. 8 Murray dkk. tahun 1988
mendeklarasikan lung injury score. Lung injury score ditentukan berdasarkan
pemeriksaan radiologis, nilai hipoksemia, nilai peek end expiratory pressure
(PEEP), dan complience sistem respirasi. Hipoksemia dan kelainan radiologis
harus didapatkan pada semua pasien ARDS. Komponen lung injury score masing-
masing bernilai 1-4. Nilai akhir dihitung dengan menjumlahkan semua nilai
dibagi jumlah komponen yang ada. Total nilai dikelompokkan menjadi 3. Nilai 0
berarti tidak didapatkan lung injury, nilai 0,1-2,5 berarti di dapatkan lung injury
derajat ringan- sedang, dan nilai >2,5 berarti pasien menderita ARDS. Lung injury
score dapat dilihat dalam tabel satu.10
Tabel 1. Lung injury score.
Nilai pemeriksaan radiologis
- Tidak didapatkan konsolidasi alveolar 0
- Konsolidasi alveolar pada 1 kuadran 1
- Konsolidasi alveolar pada 2 kuadran 2
- Konsolidasi alveolar pada 3 kuadran 3
- Konsolidasi alveolar pada 4 kuadran 4

Nilai hipoksemia
- Tekanan oksigen arteri (PaO2)/ fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 0
≥300
- PaO2/ FiO2 antara 225-299 1
- PaO2/ FiO2 antara 175-224 2
- PaO2/ FiO2 antara 100-174 3
- PaO2/ FiO2 <100 4

Nilai complience sistem respirasi (jika ada)


- ≥ 80 mili liter (mL)/ sentimeter air (cmH2O) 0
- 60-79 mL/ cmH2O 1
- 40-59 mL/ cmH2O 2
- 20-39 mL/ cmH2O 3
- ≤19 mL/ cmH2O 4

Nilai PEEP (jika ada)


- ≤5 cmH2O 0
- 6-8 cmH2O 1
- 9-11 cmH2O 2
- 12-14 cmH2O 3
- ≥ 15 cmH2O 4

Nilai akhir
- Tidak didapat lung injury 0
- Acute lung injury 0,1-2,5
- Severe lung injury (ARDS) >2,5
Dikutip dari (10)

3
American European Consensus Conference (AECC) mempublikasikan
definsi ARDS terbaru tahun 1994. Acute respiratory distress syndrome menurut
AECC adalah kelainan paru akut disertai hipoksemia berat (PaO 2/ FiO2< 200),
gambaran infiltrat bilateral pada rontgen toraks, dan tekanan ateri pulmonalis ≤ 18
milimeter air raksa (mmHg) atau tidak ada hipertensi atrium kiri jika tidak
dilakukan pemeriksaan kateterisasi arteri pulmonalis.8 American European
Consensus Conference mengelompokkan pasien ARDS berdasarkan nilai
hipoksemianya. Acute lung injury (ALI) terjadi pada pasien yang memenuhi
definisi ARDS dengan nilai hipoksemia ringan (≤300) sedangkan pasien dengan
nilai hipoksemia berat (<200) didefinisikan sebagai ARDS. Rekomendasi definisi
ALI dan ARDS menurut AECC dapat dilihat dalam tabel dua.11
Tabel 2. Kriteria ALI dan ARDS menurut AECC.
Waktu Oksigenasi Rontgen Tekanan baji arteri
toraks pulmonalis
Proyeksi
frontal
Acute lung Onset PaO2/ FiO2 ≤ Infiltrat ≤ 18 mmHg ketika
injury akut 300 (pada bilateral diukur atau secara klinis
tingkat tidak didapatkan
PEEP) hipertensi atrium kiri

Acute Onset PaO2/ FiO2 ≤ Infiltrat ≤ 18 mmHg ketika


respiratory akut 200 (pada bilateral diukur atau secara klinis
distress tingkat tidak didapatkan
syndrome PEEP) hipertensi atrium kiri
Dikutip dari (11)

Furguson dkk. tahun 2005 menggunakan konsensus formal untuk


mendefinisikan ARDS dan dikenal dengan teknik Delphy. Teknik Delphy saat itu
dianggap sebagai penyempurnaan kriteria diagnosis ARDS AECC. Tujuan
penggunaan teknik ini adalah untuk menurunkan angka bias dan meningkatkan
ketepatan kriteria diagnosis ARDS. Kriteria ARDS menurut teknik Delphy dapat
dilihat dalam tabel tiga.8

4
Tabel 3. Definisi ARDS menurut teknik Delphy.
Karakteristik Definsi operasional
1. Hipoksemia PaO2/ FiO2 < 200 mmHg dengan PEEP ≥10

2. Onset akut < 72 jam

3. Gambaran radiologis Kelainan melibatkan ≥2 kuadran


(rontgen toraksproyeksi
frontal)

4. Tidak didapat kelainan Tidak ada gagal jantung (termasuk saat dilakukan pengukuran
kardiogenik tekanan arteri pulmonalis atau pemeriksaan ekokardiografi)

5. Penurunan complience < 50 cmH2O (pada pasien yang tersedasi, volume tidal 8 mL/
paru kgBB, dan PEEP ≥ 10)

6. Predisposisi Faktor langsung dan tidak langsung berhubungan dengan lung


injury
Dikutip dari (8)

Definisi ARDS berdasarkan AECC telah banyak digunakan secara luas


dan digunakan lebih dari 18 tahun. Kekurangan definisi ARDS berdasarkan
AECC antara lain keterbatasan definisi waktu, kriteria ALI, oksigenasi, gambaran
radiologis, nilai tekanan baji arteri pulmonalis, dan tidak adanya kriteria faktor
risiko. Banyak penelitian dilakukan untuk memvalidasi dan menyempurnakan
diagnosis ARDS.12 Konsensus terbaru definisi ARDS telah dipublikasikan oleh
European Society of Intensive Care Medicine atas persetujuan American Thoracic
Society (ATS) dan Society of Critical Care Medicine tahun 2012 dikenal dengan
definisi Berlin seperti terlihat dalam tabel empat.9
Tabel 4. Definisi ARDS berdasarkan definisi Berlin.
Kriteria Acute Respiratory Distress Syndrome
Waktu Gejala klinis respirasi baru atau memburuk dalam waktu 1 minggu.

Gabaran radiologis Terdapat opasitas bilateral yang tyidak dapat dijelaskan dengan tepat
apakah opasitas tersebut efusi, lobus kolaps, paru kolaps atau nodul.

Asal edema Gagal napas tidak disebabkan karena gagal jantung atau overload cairan.
Dibutuhkan pemeriksaan obyektif untuk mengeksklud terjadinya edema
hidrostatik jika tidak ada faktor risiko (misalnya pemeriksaan
ekokardografi).

Oksigenasi
Ringan 200< PaO2/ FiO2≤ 300 mmHg dengan PEEP atau CPAP ≥ 5 cmH2O
Sedang 100< PaO2/ FiO2≤ 200 mmHg dengan PEEP atau CPAP ≥ 5 cmH2O
Berat PaO2/ FiO2≤ 100 mmHg dengan PEEP atau CPAP ≥ 5 cmH2O

5
Keterangan: CPAP= continuous positive airway pressure.
Dikutip dari (9)
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI ARDS

Acute respiratory distress syndrome merupakan kumpulan gejala gagal


napas akut disertai hipoksemia progresif, sesak napas, dan peningkatan kerja
pernapasan.13 Mekanisme yang mendasari terjadinya ARDS ada 2 yaitu ARDS
akibat cidera paru langsung dan tidak langsung. Cidera paru langsung antara lain
pneumonia, aspirasi, kontusio paru, inhalasi zat toksik, tenggelam, dan
reperfusion injury. Cidera paru tidak langsung antara lain sepsis, trauma berat,
tranfusi darah berulang, pankreatitis, bypass jantung paru, overdosis obat, dan
efek samping pengobatan. Penyebab langsung dan tidak langsung secara ringkas
dapat dilihat dalam tabel lima.11
Tabel 5. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan ARDS.
Cidera paru tidak langsung Cidera paru langsung
Sepsis Pneumonia
Trauma berat Aspirasi
Tranfusi darah berulang Kontusio paru
Pankreatitis Inhalasi zat toksik
Bypass jantung paru Tenggelam
Overdosis obat Reperfusion injury (misalnya post lung
Efek samping pengobatan transplantation)
Dikutip dari (11)
Acute respiratory distress syndrome merupakan inflamasi akut yang
menyebabkan kerusakan sel endotel kapiler dan sel epitel alveoli paru. Membran
alveolo kapiler terdiri dari sel endotel kapiler, jaringan interstisial, dan sel epitel
alveoli.3 Sel epitel alveoli manusia terdiri dari sel epitel alveoli tipe I atau sel
skuamosa dan sel epitel alveoli tipe II atau sel kuboid atau sel granular
pneumocyte atau type II pneumocyte. Sel epitel alveoli tipe I melapisi hampir 90%
permukaan alveoli. Sel epitel alveoli tipe I berfungsi sebagai barrier utama,
bersifat metabolik lemah, berperan sebagi pertahanan tubuh, remodelling alveoli,
dan antioksidan.15 Sel epitel alveoli tipe I lebih mudah mengalami cidera.
Kerusakan sel epitel alveoli tipe I akan menyebabkan peningkatan masuknya
cairan ke dalam alveoli dan penurunan pengeluaran cairan dari alveoli.6
Sel epitel alveoli tipe II berjumlah sekitar 15% dari seluruh sel di distal
paru dan melapisi 5% permukaan alveoli.14 Sel epitel alveoli tipe II bersifat lebih

6
resisten terhadap cidera dibanding sel epitel alveoli tipe I. Sel epitel alveoli tipe II
mempunyai fungsi penting antara lain produksi surfaktan, transport ion,
proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel epitel alveoli tipe I saat terjadi kerusakan
sel epitel alveoli tipe I.14 Kerusakan sel epitel alveoli tipe II menyebabkan
penurunan produksi surfaktan sehingga compliance paru turun dan terjadi kolaps
alveoli.11
Acute respiratory distress syndrome merupakan cidera paru akut yang
secara patologis ditandai oleh tiga fase saling tumpang tindih. Tiga fase tersebut
adalah fase eksudasi atau fase akut, fase proliferasi atau fase subakut, dan fase
fibrosis atau fase kronis.6
Fase eksudasi atau fase akut terjadi pada minggu pertama setelah terjadi
cidera. Fase eksudasi secara histologis ditandai terjadinya diffuse alveolar damage
(DAD).13 Alveoli dan seluruh jaringan interstisial mengalami edema dan
perdarahan. Jaringan interstisial diisi oleh sel-sel radang seperti leukosit,
trombosit, eritrosit, fibrin, dan debris. 11 Jumlah sel neutrofil meningkat. Makrofag
alveolar mengeluarkan sitokin, interleukine (IL)-1, IL-6, IL-8, IL-10, dan tumor
necrosis factor (TNF)-α yang merangsang terjadinya kemotaksis dan
mengaktifkan neutrofil. Sel neutrofil aktif keluar dari pembuluh darah melalui
membran alveolo kapiler dan mengeluarkan zat sitotoksik seperti sitokin,
protease, reactive oxygen species (ROS), dan molekul proinflamasi lain seperti
platelet activating factor (PAF) yang bersifat merusak jaringan paru. Neutrofil
juga menghasilkan sejumlah mediator anti inflamasi seperti antagonis reseptor IL-
1, reseptor TNF-α terlarut, autoantibodi terhadap IL-8, dan sitokoin-sitokin anti
inflamasi seperti IL-10 dan IL-11. Proses cidera membran alveolo kapiler fase
akut ARDS dapat dilihat dalam gambar satu.14

7
Gambar 1. Respons seluler dan mediator yang berperan pada fase akut ARDS.
Sisi kiri menunjukkan gambar struktur dan fungsi alveoli normal. Sisi
kanan menunjukkan gambar struktur dan fungsi alveoli fase akut
ARDS.
Dikutip dari (14)
Peningkatan jumlah neutrofil pada fase eksudasi menyebabkan kerusakan
sel epitel alveoli dan endotel kapiler paru. Kerusakan epitel alveoli lebih berat
dibanding kerusakan endotel kapiler paru. Sel epitel alveoli tipe I rusak terletak
diantara sel epitel alveoli normal. Sel epitel yang rusak membengkak, tidak
bertautan, dan beberapa diantaranya terlepas dari membran basalis. Produksi
surfaktan menurun. Surfaktan diganti membran hialin. Sel endotel kapiler berubah
menjadi lebih tebal karena pembengkakan sitoplasma dan berbentuk ireguler. 13,16
Kerusakan sel epitel alveoli dan endotel kapiler paru menyebabkan akumulasi

8
cairan di alveoli dengan kadar protein tinggi dan mengandung banyak neutrofil.
Fase eksudasi secara klinis ditandai dengan hipoksemia, gambaran infiltrat pada
rontgen toraks, dan penurunan compliance paru.3
Fase subakut atau proliferasi terjadi pada minggu kedua setelah timbul
gejala. Fase proliferasi secara klinis ditandai hipoksemia menetap, peningkatan
ruang rugi, dan penurunan compliance paru. Gambaran histologis fase proliferasi
adalah terjadinya organisasi eksudat, fibrosis jaringan interstisial, proliferasi sel
epitel alveoli tipe II, dan terjadi gangguan fungsi kapiler karena terbentuk trombus
mikrovaskuler.17 Paru menjadi lebih berat dan padat.13
Fase proliferasi terus berlanjut. Beberapa pasien mengalami perbaikan
tetapi sebagian mengalami perburukan dan mengalami fase kronis atau fase
fibrosis. Fase fibrosis terjadi pada waktu 14 hari dari awal gejala dan menetap
beberapa minggu.17 Fase fibrosis menyebabkan terbentuknya jaringan parut
sehingga paru terkesan membatu. Pembuluh darah menyempit karena terjadi
fibrosis di miointima. Complience paru semakin menurun sehingga terjadi
peningkatan kerja pernapasan, penurunan volume tidal (VT), dan akhirnya terjadi
peningkatan retensi karbondioksida (CO2) darah. Paru mengalami obliterasi
alveolar dan jaringan interstitial menjadi tebal sehingga terjadi penurunan
pertukaran gas dan hipoksia berat. Perubahan histopatologis ARDS secara ringkas
dapat dilihat pada tabel enam.13
Tabel 6. Perubahan histopatologis pada ARDS.
Fase eksudasi Fase proliferasi Fase fibrosis
Makroskopis Berat, kaku, gelap Berat, abu-abu Membatu

Mikroskopis Membran hialin, Kerusakan membran Fibrosis, makrofag,


edema, sel neutrofil, barier; edema; proliferasi limfosit, organisasi
kerusakan sel epitel sel epitel alveoli tipe II; matriks, kerusakan
alveoli dan endotel infiltrasi miofibroblas, struktur asiner,
kapiler dan peningkatan jumlah perubahan
sel neutrofil; alveoli emfisematus
terisi matriks sel dan
matriks organisasi;
fibroproliferatif

Pembuluh darah Trombus lokal Hilangnya kapiler, Penebalan miointima,


hipertensi pulmoner pembuluh darah yang
berliku-liku
Dikutip dari (13)

9
PENATALAKSANAAN ARDS

Penatalaksanaan pasien ALI dan ARDS cukup rumit dan menantang


karena klinisi sering dihadapkan pada kegagalan multiorgan baik kegagalan
sistem organ respirasi dan kegagalan sistem organ nonrespirasi. 18 Prinsip
penatalaksanaan pasien ARDS adalah bersifat suportif untuk menjaga
kelangsungan fungsi ventilasi dan oksigenasi sehingga tidak menimbulkan
komplikasi fatal.17
Strategi penatalaksanaan ALI dan ARDS secara umum ada 2 yaitu strategi
ventilator dan non ventilator.3 Penatalakasanaan nonventilator pasien ARDS
terdiri dari terapi farmakologis, terapi cairan, dan nutrisi. Penggunaan terapi
farmakologis pasien ARDS terdiri dari inhalasi vasodilator, surfactant
replacement theraphy, imunonutrisi, antioksidan, glukokortikoid, protease
inhibitor, dan anti inflamasi lainnya.19 Penelitian yang telah dilakukan untuk
menilai keefektifan pemberian terapi farmakologis pasien ARDS menyebutkan
bahwa beberapa diantara terapi tersebut efektif pada suatu kelompok tetapi tidak
efektif pada kelompok lain.3,19
Pasien ARDS umumnya membutuhkan ventilasi mekanis. Penggunaan
ventilasi mekanis memberikan kesempatan paru mengalami proses kesembuhan
tetapi efek sampinnya juga dapat mempengaruhi kesembuhan pasien. 20 Ventilasi
mekanis konvensional menggunakan ventilasi tekanan positif dan PEEP melalui
pipa endotrakeal. Prinsip ventilasi mekanis pasien ALI dan ARDS adalah menjaga
pertukaran gas secara adekuat sampai terjadi perbaikan kerusakan seluler tanpa
menyebabkan terjadinya VILI. Ventilator induced lung injury merupakan ALI
akibat penggunaan ventilasi mekanis. Ventilator induced lung injury berupa
barotrauma atau volutrauma, atelektrauma, dan biotrauma.19 Ventilator induced
lung injury pada pasien ARDS akan memperparah kerusakan paru, meningkatkan
produksi mediator inflamasi, dan akhirnya meningkatkan angka mortalitas pasien
ARDS. Penggunaan ventilasi mekanis membutuhkan pengaturan yang tepat
sehingga dapat menghindari terjadinya VILI.20

10
LUNG PROTECTIVE VENTILATION STRATEGY

Acute respiratory distress syndrome merupakan penyakit paru mengancam


jiwa disebabkan oleh proses inflamasi dan remodelling sehingga terjadi perubahan
struktur dan fungsi paru. Gagal napas hipoksemia dan hiperkapnea merupakan
akibat yang sering ditimbulkan oleh ARDS. Ventilasi mekanis merupakan salah
satu terapi penting pasien ARDS. Penggunaan ventilasi mekanis pasien ARDS
dapat memberikan kesempatan sistem imun tubuh melawan inflamasi dan
dikutip dari 21
mengadakan perbaikan alamiah. Brower RG dkk. tahun 2003
menyebutkan bahwa sebanyak 60% pasien ARDS dengan ventilasi mekanis dapat
keluar dari RS dengan selamat.21 Pemakaian ventilasi mekanis pasien ARDS
selain menguntungkan juga dapat merugikan karena dapat menyebabkan beberapa
komplikasi antara lain seperti terlihat dalam tabel tujuh.22
Tabel 7. Komplikasi pemakaian ventilasi mekanis.
Komplikasi saluran napas: edem laring, trauma mukosa trakea, kontaminasi saluran
napas bawah, dan menurunnya fungsi kelembaban saluran napas atas.

Komplikasi mekanis: putusnya koneksi secara tiba-tiba, kebocoran sirkuit ventilator,


sumber listrik yang mati, dan hilangnya tekanan gas.

Komplikasi paru: VILI, barotrauma, toksisitas O2, atelektasis, pneumonia


nosokomial, inflamasi, auto PEEP, dan asinkronisasi.

Komplikasi kardiovaskuler: penurunan venous return, penurunan cardiac output, dan


hipotensi.

Komplikasi saluran cerna dan nutrisi: perdarahan gastrointestinal, dan malnutrisi.

Komplikasi renal: penurunan produksi urin, peningkatan kadar antidiuretic hormone


(ADH), dan penurunan atrial natriuretic peptide (ANP).

Komplikasi neuromuskuler: gangguan tidur, peningkatan tekanan intrakranial, dan


critical illness weakness.

Komplikasi asam basa: asidosis respiratorik dan alkalosis respiratorik.


Dikutip dari (22)

Ventilator induced lung injury merupakan salah satu komplikasi yang


ditakutkan. Ventilator induced lung injury dapat berbentuk barotrauma atau
volutrauma, atelektrauma, biotrauma, dan toksisitas sel akibat pemakaian O 2
konsentrasi tinggi. Barotrama atau volutrauma terjadi akibat pemakaian tekanan

11
tinggi dan volume besar pada pengaturan ventilator. Tekanan tinggi atau volume
besar dapat menyebabkan overdistanded unit paru sehingga terjadi ruptur dinding
alveoli. Barotrauma dapat menimbulkan komplikasi berupa pneumotoraks,
pneumomediastinum, emfisema subkutis, emfisema interstisial paru, emboli gas
sistemik, kista, dan bula.22,23
Ventilator induced lung injury dapat terjadi akibat siklus pembukaan
alveoli selama inhalasi udara dan penutupan alveoli selama ekshalasi sehingga
terjadi atelektrauma. Semua unit paru normal memiliki tekanan transalveolar yang
sama ketika paru mengembang tetapi tidak pada paru pasien ARDS. Tekanan
transalveolar pasien ARDS saat pengembangan paru tidak sama menyebabkan
kolaps sebagian alveoli paru. Kekuatan traksi alveoli yang kolaps diteruskan ke
dinding alveoli yang berdekatan dan terjadilah atelektrauma.11
Konsentrasi O2 tinggi telah diketahui dapat menyebabkan keracunan sel.
Toksisitas O2 dipercaya sebagai penghasil radikal O2 yang sangat reaktif dan dapat
menyebabkan kerusakan sel. Bilasan bronkus pasien yang mendapatkan
konsentrasi O2 50% selama 44 jam dapat menginduksi terbentuknya lipid
peroksidase, merangsang makrofag menghasilkan leukotrien, dan meningkatkan
agregasi neutrofil.23
Pemakaian ventilator invasif dengan pipa endotrakeal menyebabkan
penurunan mekanisme pertahanan alamiah saluran napas atas terutama laring.
Pipa endotrakeal menurunkan refleks batuk pasien. Hal tersebut merupakan jalur
potensial masuknya patogen ke saluran napas bawah dan menyebabkan terjadinya
infeksi paru dan dikenal dengan ventialtor acquired pneumonia (VAP).22
Pasien ARDS seringkali meninggal akibat multiple organ dysfunction
syndrome (MODS). Pemakaian ventilasi mekanis meningkatkan produksi sitokin
sistemik dan menyebabkan kerusakan paru dan organ di luar paru. Mekanisme
MODS akibat pemakaian ventilator dapat dilihat pada gambar dua.11,22

12
Gambar 2. Pemakaian ventilasi mekanis dapat menyebabkan kerusakan biokimia
di paru dan kegagalan multiorgan. MODS: multiple organ dysfunction
syndrome.
Dikutip dari (22)

Pengaturan ventilator secara umum


Terdapat dua tipe ventilasi mekanis yaitu ventilasi tekanan positif dan
tekanan negatif.22 Terdapat dua tipe pengaturan ventilator yaitu volume control
ventilation (VCV) dan pressure control ventilation (PCV). Tipe VCV merupakan
pengaturan ventilator dengan ventilasi cenderung konstan walaupun terjadi
perubahan mekanika respirasi sedangkan tekanan saluran napas dan plateau
airway pressure (Pplat) bervariasi. Tipe PCV merupakan pengaturan ventilator
dengan ventilasi bervariasi tergantung perubahan mekanika respirasi. Tekanan
saluran napas dibatasi oleh tekanan puncak yang diatur mesin ventilator.
Keuntungan dan kerugian VCV dan PCV dapat dilihat dalam tabel delapan.22
Empat terminologi yang berhubungan dengan pengaturan ventilator adalah
mandatory, assisted, supported, dan spontaneous. Mandatory merupakan
pernapasan tekanan positif dengan kontrol, trigger, dan siklus diatur mesin
ventilator sesuai program yang diatur klinisi. Assisted merupakan pernapasan
dengan trigger dari pasien tetapi kontrol dan siklus diatur mesin ventilator.
Supported merupakan pernapasan tekanan positif dengan trigger dan siklus diatur
pasien tetapi kontrol diatur mesin ventilator. Spontaneous merupakan pernapasan

13
dengan kontrol yang diawali dan diakhiri oleh pasien tanpa adanya masukan dari
mesin ventilator.24
Tabel 8. Keuntungan dan kerugian pengaturan VCV dan PCV.
Tipe Keuntungan Kerugian
Volume conrol ventilation Volume tidal cenderung Peningkatan Pplat saat
konstan walaupun compliance turun
resistensi dan compliance (overdistanded alveolar)
saluran napas berubah.
Tipe ventilasi yang sering Aliran inspirasi yang tetap
digunakan oleh klinisi. menyebabkan
asinkronisasi

Pressure control Penurunan risiko terjadinya Perubahan VT akibat


ventilation overdistanded akibat perubahan resistensi dan
perubahan compliance. compliance.
Aliran yang bervariasi
menyebabkan sinkronisasi Sedikit digunakan oleh para
pada beberapa pasien. klinisi.
Dikutip dari (22)

Mode ventilator merupakan bagaimana cara ventilator mengatur


pernapasan pasien. Terdapat empat mode dasar ventilasi yaitu continous
mandatory ventilation (CMV), assist control ventilation (ACV), synchronized
intermittent mandatory ventilation (SIMV), dan pressure support ventilation
(PSV).22,24 Continuous mandatory ventilation merupakan pernapasan yang
dikontrol penuh oleh ventilator, tidak ada pernapasan spontan pasien yang
diabaikan oleh ventilator. Kontrol berdasarkan tekanan (pressure control-CMV)
atau volume (volume control- CMV). Trigger dan siklus diatur mesin. Kerugian
mode ventilator ini adalah terjadinya ketidaksinkronan antara ventilator dan usaha
napas pasien. Pasien yang mampu bernapas spontan tidak dapat terdeteksi oleh
ventilator. Ventilator tidak akan menghentikan penghantaran udara sampai
program pernapasan berikutnya. Hal ini akan meningkatkan kerja pernapasn
pasien, air hunger, dan agitasi.24
Assist control ventilation merupakan mode ventilator yang paling
sederhana dan hampir sama dengan mode CMV. Mode ACV dapat mendeteksi
usaha napas pasien.24 Pernapasan mode ACV dihasilkan FiO2 dan VT yang sama.
Sistem umpan balik yang bekerja pada ACV menghasilkan pernapasan tekanan

14
positif, semua siklus pernapsan dipicu (trigger) pernapasan pasien dengan mesin
tetap mengontrol seluruh pola pernapasan. Frekuensi napas pasien kurang dari
frekuensi napas yang ditentukan akan merangsang ventilator mengambil alih
seluruh siklus pernapasan tetapi jika frekuensi napas pasien melebihi frekuensi
napas yang telah ditentukan maka pernpasan akan dirangsang oleh usaha napas
pasien.25
Synchronized intermitten mandatory ventilation merupakan mode
ventilator dengan target tekanan. Mode ventilator ini mengatur frekuensi napas,
VT, dan FiO2 pernapasan. Pasien dibiarkan bernapas spontan diantara pernapasan
yang telah diatur ventilator. Mode ventilator ini dapat mengistirahatkan otot-otot
pernapasan saat pernapasan diatur oleh mesin ventilator dan melatih otot-otot
pernapasan bekerja saat terjadi pernapasan spontan pasien.24
Mode PSV merupakan mode ventilator dimana usaha pernapasan pasien
diperhitungkan dalam perhitungan tekanan inspirasi. Tekanan inspirasi diatur
mesin ventilator sedangkan frekuensi napas, aliran inspirasi, dan waktu inspirasi
ditentukan usaha pasien.26
Parameter yang harus ditetapkan pada pemakaian ventilator berbeda-beda,
tergantung produsen alat. Parameter yang umum ada dan diatur pada semua mesin
ventilator adalah VT, Pplat, frekuensi pernapasan (f), peak airway pressure
(Paw), FiO2, PEEP, sensitivitas pemicu (trigger sensitivity), dan rasio waktu
inspirasi terhadap waktu ekspirasi (rasio I:E).22,24,26 Volume tidal merupakan
milliliter (mL) volume udara yang dihantarkan ventilator ke pasien setiap siklus
pernapasan. Rata- rata VT yang diberikan oleh ventilator sekitar 8-12 mL/ kgBB
prediksi. Tujuan pengaturan VT adalah agar dapat mempertahankan Pplat < 30
cmH2O. Batas nilai Pplat < 30 cmH2O diambil karena nilai ini merupakan nilai
tekanan normal compliance dinding dada. Volume tidal diatur untuk menjaga
kadar tekan karbondioksida arteri (PaCO2), mencegah overdistanded, penurunan
cardiac output, dan mencegah terbentuknya auto PEEP atau air trapping.22
Plateau airway pressure merupakan tekanan alveoli di akhir inspirasi yang
dibutuhkan untuk mengembangkan paru dan dinyatakan dalam satuan cmH 2O.
Plateau airway pressure dapat diukur saat siklus end inspiratory pause pada

15
pengatuan ventilator. Frekuensi pernapasan merupakan jumlah pernapasan
permenit yang diatur oleh pasien, mesin ventilator, atau keduanya. Frekuensi
napas umumnya diatur dalam kisaran 10-20 kali per menit (X/ menit). Nilai
frekuensi napas meningkat saat pasien bernapas spontan. 26 Frekuensi napas
ditentukan oleh ventilasi dan merupakan respons terhadap kadar CO 2 pasien.
Ventilasi permenit merupakan perkalian antara frekuensi pernapasan dengan VT.
Frekuensi rata-rata pernapasan dibatasi oleh terbentuknya auto PEEP. 22,26 Auto
PEEP atau air trapping atau intrinsic PEEP merupakan tekanan postif akhir
ekspirasi alveoli akibat ekspirasi yang tidak adekuat. Ekspirasi yang tidak adekuat
terjadi akibat peningkatan resistensi saluran napas selama ekspirasi.25
Peak airway pressure merupakan komponen penting pada indeks
oksigenasi yang sering digunakan sebagai penggambaran kelainan transport gas. 22
Peak airway pressure menggambarkan tekanan total yang dibutuhkan untuk
menghasilkan VT. Peak airway pressure tergantung besarnya resistensi saluran
napas, compliance paru, dan faktor dinding dada.26 Pengaturan Paw yang
berlebihan dapat menimbulkan komplikasi berupa barotrauma atau pneumotoraks.
Nilai Paw pasien dengan paru normal pada ventilator adalah 20 cmH2O.24
Fraksi O2 inspirasi adalah konsentrasi O2 yang terkandung dalam gas
inspirasi yang dihantarkan ventilator ke pasien dan dinyatakan dalam bentuk
desimal atau persentase. Pemberian konsentrasi O 2 > 50% dan > 24 jam
meningkatkan risiko terjadinya oxygen toxic effect.26 Fraksi O2 inspirasi 100%
harus digunakan saat ventilasi mekanis pertama digunakan. Pulse oksimetri sangat
membantu mentitrasi FiO2 karena pemeriksaan analisis gas darah membutuhkan
waktu lebih lama.22 Fraksi O2 inspirasi dititrasi sampai konsentrasi paling rendah
yang masih dapat mempertahankan saturasi oksigen (SaO2) arteri > 90%.24
Tekanan akhir ekspirasi dan sebelum inspirasi pada saluran napas normal
adalah nol.24 Positive end expiratory pressure merupakan sejumlah tekanan positif
di akhir ekspirasi. Tujuan penggunaan PEEP adalah untuk meningkatkan volume
paru akhir ekspirasi dan menurunkan tekanan udara saat penutupan alveoli akhir
ekspirasi sehingga tidak terjadi kolaps alveoli selama ekspirasi. 24,26 Pengaturan
PEEP sangat berguna pada paru yang mengalami gangguan difusi akibat

16
atelektasis dan merupakan komponen penting terapi ARDS. Nilai PEEP yang
biasa digunakan adalah 10-35 cmH2O. 24
Sensitivitas pemicu merupakan usaha atau tekanan negatif yang
dibutuhkan pasien untuk memicu mesin bernapas. Sensitivitas pemicu diatur pada
tekanan -1 sampai 12 cmH2O. Rasio I:E merupakan perbandingan lamanya waktu
inspirasi dan lamanya waktu ekspirasi yang diberikan mesin ventilator. Nilai rasio
I:E normal adalah 1:2. Nilai rasio I:E pada gagal napas hipoksemia akut dapat
meningkat untuk memperbaiki oksigenasi. Rasio I:E dapat diatur terbalik pada
hipoksemia berat menjadi 2:1 sehingga kewaspadaan harus dipertahankan untuk
mengatasi akibat merugikan terhadap hemodinamik dan integritas paru.26

Strategi ventilasi mekanis pada pasien ARDS


Tujuan pemakaian ventilasi mekanis pasien ARDS adalah untuk menjamin
kelangsungan pertukaran gas dan menghindari VILI.27 Berbagai strategi proteksi
jaringan paru telah diteliti untuk meminimalkan kerusakan paru akibat pemakaian
mode ventilator konvensional. Strategi perlindungan terhadap jaringan paru untuk
menurunkan akibat buruk pemakaian ventilator pasien ARDS antara lain dengan
membatasi nilai VT dan tekanan, penggunaan ventilasi mekanis pada posisi
terlentang, open lung management (OPM) dengan lung recruitment, penggunaan
metode extracorporeal membrane (ECMO) untuk meningkatkan hantaran O2 dan
bersihan CO2, high frequency jet ventilation (HFJV), dan high frequency
oscillatory ventilation (HFOV).23
1. Ventilasi mekanis dengan VT rendah dan tekanan terbatas
Ahli perawatan intensif telah banyak melakukan penelitian mengenai
mode pengaturan ventilasi mekanis yang tepat dan aman untuk pasien ARDS.
Mode pengaturan ventilasi mekanis yang telah disepakati sejak tahun 2000 dan
masih dipakai sampai sekarang adalah pengaturan ventilator berdasarkan ARDS
network study. Lung protective ventilation strategy yang disarankan oleh ARDS
network study adalah penggunaan mode volume assist control, VT awal diatur
sebesar 6 mL/ kgBB prediksi dan disesuaikan Pplat, Pplat < 30 cmH2O,
frekuensi napas 6-35 X/ menit, rasio I:E sebanyak 1:1- 1:3, PaO 2 sebesar 55-80

17
mmHg atau SaO2 88-95%, PEEP dan SaO2 diatur sesuai kombinasi yang telah
ditentukan, dan penyapihan menggunakan mode pressure support saat nilai
FiO2/ PEEP ≤ 0,4/8. Nilai tersebut dapat dilihat dalam tabel sembilan.11
Tabel 9. Protokol ventilasi mekanis yang digunakan pada ARDS network study.
Parameter Protokol
Mode ventilasi Volume assisted control

Volume tidal ≤ 6 mL/ kg BB prediksi

Plateau airway pressure ≤ 30 cmH2O

Frekuensi napas 6-35 X/ menit, dititrasi untuk menjaga pH


7,30-7,45

Rasio I:E 1:1 sampai 1: 3

Kombinasi FiO2/ PEEP yang Lihat tabel 10


dianjurkan

Penyapihan Mode Pressure support


Dilakukan saat FiO2/ PEEP ≤ 0,48/8
Dikutip dari (11)

Lung protective ventilation strategy digunakan untuk mengurangi VILI.


Uji klinis acak telah dilakukan oleh ARDS net study tahun 1999 terhadap 861
pasien ALI dan ARDS. Penelitian tersebut membandingkan penggunaan
ventilasi mekanis konvensional (VT 12 ml / kgBB prediksi, Pplat 50 cmH2O
dan PEEP 0) dengan penggunaan ventilator yang diatur pada VT lebih rendah
(VT 6 ml / kg BB prediksi), Pplat dibatasi sampai 30 cmH2O, dan PEEP
adekuat. Gambar tiga menjelaskan perbedaan ventilasi mekanis konvensional
dan lung protective ventilation strategy. Gambar 3A menunjukkan contoh
pasien BB 70 kg yang mendapatkan ventilasi mekanis konvensional (VT 12
mL/ kgBB prediksi dan PEEP 0 cmH2O). Pemakaian ventilasi mekanis
konvensional menyebabkan overdistanded alveoli saat puncak inflasi dan
kolaps alveoli saat akhir ekshalasi. Lung protective ventilation strategy
menggunakan VT 6 mL/ kgBB prediksi ditunjukkan dalam gambar 3B. Lung
protective ventilation strategy mencegah terjadinya inflasi berlebih dan
mencegah kolaps alveoli di akhir ekspirasi.7 Penelitian ARDS network study
menyebutkan bahwa penggunaan ventilasi mekanis dengan VT rendah (6 mL/

18
kg BB prediksi) dapat menurunkan mortalitas pasien ARDS sebanyak 10%
dibanding penggunaan VT 12 mL/ kg BB prediksi.22

Gambar 3. Perbandingan ventilasi mekanis konvensional dan lung protective


ventilation strategy pasien ARDS.
Dikutip dari (7)

Pengaturan ventilasi mekanis ARDS menggunakan VT rendah


ditujukan untuk mengurangi risiko overdistanded alveoli saat akhir inspirasi.
Volume tidal normal yang biasa diberikan pada pasien tanpa ARDS adalah 10-
15 ml/ kgBB prediksi. Nilai tersebut untuk mencapai pH, PaCO 2, dan PaO2
mendekati nilai normal.21 Kerusakan paru ARDS bersifat tidak merata.
Terdapat bagian paru yang kolaps, konsolidasi, hiperinflasi, dan bagian lainnya
mungkin normal. Pemberian VT cenderung dihantarkan ke daerah dengan
fungsi mekanik yang lebih normal atau lebih sehat. Hal tersebut menyebabakan
daerah yang sehat mengalami overdistanded dan daerah yang tidak terventilasi
mengalami kolaps. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya gangguan
pertukaran gas berupa gangguan ventilasi perfusi (V/Q) mismatch atau

19
shunting. Daerah dengan nilai V/Q rendah mengalami hipoksemia dan daerah
dengan nilai V/Q tinggi mengalami peningkatan ruang rugi dan hiperkarbia.22
Penelitian ARDS network study menyarankan penggunaan ventilasi
mekanis pasien ARDS dengan VT awal 6 mL/ kg BB prediksi dan diturunkan
jika nilai Pplat meningkat >30 cmH2O. Nilai VT dapat dinaikkan sampai 8
mL/kg BB prediksi jika terdapat ketidaksinkronan atau asidosis berat dengan
syarat nilai Pplat tidak > 30 cmH2O.22 Penelitian ARDS network study
menyarankan perhitungan nilai VT berdasarkan berat badan prediksi bukan BB
sesungguhnya. Ukuran paru manusia tergantung tinggi badan dan jenis kelamin
bukan tergantung BB sesungguhnya. Berat badan sesungguhnya memiliki nilai
20% lebih besar dari BB prediksi karena adanya lemak dan cairan
ekstraseluler.18 Seseorang dengan BB ideal 70 kg dan kemudian menjadi kurus
(BB= 35 kg) tetap memiliki ukuran paru sama seperti saat BB 70 kg sehingga
orang tersebut seharusnya tidak menerima ventilasi dengan VT lebih tinggi
hanya dilihat dari BB. Rumus BB prediksi manusia adalah:7
a. Laki-laki= 50,0 + 0,91 x (tinggi badan dalam satuan cm- 152,4).
b. Perempuan= 45,5 + 0,91 x (tinggi badan dalam satuan cm- 152,4).
Pengaturan ventilasi mekanis VT dan tekanan puncak yang dibatasi
dapat menyebabkan efek tidak diinginkan dengan terjadinya hiperkapnea dan
asidosis. Pengaturan ventilasi mekanis dengan pemberian VT rendah harus
disertai pengaturan komponen lainnya.27 Lung protective ventilation strategy
lainnya adalah pengaturan frekuensi napas, pengaturan rasio I:E, pengukuran
Pplat, menentukan FiO2 sesuai nilai PEEP, dan penentuan kapan penyapihan
pemakaian ventilasi mekanis dapat dilakukan.11
Frekuensi napas diatur untuk menurunkan kadar PaCO2 sehingga kadar
pH darah dapat terjaga. Terjadinya air trapping pada paru yang rusak juga
dapat menurun jika frekuensi napas diatur <35 X/ menit. Frekuensi napas ini
digunakan untuk mengatur ventilasi permenit. Ventilasi permenit merupakan
perkalian antara frekuensi napas dengan VT. Volume tidal rendah dapat
diimbangi dengan peningkatan frekuensi napas untuk menjaga ventilasi

20
permenit.22 Frekuensi napas awal diatur antara 18-22 X/ menit dan dapat
dinaikkan asalkan tidak >35 X/ menit.7
Respons terhadap pengaturan VT rendah dan frekuensi napas harus
dinilai berdasarkan nilai Pplat. Plateau airway pressure dipertahankan pada
tekanan ≤30 cmH2O. Volume tidal harus diturunkan sampai batas minimumnya
(4 mL/ kgBB prediksi) jika Pplat >30 cmH2O. Plateau airway pressure pasien
yang mengalami peningkatan kekakuan dinding dada dapat diberikan >30
cmH2O karena tekanan intrapleuranya meningkat dan tekanan transpulmonal
menurun sehingga tidak menyebabkan timbulnya overdistanded alveoli.7
Fraksi O2 inspirasi dipertahankan dalam kadar optimal untuk mencapai
target SaO2 >90%. Penggunaan FiO2 tinggi berkepanjangan meningkatkan
risiko toksisitas O2 dan meningkatkan VILI. Salah satu strategi pemberian
oksigenasi optimal dan aman untuk pasien ARDS adalah pemberian FiO 2
rendah dengan PEEP dan tetap memantau nilai Pplat.7 Penggunaan PEEP
meningkatkan redistribusi air dari alveoli ke jaringan interstisial dan
meningkatkan kapasitas residu fungsional (KRF) dengan membuka alveoli
yang mengalami atelektasis. Penggunaan PEEP dapat menyebabkan
komplikasi berupa overdistended berulang, peningkatan ruang rugi karena
penutupan kapiler alveoli, serta menurunkan cardiac output dan tekanan darah
karena peningkatan tekanan intratoraks. Pengaturan PEEP yang tepat
digunakan untuk menghindari efek samping tersebut. Pengaturan PEEP
disesuaikan dengan FiO2 yang digunakan.20 Penelitain ARDS network study
telah menyusun nilai PEEP disesuaikan nilai FiO 2 yang digunakan seperti
terlihat dalam tabel sepuluh.11,18
Tabel 10. Pengaturan PEEP berdasarkan nilai FiO 2 pada lung protective
ventilation strategy.
FiO2 PEEP (cmH2O)
0.3 5
0,4 5-8
0,5 8-10
0,6 10
0,7 10-14
0,8 14
0,9 14-18
1,0 18-24

21
Dikutip dari (7)
Rasio I:E normal adalah 1:2 sampai 1:4 bergantung frekuensi napas.
Perpanjangan waktu inspirasi meningkatkan nilai PaO 2 dan mengatasi
hipoksemia menetap. Perpanjangan waktu inspirasi menyebabkan peningkatan
volume alveoli sehingga tekanan saluran napas (Paw) rata-rata meningkat.
Perpanjangan waktu inspirasi menyebabkan perpendekan waktu ekspirasi
sehingga terjadi hiperinflasi, auto PEEP, overdistanded alveoli, dan gangguan
hemodinamik.23,27
Pemakaian ventilasi mekanis menimbulkan komplikasi serius sehingga
penyapihan harus dilakukan segera. Lebih dari 25% pasien gagal napas dengan
ventilasi mekanis gagal saat dilakukan penyapihan. 28 Parameter penyapihan
pemakaian ventilasi mekanis pasien ARDS sama dengan penyakit lainnya.
Parameter yang digunakan adalah hemodinamik stabil (tidak ada infark
miokard, hipotensi, dan dosis vasopresor yang dibutuhkan rendah), tidak ada
agitasi, dapat bernapas spontan (VT >5mL/ kgBB), f <30 X/ menit, ventilasi
semenit >12mL/ menit, kapasitas vital >15 mL/ kgBB, oksigenasi adekuat
(PaO2/FiO2 >150-200, PEEP 5-8 cmH2O, FiO2 ≤0,4-0,5 dan pH >7,25), dan
rapid swallow breathing index (RSBI= RR/ VT) < 105.22

2. Prone positioning
Prone positioning digunakan sebagai intervensi darurat pasien hipoksemia
berat yang tidak berhasil diterapi dengan ventilator standar karena dapat
memperbaiki oksigenasi dan mencegah VILI. 29 Posisi terlentang menyebabkan
perbedaan tekanan transpulmonal lebih besar pada daerah paru nondependent
(sternal) dibanding daerah paru dependent (dorsal). Prone positioning
menurunkan luas daerah paru yang terdesak jantung, menurunkan compliance
paru dan dinding dada, serta meningkatkan pergerakan diafragma sehingga
ventilasi alveolar lebih besar.20,29,30 Gambar empat menunjukkan efek posisi
terlentang dan prone positioning terhadap tekanan transpulmonal. Komplikasi
prone positioning antara lain displacement pipa endotrakeal, pipa torakotomi,
dan kateter intravaskuler, ekstubasi tiba-tiba, obstruksi pipa endotrakeal,

22
peningkatan kebutuhan obat-obatan sedasi dan relaksan, intoleransi nutrisi
enteral, terjadinya VAP, dan terjadinya ulkus akibat tekanan. Penelitian yang
dilakukan selama 20 tahun terakhir menyebutkan bahwa prone positioning
dapat memperbaiki oksigenasi pasien ARDS tetapi tidak menurunkan angka
mortalitasnya sehingga tidak disarankan digunakan sebagai terapi rutin pasien
ARDS.30

Gambar 4. Perubahan distribusi tekanan transpulmonal dan ventilasi perfusi


prone positioning. CH= compression by the hearth, TPPr=
transpulmonar pressure, V/Q= ventilation perfusion matching.
Dikutip dari (30)

3. Lung recruitment maneuvers


Lung recruitment maneuvers merupakan strategi ventilasi mekanis dengan
menggunakan continous possitive airway pressure (CPAP). Lung recruitment
maneuvers mencegah atelektasis dengan cara membuka dan mencegah alveoli
kolaps kembali selama ekspirasi.18 Metode ini efektif dapat meningkatkan
oksigenasi tetapi menyebabkan peningkatan tekanan intratoraks sehingga
meningkatkan risiko barotrauma dan ketidakstabilan kardiovaskuler, transient
hypotension, dan penurunan SaO2 ringan.27 Para ahli tidak menyarankan
penggunaan metode ini sebagai terapi rutin pasien ARDS tetapi lebih
disarankan digunakan sebagai tindakan penyelamatan pasien hipoksemia berat
menetap.18

23
4. Extracorporal membrane oxygenation (ECMO)
Extracorporal membrane oxygenation atau extracorporeal life support
(ECLS) atau extracorporeal lung assist (ELA) merupakan metode pemrosesan
darah pasien menggunakan mesin eksternal modifikasi jantung paru
(extracorporal circuit) untuk menjaga oksigenasi dan pengeluaran CO 2.11,31
Metode ECMO digunakan sebagai terapi suportif untuk mengatasi gagal napas
akut berat dengan penyebab yang bersifat reversibel dan tidak dapat diatasi
dengan terapi konvensional. Pemakaian ECMO dapat mencegah terjadinya
VILI akibat pemakaian tekanan tinggi, mencegah terjadinya toksisitas O 2
akibat pemakaian FiO2 tinggi, dan memberikan kesempatan paru untuk
mengalami proses penyembuhan.11 Darah pasien dikeluarkan melalui vena
sentral, dipompa ke oksigenator buatan dan dialirkan kembali ke tubuh pasien
melalui arteri sentralis (veno- arterial ECMO) atau melalui vena sentral (veno-
veno ECMO). Gambar lima menunjukkan mekanisme kerja ECMO. 31 Metode
ECMO tidak disarankan sebagai terapi rutin pasien ARDS karena alasan
sedikitnya data keamanan dan keefektifan biaya penggunaan alat ini.11

Gambar 5. Skema sirkuit ECMO. Darah dari atrium kanan dipompa menuju
oksigenator, heat exchanger, dan dipompa kembali ke tubuh

24
pasien. Heparin dan zat lainnya ditambahkan langsung ke dalam
sirkuit.
Dikutip dari (31)
5. High frequency jet ventilation (HFJV) dan high-frequency oscillatory
ventilation (HFOV)
High frequency jet ventilation merupakan ventilasi mekanis dengan jet
yang mengalirkan tekanan frekuensi tinggi (100-200 hertz/ Hz) melalui kateter
endotrakeal ukuran kecil. Gas lain ditambahkan sehingga menghasilkan VT 2-5
mL/ kgBB. Pemakaian HFJV menyebabkan ekspirasi berlangsung pasif.
Komplikasi yang timbul antara lain masalah pengaturan kelembaban udara, air
trapping, pengaturan ventilator lebih sulit, dan membutuhkan kateter
endotrakeal khusus.27
High-frequency oscillatory ventilation merupakan metode ventilasi
mekanis alternatif yang digunakan jika ventilasi mekanis standar dengan Paw
>35 cmH2O masih terjadi hipoksmia refrakter. 22 Metode HFOV menghasilkan
frekuensi napas sangat tinggi (120-190 X/ menit), VT sangat rendah (umumnya
<1 mL/ kgBB), dan gas frekuensi tinggi dialirkan melalui osilator yang
dihubungkan melalui pipa endotrakeal. Metode HFOV sering disebut sebagai
metode CPAP bergoyang.25 Terdapat dua manfaat metode HFOV. Pertama,
udara yang dihembuskan ke alveoli bertekanan rendah sehingga dapat
meminimalkan terjadinya overdistanded dan derecruitment. Kedua tingginya
Paw rata-rata akan menjaga alveoli tetap terbuka dan mencegah terjadinya
derecruitment. Penggunaan HFOV terbukti menguntungkan pada bayi dan
anak-anak yang mengalami gagal napas. Penggunaan HFOV pasien dewasa
masih terbatas sehingga keefektifan penggunaan metode HFOV pada terapi
gagal napas pasien dewasa belum dapat ditentukan.22

25
SIMPULAN

1. Acute respiratory distress syndrome merupakan inflamasi akut di paru yang


disebabkan oleh cidera paru langsung dan cidera paru tidak langsung.
2. Acute respiratory distress syndrome ditandai dengan timbulnya sekumpulan
gejala gagal napas akut, hipoksemia, dan peningkatan kerja pernapasan,
sehingga sangat membutuhkan ventilasi mekanis untuk menjamin fungsi
ventilasi.
3. Penggunaan ventilasi mekanis dapat menimbulkan komplikasi yang
memperberat kelainan di paru dan di luar paru. Komplikasi yang sangat
ditakuti adalah timbulnya VILI.
4. Lung protective ventilatlation strategy merupakan cara pengaturan ventilasi
mekanis pada pasien ARDS yang dapat mencegah terjadinya VILI.
5. Beberapa metode lung protective ventilatlation strategy pasien ARDS antara
lain penggunaan ventilasi mekanis dengan VT dan tekanan terbatas,
penggunaan ventilasi mekanis pada posisi terlentang, open lung management
(OPM) dengan lung recruitment, penggunaan metode extracorporeal
membrane (ECMO), metode high frequency jet ventilation (HFJV), dan high
frequency oscillatory ventilation (HFOV).

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Flaschen JH, Siegel MD. Acute respiratory distress syndrome:definition;


clinical features; and diagnosis. [Cited 2014 July 2th]. Available from
www.update.com
2. American lung association lung disease Data:2008. Acute respiratory distress
syndrome (ARDS). [Cited February 18th]. Available from: www.lungusa.org.
3. Johnson ER, Matthay MS. Acute lung injury: epidemiology, pathogenesis,
and treatment. Journal of Aerosol Medicine and Pulmonary drug Delivery.
2010;23(4):243-52.
4. Penuelas IC, Esteban A. Acute respiratory distress syndromes: evaluation and
management. Minerva Anestesiologica. 2012;78(3):343-57.
5. Jabbari A. Lung protection strategy as an effective treatment in acute
respiratory distress syndrome. Caspian J Intern Med. 2013;4(1):560-3.
6. Harman EM, Pinsky MR. Acute respiratory distress syndrome. [Cited 2014
July 2nd]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/165139-
overview#showall.
7. Malhotra A. Low tidal volume ventilation in acute respiratory distress
syndrome. N eng J Med. 2007;357(11):1113-20.
8. Moss M, Thompson BT. Definitions and clinical risk factors. In: Choi AMK,
editor. Acute respiratory distress syndrome. 2nd ed. New York: Informa
heathcare. 2009. p. 1-16.
9. American Medical Association. Online first acute respiratory distress
syndrome the berlin definition. JAMA. 2012;307(23):2526-33.
10. Atabai K, Matthay MA. Acute lung injury and the acute respiratory distress
syndrome: definitions and epidemiology. In Griffiths MJD, Evans TW,
editors. Respiratory management in critical care. London: BMJ Book. 2004.
p. 31-7.

27
11. Lee WL, Slutsky AS. Acute respiratory distress syndrome. In: Mason RJ,
Broaddus VE, Martin TR, King TE, Schraufnagel DE, Murray JF, et al,
editors. Murray and Nadel's textbook of respiratory medicine. 5th ed.
Philadelphia: Elseiver Inc; 2010. p. 2104-29.
12. Younsuck K. Review update in acute respiratory distress syndrome. Journal
of Intensive Care. 2014;2:1-6.
13. Belligan GJ. The pathogenesis of acute lung injury/ acute respiratory distress
syndrome. In: Griffiths MJD, Evans TW, editors. Respiratory management in
critical care. London: BMJ Book. 2004. p. 38-44.
14. Matthay MA, Zimmerman GA. ALI and ARDS: four decades of inquiry into
pathogenesis and rational management. AM J Respire Cell Mol Biol.
2005;33:319-27.
15. Albertine KH. Anatomy of the lungs. In: Mason RJ, Broaddus VE, Martin
TR, King TE, Schraufnagel DE, Murray JF, et al, editors. Murray and Nadel's
textbook of respiratory medicine. 5th ed. Philadelphia: Elseiver Inc; 2010. p.
1-25.
16. Matthay MA. Acute respiratory distress syndrome: pathogenesis. In: Fishman
AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI, editors.
Fishman’s pulmonary diseases and disorder. 4th edition. New York:
McGraw-Hill; 2008. p. 2523-33.
17. Mackay A, Al-Haddad M. Acute lung injury and acute respiratory distress
syndrome. Critical Care & Pain J. 2009;9:152-6.
18. Christie JD, Lanken PN. Acute lung injury and the acute respiratory distress
syndrome: clinical features, management, and outcomes. In: Fishman AP,
Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI, editors. Fishman’s
pulmonary diseases and disorder. 4th edition. New York: McGraw-Hill;
2008. p. 2535-60.
19. Matthay MA, Zemans RL. The acute respiratory distress syndrome:
pathogenesis and treatment. Annu Rev Pathol. 2011;6:147-63.

28
20. Moloney ED, Griffiths MJD. Protective ventilation of patients with acute
respiratory distress syndrome. British Journal of Anaesthesia.
2004;92(2):261-70.
21. Brower RG, Rubenfeld GD. Lung protective ventilation strategies in acute
lung injury. Crit Care Med. 2003;31(4):S312-6.
22. Hess DR, Macintyre NR. Mechanical ventilation. [Cited 2014 September
6th]. Available from:
http://samples.jbpub.com/9780763760038/60038_CH22_462_500.pdf
23. Department of Anesthesia St. Michaels’s Hospital University of Toronto. An
approach to ventilation in acute respiratory distress syndrome. CJS.
2000;43(4):263-8.
24. Orlando Regional Healthcare Education & Development. Adult invasive
mechanical ventilation. [Cited 2014 September 6th]. Available from:
http://www.northshorelij.com/ccurl/822/10/mechvent,0.pdf
25. Macintyre NR. Principles of mechanical ventilation. In: Mason RJ, Broaddus
VE, Martin TR, King TE, Schraufnagel DE, Murray JF, et al, editors. Murray
and Nadel's textbook of respiratory medicine. 5th ed. Philadelphia: Elseiver
Inc; 2010. p. 2084-103.
26. Grosbach I, Chlan L, Tracy MF. Overview of mechanical ventilator support
and management of patient and ventilator related responses. Critical Care
Nurse. 2011;31(3):30-44.
27. Cordingley JJ, Keogh BF. Ventilatory management of ALI/ ARDS. Thorax.
2002;57:729-34.
28. Tobin MJ. Advances in Mechanical ventilation. N Eng J Med.
2001;344(26):1986-96.
29. Fessler HE, Talmor DS. Should prone positioning be routinely used for lung
protection during mechanical ventilation?. Respiratory Care. 2010;55(1):88-
99.
30. Martinez O, Nin N, Esteban A. Review article prone position for the
treatment of acute respiratory distress syndrome: a review of current
literature. Arch Bronchoneumol. 2009;45(6):291-6.

29
31. Frenckner B, Radell P. Respiratory failure and extracorporeal membrane
oxygenation. Seminars in Pediatric Surgery. 2008;17(1):34-41.

30

Anda mungkin juga menyukai