Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS ACUTE RESPIRATORY

DISTRESS SYNDROME

I. PENGERTIAN

ARDS merupakan kondisi paru-paru menderita cedera luas yang meluas, mengganggu
kemampuan mereka untuk mengambil oksigen. Tingkat oksigen darah rendah dan
ketidakmampuan untuk mendapatkan oksigen ke tingkat normal adalah ciri khas ARDS.
Istilah akut mencerminkan onset mendadak, lebih dari beberapa menit atau beberapa jam dari
cedera (Bernard dkk. 1994). Definisi ARDS pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh dkk
(1967) sebagai hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat bilateral yang difus pada foto
toraks dan penurunan compliance atau daya regang paru (Fanelli dkk. 2013).

American European Concencus Conference Comittee (AECC) pada tahun 1994


merekomendasikan definisi ARDS, yaitu sekumpulan gejala dan tanda yang terdiri dari
empat komponen di bawah ini (Amin. 2009).

Tabel 1. Kriteria ARDS dan ALI menurut American European Concencus Conference
Comittee (AECC) tahun 1994 (Amin. 2009)

Dalam penggunaan kriteria AECC tersebut, terdapat beberapa keterbatasan sehingga


definisi ARDS diperbaharui di tahun 2011 dalam Kriteria Berlin. Berdasarkan Kriteria
Berlin, ARDS didefinisikan berdasarkan waktu, gambaran foto toraks, penyebab edema paru,
dan derajat hipoksemia. Definisi ARDS berdasarkan Kriteria Berlin dapat dilihat pada Tabel
2. Pada kriteria Berlin, PAWP tidak digunakan lagi dalam kriteria diagnosis, demikian juga
dengan terminologi ALI dan digantikan dengan pembagian subgroup ARDS berdasarkan
tingkat keparahan hipoksemia (Rumende. 2018).
Tabel 2. Definisi ARDS menurut Kriteria Berlin 2011 (Rumende. 2018)

II. TANDA DAN GEJALA

Gejala klinis ARDS ditandai dengan timbulnya sesak napas akut yang berkembang
dengan cepat setelah kejadian predisposisi seperti trauma, sepsis, overdosis obat, transfusi
masif, pankreatitis, maupun aspirasi. Pada sebagain besar kasus faktor predisposisi ARDS
jelas didapat, namun pada beberapa kasus (seperti pada overdosis obat) predisposisis ARDS
sulit diidentifikasi. Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit predisposisi,
derajat injuri paru, dan ada tidaknya disfungsi organ lainnya. Pada pemeriksaan fisis ARDS
akan didapatkan temuan yang bersifat non-spesifik seperti takipnea, takikardi dan kebutuhan
FiO2 yang semakin bertambah untuk menjaga agar saturasi oksigen tetap normal. Karena
ARDS sering terjadi pada sepsis, maka hipotensi dan tanda-tanda vasokonstriksi perifer
(akral dingin dan sianosis perifer) dapat ditemukan. Suhu pasien dapat febris maupun
hipotermia. Edema paru kardiogenik harus dibedakan dengan ARDS. Pada ARDS tidak
didapatkan gejala dan tanda-tanda gagal jantung (non-cardiac pulmonary edema) Tanda-
tanda gagal jantung harus diperhatikan dengan baik untuk menyingkirkan diagnosis tersebut
seperti peningkatan JVP, murmur, gallops, hepatomegali dan edema tungkai (Rumende.
2018).
III. PATHWAY
IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Laboratorium:

 AGDA: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia (pada


emfisema atau keadaan lanjut), bisa terjadi alkalosis respiratorik pada proses awal
dan kemudian berkembang menjadi asidosis respiratorik.
 Pada darah perifer bisa dijumpai gambaran leukositosis (pada sepsis), anemia,
trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel, peningkatan
kadar amylase (pada kasus pancreatitis sebagai penyebab ARDSnya).
 Gangguan fungsi ginjal dan hati, gambaran koagulasi intravascular disseminata yang
merupakan bagian dari MODS.

Radiologi: Pada awal proses, dari foto thoraks bisa ditemukan lapangan paru yang relatif
jernih, namun pada foto serial berikutnya tampak bayangan radio-opak yang difus atau
patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya tampak gambaran confluent tanpa
gambaran kongesti atau pembesaran jantung. Dari CT scan tampak pola heterogen,
predominan limfosit pada area dorsal paru (foto supine) (Amin. 2009).

V. PENATALAKSANAAN MEDIS

Walaupun tidak ada terapi yang spesifik untuk menghentikan proses inflamasi,
penanganan ARDS difokuskan pada 3 hal penting yaitu mencegah lesi paru iatrogenik,
mengurangi cairan dalam paru dan mempertahankan oksigenasi jaringan. Ketiga hal tersebut
harus selalu diupayakan dalam tatalaksana awal ARDS (Rumende. 2018).
Gambar 1. Algoritma Tatalaksana awal ARDS yang meliputi ventilasi mekanik dini,
oksigenasi, penanganan asidosis dan diuresis.
1. Terapi Umum
 Atasi penyakit yang mendasarinya (faktor predisposisinya).
 Sedasi dengan kombinasi opiat benzodiasepin, karena penderita akan
memerlukan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama. Berikan dosis
minimal yang masih memberikan efek sedasi yang adekuat.
 Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan
memberikan cairan, obat vasodilator/konstriktor, inotropic atau diuretik.
(Rumende. 2018).
2. Terapi Ventilasi
 Ventilasi mekanik dengan intubasi endotrakeal merupakan terapi yang
mendasar pada penderita ARDS bila ditemukan laju nafas > 30x/menit atau
terjadi peningkatan kebutuhan FiO2 > 60% (dengan menggunakan simple
mask) untuk mempertahankan PaO2 sekitar 70 mmHg atau lebih dalam
beberapa jam.
 Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik disertai
dengan PEEP untuk membantu mengembalikan cairan yang tertimbun di
alveoli dan mengatasi mikro-atelektasis sehingga akan memperbaiki ventilasi
dan perfusi (V/Q).
 Tergantung tingkat keparahannya maka penderita dapat diberi ventilasi non-
invasif seperti CPAP, BIPAP atau Positive Pressure Ventilation. Metode ini
tidak direkomendasikan bagi penderita dengan penurunan kesadaran atau
dijumpai adanya peningkatan kerja otot pernafasan disertai peningkatan laju
nafas dan peningkatan PCO2 darah arteri.
 Saat ini telah terbukti bahwa pemberian volume tidal 10 - 15 ml/kg dapat
mengakibatkan kerusakan bagian paru yang masih normal sehingga dapat
terjadi rupture alveolus, deplesi surfaktan dan kerusakan pada membran
alveolar-kapiler. Untuk menghindari hal tersebut maka digunakan volume
tidal yang rendah (6 ml/kg) dengan tekanan puncak inspirasi < 35 cmH2O,
plateu inspiratory pressure < 30 cmH2O serta pemberian PEEP antara 8-14
cm H2O untuk mencegah atelektasis dan kolaps alveoli.
 Untuk memperkecil risiko barotrauma dapat dipakai mode Pressure Control.
 Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah) dipakai sebagai parameter
keberhasilan dan panduan terapi.
 Restriksi cairan dan diuresis yang cukup akan mengurangi peningkatan
tekanan hidrostatik di kapiler paru dan mengatasi kelebihan cairan paru (lung
water). Akan tetapi harus diingat bahwa dehidrasi yang berlebihan akan
menurunkan perfusi jaringan dan mencetuskan gagal ginjal.
 Prone position akan memperbaiki V/Q karena akan mengalihkan cairan darah
sehingga tidak terjadi atelektasis.
 Inhalasi nitric oxide/prostasiklin akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah
di paru sehingga secara nyata memperbaiki hipertensi pulmonal dan
oksigenasi arteri. Pemberian nitric oxide tidak akan berpengaruh terhadap
tekanan darah sistemik, namun demikian efek samping subproduk NO berupa
peroksi nitrit dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan paru. Oleh karena
itu pengunaannya sangat ketat yaitu pada keadaan ekstrem dimana terjadi
hipoksemia akut yang refrakter terhadap tindakan suportif yang diberikan.
(Rumende. 2018).
3. Terapi Penyakit Dasar
Terapi penyakit dasar ARDS tergantung dari penyebabnya dimana penyebab
tersering adalah infeksi baik di paru maupun di luar paru. Untuk infeksi paru sendiri
karena ARDS merupakan bagian dari kondisi sepsis yang berat maka dalam
pemilihan antibiotik dianjurkan dengan kombinasi dua antibiotik dari golongan yang
berbeda yang mempunyai efek antipseudomonas. Kombinasi tersebut misalnya dari
golongan sefalosporin yang mempunyai efek antipseudomonas (seftasidim,
sefoperazon) atau golongan karbapenem (imipenem, meropenem) diberikan bersama
dengan golongan kuinolon (siprofloksasin, levofloksasin) atau dengan golongan
aminoglikosid (Amikin). Untuk meningkatkan angka keberhasilan pengobatan maka
antibiotik tersebut harus diberikan sedini mungkin (< 4 jam) sejak diagnosis
pneumonia ditegakkan. Untuk penyakit dasar lain yang potensial dapat diatasi yaitu
pada ARDS akibat overdosis obat yang diatasi dengan pemberian antidotumnya bila
ada, pada TB yang berat, immune reconstitution inflamation syndrome (IRIS) dan
juga pada ARDS akibat infeksi pneumocystic jiroveci, pada semua keadaan tersebut
selain terapi untuk penyakit dasarnya diberikan juga terapi tambahan dengan steroid.
(Rumende. 2018).
4. Targeted Drug Treatment
Terapi target difokuskan pada regresi lesi patologi dan mengurangi jumlah
cairan dalam paru, namun sayangnya tidak ada bukti objektif akan keberhasilan
metode tersebut.
 Surfaktan sintetik secara aerosol ternyata bermanfaat untuk ARDS pada
neonatus, tetapi tidak pada ARDS.
 Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi reaksi inflamasi pada jaringan
paru terutama pada ARDS akibat TB yang berat, infeksi pneumocystic jiroveci
dan pada IRIS. Pada inflamasi akibat penyakit dasar yang lain pemberian
steroid menunjukkan hasil yang tidak memuaskan, sehingga tidak
direkomendasikan pada ARDS terutama pada fase awal. Beberapa sumber
menyarankan pemberian metilprednisolon secara pulsed untuk mencegah fase
fibrosis yang destruktif.
 Pemberian N-asetil-sistein banyak memberikan harapan namun masih dalam
penelitian.
 Ketokonazol diharapkan dapat menghambat pelepasan TNF oleh makrofag,
tetapi masih diperlukan penelitian dalam jumlah sample yang lebih besar.
 Diuretik ditujukan untuk mencegah kelebihan cairan, dan hanya diberikan bila
eksresi cairan oleh ginjal terganggu. Dengan demikian penggunaan diuretik
tidak rutin, karena tidak sesuai dengan patogenesis ARDS.
 Transfusi darah diperlukan untuk menjaga kadar Hb lebih dari 10 gr%, tetapi
mengingat kemungkinan terjadinya TRALI (Transfusion-Related Acute Lung
Injury) maka tranfusi hanya diberikan bila ada oksigenasi jaringan yang
inadekuat.
 Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO) adalah suatu sistem
prolonged cardiopulmonary bypass yang banyak berhasil mengobati bayi baru
lahir yang mengalami gagal nafas akibat aspirasi mekonium, hernia diafragma
dan infeksi virus yang berat. Penggunaan EMCO untuk ARDS hasilnya masih
kontroversial. (Rumende. 2018).

VI. PENGKAJIAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
1.1 Primary Survey
a. Airway ( Jalan Napas) :
Kaji :
 Bersihan jalan nafas
 Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas
 Distress pernafasan
 Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring
b. Breathing
Kaji :
 Frekuensi nafas, usaha nafas dan pergerakan dinding dada
 Suara pernafasan melalui hidung atau mulut
 Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
c. Circulation
Kaji :
 Denyut nadi karotis
 Tekanan darah
 Warna kulit, kelembaban kulit
 Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
d. Disability
Kaji :
 Tingkat kesadaran
 Gerakan ekstremitas
 Glasgow coma scale (GCS
 Ukuran pupil dan respons pupil terhadap cahaya

1.2 Secondary Survey


a) Pengkajian Fisik
 Mata
a. Konjungtiva pucat (karena anemia)
b. Konjungtiva sianosis (karena hipoksia)
 Kulit
a. Sianosis perifer (vasokontriksi dan menurunnya aliran darah perifer).
b. Sianosis secara umum (hipoksemia)
c. Penurunan turgor (dehidrasi)
d. Edema periorbital
 Jari dan kuku
a. Sianosis
b. Clubbing finger
 Mulut dan bibir
a. Membrane mukosa sianosis
b. Bernafas dengan mengerutkan mulut
 Hidung
a. Pernapasan dengan cuping hidung
 Vena leher : Adanya distensi/bendungan
 Dada
a. Retraksi otot bantu pernafasan (karena peningkatan aktivitas pernafasan,
dispnea, atau obstruksi jalan pernafasan)
b. Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dengan kanan
c. Suara nafas normal (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial)
d. Suara nafas tidak normal (crekler/reles, ronchi, wheezing, friction rub,
/pleural friction)
e. Bunyi perkusi (resonan, hiperresonan, dullness)
f. Tactil fremitus, thrill, (getaran pada dada karena udara/suara melewati
saluran /rongga pernafasan)
 Pola pernafasan
a. Pernafasan normal (eupnea)
b. Pernafasan cepat (tacypnea)
c. Pernafasan lambat (bradypnea)

b) Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan gas darah (saturasi oksigen dan CO2)
b. Pemeriksaan PH darah
c. Pemeriksaan radiologi pulmonaldan kardio
c) Tindakan pada secondary survey
a. Pemberian oksigen
b. Inhalasi nebulizer
c. Pemberian ventilator
d. Fisioterapi dada

2.1.5 Diagnosis Keperawatan


1. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoksemia secara

reversible/menetap refraktori dan kebocoran interstisial pulmonal/alveolar pada

status cedera kapiler paru.

2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya

bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan napas, dan menurunnya kemampuan

batuk efektif.

3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

4. Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan edemapulmonal, penurunan

aliran balik vena, penurunan curah jantung atau terapi diuretik.

5. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang

berhubungan dengan penurunan nafsu makan.

6. Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum dan keletihan.

7. Koping keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan kurang sosialisasi,

kecemasan, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidakmampuan untuk bekerja.


2.1.6 Perencanaan Keperawatan

NO DIAGNOSA NOC NIC

KEPERAWATAN

Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama NIC : Pemantauan Respirasi

... x ... jam diharapkan gangguan pertukaran Observasi

gas dapat teratasi dengan kriteria hasil: □ Monitor nilai AGD

NOC : Pertukaran Gas □ Monitor saturasi oksigen

□ Tingkat kesadaran meningkat □ Monitor kemampuan batuk efektif

□ Tidak adanya dispnea □ Monitor adanya produksi sputum

□ Tidak adanya bunyi napas tambahan □ Monitor adanya sumbatan jalan napas

□ Tidak adanya takikardia □ Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas

□ Tidak adanya pusing □ Monitor pola napas (bradipnea, takipnea, hiperventilasi,

□ Penglihatan tidak kabur Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)

□ Tidak adanya diaforesis □ Palpasi kesimetrisan ekspansi paru

□ Tidak gelisah □ Auskultasi bunyi napas

□ Tidak menggunakan pernapasan cuping □ Monitor hasil x-ray toraks


hidung Terapeutik

□ PCO2 dalam batas normal (33 mmHg – □ Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien

45 mmHg) □ Dokumentasikan hasil pemantauan

□ PO2 dalam batas normal (75 mmHg – Edukasi

100 mmHg) □ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

□ pH arteri dalam batas normal (7,35-7,45) □ Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

□ Tidak terjadi sianosis NIC : Terapi Oksigen

□ Pola napas membaik Observasi

□ Warna kulit membaik □ Monitor kecepatan aliran oksigen

□ Monitor posisi alat terapi oksigen

□ Monitor aliran oksigen secara periodik dan pastikan fraksi yang

diberikan cukup

□ Monitor efektifitas terapi oksigen (misal oksimetri, AGD), jika

perlu

□ Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan

□ Monitor tanda-tanda hipoventilasi


□ Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan atelektasis

□ Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen

□ Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen

Terapeutik

□ Bersihkan sekret pada mulut hidung dan trakea, jika perlu

□ Pertahankan kepatenan jalan napas

□ Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen

□ Berikan oksigen tambahan, jika perlu

□ Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi

□ Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan tingkat

mobilitas pasien

Edukasi

□ Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen di

rumah

Kolaborasi

□ Kolaborasi penentuan dosis oksigen


Kolaborasi pengunaan oksigen saat aktivitas atau tidur

Bersihan jalan napas tidak Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama NIC : Manajemen Jalan Napas

efektif ... x ... jam diharapkan bersihan jalan napas Observasi

tidak efektif dapat teratasi dengan kriteria □ Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)

hasil : □ Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, wheezing,

NOC : Bersihan Jalan Napas mengi, ronkhi kering)

□ Adanya batuk efektif □ Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

□ Produksi sputum menurun Terapeutik

□ Tidak ada mengi □ Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-

□ Tidak ada wheezing lift (ja-thrust jika curiga trauma servikal)

□ Tidak ada dispnea □ Posisikan semi fowler atau fowler

□ Tidak ada ortopnea □ Berikan minum hangat

□ Tidak ada sianosis □ Lakukan fisioterapi dada, jika perlu

□ Tidak gelisah □ Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

□ Frekuensi napas dalam batas normal ( □ Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal

16-20x/menit) □ Keluarka sumbatan benda padat dengan forsep McGill


□ Pola nnapas membaik □ Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi

□ Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi

□ Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi

□ Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,

jia perlu

NIC : Pemantauan Respirasi

Observasi

□ Monitor nilai AGD

□ Monitor saturasi oksigen

□ Monitor kemampuan batuk efektif

□ Monitor adanya produksi sputum

□ Monitor adanya sumbatan jalan napas

□ Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas

□ Monitor pola napas (bradipnea, takipnea, hiperventilasi,


Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)

□ Palpasi kesimetrisan ekspansi paru

□ Auskultasi bunyi napas

□ Monitor hasil x-ray toraks

Terapeutik

□ Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien

□ Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi

□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

□ Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama NIC : Manajemen Jalan Napas

... x ... jam diharapkan pola napas tidak efektif Observasi

dapat teratasi dengan kriteria hasil : □ Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)

NOC : Pola Napas □ Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, wheezing,

□ Tidak ada dispnea mengi, ronkhi kering)

□ Penggunaan otot bantu napas □ Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)


menurun/tidak ada Terapeutik

□ Pemanjangan fase ekspirasi menurun □ Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-

□ Tidak ortopnea lift (ja-thrust jika curiga trauma servikal)

□ Tidak ada pernapasan cuping hidung □ Posisikan semi fowler atau fowler

□ Tidak ada pernapasan pursed-lip □ Berikan minum hangat

□ Frekuensi napas normal (16-20x/menit) □ Lakukan fisioterapi dada, jika perlu

□ Ekskursi dada membaik □ Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

□ Kedalaman napas membaik □ Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal

□ Tekanan ekspirasi membaik □ Keluarka sumbatan benda padat dengan forsep McGill

□ Tekanan inspirasi membaik □ Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi

□ Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak kontraindikasi

□ Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi

□ Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,

jia perlu
NIC : Pemantauan Respirasi

Observasi

□ Monitor nilai AGD

□ Monitor saturasi oksigen

□ Monitor kemampuan batuk efektif

□ Monitor adanya produksi sputum

□ Monitor adanya sumbatan jalan napas

□ Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas

□ Monitor pola napas (bradipnea, takipnea, hiperventilasi,

Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)

□ Palpasi kesimetrisan ekspansi paru

□ Auskultasi bunyi napas

□ Monitor hasil x-ray toraks

Terapeutik

□ Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien

□ Dokumentasikan hasil pemantauan


Edukasi

□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

□ Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Hipervolemia Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama NIC : Manajemen Hipervolemia

... x ... jam diharapkan hipervolemia dapat Observasi

teratasi dengan kriteria hasil : □ Periksa tanda gejala hipervolemia (misal ortopnea, dispnea,

NOC : Keseimbangan Cairan edema, JVP/CVP meningkat, refleks hepatojugular positif,

□ Asupan cairan meningkat suara napas tambahan)

□ Output urin meningkat □ Identifikasi penyebab hipervolemia

□ Membran mukosa lembap □ Monitor status hemodinamik (misal frekuensi jantung, tekanan

□ Asupan makanan meningkat darah, MAP, CVP, PAP, PCWP, CO, CI) jika tersedia

□ Tidak ada edema □ Monitor intake dan output cairan

□ Tidak dehidrasi □ Monitor tanda hemokonsentrasi (misal kadar natrium, BUN,

□ Tidak asites hematokrit, berat jenis urine)

□ Tidak konfusi □ Monitor tanda peningkatan tekana onkotik plasma (misal kadar

□ Tekanan darah normal (sistol : 100–120 protein dan albumin meningkat)


mmHg dan diastol : 60-90 mmHg) □ Monitor kecepatan infus secara ketat

□ Frekuensi nadi normal (60-100x/menit) □ Monitor efek samping diuretik (misal hipotensi ortotostetik,

□ Mata tidak cekung hipovolemia, hipokalemia, hiponatremia)

□ Turgor kulit membaik Terapeutik

□ Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama

□ Batasi asupan cairan dan garam

□ Tinggikan kepala tempat tidur 30o-40o

Edukasi

□ Anjurkan melapor jika haluaran urin <0,5 mL/kg/jam dalam 6

jam

□ Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam sehari

□ Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran

cairan

□ Ajarkan cara membatasi cairan

Kolaborasi

□ Kolaborasi pemberian diuretik


□ Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretik

□ Kolaborasi pemberian continuous renal replacement therapy

CRRT), jika perlu

NIC : Pemantauan Cairan

Observasi

□ Monitor frekuensi dan kekuatan nadi

□ Monitor frekuensi napas

□ Monitor tekanan darah

□ Monitor berat badan

□ Monitor waktu pengisian kapiler

□ Monitor elastisitas atau turgor kulit

□ Monitor jumlah, warna dan berat jenis urine

□ Monitor kadar albumin dan protein total

□ Monitor hasil pemeriksaan serum (misal osmolaritas serum,

hematokrit, natrium, kalium, BUN)

□ Monitor intake dan output cairan


□ Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (misal frekuensi nadi

meningkat, nadi teraba lemah, tekanandara menurun, tekanan

nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa

kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, haus,

lemah, konsentrasi urine meningkat, BB menurun dalam waktu

singkat)

□ Identifikasi tanda-tanda hipervolemia (misal dispnea, edema

perifer, edema anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat,

refleks hepatojugular positif, BB menurun dalam waktu

singkat)

□ Identifikasi faktor risiko ketidakseimbangan cairan (misal

prosedu pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar,

aferesis, obstruksi intestinal, peradangan pankreas, penyakit

ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal)

Terapeutik

□ Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien


□ Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi

□ Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

□ Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama NIC : Manajemen Energi

... x ... jam diharapkan intoleransi aktivitas Observasi

dapat teratasi dengan kriteria hasil : □ Identifikasi gangguan fungsi tubuh yan mengakibatkan

NOC : Toleransi Aktivitas kelelahan

□ Keudahan melakukan aktivitas sehari- □ Monitor kelelahan fisik dan emosional

hari □ Monitor pola dan jam tidur

□ Kecepatan berjalan meningkat □ Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan

□ Kekuatan tubuh bagian atas meningkat aktivitas

□ Keuatan tubuh bagian bawah meningkat Terapeutik

□ Keluhan lelah menurun □ Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (misal

□ Tidak dispnea saat aktivitas cahaya, suara, kunjungan)

□ Tidak dispnea setelah aktivitas □ Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktig
□ Tidak aritmia saat aktivitas □ Berikan aktivitas distraksi menenangkan

□ Tidak aritmia setelah aktivitas □ Fasilitasi duuk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah

□ Tidak sianosis atau berjalan

□ Frekuensi nadi normal (60-100x/menit) Edukasi

□ Tekanan darah normal (sistol : 100-120 □ Anjurkan tirah baring

mmHg dan diastol : 60-90 mmHg) □ Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap

□ Saturasi oksigen normal (95-100%) □ Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan

□ Frekuensi napas normal (16-24x/menit) tidak berkurang

□ EKG menunjukkan tidak ada iskemia □ Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan

Kolaborasi

□ Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan

makanan

NIC : Terapi Aktivitas

Observasi

□ Identifikasi defisit tingkat aktivitas

□ Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas tertentu


□ Identifikasi sumber daya untuk aktivitas yang diinginkan

□ Identifikasi strategi meningkatkan partisipasi dalam aktivitas

□ Identifikasi makna aktivitas rutin dan waktu luang

□ Monitor respon emosional, fisik, sosial, dan spiritual terhadap

aktivitas

Terapeutik

□ Fasilitasi fokus pada kemampuan, bukan defisit yang

dialamisepakati komitmen untuk meningkatkan frekuensi dan

rentang aktivitas

□ Fasilitasi memilih aktivitasn dan tetapkan tujuan aktivitass

yang konsisten sesuai kemampuan fisik, psikologis dan sosial

□ Fasilitasi aktivitas fisik rutin (misal ambulasi, mobilisasi,

perawatan diri), sesuai kebutuhan

□ Fasilitasi aktivitas motorik untuk merelaksasi otot

Edukasi

□ Jelaskan metode aktivitas fisik sehar-hari, jika perlu


□ Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih

□ Anjurkan melakukan aktivitas fisik, sosial, spiritual dan

kognitif dalam menjaga fungsi dan kesehatan

□ Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok atau terapi, jika

sesuai

Kolaborasi

□ Kolaborasi dengan terapis okupasi dalam merencanakan dan

memonitor program aktivitas, jika sesuai

□ Rujuk pada pusat atau program aktivitas komunitas, jika perlu


VII. REFERENSI
Amin Z, Purwoto J. 2009. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FK UI.
Anonim. 2012. ARDS Definition Task Force. Acute Respiratory Distress Syndrome, The
Berlin Definition. JAMA.
Bernard GR, Artigas A, Brigham KL, Carlet J, Falke K, Hudson L, Lamy M, Legall JR,
Morris A, Spragg R. 1994. The American-European Consensus Conference on
ARDS. Definitions, mechanisms, relevant outcomes, and clinical trial coordination.
Am J Respir Crit Care Med;149:818–824.
Fanelli V, Vlachou A, Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. 2013, Acute respiratory distress
syndrome: new definition, current and Fanelli V, future therapeutic options. Journal
of Thoracic Disease.
Rumende, CM. 2018. Acute Respiratory Distress Syndrome.
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/cleopas.martin/miscellaneous/ards_pit_2018_-
_copy.pdf.

Anda mungkin juga menyukai