Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

MATA KULIAH HUKUM ADAT


ANALISIS CAROK SEBAGAI PENYELESAIAN SENGKETA
DI MASYARAKAT

MIMIN
ANINDYA
RISKA
RUDI
INTAN
FRISCA

1|Page
A. LATAR BELAKANG
Hukum adat berasal dari adat istiadat yang diberikan sanksi. Adat istiadat adalah suatu
sistem norma atau tata kelakuan yang tumbuh, berkembang, dan dijunjung tinggi oleh suatu
masyarat secara turun-temurun sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat.
Indonesia adalah negara budaya yang memiliki beraneka ragam budaya dan adat istiadat
yang masih dilestarikan hingga saat ini. Keragaman adat istiadat dan budaya di Indonesia
dipengaruhi oleh ras, letak geografis, latar belakang sejarah, perkembangan sejarah, agama atau
kepercayaan, dan kemampuan untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri. Beberapa tradisi dan
ritual yang masih dilakukan sampai saat ini diantaranya, upacara ngaben di Bali, hukum cambuk
di Aceh, ikipalin di Papua, dan Carok di Madura. Tradisi-tradisi tersebut ada yang kedudukannya
hanya sekedar adat istiadat adapula yang kedudukannya sebagai hukum adat.
Pada makalah ini kami akan membahas mengenai tradisi Carok di suku Madura yang
sampai saat ini masih eksis dan dilakukan sebagai tradisi meskipun tradisi Carok yang dilakukan
saat ini berbeda dengan tradisi Carok pada zaman dahulu. Tradisi Carok pada zaman dahulu
bertujuan untuk mempertahankan harga diri sedangkan pada zaman modern saat ini tradisi Carok
yang dilakukan lebih kearah perkelahian yang menyangkut urusan pribadi.

2|Page
B. POKOK MASALAH
1. Bagaimanakah perbedaan hukum adat dengan adat istiadat?
2. Bagaimanakah relevansi penyelesaian sengketa melalui Carok dalam peradaban
masyarakat suku Madura?
C. PEMBAHASAN
1. Perbedaan Hukum adat dengan adat istiadat
1.1 Definisi, ciri dan sifat hukum adat menurut para ahli.
Pengertian Hukum Adat Menurut Para Ahli dan Perkembangannya di Indonesia - Gramedia
Literasi
1. Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn
Menurut Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn, hukum adat merupakan keseluruhan peraturan yang
menjelma ke dalam keputusan yang diambil oleh kepala adat serta berlaku spontan
terhadap masyarakat di dalamnya.
2. Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven
Definisi hukum adat menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven adalah keseluruhan
aturan tingkah laku sebuah masyarakat yang berlaku serta memiliki sanksi dan juga
belum dikodifikasikan.
3. Dr. Sukanto, S.H.
Definisi hukum adat menurut Dr. Sukanto, S.H. adalah sebuah kompleks adat yang pada
umumnya tidak ditulis atau dikitabkan, tidak dikodifikasikan serta memiliki sifat
memaksa. Hukum ini juga memiliki sanksi oleh sebab itu ada pula akibat hukumnya.
4. Supomo mengatakan
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis di dalam peraturan tidak tertulis, meliputi
peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi
ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-
peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
5. Ter Haar
Ter Haar mengatakan bahwa hukum adat timbul setelah ada penetapan para pejabat
hukum sehingga kriteria yang dipakai adalah “Penetapan”.

3|Page
6. M.M. Djojodigoeno
M.M. Djojodigoeno meenyebutkan hukukm adat adalah hukum yang tidak bersumber
kepada peraturan-peraturan.
7. Hazairin
Hazairin menyebutkan hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu
kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum.
8. Soeroyo Wignyodipuro
Soeroyo Wignyodipuro menyebutkan hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma
yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi
peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat, Sebagian tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat arena
mempunyai akibat hukum (sanksi).
Buku ajar Hukum adat Hal 3, Dr. Yulia, S.H., M.H/2016
1.2 Ciri- ciri hukum adat menurut para ahli
1. Mengutip buku Pengantar Hukum Indonesia karya Drs. H. Hanafi Arief, S. H, M. H, Ph. D,
hukum adat bisa dikenali dengan beberapa ciri, antara lain:
a. Tidak teratur.
b. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
c. Tidak tersusun secara sistematis.
d. Keputusannya tidak memakai konsideran dan pertimbangan.
e. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
f. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.

2. Menurut Mohammad Koesnoe, dalam perkembangannya, hukum adat mempunyai ciri-ciri


sebagai berikut:
a. Pada umumnya berupa hukum yang tidak tertulis;
b. Norma hukum adat tertuang dalam petuah-petuah yang memuat atas perikehidupan dalam
masyarakat;
c. Asas-asas itu dirumuskan dalam bentuk pepatah, seloka, cerita, perumpamaan, dan lain-
lain;
d. Kepala adat selalu dimungkinkan untuk campur tangan dalam segala urusan;

4|Page
e. Sering tidak dapat dipisahkan dengan factor-faktor kepercayaan atau agama;
f. Faktorpamrih sulit dilepaskandari factor bukan pamrih;
g. Ketaatan dalam melaksanakannya lebih didasarkan pada rasa harga diri setiap anggota
masyarakat.
Ciri-ciri Hukum Adat (kompas.com)
1.3 Sifat-sifat hukum adat menurut para ahli
1. Mohammad Koesnoe
Menurut Mohammad Koesnoe, hukum adat memiliki empat sifat, yakni:
a. Tradisional: Setiap ketentuan dalam hukum adat selalu berhubungan dengan masa
lampau serta diteruskan dan dipertahankan dari masa ke masa. Hal ini dapat diketahui
dari para ahli adat yang menyatakan bahwa tidak ada ketentuan yang tidak berpangkal
oada dongeng dari masa lampau. Faktor inilah yang membuat hukum adat sering
dianggap sebagai suatu hal yang tradisional atau konvensional.
b. Keramat: Hukum adat memiliki sifat keramat karena unsur-unsur yang berasal dari
kepercayaan yang memegang peranan penting dalam ketentuan hukum adat. Sifat
keramat ini menitikberatkan pada wibawa sehingga harus dihormati oleh masyarakat.
c. Luwes; Sebagai hukum yang bersumber dari kehidupan masyarakat yang selalu
mengalami perkembangan, hukum adat juga mengikuti perkembangan zaman. Hal ini
dimungkinkan karena hukum adat hanya memuat asas-asasnya saja dan bukan perincian
yang mendetail. Dengan sifatnya yang luwes, hukum adat dapat menyesuaikan diri
dengan kebutuhan masyarakat tanpa mengubah system dan lembaganya.
d. Dan dinamis: Dalam perkembangannya, hukum adat sejalan dengan perkembangan yang
terjadi di masyarakat. Sifat dinamis dalam hukum adat bukan berarti hukum adat
berkembang bebas tanpa memperhatikan asas yang ada dan mengabaikan segala hal dari
masa lampau.
Sifat-sifat Hukum Adat (kompas.com)
2. R. Soepomo
Sifat hukum adat menurut R. Soepomo, yakni:
a. Kebersamaan: mengutamakan ikatan kemasyarakatan yang erat.

5|Page
b. Magis religious: ada kesatuan antara lahir dan batin percaya adanya kekuatan gaib dan
menjaga alam semesta agar keseimbangannya tidak terganggu. Jika terganggu harus
dipulihkan dengan ritual tertentu.
c. konkret: hukum adat sangat memperhatikan hubungan-hubungan hukum yang nyata dan
jelas;
d. visual: hubungan-hubungan hukum dianggap terjadi karena ditetapkan dengan ikatan
yang dapat dilihat.
3. F.D. Holleman
Sifat hukum adat menurut F.D. Holleman, yakni:
a. Komunal: hak-hak individu selalu diimbangi dengan hak umum;
b. Konkret: objek dalam hukum adat harus jelas;
c. Kontan: pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban dilakukan pada saat yang
bersamaan agar menjaga keseimbangan dalam masyarakat;
d. Magis: perbuatan-perbuatan dalam hukum adat mengandung hal-hal yang gaib, yang jika
dilanggar dapat menimbulkan bencana.

2. Pengertian, ciri-ciri, dan sifat adat istiadat menurut para ahli.


2.1 Pengertian adat istiadat menurut para ahli
1. M. Nasroen
Menurut M. Nasroen, pengertian adat istiadat adalah suatu sistem pandangan hidup yang
kekal, segar, serta aktual karena berdasarkan pada berbagai ketentuan yang terdapat pada
alam yang nyata dan nilai positif, kebersamaan, kemakmuran yang merata, pertimbangan
pertentangan, penyesuaian diri, dan berguna sesuai tempat/ waktu/ keadaan.

2. J. C. Mokoginta
Adat istiadat merupakan salah satu dari bagian tradisi yang sudah melibatkan kebudayaan
masyarakat. Adat istiadat atau tradisi dalam pengertian lain menyebutkan bahwa
kebiasaan ini sebagai warisan atau penerimaan norma-norma secara umum yang ada di
dalam masyarakat.
√ Pengertian Adat Istiadat, Macam, Bentuk, Kriteria, dan Contohnya |
DosenSosiologi.Com

6|Page
3. Van den Berg
Adat istiadat adalah tradisi dan kebiasaan nenek moyang yang hingga sekarang masih
dipertahankan untuk mengenang nenek moyang sebagai keanekaragaman budaya di
Indonesia. Adat istiadat waktu terjadinya selalu berulang kembali dalam jangka waktu
tertentu.

2.2 Ciri-ciri Adat istiadat menurut para ahli


1. M. Nasroen menjelaskan bahwa adat istiadat merupakan sebuah sistem pandangan
hidup yang kekal, segar serta aktual oleh karena didasarkan pada:
a. Kemakmuran yang merata.
b. Menyesuaikan diri dengan kenyataan.
c. Segala sesuatunya berguna menurut tempat, waktu dan keadaan.
d. Meletakan sesuatu pada tempatnya dan menempuh jalan tengah.
e. Kebersamaan dalam arti, seseorang untuk kepentingan bersama dan kepentingan
bersama untuk seseorang.
2. Berikut unsur-unsur yang terdapat dalam suatu adat istiadat menurut Buku Ajar Hukum
Adat oleh Yulia (2016)
Adanya tingkah laku seseorang
a. Dilakukan terus menerus
b. Adanya dimensi waktu
c. Diikuti oleh orang lain.

2.3 Sifat-sifat adat istiadat menurut paraa ahli

7|Page
3. Perbedaan antara Hukum adat dengan Adat istiadat menurut para ahli
Dalam ilmu hukum ada perbedaan antara adat-istiadat dan hukum adat. Suatu adat-istiadat yang
hidup (menjadi tradisi) dalam masyarakat dapat berubah dan diakui sebagai peraturan hukum
(Hukum Adat). Tentang bagaimana perubahan itu sehingga menimbulkan hukum Adat, dapat
dikemukakan beberapa pendapat sarjana, antara lain:
1. Van Vollehoven:
Dikatakan olehnya bahwa suatu peraturan adat, tindakan-tindakan (tingkah laku) yang
oleh masyarakat hukum adat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta ada
perasaan umum yang menyatakan bahwa peraturan-peraturan itu harus dipertahankan
oleh para Kepala Adat dan petugas hukum lainnya, maka peraturan-peraturan adat itu
bersifat hukum.
2. Ter Haar
Dikatakan olehnya bahwa hukum Adat yang berlaku hanya dapat diketahui dari
penetapan-penetapan petugas hukum seperti Kepala Adat, hakim, rapat adat, perangkat
desa dan lain sebagainya yang dinyatakan di dalam atau di luar persengketaan. Saat
penetapan itu adalah existential moment (saat lahirnya) hukum adat itu. (dibaca tentang:
teori beslissingenleer yang dikemukakan oleh Ter Haar).
3. Prof. Soepomo
mengatakan bahwa suatu peraturan mengenai tingkah-laku manusia (“rule of
behaviour”) pada suatu waktu mendapat sifat hukum, pada ketika petugas hukum yang
bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu atau
pada ketika petugas hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran peraturan-peraturan
itu.
Selanjutnya dikatakan oleh Prof. Soepomo bahwa tiap peraturan adat adalah timbul,
berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru. Demikian pula
dengan peraturan baru ini yang juga akan berkembang dan selanjutnya lenyap karena
tergantikan oleh peraturan baru yang sesuai dengan perubahan perasaan keadilan yang
hidup dalam hati nurani masyarakat hukum adat pendukungnya. Begitu seterusnya,
keadaan ini digambarkan sebagaimana halnya jalannya ombak dipesisir samudra.

8|Page
Adat Istiadat dan Hukum Adat MM ~ Hukum (gubukhukum.blogspot.com)

4. Bukti eksistensi hukum adat di Indonesia


Di Indonesia, eksistensi hukum adat masih diakui dan itu tercantum pada:
a. Pasal 18B ayat (2) UU NRI 1945
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-
Undang.
b. Pasal 5 UU No 5 Tahun 1960
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan
lainnya,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama.

5. Definisi dan sejarah carok


5.1 Definisi Carok
Indonesia dikenal mempunyai budaya yang sangat beragam, namun terkadang tidak
semua budaya di Indonesia tersebut dapat dipertahankan seterusnya karena nilai yang terkandung
didalamnya seiring waktu sudah tidak sesuai salah satunnya budaya carok. Budaya carok
merupakan salah satu budaya yang sudah ada sejak dulu di Madura. Kata carok berasal dari
bahasa Madura yang berarti “bertarung atas nama kehormatan”. Carok merupakan tradisi
bertarung yang disebabkan karena alasan tertentu yang berhubungan dengan harga diri yang
berhubungan dengan harta, tahta dan wanita , dilakukan dengan menggunakan senjata. Carok
merupakan tindakan pembalasan dendam ini dilakukan dengan adu duel (menggunakan senjata
celurit) hingga ada korban yang mati, satu lawan satu dan antara lakilaki . Meskipun kadang
terjadi carok massal yang mulanya dari individual

9|Page
Carok sendiri berasal dari bahasa Kawi Kuno yang berarti Perkelahian. Secara harfiah
bahasa Madura, Carok dapat diartikan Ecacca erok-orok (dibantai/mutilasi). Carok merupakan
satu pembauran dari budaya yang tidak sepenuhnya asli dari Madura tetapi Carok sebenarnya
berasal dari Pasuruan yang kemudian di perkenalkan oleh pak Sakera, seorang mandor tebu di
pasuruan yang dengan terang-terangan melawan ke sewenang-wenangan penjajah pada masa itu.
Carok merupakan putusan akhir atau penyelesaian akhir sebuah permasalahan yang tidak bisa
diselesaikan secara baik-baik atau musyawarah dimana di dalamnya terkandung makna
mempertahankan harga diri.19 Pengertian carok sendiri adalah suatu tindakan atau upaya
pembunuhan (karena ada kalanya berupa penganiayaan berat) menggunakan senjata tajam pada
umumnya Celurit yang dilakukan oleh orang laki-laki lain yang dianggap telah melakukan
pelecehan harga diri (baik secara individu sebagai suami maupun secara kolektif yang mencakup
kerabat atau keluarga) terutama berkaitan dengan masalah kehormatan isteri dan anak
perempuannya sehingga membuat malo (malu). Pengertian carok paling tidak harus mengandung
lima unsur, yaitu tindakan atau upaya pembunuhan antar laki-laki, pelecehan harga diri terutama
berkaitan dengan kehormatan perempuan (istri), perasaan malu (malo), adanya dorongan,
dukungan, persetujuan sosial disertai perasaan puas, dan perasaan bangga bagi pemenangnya.
Carok sebagai media kultural untuk menunjukkan kejantanan dengan kekerasan fisik
menjadi tidak jelas jika dihubungkan dengan nyelep (menyerang musuh dari belakang atau
samping ketika musuh sedang lengah). karena carok sebenarnya adalah sebagai pembelaan
terhadap harga diri yang terlecehkan sehingga pelakunya tidak mungkin melakukannya dengan
cara nyelep, namun akhir-akhir ini carok menjadi ‘tuna makna’ kalau hanya dihubungkan dengan
kehormatan perempuan karena akhir-akhir ini carok sudah digunakan sebagai ajang dendam
yang tidak berkaitan dengan kehormatan itu sendiri.
Kata carok mengandung makna tertentu yaitu carok merupakan perkelahian bahkan tidak
lagi berarti perkelahian biasa melainkan pembunuhan atau penganiayaan yang mempunyai alasan
yang khusus dalam kajian sosiologis dapat diartikan secara khusus sebagai suatu kebiasaan atau
setidak-tidaknya sebagai pola prilaku yang berfungsi di lingkungan masyarakat Madura.
Seringkali secara sepihak menyelesaikan suatu permasalahannya yang menyangkut mengenai
martabat dan harga diri. Carok merupakan suatu perkelahian bersenjata tajam antara seorang
dengan orang lain atau suatu kelompok dengan kelompok yang lain yang lazim didahului dengan
perjanjian mengenai waktu dan tempat.

10 | P a g e
Carok merupakan suatu perbuatan yang tergolong tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh orang pribadi secara sengaja dengan tujuan untuk membalas dendam karena harga dirinya
yang telah direndahkan oleh orang lain. Tindakan kekerasan tersebut yang telah menjadi budaya
bagi masyarakat Madura, jika dihadapkan pada budaya nasional Negara Indonesia yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia diantaranya hak hidup, merupakan konsep yang bertolak
belakang, dengan demikian budaya carok tetap ada meskipun hukum di Indonesia ini menentang.
Persoalan seperti ini tidak dapat begitu saja dihakimi sebagai tindakan yang tercela, karena bagi
orang Madura carok merupakan cara satu-satunya cara untuk mempertahankan harga diri ketika
perdamaian tidak dapat dicapai, dan bagi orang luar Madura dipahami oleh masing-masing
individu pemahaman akan relatif dalam menilai moralitas masyarakat Madura yang melakukan
tindak pidana carok.2
BAB II.pdf (umm.ac.id)
5.2 Sejarah Carok
“Carok” dengan selalu menggunakan celurit muncul di kalangan orang-orang Madura
sejak zaman penjajahan Belanda pada abad 18 M. Carok merupakan ikon kesatria
memperjuangkan harga diri (kehormatan).

Pak Sakera adalah seorang mandor kebun tebu dari Pasuruan yang memiliki nama asli
sebenarnya adalah Sudirman, dalam tugasnya ia hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap
ia pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja, celurit bagi Sudirman merupakan simbol
perlawanan rakyat jelata kepada kesewenangan penindas Pemerintahan Hindia Belanda. Pabrik
gula milik perusahaan Belanda pada waktu itu membutuhkan banyak lahan baru untuk menanam
tebu, karena kepentingan itu Belanda ingin membeli lahan perkebunan yang seluas-luasnya
dengan harga semurah-murahnya. Dengan cara licik belanda menyuruh carik Rembang untuk
bisa menyediakan lahan baru bagi perusahaan dalam jangka waktu singkat dan murah, dan
dengan iming-iming harta dan kekayaan hingga carik Rembang bersedia memenuhi keinginan
tersebut. Carik Rembang menggunakan cara-cara kekerasan kepada rakyat dalam mengupayakan
tanah untuk perusahaan Belanda tersebut.

Sakera melihat ketidak adilan lalu mencoba membela rakyat kecil dan berkali kali
menggagalkan upaya carik Rembang. Carik Rembang melaporkan hal ini kepada pemimpin
perusahaan. Pemimpin perusahaan marah kemudian memerintahkan seorang pegawai pabrik

11 | P a g e
(Jagoan) bernama Markus untuk merencanakan membunuh Sakera. Pada saat pekerja sedang
istirahat Markus marah-marah dan menghukum para pekerja serta menantang Sakera. Sakera
yang dilapori oleh para pekerja di Pabrik Gula tersebut marah dan juga berniat ingin membunuh
Markus serta pengawalnya di kebon tebu. Sejak saat itu Sakera pun menjadi buronan polisi
pemerintah Hindia Belanda.

Sakera berkunjung ke rumah ibunya, disanalah ia dikeroyok oleh carik Rembang dibantu
polisi Belanda. Karena ibu Sakera diancam akan dibunuh maka Sakera ahirnya menyerah, Sakera
pun masuk penjara Bangil. Siksaan demi siksaan dilakukan polisi belanda kepada sakera setiap
hari. selama dipenjara Pak Sakera selalu kangen dengan keluarga dirumahnya, Sakera memiliki
istri yang sangat cantik bernama Marlena dan seorang keponakan bernama Brodin. Berbeda
dengan Sakera yang berjiwa besar, Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi dan
sembunyi-sembunyi mengincar Marlena istri Sakera. Berkali kali Brodin berusaha untuk
mendekati Marlena. Sementara Sakera ada dipenjara, Brodin berhasil berselingkuh dengan
Marlena. Ketika kabar itu sampai di telinga Sakera maka Sakera marah dan kabur dari penjara.
Brodin pun tewas dibunuh Sakera. Kemudian Pak Sakera melakukan balas dendam secara
berturut turut, dimulai Carik Rembang dibunuh, dilanjutkan dengan menghabisi para petinggi
perkebunan yang memeras rakyat. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tanganya dengan
senjata khas ’Clurit’ nya ketika mencoba menangkap Sakera.

cara yang licik pula Polisi Belanda mendatangi teman seperguruan sakera yang bernama
Aziz untuk mencari kelemahan Pak Sakera. Dengan iming-iming akan diberi imbalan kekayaan
oleh Government Belanda di Bangil Aziz menjebak Sakera dengan mengadakan tayuban, karena
tahu Sakera paling senang acara tayuban akhirnya Sakera pun terjebak dan dilumpuhkan ilmunya
degan pukulan BAMBU APUS. Lagi-lagi belanda berhasil mernangkap kembali Pak Sakera
yang kemudian diadili oleh Government Bangil dan diputuskan untuk dihukum gantung. Sakera
gugur DIGANTUNG di penjara Bangil dan Ia dimakamkan di Bekacak, Kelurahan Kolursari,
daerah paling selatan Kota Bangil.

Keluarga Sakerah yang tersisa menurut sumber informasi kerabat dekat dan
keturunannya, keluarga Sakerah masih ada sebagian besar di wilayah Pasuruan, Tampong,
Bangil, Rembang, Surabaya, mengingat situasi politik belanda yang menganggap Sakerah adalah
extremis, maka sebagian keluarganya menjauhkan diri dari nama Extremis Sakerah maka kerabat
12 | P a g e
Sakera dikucilkan oleh masyarakat pada waktu itu, namun telah menyebar ke beberapa kota di
Nusantara, Di antaranya seorang lulusan IPB (Institute Pertanian Bogor) dan pernah menjadi
Deputi di Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal asal Bangil, dan ada juga menjadi tokoh
desa yang berpengaruh Mantan Kepala desa oro-orombo kulon Kecamatan Rembang, Tokoh di
daerah Sukolipuro desa Dermo Bangil (Alm. Iskandar HadiKaslar, Pejuang, Pendidik PNS,
Ustadz di Pesantren Bangil), Pengrajin kuningan di Trowulan Mojokerto, sementara sebagian
besar ada di dusun nganglang, Tampong, Lumpang Bolong. Menurut info keluarga dekat cucu
keturunan dari (alm) keluarga mbah Li’an (Tanah Merah), (Alm) Mbah Sholeh (Suwayowo
Pandaan), (Alm) Arum Nganglang, (Alm) Mbah Aris Bangil.

Nama legenda Pak Sakerah sebenarnya adalah seorang kelahiran Bangil (di Pasuaruan) di
kelurahan Raci berdarah Madura. Ia berjuang melawan penjajahan Belanda di perkebunan tebu
Kancil Mas Bangil sekitar permulaan abad ke-19.

Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau
dua keluarga besar. Bahkan antarpenduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan
Pamekasan. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan,
rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.

Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad
14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa
pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M
tidak ada istilah carok.

Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda,
yaitu pada abad ke-18 M hingga menjadi Tradisi di Pulau Madura. Setelah Pak Sakerah
tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, orang-orang di Jawa Timur mulai berani
melakukan perlawanan pada Belanda. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian
melakukan perlawanan. Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari kalau pelawanan tersebut
dihasut oleh Belanda.

Tradisi warisan leluhur mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang
menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda

13 | P a g e
itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu. Pada saat carok mereka
tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura
zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.

Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak
citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak
dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam.

Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah
Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.
Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi
filosofi hidupnya, bahwa bila ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya
selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga
diri, Istilah khas nya di Jawa Timur dan Madura, “daripada putih mata lebih baik putih tulang”
artinya, “lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu”. Maka tidak heran jika
terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang
Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun
secara massal.

Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga
menggunakan celurit. Kondisi semacam itu akhirnya memasyarakat bagi para keturunan orang
Jawa Timur dan Madura di Jawa Timur, di Kalimantan, di Sumatra, di Irian Jaya, di Sulawesi
mengecap orang Madura suka carok, suka kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak
tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit. Padahal sebenarnya tidak
semua masyarakat Madura demikian. Inilah akibat dari Warisan kolonial Belanda.

Sesungguhnya masyarakat Madura memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata
lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan
sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri, Leluhur mereka bertujuan melawan kolonial
penjajahan Belanda di Tanah Jawa Timur dan Pulau Madura. Setelah sekian tahun penjajah
Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok yang selalu menggunakan celurit untuk
menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan.

14 | P a g e
Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bahwa
sesungguhnya adalah Warisan Kolonial Belanda hasil rekayasa Kolonial Belanda. Celurit pun
pada akhirnya tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Madura, Jawa Timur.
Senjata tajam yang berbentuk melengkung ini begitu melegenda. Sejak peristiwa Sakera dahulu
hingga sekarang, hampir setiap orang di Tanah Air mengenal senjata khas dari Madura ini.
Kepopulerannya celurit kerap diidentikkan dengan berbagai tindak kriminal, bahkan celurit juga
digunakan oleh massa saat terjadi kerusuhan, tauran maupun demonstrasi di pelosok Nusantara
untuk menakuti lawannya, boleh jadi pada akhirnya begitu. Mendengar kata Madura, dalam
benak sebagian orang bakal terbayang alam yang tandus, wajah yang keras dan perilaku
menakutkan. Kesan itu seolah menjadi benar tatkala muncul kasus-kasus kekerasan yang
menggunakan celurit dengan pelaku utamanya orang Madura, padahal sesungguhnya adalah
setingan Belanda.

Kendati demikian tak semua orang mengetahui sejarah dan proses sebuah celurit itu
dibuat hingga dikenal luas. Di tempat asalnya, celurit pada mulanya hanyalah sebuah arit. Petani
menggunakan arit untuk menyabit rumput di ladang dan membuat pagar rumah. Dalam
perkembangannya, arit itu diubah menjadi alat beladiri yang digunakan oleh rakyat jelata ketika
menghadapi musuh.

Pendapat D. Zawawi Imron.

Seniman sekaligus budayawan Madura menuturkan, “Kalangan rakyat kecil


memperlakukan celurit sebagai senjata tajam biasa. Dengan kata lain, celurit itu bukan dianggap
senjata sakti. Kini, masyarakat Madura masih memandang celurit sebagai senjata yang tak
terlepas dari kehidupan sehari-hari. Tak mengherankan, bila pusat kerajinan senjata tajam itu
banyak bertebaran di Pulau Madura”.

Tersebutlah sebuah desa kecil bernama Peterongan. Kampung ini terletak di Kecamatan
Galis, sekitar 40kilometer dari Kabupaten Bangkalan. Di sana, sebagian besar penduduk
menggantungkan hidupnya sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit. Keahlian mereka adalah
warisan leluhur sejak ratusan tahun lampau. Tak salah memang, bila desa ini menjadi kondang.
Maklum, celurit buatan para perajin di Desa Peterongan itu dikenal kokoh dan halus
pengerjaannya.

15 | P a g e
Seorang di antara mereka adalah Salamun. Siang itu, lelaki berusia 54 tahun ini menemui
Sunarto utusan dari sebuah padepokan silat terkenal di Kecamatan Kamal, Bangkalan. Sunarto
pun meminta Salamun mengerjakan sebilah celurit berjenis bulu ayam.

Bagi Salamun, membuat celurit adalah bagian dari napas kehidupannya. Celurit tak
hanya sekadar dimaknai sebagai benda tajam yang digunakan untuk melukai orang. Akan tetapi
celurit adalah karya seni yang mesti dipertahankan dari warisan leluhurnya. Pagi itu, Salamun
didampingi putranya berbelanja membeli besi tua yang berada di sudut Desa Peterongan. Di
antara tumpukan besi itu, Salamun memilih besi bekas rel kereta api dan per bekas jip sebagai
bahan baku membuat celurit pesanan Sunarto. Besi pilihan itu lantas dibawa menuju bengkel
pandai besi miliknya yang berada tak jauh dari halaman rumahnya. Batangan besi tersebut
kemudian dibelah dengan ditempa berkali-kali untuk mendapatkan lempengannya. Setelah
memperoleh lempengan yang diinginkan, besi pipih itu lantas dipanaskan hingga mencapai titik
derajat tertentu. Logam yang telah membara itu lalu ditempa berulang kali sampai membentuk
lengkungan celurit yang diinginkan.

Dengan dibantu ketiga anaknya, Salamun membuat celurit pesanan padepokan silat
tersebut dengan penuh ketelitian. Sebab dia memandang celurit harus mencirikan sebuah karya
seni. Tak sekadar sepotong besi yang ditempa berkali kali, melainkan harus memiliki arti dan
makna bagi yang memilikinya. Lantaran itulah, sebelum mengerjakan sebilah celurit, Salamun
biasa berpuasa terlebih dahulu. Bahkan saban tahun, tepatnya pada bulan Maulid, Salamun
melakukan ritual kecil di bengkelnya. Menurut Salamun, ritual ini disertai sesajen berupa ayam
panggang, nasi dan air bunga. Sesajen itu kemudian didoakan di musholla, setelah itu, air bunga
disiramkan ke bantalan tempat menempa besi. Kalau ada yang melanggar (mengganggu), ia akan
mendapatkan musibah sakit-sakitan,” ucap Salamun.

Keahlian pak Salamun membuat celurit tak bisa dilepaskan dari warisan orang tua dan
leluhur kakeknya. Semenjak kecil dirinya sudah dilibatkan cara membuat celurit yang benar.
Salamun mengungkapkan, buat mengerjakan sebuah celurit besar, dibutuhkan waktu sekitar dua
hingga empat hari. Adapun harga celurit tergantung dari bahan dan ukuran motifnya. Celurit
paling murah dilepas seharga Rp 100.000.

16 | P a g e
Pria itu termasuk produktif. Betapa tidak, sudah ribuan celurit yang dihasilkan dari
tempaan Salamun. Namun kini, Salamun lebih berhati-hati menerima pesanan celurit. Dia
beralasan, banyak orang yang tak memahami filosofi celurit. Minimnya pemahaman inilah yang
mengakibatkan celurit lebih banyak digunakan untuk tindak kejahatan. Sebaliknya, bagi yang
mengerti, celurit itu tentunya digunakan lebih berhati-hati. Pendapat itu memang beralasan.
Soalnya celurit juga diartikan sebagai lambang ksatria. Dan, bukan malah untuk sembarang
menyabet orang.

Di Madura, banyak dijumpai perguruan pencak silat yang mengajarkan cara


menggunakan celurit. Satu di antaranya Padepokan Pencak Silat Joko Tole, pimpinan
Hasanuddin Buchori. Perguruan ini mengambil nama dari seorang ksatria asal Sumenep. Kala itu
Madura dibagi menjadi dua wilayah kerajaan besar, yaitu Madura Timur di Sumenep dan
Madura Barat di Arosbaya Bangkalan. Adapun peninggalan Kerajaan Madura Barat masih
terlihat dalam situs makam-makam kuno di Arosbaya. Perguruan yang banyak mengorbitkan
atlet pencak silat nasional itu secara rutin berlatih meneruskan cita-cita dan semangat leluhurnya,
Joko Tole. Padepokan Silat Joko Tole selama ini cukup kesohor di kalangan pencak silat di
Tanah Air. Terutama dalam mengajarkan penggunaan senjata tradisional celurit. Walaupun
hanya sebuah benda mati, celurit memiliki beragam cara penggunaannya. Ini tergantung dari niat
pemakainya.

Di Perguruan Joko Tole, misalnya. Celurit tidak sekadar diajarkan untuk melumpuhkan
lawan. Namun seorang pemain silat harus memiliki batin yang bersih dengan berlandaskan
agama. Sebagian masyarakat menganggap celurit tak bisa dipisahkan dari tradisi carok yang
dianut oleh sebagian orang Madura. Sayang, hingga kini, belum satu pun peneliti yang bisa
menjelaskan awal mula carok menjadi bagian hidup orang Madura.

Pada dasarnya carok biasa dilakukan ketika seseorang merasa dipermalukan dan harga
dirinya dilecehkan. Maka, penyelesaian yang terhormat adalah dengan berduel secara ksatria satu
lawan satu. Latar belakang perkelahian seperti itu diakui Zawawi Imron.

Budayawan ini menerangkan, ada adigium Madura yang mengatakan: Dibandingkan


dengan “Putih mata lebih bagus putih tulang”. Artinya, “Daripada hidup malu lebih baik mati”.
Dengan kata lain, ketika orang Madura dipermalukan, maka ia berbuat pembalasan dengan

17 | P a g e
melakukan carok terhadap yang menghinanya itu. Namun dalam perkembangannya, arti carok
sendiri menjadi tidak jelas. Terutama bila dihubungkan dengan “nyelep”, yakni menyerang
musuh dari belakang atau ketika lawan sedang lengah. Dan, hal itu semakin tidak jelas manakala
banyak kasus kekerasan yang bermotifkan sosial ekonomi.

Jadi, untuk mengubah stereotip itu, orang Madura harus melawan kebodohan dan
ketertinggalan. Ini seperti kerinduan budayawan sekaligus penyair Madura Zawawi Imron dalam
puisi berjudul Celurit Emas:

Bila musim melabuh hujan tak turun

Kubasahi kau dengan senyutku.

Bila dadamu kerontang,

Kubajak kau dengan tanduk logamku.

Diatas bukit garam kunyalakan otakku.

Lantaran aku tahu,

Akulah anak sullung yang sekaligus anak bungsumu.

Aku berani mengejar ombak.

Aku terbang memeluk bulan.

Dan memetik gemintang di ranting-ranting roh nenek moyangku.

Di bubung langit kuucap sumpah.

Madura, akulah darahmu.

(Tradisi Lisan; dari berbagai sumber).

Sejarah Carok – MADURACORNER.com

5.3 Penyebab terjadinya carok

18 | P a g e
Carok biasanya terjadi karena usaha untuk mempertahankan harga diri. Ada istilah yang
dijunjung tinggi di Madura yaitu “harga diri dibawa mati”.

Maka dari itu harga diri menjadi hal yang harus di pertahankan, termasuk dengan cara “Carok”.

Berikut beberapa penyebab carok yang sering terjadi:

1. Warisan

Warisan dianggap sebagai hal yang sensitive. Di Madura, biasanya warisan diselesaikan
dengan cara kekeluargaan. Dan umumnya hal ini selalu bisa meyelesaikan. Namun ada
juga walaupun sedikit masalah warisan yang menimbulkan sengketa. Jika tidak juga
diselesaikan ada yang mengakhirinya dengan carok. Namun sekali lagi, itu sangat
jarang terjadi.

2. Balas dendam

Carok biasanya sering dilanjutkan dengan carok-carok lain untuk balas dendam. Jika
ada orang yang meninggal karena carok, biasanya ada anggota keluarga lain untuk
membalasnya. Mereka tidak peduli apakah nanti akan menjadi korban atau masuk
penjara. Karena dua hal itulah konsekuensi yang dengan sadar mereka akui. Bahkan ada
orang-orang yang dengan sengaja keluar negeri hanya untuk mengejar pembunuh salah
satu anggota keluarga mereka yang kabur ke negeri orang.

Ada istilah "dere ebeles dere" (darah dibalas darah)

3. Selingkuh

Jangan sekali-kali menggoda istri orang di Madura, karena balasannya adalah dengan
carok. Bagi mereka istri adalah kehormatan yang harus dijaga.

Perempuan menempati kedudukan pertama sebagai penyebab terjadinya carok karena


masyarakat Madura memiliki arti sendiri terhadap perempuan. Perempuan, utamanya
istri dianggap sebagai harta dan simbol seks yang harus dipertahankan. Jika sang istri
berselingkuh, maka hal tersebut menjadi pelecehan harga diri bagi suaminya.

19 | P a g e
"Kalau sampai perempuan berselingkuh dan sebagainya, sama saja menunjukkan
ketidakmampuan suaminya untuk melayani sang istri. Perempuan menjadi simbol
keperkasaan dari laki-laki Kalau perempuannya selingkuh berarti laki-lakinya tidak
perkasa," tutur Ratna.

Meski istrinya yang berselingkuh, namun masyarakat Madura tidak melukai istrinya
tetapi pria lain tersebut. Hal ini dikarenakan perempuan memiliki kedudukan yang
tinggi dalam masyarakat Madura. Dalam budaya patriarkis, perempuan Madura
memang tidak memiliki kedudukan sejajar dengan laki-laki. Namun, mereka cukup
dihargai untuk menjadi harta berharga yang tidak boleh direbut atau disakiti oleh orang
lain.

"Jadi ada melekat simbol seksual. Keperkasaan laki-laki itu diuji pada perempuan,
bagaimana ia melindungi, bagaimana ia bisa memuaskan istrinya supaya istrinya tidak
selingkuh."

Ini Penyebab Carok yang Bikin Kamu Mengelus Dada (akurat.co)


4. Cemburu
Cemburu kadang juga berujung carok. Namun hal ini sangat jarang terjadi. Apalagi
cemburu biasanya tidak ada bukti yang jelas.
5. Santet
Seperti yang terjadi kemarin di Sampang yang disebut terjadinya carok massal akibat
isu santet. Namun hal ini sangat jarang terrjadi. Apalagi saat ini santet sudah jarang
ditemukan. Dan biasanya hanya isu.
Ini Penyebab Carok yang Bikin Kamu Mengelus Dada (akurat.co)
5.4 Prasyarat Carok
Persiapan untuk melakukan carok, termasuk memenuhi 3 syarat utama, yaitu kadigdajan,
tampeng sereng, dan banda. (Wiyata, 2002: 45). Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Kadigdajan (kapasitas diri) adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapan
diri secara fisik dan mental. Prasyarat fisik dapat berupa penguasaan teknik bela diri.

20 | P a g e
Prasyarat mental, pengertiannya lebih terkait dengan apakah orang tersebut punya
nyali, angko (pemberani), ataupun juga jago.
2. ampeng sereng, menyangkut kepemilikan kekuatan yang diperoleh secara non-fisik,
seperti membentengi diri sehingga kebal terhadap serangan musuh. Untuk maksud
ini, pelaku carok meminta bantuan seorang “kiai”, yang akan melakukan “pengisian”
mantra-mantra ke badan pelaku carok. Aktifitas berkunjung ke seorang ”kiai” ini
disebut nyabis.
3. Prasyarat ketiga adalah tersedianya dana (banda). Dalam konteks ini, carok
mempunyai dimensi ekonomi, karena carok membutuhkan banyak biaya. Biaya
diperlukan antara lain untuk melakukan persiapan mental dengan menebus mantra-
mantra yang diperlukan, dan membeli celurit dengan kualitas nomor satu, dan juga
diperlukan sebagai persiapan untuk menyelenggarakan kegiatan ritual keagamaan
bagi pelaku carok yang kemungkinan terbunuh (selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari,
hingga 1000 hari sejak kematian). Selain itu, juga untuk biaya hidup sanak keluarga
(istri dan anak) yang kemungkinan ditinggal mati atau ditinggal masuk penjara.
Untuk pelaku carok yang masih hidup, maka dana dibutuhkan untuk nabang, yaitu
merekayasa proses peradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum-
oknum aparat peradilan agar hukuman menjadi ringan, atau mengganti terdakwa
carok dengan orang lain.

5.5 Tata cara Carok


Carok dapat dilakukan secara ngonggai (menantang duel satu lawan satu), atau nyelep (menikam
musuh dari belakang). Di zaman awal kemunculannya, carok banyak dilakukan dengan cara
ngonggai. Semenjak dekade 1970-an carok lebih banyak dilakukan dengan cara nyelep. Dengan
adanya kebiasaan melakukan carok dengan cara nyelep maka etika yang bermakna kejantanan
bergeser menjadi brutalisme dan egoisme.

Menurut Fakhruddin, dkk. (1991: 86), meskipun semua pelaku carok langsug menyerahkan diri
kepada aparat kepolisian, hal ini bukan berarti suatu tindakan jantan (berani bertanggungjawab
atas tindakannya) melainkan suatu upaya untuk mendapatkan perlindungan dari aparat kepolisian

21 | P a g e
terhadap serangan balasan keluarga musuhnya. Dan hal itu kemudian tidak mencerminkan
kejantanan sama sekali ketika proses rekayasa peradilan dilakukan melalui praktek nabang.
Budaya Carok (Sang Legenda Pak Sakera) - Kompasiana.com

5.6 Penyelesaian sengketa melalui carok


Secara umum, dipersepsikan persengketaaan akan muncul karena adanya konflik antara
seseorang sebagai penggugat melawan orang lain sebagai tergugat. Dan masingmasing pihak
yang bersengketa kurangnya buktibukti dan saksisaksi sehingga tidak mungkin untuk di
selesaikan kejalur peradilan. Oleh sebab itu pihak yang bersengketa, hanya bisa bicara,
bersikukuh pada dalil masingmasing dan tidak mempunyai yang lengkap untuk mencari fakta
yang benar, maka mereka menyelesaiakan sengketa melalui sumpah pocong. Bahwa
persengketaan masalah harta waris, tanah, persaingan bisnis, utang piutang dan gangguan
terhadap istri pada orang Madura diselesaikan melalui Carok.Namun tidak semua persengketaan
itu diselesaikan melalui kekerasaan dalam hal ini Carok. Untuk mempertahankan harga diri dan
kehormatan, bisa dilakukan dengan jalan persahabatann dan perdamaian yaitu melalui sumpah
pocong sebagai upaya penyelesaian sengketa. Pelaksanaan sumpah pocong selalu dilaksanakan
di Masjid. Pada faktanya, pelaksanaan sumpah pocong selalu di Masjid karena akan menambah
keyakinan bagi orang yang di sumpah dan memiliki keampuhan dari sumpah pocong
tersebut.Sumpah pocong pada masyarakat Madura dalam menyelesaikan sengketa memiliki
makna, sehingga hal ini sangat mempengaruhi pelaksanaannya. Dalam memaknai sesuatu
peristiwa seperti sumpah pocong, maka pengertian makna itu sendiri adalah nilai yang digunakan
sebagai pedoman oleh seseorang atau masyarakat untuk berprilaku, hal ini biasanya diikuti
dengan suatu tuntutan emosional. Secara emosional seseorang atau suatu masyarakat merasa
perilaku tertentu adalah benar dan perilaku yang lain salah.(M.Fauzi.S, 2008)

6. Dinamika Carok zaman dahulu dan sekarang


Carokpada masa lalu, merupakan perang tanding antara satu orang melawan satu orang atau
lebih. Sebelum perang tanding, masingmasing mengadakan perjanjian mengenai penentuan
tempat arenanya, hari dan waktunya. Setelah disepakati, mereka melapor kepada penguasa
setempat untuk Carok. Arena Carok itu diberi tanda berupa bendera dan disaksikan banyak

22 | P a g e
orang. Usai membunuh musuhnya, pelaku tidak kabur, tapi dengan celurit yang masih menempel
darah segar, pelaku melapor kepada aparat untuk menyerahkan diri.

Sedangkan Carok yang terjadi sekarang tidak lagi saling berhadaphadapan tapi mencari
kelengahan musuhnya untuk melampiaskan niatnya. Usai membunuh pelaku juga melarikan diri.
“Memang ada satu, dua orang yang melapor ke petugas, tapi itu jarang terjadi. Malah yang lebih
banyak kabur menyelamatkan diri.Walau pelaku sudah dihukum berat lebih 10 tahun, tidak
membuat kapok pelakunya. Dikatakan, yang paling memicu timbulnya Carok, manakala harga
diri dipermalukan.

Dengan perkembangannya, Carok tidak bisa hanya dipahami sebagai sebuah institusi yang hanya
menekankan aspek kekerasan. Pada suku ini, tindakan kekerasan mendapat pembenaran secara
kultural dan bahkan mendapat persetujuan sosial jika tindakan itu bertujuan mempertahankan
harga diri dan kehormatan. Pada pertengahan tahun 2006 lalu, kita dikejutkan dengan adanya
berita tentang terjadinya “Carok” di Pamekasan yang menakibatkan tujuh orang tewas terkena
sabetan celurit Carok merupakan tradisi bertarung satu lawan satu dengan menggunakan senjata
(biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena Carok merupakan
tindakan yang dianggap negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara suku
Madura dalam mempertahankan harga diri dan “keluar” dari masalah yang pelik(M.Kamiluddin,
2009).

Banyak yang menganggap Carok adalah tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran agama
meski suku Madura sendiri kental dengan agama Islam pada umumnya tetapi, secara individual
banyak yang masih memegang tradisi Carok. Kata Carok sendiri berasal dari bahasa Madura
yang berarti ‘bertarung dengan kehormatan’. Biasanya, “Carok” merupakan jalan terakhir yang
di tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya
terjadi jika menyangkut masalahmasalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang
Madura (sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan
keluarga).

Dinamika Carok pada Zaman Dahulu – MADURACORNER.com

7. Relasi budaya carok dengan hukum positif

23 | P a g e
Antara Adat mempunyai sendiri hukum yang berlaku bagi masyarakat adatnya dan ada
hukumadat yang berlaku bagi masyarakat adat yang dikokohkan oleh undang-undang yaitu hak
ulayat yang masih diakui sampai sekarang dan mempunyai peraturan sendiri. Hak ulayat ini
dikokohkan oleh hukum positif karena nilainya dianggap baik bagi dan masih sesuai dengan
perkembangan jaman modern ini, namun tidak untuk budaya carok, nilai dari budaya carok
sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan dinilai tidak berprikemanusiaan. Masih
melekatnya budaya carok ini menyebabkan adanya perubahan social yang terjadi di Madura
dan sekitarnya. Dalam beberapa dasawarsa terakhir carok meningkat dalam lintasan criminal,
Madura merupakan tempat kediaman dari sejumlah preman yang beroprasi di Surabaya.
Dikarenakan kekerasan dianggap sebagai suatu hal yang biasa dilakukan. sehingga kekerasan
menjadi cara hidup yang telah diterima karena adanya perubahan yang disebabkan oleh
kebudayaan yaitu kebudayaan carok tadi. Karena maraknya kekerasan fisik ini sehingga tingkat
kriminalitas bertambah dan mau tak mau hukum yang ada harus mampu mengakomodir budaya
carok ini. Budaya carok dapat dikatakan sebagai adu duel bisa satu lawan satu atau kadang
kala terjadi keroyokan karena carok masal yang disebutkan diatas. R. Soesilo dalam bukunya
yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal (merujuk pada Penjelasan Pasal 182 KUHP) menjelaskan bahwa
undang- undang tidak memberikan definisi apa yang dinamakan “berkelahi satu lawan satu”
itu. Menurut pengertian umum, lanjut Soesilo, maka “berkelahi satu lawan satu” itu adalah
perkelahian dua orang dengan teratur, dengan tantangan lebih dahulu, sedangkan tempat,
waktu, senjata yang dipakai, siapa saksi-saksinya ditetapkan pula. Perkelahian ini biasanya
disebut “duel”. Perkelahian meskipun antara dua orang, apabila tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut, tidak masuk dalam pasal ini

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yaitu Bab VI KUHP tentang
Perkelahian Satu Lawan Satu. Terkait perkelahian satu lawan satu yang mengakibatkan salah
satu terluka, tindakan tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 184 ayat (2) atau Pasal 184
ayat (3) KUHP (bergantung pada luka yang diakibatkan adalah luka berat atau tidak): • Pasal
184 (1) Seseorang diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, jika ia
dalamperkelahian satu lawan satu itu tidak melukai tubuh pihak lawannya. (2) Diancam dengan
pidana penjara paling lama satu tahun dan empat bulan, barang siapa melukai tubuh lawannya.

24 | P a g e
(3) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barang siapa melukai berat
tubuh lawannya. (4) Barang siapa yang merampas nyawa lawannya, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun, atau jika perkelahian satu lawan satu itu dilakukan dengan
perjanjian hidup atau mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (5)
Percobaan perkelahian satu lawan satu tidak dipidana. Dan dapat apabila diperhatikan dari
akibat yang dtimbulkan oleh carok dapat memenuhi unsur unsur yang ada pada pasal lain
sebagai berikut: • Pasal 338 (pembunuhan) “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”. • Pasal 340 (pembunuhan berencana) “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan
rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun” . • Pasal 351 (penganiayaan) (1) Penganiayaan dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyaknya-banyaknya
empat ribu lima ratus ribu rupiah.

Carok berada dipersimpangan jalan antara tradisi yang harus dilakukan demi membela harga diri
dan carok sebagai suatu bentuk kejahatan dengan kekerasan yang sangat meresahkan
masyarakat, sekaligus tindakan yang tidak akan dibenarkan oleh negara karena tergolong
tindakan main hakim sendiri (eigenrichting). Apabila terjadi pertentangan antara hukum negara
(State Law) dengan hukum yang ada dalam suatu masyarakat (Folk Law), selama kebudayaan
(Tradisi) tidak bertentangan dengan hukum positif Indonesia maka maka pelaksanaannya bisa
diteruskan dan dilestarikan. Bagaimana dengan Carok, dalam tulisan ini akan diungkap
kaitannya dengan sosiologi hokum dan perkembangan masyarakat madura dewasa ini.
Persoalan Martabat (harga diri) dan perasaan malo dalam tradisi carok, merupakan faktor pemicu
utama orang Madura melakukan carok. Bagi orang Madura, menanggung beban malu (malo)
merupakan pantangan yang harus disingkirkan. Tindakan carok merupakan manifestasi dari
upaya membela dan menjaga harga diri dengan jalan kekerasan fisik. Dalam konteks ini
ungkapan ango’an poteya tolang etembeng poteya mata, yang artinya lebih baik mati dari pada
hidup harus menanggung malu. Martabat (harga diri) di mata orang Madura sangatlah penting
dan posisinya menjadi bagitu sentral ketika dikaitkan dengan tradisi carok, setiap pengingkaran
terhadap terhadap harga diri akan menjadi persoalan krusial, yang dapat juga dimaknai sebagai

25 | P a g e
bentuk pelecehan Dalam perkembangannya, faktor lain yang dapat memicu terjadinya carok
adalah sengketa Pertanahan, tanah juga menentukan harga diri orang Madura, nilai tanah akan
semakin besar bagi kehidupan orang Madura jika di dalam tanah tersebut dikubur para leluhur
mereka. Di daerah pedesaan Madura, leluhur dan kerabat keluarga yang telah meninggal,
biasanya dikubur di sekitar pekarangan rumah, sebagai manfestasi ikatan yang kuat dengan
leluhur. Tanah di Madura merupakan unsur yang dapat menimbulkan konflik sosial atau carok.
Konflik demikian biasanya, timbul berkaitan dengan pembagian waris keluarga. Jika terjadi
carok antar kerabat keluarga dapat dipastikan bahwa penyebab utamanya adalah pembagian
warisan keluarga.12sebab-sebab lain yang dapat menggangu harga diri orang Madura selain
masalah kehormatan perempuan, tanah, dan leluhur adalah masalah air, penghinaan terhadap
agama dan pelecehan terhadap anggota keluarga terutama di depan umum. Sejak awal menurut
Hukum Pidana (KUHP) bahwa penghinaan yang merusak nama baik keluarga dan harga diri
seseorang ataupun perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh terhadap wanita yang mendatangkan
aib kelurga haruslah direaksi dengan pengaduan kepada Aparat Penegak Hukum yang dalam hal
ini Kepolisian Republik Indonesia. Jadi tidak jalan dengan proses pemulihan lewat tindakan
sendiri. Bagaimanapun masyarakat Madura adalah bagian dari masyarakat Republik Indonesia
yang mempunyai hukum yang mengatur secara Nasional.
Meskipun carok mendapat legitimasi masyarakat Madura namun sekuat apapun
legitimasi tersebut tetaplah harus tunduk kepada ketentuan hukum nasional dalam hal ini
ketentuan pidana yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana. sehingga walaupun
nantinya secara sosiologis carok mendapat pengakuan namun dari segi aspek yuridis carok tetap
masuk pada salah satu pelanggaran hukum pidana kita. Disamping itu “Carok” dapat
dikatagorikan sebagai suatu tindakan pidana (delik) terhadap nyawa dan badan orang. bahkan
dapat dikualifikasikan sebagai pembunuhan berencana karena memenuhi unsur-unsur dari pasal
340 KUHPidana yaitu (1) Adanya unsur “Kesegajaan” dalam hal ini terbukti adanya kehendak
melakukan carok atau mereka menghendaki untuk melakukannya, apalagi mereka sampai
membawa senjata tajam; (2) Adanya unsur yang “ direncanakan terlebih dahulu” perbuatannya..
Hal ini karena carok mempunyai suatu jangka waktu tertentu atau tempo yaitu dari awal
timbulnya masalah sampai pelaksanaan dimana para pelaku telah mempertimbangkan secara
tenang tentang kemungkinan-kemungkinan dan akibat tindakannya; (3) Adanya unsur yaitu
“Menghilangkan nyawa orang lain” sebab maksud mereka (para pelaku) melakukan carok adalah

26 | P a g e
ditujukan kepada orang lain dan membunuh orang lain tersebut (pihak lawan). 15 Selain itu
carok dapat pula dikategorikan ke dalam kejahatan terhadap badan (Pasal 354 KUHP ) dengan
unsurunsurnya: (1) Dengan sengaja melukai orang lain, yaitu kemungkinan akibat yang
ditimbulkan carok salah satunya adalah luka berat, (2) Melukai berat orang lain tersebut terutama
adalah merupakan maksud atau niat dari para pelaku Carok, (3) Atau penganiayaan berat yang
dilakukan menyebabkan orang lain meninggal.
CAROK_VS_HUKUM_PIDANA_INDONESIA_Proses_Transformas.pdf

D. KESIMPULAN
1. Bahwa tidak semua adat istiadat bisa dikategorikan dan menjadi sebuah hukum adat,
terkecuali memenuhi syarat-syarat tertentu. Perbedaan antara adat istiadat dan hukum
adat berada pada sanksi yang diberikan.
2. Bahwa carok itu sudah tidak relevan sebagai sarana penyelesaian sengketa karena tidak
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-
undang, dan hal tersebut tercantum pada Pasal 18B ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945.

27 | P a g e
28 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai