Anda di halaman 1dari 11

Apakah prinsip yang diajarkan Kitab Suci akan adanya Purgatorium?

Walaupun kata Purgatorium atau Api Penyucian, tidak secara eksplisit tertulis dalam
Kitab Suci, namun keberadaannya diajarkan dalam Kitab Suci. Ini seperti kata
Trinitas dan Inkarnasi juga tidak ada dalam Kitab Suci, namun prinsip tentang kedua
hal itu diajarkan dalam Kitab Suci dan kita umat Kristiani mengimaninya.
Purgatorium/Api Penyucian ada karena keadilan dan kasih Allah. Beberapa prinsip
yang diajarkan dalam Kitab Suci, yang menunjukkan adanya Penyucian ini:

(1) Kita diselamatkan karena kasih karunia Allah, oleh iman yang diwujudkan
dalam perbuatan kasih. Tapi tak semua orang sempurna di dalam kasih saat
wafatnya, maka keadilan dan belas kasih Allah mensyaratkan adanya
pemurnian setelah kematian.
Sabda Tuhan mengajarkan bahwa kita diselamatkan karena kasih karunia Allah oleh
iman yang bekerja oleh kasih (lih. Ef 2:8; Tit 2:11, 3:7), yang bekerja oleh perbuatan
kasih (Gal 5:6), sebab tanpa perbuatan, iman itu mati (lih. Yak 2:17, 24, 26), dan tak
dapat menyelamatkan.
Jika orang meninggal dalam keadaan kudus (sempurna dalam kasih) maka jiwanya
langsung bersatu dengan Allah di Surga. Tapi kalau seseorang itu meninggal namun
belum kudus/ belum sempurna dalam kasih, ia belum dapat langsung melihat Tuhan
(lih. Ibr 12:14). Karena sabda Tuhan mengatakan bahwa tak ada sesuatu yang cemar
dapat masuk ke dalam Kerajaan-Nya (lih. Why 21:27). Dalam keadaan ini, ia masih
perlu dimurnikan sebelum dapat memandang Allah, dan pemurnian ini disebut Api
Penyucian.
Pengingkaran akan adanya proses pemurnian akhir/Api Penyucian, juga berarti
pengingkaran akan Allah yang akan mengadili kita sesuai dengan perbuatan kita (Why
20:12; 22:12) sekaligus juga pengingkaran akan kasih dan kekudusan-Nya yang tidak
dapat dicemari (lih. Why 21:27).
Jadi Api Penyucian/ Purgatorium ada karena keadilan dan belas kasih Allah. Sebab
jika yang ada hanya Surga dan neraka; hanya orang yang sempurna saja yang dapat
masuk Surga, maka sungguh sedikitlah jumlah orang yang dapat masuk Surga!
Syukurlah, Allah itu maharahim, maka orang-orang yang meninggal dalam keadaan
rahmat namun belum sempurna, tetap dapat masuk Surga, walaupun untuk itu
mereka perlu dimurnikan terlebih dulu.
(2) Kitab Suci memuji perbuatan kasih atas dasar iman yang dinyatakan dengan
mendoakan sesama yang telah meninggal dunia.
Yudas Makabe mempersembahkan korban penghapus dosa bagi sesamanya yang
sudah meninggal dunia. Ini hanya mungkin karena mereka percaya bahwa ada suatu
keadaan yang bukan Surga dan juga bukan neraka (2Mak 12:42-45). Sebab jiwa-jiwa
yang di Surga sudah sempurna, sehingga tidak lagi membutuhkan doa-doa kita.
Sebaliknya, jiwa-jiwa di neraka sudah tidak dapat didoakan, sebab mereka telah
memperoleh apa yang telah mereka pilih sendiri sebagai tujuan akhir hidup mereka.
Dengan demikian, tradisi mendoakan arwah secara tidak langsung mengacu kepada
adanya suatu keadaan lain, di mana jiwa-jiwa mengalami proses pemurnian setelah
kematian. Dalam proses ini, jiwa-jiwa tersebut membutuhkan dukungan doa-doa
dari sesama umat beriman—sebelum mereka dapat digabungkan dengan Allah dan
para kudus-Nya di Surga. Proses pemurnian setelah kematian inilah yang disebut
Purgatorium/Api Penyucian.

(3) Dosa selalu membawa konsekuensi.


Kitab Suci menyatakan adanya konsekuensi dalam setiap dosa yang dilakukan,
karena secara kodrati, dosa membuahkan sesuatu yang buruk.[1] Api Penyucian ada,
karena ada konsekuensi untuk setiap dosa yang telah kita lakukan semasa hidup di
dunia. Kitab Suci menyatakan hal ini: Adam dan Hawa yang melanggar perintah
Tuhan diusir dari Taman Eden (Kej 3), 2) Kain yang membunuh Habel (Kej 4), terbuang
jauh dari tanah asalnya. Musa dan Harun yang tidak taat, tak dapat masuk ke tanah
terjanji (Bil 20:2-13). Raja Daud yang berzinah dengan Batsyeba, dan lalu membunuh
Uria (2Sam 11 dan 12), dihukum Allah: anaknya dari perzinahannya dengan
Batsyeba, meninggal dunia. Bangsa Yehuda yang tidak setia kepada Tuhan,
mengalami masa pembuangan di Babel (598-538 SM), sampai penguasa dari Persia,
Raja Koresh, memberi izin kepada mereka untuk kembali ke Palestina (lih. 2Taw
36). Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa orang harus menanggung akibat dosa yang
dilakukannya, meskipun ia telah bertobat dan diampuni oleh Tuhan.

(4) Ada dosa berat, ada dosa ringan, dan dosa ringan ini dapat diampuni di
kehidupan yang akan datang.
Dalam Injil, Yesus mengatakan bahwa ada dosa yang tidak dapat diampuni di dunia
ini maupun di dunia yang akan datang (lih. Mat 12:32). Maka secara implisit, Yesus
menyatakan bahwa ada dosa yang dapat diampuni di dunia yang akan datang. Hal ini
tidak terjadi di Surga (di mana tidak ada dosa), dan juga bukan di neraka (di mana
tidak ada pengampunan). Maka ini menunjukkan adanya keadaan yang bukan Surga
dan bukan neraka, di mana ada dosa-dosa tertentu yang dapat diampuni. [Keadaan
ini yang dikenal dengan Api Penyucian] Namun ini tidak berarti bahwa ada
kesempatan untuk bertobat setelah kematian. Maksudnya adalah, ada dosa-dosa
tertentu yang jika belum sempat diakui semasa hidup di dunia, bisa diampuni setelah
orang itu meninggal. Dosa-dosa ini adalah dosa-dosa yang ringan (bukan dosa berat).
Dari mana kita tahu ada dosa ringan dan dosa berat? Dari Kitab Suci. Kitab Suci
menyatakan adanya dosa berat—yang mendatangkan maut—dan dosa ringan yang
tidak mendatangkan maut (lih. 1Yoh 5:16-17). Karena itu, Gereja Katolik
membedakan adanya dua jenis dosa, yaitu: dosa berat (mortal sin) dan dosa ringan
(venial sin).
Dosa berat merusakkan kasih dalam hati manusia; sedangkan dosa ringan
membiarkan kasih tetap ada, tetapi melukainya.[2] Orang melakukan dosa berat jika
tiga hal ini terpenuhi, yaitu: (1) yang obyeknya adalah urusan yang berat, (2) orang itu
tahu bahwa perbuatan dosa itu salah, (3) namun ia dengan sengaja memilih
melakukan dosa tersebut.[3] Orang yang melakukan dosa berat menolak baik
perintah Allah maupun Allah sendiri yang memberi perintah. Keadaan ini diperbaiki
melalui Baptisan dan sakramen Tobat. Baptisan memberikan pengampunan dosa
dan hidup baru dengan rahmat pengudusan di dalam Kristus. Namun demikian,
setelah dibaptis, orang tetap dapat jatuh dalam dosa berat, dan karena itu,
kehilangan rahmat pengudusan yang telah diterimanya saat Baptisan.[4] Jika keadaan
ini tidak diperbaiki sampai wafatnya, ia akan kehilangan kebahagiaan abadi, karena
memisahkan diri dari Allah. Keadaan ini dikenal dengan hukuman/siksa kekal di
neraka.[5] Sedangkan jika orang ini bertobat dan mengakui dosanya dalam Sakramen
Tobat, oleh rahmat pengampunan Allah, siksa kekal akibat dosa berat yang
dilakukannya diubah menjadi siksa sementara.[6] Baik siksa kekal maupun
sementara bukan merupakan ‘balas dendam’ dari Tuhan, tetapi karena kodrat dosa
itu sendiri,[7] yang berakibat buruk pada orang yang melakukannya.
Sedangkan orang yang melakukan dosa ringan, tidak secara langsung menolak Allah.
Ia masih memiliki kasih kepada Allah dan sesama, tapi melukai kasih itu karena
kecintaan yang berlebihan kepada benda-benda ciptaan, atau karena kegagalan
berbuat kebajikan- kebajikan tertentu. Kesalahan mereka menyangkut hal yang tidak
berat. Atau sekalipun berat, itu dilakukan tanpa pengetahuan penuh ataupun
kesadaran penuh. Dosa ringan tidak melenyapkan rahmat pengudusan, kasih dan
persahabatan dengan Allah, dan kebahagiaan abadi yang dijanjikanNya. Namun
demikian, dosa- dosa ringan tetap membawa konsekuensi, yaitu siksa dosa
sementara.[8]
adi siksa dosa sementara itu adalah 1) konsekuensi dari dosa berat yang sudah
diampuni, ataupun 2) konsekuensi dosa-dosa ringan. Siksa dosa sementara jika
belum sepenuhnya dilalui semasa hidup di dunia, akan dilanjutkan di kehidupan
setelahnya, yaitu di Api Penyucian.[9] Pemurnian ini sangat berbeda dengan siksa
dosa kekal,[10] sebab tujuannya ialah memurnikan jiwa untuk menyatukannya dengan
Allah dan bukan penghukuman yang memisahkannya dari Allah.

(5) Masa pemurnian terjadi sejak di dunia atau di Purgatorium atau di keduanya.
Allah memurnikan umat-Nya. Pemurnian itu dapat dialami: 1) saat seseorang masih
hidup di dunia—yaitu melalui sakit penyakit atau berbagai ujian hidup—maupun 2)
setelah berlalu dari kehidupan di dunia ini, yaitu di Purgatorium.[11]
(a) Allah menguji dan memurnikan umat-Nya dengan api dan
penderitaan. Pemurnian dengan api disebut di banyak ayat Kitab Suci: “Allah
memurnikan kami seperti memurnikan perak” (Mzm 66:10-12); “pengujian,
pemurnian” (Dan 11:35,12:10); “api yang memurnikan” (Za 13:9); “laksana emas
dalam dapur api”, (Keb 3:6); “Iman… diuji kemurniannya dengan api” (1Ptr 1:7). Api
merupakan gambaran akan Allah sendiri, sebagaimana Ia menampakkannya kepada
Musa (Kel 3:2), maupun kepada para rasul (Kis 2:3). “Allah kita adalah api yang
menghanguskan” (Ibr 12:29). Our God is a consuming fire.
Secara konkret, Allah memurnikan umat-Nya melalui penderitaan (“dapur
kesengsaraan” (Yes 48:10); “bersukacitalah dalam penderitaan…” (1Ptr 4:12-13);
kesengsaraan menimbulkan ketekunan… tahan uji… pengharapan (Rm 5:3-5).
(b) Pemurnian setelah kematian itu sesuai dengan perbuatan setiap orang
semasa hidupnya.
Perbuatan yang dimaksud di sini tidak terlepas dari iman. Paus Benediktus XVI
menjelaskan adanya tiga keadaan, yaitu: 1) orang yang semasa hidupnya selalu
menginginkan dan berbuat yang baik dan benar; 2) orang yang selalu menginginkan
dan berbuat yang jahat; 3) keadaan di antaranya: menginginkan yang baik dan benar,
namun tak selalu berhasil melakukannya. Paus Benediktus mengutip Rasul Paulus,
menjabarkannya demikian: tiap-tiap orang membangun bangunan dari bermacam
bahan di atas dasar, dan dasarnya itu ialah Kristus. Bermacam bahan
melambangkan bermacam perbuatan orang, yang akan diuji oleh api. Kalau bahan
itu terbakar, orang itu mengalami kerugian, meskipun ia akan diselamatkan (lih. 1Kor
3:12-15). Maka agar dapat masuk Surga, seseorang harus melalui semacam “api”
yang menguji perbuatannya.[14]
Maka tiap orang yang mengimani Kristus, akan diuji (1Ptr 1:7), namun ia akan
diselamatkan, seperti dari dalam api (1Kor 3:11-15). Pengujian ini tidak terjadi di
Surga, karena di Surga segalanya telah sempurna sehingga tidak diperlukan ujian.
Juga, ujian tidak terjadi di neraka, yang merupakan ‘tempat’ penghukuman kekal bagi
mereka yang telah menolak Kristus. Jiwa-jiwa di neraka tidak dapat diselamatkan.
Sedangkan di 1Kor 3:15 dikatakan, bahwa sekalipun pekerjaan seseorang terbakar,
ia akan memperoleh keselamatan. Maka “api” di sini bukan neraka, namun suatu api
pemurnian yang menghantar ke Surga.
(c) Penderitaan menyatukan kita dengan sengsara Kristus yang
menyelamatkan.
“… Api yang membakar dan menyelamatkan adalah Kristus sendiri…. Perjumpaan
denganNya ini, yang membakar kita… melalui rasa sakit di perjumpaan ini, … rasa
sakit yang terberkati, yang di dalamnya kuasa kudus kasih-Nya mengobarkan kita
seperti nyala api, yang memampukan kita menjadi sepenuhnya diri kita dan karena
itu sepenuhnya menjadi milik Allah…. Rasa sakit karena kasih, menjadi keselamatan
kita dan sukacita kita.”[12]
Yesus sendiri memilih jalan penderitaan untuk menyelamatkan umat manusia (lih.
1Yoh 2:2; Ibr 2:10). Dan Yesus mengundang kita untuk mengikuti jejak-Nya (Mat
16:24; Mrk 8:34; Luk 9:23). Karena itu, penderitaan yang kita alami mempunyai
maksud: 1) menyatukan diri kita dengan kurban Kristus yang mendamaikan Allah dan
manusia; 2) memulihkan jiwa kita dan menguduskan kita.
Oleh karena itu, sebagai umat beriman, kita memandang penderitaan sebagai
sesuatu yang positif. “Oleh sengsara dan wafat-Nya di kayu salib, Kristus memberi
arti baru kepada penderitaan: Ia dapat membuat kita menyerupaiNya dan dapat
menyatukan kita dengan sengsara-Nya yang menyelamatkan.”[13]
(c) Pemurnian yang menguduskan melibatkan kerjasama kita.
Allah menghendaki kita menjadi kudus (1Ptr 1:16). Yaitu dengan kekudusan yang
sungguh menjadi milik jiwa kita, bukan seolah-olah kita hanya ‘diselubungi’ oleh
kekudusan Kristus Putra-Nya, padahal di balik selubung itu jiwa kita masih penuh
dosa. Sebab Yesus bersabda, “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu
yang di Surga adalah sempurna” (Mat 5:48; bdk. Im 19:2). Untuk menjadi
kudus, pertama-tama kita harus bertobat dan menerima rahmat pengampunan
Allah di dalam Kristus. Selanjutnya, pertobatan dan perjuangan untuk menjadi kudus
harus berlangsung terus sampai akhir hidup kita. Dalam proses ini, Allah
menghendaki kita turut mengambil bagian dalam menyucikan diri oleh ketaatan dan
perbuatan kasih (lih. 1Ptr 1:22). Dengan demikian, perubahan ke arah kebaikan ini
menjadi sesuatu yang hakiki, menyeluruh dan sempurna.

(6) Injil juga diberitakan kepada orang-orang mati.


Rasul Petrus mengatakan bahwa Injil pun diberitakan kepada orang-orang mati, yaitu
‘roh-roh yang di dalam penjara’ (1Ptr 4:6, 3:19). Ini mengindikasikan adanya suatu
keadaan yang bukan Surga, namun juga bukan neraka. Walau ayat ini tak menyatakan
secara eksplisit tentang Api Penyucian, namun ayat ini menyatakan adanya suatu
keadaan lain yang bukan Surga dan bukan neraka.

(7) Rasul Paulus pun mendoakan sahabatnya, Onesiforus, yang telah meninggal
dunia.
Doa Rasul Paulus bagi Onesiforus (2Tim 1:16-18) menandakan :1) adanya
kemungkinan bahwa doa-doa umat yang di dunia berguna bagi jiwa orang yang sudah
meninggal dan 2) jiwa-jiwa itu berada dalam keadaan yang bukan Surga dan bukan
neraka, hingga mereka membutuhkan doa-doa.

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:[1]

1. Purgatorium/ Api Penyucian (bukan Pencucian) adalah suatu kondisi yang


dialami oleh jiwa-jiwa orang-orang yang meninggal dalam keadaan rahmat
dan dalam persahabatan dengan Tuhan, namun belum suci sepenuhnya,
sehingga memerlukan proses pemurnian/ penyucian selanjutnya setelah
kematian, sebelum mereka dapat masuk Surga.
2. Pemurnian di dalam Api Penyucian melibatkan semacam penderitaan jiwa,
namun sangatlah berlainan dengan siksa neraka.
3. Kita dapat membantu jiwa-jiwa yang ada di Api Penyucian dengan doa-doa
kita, terutama dengan mempersembahkan ujud Misa Kudus bagi mereka.

[1]
Lih. KGK 1030-1032.
Mengapa kita mendoakan jiwa orang-orang yang sudah
meninggal?

Ada pernyataan bahwa kita tidak usah berdoa untuk jiwa-jiwa yang sudah meninggal,
karena itu menjadi urusan Tuhan sendiri dan doa kita tidak akan berguna bagi mereka.
Benarkah demikian? Gereja Katolik mengajarkan bahwa Tuhan berkuasa
menentukan apakah seseorang yang meninggal itu masuk surga, neraka, atau jika
belum siap masuk surga, dimurnikan terlebih dulu di Api Penyucian. Umat Kristen
non-Katolik yang tidak mengakui adanya Api Penyucian, mungkin menganggap
bahwa tidak ada gunanya mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal. Namun
Gereja Katolik mengajarkan adanya masa pemurnian di Api Penyucian, silakan
membaca dasar dari Kitab Suci dan pengajaran Bapa Gereja tentang hal
ini, https://katolisitas.org/624/bersyukurlah-ada-api-penyucian, sehingga doa-doa
dari kita yang masih hidup, dapat berguna bagi jiwa-jiwa mereka yang sedang dalam
tahap pemurnian tersebut. Bahkan, dengan mendoakan jiwa-jiwa tersebut, kita
mengamalkan kasih kepada mereka yang sangat membutuhkannya, dan perbuatan
ini sangat berkenan bagi Tuhan (lih. 2 Mak 12:38-45).
Sebenarnya, prinsip dasar ajaran Gereja Katolik untuk mendoakan jiwa-jiwa orang
yang sudah meninggal adalah adanya Persekutuan Orang Kudus yang tidak
terputuskan oleh maut. Rasul Paulus menegaskan “Sebab aku yakin, bahwa baik
maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik
yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas,
maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat
memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Rm
8:38-39).
Kuasa kasih Kristus yang mengikat kita semua di dalam satu Tubuh-Nya itulah yang
menjadikan adanya tiga status Gereja, yaitu 1) yang masih mengembara di dunia, 2)
yang sudah jaya di surga dan 3) yang masih dimurnikan di Api Penyucian. Dengan
prinsip bahwa kita sebagai sesama anggota Tubuh Kristus selayaknya saling tolong
menolong dalam menanggung beban (Gal 6:2) di mana yang kuat menolong yang
lemah (Rm 15:1), maka jika kita mengetahui (kemungkinan) adanya anggota keluarga
kita yang masih dimurnikan di Api Penyucian, maka kita yang masih hidup dapat
mendoakan mereka, secara khusus dengan mengajukan intensi Misa kudus (2 Mak
12:42-46).
Memang, umat Kristen non-Katolik tidak mengakui kitab Makabe ini dalam Kitab Suci
mereka. Juga, bagi mereka, keselamatan hanya diperoleh melalui iman saja (sola
fide), yang sering dimaknai terlepas dari perbuatan, dan hal mendoakan ini dianggap
sebagai perbuatan yang tidak berpengaruh terhadap keselamatan. Sedangkan ajaran
iman Katolik adalah kita diselamatkan melalui iman yang bekerja oleh perbuatan
kasih (Gal 5:6), maka iman yang menyelamatkan ini tidak terpisah dari perbuatan
kasih. Dengan memahami adanya perbedaan perspektif Katolik dan non- Katolik ini,
kita dapat mengerti bahwa umat Kristen non- Katolik menolak ‘perbuatan’
mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal. Sedangkan Gereja Katolik
mengajarkan bahwa perbuatan-perbuatan kasih yang didasari iman sangatlah
berguna bagi keselamatan kita (baik yang didoakan maupuan yang mendoakan). Jika
“kasih” di sini diartikan menghendaki hal yang baik terjadi pada orang lain, dan jika
kita ketahui bahwa maut tidak memisahkan kita sebagai anggota Tubuh Kristus (lih.
Rom 8:38-39), maka kesimpulannya, pasti berguna jika kita mendoakan demi
keselamatan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal. Sebab perbuatan kasih yang
menghendaki keselamatan bagi sesama, adalah ungkapan yang nyata dalam hal
“bertolong-tolonglah dalam menanggung bebanmu” (Gal 6:2).
Jangan lupa bahwa yang kita bicarakan di sini adalah bahwa doa- doa yang
dipanjatkan untuk mendoakan jiwa-jiwa orang-orang yang sedang dimurnikan dalam
Api Penyucian, sehingga mereka sudah pasti masuk surga, hanya sedang menunggu
selesainya saat pemurniannya. Dalam masa pemurnian ini mereka terbantu dengan
doa-doa kita, seperti halnya pada saat kita kesusahan sewaktu hidup di dunia ini, kita
terbantu dengan doa-doa umat beriman lainnya yang mendoakan kita. Sedangkan,
untuk orang-orang yang meninggal dalam keadaan tidak bertobat, sehingga masuk
ke neraka, memang kita tidak dapat mendoakan apapun untuk menyelamatkan
mereka. Atau untuk orang -orang yang langsung masuk ke surga (walaupun mungkin
tak banyak jumlahnya), maka doa-doa kita sesungguhnya tidak lagi diperlukan,
sebab mereka sudah sampai di surga. Namun masalahnya, kita tidak pernah tahu,
kondisi rohani orang-orang yang kita doakan. Pada mereka memang selalu ada tiga
kemungkinan tersebut, sehingga, yang kita mohonkan dengan kerendahan dan
ketulusan hati adalah belas kasihan Tuhan kepada jiwa-jiwa tersebut, agar Tuhan
memberikan pengampunan, agar mereka dapat segera bergabung dengan para
kudus Allah di Surga.

Pengajaran tentang Api Penyucian termasuk dalam ajaran iman


De fide (Dogma):
“The Communion of the Faithful on earth and the Saints in Heaven with Poor Souls
in Purgatory:
The living Faithful can come to the assistance of the Souls in Purgatory by their
intercessions (suffrages).” ((Dr. Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma,
Illinois, TAN Books ands Publishers, 1974, p.321))
Terjemahannya:
Persekutuan umat beriman di dunia dan Para Kudus di Surga dengan Jiwa-jiwa yang
menderita di Api Penyucian: Para beriman yang [masih] hidup dapat membantu jiwa-
jiwa di Api Penyucian dengan doa-doa syafaat (doa silih).
Silih di sini diartikan tidak saja doa syafaat, tetapi juga Indulgensi, derma dan
perbuatan baik lainnya, dan di atas semua itu adalah kurban Misa Kudus. Ini sesuai
dengan yang diajarkan di Konsili Lyons yang kedua (1274) dan Florence (1439).
Jadi meskipun umat Kristen non-Katolik tidak mengakui kitab Makabe, namun
sesungguhnya mereka secara obyektif tidak dapat mengelak bahwa tradisi
mendoakan jiwa orang yang telah meninggal sudah ada di zaman Yahudi sebelum
Kristus. Tradisi ini kemudian diteruskan oleh para rasul, seperti yang dilakukan oleh
Rasul Paulus ketika mendoakan Onesiforus yang sudah meninggal, “Kiranya Tuhan
menunjukkan rahmat-Nya kepadanya [Onesiorus] pada hari-Nya.” (2 Tim 1:18).
Tradisi mendoakan jiwa orang yang sudah meninggalpun dicatat dalam tulisan para
Bapa Gereja, seperti:
1) Tertullian, yang mengajarkan untuk menyelenggarakan Misa kudus untuk
mendoakan mereka pada perayaan hari meninggalnya mereka setiap tahunnya.
((Tertullian, De Monogamia 10; De exhort cas II, lif. St. Cyprian, Ep 1, 2)).
2) St. Cyril dari Yerusalem dalam pengajarannya tentang Ekaristi memasukkan doa-
doa untuk jiwa orang-orang yang sudah meninggal ((St. Cyprian, Cat., Myst., 5.9 et
seq)).
3) Sedangkan St. Yohanes Krisostomus dan St Agustinus mengajarkan bahwa para
beriman dapat mendoakan jiwa orang-orang yang meninggal dengan mengadakan
derma. ((St. Yohanes Krisostomus, Phil; hom 3,4; St. Agustinus, Enchiridion 110;
Sermo 172, 2, 2)).
Karena hal mendoakan jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal telah diajarkan dalam
Kitab Suci dan telah dilakukan oleh Gereja sejak awal mula, terutama dalam
perayaan Ekaristi maka, Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:
KGK 1032 Ajaran ini juga berdasarkan praktik doa untuk orang yang sudah meninggal
tentangnya Kitab Suci sudah mengatakan: “Karena itu [Yudas Makabe] mengadakan
kurban penyilihan untuk orang-orang mati, supaya mereka dibebaskan dari dosa-
dosanya” (2 Mak 12:45). Sudah sejak zaman dahulu Gereja menghargai peringatan
akan orang-orang mati dan membawakan doa dan terutama kurban Ekaristi Bdk. DS
856. untuk mereka, supaya mereka disucikan dan dapat memandang Allah dalam
kebahagiaan. Gereja juga menganjurkan amal, indulgensi, dan karya penitensi demi
orang-orang mati. “Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka.
Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh
bapanya Bdk. Ayb 1:5., bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita
membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu
orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka” (Yohanes
Krisostomus, hom. in 1 Cor 41,5).
KGK 1371 Kurban Ekaristi juga dipersembahkan untuk umat beriman yang mati di
dalam Kristus, “yang belum disucikan seluruhnya” (Konsili Trente: DS 1743), supaya
mereka dapat masuk ke dalam Kerajaan Kristus, Kerajaan terang dan damai:
“Kuburkanlah badan ini di mana saja ia berada: kamu tidak perlu peduli dengannya.
Hanya satu yang saya minta kepada kamu: Di mana pun kamu berada, kenangkan
saya pada altar Tuhan” (Santa Monika sebelum wafatnya, kepada santo Augustinus
dan saudaranya: Agustinus, conf. 9,11,27).
“Lalu kita berdoa [dalam anaforal untuk Paus dan Uskup yang telah meninggal, dan
untuk semua orang yang telah meninggal pada umumnya. Karena kita percaya
bahwa jiwa-jiwa yang didoakan dalam kurban yang kudus dan agung ini, akan
mendapat keuntungan yang besar darinya… Kita menyampaikan kepada Allah doa-
doa kita untuk orang-orang yang telah meninggal, walaupun mereka adalah orang-
orang berdosa… Kita mengurbankan Kristus yang dikurbankan untuk dosa kita.
Olehnya kita mendamaikan Allah yang penuh kasih sayang kepada manusia dengan
mereka dan dengan kita” (Sirilus dari Yerusalem, catech. myst. 5,9,10).
KGK 1414 Sebagai kurban, Ekaristi itu dipersembahkan juga untuk pengampunan
dosa orang-orang hidup dan mati dan untuk memperoleh karunia rohani dan jasmani
dari Tuhan.
Maka memang, mendoakan jiwa orang-orang yang sudah meninggal bagi orang
Katolik merupakan salah satu perbuatan kasih yang bisa kita lakukan, terutama
kepada orang-orang yang kita kasihi yang telah mendahului kita. Ini adalah salah satu
dogma yang semestinya kita jalankan, sebagai orang Katolik. Tentu saja, kita tidak
bisa memaksakan hal ini kepada mereka yang tidak percaya. Namun bagi kita yang
percaya, betapa indahnya pengajaran ini! Kita semua disatukan oleh kasih Kristus:
kita yang masih hidup dapat mendoakan jiwa-jiwa yang di Api Penyucian, dan jika
kelak mereka sampai di surga, merekalah yang mendoakan kita agar juga sampai ke
surga. Doa mereka tentu saja tidak melangkahi Perantaraan Kristus, sebab yang
mengizinkan mereka mendoakan kita juga adalah Kristus, sebab di atas semuanya,
Kristuslah yang paling menginginkan agar kita selamat dan masuk ke surga. Jadi doa
para kudus saling mendukung dalam karya keselamatan Allah bagi manusia. Kita
tergabung dalam satu persekutuan orang-orang kudus, karena kita semua adalah
anggota Tubuh Kristus yang diikat oleh kasih persaudaraan yang tak terputuskan oleh
maut, sebab Kristus Sang Kepala, telah mengalahkan maut itu bagi keselamatan kita.

Anda mungkin juga menyukai