DISUSUN OLEH:
Maulana
Evan
Sapril
LATAR BELAKANG
Setelah kejatuhan manusia dalam dosa maka hubungan manusia dengan Allah
telah terputus, Kejatuhan manusia berakibat fatal yaitu maut (Kej. 2:17). sehingga
manusia memerlukan yang namanya penebusan diri dari dosa, sehingga dalam
Pernjanjian Lama manusa memberikan korban bakaran bagi Allah untuk penebusan dosa.
Akan tetapi korban-korban persembahan menurut hukum Taurat tidak dapat dengan
. Hal ini yang sangat sulit lepas dari manusia. Kerap kali orang-orang mengatakan
istilah, bahwa “kita manusia biasa yang tidak luput dari dosa”. Para pelaku dosa adalah
orang-orang yang tercela, baik dalam pandangan Tuhan maupun manusia. Akan
mendapat ganjaran berupa hukuman dan siksaan dari Tuhan. Sebagai manusia berakal
dan beriman menginginkan hidup yang bahagia dan bebas dari celaka dan sengsara di
dunia maupun di akhirat.2 oleh karena itulah Allah memberikan AnakNya yang tunggal
untuk menebus manusia dari hukuman dosa. “Karena begitu besar kasih Allah akan
dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang
yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”(Yoh. 3:16).
1
Matthew Henry, Tafsiran Matthew Henry: Surat Ibrani, Yakobus, 1 & 2 Ptr. 1- 3 Yohanes, Yudas, Kitab Wahyu
(Surabaya: Momentum, 2016), 161.
2
Tarpin, “Pandangan Kristen Tentang Dosa: Asal Muasal dan Cara Menebusnya,” Jurnal Ushuluddin 16, No. 2 (Juli
2010): 221, diakses 22 April 2022, http://ejournal.uinsuska.ac.id/index.php/ushuludin/article/view/677.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka penulis memberikan rumusan masalah sebagai
berikut: Apakah pengorbanan Yesus seorang diri cukup untuk menebus seluruh
PEMBAHASAN
Keberdosaan manusia
Dosa merupakan fenomena masa ke masa yang seolah tidak punya jalan keluar yang
pasti. Manusia mengakui keberdosaannya, namun masih saja tidak bisa mengatasinya secara
tuntas. Kata dosa sendiri dapat diartikan sebagai sebuah kata yang berhubungan erat dengan
pelanggaran terhadap Taurat, yang diimani sebagai hukum yang berasal dari Allah. Kata dosa
juga dapat menjadi sebuah istilah yang ingin menggambarkan tentang pemberontakan atau
perlawanan manusia terhadap Allah, dimana yang dimakasud manusia menganggap diinya dapat
hidup tanpa Allah, mengandalakan kemampuannya sendiri tanpa mau di tuntut oleh pihak mana
Dalam perjanjian lama ada beberapa kata untuk dosa “Khatta” yang memiliki arti “tidak
kena”. dalam Perjanjian Baru dosa adalah “a nomia” (1 Yoh. 3:4). jadi dapat di simpulkan
bahwa dosa adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. 3 Dosa yang telah ada
sejak sebelum kejatuhan Adam dan Hawa ini membawa kerusakan permanen, sehingga Allah
memutuskan bahwa seluruh manusia adalah orang yang berdosa, atau yang sering kita kenal
dengan istilah dosa asali atau dosa keturunan. “Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang
semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang
3
R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta: BPK-GM, 2002), 21
Berkenaan dengan semua ini maka jelas merupakan suatu penghujatan jika mengatakan
bahwa Allah adalah pembuat dosa.4 Jadi dikarenakan manusia berdosa dan tidak ada yang tidak
berdosa maka upaya untuk memperbaiki hal ini harus ada penebusan dosa, dan yang dapat
melakukannya hanyalah Allah itu sendiri. Lalu apakah kesalehan manusia dapat menebus
keberdosaan manusia? Ternyata tidak, Yesaya 64:6 mengatakan bahwa kesalehan manusia ibarat
kain kotor yang berarti kesalehan manusia tidak ada artinya dimata Allah sebab itu kesalehan
manusia tidaklah lantas dapat menghapus kesalahan manusia. Efesus 2:8 juga mengatakan bahwa
keselamatan itu bukan hasil dari usaha manusia tetapi murni atas pemberian Allah.
Kejatuhan malaikat
Di dalam Alkitab tidak mencatat secara eksplisit tentang asal penciptaan malaikat, dan
begitu juga akan kejatuhan malaikat sama juga tidak tercatat di dalam Alkitab secara eksplisit.
Ayat ini dengan jelas memberitahukan kepada kita bahwa malaikat jatuh diakibatkan
keinginan hatinya untuk menyamai Yang Mahatinggi, hal ini berati dia ingin merebut kekuasaan
yang disebut kudeta. Dimana hal tersebut di mulai dari sifat kesombongan, dan merasa mampu
melampaui “Yang Mahatinggi” sebagaimana dapat juga kita lihat dalam diri manusia.
4
Louis Berkhof, Teologi Sistematika 2 (Doktrin Manusia), 85-91
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN