Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

IMPETIGO BULOSA DAN KRUSTOSA

Disusun Oleh :

Mutiara Adisti

1102013190

Pembimbing :

dr. Yanto Widiantoro, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


RSU DR. SLAMET GARUT
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Pioderma superfisial adalah infeksi bakteri pada kulit bagian epidermis, dibawah
stratum korneum atau di folikel rambut. Pada negara maju, Staphylococcus aureus
adalah penyebab utama dari pioderma superfisial. Sementara pada negara berkembang
umumnya disebabkan oleh Streptococcus. Jika tidak diobati, pioderma dapat meluas
ke bagian dermis menghasilkan ektima dan formasi furunkel. Salah satu bagian dari
pioderma adalah impetigo.
Istilah impetigo berasal dari bahasa Latin yang berarti serangan, dan telah
digunakan untuk menjelaskan gambaran seperti letusan berkeropeng yang biasa
nampak pada daerah permukaan kulit. Ada dua tipe impetigo, yaitu impetigo bullosa
dan impetigo non-bullosa. Impetigo non-bullosa disebut juga impetigo krustosa atau
impetigo kontagiosa.
Impetigo, yaitu merupakan salah satu bentuk pioderma yang paling sering
menyerang anak-anak, terutama yang kebersihan badannya kurang dan bisa muncul di
bagian tubuh manapun setelah terjadi cedera pada kulit, seperti luka maupun pada
infeksi virus herpes simpleks. Paling sering ditemukan di wajah, lengan dan tungkai.
Pada dewasa, impetigo bisa terjadi setelah penyakit kulit lainnya. Impetigo bisa juga
terjadi setelah suatu infeksi saluran pernafasan atas (misalnya flu atau infeksi virus
lainnya). Sumber infeksi yang sering ditemukan pada anak-anak adalah berasal dari
hewan peliharaan, kuku yang kotor, dan penularan dari teman sekolahnya. Sedangkan
pada orang dewasa, penularan penyakit dapat diperoleh dari tempat cukur, salon
kecantikan, kolam renang dan tertular dari anak.
Impetigo secara klinis didefinisikan sebagai penyakit infeksi menular pada kulit
yang superfisial yaitu hanya menyerang epidermis kulit, yang menyebabkan
terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula) seperti tersundut rokok/api.
Penyakit ini merupakan salah satu contoh pioderma yang sering dijumpai di bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jenis impetigo bulosa disebabakan oleh
Staphylococcus aureus dan non-bulosa disebabkan oleh Streptococcus-β-hemoliticus.
Faktor predisposisinya yaitu higiene yang kurang, menurunnya daya tahan tubuh
mengidap penyakit menahun, kurang gizi, keganasan atau kanker dan sebagainya

2
atau adanya penyakit lain di kulit yang menyebabkan fungsi perlindungan kulit
terganggu.
Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia. Paling sering mengenai usia
2-5 tahun, umumnya mengenai anak yang belum sekolah, namun tidak menutup
kemungkinan untuk semua umur dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Di
Amerika Serikat, merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai pada klinik anak.
Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun
dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Impetigo nonbullous atau impetigo krustosa
meliputi kira-kira 70% dari semua kasus impetigo. Kebanyakan kasus ditemukan di
daerah tropis atau beriklim panas serta pada negara-negara yang berkembang dengan
tingkat ekonomi masyarakatnya masih tergolong lemah atau miskin.
Tempat predileksi tersering pada wajah terutama sekitar mulut dan hidung, pada
ketiak, dada serta punggung. Gambaran klinisnya berupa vesikel, bula atau pustul
yang apabila pecah membentuk krusta tebal kekuningan seperti madu atau berupa
koleret di pinggirnya.
Impetigo sangat penting dibahas karena banyak terjadi pada masyarakat pada
umumnya. Penegakan diagnosis yang adekuat, cara mengobati penyakit ini dengan
baik dan mengedukasi pasien dengan benar adalah kunci sehingga penyakit ini tidak
menyebabkan komplikasi lain yang serius.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Impetigo secara klinis didefinisikan sebagai penyakit infeksi menular pada kulit
yang superfisial yaitu hanya menyerang epidermis kulit, yang menyebabkan
terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula) seperti tersundut rokok/api.
Penyakit ini merupakan salah satu contoh pioderma yang sering dijumpai di bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Terdapat dua jenis impetigo yaitu impetigo bulosa
yang disebabakan oleh Staphylococcus aureus dan non-bulosa yang disebabkan oleh
Streptococcus-β-hemoliticus. Dasar infeksinya adalah kurangnya hygiene dan
terganggunya fungsi kulit.

2.2. Epidemologi
Di Amerika Serikat, kurang lebih 9-10 % dan anak-anak yang datang ke klinik
kulit menderita impetigo. Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan
adalah sama. Impetigo lebih sering menyerang anak-anak, jenis yang terbanyak (kira-
kira 90%) adalah impetigo bullosa yang terjadi pada anak yang berusia kurang dan 2
tahun. Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang
terinfeksi). Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak
2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo
krustosa. Insiden impetigo ini terjadi hampir di seluruh dunia. Paling sering mengenai
usia 2-5 tahun, umumnya mengenai anak yang belum sekolah, namun tidak menutup
kemungkinan untuk semua umur dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Di
Amerika Serikat, merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai pada klinik.
Kebanyakan kasus ditemukan di daerah tropis atau beriklim panas serta pada negara-
negara yang berkembang dengan tingkat ekonomi masyarakatnya masih tergolong
lemah atau miskin.
Penelitian pada tahun 2005 menunjukkan S. aureus sebagai patogen terbanyak
yang menyebabkan baik impetigo bulosa dan impetigo non bulosa pada Amerika dan
Eropa, sementara itu Streptococcus pyogenes pada negara berkembang. Kebanyakan
infeksi bermula sebagai infeksi Streptococcus tetapi kemudian Staphylococci
mengantikan Streptococcus. Selain dapat menyebabkan manifestasi pyoderm primer

4
dan kulit yang utuh, dapat juga menyebabkan infeksi sekunder dari penyakit kulit
yang ada sebelumnya atau pada kulit yang terkena trauma, yang disebut dengan
dermatitis impetigenisata. Impetigo jarang berkembang menjadi infeksi sistemik,
walaupun post streptococcal glomerulonepritis yang merupakan komplilkasi pada
infeksi GABHS dapat terjadi walaupun jarang. Pasien dapat lebih jauh menginfeksi
dirinya sendiri atau orang lain setelah rnenggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar
dengan cepat pada sekolah atau tempat penitipan anak dan juga pada tempat dengan
higiene yang buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk.

2.3. Etiologi
Organisme penyebab adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus-β-hemoliticus
grup A (dikenal dengan Streptococcus pyogenes), atau kombinasi keduanya.
Staphylococcus dominan ditemukan pada awal lesi. Jika kedua kuman ditemukan
bersamaan, maka infeksi Streptococcus merupakan infeksi penyerta. Kuman S.
pyogenes menular ke individu yang sehat melalui kulit, lalu kemudian menyebar ke
mukosa saluran napas. Berbeda dengan S. aureus, yang berawal dengan kolonisasi
kuman pada mukosa nasal dan baru dapat ditemukan pada isolasi kuman di kulit pada
sekitar 11 hari kemudian.
Staphylococcus merupakan bakteri sel gram positif dengan ukuran 1 µm,
berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur, kokus
tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai juga bisa didapatkan.
Staphylococcus dapat menyebabkan penyakit berkat kemampuannya mengadakan
pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa
bahan ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lain berupa
toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat menghasilkan
katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatin, toksik
sindrom syok toksik, dan enterotoksin..

Streptococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat, yang


mempunyai karakteristik dapat berbentuk pasangan atau rantai selama
pertumbuhannya. Lebih dari 20 produk ekstraseluler yang antigenic termasuk dalam
grup A, (Streptococcus pyogenes) diantaranya adalah Streptokinase, streptodornase,
hyaluronidase, eksotoksin pirogenik, disphosphopyridine nucleotidase, dan hemolisin.

5
Impetigo menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang
terinfeksi). Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah
menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau tempat
penitipan anak dan juga pada tempat dengan higiene yang buruk atau tempat tinggal
yang padat penduduk.

2.4. Faktor Predisposisi


Faktor-faktor pencetus terjadinya Pioderma, antara lain:
a. Higiene yang kurang;
b. Menurunnya daya tahan tubuh; misalnya karena kekurangan gizi, anemia, atau
penyakit-penyakit tertentu seperti penyakit kronis, neoplasma ganas, dan diabetes
mellitus
c. Telah ada penyakit lain di kulit; karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungsi
kulit sebagai pelindung akan terganggu
f. Kontak langsung dengan pasien impetigo
g. Kontak tidak langsung melalui handuk, selimut atau pakaian pasien impetigo
h. Cuaca panas maupun kondisi lingkungan lembab

2.5. Klasifikasi Impetigo


Terdapat dua bentuk dari impetigo, yaitu:
1. Impetigo Krustosa / Non bullous (impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris, impetigo
Tilibury Fox)
Impetigo krustosa, pada negara maju kebanyakan disebabkan oleh S.Aureus, namun
pada negara berkembang umumnya disebabkan oleh Streptococcus-β-hemoliticus.
Tidak disertai gejala umum dan dapat menyerang semua usia anak dan dewasa.
Tempat predileksi di muka, yakni sekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap
sumber infeksi dari daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang
cepat memecah sehingga jika pendenita datang berobat yang terlihat ialah krusta tebal
berwarna kuning seperti madu. Jika krusta dilepaskan akan tampak erosi dibawahnya,
krusta sering menyebar ke perifer dan sembuh di bagian tengah. Bekas impetigo ini
bisa hilang dan tidak menyebabkan kulit seperti parut. Luka ini bisa saja terasa gatal
dan tidak nyaman namun tidak terasa sakit. Impetigo jenis ini juga jarang

6
menimbulkan demam pada anak, tapi ada kemungkinan menyebabkan pembengkakan
kelenjar getah bening pada area yang terinfeksi. Impetigo sangat mudah menular,
sehingga jangan menyentuh atau menggaruk luka karena dapat menyebarkan infeksi
ke bagian tubuh lainnya.

Komplikasinya glomerulonefritis (2-5%), yang disebabkan oleh serotipe tertentu.


Diagnosis bandingnya adalah Ektima. Pengobatan yang dipakai jika krusta sedikit,
lepaskan krusta dan diberi antibiotik. Jika krusta banyak, diberikan pengobatan
antibiotik sistemik.

Gambar 1. Impetigo Krustosa

Gambar 2. Impetigo Krustosa

2. Impetigo Bulosa (Impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet)


Impetigo bulosa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureu dengan predileksi
di daerah ketiak, dada, punggung. Sering bersama-sama miliaria, terdapat pada anak
dan orang dewasa namun utama menyerang bayi dan anak dibawah 2 tahun. Kelainan
kulit berupa eritema, bula dan bula hipopion yang tidak terasa sakit. Kadang-kadang

7
saat datang berobat, vesikel/bula sudah memecah sehingga yang tampak hanyalah
koleret dan dasarnya masih eritematosa. Luka akibat infeksi ini dapat berubah
menjadi koreng dan sembuhnya lebih lama ketimbang serangan impetigo jenis lain
Diagnosis banding dan impetigo ini adalah dermatofitosis (jika sudah pecah dan
tampak koleret).
Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah sebelumnya terdapat lepuh. Jika
ada, diagnosisnya adalah impetigo bullosa. Pengobatannya jika hanya terdapat
beberapa vesikel bula ditangani dengan cara memecahkan bula, lalu berikan salep
antibiotik atau cairan antiseptik. Jika bula vesikel banyak maka berikan pula antibiotic
sistemik.

Gambar 3. Impetigo Bullosa


2.6. Patofisiologi Impetigo
Infeksi Staphylococcus aureus atau Streptococcus-β-hemoliticus Group A dimana
kita ketahui bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan penyakit berkat
kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan dan
melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah
enzim dan yang lain berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim.
Staphylococcus dapat menghasilkan katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin,
lekosidin, toksin eksfoliatin, toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin. Bakteri
Staphylococcus menghasilkan racun yang dapat menyebabkan impetigo menyebar ke
area lainnya. Toxin ini menyerang protein yang membantu mengikat sel-sel kulit.
Ketika protein ini rusak, bakteri akan sangat cepat menyebar. Enzim yang dikeluarkan
oleh Staphylococcus akan merusak struktur kulit dan adanya rasa gatal dapat
menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit.

8
Rasa gatal dengan lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1-2 mm,
kemudian berubah menjadi bula atau vesikel. Pada Impetigo kontagiosa awalnya
berupa warna kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan padat dengan
diameter <0,5cm) yang berukuran 2-5 mm. Lesi papul segera menjadi vesikel atau
pustul (papula yang berwarna keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan
menjadi papul dengan keropeng/koreng berwarna kunig madu dan lengket yang
berukuran <2cm dengan kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan
disekelilingnya, sekret seropurulen kuning kecoklatan yang kemudian mengering
membentuk krusta yang berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta
terdapat daerah erosif yang mengeluarkan sekret, sehingga krusta akan kembali
menebal. Sering krusta menyebar ke perifer dan menyembuh di bagian tengah.
Kemudian pada impetigo bullousa, bula timbul secara tiba-tiba pada kulit yang sehat
dari plak (penonjolan datar di atas permukaan kulit) merah, berdiameter 1-5cm, pada
daerah dalam dari alat gerak (daerah ekstensor), bervariasi dari miliar sampai
lentikular dengan dinding yang tebal, dapat bertahan selama 2 sampai 3 hari. Bila
pecah, dapat menimbulkan krusta yang berwarna coklat, datar dan tipis.

2.7. Manifestasi Klinis


Impetigo dapat timbul sendiri (primer) atau komplikasi dan kelainan lain
(sekunder) baik penyakit kulit (gigitan binatang, vanisela, infeksi herpes simpleks,
dermatitis atopi) atau penyakit sistemik yang menurunkan kekebalan tubuh (diabetes
melitus, HIV).

a. Impetigo Bulosa
 Vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter <0,5cm) yang timbul sampai
bulla (gelembung berisi cairan berdiameter >0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit
yang utuh, dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel
berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh.
 Atap dan bulla pecah dan meninggalkan gambaran “collarette” pada pinggirnya.
Krusta “varnishlike” terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan
memperlihatkan dasar yang merah dan basah.
 Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh.

9
 Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat menyertai
dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain.
 Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain, seperti tempat
yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher.
 Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi.
 Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gejala demam, lemah, diare. Jarang
sekali disetai dengan infeksi sendi atau tulang.

b. Impetigo Krustosa
 Awalnya berupa wama kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan
padat dengan diameter <0,5cm) yang berukuran 2-5 mm.
 Lesi papul segera menjadi vesikel atau pustul (papula yang berwarna
keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi papul dengan
keropeng/koreng berwarna kuning madu dan lengket yang berukuran <2cm dengan
kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan disekelilingnya.
 Lesi muncul pada kulit normal atau kulit yang kena trauma sebelumnya atau
mengikuti kelainan kulit sebelumnya (skabies, vasisela, dermatitis atopi) dan dapat
menyebar dengan cepat.
 Lesi berada sekitar hidung, mulut dan daerah tubuh yang sering terbuka (tangan
dan kaki).
 Kelenjar getah bening dapat membesar dan dapat nyeri.
 Lesi juga menyebar ke daerah sekitar dengan sendirinya (autoinokulasi)
 Jika dibiarkan tidak diobati maka lesi dapat menyebar terus karena tindakan diri
sendiri (digaruk lalu tangan memegang tempat lain sehingga mengenai tempat
lain).
 Lalu dapat sembuh dengan sendirinya dalarn beberapa minggu tanpa jaringan
parut.
 Walaupun jarang, bengkak pada kaki dan tekanan darah tinggi dapat ditemukan
pada orang dengan impetigo krustosa sebagai tanda glomerulonefritis (radang pada
ginjal) akibat reaksi tubuh terhadap infeksioleh kuman Streptococcus penyebab
impetigo.

10
2.8. Diagnosis dan Diagnosis banding
Diagnosis
Diagnosis impetigo didasarkan pada riwayat dan gambaran klinis. Diagnosa
biasanya sudah bisa ditegakkan dengan pemeriksaan fisik. Onset yang terjadi dari 2
hingga 3 hari turut mendukung menegakkan diagnosis.

Bakteri jenis β-hemolitik streptokokus atau Stafilokokus aureus dikultur untuk


mendapatkan diagnosa pasti. Kerokan specimen haruslah diambil dari dasar lesi.
Pengobatan harus ditunda sehingga mendapatkan hasil diagnosa pasti.

Pada impetigo bulosa, predileksi utama yang terlibat adalah pada wajah (terutama
pada sekitar hidung dan mulut) dan ekstremitas bawah. Lesi secara umum tidak nyeri.
Munculnya demam biasa dihubungkan dengan penyakit lain atau komplikasi. Lesi
awal pada impetigo adalah berupa bula keruh yang nantinya akan menjadi krusta,
biasanya berwarna kuning keemasan, dengan daerah sekitarnya yang eritem. Besarnya
lesi bervariasi antara vesiko-pustul berukuran kacang hingga lesi menyerupai
ringworm

Diagnosis Banding
- Impetigo Bulosa
a. Varisela
Vesikel bermula di badan dan menyebar ke tangan kaki dan wajah
berdinding tipis yang berdasar eritem; vesikel pecah dan terbentuk
krusta.
b. Pemfigoid Bulosa
Vesikel dan bula muncul secara cepat pada daerah yang gatal serta
muncul plak urtikaria

c. Pemfigus Vulgaris
Manifestasi klinis berupa bula yang tidak terasa gatal, ukurannya
bervariasi antara 1 sampai beberapa sentimeter, muncul secara
bertahap dan menjadi generalisata. Terjadi erosi selama beberapa
minggu sebelum penyembuhan disertai hiperpigmentasi.

11
- Impetigo non-bulosa
a. Virus Herpes Simplex dan Herpes Zoster
Vesikel berkelompok yang berdasar eritem pecah sehingga
menimbulkan erosi yang dikelilingi oleh krusta, terjadi pada kulit dan
bibir.
b. Candidiasis
Papul eritema atau merah, plak lembab biasanya terbatas pada
membran mukosa dan area intertriginosa.
c. Dermatitis Atopik
Lesi pruritik yang kronik atau relaps dan kulit kering yang abnormal,
berlangsung lama. Likenifikasi fleksural biasanya terjadi pada orang
dewasa. Pada anak-anak biasanya berpredileksi di area wajah dan
ekstensor
d. Skabies
Papula yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada sela-sela
jari, gatal pada malam hari.
e. Insect bite
Terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri.

2.9. Pemeriksaan Penunjang


Pada keadaan khusus, dimana diagnosis impetigo masih diragukan, atau pada
suatu daerah dimana impetigo sedang mewabah, atau pada kasus yang kurang
berespons terhadap pengobatan, maka diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan sebagai
berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
 Pewarnaan gram
Pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya neutrofil dengan kuman
coccus gram positif berbentuk rantai atau kelompok.
 Kultur cairan
Pada pemeriksaan ini umumnya akan mengungkapkan adanya Streptococcus
aureus, atau kombinasi antara Streptococcus pyogenes dengan Streptococcus-
β-hemoliticus grup A (GABHS), atau kadang-kadang dapat berdiri sendiri.

12
b. Pemeriksaan Lain
 Titer anti-streptolysin-O (ASTO), mungkin akan menunjukkan hasil positif
lemah untuk Streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan.
Streptozyme, menunjukkan hasil positif untuk Streptococcus, tetapi
pemeriksaan ini jarang dilakukan.
 Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri.

2.10. Terapi
Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman dan
memperbaiki kosmetik dan lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke orang lain
dan mencegah kekambuhan.
Terapi medikamentosa

a. Terapi topikal

Jika bula besar dan banyak, sebaiknya dipecahkan, krusta sedikit dilepaskan,
selanjutnya dibersihkan dengan betadine dan diberikan salep antibiotik. Pada
pengobatan topikal impetigo bulosa bisa dilakukan dengan pemberian antiseptik atau
salap antibiotik.

1) Antiseptik

Antiseptik yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengobatan impetigo


terutama yang telah dilakukan penelitian di Indonesia khususnya Jember dengan
menggunakan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah triklosan
2%. Pada hasil penelitian didapatkan jumlah koloni yang dapat tumbuh setelah kontak
dengan triklosan 2% selama 30”, 60”, 90”, dan 120” adalah sebanyak 0 koloni.

Sehingga dapat dikatakan bahwa triklosan 2%mampu untuk mengendalikan


penyebaran penyakit akibat infeksi Staphylococcus aureus.

13
2) Antibiotik Topikal

a) Mupirocin

Mupirocin topikal merupakan salah satu antibiotik yang sudah mulai


digunakan sejak tahun 1980an. Mupirocin ini bekerja dengan menghambat sintesis
RNA dan protein dari bakteri. Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan dengan
menggunakan mupirocin topikal yang dibandingkan dengan pemberian eritromisin
oral pada pasien impetigo yang dilakukan di Ohio didapatkan hasil sebagai berikut:

Mupirocin topikal jauh lebih unggul dalam mempercepat penyembuhan pasien


impetigo, meskipun pada awal kunjungan diketahui lebih baik penggunaan eritromisin
oral, namun pada akhir terapi dan pada evaluasi diketahui jauh lebih baik mupirocin
topikal dibandingkan dengan eritromisin oral dan penggunaan mupirocin topikal
memiliki sedikit failure.

Mupirocin 2% topikal (di berikan di kulit terinfeksi 2x sehari selama 3-5 hari)

b) Fusidic Acid

Tahun 2002 telah dilakukan penelitian terhadap fusidic acid yang


dibandingkan dengan plasebo pada praktek dokter umum yang diberikan pada pasien
impetigo. dapat dilihat bahwa penggunaan plasebo jauh lebih baik dibandingkan
dengan menggunakan fassidic acid.

c) Ratapamulin

Pada tanggal 17 April 2007 ratapamulin telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) untuk digunakan sebagai pengobatan impetigo. Namun bukan
untuk yang disebabkan oleh metisilin resisten ataupun vankomisin resisten.
Ratapamulin berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan
peptidil transferase yang pada akhirnya akan menghambat protein sintesis dari
bakteri.

Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan pada 210 pasien impetigo yang
berusia diantara 9 sampai 73 tahun dengan luas lesi tidak lebih dari 100 cm2 atau
>2% luas dari total luas badan. Kultur yang telah dilakukan pada pasien tersebut
didapatkan 82% dengan infeksi Staphylococcus aureus. Pada pasien-pasien tersebut

14
diberi ratapamulin sebanyak 2 kali sehari selama 5 hari terapi. Evaluasi dilakukan
mulai hari ke dua setelah hari terakhir terapi, dan didapatkan luas lesi berkurang, lesi
telah mengering, dan lesi benar-benar telah membaik tanpa penggunaan terapi
tambahan. Pada 85,6% pasien dengan menggunakan ratapamulin didapatkan
perbaikan klinis dan hanya hanya 52,1% pasien mengalami perbaikan klinis yang
menggunakan plasebo.

b. Terapi Sistemik

Impetigo staphylococcal berespon baik dengan terapi yang tepat. Pada orang
dewasa dengan lesi berat atau lesibulosa, dicloxacillin (atau penisilin sejenis-penisilin
semisintetik resisten), 250 – 500 mg secara oral, 4 kali sehari, atau eritromisin (pada
pasien alergi penisilin), 250 – 500 mg secara oral, 4 kali sehari, biasa diberikan, dosis
pada anak 12,5-50 mg/Kg/dosis, 4 x sehari. Pengobatan sebaiknya dilanjukan selama
5 – 7 hari (10 hari jika Streptococcusdiisolasi). Pemberian azitromisin oral (pada
dewasa 500 mg pada hari pertama, 250 mg per hari pada 4 hari selanjutnya) telah
menunjukkan efektivitas yang sama dengan dicloxacilin untuk infeksi kulit pada
orang dewasa dan anak-anak.

Untuk impetigo yang disebabkan oleh S. Aureus resisten eritromisin, yang


biasanya diisolasi dari lesi impetigo anak-anak, amoksisilin ditambah asam clavulanic
(25 mg/kg BB/haridiberikan 3 kali sehari), cephalexin (40 – 50 mg/kg BB/hari),
cefaclor (20 mg/kgBB/hari), cefprozil (20 mg/kg BB 1 kali sehari), atau klindamisin
(15 mg/kgBB/hari 3-4 kali sehari ) diberikanselama 10 hari adalah terapi alternatif
yang efektif.Jika dicurigai gambaran CA-MRSA (Community Aquirred – Methicillin
resistant Staphylococcus aureus) TMP-SMX (Cotrimoxazole) dan rifampisin,
klindamisin, dan tetrasiklin..

Untuk impetigo yang disebabkan oleh Streptococcus, penicillin merupakan


drug of choice. Injeksi single dose benzathine penicillin (300.000-600.000 unit untuk
anak, 1,2 juta unit untuk dewasa) atau per oral (25.000-100.000 unit/kg/hari tiap 6 jam
selama 10 hari). Obat lain adalah Eritromisin (30-50 mg/kg/hari po tiap 6 jam untuk
anak, 250-500 mg po tiap 6 jam untuk dewasa selama 10 hari).

15
TOPIKAL SISTEMIK

FIRST LINE Mupirocin 2x1 Dicloxacillin 250-500mg PO 4x1 (5-7


hari)

Retapamurin 2x1 Amoxicillin plus 25mg/kg 3x1; 250-500 mg


clavulanic acid; 4x1
cephalexin

Fusidic acid 2x1

SECOND Azitromycin 500mg x1, lanjut


LINE 250mg/hari selama 4 hari

(alergi
peniisilin)

Clindamycin 15mg/kg/hari 3x1

Erithromycin 250-500mg PO 4x1 (5-7


hari)

Jika curiga Mupirocin 2x1 TMP-SMX 160/800mg PO 2x1 (7


CA-MRSA hari)

Clindamycin 15mg/kg/hari 3x1

Tetracycline 250-500 mg PO 4x1 (7


hari)

Doxycycline 100mg PO 2x1 (7 hari)

16
Terapi nonmedikamentosa

a. Menghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai
mengelupaskan krusta dengan handuk basah

b. Mencegah anak untuk menggaruk daerah lecet. Dapat dengan menutup daerah yang
lecet dengan perban tahan air dan memotong kuku anak

c. Lanjutkan pengobatan sampai semua luka lecet sembuh

d. Lakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan jarum suntik untuk
mencegah penyebaran local

e. Dapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% pada impetigo
krustosa.

Penanganan dini yang dapat dilakukan oleh ibu jika mendapati anaknya dengan
tanda dan gejala impetigo yaitu :

1. Rendam bagian kulit yang sakit dalam air sabun selama 15-20 menit. Lakukan 2-3
kali sehari untuk melunturkan kerak pada kulit.

2. Gunakan sabun obat seperti Betadin. Gosoklah kulit sakit yang mengering.

3. Oleskan salep obat seperti polysporin pada kulit yang sakit. Lakukan 2-3 kali sehari
setelah kerak pada kulit hilang..

4. Tutup kulit yang sakit dengan perban yang bersih. Jangan biarkan anak menyentuh
atau menggaruknya.

Lakukan beberapa hal berikut ini untuk menghentikan penyebaran impetigo:

a. Cuci tangan dengan sabun setelah menyentuh kulit anak yang sakit atau pakaian
maupun handuknya.

b. Cuci tangan anak sampai bersih. Potong pendek kuku tangan anak.

17
c. Jaga agar tangan anak tidak menyentuh hidungnya.

d. Simpan pakaian, handuk, dan barang-barang anak terpisah dengan anggota


keluarga yang lain. Cucilah dengan sabun dan air panas.

2.11. Komplikasi
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun tidak
diobati. Bila tidak diobati, infeksi dapat menimbulkan komplikasi S.Aureus impetigo
dengan selulitis, lymphangitis, dan bakterimia. Produksi exfoliatin juga dapat
berujung menyebabkan SSSS (Staphylococcal Scalded Skin Syndrome) pada bayi dan
dewasa dengan defisiensi imun. Komplikasi lain berupa radang ginjal pasca infeksi
Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak
dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Gejala berupa bengkak tekanan darah tinggi,
terdapat urin seperti warna teh. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan
walaupun gejala-gejala tadi muncul.

2.12. Pencegahan
Kebersihan sederhana dan perhatian dapat mencegah timbulnya impetigo.
Seseorang yang sudah terkena impetigo atau gejala-gejala infeksi/peradangan
Streptococcus-β-hemoliticus grup A (GABHS) membuthkan perawatan medik dan
jika perlu dimulai dengan pemberian antibiotik secepat mungkin untuk mencegah
menyebarnya infeksi ke orang lain. Penderita impetigo harus diisolasi dan dicegah
agar tidak terjadi kontak dengan orang lain minimal dalam 24 jam setelah pemberian
antibiotik.
Adapun pencegahan yang harus di lakukan yaitu:
1. Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir setelah kontak dengan
pasien, terutama apabila terkena luka.
2. Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita.
3. Bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa menularkan
pada orang lain, setelah digunakan pasien.
4. Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun
dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif).
5. Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek
dan bersih.

18
6. Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang
lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau
pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan.
7. Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang
terinfeksi dan cuci tangan setelah itu.

2.13. Prognosis
Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan pengobatan
yang teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik seperti glomerulonefritis dan
lain-lain. Lesi mengalami perbaikan setelah 7-10 hari pengobatan.

19
BAB III
KESIMPULAN

Impetigo merupakan pioderma superfisialis yang terbatas pada epidermis. Impetigo


terbagi atas 2 bentuk yaitu impetigo krustosa dan impetigo bulosa. Impetigo krustosa
merupakan bentuk pioderma yang paling sederhana, menyerang epidermis dengan
gambaran yang dominan ialah krusta. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan
gambaran klini dari lesi. Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan melakukan
perawatan diri, pengobatan sistemik dan topikal.
Pengenalan klinis dari impetigo tidaklah sulit karena biasanya memberikan
gambaran yang khas dan umumnya terjadi pada anak. Pemeriksaan penunjang tidak
perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosa, akan tetapi dapat dilakukan pada pasien
yang tidak respon setelah mendapat pengobatan, sehingga dapat dilakukan kultur dan
tes sensitivitas
Terapi umumnya berupa medikamentosa dan non medikamentosa dengan prinsip
tetap menjaga higiene tubuh penderita agar tidak mudah terinfeksi penyakit kulit.
Prognosis umumnya baik. Impetigo umumnya sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu
apabila diobati secara teratur. Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi
Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak
dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Pengobatan utama pada impetigo adalah
pemberian antibiotik topikal. Pemberian antibiotik sistemik umumnya tidak
dianjurkan kecuali lesi sangat luas. Dari beberapa literatur dikatakan antibiotik topikal
yang paling baik diberikan pada impetigo adalah mupirocin 2% dan asam fusidat 2%
selama 3 sampai 5 hari. Antibiotik sistemik yang dapat diberikan adalah
amoksisilin/clavulanate (augmentin) 3 x 250-500 mg sehari selama 10 hari.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. 2018. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: FKUI.
2. Arthur Rook, D.S. Wilkinson, F.J.G Ebling. 1979. Impetigo. Textbook of
Dermatology. Edisi ke-3, Vol 2, Hal 338-341.
3. Craft, Noah. 2012. Superficial Superficial Cutaneuous Infections and
Pyodermas, dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th edition.2.
New York: McGraw-Hill Medicine; 2012; p 3025-3032
4. Wolff K, Johnson RA . 2017. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology 8th edition.2. New York: McGraw-Hill Medicine; p 528-
529

21

Anda mungkin juga menyukai