Anda di halaman 1dari 42

Program Hygiene Industri

Kimiawi

Faktor-faktor kimia adalah salah satu sumber bahaya potensial bagi pekerja. Paparan
terhadap zat-zat kimia tertentu di tempat kerja dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan, baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Untuk memahami faktor
kimia di tempat kerja, seorang ahli K3 harus memiliki pengetahuan tentang efek toksik
dan sifat dari suatu zat kimia. Identifikasi zat kimia berbahaya dapat dilakukan dengan
melihat pelabelan bahan kimia dan Material Safety Data Sheet (MSDS).

Definisi

Faktor kimia adalah faktor didalam tempat kerja yang bersifat kimia, yang meliputi bentuk padatan
(partikel, cair, gas, kabut, aerosol, dan uap yang berasal dari bahan- bahan kimia, mencakup wujud
yang bersifat partikel adalah debu, awan, kabut, uap logam, dan asap ; serta wujud yang tidak
bersifat partikel adalah gas dan uap (pasal 1, butir 11, dan butir 12. Permennakertransi No.PER.
13/MEN/X/2011, tentang NAB (Nilai Ambang Batas) Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja).

Sedangkan bahan kimia (chemical), adalah unsur kimia dan senyawanya dan campurannya, baik yang
bersifat alami maupun sintetis. Keracunan bahan kimia, dimana dalam keadaan normal, badan
manusia mampu mengatasi bermacam-macam bahan dalam batas-batas tertentu. Keracunan terjadi
apabila batas-batas tersebut dilampui dimana badan tidak mampu mengatasinya(melalui saluran
pencernaan, penyerapan atau pembuangan). Derajad racun (toxicity), adalah potensi kandungan
bahan kimia yang menyebabkan keracunan. Racun dari bahan kimia sangat beragam (contoh ;
beberapa tetesan bahan kimia bisa mematikan, sementara yang lain baru memberikan efek kalau
dikonsumsi dalam jumlah yang besar) Bahaya kimia (chemical hazard) adalah bahan kimia yang
digolongkan kedalam bahan-bahan berbahaya atau memiliki informasi yang menyatakan bahwa
bahan tersebut berbahaya, biasanya informasi tersebut dalam “lembar data keselamatan (chemical
safety data sheet)”, yang memuat dokumen dan informasi penting untuk para pengguna yang
bertalian dengan sifat kandungan bahayanya dan cara-cara penggunaan yang aman, ciri-ciri,supplier,
penggolongan, bahayanya, peringatan-peringatan, bahaya dan prosedur tanggap darurat. Faktor-
faktor yang menciptakan kondisi intensitas bahaya di area lingkungan tempat kerja yang
berhubungan dengan penggunaan bahan kimia meliputi ; (i) derajat racun, (ii) sifat-sifat fisik dari
bahan, (iii) tata cara kerja, (iv) sifat dasar, (v) tempat/jalan masuk, (vi) kerentanan individu para
pekerja, dan (vii) kombinasi faktor-faktor (i) sampai dengan (vi) akan menibulkan situasi yang
berbahaya

Tujuan

Manfaat

Cara kerja

Alat kerja

Keuntungan jangka panjang


Iklim Kerja

Setiap organisasi akan memiliki iklim kerja yang berbeda. Keanekaragaman


pekerjaan yang dirancang di dalam organisasi, atau sifat individu yang ada
akan menggambarkan perbedaan tersebut. Semua organisasi tentu memiliki
strategi dalam memanajemen sumber daya manusia. Iklim organisasi yang
terbuka memacu karyawan untuk mengutarakan kepentingan dan
ketidakpuasan tanpa adanya rasa takut akan tindakan balasan dan perhatian.
Ketidakpuasan seperti itu dapat ditangani dengan cara yang positif dan
bijaksana. Iklim keterbukaan, bagaimanapun juga hanya tercipta jika semua
anggota memiliki tikat keyakinan yang tinggi dan mempercayai keadilan
tindakan. Organisasi cenderung menarik dan mempertahankan orang-orang
yang sesuai dengan iklimnya, sehingga dalam tingkatan tertentu polanya
dapat langgeng.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wantisimanjuntak/menciptakan-
iklim-kerja-yang-kondusif_55484ed0547b61f0082523ef

Definisi

Iklim kerja merupakan suatu kondisi atau keadaan suasana kerja dimana seseorang dapat dengan
nyaman, tenang, dan bebas dalam melakukan pekerjaan tanpa adanya rasa takut. Iklim kerja yang
menyenangkan akan tercipta, apabila hubungan antar manusia berkembang dengan harmonis.
Keadaan iklim yang harmonis ini sangat mendukung terhadap kinerja seseorang. Dalam penelitian ini
iklim kerja yang terkait dengan suasana lingkungan dimana konselor menjalankan tugasnya. Adapun
indikator yang digunakan diantaranya conformity, tanggung jawab (responsibility), standar kerja
(standards), imbalan (rewards), kejelasan (clarity) dan semangat tim (team spirits).

Robbins (2007:716) menyatakan bahwa iklim kerja adalah istilah yang dipakai
untuk memuat rangkaian variable perilaku yang mengacu pada nilai-nilai,
kepercayaan-kepercayaan, dan prinsip pokok yang berperan sebagai suatu
dasar bagi system manajemen organisasi. Iklim kerja juga merupakan teori-
teori yang menjelaskan sasaran dan prosedur untuk mencapai tujuan.
Pendapat senada disampaikan oleh Ouchi bahwa iklim kerja tercakup dalam
falsafah manajemennya, yang terdiri dari atas teori-teori yang secara tersirat
menjelaskan sasaran dan prosedur yang digunakan untuk mencapainya
(W.G.Ouchi, 1992:95). Sedangkan menurut Davis dan Newstrom, (2001:25)
iklim kerja sebagai kepribadian sebuah organisasi yang membedakan dengan
organisasi lainnya yang mengarah pada persepsi masing-masing anggota
dalam memandang organisasi. Semua organisasi memiliki iklim kerja yang
manusiawi dan partisipasif, sesuai dengan gaya kepemimpinan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa iklim organisasi dimaksudkan untuk
memberikan lingkungan pengasuhan yang mengakui bahwa pegawai
diperlakukan sebagai individu. Dengan demikian, iklim kerja merupakan alat
untuk memecahkan masalah (solusi) yang secara konsisten dapat berjalan
dengan baik bagi suatu kelompok atau lembaga tertentu dalam menghadapi
persoalan eksternal dan internalnya. Hal ini dapat ditularkan atau diajarkan
kepada para indivivu untuk berpendapat, dan merasakan dalam hubungannya
dengan persoalan-persoalan tersebut. Istilah iklim kerja pertama kalinya di
pakai oleh Kurt Lewin pada tahun 1930-an, yang menggunakan istilah iklim
psikologi (psychological climate), kemudian istilah iklim kerja dipakai oleh R.
Tagiuri dan G. Litwin. Banyak pengertian iklim kerja yang dikemukakan oleh
para ahli, beberapa diantaranya Wirawan (2007:122) yang menyatakan bahwa
iklim kerja adalah pesrsepsi anggota organisasi (secara individual dan
kelompok) dan mereka yang secara tetap berhubungan dengan organisasi
(misalnya pemasok, konsumen, konsultan, dan kontraktor) mengenai apa
yang ada atau yang terjadi di lingkungan internal organisasi secara rutin,
yang mempengaruhi sikap dan perilaku organisasi dan kinerja anggota
organisasi yang kemudian menemukan kinerja organisasi.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wantisimanjuntak/menciptakan-
iklim-kerja-yang-kondusif_55484ed0547b61f0082523ef

Dari berbagai defenisi mengenai iklim kerja, maka dapat disimpulkan bahwa
iklim kerja merupakan gambaran terhadap kualitas, suasana dan karakter
yang tampak pada norma dan nilai, hubungan interpersonal, suasana belajar-
mengajar, struktur organisasi, ikatan positif dengan lembaga dan lingkungan
fisik yang terdapat di lembaga tempat pegai bertugas. Iklim kerja ini dapat
diukur melalui dimensi safety (rasa aman), teaching and learning (kegiatan
belajar mengajar), interpersonal relationships (hubungan dengan orang lain),
dan institutional environment (lingkungan kerja).

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wantisimanjuntak/menciptakan-
iklim-kerja-yang-kondusif_55484ed0547b61f0082523ef

Tujuan

Manfaat

Cara kerja

Alat kerja

Alat yang dapat digunakan adalah Arsmann psychrometer untuk mengukur suhu
basah, termometer bola untuk mengukur suhu radiasi. Selain itu pengukuran iklim kerja dapat
menggunakan “Questemp” yaitu suatu alat digital untuk mengukur tekanan panas dengan parameter
Indek Suhu Bola Basah (ISBB). Alat ini dapat mengukur suhu basah, suhukering dan suhu
radiasi. Pengukuran tekanan panas di lingkungan kerja dilakukan dengan meletakkan alat pada
ketinggian 1,2 m (3,3kaki) bagi tenaga kerja yang berdiri dan 0,6 m (2 kaki) bila tenagakerja duduk
dalam melakukan pekerjaan. P a d a s a a t p e n g u k u r a n reservoir (tandon) termometer suhu basah
diisi dengan aquadest dan waktu adaptasi alat 10 menit (Tim Hiperkes, 2006).

Dalam tulisannya Jewell & Siegell (1990) mengungkap bahwa kepuasan kerja merupakan sikap yang
timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja. Lebih lanjut diungkap oleh Jewell & Siegell
bahwa karyawan yang puas lebih menyukai situasi kerjanya dibandingkan yang tidak. Lebih lanjut
diungkap oleh Jewell & Siegell, mengingat kepuasan kerja adalah sikap, dan karenanya merupakan
konstruksi hipotesis sesuatu yang tidak dilihat, tetapi ada atau tidak adanya diyakini berkaitan
dengan pola perilaku tertentu. Sebagai sesuatu yang bersifat hipotesis dan karenanya tidak dapat
dilihat –meski keberadaannya diyakini, serta akan berdampak pada perilaku individu- maka batasan
puas tidaknya seseorang serta bagaimana cara mengukur tingkat kepuasan tersebut bervariasi
tergantung pada siapa dan kapan hal tersebut dilakukan. Setidaknya ada tiga konsep batasan
tentang kepuasan kerja, yaitu (1) kepuasan kerja sebagai konsep global; (2) kepuasan kerja sebagai
konsep permukaan; dan (3) kepuasan kerja sebagai kebutuhan yang terpenuhkan (Jewell & Siegell,
1990). Bagi Jewell & Siegell (1990) kepuasan kerja sebagai konsep global dimaknai sebagai penilaian
positif dari situasi kerja tertentu, dan Jewell & Siegell menyebutnya sebagai konsep

Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006

satu dimensi. Dinamakan sebagai konsep satu dimensi karena merupakan ringkasan psikologis dari
semua aspek yang disukai atau tidak disukai. Terkait dengan hal ini Jewell & Siegell (1990)
mencontohkan model pertanyaan kepuasan kerja sebagai konsep global dengan mengambil contoh
dari instrumen yang dikemukakan oleh Vecchio. Dalam penelitiannya Vecchio mengembangkan satu
pertanyaan untuk mengetahui hubungan antara kualitas kerja dan kepuasan kerja, yaitu “secara
keseluruhan bagaimana kepuasan anda dengan kerja yang anda lakukan – apakah anda akan
mengatakan bahwa anda sangat puas, cukup puas, agak tidak puas atau sangat tidak puas”. Tentu
saja dalam menjawab pertanyaan ini seorang responden akan berbeda asumsi yang
melatarbelakanginya dengan responden lainnya. Artinya seorang responden menyatakan puas
karena gaji yang diterimanya tinggi, sedangkan responden lainnya menjawab puas karena interaksi
di antara sesama karyawannya begitu akrab. Dari sini tampak betapa terjadi perbedaan asumsi
responden dalam menjawab pertanyaan yang sama, yang seharusnya asumsi tersebut memiliki
parameter yang sama agar tidak terjadi bias. Menyadari bahwa model instrumen dengan
menggunakan satu butir soal saja memiliki banyak persoalan terkait dengan validitas dan
reliabilitasnya, diajukanlah kepuasan kerja sebagai konsep permukaan (facet/komponen). Asumsi
yang melatarbelakangi munculnya konsep ini, karena sebenarnya kepuasan kerja memiliki pelbagai
aspek (komponen) yang daripadanya dapat diukur tingkat kepuasan kerja yang dimiliki oleh seorang
karyawan. Beberapa aspek tersebut antara lain beban kerja, keamanan kerja, kompensasi, kondisi
kerja, status dan prestise kerja, kecocokan dengan rekan kerja, kebijaksanaan penilaian perusahaan,
praktek manajemen umum, hubungan atasan-bawahan, otonomi dan tanggung jawab jabatn,
kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan ketrampilan, kesempatan untuk pertumbuhan
dan pengembangan (Jewell & Siegell,1990). Lazimnya dalam penelitian yang dilakukan, para peneliti
tidak harus menggunakan seluruh komponen tersebut. Hal tersebut sebagaimana diungkap Jewell &
Siegell (1990) bahwa untuk pengukuran kepuasan kerja cenderung bervariasi dari satu penyelidikan
ke penyelidikan berikutnya, dan dengan sendirinya jumlah komponen yang diukur juga bervariasi.
Pada akhirnya seberapa banyak komponen yang harus disertakan dalam kajian penelitiannya jelas
akan tergantung pada bagaimana pertanyaan penelitiannya. Meski demikian, secara umum untuk
mengukur kepuasan kerja dengan menggunakan mutli komponen Dr. Patricia C. Smith telah
mengembangkan Job descriptive Index, yang memiliki skala lima facet yang digunakan untuk
mengukur kepuasan kerja atau ketidakpuasan kerja, supervisi, gaji, kesempatan promosi dan rekan
kerja. Dengan menggunakan model skala ini, responden cukup menjawab dengan “ya, atau tidak”
pada kalimat-kalimat yang telah tersedia. Di samping kelebihannya yang telah digunakan lebih dari
dua dasawarsa, model JDI ini juga memiliki kelemahan, karena JDI merupakan deskripsi dari situasi
kerja, dan karyawan (individu) diminta untuk merespon situasi tersebut sejauh mana yang
bersangkutan merasa puas, atau tidak, sedangkan seperti telah diungkap sebelumnya masalah
perasaan adalah relatif antara individu satu dengan individu lainnya. Dengan begitu adanya unsur ini
menjadikan JDI juga bersifat relatif, tergantung pada siapa yang menilai dan kapan situasi itu dinilai.
Konsep ketiga adalah kepuasan kerja sebagai kebutuhan yang terpenuhkan. Berbeda dengan dua
konsep sebelumnya, yang tampaknya menekankan pada asumsi bahwa semua orang memiliki
perasaan yang sama mengenai aspek tertentu dari situasi pekerjaan. Model ini dikembangkan oleh
Porter dengan didasarkan pada pendekatan teori kebutuhan akan kepuasan

Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006

kerja. Dengan menggunakan 15 butir soal yang terkait dengan kebutuhan akan rasa aman,
penghargaaan, otonomi, sosial dan aktualisasi diri sendiri, tiap responden akan menjawab tiga
pertanyaan untuk masing-masing kebutuhan tersebut, yaitu (1) berapa yang ada sekarang?; (2)
berapa seharusnya?; (3) bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?. Masing-masing pertanyaan
memiliki 7 skala, dengan angka 1 menunjukkan minimal dan 7 sebagai maksimal. Puas tidaknya
seseorang dapat diketahui dari interval antara jawaban berapa yang ada sekarang, dengan berapa
yang seharusnya. Semakin kecil interval, menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi, sedangkan
semakin besar intervalnya menunjukkan rendahnya kepuasan kerja yang dimiliki oleh karyawan yang
bersangkutan.Adapun jawaban tentang pertanyaan bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?
Menunjukkan kekuatan relatif dari masing-masing kebutuhan tersebut bagi karyawan yang
bersangkutan. Seperti telah diungkap pada awal bagian subbab ini, bahwa kepuasan kerja
merupakan sikap seseorang yang timbul dari hasil penilaian terhadap situasi tertentu. Disadari
bahwa sikap merupakan fenomena subyektif dan individual, sehingga pengukuran tentang kepuasan
kerja haruslah berdasar pada penilaian subyektif individual, dan tentunya ini menjadi kesulitan
tersendiri dalam pembuatan instrumennya. Tingkat akurasi tanggapan yang diberikan oleh
responden merupakan salah satu persoalan yang tidak mudah. Banyak faktor yang dapat menjadikan
ketidak-tepatan jawaban yang diberikan oleh responden terhadap pertanyaan yang diajukan, bahkan
kerap terjadi penyimpangan jawaban oleh responden –meski hal itu mungkin juga tidak disadarinya-.
Beberapa faktor yang diidentifikasi dapat mempengaruhi tingkat akurasi jawaban responden antara
lain: (1) tingkat pemahaman responden terhadap materi yang ditanyakan; (2) tingkat kejujuran
responden dalam menjawab pertanyaan; (3) pengantar yang diberikan oleh peneliti melalui; (4)
lokasi tempat mengisi kuesioner; (5) waktu mengisi kuesionter; (6) apakah responden diminta untuk
bercerita (mengidentifikasi) dirinya atau tidak; (8) social desirable factors.

Keuntungan jangka panjang


Dalam tulisannya Jewell & Siegell (1990) mengungkap bahwa kepuasan kerja merupakan sikap yang
timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja. Lebih lanjut diungkap oleh Jewell & Siegell
bahwa karyawan yang puas lebih menyukai situasi kerjanya dibandingkan yang tidak. Lebih lanjut
diungkap oleh Jewell & Siegell, mengingat kepuasan kerja adalah sikap, dan karenanya merupakan
konstruksi hipotesis sesuatu yang tidak dilihat, tetapi ada atau tidak adanya diyakini berkaitan
dengan pola perilaku tertentu. Sebagai sesuatu yang bersifat hipotesis dan karenanya tidak dapat
dilihat –meski keberadaannya diyakini, serta akan berdampak pada perilaku individu- maka batasan
puas tidaknya seseorang serta bagaimana cara mengukur tingkat kepuasan tersebut bervariasi
tergantung pada siapa dan kapan hal tersebut dilakukan. Setidaknya ada tiga konsep batasan
tentang kepuasan kerja, yaitu (1) kepuasan kerja sebagai konsep global; (2) kepuasan kerja sebagai
konsep permukaan; dan (3) kepuasan kerja sebagai kebutuhan yang terpenuhkan (Jewell & Siegell,
1990). Bagi Jewell & Siegell (1990) kepuasan kerja sebagai konsep global dimaknai sebagai penilaian
positif dari situasi kerja tertentu, dan Jewell & Siegell menyebutnya sebagai konsep

Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006

satu dimensi. Dinamakan sebagai konsep satu dimensi karena merupakan ringkasan psikologis dari
semua aspek yang disukai atau tidak disukai. Terkait dengan hal ini Jewell & Siegell (1990)
mencontohkan model pertanyaan kepuasan kerja sebagai konsep global dengan mengambil contoh
dari instrumen yang dikemukakan oleh Vecchio. Dalam penelitiannya Vecchio mengembangkan satu
pertanyaan untuk mengetahui hubungan antara kualitas kerja dan kepuasan kerja, yaitu “secara
keseluruhan bagaimana kepuasan anda dengan kerja yang anda lakukan – apakah anda akan
mengatakan bahwa anda sangat puas, cukup puas, agak tidak puas atau sangat tidak puas”. Tentu
saja dalam menjawab pertanyaan ini seorang responden akan berbeda asumsi yang
melatarbelakanginya dengan responden lainnya. Artinya seorang responden menyatakan puas
karena gaji yang diterimanya tinggi, sedangkan responden lainnya menjawab puas karena interaksi
di antara sesama karyawannya begitu akrab. Dari sini tampak betapa terjadi perbedaan asumsi
responden dalam menjawab pertanyaan yang sama, yang seharusnya asumsi tersebut memiliki
parameter yang sama agar tidak terjadi bias. Menyadari bahwa model instrumen dengan
menggunakan satu butir soal saja memiliki banyak persoalan terkait dengan validitas dan
reliabilitasnya, diajukanlah kepuasan kerja sebagai konsep permukaan (facet/komponen). Asumsi
yang melatarbelakangi munculnya konsep ini, karena sebenarnya kepuasan kerja memiliki pelbagai
aspek (komponen) yang daripadanya dapat diukur tingkat kepuasan kerja yang dimiliki oleh seorang
karyawan. Beberapa aspek tersebut antara lain beban kerja, keamanan kerja, kompensasi, kondisi
kerja, status dan prestise kerja, kecocokan dengan rekan kerja, kebijaksanaan penilaian perusahaan,
praktek manajemen umum, hubungan atasan-bawahan, otonomi dan tanggung jawab jabatn,
kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan ketrampilan, kesempatan untuk pertumbuhan
dan pengembangan (Jewell & Siegell,1990). Lazimnya dalam penelitian yang dilakukan, para peneliti
tidak harus menggunakan seluruh komponen tersebut. Hal tersebut sebagaimana diungkap Jewell &
Siegell (1990) bahwa untuk pengukuran kepuasan kerja cenderung bervariasi dari satu penyelidikan
ke penyelidikan berikutnya, dan dengan sendirinya jumlah komponen yang diukur juga bervariasi.
Pada akhirnya seberapa banyak komponen yang harus disertakan dalam kajian penelitiannya jelas
akan tergantung pada bagaimana pertanyaan penelitiannya. Meski demikian, secara umum untuk
mengukur kepuasan kerja dengan menggunakan mutli komponen Dr. Patricia C. Smith telah
mengembangkan Job descriptive Index, yang memiliki skala lima facet yang digunakan untuk
mengukur kepuasan kerja atau ketidakpuasan kerja, supervisi, gaji, kesempatan promosi dan rekan
kerja. Dengan menggunakan model skala ini, responden cukup menjawab dengan “ya, atau tidak”
pada kalimat-kalimat yang telah tersedia. Di samping kelebihannya yang telah digunakan lebih dari
dua dasawarsa, model JDI ini juga memiliki kelemahan, karena JDI merupakan deskripsi dari situasi
kerja, dan karyawan (individu) diminta untuk merespon situasi tersebut sejauh mana yang
bersangkutan merasa puas, atau tidak, sedangkan seperti telah diungkap sebelumnya masalah
perasaan adalah relatif antara individu satu dengan individu lainnya. Dengan begitu adanya unsur ini
menjadikan JDI juga bersifat relatif, tergantung pada siapa yang menilai dan kapan situasi itu dinilai.
Konsep ketiga adalah kepuasan kerja sebagai kebutuhan yang terpenuhkan. Berbeda dengan dua
konsep sebelumnya, yang tampaknya menekankan pada asumsi bahwa semua orang memiliki
perasaan yang sama mengenai aspek tertentu dari situasi pekerjaan. Model ini dikembangkan oleh
Porter dengan didasarkan pada pendekatan teori kebutuhan akan kepuasan

Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 1, Juni 2006

kerja. Dengan menggunakan 15 butir soal yang terkait dengan kebutuhan akan rasa aman,
penghargaaan, otonomi, sosial dan aktualisasi diri sendiri, tiap responden akan menjawab tiga
pertanyaan untuk masing-masing kebutuhan tersebut, yaitu (1) berapa yang ada sekarang?; (2)
berapa seharusnya?; (3) bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?. Masing-masing pertanyaan
memiliki 7 skala, dengan angka 1 menunjukkan minimal dan 7 sebagai maksimal. Puas tidaknya
seseorang dapat diketahui dari interval antara jawaban berapa yang ada sekarang, dengan berapa
yang seharusnya. Semakin kecil interval, menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi, sedangkan
semakin besar intervalnya menunjukkan rendahnya kepuasan kerja yang dimiliki oleh karyawan yang
bersangkutan.Adapun jawaban tentang pertanyaan bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?
Menunjukkan kekuatan relatif dari masing-masing kebutuhan tersebut bagi karyawan yang
bersangkutan. Seperti telah diungkap pada awal bagian subbab ini, bahwa kepuasan kerja
merupakan sikap seseorang yang timbul dari hasil penilaian terhadap situasi tertentu. Disadari
bahwa sikap merupakan fenomena subyektif dan individual, sehingga pengukuran tentang kepuasan
kerja haruslah berdasar pada penilaian subyektif individual, dan tentunya ini menjadi kesulitan
tersendiri dalam pembuatan instrumennya. Tingkat akurasi tanggapan yang diberikan oleh
responden merupakan salah satu persoalan yang tidak mudah. Banyak faktor yang dapat menjadikan
ketidak-tepatan jawaban yang diberikan oleh responden terhadap pertanyaan yang diajukan, bahkan
kerap terjadi penyimpangan jawaban oleh responden –meski hal itu mungkin juga tidak disadarinya-.
Beberapa faktor yang diidentifikasi dapat mempengaruhi tingkat akurasi jawaban responden antara
lain: (1) tingkat pemahaman responden terhadap materi yang ditanyakan; (2) tingkat kejujuran
responden dalam menjawab pertanyaan; (3) pengantar yang diberikan oleh peneliti melalui; (4)
lokasi tempat mengisi kuesioner; (5) waktu mengisi kuesionter; (6) apakah responden diminta untuk
bercerita (mengidentifikasi) dirinya atau tidak; (8) social desirable factors.

Nilai ambang batas

Nilai Ambang Batas Iklim Kerja ISBB Yang Diperkenankan

Pengaturan waktu kerja ISBB (oC)


setiap hari Beban Kerja
Waktu Kerja Waktu Ringan Sedang Berat
Istirahat
Bekerja terus-menerus - 30,0 26,7 25,0
75% kerja 25% istirahat 30,6 28,0 25,9
50% kerja 50% istirahat 31,4 29,4 27,9
25% kerja 75% istirahat 32,3 31,1 30,0

Catatan:

ISBB: Indeks Suhu Basah dan Bola (Wet Globe and Ball Temperature/WBGT)

Indeks Suhu Basah dan Bola untuk di luar ruangan dengan panas radiasi:

 ISBB: 0,7 suhu basah alami + 0,2 suhu bola + 0,1 suhu kering

Indeks Suhu Basah dan Bola untuk di dalam atau luar ruangan tanpa panas radiasi:

 ISBB: 0,7 suhu basah alami + 0,3 suhu bola

Beban kerja ringan membutuhkan 100-200 kkal/jam


Beban kerja sedang membutuhkan >250 – 350 kkal/jam
Beban kerja berat membutuhkan >350-500 kkal/jam

TAMBAHAN

Pengertian Iklim Kerja

Iklim kerja adalah faktor-faktor termis dalam


lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi
kesehatan manusia. Manusia mempertahankan
suhu tubuhnya antara 36 -370C dengan berbagai
cara pertukaran panas baik melalui konduksi,
konveksi dan radiasi. Walaupun banyak faktor
yang dapat menaikan suhu tubuh, tapi mekanisme
dalam tubuh, membuat suhu tetap stabil .
Faktor lingkungan yang
mempengaruhi keseimbangan suhu tubuh adalah
suhu panas atau dingin yang berlebihan. Suhu
lingkungan dipengaruhi oleh adanya angin,
kelembaban, tekanan udara ruangan dan suhu
udara luar ruangan. Apabila tubuh tidak dapat
beberadaptasi dengan suhu ekstrim, maka akn
timbul gangguan kesehatan .
Beberapa istilah yang harus dipahami:

1. Temperature suhu kering, t (ºC)


Temperature yang dibaca oleh sensor suhu kering dan terbuka, namun hasil pembacaan tidak terlalu
tepat karena adnya pengaruh radiasi panas, kecuali sensornya mendapat ventilasi baik.
2. Temperature suhu basah, t (ºC)
Temperature yang dibaca oleh sensor yang telah dibalut dengan kain / kapas basah untuk
menghilangakan pegaruh radiasi, yang harus diperhatikan adalah aliran udara yang melewati sensor
minimal 5 m/s
3. Kelembaban relative, Q (%)
Kelembaban relative adalah perbandingan antara tekanan parsial uap air yang ada di dalam udara
dan tekanan jenuh uap air pada temperature yang sama.
Setelah pembacaan suhu kering dan suhu basah dilakukan, gunakan chart psikrometri /
diagram posikrometri untuk menganalisa hasil pengukuran.Kemudian bandingkan dengan rumus.

Kelembaban relatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jumlah uap air yang
terkandung di dalam campuran air-udara dalam fase gas (Wikipedia, 2013).

Kelembaban relatif dari suatu campuran udara-air didefinisikan sebagai rasio dari tekanan
parsial uap air dalam campuran terhadap tekanan uap jenuh air pada temperatur tersebut.
Kelembaban relatif menggunakan satuan persen dan dihitung dengan cara berikut:

RH = (PH20/P*H20) X 100% ........................................ (2.1 )

di mana:

RH adalah kelembaban relatif campuran;

PH20 adalah tekanan parsial uap air dalam campuran; dan

P*H20 adalah tekanan uap jenuh air pada temperatur tersebut dalam campuran.

Setelah melakukan pembacaan pada table psikrometric, dilakukan analisa ISBB terhadap
hasil pengukuran.

II.2 Macam-macam iklim kerja

Kemajuan teknologi dan proses produksi di dalam industry telah menimbulkan suatu
lingkungan kerja yang mempunyai iklim atau cuaca tertentu yang dapat berupa iklim kerja
panas dan iklim kerja dingin.

a. Iklim kerja panas


Iklim kerja panas merupakan meteorologi dari lingkungan kerja yang dapat disebabkan oleh
gerakan angin, kelembaban, suhu udara, suhu radiasi dan sinar matahari.( Budiono, 2008)

Salah satu kondisi yang disebabkan oleh iklim kerja yang terlalu tinggi adalah apa yang
dinamakan dengan Hear Stress ( tekanan panas). Tekanan panas adalah keseluruhan beban
panas yang diterima tubuh yang merupakan kombinasi dari kerja fisik, faktor lingkungan
( suhu udara, tekanan uap air, pergerakan udara, perubahan panas radiasi ) dan faktor lain.
Tekanan panas akan berdampak pada terjadinya :

1. Dehidrasi

Dehidrasi adalah penguapan yang berlebihan yang akan mengurangi volume darah dan pada
tingkat awal aliran darah akan menurun dan otak akan kekurangan oksigen.

2. Heat rash

Gejala ini bias berupa lecet terus menerus dan panas disertai gatal yang menyengat.

3. Heat Fatique

Gangguan pada kemampuan motorik dalam kondisi pan as. Gerakan tubuh menjadi lambat,
kurang waspada terhadap tugas.

4. Heat cramps

Kekejangan otot yang diikuti penurunan sodium klorida dalam darah sampai tingkat
kritis.Dapat terjadi sendiri atau bersama dengan kelelahan panas, kekejangan timbul secara
mendadak.

5. Heat exhaustion : dikarenakan kekurangan cairan tubuh

6. Heat Sincope

Keadaan kolaps atau kehilangan kesadaran selama pemajanan panas dan tanpa kenaikan
suhu tubuhatau penghentian keringat.

7. Heat stroke

Kerusakan serius yang bekaitan dengan kesalahan pada pusat pengatur suhu tubuh. Pada
kondisi ini me kan ism e pengat ur suh u tida k ber fun gsi lag i disertai hambatan proses
penguapan secara tiba-tiba (Ramdan, 2007).
Orang-orang Indonesia pada umumnya beraklimitasi dengan iklim tropis yang suhunya
sekitar 29-300 C dengan kelembaban sekitar 85 – 95 %. Aklimatisasi terhadap panas berarti
suatu proses penyesuaian yang terjadi pada seseorang selama seminggu pertama berada di
tempat panas, sehingga setelah itu ia mampu bekerja tanpa pengaruh tekanan panas.

b. Iklim kerja dingin

Pengaruh suhu dingin dapat mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku atau
kurangnya koordinasi otot. Sedangkan pengaruh suhu ruangan sangat rendah terhadap
kesehatan dapat mengakibatkan penyakit yang terkenal yang disebut dengan chilblains,
trench foot dan frostbite.

Pencegahan terhadap gangguan kesehatan akibat iklim kerja suhu dingin dilakukan
melalui seleksi pekerja yang “fit” dan penggunaan pakaian pelindung yang baik. Disamping
itu, pemeriksaan kesehatan perlu juga dilakukan secara periodik. (Budiono, 2008)

II.3 Penilaian Tekanan Panas

Tekanan panas dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang selanjutnya dapat digolongkan
dalam:

a. Climatic faktor: suhu udara, humidity, radiasi, k e c e p a t a n gerakan udara.

b. Non climatic faktor: panas, metabolisme, pakaian kerja dan tingkat aklimatisasi (Subaris,2007).

Untuk menyederhanakan pengertian maka beberapa ahli menciptakan suatu indeks menurut
fungsinya, sebagai berikut:

a. Suhu efektif yaitu indeks sensoris dari tingkat panas yangdialami oleh seseorang tanpa baju dan
kerja ringan dalam berbagai kombinasi suhu, kelembaban dan kecepatan aliranudara. Cara ini
mempunyai kelemahan yaitu tidak memperhitungkan panas radiasi dan panas metabolisme
tubuhsendiri.

b. indeks suhu basah dan bola (Wet Bulp-Globe Temperature Index dengan rumus untuk
pekerjaan yang mengalami kontak dengan sinar matahari :

ISBB = (0,7 x suhu basah) + (0,2 x suhu radiasi) + (0,1 x suhu kering) ............ (2.2)

S e d a n g k a n u n t u k p e k e r j a a n y a n g t i d a k k o n t a k d e n g a n s i n a r matahari digunakan
rumusan sebagai berikut :

ISBB = (0,7 x suhu basah) + (0,3 x suhu radiasi) ........................... (2.3)


c. Indeks kecepatan pengeluaran keringat selama 4 jam, sebagai akibat dari kombinasi suhu,
kelembaban dan kecepatan gerakan udara serta panas radiasi. Dapat juga dikoreksi denganpakaian
dan tingkat kegiatan pekerjaan.

d. Indeks Belding – Hatch yaitu pengukuran tekanan panas dengan menghubungkan kemampuan
berkeringat dari orang standar yaitu orang yang masih muda dengan tinggi 170 cm danberat 154
pond, kondisi sehat, kesegaran jasmani baik sertabeaklimatisasi terhadap panas. Metode ini
mendasarkan indeksnya atas perbandingan banyaknya keringat yang diperlukan untuk mengimbangi
panas dan kapasitas maksimaltubuh untuk berkeringat.Untuk menentukan indeks tersebut diperlukan
pengukuran suhu kering dan basah, suhu globe thermometer, kecepatan aliran udara dan produksi
panas akibat kegiatan kerja (Ramdan, 2007).

II.4 Pengukuran Iklim Kerja

Alat yang dapat digunakan adalah Arsmann psychrometer untuk mengukur suhu
basah, termometer bola untuk mengukur suhu radiasi. Selain itu pengukuran iklim kerja dapat
menggunakan “Questemp” yaitu suatu alat digital untuk mengukur tekanan panas dengan parameter
Indek Suhu Bola Basah (ISBB). Alat ini dapat mengukur suhu basah, suhukering dan suhu
radiasi. Pengukuran tekanan panas di lingkungan kerja dilakukan dengan meletakkan alat pada
ketinggian 1,2 m (3,3kaki) bagi tenaga kerja yang berdiri dan 0,6 m (2 kaki) bila tenagakerja duduk
dalam melakukan pekerjaan. P a d a s a a t p e n g u k u r a n reservoir (tandon) termometer suhu basah
diisi dengan aquadest dan waktu adaptasi alat 10 menit (Tim Hiperkes, 2006).

Tabel 2.1 paparan panas WBGT yang diperkenankan sebagai NAB (WBGT dalam oC)

Work Acclimatized Unacclimatized

Demands Light Moderate Heavy Very Light Moderate Heavy Very

Heavy Heavy

100% 29.5 27.5 26 - 27.5 25 22.5 -


work

75% work 30.5 28.5 27.5 - 29 26.5 24.5 -

25% rest

50% work 31.5 29.5 28.5 27.5 30 28 26.5 25

50% rest

25% rest 32.5 31 30 29.5 31 29 28 26.5

75% work

(Sumber : ACGIH,2005 )

Nilai Ambang Batas Iklim Kerja (Panas) dengan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) tidak
diperkenankan melebihi :
1. Jenis pekerjaan ringan,WBGTI 30,0˚C

2. Jenis pekerjaan sedang, WBGTI 26,7˚C

3. Jenis pekerjaan berat,WBGTI 25,0˚C

Catatan :

1. Nilai pada tabel di atas berlaku untuk waktu kerja 8 jam sehari, 5 hari seminggu dengan
waktu istirahat pada umumnya.
2. Nilai kriteria untuk pekerjaan terus menerus dan 25% istirahat untuk kerja sangat berat tidak
diberikan, mengingat efek biologis (tanpa melihat WBGT) pekerjaan tersebut pada tenaga kerja yang
memiliki kondisi kesehatan kurang baik.
Tabel 2.2 kategori beban kerja dengan kategori tingkat metabolisme
Kategori Jenis Aktivitas

Resting Duduk dengan tenang

Duduk dengan sedikit gerakan

Light Duduk dengan sedikit gerakan tangan dan kaki

Berdiri dengan pekerjaan yang ringan pada mesin atau meja serta banyak
gerakan lengan

Menggunakan gergaji meja (table saw)

Berdiri dengan pekerjaan yang ringan/sedang pada mesin atau meja serta
sedikit berjalan

Moderate Menggosok atau menyikat dengan posisi berdiri

Berjalan dengan mengangkat atau menekan dengan beban sedang

Berjalan pada 6 km/jam dengan membawa beban 3 kg

Heavy Mengergaji dengan tangan

Menyekop pasir kering

Pekerjaan perakitan yang berat pada basis yang tidak terus-menerus

Sebentar-sebentar mengangkat dengan mendorong atau menekan beban


yang berat

Very Heavy Menyekop pasir basah

(Sumber: ACGIH,2005)

ISBB untuk pekerjaan di luar ruangan dengan panas radiasi :


ISBB = 0.7 suhu basah alami + 0.2 suhu bola + 0.1 suhu kering ............ ( 2.4)

ISBB untuk pekerjaan di dalam ruangan tanpa panas radiasi :

ISBB = 0.7 suhu basah alami + 0.3 suhu bola ............................ (2.5 )

Catatan :

 Beban kerja ringan membutuhkan kalori 100-200 Kkal/jam

 Beban kerja sedang membutuhkan kalori > 200-350 Kkal/jam

 Beban kerja berat membutuhkan kalori > 350-500 Kkal/jam

Spesial condition :

1. Bila ISBB di ukur di ruang istirahat sama atau mendekati sama dengan ruang kerja

Bila ruang istirahat memakai AC atau dipertahankan kurang lebih 24 oC, maka lama istirahat dapat
dikurangi 25%, demikian pula bila lam istirahat ditambah, waktu paparan dapat di perpanjang.

2. Bila irama kerja diatur oleh pekerja, sebesar 30-50% kapasitas kerja max, beban kerja rata per hari
tidak lebih dari 330 Kkal/jam

3. Bila pakaian pekerja adalah dari bahan katun.

II.5 Pengendalian Iklim Kerja Tinggi

Pengendalian heat stress dan heat strain dipusatkan disekitar penyebab dari heat stress dan
ketegangan physiologi yang dihasilkan. Hal ini memerlukan :

1. Pengendalian secara umum

 Training (pendidikan/latihan)

Yang dimaksud disini adalah pendidikan atau pelatihan bagi calon tenaga kerja sebelum ditempatkan
yang dilaksanakan secara berkala (periodik).

 Pengendalian tekanan panas melalui penerapan hygiene.

Yang dimaksud adalah tindakan-tindakan yang diambil oleh perorangan untuk mengurangi resiko
penyakit yang disebabkan oleh panas. Termasuk pengendalian tekanan panas melalui
penerapan hygiene adalah :

a. Pengandalian cairan

b. Aklimatisasi
c. Self determination : diartikan sebagai pembatasan terhadap pajanan panas dimana tenaga kerja
menghindari terhadap cuaca panas apabila ia sudah merasakan terpapar suhu panas secara
berlebihan.

d. Diet : makanan yang terlalu manis atau mengandung karbohidrat berlebihan tidak dianjurkan karena
akan menahan cairan melalui ginjal atau keringat.

e. Gaya hidup dan status kesehatan

f. Pakaian kerja : Pakaian kerja untuk lingkungan tempat kerja panas sebaiknya dari bahan yang mudah
menyerap keringat seperti : bahan yang terbuat dari katun, sehingga penguapan mudah terjadi.

2. Pengendalian secara khusus

Pengendalian secara khusus dapat dilaksanakan dengan 3 cara :

1. Pengendalian secara teknis

Cara ini mencakup :

a). Mengurangi beban kerja

b). Menurunkan suhu udara : (bila suhu udara di atas 104˚F (40˚C), tenaga kerja mendapat tambahan
pans secara nyata dari udara. Bila suhu udara dibawah 90˚F (32˚C), maka ada pelepasan panas dari
tubuh secara nyata. Suhu udara dapat diturunkan dengan memasang ventilasi dengan cara
pengenceran dan pendinginan secara aktif).

c). Menurunkan kelembaban udara : (dengan menggunakan ruangan yang dingin akan menurunkan
tekanan panas, hal ini disebabkan oleh karena suhu udara dan kelembaban udara yang lebih rendah,
sehingga meningkatkan kecepatan penguapan dengan pendinginan).

d). Menurunkan panas radiasi : (bila suhu globe lebih dari 109˚F (43˚C) panas radiasi merupakan
sumber tekanan panas secara nyata. Sesunggunhnya lembaran logam atau permuakaan benda yang
dapat digunakan sebagai perisai sangat banyak, untuk mengetahui daftar logam atau permuakaan
benda yang padat digunakan sebagai perisai.

3. Pengendalian secara administrative adalah perubahan cara kerja yang dilakukan dalam upaya
untuk membatasi resiko pemajanan.

4. Perlindungan perorangan adalah suatu cara pengendalian yang dilaksanakan perorangan(setiap


pekerja).

II.6 Perhitungan Beban Kerja dan Rh

Tabel 2.4 Kebutuhan Kalori Per Jam Menurut Jenis Aktivitas

No. Jenis Aktivitas Kilo kalori/jam/kg

Berat badan

1 Tidur 0,98
2 Duduk dalam keadaan istirahat 1,43

3 Membaca dengan intonasi keras 1,50

4 Berdiri dalam keadaan tenang 1,50

5 Menjahit dengan tangan 1,59

6 Berdiri dengan konsentrasi terhadap sesuatu 1,63


objeK

7 Berpakaian 1,69

8 Menyanyi 1,74

9 Menjahit dengan mesin 1,93

10 Mengetik 2,00

Jenis Aktivitas Kilo kalori/jam/kg

11 Menyetrika (berat setrika ± 2,5 kg) 2,06

12 Mencuci peralatan dapur 2,06

13 Menyapu lantai dengan kecepatan ± 38 kali 2,41


per menit

14 Menjilid buku 2,43

15 Pelatihan ringan (light exercise) 2,43

16 Jalan ringan dengan kecepatan ± 3,9 km/jam 2,86

17 Pekerjaan kayu, logam dan pengecatan 3,43


dalam industri

18 Pelatihan sedang (moderate exercise) 4,14

19 Jalan agak cepat dengan kecepatan ± 5,6 4,28

kilo kalori/jam/kg
BB
No Jenis aktifitas

20 Jalan turun tangga 5,20

21 Pekerjaan tukang batu 5,71

22 Pelatihan berat (heavy exercise) 6,43


23 Penggergajian kayu secara manual 6,86

24 Berenang 7,14

25 Lari dengan kecepatan ± 8 km/jam 8,14

26 Pelatihansangat berat (very heavy exercise) 8,57

27 Berjalan sangat cepat dengan kecepatan ± 8 9,28


km/jam

28 Jalan naik tangga 15,80

Sumber : Soeripto

Tabel 2.4 Kep-men/13/2011 tentang NAB faktor fisik dan kimia di tempat kerja dan ISBB
diperkenankan)

Pengaturan waktu kerja ISBB (˚C )


setiap jam

Beban Kerja

Ringan Sedang Berat

75%-100% 31,0 28,0 -

50%-75% 31,0 29,0 27,0

25%-50% 32,0 30,0 29,0

0%-25% 32,2 31,1 30,5

Sumber : http://www.scribd.com/doc/72997827/PER-13-MEN-X-2011-NAB-Faktor-Fisika-dan-kimia-
di-tempat-kerja

TAMBAHAN KIMIAWI
NurKamri
 PROFIL
 MATERI NGAJAR
 RPP TEK KOMPUTER JARINGAN
 KOMPUTER
 TUGAS KULIAH
Senin, 15 Oktober 2012

IDENTIFIKASI FAKTOR BAHAYA DI TEMPAT KERJA

Tugas Makalah

A. PENDAHULUAN

Setiap tempat kerja selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat mempengaruhi
kesehatan tenaga kerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja. Potensi bahaya
adalah segala sesuatu yang berpotensi menyebabkan terjadinya kerugian, kerusakan, cidera, sakit,
kecelakaan atau bahkan dapat mengakibatkan kematian yang berhubungan dengan proses dan
sistem kerja. Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pada Pasal 1 menyatakan
bahwa tempat kerja ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap,
dimana tenaga kerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan
dimana terdapat sumber-sumber bahaya. Termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan,
halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat
kerja tersebut. Potensi bahaya mempunyai potensi untuk mengakibatkan kerusakan dan kerugian
kepada : 1) manusia yang bersifat langsung maupun tidak langsung terhadap pekerjaan, 2) properti
termasuk peratan kerja dan mesin-mesin, 3) lingkungan, baik lingkungan di dalam perusahaan
maupun di luar perusahaan, 4) kualitas produk barang dan jasa, 5) nama baik perusahaan.

fakta mengenai ergonomi dan K3 internasional atau secara global:

 ILO memperkirakan bahwa tiap tahun sekitar 24 juta orang meninggal karena kecelakaan
dan penyakit di lingkungan kerja termasuk didalamnya 360.000 kecelakaan fatal dan diperkirakan
1,95 juta disebabkan oleh penyakit fatal yang timbul di ligkungan kerja.
 Hal tersebut berarti bahwa pada akhir tahun hampir 1 juta pekerja akan mengalami
kecelakaan kerja dan sekitar 5.500 pekerja meninggal akibat kecelakaan atau penyakit di lingkungan
kerja.
 Dalam sudut pandang ekonomi, 4% atau senilai USD 1,25 Trilyun dari Global Gross Domestic
Prodct (GDP) dialokasikan untuk biaya dari kehilangan waktu kerja akibat kecelakaan dan penyakit
di lingkungan kerja, kompensasi untuk para pekerja, terhentinya produksi, dan biaya-biaya
pengobatan pekerja.
 Potensi bahaya kecelakaan kerja diperkirakan menyebabkan 651.000 angka kematian,
terutama di negara-negara berkembang. Bahkan angka tersebut mungkin dapat lebih besar lagi jika
sistem pelaporan dan notifikasi nya lebih baik.
 Data dari sejumlah negara-negara Industri menunjukkan bahwa para pekerja konstruksi
memiliki potensi meninggal akibat kecelakaan kerja 3 sampai 4 kali lebih besar.
 Penyakit paru paru yang terjangkit pada para pekerja di perusahaan minyak & gas,
pertambangan, dan perusahaan perusahaan sejenis, sebagai akibat paparan asbestos, batu bara dan
silica, masih menjadi perhatian di negara negara maju dan berkembang. Bahkan kematian akibat
kecelakaan kerja dari paparan asbestos saja sudah mencapai angka 100.000 dan selalu bertambah
setiap tahunnya.
 Data ILO menyebutkan ada 1 juta orang di Asia yang meninggal karena penyakit akibat kerja.
"Apa yang terjadi di Asia sekarang adalah yang kami sebut pembunuhan massal sunyi," kata seorang
narasumber.

B. IDENTIFIKASI BAHAYA

Langkah pertama manajemen risiko kesehatan di tempat kerja adalah identifikasi atau pengenalan
bahaya kesehatan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi faktor risiko kesehatan yang dapat tergolong
fisik, kimia, biologi, ergonomik, dan psikologi yang terpajan pada pekerja. Untuk dapat menemukan
faktor risiko ini diperlukan pengamatan terhadap proses dan simpul kegiatan produksi, bahan baku
yang digunakan, bahan atau barang yang dihasilkan termasuk hasil samping proses produksi, serta
limbah yang terbentuk proses produksi. Pada kasus terkait dengan bahan kimia, maka diperlukan:
pemilikan material safety data sheets (MSDS) untuk setiap bahan kimia yang digunakan,
pengelompokan bahan kimia menurut jenis bahan aktif yang terkandung, mengidentifikasi bahan
pelarut yang digunakan, dan bahan inert yang menyertai, termasuk efek toksiknya. Ketika ditemukan
dua atau lebih faktor risiko secara simultan, sangat mungkin berinteraksi dan menjadi lebih
berbahaya atau mungkin juga menjadi kurang berbahaya. Sebagai contoh, lingkungan kerja yang
bising dan secara bersamaan terdapat pajanan toluen, maka ketulian akibat bising akan lebih mudah
terjadi.

Penilaian Pajanan

Proses penilaian pajanan merupakan bentuk evaluasi kualitatif dan kuantitatif terhadap pola pajanan
kelompok pekerja yang bekerja di tempat dan pekerjaan tertentu dengan jenis pajanan risiko
kesehatan yang sama. Kelompok itu dikenal juga dengan similar exposure group (kelompok pekerja
dengan pajanan yang sama). Penilaian pajanan harus memenuhi tingkat akurasi yang adekuat
dengan tidak hanya mengukur konsentrasi atau intensitas pajanan, tetapi juga faktor lain.
Pengukuran dan pemantauan konsentrasi dan intensitas secara kuantitatif saja tidak cukup, karena
pengaruhnya terhadap kesehatan dipengaruhi oleh faktor lain itu. Faktor tersebut perlu
dipertimbangkan untuk menilai potensial faktor risiko (bahaya/hazards) yang dapat menjadi nyata
dalam situasi tertentu.

Risiko adalah probabilitas suatu bahaya menjadi nyata, yang ditentukan oleh frekuensi dan durasi
pajanan, aktivitas kerja, serta upaya yang telah dilakukan untuk pencegahan dan pengendalian
tingkat pajanan. Termasuk yang perlu diperhatikan juga adalah perilaku bekerja, higiene perorangan,
serta kebiasaan selama bekerja yang dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan.

 Karakterisasi Risiko

Tujuan langkah karakterisasi risiko adalah mengevaluasi besaran (magnitude) risiko kesehatan pada
pekerja. Dalam hal ini adalah perpaduan keparahan gangguan kesehatan yang mungkin timbul
termasuk daya toksisitas bila ada efek toksik, dengan kemungkinan gangguan kesehatan atau efek
toksik dapat terjadi sebagai konsekuensi pajanan bahaya potensial. Karakterisasi risiko dimulai
dengan mengintegrasikan informasi tentang bahaya yang teridentifikasi (efek gangguan/toksisitas
spesifik) dengan perkiraan atau pengukuran intensitas/konsentrasi pajanan bahaya dan status
kesehatan pekerja.

 Penilaian Risiko

Rincian langkah umum yang biasanya dilaksanakan dalam penilaian risiko meliputi :
1. Menentukan personil penilai

Penilai risiko dapat berasal dari intern perusahaan atau dibantu oleh petugas lain diluar perusahaan
yang berkompeten baik dalam pengetahuan, kewenangan maupun kemampuan lainnya yang
berkaitan. Tergantung dari kebutuhan, pada tempat kerja yang luas, personil penilai dapat
merupakan suatu tim yang terdiri dari beberapa orang.

2. Menentukan obyek/bagian yang akan dinilai

Obyek atau bagian yang akan dinilai dapat dibedakan menurut bagian / departemen, jenis
pekerjaan, proses produksi dan sebagainya. Penentuan obyek ini sangat membantu dalam
sistematika kerja penilai.

3. Kunjungan / Inspeksi tempat kerja

Kegiatan ini dapat dimulai melalui suatu “walk through survey / Inspection” yang bersifat umum
sampai kepada inspeksi yang lebih detail. Dalam kegiatan ini prinsip utamanya adalah melihat,
mendengar dan mencatat semua keadaan di tempat kerja baik mengenai bagian kegiatan, proses,
bahan, jumlah pekerja, kondisi lingkungan, cara kerja, teknologi pengendalian, alat pelindung diri
dan hal lain yang terkait.

4. Identifikasi potensi bahaya

Berbagai cara dapat dilakukan guna mengidentifikasi potensi bahaya di tempat kerja, misalnya
melalui : inspeksi / survei tempat kerja rutin, informasi mengenai data keelakaan kerja dan penyakit,
absensi, laporan dari (panitia pengawas Kesehatan dan Keselamatan Kerja) P2K3, supervisor atau
keluhan pekerja, lembar data keselamatan bahan (material safety data sheet) dan lain sebagainya.
Selanjutnya diperlukan analisis dan penilaian terhadap potensi bahaya tersebut untuk memprediksi
langkah atau tindakan selanjutnya terutama pada kemungkinan potensi bahaya tersebut menjadi
suatu risiko.

5. Mencari informasi / data potensi bahaya

Upaya ini dapat dilakukan misalnya melalui kepustakaan, mempelajari MSDS, petunjuk teknis,
standar, pengalaman atau informasi lain yang relevan.

6. Analisis Risiko

Dalam kegiatan ini, semua jenis resiko, akibat yang bisa terjadi, tingkat keparahan, frekuensi
kejadian, cara pencegahannya, atau rencana tindakan untuk mengatasi risiko tersebut dibahas
secara rinci dan dicatat selengkap mungkin. Ketidaksempurnaan dapat juga terjadi, namun melalui
upaya sitematik, perbaikan senantiasa akan diperoleh.

7. Evaluasi risiko
Memprediksi tingkat risiko melalui evaluasi yang akurat merupakan langkah yang sangat
menentukan dalam rangkaian penilaian risiko. Kualifikasi dan kuantifikasi risiko, dikembangkan
dalam proses tersebut. Konsultasi dan nasehat dari para ahli seringkali dibutuhkan pada tahap
analisis dan evaluasi risiko.

8. Menentukan langkah pengendalian

Apabila dari hasil evaluasi menunjukan adanya risiko membahayakan bagi kelangsungan kerja
maupun kesehatan dan keselamatan pekerja perlu ditentukan langkah pengendalian yang dipilih
dari berbagai cara seperti : Apabila dari hasil evaluasi menunjukan adanya risiko membahayakan
bagi kelangsungan kerja maupun kesehatan dan keselamatan pekerja perlu ditentukan langkah
pengendalian yang dipilih dari berbagai cara seperti :
a. Memilih teknologi pengendalian seperti eliminasi, substitusi, isolasi, engineering control,
pengendalian administratif, pelindung peralatan/mesin atau pelindung diri.
b. Menyusun program pelatihan guna meningkatka pengetahuan dan pemahaman berkaitan dengan
risiko, c. Menentukan upaya monitoring terhadap lingkungan / tempat kerja.
d. Menentukan perlu atau tidaknya survailans kesehatan kerja melalui pengujian kesehatan berkala,
pemantauan biomedik, audiometri dan lain-lain.
e. Menyelenggarakan prosedur tanggap darurat / emergensi dan pertolongan pertama sesuai
dengan kebutuhan.

9. Menyusun pencatatan / pelaporan


Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam penilaian risiko harus dicatat dan disusun sebagai bahan
pelaporan secara tertulis. Format yang digunakan dapatdisusun sesuai dengan kondisi yang ada.

10. Mengkaji ulang penelitian

Pengkajian ulang perlu senantiasa dilakukan dalam periode tertentu atau bila terdapat perubahan
dalam proses produksi, kemajuan teknologi, pengembangan informasi terbaru dan sebagainya, guna
perbaikan berkelanjutan penilaian risiko tersebut.

C. FAKTOR/ POTENSI BAHAYA DI TEMPAT KERJA

Untuk menghindari dan meminimalkan kemungkinan terjadinya potensi bahaya di tempat


kerja, Pengenalan potensi bahaya di tempat kerja merupakan dasar untuk mengetahui pengaruhnya
terhadap tenaga kerja, serta dapat dipergunakan untuk mengadakan upaya-upaya pengendalian
dalam rangka pencegahan penyakit akibat kerja yagmungkin terjadi. Secara umum, potensi bahaya
lingkungan kerja dapat berasal atau bersumber dari berbagai faktor, antara lain : 1) faktor teknis,
yaitu potensi bahaya yang berasal atau terdapat pada peralatan kerja yang digunakan atau dari
pekerjaan itu sendiri; 2) faktor lingkungan, yaitu potensi bahaya yang berasal dari atau berada di
dalam lingkungan, yang bisa bersumber dari proses produksi termasuk bahan baku, baik produk
antara maupun hasil akhir; 3) faktor manusia, merupakan potensi bahaya yang cukup besar
terutama apabila manusia yang melakukan pekerjaan tersebut tidak berada dalam kondisi kesehatan
yang prima baik fisik maupun psikis.

Potensi bahaya di tempat kerja yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dapat dikelompokkan
antara lain sebagai berikut :
1. Potensi bahaya fisik, yaitu potensi bahaya yang dapat menyebabkan gangguan-gangguan kesehatan
terhadap tenaga kerja yang terpapar, misalnya: terpapar kebisingan intensitas tinggi, suhu ekstrim
(panas & dingin), intensitas penerangan kurang memadai, getaran, radiasi.

a) Radiasi

Radiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang dalam bentuk panas, partikel atau
gelombang elektromagnetik/cahaya (foton) dari sumber radiasi. Ada beberapa sumber radiasi yang
kita kenal di sekitar kehidupan kita, contohnya adalah televisi, lampu penerangan, alat pemanas
makanan (microwave oven), komputer, dan lain-lain.

Selain benda-benda tersebut ada sumber-sumber radiasi yang bersifat unsur alamiah dan berada di
udara, di dalam air atau berada di dalam lapisan bumi. Beberapa di antaranya adalah Uranium dan
Thorium di dalam lapisan bumi; Karbon dan Radon di udara serta Tritium dan Deuterium yang ada di
dalam air.

Secara garis besar radiasi digolongkan ke dalam radiasi pengion dan radiasi non-pengion.
Radiasi Pengion

Radiasi pengion adalah jenis radiasi yang dapat menyebabkan proses ionisasi (terbentuknya ion
positif dan ion negatif) apabila berinteraksi dengan materi. Yang termasuk dalam jenis radiasi
pengion adalah partikel alpha, partikel beta, sinar gamma, sinar-X dan neutron. Setiap jenis radiasi
memiliki karakteristik khusus. Yang termasuk radiasi pengion adalah partikel alfa (α), partikel beta
(β), sinar gamma (γ), sinar-X, partikel neutron.

Radiasi Non Pengion

Radiasi non-pengion adalah jenis radiasi yang tidak akan menyebabkan efek ionisasi apabila
berinteraksi dengan materi. Radiasi non-pengion tersebut berada di sekeliling kehidupan kita. Yang
termasuk dalam jenis radiasi non-pengion antara lain adalah gelombang radio (yang membawa
informasi dan hiburan melalui radio dan televisi); gelombang mikro (yang digunakan dalam
microwave oven dan transmisi seluler handphone); sinar inframerah (yang memberikan energi
dalam bentuk panas); cahaya tampak (yang bisa kita lihat); sinar ultraviolet (yang dipancarkan
matahari).

Ada dua macam sifat radiasi yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan sumber
radiasi pada suatu tempat atau bahan, yaitu sebagai berikut :

 Radiasi tidak dapat dideteksi oleh indra manusia, sehingga untuk mengenalinya diperlukan suatu alat
bantu pendeteksi yang disebut dengan detektor radiasi. Ada beberapa jenis detektor yang secara
spesifik mempunyai kemampuan untuk melacak keberadaan jenis radiasi tertentu yaitu detektor
alpha, detektor gamma, detektor neutron, dll.

 Radiasi dapat berinteraksi dengan materi yang dilaluinya melalui proses ionisasi, eksitasi dan lain-
lain. Dengan menggunakan sifat-sifat tersebut kemudian digunakan sebagai dasar untuk membuat
detektor radiasi.

Pengaruh radiasi terhadap manusia

Sel dalam tubuh manusia terdiri dari sel genetic dan sel somatic. Sel genetic adalah sel telur pada
perempuan dan sel sperma pada laki-laki, sedangkan sel somatic adalah sel-sel lainnya yang ada
dalam tubuh. Berdasarkan jenis sel, maka efek radiasi dapat dibedakan atas efek genetik dan efek
somatik. Efek genetik atau efek pewarisan adalah efek yang dirasakan oleh keturunan dari individu
yang terkena paparan radiasi. Sebaliknya efek somatik adalah efek radiasi yang dirasakan oleh
individu yang terpapar radiasi.

Waktu yang dibutuhkan sampai terlihatnya gejala efek somatik sangat bervariasi sehingga dapat
dibedakan atas efek segera dan efek tertunda. Efek segera adalah kerusakan yang secara klinik
sudah dapat teramati pada individu dalam waktu singkat setelah individu tersebut terpapar radiasi,
seperti epilasi (rontoknya rambut), eritema (memerahnya kulit), luka bakar dan penurunan jumlah
sel darah. Kerusakan tersebut terlihat dalam waktu hari sampai mingguan pasca iradiasi. Sedangkan
efek tertunda merupakan efek radiasi yang baru timbul setelah waktu yang lama (bulanan/tahunan)
setelah terpapar radiasi, seperti katarak dan kanker.

Bila ditinjau dari dosis radiasi (untuk kepentingan proteksi radiasi), efek radiasi dibedakan atas efek
deterministik dan efek stokastik. Efek deterministik adalah efek yang disebabkan karena kematian
sel akibat paparan radiasi, sedangkan efek stokastik adalah efek yang terjadi sebagai akibat paparan
radiasi dengan dosis yang menyebabkan terjadinya perubahan pada sel.

Efek Deterministi (efek non stokastik) Efek ini terjadi karena adanya proses kematian sel akibat
paparan radiasi yang mengubah fungsi jaringan yang terkena radiasi. Efek ini dapat terjadi sebagai
akibat dari paparan radiasi pada seluruh tubuh maupun lokal. Efek deterministik timbul bila dosis
yang diterima di atas dosis ambang (threshold dose) dan umumnya timbul beberapa saat setelah
terpapar radiasi. Tingkat keparahan efek deterministik akan meningkat bila dosis yang diterima lebih
besar dari dosis ambang yang bervariasi bergantung pada jenis efek. Pada dosis lebih rendah dan
mendekati dosis ambang, kemungkinan terjadinya efek deterministik dengan demikian adalah nol.
Sedangkan di atas dosis ambang, peluang terjadinya efek ini menjadi 100%.

Efek Stokastik Dosis radiasi serendah apapun selalu terdapat kemungkinan untuk menimbulkan
perubahan pada sistem biologik, baik pada tingkat molekul maupun sel. Dengan demikian radiasi
dapat pula tidak membunuh sel tetapi mengubah sel Sel yang mengalami modifikasi atau sel yang
berubah ini mempunyai peluang untuk lolos dari sistem pertahanan tubuh yang berusaha untuk
menghilangkan sel seperti ini. Semua akibat proses modifikasi atau transformasi sel ini disebut efek
stokastik yang terjadi secara acak. Efek stokastik terjadi tanpa ada dosis ambang dan baru akan
muncul setelah masa laten yang lama. Semakin besar dosis paparan, semakin besar peluang
terjadinya efek stokastik, sedangkan tingkat keparahannya tidak ditentukan oleh jumlah dosis yang
diterima. Bila sel yang mengalami perubahan adalah sel genetik, maka sifat-sifat sel yang baru
tersebut akan diwariskan kepada turunannya sehingga timbul efek genetik atau pewarisan. Apabila
sel ini adalah sel somatik maka sel-sel tersebut dalam jangka waktu yang relatif lama, ditambah
dengan pengaruh dari bahan-bahan yang bersifat toksik lainnya, akan tumbuh dan berkembang
menjadi jaringan ganas atau kanker. Paparan radiasi dosis rendah dapat menigkatkan resiko kanker
dan efek pewarisan yang secara statistik dapat dideteksi pada suatu populasi, namun tidak secara
serta merta terkait dengan paparan individu.

 Radiasi infra merah dapat menyebabkan katarak.

 Laser berkekuatan besar dapat merusak mata dan kulit.

 Medan elektromagnetik tingkat rendah dapat menyebabkan kanker.


 Contoh : Radiasi ultraviolet : pengelasan, Radiasi Inframerah : furnacesn/ tungku pembakaran,
Laser : komunikasi, pembedahan .

Prinsip dasar yang harus dipatuhi dalam penggunaan radiasi untuk berbagai keperluan

Dalam penggunaan radiasi untuk berbagai keperluan ada ketentuan yang harus dipatuhi
untuk mencegah penerimaan dosis yang tidak seharusnya terhadap seseorang. Ada 3 prinsip yang
telah direkomendasikan oleh International Commission Radiological Protection (ICRP) untuk
dipatuhi, yaitu :

1. Justifikasi, Setiap pemakaian zat radioaktif atau sumber lainnya harus didasarkan pada azaz manfaat.
Suatu kegiatan yang mencakup paparan atau potensi paparan hanya disetujui jika kegiatan itu akan
menghasilkan keuntungan yang lebih besar bagi individu atau masyarakat dibandingkan dengan
kerugian atau bahaya yang timbul terhadap kesehatan.

2. Limitasi, Dosis ekivalen yang diterima pekerja radiasi atau masyarakat tidak boleh melalmpaui Nilai
Batas Dosis (NBD) yang telah ditetapkan. Batas dosis bagi pekerja radiasi dimaksudkan untuk
mencegah munculnya efek deterministik (non stokastik) dan mengurangi peluang terjadinya efek
stokastik.

3. Optimasi, Semua penyinaran harus diusahakan serendah-rendahnya (as low as reasonably


achieveable - ALARA), dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial. Kegiatan pemanfaatan
tenaga nuklir harus direncanakan dan sumber radiasi harus dirancang dan dioperasikan untuk
menjamin agar paparan radiasi yang terjadi dapat ditekan serendah-rendahnya.

b) Kebisingan

Bising adalah campuran dari berbagai suara yang tidak dikehendaki ataupun yang merusak
kesehatan, saat ini kebisingan merupakan salah satu penyebab penyakit lingkungan (Slamet, 2006).
Sedangkan kebisingan sering digunakan sebagai istilah untuk menyatakan suara yang tidak
diinginkan yang disebabkan oleh kegiatan manusia atau aktifitas- aktifitas alam (Schilling, 1981).
Kebisingan dapat diartikan sebagai segala bunyi yang tidak dikehendaki yang dapat memberi
pengaruh negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan seseorang maupun suatu populasi.

Aspek yang berkaitan dengan kebisingan antara lain : jumlah energi bunyi, distribusi frekuensi, dan
lama pajanan.

 Kebisingan dapat menghasilkan efek akut seperti masalah komunikasi, turunnya konsentrasi, yang
pada akhirnya mengganggu job performance tenaga kerja.

 Pajanan kebisingan yang tinggi (biasanya >85 dBA) pada jangka waktu tertentu dapat menyebabkan
tuli yang bersifat sementara maupun kronis.

 Tuli permanen adalah penyakit akibat kerja yang paling banyak di klaim .

 Contoh : Pengolahan kayu, tekstil, metal, dll.

Kualitas bunyi ditentukan oleh 2 hal yakni frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam
jumlah getaran per detik yang disebut hertz (Hz), yaitu jumlah gelombang-gelombang yang sampai di
telinga setiap detiknya. Biasanya suatu kebisingan terdiri dari campuran sejumlah gelombang dari
berbagai macam frekuensi. Sedangkan intensitas atau arus energi per satuan luas biasanya
dinyatakan dalam suatu logaritmis yang disebut desibel ( DB ).

Berdasarkan frekuensi, tingkat tekanan bunyi, tingkat bunyi dan tenaga bunyi maka bising dibagi
dalam 3 kategori:

1) Occupational noise (bising yang berhubungan dengan pekerjaan) yaitu bising yang disebabkan oleh
bunyi mesin di tempat kerja, misal bising dari mesin ketik.

2) Audible noise (bising pendengaran) yaitu bising yang disebabkan oleh frekuensi bunyi antara 31,5 .
8.000 Hz.

3) Impuls noise (Impact noise = bising impulsif) yaitu bising yang terjadi akibat adanya bunyi yang
menyentak, misal pukulan palu, ledakan meriam, tembakan bedil.

Selanjutnya dengan ukuran intensitas bunyi atau desibel ini dapat ditentukan apakah bunyi itu bising
atau tidak. Dari ukuran-ukuran ini dapat diklasifikasikan seberapa jauh bunyi-bunyi di sekitar kita
dapat diterima / dikehendaki atau tidak dikehendaki / bising.

Skala Intensitas Desibel Batas Dengar


Jenis Bunyi
Tertinggi

Halilintar 120 DB

Meriam 110 DB

Mesin uap 100 DB

Jalan yang ramai 90 DB

Pluit 80 DB
Kantor gaduh
Radio 70 DB
Rumah gaduh
60 Db
Kantor pada umumnya
Rumah tenang 50 DB
Kantor perorangan
Sangat tenang , Suara daun jatuh, Tetesan 40 DB
air
30 DB

20 DB

10 DB

Tabel Skala Intensitas Kebisingan

Menurut SK Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan RI Nomor
70-1/PD.03.04.Lp, (Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Kebisingan yang Berhubungan dengan
Kesehatan Tahun 1992), tingkat kebisingan diuraikan sebagai berikut:
1) Tingkat kebisingan sinambung setara (Equivalent Continuous Noise Level =Leq) adalah tingkat
kebisingan terus menerus (=steady noise) dalam ukuran dBA, berisi energi yang sama dengan energi
kebisingan terputus-putus dalam satu periode atau interval waktu pengukuran.

2) Tingkat kebisingan yang dianjurkan dan maksimum yang diperbolehkan adalah rata-rata nilai modus
dari tingkat kebisingan pada siang, petang dan malam hari.

3) Tingkat ambien kebisingan (=Background noise level) atau tingkat latar belakang kebisingan adalah
rata-rata tingkat suara minimum dalam keadaan tanpa gangguan kebisingan pada tempat dan saat
pengukuran dilakukan, jika diambil nilainya dari distribusi statistik adalah 95% atau L-95.

Kebisingan mempengaruhi kesehatan antara lain dapat menyebabkan kerusakan pada indera
pendengaran sampai kepada ketulian. Dari hasil penelitian diperoleh bukti bahwa intensitas bunyi
yang dikategorikan bising dan yang mempengaruhi kesehatan (pendengaran) adalah diatas 60 dB.
Oleh sebab itu para karyawan yang bekerja di pabrik dengan intensitas bunyi mesin diatas 60 dB
maka harus dilengkapi dengan alat pelindung (penyumbat) telinga guna mencegah gangguan
pendengaran. Disamping itu kebisingan juga dapat mengganggu komunikasi. Dengan suasana yang
bising memaksa pekerja berteriak didalam berkomunikasi dengan pekerja lain. Kadang-kadang
teriakan atau pembicaraan yang keras ini dapat menimbulkan salah komunikasi (miss
communication) atau salah persepsi terhadap orang lain.

Oleh karena sudah biasa berbicara keras di lingkungan kerja sebagai akibat lingkungan kerja yang
bising ini maka kadang-kadang di tengah-tengah keluarga juga terbiasa berbicara keras. Bisa jadi
timbul salah persepsi di kalangan keluarga karena dipersepsikan sebagai sikap marah. Lebih jauh
kebisingan yang terus-menerus dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi pekerja yang akibatnya
pekerja cenderung berbuat kesalahan dan akhirnya menurunkan produktivitas kerja.

Kebisingan terutama yang berasal dari alat-alat bantu kerja atau mesin dapat dikendalikan antara
lain dengan menempatkan peredam pada sumber getaran atau memodifikasi mesin untuk
mengurangi bising. Penggunaan proteksi dengan sumbatan telinga dapat mengurangi kebisingan
sekitar 20-25 dB.
Tetapi penggunaan penutup telinga ini pada umumnya tidak disenangi oleh pekerja karena terasa
risih adanya benda asing di telinganya. Untuk itu penyuluhan terhadap mereka agar menyadari
pentingnya tutup telinga bagi kesehatannya dan akhirnya mau memakainya.
c) Penerangan / Pencahayaan ( Illuminasi )

Penerangan yang kurang di lingkungan kerja bukan saja akan menambah beban kerja karena
mengganggu pelaksanaan pekerjaan tetapi juga menimbulkan kesan kotor. Oleh karena itu
penerangan dalam lingkungan kerja harus cukup untuk menimbulkan kesan yang higienis. Disamping
itu cahaya yang cukup akan memungkinkan pekerja dapat melihat objek yang dikerjakan dengan
jelas dan menghindarkan dari kesalahan kerja.

Berkaitan dengan pencahayaan dalam hubungannya dengan penglihatan orang didalam suatu
lingkungan kerja maka faktor besar-kecilnya objek atau umur pekerja juga mempengaruhi. Pekerja di
suatu pabrik arloji misalnya objek yang dikerjakan sangat kecil maka intensitas penerangan relatif
harus lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas penerangan di pabrik mobil. Demikian juga umur
pekerja dimana makin tua umur seseorang, daya penglihatannya semakin berkurang. Orang yang
sudah tua dalam menangkap objek yang dikerjakan memerlukan penerangan yang lebih tinggi
daripada orang yang lebih muda.
Akibat dari kurangnya penerangan di lingkungan kerja akan menyebabkan kelelahan fisik dan mental
bagi para karyawan atau pekerjanya. Gejala kelelahan fisik dan mental ini antara lain sakit kepala
(pusing-pusing), menurunnya kemampuan intelektual, menurunnya konsentrasi dan kecepatan
berpikir. Disamping itu kurangnya penerangan memaksa pekerja untuk mendekatkan matanya ke
objek guna mmeperbesar ukuran benda. Hal ini akomodasi mata lebih dipaksa dan mungkin akan
terjadi penglihatan rangkap atau kabur.
Untuk mengurangi kelelahan akibat dari penerangan yang tidak cukup dikaitkan dengan objek dan
umur pekerja ini dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :

 Perbaikan kontras dimana warna objek yang dikerjakan kontras dengan latar
belakang objek tersebut. Misalnya cat tembok di sekeliling tempat kerja harus
berwarna kontras dengan warna objek yang dikerjakan.
 Meningkatkan penerangan, sebaiknya 2 kali dari penerangan diluar tempat kerja.Disamping itu di
bagian-bagian tempat kerja perlu ditambah dengan dengan lampu-lampu tersendiri.

 Pengaturan tenaga kerja dalam shift sesuai dengan umur masing-masing tenaga kerja. Misalnya
tenaga kerja yang sudah berumur diatas 50 tahun tidak diberikan tugas di malam hari.

 Disamping akibat-akibat pencahayaan yang kurang seperti diuraikan diatas, penerangan /


pencahayaan baik kurang maupun cukup kadang-kadang juga menimbulkan masalah apabila
pengaturannya kurang baik yakni silau. Silau juga menjadi beban tambahan bagi pekerja maka harus
dilakukan pengaturan atau dicegah.Pencegahan silau dapat dilakukan antara lain :
a. Pemilihan jenis lampu yang tepat misalnya neon. Lampu neon kurang
menyebabkan silau dibandingkan lampu biasa. b. Menempatkan sumber-sumber cahaya /
penerangan sedemikian rupa sehingga
tidak langsung mengenai bidang yang mengkilap.
c. Tidak menempatkan benda-benda yang berbidang mengkilap di muka jendela yang langsung
memasukkan sinar matahari.
d. Penggunaan alat-alat pelapis bidang yang tidak mengkilap.
e. Mengusahakan agar tempat-tempat kerja tidak terhalang oleh bayangan suatu benda. Dalam
ruangan kerja sebaiknya tidak terjadi bayangan-bayangan.
Penerangan yang silau buruk (kurang maupun silau) di lingkungan kerja akan menyebabkan hal-hal
sebagai berikut :

 Kelelahan mata yang akan berakibat berkurangnya daya dan efisiensi kerja.

 Kelemahan mental

 Kerusakan alat penglihatan (mata).

 Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata.

 Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas maka dalam mendirikan bangunan tempat kerja (pabrik,
kantor, sekolahan, dan sebagainya) sebaiknya mempertimbangkan ketentuan-ketentuan antara lain
sebagai berikut :
Jarak antara gedung dan abngunan-bangunan lain tidak mengganggu masuknya cahaya matahari ke
tempat kerja, Jendela-jendela dan lubang angin untuk masuknya cahaya matahari harus cukup,
seluruhnya sekurang-kurangnya 1/6 daripada luas bangunan, Apabila cahaya matahari tidak
mencukupi ruangan tempat kerja, harus diganti
dengan penerangan lampu yang cukup, Penerangan tempat kerja tidak menimbulkan suhu ruangan
panas (tidak
melebihi 32 derajat celsius), Sumber penerangan tidak boleh menimbulkan silau dan bayang-bayang
yang mengganggu kerja, Sumber cahaya harus menghasilkan daya penerangan yang tetap dan
menyebar
serta tidak berkedip-kedip .Efek pencahayaan yang buruk: mata tidak nyaman, mata lelah, sakit
kepala, berkurangnya kemampuan melihat, dan menyebabkan kecelakaan. Keuntungan
pencahayaan yang baik : meningkatkan semangat kerja, produktivitas, mengurangi kesalahan,
meningkatkan housekeeping, kenyamanan lingkungan kerja, mengurangi kecelakaan kerja.

d) Getaran

 Getaran mempunyai parameter yang hampir sama dengan bising seperti: frekuensi, amplitudo, lama
pajanan dan apakah sifat getaran terus menerus atau intermitten.

 Metode kerja dan ketrampilan memegang peranan penting dalam memberikan efek yang
berbahaya. Pekerjaan manual menggunakan “powered tool” berasosiasi dengan gejala gangguan
peredaran darah yang dikenal sebagai ” Raynaud’s phenomenon ” atau ” vibration-induced white
fingers”(VWF).

 Peralatan yang menimbulkan getaran juga dapat memberi efek negatif pada sistem saraf dan sistem
musculo-skeletal dengan mengurangi kekuatan cengkram dan sakit tulang belakang.

 Contoh : Loaders, forklift truck, pneumatic tools, chain saws.

Efek getaran terhadap tubuh tergantung besar kecilnya frekuensi yang mengenai tubuh:

 3 . 9 Hz : Akan timbul resonansi pada dada dan perut.

 6 . 10 Hz : Dengan intensitas 0,6 gram, tekanan darah, denyut jantung, pemakaian O2 dan volume
perdenyut sedikit berubah. Pada intensitas 1,2 gram terlihat banyak perubahan sistem peredaran
darah.

 10 Hz : Leher, kepala, pinggul, kesatuan otot dan tulang akan beresonansi.

 13 . 15 Hz : Tenggorokan akan mengalami resonansi.

 < 20 Hz : Tonus otot akan meningkat, akibat kontraksi statis ini otot menjadi lemah, rasa tidak enak
dan kurang ada perhatian.
2. Potensi bahaya kimia, yaitu potensi bahaya yang berasal dari bahan-bahan kimia yang
digunakan dalam proses produksi. Potensi bahaya ini dapat memasuki atau mempengaruhi tubuh
tenga kerja melalui :inhalation (melalui pernafasan), ingestion (melalui mulut ke saluran
pencernaan), skin contact (melalui kulit). Terjadinya pengaruh potensi kimia terhadap tubuh tenaga
kerja sangat tergantung dari jenis bahan kimia atau kontaminan, bentuk potensi bahaya debu, gas,
uap. asap; daya acun bahan (toksisitas); cara masuk ke dalam tubuh. Jalan masuk bahan kimia ke
dalam tubuh dapat melalui:
o Pernapasan ( inhalation ),
o Kulit (skin absorption )
o Tertelan ( ingestion )
 Racun dapat menyebabkan efek yang bersifat akut,kronis atau kedua-duanya.
Adapun potensi bahaya yang bisa ditimbulkan oleh bahan kimia adalah
a) Korosi

 Bahan kimia yang bersifat korosif menyebabkan kerusakan pada permukaan tempat dimana terjadi
kontak. Kulit, mata dan sistem pencernaan adalah bagain tubuh yang paling umum terkena.

 Contoh : konsentrat asam dan basa , fosfor.

b) Iritasi

 Iritasi menyebabkan peradangan pada permukaan di tempat kontak. Iritasi kulit bisa menyebabkan
reaksi seperti eksim atau dermatitis. Iritasi pada alat-alat pernapasan yang hebat dapat
menyebabkan sesak napas, peradangan dan oedema ( bengkak )

 Contoh :

o Kulit : asam, basa,pelarut, minyak .


o Pernapasan : aldehydes, alkaline dusts, amonia, nitrogen dioxide, phosgene, chlorine
,bromine, ozone.
c) Reaksi Alergi
 Bahan kimia alergen atau sensitizers dapat menyebabkan reaksi alergi pada kulit atau organ
pernapasan

 Contoh :

o Kulit : colophony ( rosin), formaldehyde, logam seperti chromium atau nickel, epoxy
hardeners, turpentine.
o Pernapasan : isocyanates, fibre-reactive dyes, formaldehyde, nickel.
d) Asfiksiasi
 Asfiksian yang sederhana adalah inert gas yang mengencerkan atmosfer yang ada, misalnya pada
kapal, silo, atau tambang bawah tanah. Konsentrasi oksigen pada udara normal tidak boleh kurang
dari 19,5% volume udara.
 Asfiksian kimia mencegah transport oksigen dan oksigenasi normal pada darah atau mencegah
oksigenasi normal pada kulit.

 Contoh :

o Asfiksian sederhana : methane, ethane, hydrogen, helium


o Asfiksian kimia : carbon monoxide, nitrobenzene, hydrogen cyanide, hidrogen
sulphide
e) Kanker
 Karsinogen pada manusia adalah bahan kimia yang secara jelas telah terbukti pada manusia.

 Kemungkinan karsinogen pada manusia adalah bahan kimia yang secara jelas sudah terbukti
menyebabkan kanker pada hewan .

 Contoh :

o Terbukti karsinogen pada manusia : benzene ( leukaemia); vinylchloride ( liver angiosarcoma) ; 2-


naphthylamine, benzidine (kanker kandung kemih ); asbestos (kanker paru-paru , mesothelioma);

o Kemungkinan karsinogen pada manusia : formaldehyde, carbon tetrachloride, dichromates, beryllium

f) Efek Reproduksi

 Bahan-bahan beracun mempengaruhi fungsi reproduksi dan seksual dari seorang manusia.

 Perkembangan bahan-bahan racun adalah faktor yang dapat memberikan pengaruh negatif pada
keturunan orang yang terpapar, sebagai contoh :aborsi spontan.

 Contoh :

o Manganese, carbondisulphide, monomethyl dan ethyl ethers dari ethylene glycol,


mercury. Organic mercury compounds, carbonmonoxide, lead, thalidomide, pelarut.
g) Racun Sistemik
 Racun sistemik adalah agen-agen yang menyebabkan luka pada organ atau sistem tubuh.

 Contoh :

o Otak : pelarut, lead, mercury, manganese


o Sistem syaraf peripheral : n-hexane, lead, arsenic, carbon disulphide
o Sistem pembentukan darah : benzene, ethylene glycol ethers
o Ginjal : cadmium, lead, mercury, chlorinated hydrocarbons
o Paru-paru : silica, asbestos, debu batubara ( pneumoconiosis )
3. Potensi bahaya biologis, yaitu potensi bahaya yang berasal atau ditimbulkan oleh kuman-
kuman penyakit yang terdapat di udara yang berasal dari atau bersumber pada tenaga kerja yang
menderita penyakit-penyakit tertentu, misalnya : TBC, Hepatitis A/B, Aids,dll maupun yang berasal
dari bahan-bahan yang digunakan dalam proses produksi. Dimana pun Anda bekerja dan apa pun
bidang pekerjaan Anda, faktor biologi merupakan salah satu bahaya yang kemungkinan ditemukan
ditempat kerja. Maksudnya faktor biologi eksternal yang mengancam kesehatan diri kita saat
bekerja. Namun demikian seringkali luput dari perhatian, sehingga bahaya dari faktor ini tidak
dikenal, dikontrol, diantisipasi dan cenderung diabaikan sampai suatu ketika menjadi keadaan yang
sulit diperbaiki. Faktor biologi ditempat kerja umumnya dalam bentuk mikro organisma sebagai
berikut :
a) Bakteri
Bakteri mempunyai tiga bentuk dasar yaitu bulat (kokus), lengkung dan batang (basil). Banyak
bakteri penyebab penyakit timbul akibat kesehatan dan sanitasi yang buruk, makanan yang tidak
dimasak dan dipersiapkan dengan baik dan kontak dengan hewan atau orang yang terinfeksi. Contoh
penyakit yang diakibatkan oleh bakteri : anthrax, tbc, lepra, tetanus, thypoid, cholera, dan
sebagainya.
b) Virus
Virus mempunyai ukuran yang sangat kecil antara 16 - 300 nano meter. Virus tidak mampu
bereplikasi, untuk itu virus harus menginfeksi sel inangnya yang khas. Contoh penyakit yang
diakibatkan oleh virus : influenza, varicella, hepatitis, HIV, dan sebagainya.

c) Jamur
Jamur dapat berupa sel tunggal atau koloni, tetapi berbentuk lebih komplek karena berupa multi sel.
Mengambil makanan dan nutrisi dari jaringan yang mati dan hidup dari organisme atau hewan lain.

d) Mikroorganisme penyebab penyakit di tempat kerja

Beberapa literatur telah menguraikan infeksi akibat organisme yang mungkin ditemukan di tempat
kerja, diantaranya :

Daerah pertanian

Llingkungan pertanian yang cenderung berupa tanah membuat pekerja dapat terinfeksi oleh
mikroorganisme seperti : Tetanus, Leptospirosis, cacing, Asma bronkhiale atau keracunan
Mycotoxins yang merupakan hasil metabolisme jamur.

Di lingkungan berdebu (Pertambangan atau pabrik)

Di tempat kerja seperti ini, mikroorganisme yang mungkin ditemukan adalah bakteri penyebab
penyakit saluran napas, seperti : Tbc, Bronchitis dan Infeksi saluran pernapasan lainnya seperti
Pneumonia.

Daerah peternakan terutama yang mengolah kulit hewan serta produk-produk dari hewan

Penyakit-penyakit yang mungkin ditemukan di peternakan seperti ini misalnya : Anthrax yang
penularannya melalui bakteri yang tertelan atau terhirup, Brucellosis, Infeksi Salmonella.

Di Laboratorium

Para pekerja di laboratorium mempunyai risiko yang besar terinfeksi, terutama untuk laboratorium
yang menangani organisme atau bahan-bahan yang megandung organisme pathogen

Di Perkantoran : terutama yang menggunakan pendingin tanpa ventilasi alami


Para pekerja di perkantoran seperti itu dapat berisiko mengidap penyakit seperti : Humidifier fever
yaitu suatu penyakit pada saluran pernapasan dan alergi yang disebabkan organisme yang hidup
pada air yang terdapat pada system pendingin, Legionnaire disease penyakit yang juga berhubungan
dengan sistem pendingin dan akan lebih berbahaya pada pekerja dengan usia lanjut.
Cara penularan kedalam tubuh manusia

Banyak dari mikroorganisme ini dapat menyebabkan penyakit hanya setelah masuk kedalam tubuh
manusia dan cara masuknya kedalam tubuh, yaitu :

1. Melalui saluran pernapasan

2. Melalui mulut (makanan dan minuman)

3. Melalui kulit apabila terluka

Mengontrol bahaya dari faktor biologi


Faktor biologi dan juga bahaya-bahaya lainnya di tempat kerja dapat dihindari dengan pencegahan
antara lain dengan :

1. Penggunaan masker yang baik untuk pekerja yang berisiko tertular lewat debu yang mengandung
organism patogen

2. Mengkarantina hewan yang terinfeksi dan vaksinasi

3. Imunisasi bagi pekerja yang berisiko tertular penyakit di tempat kerja

4. Membersihkan semua debu yang ada di sistem pendingin paling tidak datu kali setiap bulan

5. Membuat sistem pembersihan yang memungkinkan terbunuhnya mikroorganisme yang patogen


pada system pendingin.

Dengan mengenal bahaya dari faktor biologi dan bagaimana mengotrol dan mencegah penularannya
diharapkan efek yang merugikan dapat dihindari.

4. Potensi bahaya fisiologis, yaitu potensi bahaya yang berasal atau yang disebabkan oleh
penerapan ergonomi yang tidak baik atau tidak sesuai dengan norma-norma ergonomi yang berlaku,
dalam melakukan pekerjaan serta peralatan kerja, termasuk : sikap dan cara kerja yang tidak sesuai,
pengaturan kerja yang tidak tepat, beban kerja yang tidak sesuai dengan kemampuan pekerja
ataupun ketidakserasian antara manusia dan mesin.
Pembebanan Kerja Fisik
 Beban kerja fisik bagi pekerja kasar perlu memperhatikan kondisi iklim, sosial ekonomi dan derajat
kesehatan.

 Pembebanan tidak melebihi 30 – 40% dari kemampuan kerja maksimum tenaga kerja dalam jangka
waktu 8 jam sehari.

 Berdasarkan hasil beberapa observasi, beban untuk tenaga Indonesia adalah 40 kg. Bila mengangkat
dan mengangkut dikerjakan lebih dari sekali maka beban maksimum tersebut harus disesuaikan.

 Oleh karena penetapan kemampuan kerja maksimum sangat sulit, parameter praktis yang digunakan
adalah pengukuran denyut nadi yang diusahakan tidak melebihi 30-40 permenit di atas denyut nadi
sebelum bekerja.
5. Potensi bahaya Psiko-sosial, yaitu potensi bahaya yang berasal atau ditimbulkan oleh
kondisi aspek-aspek psikologis keenagakerjaan yang kurang baik atau kurang mendapatkan
perhatian seperti : penempatan tenaga kerja yang tidak sesuai dengan bakat, minat, kepribadian,
motivasi, temperamen atau pendidikannya, sistem seleksi dan klasifikasi tenaga kerja yang tidak
sesuai, kurangnya keterampilan tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya sebagai akibat
kurangnya latihan kerja yang diperoleh, serta hubungan antara individu yang tidak harmoni dan
tidak serasi dalam organisasi kerja. Kesemuanya tersebut akan menyebabkan terjadinya stress akibat
kerja.
Stress
 Stress adalah tanggapan tubuh (respon) yang sifatnya non-spesifik terhadap setiap tuntutan atasnya.
Manakala tuntutan terhadap tubuh itu berlebihan, maka hal ini dinamakan stress.

 Gangguan emosional yang di timbulkan : cemas, gelisah, gangguan kepribadian, penyimpangan


seksual, ketagihan alkohol dan psikotropika.

 Penyakit-penyakit psikosomatis antara lain : jantung koroner, tekanan darah tinggi, gangguan
pencernaan, luka usus besar, gangguan pernapasan, asma bronkial, penyakit kulit seperti eksim,dll.

6. Potensi bahaya dari proses produksi, yaitu potensi bahaya yang berasal atau ditimbulkan
oleh bebarapa kegiatan yang dilakukan dalam proses produksi, yang sangat bergantung dari: bahan
dan peralatan yang dipakai, kegiatan serta jenis kegiatan yang dilakukan. Potensi bahaya
keselamatan terdapat pada alat/mesin, serta bahan yang digunakan dalam proses produksi, seperti
forklift (tertabrak), gancu (tertusuk), pallet (tertimpa), dan bahan baku (tertimpa, terjatuh dari
tumpukan bahan baku), feed additive (kerusakan mata akibat terkena debu feed additive), cutter,
mesin bubut/las (kerusakan mata akibat terpercik geram, lecet akibat terkena part panas, dan
kerusakan paru-paru akibat terhirup debu las), luka bakar akibat kebocoran gas, terjepit part,
semburan panas dari blow down otomatis, kebakaran, dan peledakan.
DAFTAR PUSTAKA

Bung ‘okles. 2008. Pengenalan Bahaya Di Lingkungan Kerja


http://okleqs.wordpress.com/2008/05/23/pengenalan-bahaya-di-lingkungan-kerja/. Diakses
08 November 2011
………Posted: Mei 23, 2008 in IDENTIFIKASI
BAHAYA. http://okleqs.wordpress.com/category/identifikasi-bahaya/ Diakses 08 November
2011

Rusli Mustar.2008. Pengaruh Kebisingan Dan Getaran Terhadap Perubahan Tekanan Darah
Masyarakat Yang Tinggal Di Pinggiran Rel Kereta Api Lingkungan Xiv Kelurahan Tegal
Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2008.Managemen Kesehatan Lingkungan
Industri.USU. Sumatera Utara.
Aria Gusti. 7 Januari 2011 Manajemen Risiko dalam Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.http://ariagusti.wordpress.com/2011/01/07/manajemen-risiko-dalam-
keselamatan-dan-kesehatan-kerja/Diakses 17 Desember 2011
http://id.shvoong.com/exact-sciences/physics/2016489-radiasi-pengertian-jenis-jenis-dan/
#ixzz1fpWSbEW8
Tugas individu

Mata Kuliah : Kesehatan dan keselamatan Kerja (K3)

IDENTIFIKASI FAKTOR BAHAYA


DI TEMPAT KERJA

OLEH

NUR KAMRI
NIM : 11B08057

PENDIDIKAN TEKNOLOGI KEJURUAN

PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2011
KATA PENGANTAR
Bissmilahirrahmanirrahim..

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga
makalah Identifikasi factor bahaya di tempat kerja dapat diselesaikan sesuai dengan rencana.

Identifikasi factor bahaya di tempat kerja merupakan suatu kegiatan dalam rangka mengenali factor
bahaya seperti bahaya fisik, kima, fisika, fisiologis, psikologis maupun bahaya biologis. Dengan
mengetahu factor bahaya tersebut, maka memungkinkan dilakukan pencegahan agar tidak terjadi
hal yang buruk pada pekerja.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, masih terdapat kekurangan, oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaannya.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

A. PENDAHULUAN 1

B. IDENTIFIKASI BAHAYA 2

C. FAKTOR BAHAYA DI TEMPAT KERJA

1. Potensi Bahaya Fisik 6

2. Potensi Bahaya Kimia 18

3. Potensi Bahaya Biologis 20

4. Potensi Bahaya Fisiologis 23

5. Potensi Bahaya Psikososial 24

6. Potensi bahaya Proses Produksi 24

DAFTAR PUSTAKA 25

Posted by NurKamri at 19.08

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Labels: TUGAS PEND TEKNOLOGI KEJURUAN

Reactions:

3 komentar:
1.

pt prashetya quality20 Juni 2013 06.15


Identifikasi kecelakaan kerja harus dilengkapi dengan cara menanganinya pula.
Mengikuti pelatihan k3 bisa menjadi solusi untuk mengidentifikasi cara-cara pencegahan
kecelakaan kerja.
Balas

2.

Irwan Kasmad16 November 2013 21.27

bisa minta referensi setiap paragraf tidak?


makasih
Balas

3.

Anonim20 Januari 2014 18.04

Jangan lupa dengan ini : Eliminasi, Substitusi, Rekayasa Engineering, Administratif dan PPE.
Sangat kuat dan mendasar sekali. Salam K3!
Balas

Tambahkan komentar

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)

assalamu alaikum...
selamat datang di blog kami...
mari gunakan waktu dng sebaik mungkin karena setiap masa ada peruntukannya..
semoga semua aktivitas kita semua bernilai ibadah disisi allah swt...amin..

DAFTAR ENTRY
 DG NGILO's BERANDA
 sistem komunikasi radio
 investasi masa depan..Belajar
 PASSWORD KOMPUTER
 Akhlak Terpuji Dalam Alquran & Al Sunnah
 Prinsip, Karakteristik dan Asumsi Pendidikan Teknologi kejuruan
 Tes pilihan ganda swf...
 ANALISIS REGRESI DAN KORELASI
 RPP Mendiagnosis permasalahan PC Yang Tersambung Jaringan
 RPP instalasi sistem operasi berbasis GUI yg BERKARAKTER
 RPP instalasi OS BERKARAKTER

 cara mengganti latar belakang google
syukur nikmat tiap detik
Hari Terus Berganti
Plagiarism Research Paper Essay Writer answering services

Pemeriksaan laboratorium yang berdasarkan pada reaksi kimia dapat digunakan darah, urin atau
cairan tubuh lain. Terdapat banyak pemeriksaan kimia darah di dalam laboratorium klinik antara lain
uji fungsi hati, otot jantung, ginjal, lemak darah, gula darah, fungsi pankreas, elektrolit dan dapat pula
dipakai beberapa uji kimia yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis anemi.

Uji fungsi hati meliputi pemeriksaan kadar protein total & albumin, bilirubin total & bilirubin
direk, serumglutamic oxaloacetate transaminase (SGOT/AST) & serum glutamic pyruvate
transaminase (SGPT/ALT),gamma glutamyl transferase (γ-GT), alkaline phosphatase (ALP)
dan cholinesterase (CHE). Pemeriksaan protein total dan albumin sebaiknya dilengkapi dengan
pemeriksaan fraksi protein serum dengan teknik elektroforesis. Dengan pemeriksaan elektroforesis
protein serum dapat diketahui perubahan fraksi protein di dalam serum. Pemeriksaan elektroforesis
protein serum ini menunjukkan perubahan fraksi protein lebih teliti dari hanya memeriksa kadar
protein total dan albumin serum.

Uji fungsi jantung dapat dipakai pemeriksaan creatine kinase (CK), isoenzim creatine kinase yaitu
CKMB, N-terminal pro brain natriuretic peptide (NT pro-BNP) dan Troponin-T. Kerusakan dari otot
jantung dapat diketahui dengan memeriksa aktifitas CKMB, NT pro-BNP, Troponin-T dan hsCRP.
Pemeriksaan LDH tidak spesifik untuk kelainan otot jantung, karena hasil yang meningkat dapat
dijumpai pada beberapa kerusakan jaringan tubuh seperti hati, pankreas, keganasan terutama dengan
metastasis, anemia hemolitik dan leukemia.

Uji fungsi ginjal terutama adalah pemeriksaan ureum dan kreatinin. Ureum adalah produk akhir dari
metabolisme protein di dalam tubuh yang diproduksi oleh hati dan dikeluarkan lewat urin. Pada
gangguan ekskresi ginjal, pengeluaran ureum ke dalam urin terhambat sehingga kadar ureum akan
meningkat di dalam darah. Kreatinin merupakan zat yang dihasilkan oleh otot dan dikeluarkan dari
tubuh melalui urin. Oleh karena itu kadar kreatinin dalam serum dipengaruhi oleh besar otot, jenis
kelamin dan fungsi ginjal. Di Laboratorium Klinik Utama Bio Medika pemeriksaan kadar kreatinin
dilaporkan dalam mg/dl dan estimated GFR (eGFR) yaitu nilai yang dipakai untuk mengetahui
perkiraan laju filtrasi glomerulus yang dapat memperkirakan beratnya kelainan fungsi ginjal.

Beratnya kelainan ginjal diketahui dengan mengukur uji bersihan kreatinin (creatinine clearance
test/CCT). Creatinine clearance test/CCT memerlukan urin kumpulan 24 jam, sehingga bila
pengumpulan urin tidak berlangsung dengan baik hasil pengukuran akan mempengaruhi nilai CCT.
Akhir-akhir ini, penilaian fungsi ginjal dilakukan dengan pemeriksaan cystatin-C dalam darah yang
tidak dipengaruhi oleh kesalahan dalam pengumpulan urin. Cystatin adalah zat dengan berat molekul
rendah, dihasilkan oleh semua sel berinti di dalam tubuh yang tidak dipengaruhi oleh proses radang
atau kerusakan jaringan. Zat tersebut akan dikeluarkan melalui ginjal. Oleh karena itu kadar Cystatin
dipakai sebagai indikator yang sensitif untuk mengetahui kemunduran fungsi ginjal.

Pemeriksaan lemak darah meliputi pemeriksaan kadar kolesterol total, trigliserida, HDL dan LDL
kolesterol. Pemeriksaan tersebut terutama dilakukan pada pasien yang memiliki kelainan pada
pembuluh darah seperti pasien dengan kelainan pembuluh darah otak, penyumbatan pembuluh darah
jantung, pasien dengan diabetes melitus (DM) dan hipertensi serta pasien dengan keluarga yang
menunjukkan peningkatan kadar lemak darah. Untuk pemeriksaan lemak darah ini, sebaiknya
berpuasa selama 12 - 14 jam. Bila pada pemeriksaan kimia darah, serum yang diperoleh sangat keruh
karena peningkatan kadar trigliserida sebaiknya pemeriksaan diulang setelah berpuasa > 14 jam untuk
mengurangi kekeruhan yang ada. Untuk pemeriksaan kolesterol total, kolesterol HDL dan kolesterol
LDL tidak perlu berpuasa. Selain itu dikenal pemeriksaan lipoprotein (a) bila meningkat dapat
merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner.

Pemeriksaan kadar gula darah dipakai untuk mengetahui adanya peningkatan atau penurunan kadar
gula darah serta untuk monitoring hasil pengobatan pasien dengan Diabetes Melitus (DM).
Peningkatan kadar gula darah biasanya disebabkan oleh Diabetes Melitus atau kelainan hormonal di
dalam tubuh. Kadar gula yang tinggi akan dikeluarkan lewat urin yang disebut glukosuria. Terdapat
beberapa macam pemeriksaan untuk menilai kadar gula darah yaitu pemeriksaan gula darah sewaktu,
kadar gula puasa, kadar gula darah 2 jam setelah makan, test toleransi glukosa oral, HbA 1c, insulin
dan C-peptide. Kadar gula darah sewaktu adalah pemeriksaan kadar gula pada waktu yang tidak
ditentukan. Kadar gula darah puasa bila pemeriksaan dilakukan setelah pasien berpuasa 10 - 12 jam
sebelum pengambilan darah atau sesudah makan 2 jam yang dikenal dengan gula darah 2 jam post-
prandial. Pasien DM dalam pengobatan, tidak perlu menghentikan obat pada saat pemeriksaan gula
darah puasa dan tetap menggunakan obat untuk pemeriksaan gula darah post-prandial. Pemeriksaan
kadar gula darah puasa dipakai untuk menyaring adanya DM, memonitor penderita DM yang
menggunakan obat anti-diabetes; sedangkan glukosa 2 jampost-prandial berguna untuk mengetahui
respon pasien terhadap makanan setelah 2 jam makan pagi atau 2 jam setelah makan siang. Kadar
gula darah sewaktu digunakan untuk evaluasi penderita DM dan membantu menegakkan diagnosis
DM. Selain itu dikenal pemeriksaan kurva harian glukosa darah yaitu gula darah yang diperiksa pada
jam 7 pagi, 11 siang dan 4 sore, yang bertujuan untuk mengetahui kontrol gula darah selama 1 hari
dengan diet dan obat yang dipakai. Pada pasien dengan kadar gula darah yang meragukan, dilakukan
uji toleransi glukosa oral (TTGO). Pada keadaan ini pemeriksaan harus memenuhi persyaratan:

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien harus makan karbohidrat yang cukup.
2. Tidak boleh minum alkohol.
3. Pasien harus puasa 10 – 12 jam tanpa minum obat, merokok dan olahraga sebelum
pemeriksaan dilakukan.
4. Di laboratorium pasien diberikan gula 75 g glukosa dilarutkan dalam 1 gelas air yang harus
dihabiskan dalam waktu 10 – 15 menit atau 1.75 g per kg berat badan untuk anak.
5. Gula darah diambil pada saat puasa dan 2 jam setelah minum glukosa.

Insulin adalah merupakan hormon yang dihasilkan oleh pankreas pada sel beta pulau Langerhans.
Berkurangnya aktifitas insulin akan menyebabkan terjadinya Diabetes Melitus. Pemeriksaan aktifitas
insulin bila diduga terdapat insufisiensi insulin, peningkatan kadar insulin pada pasien dengan
hipoglikemia. Pengukuran aktifitas insulin ini tidak dipengaruhi oleh insulin eksogen. Insulin berasal
dari pro insulin yang mengalami proteolisis menjadi C-peptide. C-peptide dipakai untuk mengetahui
sekresi insulin basal.

Untuk pemantauan DM dilakukan uji HbA1c. Pemeriksaan ini menunjukkan kadar gula darah rerata
selama 1 – 3 bulan. Dalam keadaan normal, kadar HbA1c berkisar antara 4 – 6% dan bila gula darah
tidak terkontrol, kadar HbA1c akan meningkat. Oleh karena itu, penderita dengan kadar gula darah
yang normal bukan merupakan petanda DM terkontrol. DM terkontrol bila kadar HbA1c normal. Hasil
pemeriksaan HbA1c akan lebih rendah dari sebenarnya bila didapatkan hemoglobinopati seperti
thalassemia. Oleh karena itu, penderita DM sebaiknya melakukan pemeriksaan analisa hemoglobin
untuk mengetahui kelainan tersebut dalam menilai hasil pemeriksaan HbA 1c . Akhir – akhir ini uji
HbA1c selain untuk monitoring pengobatan, dipakai untuk diagnosis DM.

Pankreas menghasilkan enzim amilase dan lipase. Amilase selain dihasilkan oleh pankreas juga
dihasilkan oleh kelenjar ludah dan hati yang berfungsi mencerna amilum/karbohidrat. Kadar amilase
di dalam serum meningkat pada radang pankreas akut. Pada keadaan tersebut, keadaan amilase
meningkat setelah 2 – 12 jam dan mencapai puncak 20 – 30 jam dan menjadi normal kembali setelah
2 – 4 hari. Gejala yang timbul berupa nyeri hebat pada perut. Kadar amilase ini dapat pula meningkat
pada penderita batu empedu dan pasca bedah lambung.

Lipase adalah enzim yang dihasilkan oleh pankreas yang berfungsi mencerna lemak. Lipase akan
meningkat di dalam darah apabila ada kerusakan pada pankreas. Peningkatan kadar lipase dan amilase
terjadi pada permulaan penyakit pankreatitis, tetapi lipase serum meningkat sampai 14 hari, sehingga
pemeriksaan lipase bermanfaat pada radang pankreas yang akut stadium lanjut.

Untuk pembentukan hemoglobin dibutuhkan antara lain besi, asam folat dan vit. B12. Besi merupakan
unsur yang terbanyak didapatkan di darah dalam bentuk hemoglobin, serum iron (SI), total iron
binding capacity (TIBC) dan ferritin. Pemeriksaan SI bertujuan mengetahui banyaknya besi yang ada
di dalam serum yang terikat dengan transferin, berfungsi mengangkut besi ke sumsum tulang. Serum
iron diangkut oleh protein yang disebut transferin, banyaknya besi yang dapat diangkut oleh transferin
disebut total iron binding capacity (TIBC). Saturasi transferin mengukur rasio antara kadar SI
terhadap kadar TIBC yang dinyatakan dalam persen. Ferritin adalah cadangan besi tubuh yang
sensitif, kadarnya menurun sebelum terjadi anemia. Pada anemia tidak selalu terjadi perubahan pada
SI, TIBC dan ferritin tergantung pada penyebab anemia. Pada anemia defisiensi besi, kadar SI dan
saturasi transferin menurun sedangkan TIBC akan meningkat/normal dan cadangan besi tubuh
menurun. Pengukuran asam folat dan vitamin B12 bertujuan untuk mengetahui penyebab anemia.

Natrium (Na) merupakan kation ekstraseluler terbanyak, yang fungsinya menahan air di dalam tubuh.
Na mempunyai banyak fungsi seperti pada otot, saraf, mengatur keseimbangan asam-basa bersama
dengan klorida (Cl) dan ion bikarbonat. Kalium (K) merupakan kation intraseluler terbanyak. Delapan
puluh – sembilan puluh persen K dikeluarkan oleh urin melalui ginjal. Oleh karena itu, pada kelainan
ginjal didapatkan perubahan kadar K. Klorida (Cl) merupakan anion utama didalam cairan
ekstraseluler. Unsur tersebut mempunyai fungsi mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh
dan mengatur keseimbangan asam-basa.

Kalsium (Ca) terutama terdapat di dalam tulang. Lima puluh persen ada dalam bentuk ion kalsium
(Ca), ion Ca inilah yang dapat dipergunakan oleh tubuh. Protein dan albumin akan mengikat Ca di
dalam serum yang mengakibatkan penurunan kadar ion Ca yang berfungsi di dalam tubuh. Oleh
karena itu untuk penilaian kadar Ca dalam tubuh perlu diperiksa kadar Ca total, protein total, albumin
dan ion Ca.

Fosfor (P) adalah anion yang terdapat di dalam sel. Fosfor berada di dalam serum dalam bentuk
fosfat. Delapan puluh sampai delapan puluh lima persen kadar fosfat di dalam badan terikat dengan
Ca yang terdapat pada gigi dan tulang sehingga metabolism fosfat mempunyai kaitan dengan
metabolisme Ca. Kadar P yang tinggi dikaitkan dengan gangguan fungsi ginjal, sedangkan kadar P
yang rendah mungkin disebabkan oleh kurang gizi, gangguan pencernaan, kadar Ca yang tinggi,
peminum alkohol, kekurangan vitamin D, menggunakan antasid yang banyak pada nyeri lambung.

Di Laboratorium Klinik Utama Bio Medika, pemeriksaan tersebut di atas dilakukan dengan
menggunakan alat pemeriksaan kimia otomatis (chemistry analyzer) dengan menjamin mutu hasil
pemeriksaan dengan pemantapan kualitas yang memadai.

Anda mungkin juga menyukai