Anda di halaman 1dari 3

MATERI PEPAOSAN SASAK

Sebentar lagi salah satu Festival Budaya yaitu “Festival Pesona Bau Nyale” akan di gelar.Namun
sebelum hari penyelenggaraannya, ada salah satu tradisi yang selalu dilakukan yaitu Tradisi
Pepaosan.
Pepaosan yaitu tradisi pembacaan lontar yang dilakukan oleh para tokoh adat sehari sebelum Bau
Nyale dilaksanakan.
Pembacaan lontar ini dilakukan dengan menembangkan beberapa pupuh atau nyayian tradisional
dengan urutan tembang antara lain: Pupuh Smarandana, Pupuh Sinom, Pupuh Maskumambang dan
Pupuh Ginada.
Adapun beberapa piranti yang digunakan dalam prosesi ini yaitu daun sirih, kapur, kembang setaman
dengan Sembilan jenis bunga, dua buah gunungan yang berisi jajan tradisional khas Sasak serta buah-
buahan lokal.

Masyarakat Sasak mempunyai tradisi membaca naskah pusaka yang dilakukan


dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Pembacaan naskah itu dilakukan
untuk memperingati atau menyambut peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan.

Masyarakat Sasak, sebutan bagi orang-orang yang berasal dari Pulau Lombok,
Nusa Tenggara Barat, memiliki tradisi kesusastraan yang tinggi. Pulau ini dalam
catatan Dick van der Meij, peneliti naskah nusantara dari Leiden, memiliki jumlah
naskah yang banyak sekali. Jauh lebih banyak ketimbang tempat-tempat lain di
Indonesia.

Tradisi tulis Sasak berdasarkan data-data arkeologis membentang sangat lama.


Catatan Jamaluddin, peneliti naskah dari UIN Mataram, memperlihatkan jejak
tradisi tulis telah ada sejak abad ke-9 Masehi. Tradisi tulis itu kemudian tumbuh
pesat terutama di masa Kerajaan Majapahit.

Pada masa itulah hubungan kebudayaan antara pulau-pulau Sunda Kecil dengan
pusat kekuasaan di Trowulan terjalin kuat. Salah satu buktinya adalah naskah
Negarakertagama yang mencatat perjalanan Hayam Wuruk di beberapa tempat
penting di sekitar wilayah kekuasaannya di Jawa Timur pada abad 14, berasal dari
Cakranegara, Lombok.

Tradisi menulis di atas daun lontar diperkirakan berasal dari tradisi yang ada di
Jawa dan Bali. Naskah-naskah sasak yang berhasil dikumpulkan hingga saat ini,
salinan-salinan yang tertua berasal dari abad 19.

Belanda adalah negara yang paling banyak memiliki naskah-naskah Sasak. Untuk
bisa melihat perbendaharaan naskah ini, orang bisa mencari di perpustakaan Bali,
Jakarta, Leiden, dan Canberra.
Museum Mataram tentu saja memiliki beberapa naskah, sisanya dimiliki oleh
individu dan keluarga-keluarga di Lombok yang menyimpannya sebagai pusaka
yang akan diwariskan dari generasi ke generasi.

Salinan Kertas

Sejak 70-an telah banyak dilakukan penyalinan naskah-naskah Sasak ke media


kertas. Salinan-salinan ini kemudian dipublikasikan untuk dipelajari,
dipertunjukkan, dan dijualbelikan. Naskah yang menyangkut sejarah kerajaan
Sasak , seperti Babad Lombok, dan Babad Selaparang adalah naskah yang
populer. Sayangnya, menurut Dijk van der Meij, penelitian terhadap tradisi
kesusatraan Lombok masih sangat sedikit.

Naskah Lontar Lombok atau Sasak, umumnya ditulis dalam bahasa Kawi dan
bahasa Sasak atau campuran antara keduanya yang disebut sebagai Aksare Sasak.
Seperti juga aksara Jawa, aksara ini diperkirakan berasal dari pengaruh peradaban
di India Selatan.

Aksara ini disebut juga sebagai “hanacarake” berbeda penyebutan di akhir dengan
di Jawa. Jumlahnya 18 aksara, hanya berkurang dua konsonan dari aksara Jawa.
Yakni, konsonan “dha” dan “tha”. Berkurangnya dua konsonan ini sepertinya
menyesuaikan dengan lisan orang Sasak yang tidak mengenal konsonan ini.

Naskah-naskah Sasak sebagian besar merupakan salinan dari naskah-naskah yang


ada di Jawa dan Bali. Tetapi beberapa naskah juga berasal dari tradisi Sasak
sendiri. Tradisi lisan yang ditulis adalah sumber-sumber yang paling banyak
melahirkan variasi dalam perbendaharaan naskah Sasak.

Lontar-lontar berbahasa Kawi dan berbahasa Sasak mengikuti aturan penulisan


dan persajakan yang baku. Mirip dengan yang ada di Jawa dan Bali, tetapi dengan
variasi yang terbatas. Naskah Sasak mengenal Pupuh (lagu) Asmarandana, Sinom,
Maskumambang, Durma, Pangkur, dan Dangdanggula.

Naskah Pusaka

Masyarakat Sasak mempunyai tradisi membaca naskah pusaka yang dilakukan


dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Pembacaan naskah itu dilakukan untuk
memperingati atau menyambut peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan.
Kelahiran, potong rambut bayu, khitanan, pernikahan, bersih desa, sedekah bumi,
sedekah laut, ruwatan, hingga acara kematian.

Peter K Austin, peneliti dari Australia (ANU), secara khusus meneliti tradisi
membaca naskah yang ada di Sasak. Dia melakukan penelitian dalam beberapa
waktu yang berbeda. Yang pertama dia lakukan pada 2002, di Desa Penujak. Yang
kedua dia lakukan di Desa Lenek pada 2012. Saat meneliti Peter dibantu beberapa
orang konsultan, seniman, dan sastrawan Sasak yang mampu membaca dan
mengartikan naskah-naskah pusaka itu. (Y-1)

Anda mungkin juga menyukai