Anda di halaman 1dari 35

Laporan Pendahuluan

Asuhan Kepenataan Anestesi pada Pasien Ny.N dengan Diagnosa Medis Abses Colli
Disertai Penyakit Penyerta Diabetes Melitus Dilakukan Tindakan Operasi Pro Insisi
Drainase Abses dengan General Anestesi LMA di IBS RSUD Buleleng
Pada Tanggal 22 November 2023

Dosen Pembimbing:

Ns. Inge Ruth Suantika, S.Kep.,M.Kep

Disusun Oleh:
Ni Nengah Desi Kirena
2014301084
Anestesiologi B

Program Studi D IV Keperawatan Anestesiologi

Fakultas Kesehatan

Institute Teknologi dan Kesehatan Bali

2023
A. Konsep Teori Penyakit
1. Definisi
Abses adalah kumpulan pus atau nanah yang terletak dalam satu kantung yang
terbentuk dalam jaringan yang disebabkan oleh infeksi (Asyari, 2019). Abses
colli adalah suatu infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri atau karena adanya
benda asing dan mengandung nanah yang timbul didalam ruang leher, akibat
perjalanan berbagai sumber infeksi. Abses colli yang disertai oleh diabetes
melitus jumlahnya sangat kecil yaitu hanya 6,4%. (Vinda Syafira.,2020).

2. Etiologi
Abses pada umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, walaupun bisa
disebabkan oleh bakteri lain, parasite, atau benda asing (Craft, 2012).
Infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui beberapa cara :
1) Bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka yang berasal dari tusukan
jarum yang tidak steril.
2) Bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh yang lain.
3) Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia dan
tidak menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan terbentuknya
abses.
Peluang terbentunya suatu abses akan meningkat jika :
1) Terdapat kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi.
2) Daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang.
3) Terdapat gangguan sistem kekebalan.

3. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala suatu abses berupa nyeri , nyeri tekan, teraba hangat,
pembengkakan, kemerahan, demam dan hilangnya fungsi. Tanda dan gejala dari
abses tergantung lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ atau
syaraf, karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan maka
manifestasi lain yang mingikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari
proses inflamasi.
4. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang merujuk pada diagnose bedah abses secara urnum
menurut Doenges, dkk (2010), meliputi:
1) Kultur: mengidentifikasi organisme penyebab abses sensitivitas
menentukan obat yang paling efektif
2) Leukosit (sel darah putih): leucopenia leukositosis ( 15.000- 30.000)
mengidentifikasi produksi sel darah putih tak matur dalam jumlah besar.
3) Pemeriksaan pembekuan: trombositopenia dapat terjadi karena agregasi
trombosit, PT/PTT mungkin memanjang menunjukkan koagulopati yang
diasosiasikan dengan iskemia hati / sirkulasi toksin status syok.
4) Laktat serum : meningkat dalam asidosís metabolic, disfungsi hati, syok.
5) Urinalisis: adanya sel darah putih / bakteri penyebab infeksi sering muncul
protein dan sel darah merah

Menurut sudoyo (2007). Pemeriksaan diagnostik abses meliputi:

1) Pemeriksaan foto polos pedis: untuk mengetahui ada atau tidaknya


komplikasi.
2) Ultrasonografi (USG): dapat memberikan petunjuk tentang ukuran abses
dan adanya lokulasi atau abses multiple.

5. Penatalaksanaan Medis
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penangan menggunakan antibiotic.
Narnun demikian.kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah,
debridement atau kuretase. Suatu abses harus di amati dengan teliti untuk
mengidentifikasi penyebab utamanya apabila disebabkan oleh benda asing
karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda
asing, biasanya hanya perlu dipotong dan di ambil abesesnya, bersama dengan
pernberian obat analgetik abses dengan menggunakan pembedahan biasanya
diindikasi apabila abses telah berkembang dari peradangan serasa yang keras
menjadi tahap nanah yang lebih lunak. Karena seringkali abses disebabkan oleh
bakteri staphylococcusaureus, antibiotic antistafilokokus seperti flucloxacilin
atau didoxacillin sering digunakan. Dengan adanya kemunculan staphylococcus
aureus tersebut yang dapat melalui komunitas, antibiotic biasanya tersebut
menjadi tidak efektif.
B. Konsep Teori Penyakit Penyerta
1. Definisi
Diabetes menurut American Diabetes Association (ADA) suatu kelompok
penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (tingginya kadar gula
darah) yang terjadi karena kelainan sekresi (pengeluaran) insulin, kerja insulin
atau keduanya (Chalid 2018). Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit yang
komplek dan secara khusus dikarakteristikan denganhiperglikemia kronik
(Hurtado & Vella, 2019).
Diabetes Mellitus adalah penyakit metabolik yang di tandai dengan tingginya
kadar glukosa darah (hyperglikemia) sebagai akibat dari kekurangan sekresi
insulin, gangguan aktifitas insulina atau keduanya, (Bulu et al., 2019).

2. Etiologi
Etiologi dari penyakit diabetes yaitu gabungan antara faktor genetik dan faktor
lingkungan. Etiologi lain dari diabetes yaitu sekresi atau kerja insulin,
abnormalitas metabolik yang menganggu sekresi insulin, abnormalitas
mitokondria, dan sekelompok kondisi lain yang menganggu toleransi glukosa.
Diabetes mellitus dapat muncul akibat penyakit eksokrin pankreas ketika terjadi
kerusakan pada mayoritas islet dari pankreas. Hormon yang bekerja sebagai
antagonis insulin juga dapat menyebabkan diabetes (Putra, 2015).
Menurut (Wisudarti CFR, Widyastuti Y, 2016) penyebab terjadinya DM tipe 2
sangat bervariasi, pada umumnya ditandai dengan berbagai tingkatan resistensi
insulin dan defisiensi insulin relatif. Tipe ini mempunyai predisposisi genetik
yang lebih kuat dan kompleks daripada tipe I. Faktor risiko munculnya DM tipe 2
meningkat dengan pertambahan usia, obesitas, kurangnya aktivitas fisik,
hipertensi, dislipdemia, dan diabetes gestasional. Seringkali tidak terdeteksi
selama beberapa tahun dan terdiagnosis setelah munculnya komplikasi DM
(mikroangiopati merupakan yang tersering).
Sedangkan menurut (Lestari et al., 2021) DM tipe 2 antara lain usia, aktivitas
fisik, terpapar asap, indeks massa tubuh (IMT), tekanan darah, stres, gaya hidup,
adanya riwayat keluarga, kolesterol HDL, trigliserida, DM kehamilan, riwayat
ketidaknormalan glukosa dan kelainan lainnya.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala diabetes melitus menurut Smeltzeret al, (2013) dan Kowalak
(2011), yaitu:
a. Poliuria (air kencing keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang berlebih)
yang disebabkan karena osmolalitas serum yang tinggi akibat kadar glukosa
serum yang meningkat.
b. Anoreksia dan polifagia (rasa lapar yang berlebih) yang terjadi karena
glukosuria yangmenyebabkan keseimbangan kalori negatif.
c. Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan penggunaan
glukosa oleh sel menurun.
d. Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa gatal pada
kulit.
e. Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas disebabkan oleh kadar
glukosa intrasel yang rendah.
f. Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat ketidakseimbangan
elektrolit.
g. Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan karena
pembengkakan akibat glukosa.
h. Sensasi kesemutan atau kebas di tangan dan kaki yang disebabkan kerusakan
jaringan saraf.
i. Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan karena
neuropatiotonom yang menimbulkan konstipasi.
j. Mual, diare, dan konstipasi yang disebabkankarena dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit serta neuropati otonom.

Diabetes sering muncul tanpa gejala. Gejala tipikal yang sering


dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air
kecil),polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyakmakan/mudah lapar).
Selain itu sering pula munculkeluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak
anggotatubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki,timbul gatal-gatal
yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menuruntanpa
sebab yang jelas.
a. Pada DM Tipe I gejala klasik yang umumdikeluhkan adalah poliuria,
polidipsia,polifagia, penurunan berat badan, cepatmerasa lelah
(fatigue), iritabilitas, danpruritus (gatal-gatal pada kulit).
b. Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada.
DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru
dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan
komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih
mudah terkena infeksi, sukar sembuh dariluka, daya penglihatan makin
buruk, danumumnya menderita hipertensi,hiperlipidemia, obesitas, dan
jugakomplikasi pada pembuluh darah dan syaraf .

4. Pemeriksaan Diagnostik
Macam pemeriksaan diabetes melitus yang dapat dilakukan yaitu: pemeriksaan
gula darah sewaktu (GDS), pemeriksaan gula darah puasa (GDP), pemeriksaan
gula darah 2 jam prandial (GD2PP), pemeriksaan hBa1c, pemeriksaan toleransi
glukosa oral (TTGO) berupa tes ksaan penyaring. Menurut Widodo (2014), bahwa
dari anamnesis sering didapatkan keluhan khas diabetes berupa poliuria, polidipsi,
polifagia dan penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya. Keluhan lain
yang sering disampaikan adalah lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi dan pruritus vulvae .
Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan untuk diagnosis adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan berupa plasma darah vena. Glukosuria
tidak dapat menegakkan diagnosis. Jika individu mengalami keluhan yang baik
berupa keluhan utama maupun keluhan lain, kecurigaan terhadap DM perlu
dipikirkan.
Kriteria diagnosis DM adalah sebagai berikut:
a. Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa didefinisikan sebagai tidak ada
intake kalori dalam setidaknya 8 jam, atau
b. Glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa ≥ 200 mg/dL. Tes toleransi
glukosa dilakukan sesuai standar WHO dengan 75gram glukosa anhidrat yang
dilarutkan dalam air, atau
c. A1C ≥ 6,5%. Pemeriksaan dilakukan pada laboratorium yang menggunakan
metode yang tersertifikasi NGSP dan terstandardisasi DCCT assay, atau
d. Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia, dengan
glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:


a. Pemeriksaan X-ray untuk mengetahui ada tidaknya osteomyelitis
b. Pemeriksaan glukosa darah
c. Kultur dan restitensi untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang
menginfeksiluka sehingga dapat memilih obat antibiotik yang tepat
d. Tes lain dapat dilakukan: sensasi pada getaran, merasakan sentuhan
ringan,kepekaan terhadap suhu.

5. Penatalaksanaan Medis
Menurut Perkeni (2015), 4 Pilar Penatalaksanaan Diabetes Mellitus(DM) terdiri
dari:
a. Edukasi
Edukasi meliputi promosi hidup sehat dan dilakukan sebagai upaya
pencegahan dan merupakan bagian yang penting dari pengelolaan DM secara
holistik.
b. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar pengelolaan DM tipe 2 yang tidak
disertai nefropati. Kegiatan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali
per minggu selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit per minggu.
Latihan jasmani yang dilakukan adalah yang bersifat aerobik dengan intensitas
sedang (50-70% denyut jantung maksmial). Contoh latihan jasmani tersebut
meliputi jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
c. Terapi Nutrisi
Komposisi makanan dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45-65% terutama yang
berserat tinggi. Lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, tidak
melebihi 30% total asupan energi. Protein sebesar 10-20% total asupan energi.
Asupan natrium sama seperti orang sehat yaitu <2300 mg perhari. Konsumsi
serat dianjurkan 20-35 gr/hari.
Kebutuhan kalori bagi penderita DM adalah 25 kal/kgBB ideal untuk wanita
dan 30 kal/kgBB ideal untuk laki-laki. Jumlah kebutuhan kalori bisa ditambah
atau dikurangi atas dasar beberapa faktor, seperti jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Stres metabolik juga memengaruhi jumlah
kalori yang harus diberi, penambahan 10- 30% tergantung dari beratnya stres
metabolik (sepsis, operasi, trauma) .
Penghitungan berat badan ideal menggunakan rumus Broca yang dimodifikasi,
seperti berikut:
1) Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
2) Pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumusnya menjadi:
3) (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
4) BB normal : BB ideal ± 10%
5) Kurus : kurang dari BBI - 10%
6) Gemuk : lebih dari BBI + 10%
d. Terapi Farmakologis
1) Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat ini dibagi menjadi 5 golongan.
a) Pemacu sekresi Insulin
(1) Sulfonylurea, mempunyai efek utama sebagai peningkat sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utamanya berupa
hipoglikemia dan peningkatan berat badan.
(2) Glinid, cara kerja sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
b) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
(1) Metformin, merupakan pilihan pertama bagi sebagian besar kasus
DM tipe 2. Efek utamanya mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis) dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan
perifer.
(2) Tiazolindindion, agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang
terdapat di sel otot, lemak, dan hati.
c) Penghambat Absorbsi Glukosa di Saluran Pencernaan
Penghambat glukosidase alfa : bekerja dengan memperlambat
absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek
menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
d) Penghambat DPP-IV
Menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like
Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif.
e) Penghambat SGLT-2
Menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal
dengancara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2.
2) Obat Antihiperglikemia Suntik
a) Insulin
(1) Insulin diperlukan pada keadaan :
(2) HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
(3) Penurunan berat badan yang cepat
(4) Hiperglikemia berat disertai ketosis
(5) Krisis hiperglikemia
(6) Gagal dengan kombinasi obat hiperglikemik oral (OHO) dosis
optimal
(7) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
(8) Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
(9) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
(10) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
(11) Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Berdasarkan lama kerja insulin terbagi menjadi 5 jenis, yaitu:


(1) Insulin krja cepat (rapid-acting insulin)
Contoh: lispro (humalog), aspart (novorapid), glulisin
(apidra).Awitan (onset) 5-15 menit, puncak efek 1-2 jam, lama
kerja 4-6 jam.
(2) Insulin kerja pendek (short-acting insulin)
Contoh: humulin R, actrapid.Awitan (onset) 30-60 menit, puncak
efek 2-4 jam, lama kerja 6-8 jam.
(3) Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
Contoh: humulin N, insulatard, insuman basal.Awitan (onset)
1,5-4 jam, puncak efek 4-10 jam, lama kerja 8-12 jam.
(4) Insulin kerja Panjang (long acting insulin)
Contoh: glargine (lantus), detemir (levemir), lantus 300. Awitan
(onset) 1-3 jam, puncak efek hampir tanpa puncak, lama kerja 12-
24 jam.
(5) Insulin kerja ultra Panjang (ultra long acting insulin)
Contoh: degludec (tresiba). Awitan (onset) 30-60 menit, puncak
efek hampir tanpa puncak, lama kerja sampai 48 jam.
e. Penatalaksanaan Operatif (Debridemen)
Debridemen merupakan upaya untuk membersihkan semua jaringan
nekrotik, karena luka tidak akan sembuh bila masih terdapat jaringan
nonviable, debris dan fistula. Tindakan debridemen juga dapat
menghilangkan koloni bakteri pada luka.10,15 Saat ini terdapat beberapa
jenis debridemen yaitu autolitik, enzimatik, mekanik, biologik dan tajam.
Debridemen dilakukan terhadap semua jaringan lunak dan tulang yang
nonviable. Tujuan debridemen yaitu untuk mengevakuasi jaringan yang
terkontaminasi bakteri, mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat
mempercepat penyembuhan, menghilangkan jaringan kalus serta
mengurangi risiko infeksi lokal.16 Debridemen yang teratur dan dilakukan
secara terjadwal akan memelihara ulkus tetap bersih dan merangsang
terbentuknya jaringan granulasi sehat sehingga dapat mempercepat proses
penyembuhan ulkus.

C. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya dibagi
menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangakan anestesi
regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa
menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012). Anestesi memenuhi
tiga kriteria yang disebut dengan trias anestesi, meliputi analgesi (hilang nyer)i,
hipnotik (hilang kesadaran), berikut relaksasi (muscle relaxant). Obat anestesi
adalah obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit dalam bermacam-
macam tindakan operasi. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesia
umum dan regional.
2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
Anestesi umum adalah menghilangkan kesadaran dengan pemberian obat-
obatan tertentu, tidak merasakan sakit walaupun diberikan rangsangan nyeri,
dan bersifat reversible. Kemampuan untuk mempertahankan fungsi ventilasi
hilang, depresi fungsi neuromuscular, dan juga gangguan kardiovaskuler
(ASA, 2019). Tujuan utama anestesi umum adalah untuk mencapai amnesia,
sedasi, analgesia, arefleksia (tidak bergerak) dan atenuasi respons sistem saraf
otonom (simpatis).
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium
III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:
1) Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestesi sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat
dilakukan pada stadium ini.
2) Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur. Pada
stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut
kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan
tidak teratur, kadangkadang apneu dan hiperventilasi, tonus otot rangka
meningkat, inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi serta
takikardia. stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan
kematian.
3) Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
a) Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks
cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada
dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot
mulai menurun).
b) Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidal
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di
tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot
sedang, dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
c) Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks
laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna
(tonus otot semakin menurun).
d) Plana 4: Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks
sfingterani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik
sempurna (tonus otot sangat menurun).
4) Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan
darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhimya terjadi
kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi
dengan pernapasan buatan.
b. Regional Anestesi
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat anestesi
lokal ke dalam ruang subarachnoid dan ekstradural epidural di lakukan
suntikan kedalam ekstradural, untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom
tertentu dan relaksasi otot rangka.
3. Teknik Anestesi
a. General Anestesi
Anestesi umum atau general anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2017)
dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:
1) Anestesi Inhalasi
Anestesi yang diberikan melalui udara pernafasan dengan menggunakan
gas atau cairan anestesi yang mudah menguap. Gas anestesi bisa
dikombinasikan dengan nitrogen oksida yang terdapat pada suhu dan
tekanan ruangan secara stabil. Zat cair yang telah terbukti sangat mudah
menguap yakni Halotan, enfluran, isofluran, desfluran, dan metoksifluran.
Kloroform merupakan anestesi inhalasi yang pemakaiannya telah dibatasi
karena bersifat toksik terhadap fungsi hati. Sedangkan anestesi inhalasi
yang dibatasi selanjutnya yakni eter dan siklopropan karena mudah
terbakar.
Cara memberikan anestesi inhalasi dapat dilakukan dengan beberapa
metode, yaitu dengan intubasi, Laryngeal Mask Airway (LMA). Metode
inhalasi adalah obat anestesi yang diberikan dalam bentuk gas yang masuk
ke paru-paru dibantu dengan alat selang endotrakeal, LMA, atau ditutup
dengan sungkup/masker.
2) Anestesi Parenteral (Intramuscular/Intravena)
Anestesi parenteral adalah anestesi umum yang diberikan secara parenteral
baik intravenus maupun intra musculer, dipergunakan untuk tindakan
pembedahan yang singkat dan teknik induksi anestesi. Obat bius atau
anestesi yang diberikan secara intravena bisa dikombinasikan dengan
anestesi yang lain bahkan hanya dengan obat anestesi itu sendiri secara
tunggal. Hal ini bertujuan agar pasien dapat mencapai stadium anestesi dan
rasa tenang dengan cepat. Teknik TIVA (Total Intra Venous Anestesi).
3) Anestesi Imbang
Balance Anesthesia merupakan teknik anestesi dengan menggunakan
kombinasi obat-obatan baik anestesi intravena maupun obat anestesi
inhalasi atau kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional
untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu:
1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum
atauobat anestesi umum yang lain.
2) Efek anelgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat
atau obat anestesia umum, atau dengan cara analgesia regional
3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot
atauobat anestesi umum, atau dengan cara anestesi regional.
b. Regional Anestesi
Teknik Anestesi Regional yang umum digunakan menurut Modul IPAI 2018
antara lain:
1) Blok Subarachnoid
Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh pembiusan dari kaki
sampai tulang dada hanya dalam beberapa menit. suntikan hanya diberikan
satu kali.
2) Blok Epidural
Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh pembiusan dari kaki
sampai tulang dada hanya dalam beberapa menit. suntikan hanya diberikan
satu kali, obat diberikan terus-menerus melalui sebuah selang kecil selama
masih diperlukan
4. Rumatan Anestesi
a. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat-obatan sebelum tindakan anestesi dengan
tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus,
mengurangi dosis anestetikum, mengurangi atau menghilangkan efek samping
anestetikum (IPAI, 2018).
Obat-obat yang diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi sebagai
berikut:
1) Gol. Analgetik Narkotik
a) Morfin
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kgBB) intramuskular
diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien
menjelang operasi, menghindari takipnu dapat pemberian
trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan dengan tenang dan dalam.
Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan wakti pemulihan, timbul
spasme serta kolik biliaris dan ureter. Kadang-kadang terjadi
konstipasi, retensi urin, hipotensi, dan depresi napas.
b) Petidin
Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kgBB) intravena
diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernapasan serta
merangsang otot polos. Dosis induksi 1-2 mg/kgBB intravena.
2) Gol. Transquilizer (obat penenang)
a) Diazepam
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin. Pemberian dosis
rendah bersifat sediatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis
premedikasi dewasa 10 mg intramuskular atau 5-10 mg oral (0,2- 0,5
mg/kgBB) dengan dosis maksimal 15 mg. Dosis sedasi pada analgesi
regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB) intravena. Dosis induksi 0,2-
1mg/kgBB intravena.
b) Midazolam
Dibandingkan dengan diazepam, midazolam mempunyai awal dan
lama kerja lebih pendek. Belakangan ini midazolam lebih disukai
dibandingkan dengan diazepam. Dosis 50% dari dosis diazepam.
3) Gol. Antikolinergik
Antropin digunakan untuk mengatasi hipersekresi kelenjar ludah dan
bronkus yang ditimbulkan oleh anestetik yang dapat mengganggu
pernapasan selama anestesi. Atropine diberikan untuk mencegah
hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6
mg intramuskular bekerja setelah 10- 15 menit.
4) Gol. Hipnotik-sedatif
Barbiturat (Pentobarbital dan sekobarbital) diberikan untuk menimbulkan
sedasi. Dosis dewasa 100-200 mg, pada anak dan bayi 1 mg/kgBB secara
oral atau intramuskular. Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak
diperpanjang dan kurang menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan.
keuntungannya efek depresan yang lemah terhadap pernapasan dan
sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah .
b. Induksi
Induksi merupakan suatu rangkaian proses tindakan untuk membuat pasien
dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi
dan pembedahan.
1) Ketamin
Merupakan larutan larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar
dan relatif aman. Ketamin mempunyai sifatanalgesik, anestesi dan
kataleptik dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk
system somatik, tetapi lemah untuk sistem visceral. Tidak menyebabkan
relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi.
Ketamin akan meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan curah
jantung sampai ± 20%. Ketamin menyebabkan reflek faring dan laring
tetap normal. Ketamin sering menimbulkan halusinasi terutama pada orang
dewasa. Sebagian besar ketamin mengalami dealkilasi dan dihidrolisis
dalam hati, kemudian diekskresi terutama dalam bentuk utuh. Untuk
induksi ketamin secara intravena dengan dosis 2 mm/kgBB dalam waktu
60 detik, stadium operasi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk
mempertahankan anestesi dapat diberikan dosis ulangan setengah dari
semula. Ketamin intramuscular untuk induksi diberikan 10 mg/kgBB,
stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit.
2) Propofol
Propofol adalah obat anestesi intravena yang memiliki mula kerja dan
lama kerja yang relatif lebih singkat, serta memiliki efek antiemetik
sehingga dianggap menjadi anestesi yang ideal baik utuk induksi anestesi
atau pemeliharaan. Propofol sangat sukar larut dalam air atau bersifat
hidrofobik, sehingga propofol diformulasikan dalam bentuk emulsi
minyak-air yang mengandung 10% Long-Chain Triglycerides minyak
kedelai, 2.25% gliserol, dan 1.2% lesitin, sodium edatate (EDTA) sebagai
pengawet dan mengandung komponen yang utama yaitu fraksi fosfatida
dari kuning telur (Kotani et al., 2008; Katzung, 2014).
Efek pemberian anestesi umum intravena propofol (2 mg/kg) menginduksi
secara cepat seperti tiopental. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik
kira-kira 80% tetapi efek ini lebih disebabkan karena vasodilatasi perifer
daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik kembali normal
dengan intubasi trakea. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal.
Efek samping yang dikaitkan dengan induksi anestesi propofol adalah
nyeri saat injeksi, pada sistem pernapasan adanya depresi pernapasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler
berupa hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia. Pada susunan saraf pusat
adalah sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik
mioklonik, opistotonus, kejang, mual, dan muntah. Penggunaan dosis yang
tinggi pada induksi propofol tunggal dapat menyebabkan beberapa efek
samping yang meliputi depresi pernapasan, depresi miokard, dan
vasodilatasi perifer kardiovaskuler, metabolik asidosis.
3) Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping
yang mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih
larut dalam air. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan
normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat.
Normeperidin ialah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua
kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang
dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin. Petidin bersifat seperti
atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan
takikardia. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap
sfingter Oddi lebih ringan. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan 37
gemetaran pasca bedah yang tak ada hubungannya dengan hipotermi
dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa. Lama kerja petidin lebih pendek
dibandingkan morfin. Dosis petidin intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin
10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2- 0,5
mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena iritasi. Rumus bangun
menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia spinal
pada pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg BB.
c. Maintanance
1) Dinitrogen Monoksida (N2O atau gas tertawa)
Dinitrogen Monoksida (N2O) merupakan gas yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya
tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan
penguapan pada suhu kamar ± 50 atmosfir. N2O mempunyai efek
analgesik yang baik, dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya
seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek
analgesik maksimum ± 35%. Gas ini sering digunakan pada partus yaitu
diberikan 100% N2O pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit
hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu
relaksasi untuk mencegah terjadinya hipoksia.
d. Pelumpuh Otot
1) Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja
pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek
akumulasi pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus
dikurangi dan selamg waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot
0,08 mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal.
Dosis Intubasi trakea 0,15 mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi
4 mg pavulon.
2) Atracurium
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari
tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme
terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak
mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang. Dosis 0,5 mg/kg iv,
30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative 0,25 mg/kg initial,
lalu 0,1 mg/kg setiap 10- 20 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif
menggantikan bolus. Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan
dewasa. Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-
8 OC, potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu
ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.
3) Vecuronium
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan
lebih besar dan lama kerjanya singkat zat anestetik ini 51 tidak mempunyai
efek akumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. Dosis intubasi 0,08 –
0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg setiap 15 – 20 menit.
Drip 1 – 2 mcg/kg/menit. Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat
memanjang durasi pada pasien post partum. Karena gangguan pada hepatic
blood flow. Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
4) Rekuronium
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat.
Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan
kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih
lama. Dosis 0,45 – 0,9 mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus
untuk rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah
intubasi. Im (1 mg/kg untuk infant; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita
suara dan paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 – 6 menit
dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5 – 12 mcg/kg/menit. Dapat
memanjang pada pasien orang tua.
e. Obat-obat Emergency
1) Epinephrine (adrenalin)
a) Golongan: Agonis alpha/beta
b) Indikasi: Untuk mengatasi kondisi anafilatik syok, hipotensi,
brakikardi, dan serangan asma akut.
c) Dosis: Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang setiap 3-5 menit, dapat
diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2-2,5 kali dosis
intra vena. Untuk reaksi-reaksi atau syok anafilaktik dengan dosis 0,2-
1 mg sc dapat diulang setiap 5-15 menit. Untuk terapi bradikardi atau
hipotensi dapat diberikan epinephrine perinfus dengan dosis 1mg
dilarutkan dalam 500 cc NaCL 09%, dosis dewasa µg/menit dititrasi
sampai menimbulkan reaksi hemodinamik, dosis dapat mencapai 2- 10
µg/menit.
d) Kontra Indikasi: kongesif glaucoma, penggunaan bersama anestesi
local pada ujung syaraf, hipertensi, hipertiroid dan wanita hamil
e) Efek Samping: tremor, takikardia, aritmia, mulut kering, kaki tangan
menjadi dingin, ansietas, palpitasi, sakit kepala, dan muka pucat.
2) Sulfas Atropin
a) Golongan: antikolinergik
b) Indikasi: sebagai medikasi preansetetik untuk mengurangi sekresi
lender pada saluran nafas, keracunan, organospospat (pestisida),
menghambat peristaltik usus sehingga dapat digunakan pada kasus
diare (jarang digunakan)
c) Dosis untuk preanestesi dosisnya 0,4-0,6 mg setiap 4-6 jam secara
IV/SC/IM. Untuk antidote dosisnya 2-3 mg secara IV dapat ulang
hingga gejala keracunan berkurang. d) Kontra Indikasi:
hipersensitivitas terhadap antikolinergik, asma, gagal ginjal, penyakit
hati. e) Efek Samping: mulut kering, retensi urin, pusing, konstipasi.
3) Lidocaine
a) Golongan: Anestesi Lokal
b) Indikasi: Sebagai anestesi local pada tindakan bedah
c) Dosis: untuk anestesi infiltrasi perkutan, 5 sampai 300 mg (1 dalam 60
mL dari 0,5 % larutan 0,5 sampai 30 mL dari 1% larutan). Lidokain
salep digunakan untuk anestesi pada kulit dan membran mukosa
dengan dosis yang direkomendasikan sebanyak 20g dalam 5% salep
(setara 1g lidokain basa) dalam 24 jam.
d) Kontra Indikasi: hipersensitivitas pada anestesi lokal
e) Efek Samping: hipotensi, edema, mual muntah, iritasi kuli
4) Dopamine
a) Golongan: Vasopressor
b) Indikasi: Hipotensi akut atau syok akibat infark myokard, trauma, dan
gagal hinjal
c) Dosis: dosis awal 1-5 µg/kgBB/menit dalam drip infuse. Kemudian
dosis dapat ditinggikan hingga 5-15 µg/kgBB/menit.
d) Kontra Indikasi: pheochromocytoma, fibrilasi ventrikular
e) Efek Samping: hipotensi, hipertensi, nyeri dada, mual muntah
5. Risiko Anestesi
Risiko komplikasi yang mungkin terjadi pada saat pre, intra, pasca anestesi
sebagai berikut (IPAI, 2023):
1) Cemas
2) Nyeri
3) Risiko jatuh
4) Risiko cedera trauma fisik pembedahan
5) RK cedera anestesi
6) Kerusakan alat dna mesin anestesi
7) RK kesulitan intubasi
8) Kegawatan jalan napas
9) RK gangguan fungsi respirasi
10) RK gangguan fungsi kardiovaskular
11) RK pemenuhan kebutuhan cairan
12) RK gangguan elektrolit
13) RK perdarahan
14) Risiko gangguan termoregulasi
15) RK shivering
16) RK gangguan fungsi perkemihan
17) RK gangguan fungsi neuromuskuler
18) RK awareness anestesi
19) RK gangguan fungsi neurologi
20) RK peningkatan tekanan intra kranial
21) RK kejang
22) RK gangguan fungsi gastrointestinal
23) RK gangguan fungsi hepar
24) RK hipersensitivitas obat
25) RK spinal hematoma
26) RK post dural puncture headache
27) RK gangguan fungsi endokrin metabolic
28) RK syok
29) Ketidakefektifan koping
30) Deficit pengetahuan
31) RK keterlambatan pulih sadar
6. Pertimbangan Khusus Anestesi pada Pasien Penyakit Penyerta Diabetes
Melitus
Pembedahan dan anestesi dapat memicu respon stress neuro-endokrin dan
pelepasan hormon-hormon kontra-regulasi, akibatnya terjadi resistensi insulin
jaringan perifer, peningkatan produksi glukosa hepar, gangguan sekresi insulin
dan degradasi lipid dan protein.
Salah satu tanggung jawab praktisi anestesi adalah mewaspadai potensi risiko
terkait pembedahan pada pasien diabetes. Salah satu penyebabnya adalah
hiperglikemia (yaitu gula darah tinggi yang terjadi pada diabetes) yang dapat
menyebabkan peningkatan infeksi di tempat operasi, tromboemboli (penyumbatan
pembuluh darah), dan infark miokard (serangan jantung). Beberapa penelitian
menemukan bahwa fluktuasi glukosa dan hipoglikemia (gula darah rendah)
selama operasi sebenarnya bisa lebih berbahaya bagi tubuh dibandingkan
hiperglikemia. Selain itu, variabilitas detak jantung dan ritme jantung, serta reaksi
hipotensi, dapat terjadi pada pasien diabetes selama operasi. Faktor praktis lainnya
pada diabetes, seperti terbatasnya mobilitas tulang belakang leher dan sendi
rahang, dapat mempersulit spesialis anestesi untuk melakukan laringoskopi dan
intubasi untuk pemberian anestesi. Jelasnya, pasien diabetes menghadapi risiko
yang melebihi risiko standar yang timbul akibat pemberian anestesi.
(1) Pre Anestesi
Anestesi regional mungkin membawa risiko lebih besar pada pasien diabetes
dengan neuropati otonom. Hipotensi berat dapat terjadi dengan konsekuensi
buruk pada pasien yang memiliki penyakit arteri koroner, serebrovaskular,
atau renovaskular. Risiko infeksi dan kerusakan pembuluh darah dapat
meningkat dengan penggunaan teknik regional pada pasien diabetes; abses
epidural lebih sering terjadi setelah anestesi tulang belakang dan epidural.
Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang muncul setelah anestesi epidural
mungkin disalahartikan sebagai komplikasi anestesi akibat blokade regional.
Isu yang paling penting untuk ditangani dalam evaluasi pra operasi adalah
identifikasi dan kecukupan pengobatan.
(2) Intra Anestesi
Benzodiazepin menurunkan sekresi ACTH, dan juga produksi kortisol, bila
digunakan dalam dosis tinggi selama operasi. Obat-obatan tersebut
mengurangi rangsangan simpatis namun, secara paradoks, merangsang sekresi
hormon pertumbuhan dan mengakibatkan penurunan respons glikemik
terhadap pembedahan. Efek ini minimal bila midazolam diberikan dalam dosis
obat penenang biasa, namun mungkin relevan jika obat diberikan melalui infus
iv terus menerus kepada pasien dalam perawatan intensif.
Teknik anestesi opiat dosis tinggi tidak hanya menghasilkan hemodinamik,
tetapi juga stabilitas hormonal dan metabolik. Teknik-teknik ini secara efektif
memblokir seluruh sistem saraf simpatis dan poros hipotalamus-hipofisis,
mungkin melalui efek langsung pada hipotalamus dan pusat-pusat yang lebih
tinggi. Oleh karena itu, penghapusan respon hormonal katabolik terhadap
pembedahan akan menghilangkan hiperglikemia yang terlihat pada pasien
normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.
Halotan, enfluran, dan isofluran, secara in vitro , menghambat respons insulin
terhadap glukosa secara reversibel dan bergantung pada dosis.
pasien diabetes lebih cenderung mengalami kesulitan laringoskopi dan
intubasi. Kekakuan sendi interphalangeal keempat dan kelima merupakan ciri
umum dan perubahan yang diakibatkan pada telapak tangan mungkin
merupakan prediktor yang baik terhadap kesulitan intubasi.
(3) Pasca Anestesi
Pasien diabetes yang menjalani operasi dengan blokade saraf biasanya akan
melanjutkan asupan oral lebih awal dibandingkan setelah anestesi umum.
D. Web Of Caution (WOC)
Etiologi:

- Genetik
- Lingkungan
- Abnormalitas yang mengganggu sekresi insulin
- penyakit eksokrin pankrea

Tanda dan Gejala:


- Poliuria
- Anoreksia dan polifagia
- Keletihan
- Kulit kering
- Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas
- Kram pada otot
- Gangguan penglihatan
- Sensasi kesemutan
- Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen
- Mual, diare, dan konstipasi

DM

Operatif Terapi

Debridement
GA - LMA

Cedera jaringan
tubuh akibat Inflamasi Infeksi bakteri pada Nyeri
bakteri kulit

Pre Anestesi

Akan dilakukan Efek Obat General RK Cedera


tindakan Diberikan
Anestesi Anestesi
debridement GA (LMA)

Risiko Cedera Trauma Fisik


DM Tindakan Debridement Pembedahan

Intra Anestesi

Teknik GA (LMA) RK Gangguan Fungsi


Diabetes Melitus
Endokrin dan Metabolik

Efek agen obat anestesi dan Penurunan fungsi


Pasca Anestesi sensorik dan motorik Risiko Jatuh
debridement pada area leher
E. Tinjauan Teori ASKAN Pembedahan
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
Data subjektif diperoleh dari hasil pengkajian terhadap pasien dengan teknik
wawancara, keluarga, konsultan, dan tenaga kesehatan lainnya serta riwayat
keperawatan. Data ini berupa keluhan atau persepsi subjektif pasien terhadap
status kesehatannya. Untuk mendapatkan data subjektif maka dapat
menggunakan metode anamnesis.
Anamnesis adalah suatu proses pengumpulan informasi paling awal dalam
pelayanan kepenataan anestesi yang dilakukan lewat percakapan atau
wawancara antara penata anestesi dengan pasien baik secara langsung atau
melalui orang lain yang paling mengetahui tentang kondisi kesehatan pasien
(IPAI, 2023). Proses anamnesis terdiri dari:
1) Audition yaitu mendengarkan apa yang disampaikan oleh pasien
2) Evaluation yaitu menyeleksi informasi penting antara yang relavan dan
tidak relavan
3) Inquiry yaitu mencari hal penting yang memerlukan klarifikasi
4) Observasi yaitu mengamati pasien, perhatikan komunikasi non verbal
5) Understanding yaitu memahami pasien, memungkinkan empati
Anamnesis bertujuan untuk mendapatkan data dasar dan data focus, meliputi:
1) Data dasar, Kumpulan data yang berisikan mengenai status Kesehatan
pasien, kemampuan pasien untuk mengelola Kesehatan dirinya dan hasil
konsuktasi medis atau profesi lainnya, antatra lain:
a) Keluhan utama
b) Riwayat penyakit, indikasi dilakukan pembedahan dan anestesi
c) Latar belakang social budaya
2) Data focus, data tentang perubahan-perubahan atau respon pasien terhadap
masalah Kesehatan serta hal-hal yang mencakup tindakan yang dilakukan
terhadap pasien.. yang dalam hal ini dikenal dengan istilah AMPLE, yaitu:
a) Allergy, meliputi riwayat alergi obat-obatan yang telah digunakan dan
akan digunakan selama persiapan operasi hingga pasca operasi,
makanan, suhu, debu dan alergen lain.
b) Medical drug, meliputi riwayat penggunaan obat-obatan tertentu,
seperti obat antihipertensi, diuretic, digitalis, antidiabetic, dan
aminoglikosida yang dapat menimbulkan interaksi dengan agen
anestesi
c) Past illness, meliputi riwayat penyakit sistemik yang pernah dan
sedang diderita oleh pasien seperti DM, penyakit paru, penyakit
jantung, penyakit ginjal, penyakit hepar, gangguan perdarahan, dan
lainnya.
d) Last meal, meliputi makan dna minm terakhir atau puasa
e) Environment, meliputi kebiasaan yang buruk sepertiriwayat merokok,
mengkonsumsi alcohol, menggunakan obat narkotik, serta kondisi
lingkungan yang berhubungan dngan penyakit pasien.
b. Data Objektif
Informasi data objektif diperoleh dari hasil observasi, pemeriksaan fisik, hasil
pemeriksaan penunjang dan hasil laboratorium. Fokus dari pengkajian data
objektif berupa status kesehatan, pola koping, fungsi status respons pasien
terhadap terapi, risiko untuk masalah potensial, dukungan terhadap pasien.
Karakteristik data yang diperoleh dari hasil pengkajian seharusnya memiliki
karakteristik yang lengkap, akurat, nyata dan relevan. Data yang lengkap
mampu mengidentifikasi semua masalah keperawatan pada pasien.
Data objektif adalah informasi yang dapat diukur, diamati, atau diverifikaasi
secara objektif yang didasarkan pada pengamatan langsung, pemeriksaan
fisik, analisis pemeriksaan diagnostik, klasifikasi status fisik ASA dan
pertimbangan anestesi, yang hasil pengukurannya diperoleh melalui instrumen
atau alat yang digunakan (IPAI, 2023).
2. Masalah Kesehatan
a. Pre Anestesi
1) Nyeri
2) RK cedera anestesi
b. Intra Anestesi
1) Risiko cedera trauma fisik pembedahan
2) Risiko Gangguan Fungsi Endokrin dan Metabolik
c. Pasca Anestesi
1) Risiko Jatuh
3. Rencana Intervensi
a. Pre Anestesi
1) Nyeri
a) Tujuan: Selelah dilakukan ASKAN, selama 30 menit pada fase
praanestesi, pascaanestesi, cemas hilang atau berkurang.
b) Kriteria Hasil
(1) Subjektif:
(a) Pasien mengatakan nyeri berkurang
(2) Objektif
(a) Tekanan darah dalam batas normal (sistole 90-120 mmHg atau
diastole 60-80 mmHg), tekanan nadi kuat, frekuensi nadi 60-
100 x/menit)
(b) Frekuensi napas dalam batas normal (12-16 x/menit)
(c) Tidak terjadi diaforesis (keringat dingin)
(d) Tidak terjadi tremor suara/perubahan nada
(e) Gemetar hilang
(f) Tidak terjadi gelisah
(g) Mampu melakukan kontak mata dengan baik
(h) Mampu berinteraksi
(i) Mampu berkonsentrasi dengan baik
b) Rencana Intervensi
(1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
(2) termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
(3) kualitas dan faktor presipitasi
(4) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
(5) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
(6) Evaluasi pengalaman nyeri sebelumnya
(7) Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang
ketidakefektifan kontrol nyeri sebelumnya
(8) Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
(9) Ajarkan tentang teknik non farmakologi (relaksasi napas
dalam, distraksi, Spiritual Emotional Freedom Technique
(SEFT), genggam jari, terapi musik, terapi murotal, TENS,
terapi benson, Bimbingan imaginasi dll) Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri Kolaborasi pemberian obat analgetik sesuai
indikasi (Acetaminophen, NSAID, Opioid)

2) RK cedera anestesi
a) Tujuan: setelah dilakukan ASKAN selama fase praanestesi, cedera
akibat anestesi tidak terjadi di intraanestesi dan pascaanestesi
b) Kriteria hasil
(1) Tidak tejadi reaksi alergi
(2) Status hemodinamik stabil
(3) Respirasi stabil
(4) Termoregulasi stabil
(5) Tidak terjadi mual muntah
(6) Gangguan neuoromuskuler tidak terjadi.
c) Rencana Intervensi
(1) Observasi tanda-tanda vital
(2) Kaji kesiapan pasien sebelum operasi seperti: puasa, ganti baju
operasi, Latihan pra anestesi (napas dalam, batuk efektif, latihan
gerak sendi, latihan berbalik posisi), pastikan aliran IV line lancar
(3) Lakukan pengosongan kandung kemih
(4) Identifikasi hasil laboratorium
(5) Koreksi risiko sebelum tindakan anestesi (misal: hemodinamik)
(6) Siapkan peralatan anestesi sesuai jenis anestesi (STATICS,
epidural, spinal, lokal)
(7) Siapkan mesin anestesi (sumber gas, tekanan gas kesehatan,
kebocoran sirkuit pernapasan, kesediaan gas anestesi)
(8) Siapkan obat-obatan dan cairan sesuai jenis anestesi
(9) Periksa kelengkapan administrasi pasien (misal: informed consent)
(10) Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang prosedur anestesi
(11) Edukasi tentang persiapan tindakan anestesi (hentikan merokok,
minuman keras, obat-obatan terlarang/narkoba, tidak memakai
aksesoris, tidak menggunakan cat kuku dan riasan wajah serta
melepaskan gigi palsu)
(12) Berikan kesempatan bertanya
(13) Berikan kesempatan pasien untuk berdoa
(14) Kolaborasi pemberian obat premedikasi
(15) Kolaborasi dengan dokter spesialis anestesi apabila
risiko cedera terjadi.

b. Intra Anestesi
1) Risiko Cedera Trauma Fisik Pembedahan
a) Tujuan: Setelah dilakukan ASKAN selama intraanestesi, cedera
trauma fisik pembedahan tidak terjadi.
b) Kriteria Hasil
(1) Tidak adanya tanda-tanda trauma pembedahan
(2) Pasien tampak rileks
(3) Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 / 70 – 80
mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit Suhu : 36-37°C RR : 16 – 20
x/menit
(4) Saturasi oksigen >95%
(5) Tidak adanya komplikasi anestesi
c) Rencana Intervensi
(1) Observasi kedalaman anestesi sesuai dengan plana 1-4 (refleks
bulu mata, pernapasan, refleks pupil, refleks laring, refleks
peritonium, relaksasi otot lurik, lakrimasi)
(2) Observasi trias anestesi meliputi:
(a) Tingkat relaksasi otot (tidak ada tonus otot)
(b) Tanda-tanda nyeri (TD dan N tidak meningkat)
(c) Tanda-tanda hypnosis (tidak berespon terhadap stimulus)
(3) Lakukan pemberian oksigen 100% (pre oksigenasi)
(4) Lakukan pengaturan posisi pasien dan penilaian level blok
(anestesi regional)
(5) Kolaborasi dalam asuhan tindakan anestesi umum:
(a) Induksi
(b) Teknik anestesi (TIVA, inhalasi, balanced anestesi)
(c) Kepatenan jalan napas (LMA, ETT)
(d) Rumatan anestesi
(e) Pengakhiran anestesi
(6) Kolaborasi dalam asuhan tindakan anestesi dan sedasi meliputi:
(a) Sedasi ringan (misal: midazolam)
(b) Sedasi sedang (misal: opioid lemah)
(c) Sedasi dalam (misal: opioid kuat).
2) RK gangguan fungsi endokrin dan Metabolik
a) Tujuan : Setelah dilakukan ASKAN selama fase pra anestesi/intra
anestesi/pasca anestesi/ruang gawat darurat/ruang perawatan kritis
gangguan fungsi ndokrin dan metabolik teratasi/tidak terjadi ,
dengan
b) kriteria hasil :
Subjektif:
(1) Mengatakan tubuh tidak lemas
(2) Mengatakan nafsu makan meningkat
(3) Mengatakan frekuensi berkemih normal (4-8 kali/hari)
(4) Mengatakan tidak polifagi
(5) Mengatakan tidak polidipsi
(6) Mengatakan Luka relatif cepat sembuh
(7) Mengatakan tidak mual
Objektif
(1) Frekuensi napas dalam batas normal (12-20 x/menit)
(2) Nyeri abdomen berkurang/hilang
(3) Tidak muntah
(4) Tidak kebas
(5) Parestesia hilang
(6) IMT normal (18.5-25)
(7) Tidak terjadi kelemahan otot
(8) Tidak terjadi Tremor
(9) Frekuensi nadi dalam batas normal (60-100 x/menit)
c) Rencana Intervensi
(1) Identifikasi tanda dan gejala gangguan endokrin.
(2) Identifikasi hasil laboratorium (Glukosa darah,hormon tiroid:
T4,T3, dan TSH, hormon paratiroid,aldosteron,prolaktin,
grouwth hormon Progesteron
(3) Monitor tanda-tanda vital
(4) Monitor EKG
(5) Monitor AGD
(6) Monitoring kadar glukosa darah intra anestesi pada kasus
riwayat DM
(7) Kolaborasi pemberian terapi hormonal

d. Pascaanstesi
1) Risiko Jatuh
a) Tujuan: Setelah dilakukan ASKAN selama fase praanestesi,
intraanestesi, pascaanestesi, ruang gawat darurat, perawatan kritis,
lokasi bencana, risiko jatuh tidak terjadi.
b) Kriteria Hasil:
(1) Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 / 70 – 80
mmhg Nadi: 60 – 100 x/menit Suhu : 36-37°C RR : 16 – 20
x/menit
(2) Bromage score < 2
c) Rencana Intervensi
(1) Identifikasi faktor risiko jatuh (bayi, anak, usia > 60 tahun,
penurunan kesadaran, efek agen anestesi, dil)
(2) Identifikasi riwayat jatuh
(3) Identifikasi karakteristik lingkungan yang dapat meningkatkan
risiko jatuh
(4) Identifikasi risiko jatuh dengan menggunakan skala: Fall Morse
Scale, Humpty Dumpty Scale, Falls Risk Assessment Tool
(FRAT)
(5) Identifikasi adanya nyeri atau Keluhan fisik lain yang berisiko
menyebabkan jatuh
(6) Identifikasi riwayat dan indikasi penggunaan sedasi
(7) Monitor tingkat kesadaran
(8) Monitor tanda-tanda vital
(9) Identifikasi kebutuhan untuk dilakukan pengekangan (restrain)
(10) Identifikasi kemampuan berpindah atau melakukan pergerakan
(11) Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
(12) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum dan
setelah melakukan perpindahan atau mobilisasi
(13) Monitor respons terhadap tindakan dan prosedur
(14) Pasang pengaman tempat tidur
(15) Bantu melakukan ambulasi dan pergerakan
(16) Libatkan keluarga membantu ambulasi atau pergerakan pasien
(17) Berikan kenyamanan psikologis
(18) Fasilitasi kebutuhan nutrisi, eliminasi, hidrasi dan kebersihan
diri
(19) Dokumentasikan hail pemantauan risiko jatuh
(20) Anjurkan pendampingan pasien bayi, anak, sedasi, lansia,
apabila ada penurunan kesadaran selama perawatan/masa
observasi
(21) Kolaborasi pemberian obat agitasi.
4. Implementasi
Penata anestesi melaksanakan rencana intervensi asuhan kepenataan anestesi
secara komprehensif, efektif, efisien, dan aman berdasarkan evidence based
kepada pasien dalam bentuk upaya preverentif, promotive, dan rehabilitative,
dilaksanakan secara mandiri, sedangkan kolaborasi dengan rujukan pelimpahan
tugas (IPAI, 2020).

5. Evaluasi
Penata Anestesi melakukan evaluasi secara sistematis dan berkesinambungan
untuk melihat keefektifan dari asuhan kepenataan anestesi yang sudah diberikan
sesuai dengan perubahan perkembangan kondisi pasien (IPAI, 2020).
Evaluasi keperawatan adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang
teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan dengan
menggunakan pendekatan SOAP (Asmadi, 2019).
a. S (Subyektif) : data berdasarkan keluhan yang disampaikan pasien setelah
dilakukan tindakan.
b. O (Obyektif) : data berdasarkan hasil pengukuran (observasi langsung
kepeda pasien dan yang dirasakan pasien setelah melakukan tindakan).
c. A (Analisis) : masalah keperawatan yang terjadi jika terjadi perubahan status
klien dalam sata subyektif dan obyektif.
d. P (Planning) : perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan atau
dihentikan.
Daftar Pustaka

Brunner & Suddart. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12 volume 1.
Jakarta : EGC

Dinarti, & Mulyanti,Y. (2017). Dokumentasi keperawatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan


RI

Dr. Anna Surgean Veterini dr., S. A. K. I. C., & Samedi, B. P. (2021). Buku Ajar Teknik
Anestesi Umum. Airlangga University Press. https://books.google.co.id/books?
id=vmIwEAAAQBAJ

G. R. McAnulty, H. J. Robertshaw, G. M. Hall, Anaesthetic management of patients with


diabetes mellitus, BJA: British Journal of Anaesthesia, Volume 85, Issue 1, 1 July
2000, Pages 80–90, https://doi.org/10.1093/bja/85.1.80

Handayani, T. (2018). Pelatihan Senam Kaki Bagi Dokter Di Kabupaten Cianjur Dalam
Pencegahan Komplikasi Diabetic Foot. Abdimas Dewantara, 1(1), 55-64.

Inayati, I., & Qoriani, H. F. (2016). Sistem Pakar Deteksi Penyakit Diabetes Melitus (DM)
Dini Berbasis Android. Jurnal Ilmiah: Lintas Sistem Informasi dan Komputer (LINK),
25(1).

IPAI. (2018). Modul 3 Asuhan Kepenataan Pra, Intra, Pasca Anestesi. Jakarta

IPAI. (2023). Asuhan Keperawatan Anestesiologi. Edisi 1. UHB Press:Jakarta Pusat

Irianto, K. 2015. Memahami Berbagai Penyakit. Bandung: Alfabeta.

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. HK.02.02/Menkes/251/2015 tentang pedoman nasional


pelayanan kedokteran anestesiologi dan terapi intensif

Lestari, L., & Zulkarnain, Z. (2021). Diabetes Melitus: Review etiologi, patofisiologi, gejala,
penyebab, cara pemeriksaan, cara pengobatan dan cara pencegahan. Prosiding
Seminar Nasional Biologi,

Levy, N. and Lirk, P. (2021). Regional anaesthesia in patients with diabetes. Anaesthesia,
76(S1), 127-135. https://doi.org/10.1111/anae.15258
Natalia Nadia Azalia Dyah, W., Muhammad Anis, T., & Felicia Risca, R. (2023). Pengaruh
Foot Care Education Melalui Media Audiovisual Terhadap Tingkat
Pengetahuan Pasien Diabetes Mellitus. DIAGNOSA: Jurnal Ilmu Kesehatan
dan Keperawatan, 1(4), 69-82. https://doi.org/10.59581/diagnosa-
widyakarya.v1i4.1296

Anda mungkin juga menyukai