Anda di halaman 1dari 15

BEBERAPA TEKNIK PENGENDALIAN HAMA WERENG COKLAT

(Nilaparvata lugens) PADA TANAMAN PADI (Oryza sativa L.)

OLEH:

YHONATAN VICI SIANTURI


220301276
AGROTEKNOLOGI – 5

LABORATORIUM PENGENDALIAN HAMA TERPADU


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2023
DAFTAR ISI

ISI…………………………………………………………………………….
Hama Wereng Coklat (Nilaparvata lugens) .............................................
Taksonomi Wereng Coklat (Nilaparvata lugens) .....................................
Gejala Serangan Wereng Coklat (Nilaparvata lugens).............................
7 Teknik Pengendalian Hama Wereng Coklat (Nilaparvata lugens)........

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................


ISI

Nilaparvata lugens merupakan salah satu hama yang merugikan dan

berbahaya karena hama tersebut menghisap cairan tumbuhan dan sekaligus

menyebarkan beberapa virus yang menyebabkan penyakit seperti kerdil rumput dan

kerdil hampa. Klasifikasi wereng coklat adalah sebagai berikut : Kingdom :

Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Homoptera Famili :

Dephacida Genus : Nilaparvata Spesies : Nilaparvata lugens (Nurbaeti,2015).

Seluruh tubuh wereng batang cokelat berwarna cokelat kekuningan sampai

cokelat tua, berbintik cokelat gelap pada pertemuan sayap depan nya, panjang

badan jantan rata-rata 2-3 mm dan betina 3-4 mm. Wereng cokelat berkembang

biak secara seksual, siklus hidupnya relatif pendek. Inang utama hama wereng

cokelat adalah tanaman padi. Telur wereng coklat berwarna putih, berbentuk oval

yang bagian ujungnya berbentuk tumpul dan mempunyai perekat pada pangkal

telurnya sehingga menghubungkan satu telur dengan yang lainnya. Biasanya telur

diletakkan berkelompok di dalam pelepah daun tanaman padi, namun telur wereng

coklat kadang-kadang dapat ditemukan pada helai daun (Baehaki,2015).

Wereng cokelat yang baru menetas sebelum menjadi dewasa melewati 5

tahap pertumbuhan nimfa (instar) yang dibedakan berdasarkan ukuran tubuh dan

bentuk sayapnya. Serangga yang masih muda disebut nimfa. Nimfa dewasa dapat

berkembang menjadi dua bentuk, yaitu makroptera (bersayap panjang) yang

mempunyai sayap depan dan belakang normal baik jantan ataupun betina. Bentuk

kedua yaitu brakhiptera (bersayap kerdil) yang mempunyai sayap belakang sangat

rudimenter baik jantan maupun betina. Umumnya wereng brakhiptera 4 bertubuh

lebih besar, mempunyai tungkai dan peletak telur lebih panjang (Harahap,2019).
Wereng batang cokelat memiliki siklus hidup yang di mulai dari telur

menetas berkisar antara 7-10 hari dan biasanya penetasan terjadi pada saat pagi hari.

Setelah menetas maka telur akan menjadi nimfa, priode ini berkisar antara 12-15

hari. Nimfa wereng coklat terdiri dari 5 instar sebelum akhirnya menjadi dewasa.

Nimfa 1 mempunyai lama hidup 1-4 hari, nimfa 2 selama 1-4 hari, nimfa 3 selama

1-2 hari, nimfa 4 selama 2-3 hari, dan nimfa 5 selama 2-4 hari. Setelah nimfa 5

maka wereng batang cokelat akan menjadi dewasa yang lama hidup wereng coklat

dewasa antara 18-28 hari. Gambar siklus hama wereng batang coklat dapat dilihat

pada gambar 1. Di daerah tropis, satu generasi wereng batang cokelat berlangsung

sekitar satu bulan (Karindah,2014).

Gejala Serangan Wereng Cokelat (Nilaparvata lugens)

Wereng batang cokelat menghisap cairan tanaman dengan menusukkan

stiletnya kedalam ikatan pembuluh vaskuler tanaman inang dan mengisap cairan

tanaman dari jaringan floem. Wereng batang cokelat betina lebih banyak mengisap

cairan daripada yang jantan. Serangan wereng batang cokelat dapat menyebabkkan

kerusakan seperti terbakar (hopperburn) dan kematian tanaman 5 padi akibat dari

hilangnya cairan tanaman yang dihisap dari jaringan xylem maupun phloem. Pada

awalnya, gejala hopperburn muncul pada bagian ujung daun yang terlihat

menguning kemudian berkembang meluas ke seluruh bagian dari tanaman (daun

dan batang)(Sogawa,2016).

Serangan wereng coklat dapat menimbulkan kehilangan hasil dan

berpotensi menyebabkan puso pada tanaman padi sawah akibat dari serangan yang

dilakukan oleh wereng coklat. Pada tahun 2011, kejadian puso secara nasional di

Indonesia pada padi sawah akibat dari serangan wereng coklat mencapai 34.932
hektar. Populasi 10-15 ekor per rumpun cukup membuat puso dalam waktu 10 hari.

Populasi hama wereng coklat yang dapat merusak tanaman padi kurang dari 40 hari

setelah tanam yaitu 2 - 5 wereng coklat per rumpun tanaman. Sedangkan pada

tanaman padi berumur lebih dari 40 hari setelah tanam yaitu 10 – 15 ekor per

rumpun (Baehaki dan Mejaya,2017).

Wereng batang cokelat juga dapat menularkan dua macam penyakit virus

padi, virus kedil rumput (VKR) dan virus kerdi hampa (VKH). VKR adalah anggota

kelompok Oryzavirus dan VKH anggota kelompok Tenuivirus, dua virus tersebut

dapat memberikan gejala bersama-sama dalam satu tanaman padi atau pada

masing-masing tanaman terpisah. Penyakit kerdil rumput biasanya terjadi secara

epidemik setelah ekspolitasi wereng batang cokelat. Tanaman padi yang terserang

kerdil rumput pertumbuhan nya menjadi sangat terhambat, sehingga menjadi kerdil

dan memiliki banyak anakan. Daun nya menjadi lebih sempit, pendek,berwarna

kuning pucat dan berbintik coklat tua, sedangkan serangan virus kerdil hampa

menyebabkan tanaman menjadi agak kerdil, terpilin, pendek, kaku, sobek-sobek,

anakan bercabang dan malainya tidak muncul serta hampa (Baehaki,2017).

Pada saat stadia vegetatif, serangan virus kerdil hampa mengakibatkan daun

padi menjadi rombeng, tercabik, koyak dn bergerigi, terkadang berwarna putih,

tumbuh kerdil dengan reduksi tinggi tanaman antara 24-67%, keluar malai

diperlambat sampai 10 hari. Keluar malai tidak normal (tidak keluar penuh), dan

terjadi distorsi pada daun . Saat menuju pematangan, buah tidak mengis dan

menjadi hampa (Baehaki,2017).


7 Teknik Pengendalian Hama Wereng Cokelat (Nilaparvata lugens)

1. Tanam Padi Serempak

Tanam serempak merupakan kegiatan budi daya padi yang dimulai dari

pengolahan tanah, semai atau tanam bersama-sama dalam hamparan luas dan dalam

kurun waktu tertentu. Tanam padi secara serempak minimal pada areal sawah

dengan golongan air yang sama. Di Pantura Jawa Barat, terdapat 4-5 golongan air

dengan interval waktu pengairan antar golongan air 2 minggu. Namun saat ini,

pengaturan golongan air tidak berjalan dengan baik, karena petani saling

mendahului dalam pengolahan lahan akibat pembagian air yang tidak teratur Bila

pengairan tersedia sepanjang tahun perlu dipertegas pengaturan jadwal tanam agar

dapat tanam serempak. Pada pertanaman yang tidak serempak, tanaman yang

terserang hama menjadi sumber bagi pertanaman lain, karena adanya berbagai

stadia tumbuh tanaman dalam satu hamparan. Dalam kondisi ini, serangga hama

cepat berkembang dan populasi menjadi semakin tinggi sehingga sulit

dikendalikan. Akhirnya terjadi akumulasi dan perkembangan pesat hama yang

ditandai dengan ledakan populasi wereng cokelat yang menyebabkan tanaman

puso.

Hasil penelitian Magunmder et al. (2013) menunjukkan pertanaman yang

ditanam lebih awal mempunyai populasi serangga hama dan musuh alami yang

lebih rendah dibanding yang ditanam belakangan. Pada pertanaman serempak,

serangga hama imigran yang datang akan tersebar merata pada suatu hamparan,

sehingga populasi hama tiap rumpun menjadi lebih rendah dan dapat dikendalikan

oleh musuh alami, baik predator maupun parasitoid. Bila pertanaman pada

golongan air pertama mampu dikendalikan maka hama tidak akan migrasi atau
menyebar ke pertanaman pada golongan air selanjutnya. Wereng cokelat dapat

bermigrasi jauh yang tidak terbatas secara administratif, sehingga diperlukan

koordinasi antar wilayah untuk pelaksanaan tanam serempak.

Tanam serempak terbukti dapat meredam serangan wereng cokelat yang

terjadi di sepanjang Pantura Jawa pada MH 2010/2011. Salah satu contoh

penerapan PHT biointensif dengan tanam varietas tahan secara serempak pada

waktu yang tepat dilaksanakan di Desa Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah

pada MK 2011. Pertanaman padi seluas 804 ha memberikan hasil yang mamadai

dengan tanam serempak, setelah 2 tahun sebelumnya tidak panen akibat serangan

wereng cokelat (Baehaki 2014).

2. Menggunakan Varietas Tahan Hama

Varietas tahan merupakan salah satu komponen teknologi yang murah dan

ramah lingkungan yang berperan penting dalam pengendalian wereng cokelat.

Pengalaman membuktikan bahwa varietas tahan selalu menjadi pilihan utama

dalam meredam ledakan wereng cokelat. Namun, ketahanan varietas tidak

berlangsung lama karena wereng cokelat cepat beradaptasi membentuk biotipe

baru. Yeastlike endosymbiont (YLS) yang bersimbiosis dalam pencernaan wereng

cokelat berperan dalam proses produksi asam amino penting. Hasil penelitian Cruz

et al. (2016) di laboratorium menunjukkan wereng cokelat mampu beradaptasi pada

varietas tahan IR62 setelah generasi ke-13. Perakitan varietas tahan dengan

menggabungkan dua atau lebih gen ketahanan (pyramiding genes) diharapkan dapat

menekan serangan wereng cokelat di lapangan, sehingga tekanan oleh wereng

cokelat tidak terlalu kuat.


Hasil pengujian Lu et al.(2015) di laboratorium menunjukkan bahwa varietas

tahan IR74 dan Ciherang mampu menurunkan nimfa wereng cokelat generasi

pertama berturut-turut 52,0% dan 19,1% dibanding populasi nimfa wereng cokelat

pada varietas rentan (Muncul). Faktor lain yang berpengaruh terhadap

perkembangan wereng cokelat adalah kandungan nitrogen. Penggunaan pupuk

nitrogen yang berlebihan berpengaruh terhadap kebugaran wereng cokelat dalam

beradaptasi pada varietas tahan dan selanjutnya menurunkan ketahanan varietas.

3. Perangkap Lampu Dan Waktu Tanam Tepat

Pemantauan populasi serangga hama menggunakan lampu perangkap bertujuan

untuk mengetahui waktu tanam yang tepat, yaitu pada saat populasi hama rendah.

Lampu perangkap berfungsi memerangkap serangga, dengan memanfaatkan sinar

(lampu) untuk menarik serangga datang, kemudian masuk ke dalam perangkap.

Wereng (makroptera) termasuk serangga yang tertarik pada cahaya, sehingga

wereng imigran yang pertama kali datang ke pertanaman dapat diketahui dari hasil

tangkapan lampu perangkap. Banyaknya hama yang tertangkap ditentukan oleh

besarnya cahaya yang dipasang, makin tinggi cahaya makin banyak hasil

tangkapannya. Hasil tangkapan hama pada solar cell (tenaga surya) dengan cahaya

setara 20 watt lebih rendah dibanding hasil tangkapan lampu perangkap elektrik

100- 160 watt. Jumlah tangkapan juga ditentukan oleh tempat/ lokasi pemasangan.

Lampu perangkap yang berdekatan dengan sumber serangan menghasilkan

tangkapan yang lebih banyak dibanding lampu perangkap yang jauh dari sumber

serangan. Hama yang tertangkap lampu perangkap dapat dijadikan indikator

datangnya hama di persemaian atau di pertanaman (BB Padi 2014).


Pada saat bera, lampu perangkap tetap digunakan untuk mengetahui

perkembangan dan puncak datangnya wereng imigran, sehingga dapat diketahui

waktu semai yang baik. Bila wereng imigran tidak tumpang tindih maka persemaian

dilakukan 15 hari setelah puncak tangkapan. Bila datangnya wereng imigran

tumpang tindih maka akan terjadi dua puncak tangkapan, persemaian dibuat 15 hari

setelah puncak tangkapan ke dua. Persemaian dibuat setelah populasi hama rendah,

saat yang tepat bisa diketahui dari hasil tangkapan lampu perangkap. Semai atau

tanam pada saat populasi hama rendah, perkembangan hama dapat dikontrol oleh

musuh alami. Sebaliknya, jika semai/tanam pada saat populasi tinggi menyulitkan

pengendalian selanjutnya. Selain melihat hasil tangkapan lampu perangkap,

monitoring lapangan dapat dilakukan untuk memastikan kondisi dan populasi

wereng cokelat pada pertanaman yang masih ada di sekitar hamparan. Bila kondisi

aman, maka dapat dimulai persemaian, bila populasi tinggi harus dilakukan

pengendalian terlebih dahulu agar tidak menyebar ke pertanaman baru.

Pada saat sudah ada pertanaman (stadia vegetatif dan generatif), bila wereng

makroptera tertangkap di lampu perangkap kurang dari 50 ekor/malam, perlu

pengamatan populasi di pertanaman dan segera dilakukan pengendalian jika

populasi di atas ambang ekonomi. Bila lebih dari 50 ekor/malam, air irigasi pada

pertanaman padi segera dikeringkan dan lakukan penyemprotan insektisida.

4. Musuh Alami

Musuh alami bertujuan untuk menekan hama dengan cara menempatkan

predator dari sebuah hama. Musuh alami bisa berada langsung di areal pertanaman

tanpa maupun kita yang memasukkan nya. Musuh alami dari hama wereng batang

cokelat yaitu, laba-laba, tomcat, kumbang koksi/kukuyaan, capung jarum. Tindak


pengendalian hama wereng batang cokelat ditentukan oleh keberadaan musuh alami

dan taksiran harga gabah saat panen

Penggunaan musuh alami merupakan salah satu bagian dalam konsep

pengendalian hama terpadu (PHT). Pengendalian hama menggunakan musuh alami

disebut juga sebagai pengendalian hayati . Terdapat berbagai jenis predator dan

parasitoid yang dapat menjadi musuh alami WBC. Beberapa jenis parasitoid yang

umum terdapat di lahan sawah diantaranya adalah Anagrus sp. (Hymenoptera;

Mymaridae), Oligosita sp. (Hymenoptera; Trichogrammatidae), dan Gonatocerus

sp. (Hymenoptera; Mymaridae). Selain parasitoid terdapat beberapa serangga

predator yang umum ditemukan diantaranya adalah Lycosa pseudoannulata

(Araneida; Lycosidae), Paederus sp. (Coleoptera; Coccinelidae), Ophionea sp.

(Coleoptera; Carabidae), dan Coccinela sp. (Coleoptera; Coccinelidae).

Keberadaan beberapa jenis serangga tersebut diatas penting untuk menekan

populasi hama ( Santosa, 2016).

5. Rekayasa Ekologi Dengan Bunga Untuk Pengkayaan Parasitoid

Peningkatan biodiversitas lokal sebagai pemulihan biodiversitas (restored

biodiversity) dan pelayanan ekosistem dengan mengembangkan tanaman bunga di

sekitar tanaman padi telah dilakukan di Indonesia dengan memperkenalkan sistem

integrasi palawija pada tanaman padi (SIPALAPA) pada tahun 2002, yaitu

menanam kedelai, jagung, dan sayuran seperti sawi dan kacang panjang di

pematang . Hal demikian juga dilakukan di Vietnam, dengan tanaman bunga (Huan

and Chien, 2015). Tanaman bunga yang ditanam adalah yang mengandung nektar

sebagai makanan parasitoid seperti Wedelia chinensis, Helianthus sp, Lantana


camara, Crotalaria, okra atau wijen Sesamum indicum yang ditanam di pematang

sawah.

6. Zat Penghambat Wereng Cokelat Menghisap Cairan Tanaman Padi

Asam oksalat, maleat, dan trans-akotinik sebesar 0,1% dapat menghambat

wereng cokelat mengisap cairan tanaman, sedangkan asam sitrat, malat, dan

suksinat tidak dapat menghambat hisapan cairan tanaman oleh wereng cokelat. Data

proteomik (protein genom) menunjukkan bahwa mekanisme makan wereng cokelat

disertai dengan bermacam tekanan seperti melukai, stres oksidatif, patogenesis dan

sifat herbivora serangga. Saat seranggga makan, pengembangan pertahanan dasar

yang kuat terjadi pada galur rentan dibandingkan dengan galur tahan. Ekspresi

protein jasmonic acid (JA) sintesis, protein stres oksidatif, Gns1 (glucanase 1),

protein kinase dan clathrin dengan rantai protein yang berat meningkat pada kedua

galur rentan maupun tahan, tetapi tingkat ekspresi yang lebih tinggi terlihat pada

galur rentan setelah diberi perlakuan wereng cokelat (Wei et al. 2017).

Ekspresi Gns5 tetap tidak berubah dan glycine cleavage H-protein diatur

meningkat hanya pada galur tahan. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh

perbedaan tingkat kerusakan yang ditimbulkan pada galur rentan dan tahan, serta

perbedaan dalam genotipe antara keduanya. Galur tahan membawa gen resistensi

Bph15 mungkin menggunakan mekanisme pertahanan yang berbeda, yang

melibatkan Gns5 dan sistem glycine cleavage Hprotein (Wei et al. 2017). Uraian di

atas memberikan petunjuk bagaimana seharusnya pemulia tanaman menyikapi

perakitan varietas yang tahan wereng cokelat, sehingga dalam perakitan varietas

harus didasari kesesuaian gen ketahanannya.


7. Penggunaan Pestisida

Penggunaan pestida ada dua jenis yaitu pestisida kimia dan pestisida nabati,

namun yang biasanya digunakan oleh petani adalah menggunakan pestisida yang

berbahan kimia namun penggunaan ini harus di kurangi karena dapat merusak

lingkungan. Tindakan pengendalian kimia yang berlebihan dan terus menerus akan

menimbulkan dampak negatif yang merugikan antara lain terjadinya pencemaran

lingkungan, terbunuhnya musuh musuh alami, terjadinya resistensi dan

resurgensi hama serta timbulnya residu terhadap komoditi hasi pertanian

tersebut dan berbahaya manusia (Kardinan, 2017).

Pestisida nabati adalah petisida yang bahan aktifnya berasal dari tanaman atau

tumbuhan dan bahan organik lain nya yang bisa mengendalikan serangan hama.

Pestisida ini selain murah dalam biayanya juga tidak meninggalkan residu yang

berbahaya bagi tanaman, lingkungan maupun manusia yang nanti mengkonsumsi

hasil dari tanaman tersebut. Secara umum, mekanisme kerja pestisida nabati dalam

melindungi dari serangan OPT yaitu secara langsung menghambat reproduksi

serangga khusunya serangga betina, mengurangi nafsu makan, merusak

perkembangan telur, larva dan pupa sehingga perkembang biakannya terganggu.

Keunggulan pestisida nabati yaitu :

1) Teknologi pembuatannya mudah dan murah sehingga dapat dibuat dalam skala

rumah tangga.

2) Tidak menimbulkan efek negatif bagi lingkungan maupun makhluk hidup

sehingga relatif aman untuk digunakan.

3) Tidak beresiko menimbulkan keracunan pada tanaman sehingga tanaman lebih

sehat dan aman dari cemaran zat kimia berbahaya


4) Tidak menimbulkan resisteni (kekebalan) pada hama sehingga aman bagi

keseimbangan ekosistem

5) Hasil pertanian lebih sehat dan bebas dari residu pestisida kimiawi.

Selain ada kelebihan penggunaan pestisida nabati pun ada kelemahannya,

kelemahan pestisida nabati adalah :

1) Daya kerja lambat, tidak dapat dilihat dalam jangka waktu dekat.

2) Pada umumnya tidak mematikan langsung hama sasaran, tetapi hanya bersifat

mengusir dan menyebabkan hama menjadi tidak berminat mendekati tanaman

budidaya.

3) Mudah rusak dan tidak tahan terhadap sinar matahari.

4) Daya simpan relatif pendek sehingga harus segera digunakan setelah diproduksi

dan ini menjadi hambatan dalam memproduksi pestisida nabati secara

konvensional.

5) Perlu penyemprotan yang berulang-ulang sehingga dari sisi ekonomi tidak

efektif dan efisien.


DAFTAR PUSTKA

Baehaki, S.E. 2014. Budi daya tanam padi berjamaah suatu upaya meredam ledakan
hama dan penyakit dalam rangka swasembada beras berkelanjutan.Edisi 2.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang. 209p.

Baehaki, S.E., Imam, M. 2015. Status Hama Wereng Pada Tanaman Padi Dan
Pengendaliannya. Padi Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

BB Padi. 2014. Uji kelayakan lampu perangkap hama sollar cell dan elektrik.
Laporan Hasil Penelitian 2013. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan
Litbang, Kementerian Pertanian.

Cruz, A.P., A. Arrida, K.L. Heong, and F.G. Horgan. 2016. Aspect of brown
planthopper adaptation to resistant rice variety with the Bph3 gene.
Entomologia Experimentalis et Applicata 141(3):245-257.

Harahap, I.S dan Budi, T. 1999. Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi.
Penebar Swadaya. Jakarta.

Huan. N. H and H. V. Chien. 2010. Ecological Engineering Gets National Attention


in Vietnam. http:// ricehopper.net/2015.

Kardinan, A. 2017. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya.


Jakarta.

Karindah. 2014. Predation of Five Generalist Predators on Brown Planthopper


Nilaparvata lugens (Stal). Jurnal Entomologi Indonesia. 8(2): 55-62.

Lu, Z.X., Kong-Luen Heong, Xiao-Ping Yu, and Cui Hu. 2014. Effects of nitrogen
on the tolerance of brown planthopper, Nilaparvata lugens, to adverse
environmental factors. Insect Science 12(2):121-128.

Magunmder, S.K.G., M.P. Ali, T.R. Choudhury, and S.A. Rahin. 2013. Effect of
variety and transplanting date on the insidance of insect pests and their
natural enemies. World Journal of Agricultural Science 1(5):158-167.

Nurbaeti B, Diratmaja I.A., Putra S. 2015. Hama Wereng Coklat (Nilaparvata


lugens stal) dan Pengendalianya. Balai Pengkaji Teknologi Pertanian Jawa
Barat. Jawa Barat.
Rahayu dan Sri Puji. 2011. Pola Curah Hujan Menentukan Pola Tanam Padi.
http://cybex.pertanian.go.id. Diakses tanggal 20 Agustus 2017.

Santosa, Entun. 2016. Optimalisasi Pemanfaatan Parasitoid dan Predator Dalam


Pengendalian Hama Utama padi. Faperta UNPAD. UNPAD PRESS.
Bandung.
Wei Z, W. Hu1, Q. Lin, X. Cheng, M. Tong, L. Zhu, R. Chen and G. He. 2009)
Understanding rice plant resistance to the Brown Planthopper (Nilaparvata
lugens): A proteomic approach. Proteomics. 9, 2798- 2808.

Anda mungkin juga menyukai