Anda di halaman 1dari 30

DAMPAK PEMBINAAN PADA MASA KANAK-KANAK DAN REMAJA TERHADAP

PARTISIPASI ORANG MUDA KATOLIK DALAM HIDUP MENGGEREJA DI


PAROKI SANTO DOMINIKUS DE GUZMAN KARUNI

Proposal

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Menyelesaikan

Program Sarjana (S1) Pendidikan Keagamaan Katolik

Oleh:

Kornelia Yudit Geli

NIM. 83822005003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS KATOLIK WEETEBULA

2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa kanak-kanak (Chillhood) merupakan periode yang dimulai pada usia dua (2)
tahun sampai usia pubertas (Yusuf, 2005). Masa kanak-kanak disebut juga Problem Age,
karena orang tua dihadapkan pada masalah-masalah seperti tidak menurut, keras kepala
(Hurlock, ). Awal masa kanak-kanak yang berlangsung dari dua (2) sampai enam (6)
tahun disebut sebagai usia yang problematic , menyulitkan atau masa bermain, oleh para
pendidik dinamakan sebagai usia prasekolah dan oleh ahli psikologi disebut dengan usia
pra kelompok, penjajah atau usia bertanya. Masa kanak-kanak merupakan masa di mana
anak mulai mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat dalam berbagai aspek
bagi kehidupan selanjutnya dan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan yang
baik pada masa kanak-kanak maka diperlukan pembinaan yang memadai.

Pembinaan pada masa kanak-kanak menentukan kehidupan selanjutnya yang akan


dialami oleh anak baik itu pada masa remaja maupun ketika dewasa. Remaja adalah
seseorang yang tumbuh menjadi dewasa dan mencakup kematangan mental, emosional
sosial dan fisik. Setiap remaja mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan mereka
mengalami proses perkembangan sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Putro,
2017). Salah-satu kegiatan pembinaan yang sesuai untuk anak dan remaja Katolik adalah
dengan terlibat dalam kelompok kategorial yang diselenggarakan oleh gereja. Dalam
Gereja Katolik ada berbagai kelompok kategorial di antaranya adalah kelompok ATM
(Anak Temu Minggu), kelompok Sekami (Serikat Kepausan Anak dan Remaja Misioner)
dan kelompok OMK (Orang Muda Katolik).

Pembinaan atau pendampingan iman dalam kelompok kategorial penting


diterapkan bagi Temu Minggu dan Sekami agar bisa membantu perkembangan iman
mereka. Anak dan remaja diundang untuk mengikuti kegiatan Temu Minggu dan Sekami
karena dalam kegiatan tersebut, anak-anak dan remaja akan mengikuti kegiatan-kegiatan
yang membangun iman akan Yesus Kristus, misalnya kegiatan rekoleksi, katekese dan
terlibat dalam perayaan Ekaristi sebagai misdinar. Selain itu, tujuan dibentuknya kegiatan
Temu Minggu dan Sekami adalah untuk meningkatkan dan membangkitkan semangat
misioner dalam jiwa anak-anak dan remaja Katolik diseluruh dunia. Pembinaan anak
Temu Minggu dan Sekami memiliki peran yang signifikan dalam membangun fondasi
iman dan keterlibatan gerejawi pada anak-anak dan remaja Katolik. Dalam konteks ini,
partisipasi mereka dalam kehidupan gereja di masa depan sangat dipengaruhi oleh
kualitas pengajaran, pembinaan dan pengalaman rohani yang mereka terima selama
proses pembinaan ini. Pembinaan dengan kualitas pengajaran yang baik ketika anak dan
remaja terlibat dalam kelompok Temu dan Sekami sangat menentukan keberlanjutan
mereka dalam kelompok OMK.

Berdasarkan observasi dan wawancara peneliti di Paroki St. Dominikus de


Guzman Karuni, terdapat juga kelompok kategorial di paroki ini seperti kelompok ATM,
Sekami dan OMK. Ketiga kelompok kategorial ini pembinaanya berjalan dengan baik
dan banyak anak, remaja serta orang muda yang terlibat. Kenyataan yang ditemukan di
paroki ini terdapat OMK yang sepenuhnya tidak memberi diri dalam kehidupan
menggereja sehingga terdapat OMK yang aktif, setengah aktif dan bahkan tidak aktif,
selain itu dikarenakan alasan pada umumnya seperti sibuk kerja, malas dan kegiatan
OMK yang tidak menarik bagi mereka sedangkan OMK yang aktif merupakan hasil dari
pembiasaan yang ditanamkan oleh orang tua (keluarga), para guru atau pendidik
(sekolah) dan teman-teman sebaya (lingkungan) sehingga OMK yang sudah terbiasa aktif
dalam kehidupan menggereja ini sebetulnya dapat di selidiki terlebih dahulu pembinaan
iman mereka sebelum orang-orang ini bergabung dalam komunitas OMK, yaitu ketika
masih anak-anak. OMK yang terbiasa sejak kecil mengikuti kegiatan Temu Minggu dan
Sekami ternyata ketika sudah dewasa pun terlibat aktif dalam OMK karena tidak asing
lagi dengan dinamika kegiatan-kegiatan Gereja. Sebagian besar orang muda yang terlibat
dalam komunitas OMK di Paroki St. Dominikus de Guzman Karuni adalah orang muda
yang sewaktu kecil sudah mendapat pembinaan dalam kegiatan ATM dan Sekami
sehingga terus berkomitmen untuk terlibat dalam hidup menggereja sehingga dapat
dikatakan bahwa keterlibatan orang muda Katolik ini adalah sebagai kelanjutan dari
pembinaan di ATM dan Sekami.
Bertolak dari latar belakang di atas, penulis hendak meneliti lebih jauh tentang
dampak jangka panjang dari pembinaan anak Temu Minggu dan Sekami, yaitu anak dan
remaja yang terus bertumbuh dan berkembang dalam iman yang terwujud nyata ketika
kelak telah menjadi Orang Muda Katolik (OMK) yang tetap aktif dalam seluruh dinamika
kehidupan menggereja. Penelitian ini penting dilakukan guna untuk mengetahui dampak
pembinaan pada masa kanak- kanak dan remaja terhadap partisipasi orang muda Katolik
dalam hidup menggereja di Paroki Santo Dominikus de Guzman Karuni.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini ialah bagaimana dampak pembinaan pada masa kanak-kanak dan remaja
terhadap partisipasi orang muda Katolik dalam hidup menggereja di Paroki Santo
Dominikus de Guzman Karuni

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui dampak pembinaan pada masa kanak-kanak dan remaja terhadap partisipasi
orang muda Katolik dalam hidup menggereja di Paroki Santo Dominikus de Guzman
Karuni

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan, menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan sebagai kajian atau referensi
mengenai dampak pembinaan pada masa kanak-kanak dan remaja terhadap
partisipasi orang muda Katolik dalam hidup menggereja di Paroki Santo
Dominikus de Guzman Karuni
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Orang Tua
Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman bagi orang tua agar
selalu mendukung anak dalam mengikuti kegiatan yang diselenggarakan
gereja.
b. Bagi Anak, Remaja dan Orang Muda
Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman dan wejangan bagi
anak, remaja dan orang muda agar dapat berpartisipasi dengan baik dalam
hidup menggereja.
c. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan pengetahuan dan
keterampilan peneliti mengenai dampak pembinaan pada masa kanak-
kanak dan remaja terhadap partisipasi orang muda Katolik dalam hidup
menggereja di Paroki Santo Dominikus de Guzman Karuni
d. Tenaga Pastoral
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu tenaga pastoral untuk
mengetahui bahwa pembinaan atau pendampingan iman untuk kelompok
kategorial sangat penting.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pembinaan pada Masa Kanak-kanak dan Remaja


1. Pembinaan
a. Pengertian Pembinaan
Pembinaan adalah
Tujuan pembinaan adsalah pembentukan moral, yang dilakukan melalui
berbagai proses pembinaan secara bertahap.
b. Jenis-jenis Pembinaan
2. Kanak-kanak dan Remaja
a. Kanak-kanak
1) Pengertian Kanak-kanak
Masa perkembangan anak adalah cara anak-anak melanjutkan
usahanya untuk menguasai tugas-tugas dalam perkembangan yang
dasarnya telah diletakkan pada masa bayi. Menurut ukuran waktu, masa
kanak-kanak adalah masa perkembangan dari usia dua (2) hingga enam (6)
tahun. Perkembangan biologis pada masa ini berjalan pesat, tetapi secara
sosiologis ia masih sangat terikat oleh lingkungan dan keluarganya.
Masa kanak-kanak sering disebut juga dengan masa estetika, masa
indera dan masa menentang orang tua. Disebut estetika karena pada masa
ini merupakan saat terjadinya perasaan keindahan. Disebut juga masa
indera, karena pada masa ini, indera anak-anak berkembang pesat, karena
pesatnya perkembangan tersebut anak-anak senang mengadakan
eksplorasi yang kemudian disebut dengan masa menentang.
Hurlock, menjelaskan bahwa tahap perkembangan masa kanak-
kanak terbagi menjadi dua, yaitu masa kanak-kanak awal (Early
Chillhood) dan masa kanak-kanak akhir (Late Chillhood ) (Sari, 2017)
2) Ciri-ciri Kanak-kanak
a) Masa Kanak-kanak Awal
Pada masa kanak-kanak awal, anak-anak banyak meniru, banyak
bermain sandiwara ataupun khayalan, dari kebiasaannya itu akan
memberikan keterampilan dan pengalaman-pengalaman terhadap si
anak. Ada yang mengatakan bahwa masa kanak-kanak awal dimulai
sebagai masa penutup bayi.
Adapun ciri-ciri pada masa kanak-kanak awal ialah usia yang
mengandung masalah atau usia sulit, usia mainan, usia prasekolah,
usia belajar kelompok, usia menjelajah dan banyak bertanya dan usia
meniru serta kreatif.
b) Masa Kanak-kanak Akhir
Masa kanak-kanak akhir (Late Chillhood), atau masa anak sekolah
ini berlangsung dari umur 6-12 tahun. Selanjutnya Kohnstan,
menamakan masa kanak-kanak akhir atau masa sekolah anak ini
dengan masa intelektual, di mana anak-anak telah siap untuk
mendapatkan pendidikan di sekolah dan perkembangannya berpusat
pada aspek intelek. Adapun Erikson, menekankan masa ini sebagai
masa timbulnya “Sense Of Accomplishment” di mana anak-anak pada
masa ini merasa siap untuk menerima tuntuan yang dapat timbul dari
orang lain dan melaksanakan/menyelesaikan tuntutan itu. Kondisi
inilah kiranya yang menjadikan anak-anak masa ini memasuki masa
keserasian untuk bersekolah (Jannah M, 2015).
Ciri kanak-kanak masa akhir yaitu, label yang digunakan oleh
orang tua usia kanak-kanak akhir adalah usia yang menyulitkan di
mana anak tidak mau menuruti perintah dan di mana anak banyak
dipengaruhi oleh teman sebaya dan anggota keluarga lain. dalam
keluarga yang terdiri dari anak laki-laki dan perempiuan saling
mengejek dan sering terjadi pertengkaran dan sering terjadi serangan
fisik.
Label yang digunakan oleh pendidik, para pendidik melabelkan
usia kanak-kanak adalah usia sekolah. Masa ini, para pendidik
memandang sebagai periode kritis dalam dorongan berprestasi, di
mana anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses
atau sangat sukses. Sekali terbentuk kebiasaan untuk bekerja di bawah,
di atas atau sesuai dengan kemampuan cenderung menetap sampai
dewasa.
Ahli psikologi menganggap usia kanak-kanak akhir adalah usia
berkelompok suatu masa di mana perhatian pertama anakt ertuju pada
keinginan diterima oleh teman-teman sebaya sebagai anggota
kelompok, terutama kelompok yang bergengsi dalam pandangan
teman-temannya. Para psikologis menemukan masa akhir kanak-kanak
adalah masa kreatif, masa dalam rentang kehidupan di mana akan
menentukan apakah anak-anak akan menjadi konformis atau pencipta
karya yang baru dan original.
b. Remaja
1) Pengertian Remaja
Menurut Kemenkes RI (2005), masa remaja merupakan periode
terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik secara fisik,
psikologi maupun intelektual.sifat khas remaja mempunyai rasa keingin
tahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan serta cenderung
berani menanggung resiko atas perbuatannya tanpa didahului oleh
pertimbangan yang matang.
Remaja adalah seseorang yang tumbuh menjadi dewasa dan
mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Setiap remaja
mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan mereka mengalami proses
perkembangan sebagai persiapan memasuki masa dewasa (Putro, 2017).
2) Ciri-ciri Remaja
Ciri-ciri remaja menurut Putro (2017), yaitu
a) Masa remaja sebagai periode peralihan
Pada fase ini, remaja bukan lagi seorang anak dan bukan juga
orang dewasa. Kalau remaja berperilaku seperti anak-anak, ia akan
diajari untuk bertindak sesuai denga umurnya. Kalau remaja berusaha
berperilaku seperti orang dewasa, biasanya dituduh terlalu besar untuk
ukurannya dan dimarahi karena mencoba bertindak seperti orang
dewasa. Di lain pihak, status remaja juga menguntungkan karena status
ini memberi waktu untuk memiliki hidup yang berbeda dan
menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi
dirinya.
b) Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja
sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja,
ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan
sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun, maka
perubahan sikap dan perilaku juga menurun.
c) Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuaian diri terhadap
kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan.
Status remaja juga dapat menimbulkan dilemma yang menyebabkan
remaja mengalami “krisis identitas” atau masalah-masalah identitas
ego pada remaja.
d) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Stereotip dan budaya bahwa remaja suka berbuat semaunya sendir,
tidak dapat dipercaya dan cenderung berperilaku merusak,
menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi
kehidupan remaja dan bertanggung jawab untuk menjauhi sikap tidak
simpatik terhadap perilaku remaja.
e) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Pada masa ini, remaja cenderung memandang dirinya sendiri dan
orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana
adanya, terlebih dalam hal harapan dan cita-cita. Harapan dan cita-cita
yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga
bagi keluarga dan teman-temannya. Remaja akan sakit hati dan
kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak
berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkannya sendiri.
f) Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, remaja menjadi
gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk
memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian
dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh
karena itu, remaja mulai memustakan diri pada perilaku yang
dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum minuman
keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks
bebas yang cukup meresahkan. Mereka menganggap bahwa perilaku
seperti ini akan memberikan citra yang sesuai dengan harapan mereka.
3) Karakteristik Remaja
Menurut Titisari dan Utami (2013), karakteristik perilaku dan pribadi pada
masa remaja meliputi beberapa aspek
a) Perkembangan Sosial
Dalam perkembangan sosial, remaja mulai memisahkan diri dari
orang tua dan memperluas hubungan dengan teman sebaya
b) Perkembangan Kognitif
Ditinjau dari perkembangan kognitif, remaja secara mental telah
berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak.
c) Perkembangan Emosional
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu
perkembangan emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik terutama organ-
organ seksual mempengaruhi perkembangan emosi atau perasaan-
perasaan dan dorongan-dorongan baru yang dialaminya sebelumnya
seperti perasaan cinta, rindu dan keinginan untuk berkenalan lebih
intim dengan lawan jenis.
d) Perkembangan Moral
Remaja berada dalam tahap berperilaku sesuai dengan tuntutan dan
harapan kelompok dan loyalitas terhadap norma atau peraturan yang
berlaku yang diyakininya maka tidak heranlah jika di antara remaja
masih banyak yang melakukan pelecehan terhadap nilai-nilai seperti
tawuran, minum minuman keras dan hubungan seksual di luar nikah.
e) Perkembangan Kepribadian

Fase remaja merukana saat yang paling penting bagi


perkembangan dan integrasi kepribadian.

4) Tahap Perkembangan Remaja


Tahap perkembangan masa remaja dibagi menjadi tiga tahap yaitu
a) Masa remaja awal (12-15 tahun), dengan ciri khas antara lain lebih
dekat dengan teman sebaya, ingin bebas, lebih banyak memperhatikan
keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak.
b) Masa remaja tengah (15-18 tahun), dengan ciri khas antara lain
mencari identitas diri, timbulnya keinginan untuk kencan, mempunyai
rasa cinta yang mendalam dan mengembangkan kemampuan berpikir
abstrak.
c) Masa remaja akhir (18-21), dengan ciri khas antara lain pengungkapan
identitas diri, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai
citra jasmani dirinya.
3. Dampak Pembinaan pada Masa Kanak-kanak dan Remaja
a. Pembentukan Sikap
Sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang
objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tersebut
dengan cara tertentu (Calhoun dan Acocella, 1995).
Menurut Sarwono (2002), sikap adalah kesiapan pada seseorang untuk
bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu. Baron dan Byme (1997)
mendefenisikan sikap sebagai penilaian subyekif seseorang terhadap suatu
objek. Sikap adalah respon evaluatif yang diarahkan seseorang terhadap
orang, benda, peristiwa dan perilaku sebagai objek sikap. Sikap melibatkan
kecenderungan respon yang bersifat preferensial. Sikap sebagai respon
evaluatif menunjukkan ekspresi suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju,
mendekati atau menghindari dan tertarik atau tidak tertarik terhadap objek
sikap.
Sears, dkk (1999) berpendapat bahwa sikap merupakan orientasi yang
bersifat menetap dengan komponen-komponen kognitif, afektif dan perilaku.
Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang
mengenai objek sikap tertentu berupa fakta, pengetahuan dan keyakinan
tentang objek. Sedangkan komponen afektif menurut Stephan dan Stephan
(1985) adalah komponen yang berkaitan dengan perasaan dan emosi
seseorang terhadap objek sikap. Komponen perilaku merupakan
kecenderungan seseorang untuk berperilaku sesuai dengan sikap yang ada
pada dirinya.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan pandangan, perasaan
dan kecenderungan seseorang bertindak terhadap objek sikap.
1) Aspek-aspek Sikap
Menurut Fishben dan Ajzen, terdapat dua aspek pokok dalam
hubungan antara sikap dan perilaku (Relubun, 2013) yaitu
a) Aspek keyakinan terhadap perilaku
Keyakinan terhadap perilaku merupakan keyakinan individu
bahwa menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu
akan menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu.
Aspek ini merupakan aspek pengetahuan individu tentang
objek sikap. Pengetahuan individu tentang objek sikap dapat
pula berupa opini individu tentang hal yang belum tentu sesuai
dengan kenyataan. Semakin positif keyakinan individu akan
akibat dari suatu objek sikap, maka akan semakin positif pula
sikap individu terhadap objek sikap tersebut, demikian pula
sebaliknya.
b) Aspek evaluasi akan akibat perilaku
Evaluasi akan akibat perilaku merupakan penilaian yang
diberikan oleh individu terhadap tiap akibat atau hasil yang
dapat diperoleh apabila menampilkan atau tidak menampilkan
perilaku tertentu. Evaluasi atau penilaian ini dapat bersifat
menguntungkan dapat juga merugikan, berharga atau tidak
berharga, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Semakin
positif evaluasi individu akan akibat dari suatu objek sikap,
maka akan semakin positif pula sikap terhadap objek tersebut,
demikian pula sebaliknya.
2) Teori-teori Sikap
Fishben dan Ajzen menggolongkan teori sikap dalam dua
kelompok, yaitu teori-teori belajar dan teori-teori konsistensi
kognitif (Relubun, 2013). Sedangkan Sears, dkk (1992)
mengelompokkan teori sikap dalam tiga kelompok berdasarkan
pendekatan teorinya yaitu teori belajar, teori insentif dan teori
kognitif.
a) Teori Belajar
Asumsi dasar teori ini adalah sikap ditentukan oleh apa
yang telah dipelajari sebelumya. Sikap dapat dipelajari,
sehingga seseorang memperoleh informasi, fakta maupun nilai-
nilai tertentu. Dalam teori ini terdapat tiga mekanisme yaitu
asosiasi, reinforcement dan imitasi. Pada mekanisme asosiasi,
pembentukan sikap dipengaruhi oleh sesuatu yang lain baik
yang menyenangkan atau tidak. Pada mekanisme
reinforcement, seseorang menunjukkan sikap atau perilaku
tertentu karena dengan bersikap seperti itu dia memperoleh
sesuatu yang menyenangkan. Kemudian pada mekanisme
imitasi, seseorang menunjukkan sikap dan perilaku tertentu
karena meniru orang lain yang menjadi model.
b) Teori insentif
Sikap dianggap sebagai suatu proses menimang keuntungan
dan kerugian atau baik buruknya sebagai kemungkinan posisi
yang akan ditimbulkan yang diperoleh dari berbagai
kemungkinan kondisi dan selanjutnya individu akan
mengambil alternatif yang dipandang paling baik. Seseorang
akan mengambil sikap tertentu dengan pertimbangan
memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuatan relative dari insentif
menentukan bagi sikap.
Salah satu versi dari teori insentif adalah teori respon
kognitif (cognitive respons theory). Menurut teori ini,
seseorang memberi respon terhadap suatu komunikasi dengan
beberapa pemikiran positif atau negatif. Pikiran-pikiran ini
sebaliknya menentukan apakah orang akan mengubah sikapnya
sebagai akibat komunikasi ataukah tidak.
Versi lain dari teori insentif adalah teori nilai-ekspentasi
(expentancy-value approach). Asumsi dari teori ini bahwa
orang berusaha memaksimalkan nilai berbagai hasil/akibat
yang di harapkan dalam mengambil sikap. Oleh karena itu,
berdasarkan asumsi teori ini, orang mengambil posisi yang
akan membawanya pada kemungkinan hasil yang terbaik dan
menghindari posis yang mengakibatkan hasil yang buruk atau
pada hal yang tidak mungkin mengarahkan pada hasil yang
baik.
c) Teori Konsistensi Kognitif
Pendekatan ini menjelaskan keberadaan manusia yang
dianggap sebagai individu yang telah memahami makna serta
hubungan dalam struktur kognitifnya. Seseorang, apabila
menemukan suatu nilai yang tidak konsisten satu dengan yang
lainnya, maka ia akan mengubahnya sehingga menjadikan
keyakinannya atas nilai tersebut menjadi lebih konsisten.
Adapun bila kognisinya telah konsisten, sedangkan dia
dihadapkan pada kognisi baru yang menimbulkan ketidak
konsistenan, maka ia akan berusaha untuk meminimalkan
ketidak konsistenan tersebut.
3) Hubungan Sikap dan Perilaku
Sikap dikatakan sebagai bentuk evaluasi individu terhadap
objek psikologis yang ditunjukkan dengan keyakinan-keyakinan,
perasaan atau perilaku yang diharapkan. Sebagai suatu respon
evaluatif, rekasi yang dinyatakan oleh sikap didasari oleh peoses
evaluatif dari dalam diri individu yang memberikan kesimpulan
terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif,
menyenangkan-tidak menyenangkan yang kemudian mengkristal
sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap. Usaha yang paling
berpengaruh dalam menemukan dan menguji tentang hubungan
sikap dan perilaku adalah teori tindakan beralasa (reasoned action
theory) yang dikembngkan oleh Fishben dan Ajzen (1975). Teori
tindakan beralasan sampai saat ini banyak dimanfaatkan sebagai
kerangka teori utama. Hal ini menunjukkan kemutakhiran teori ini
tidak diragukan lagi dalam duniah ilmiah psikologis sosial,
khususnya psikologis sikap.
4) Komponen Utama Sikap
Sikap mempunyai tiga komponen, antara lain:
a) Komponen Kognitif
Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotype
yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Persepsi dan
kepercayaan seseorang mengenai objek sikap berwujud
pandangan (opini) dan sering kali merupakan stereotype atas
sesuatu yang telah terpolakan dalam pikirannya (Darmiyati
Zuchdi, 1995)
b) Komponen Afektif
Komponen afektif melibatkan perasaan atau emosi. Reaksi
emosional kita terhadap suatu objek akan membentuk sikap
positif atau negatif terhadap objek tersebut. Reaksi emosional
ini banyak ditentukan oleh kepercayaan suatu objek baik atau
tidak baik, bermanfaat atau tidak bermanfaat (Darmiyati
Zuchdi, 1995)
c) Komponen Konatif
Komponen konatif atau kecenderungan bertindak (berperilaku)
dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap. Perilaku
seseorang dalam situasi tertentu dan dalam situasi menghadapi
stimulus tertentu. Kecenderungan berperilaku secara konsisten
selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap
individual (Azwar, 1988:21)

b. Metode Pembiasaan
1) Pengertian Metode Pembiasaan
Secara etimologi, pembiasaan asal katanya adalah biasa. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pembiasaan diartikan sebagai
yang lazim atau umum, seperti sedia kala, sudah merupakan yang tidak
terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dengan adanya prefiks pe- dan
surfiks –an menunjukkan arti proses sehingga pembiasaan dapat diartikan
dengan proses membuat sesuatu/seseorang menjadi terbiasa
Anis Ibnatul M, dkk, mengatakan bahwa metode pembiasaan
merupakan kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang agar sesuatu
tersebut dapat menjadi kebiasaan. Metode pembiasaan adalah segala
sesuatu yang dilakukan secara berulang untuk membiasakan individu
dalam bersikap, berperilaku dan berpikir dengan benar. Dalam proses
pembiasaan berintikan pengalaman sedangkan yang dibiasakan adalah
sesuatu yang diamalkan (Abidin, 2018).
Metode pembiasaan adalah suatu cara yang dapat dilakukan untuk
membiasakan anak dalam berfikir, bersikap maupun bertindak. Metode
ini sangat praktis diterapkan pada kegiatan pembinaan dan pembentukan
karakter anak untuk meningkatkan pembiasaan-pembiasaan dalam
melakukan suatu kegiatan.
Dalam kehidupan sehari-hari, pembiasaan merupakan hal yang
penting sebab banyak dijumpai individu yang berperilaku hanya karena
kebiasaan semata-mata. Maka dari itu, pembiasaan penting diterapkan
oleh pembimbing pada proses pembinaan untuk membiasakan anak dan
remaja dalam hidup menggereja.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembiasaan
merupakan proses yang dilakukan secara berulang-ulang untuk membuat
individu menjadi terbiasa dalam bersikap, berperilaku dan berpikir.
2) Dasar dan Tujuan Metode Pembiasaan
Abudin Nata, mengemukakan bahawa pembiasaan merupakan
salah satu metode pendidikan yang sangat penting, terutama bagi anak.
Seorang anak belum memahami/menginsafi apa yang disebut baik dan
buruk dalam artian susila, mereka juga belum mempunyai kewajiban-
kewajiban yang harus dikerjakan seperti orang dewasa sehingga perlu
dibiasakan dengan tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan pola pikir
tertentu. Anak perlu dibiasakan pada sesuatu yang baik. Sesuatu yang baik
tersebut akan berubah menjadi kebiasaan sehigga jiwa dapat menunaikan
kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga dan
tanpa menemukan banyak kesulitan (Abidin, 2018).
Marimba, mengatakan bahwa tujuan utama dari pembiasaan adalah
penanaman kecakapan-kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu, agar
cara-cara yang tepat dapat dikuasai oleh individu dan perbuatan-perbuatan
tersebut dapat dibiasakan dan sulit untuk ditinggalkan. Tujuan
diadakannya metode pembiasaan adalah untuk melatih serta membiasakan
inividu secara konsisten dan continue dengan sebuah tujuan sehingga
benar-benar tertanam dalam diri individu dan akhirnya menjadi kebiasaan
yang sulit ditinggalkan dikemudian hari (Abidin, 2018)
B. Partisipasi Orang Muda Katolik dalam Hidup Menggereja
1. Partisipasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partisipasi adalah turut
berperan serta dalam sebuah kegiatan, keikutsertaan dalam melakukan observasi
berupa pengamatan yang aktif dan turut serta dalam kehidupan lapangan atau
objek yamg diamati.
Partisipasi adalah keikutsertaan individu atau kelompok dalam proses
pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di lingkungan, pemilihan dan
pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah,
pelaksanaan upaya mengatasi masalah dan keterlibatan dalam suatu proses
kegiatan (Isbandi, 2007).
Sumaryadi (2005:46), berpendapat bahwa partisipasi merupakan
keikutsertaan seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan,
baik itu dalam bentuk pernyataan atau dalam bentuk kegiatan dengan memberikan
masukan, tenaga, waktu, modal, kemampuan, serta ikut memanfaatkan dan
menikmati hasil pembangunan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa partisipasi merupakan
keikutsertaan individu atau kelompok dalam suatu kegiatan.
2. Orang Muda
a. Pengertian Orang Muda
Orang muda adalah mereka yang berada pada masa proses peralihan dari
masa kanak-kanak menuju dewasa. Masa ini merupakan masa yang paling
menentukan perkembangan emosional, moral, spiritual dan fisik seseorang.
Pada masa ini, seseorang mengalami perubahan besar yang berlangsung dalam
tempo yang singkat. Waktu yang singkat itu, membentuk kepribadian manusia
dan serentak juga proses pengarahan menuju kematangan (Adinugraha,
2015:12). Masa muda adalah masa di mana para orang muda masih mencari
identitas diri membentuk kepribadian mereka. Orang muda juga
membutuhkan bimbingan dan kepercayaan dari orang-orang sekitar bahwa
mereka mampu menjadi diri mereka sendiri (Adinugraha, 2015:12).

b. Karakteristik Orang Muda


Orang muda memiliki 3 (tiga) karakteristik yang menonjol, yaitu karakter
psikologis, karakter religius dan karakter moral. Ketiga karakteristik ini
berpengaruh besar dalam proses pertumbuhan mencapai kedewasaan mereka
(Adinugraha, 2015:12).
1) Karakter Psikologis Orang Muda
Orang muda adalah pribadi-pribadi yang berada dalam masa atau proses
pencarian dan pemantapan identitas diri. Pada proses ini, dinamika emosi,
kognitif, fisik dan spiritual orang muda mudah sekali berubah. Dalam
perkembangan psikologis orang muda melewati tahap-tahap berikut: tahap
awal, yakni usia 12 sampai 15 tahun, secara fisik dan kognitif pada tahap
ini orang muda mulai mengalami perkembangan misalnya mulai berpikir
secara rasional, abstrak dan kritis terhadap apa yang mereka alami.
Mereka juga mempunyai rasa ingin tahu dan bertanya tentang arti dan
tujuan hidupnya. Tahap menengah, usia 15 sampai 18 tahun. Pada tahap
ini mereka sangat aktif dalam pencarian dan pemnatapan identitas diri.
Mereka juga mempunyai keinginan untuk mandiri. Mereka menuntut
kebebasan dan seolah-olah ingin menujukkan bahwa mereka sudah bisa
mandiri walaupun mereka sebenarnya belum mampu dan mereka juga
mempunyai keinginan yang mendalam untuk menjalin relasi dengan
teman-teman dan lawan jenisnya. Tahap akhir, tahap dimana mereka
menentukan pilihannya untuk melanjutkan studi, bekerja dan menikah
(Adinugraha, 2015 :13).
2) Karakter Moral Orang Muda
Moral berasal dari kata latin “mos, mores” yang artinya kebiasaan.
Moral mempunyai segi rational bukan soal naluri. Dalam moral manusia
berhadapan dengan tugasnya sebagai makhluk normatif atau bertanggung
jawab untuk memenuhi norma-norma moral. Sebagai makluk normatif
manusia bertugas untuk mewujudkan dirinya, memungkinkan dirinya
untuk hidup sesuai dengan martabatnya sebagai manusia (Adinugraha,
2014 :14)
Dalam moral kristiani, moral dipandang sebagai jawaban manusia
atas prakarsa Tuhan yang memanggil manusia untuk hidup dalam cinta
kasih-Nya. Moral berkaitan dengan norma-norma yang mengatur
perbuatan atau kelakuan sejauh dinilai menurut baik-jahat, tepat atau
tidaknya sehubungan dengan tugas manusia untuk mewujudkan diri atau
memenuhi panggilan Tuhan untuk mewujudkan dirinya dalam relasi kasih
dengan Tuhan.
3) Karakter Religius Orang Muda
Periode perkembangan orang muda juga menyangkut perkembangan
pematangan pengalaman religius. Kesadran pemilihan dan penentuan
mengenai gambaran diri serta kepribadian orang muda berkaitan erat
dengan penerimaan dan penghayatan nilai religius yang mereka temukan
(Adinugraha, 2015 :14). Proses perkembangan religius orang muda
ditandai dengan adanya kesadaran akan iman pribadinya. Maka, dari segi
perkembangan religiusnya iman mereka tidak lagi tergantung pada tingkah
laku keagamaan orang tua, tetapi mereka berada dalam situasi untuk
mencari, memilih dan menentukan arti nilai religius yang ditemukannya
itu.
c. Orang Muda Katolik
Orang Muda Katolik (OMK) adalah komunitas wadah kreativitas,
pengembangan dan pengaderan generasi muda di lingkungan stasi atau paroki
gereja Katolik Roma. OMK berada di bawah naungan komisi kepemudaan
yang merupakan perangkat gereja dengan tugas khusus memberi perhatian
pada pembinaan dan pendampingan kaum muda. Nama OMK, sebelumnya
bernama Mudika (Muda Mudi Katolik). Istilah Mudika muncul sekitar tahun
1974 dan pertama kali dipakai di Keuskupan Bogor untuk menamai gerakan
Katolik Muda yang berbasis terotori gereja. Istilah ini menjadi umum dan
dipakai di seluruh Indonesia. Sejak munculnya UU Keormasan No. 5 tahun
1985, peran Mudika menguat menggantikan peran pemuda Katolik
sebelumnya. Pada tahun 2004 Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Jakarta
memunculkan istilah baru OMK, Orang Muda Katolik. Nama ini kemudian
meluas dan diteguhkan dalam pertemuan Nasional (PERNAS) OMK 2005
menjadi pengaganti Mudika. Anggota OMK adalah setiap kaum muda yang
tinggal di wilayah tertentu yang berusia mulai dari 13-35 tahun dan belum
menikah (Sekretariat, KJ, 2006). Namun, ada juga omk yang anggotanya
berusia mulai dari 12-35 tahun. Salah satu cara yang tepat untuk membentuk
karakter iman yang baik dan positif adalah melalui pembinaan rohani. Tujuan
dari pelaksanaan kegiatan pembinaan rohani adalah memberikan pendalaman
iman Katolik yang baik, positif, pantas dan layak menurut ajaran iman
Katolik. Adapun jenis kegiatan yang lazim dijalankan oleh kelompok ini yaitu
terlibat dalam perayaan Ekaristi menjadi petugas liturgi, membantu
melakukan pembinaan kepada kelompok ATM dan Sekami, rekoleksi, bakti
sosial, kompetisi, pertemuan antar-OMK, daerah dan nasional dan ziarah.
3. Hidup Menggereja
a. Pengertian Gereja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gereja memiliki dua arti
yaitu pertama, adalah sebuah gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan
upacara orang Kristen. Kedua, sebagai badan (organisasi) umat Kristen yang
sama kepercayaan, ajaran dan tata cara ibadahnya. Maksud dari defenisi ini
gereja selalu dipandang dari bangunan atau gedung yang digunakan sebagai
tempat beribadahnya orang Kristen. Sedangkan pengertian gereja dari sudut
pandang sebgai organisasi adalah berfungsi memberikan jaminan kepastian
hukum yang mengelola pelayanan rumah Tuhan agar dalam memberitakan
injil dapat dipahami dengan baik oleh umat.
Katekismus Gereja Katolik (KGK) merumuskan gereja sebagai “himpunan
orang-orang yang digerakkan untuk berkumpul oleh Firman Allah, yakni
berhimpun bersama untuk membentuk umat Allah dan yang diberi santapan
dengan Tubuh Kristus, menjadi Tubuh Kristus” (KGK 177). Himpunan umat
Allah terlibat dalam hidup berparoki. Di dalam paroki, himpunan umat Allah
mengambil bagian dan terlibat dalam menghidupkan peribadatan yang
menguduskan (Liturgia), mengembangkan pewartaan Kabar Gembira
(Kerygma), Menghadirkan dan membangun persekutuan (Koinonia),
memajukan karya cita kasih/pelayanan (Diakonia) dan memberi kesaksian
(Martyria).
Konsili Vatikan II memandang gereja sebagai umat Allah. Istilah umat
Allah merupakan istilah biblis yang dipilih demi sejarah keselamatan. Umat
Allah menekankan bahwa gereja dipanggil dan dipersatukan oleh Allah.
“Satulah umat Allah terpilih, samalah martabat para anggotanya” (LG 32).
b. Panca Tugas Gereja
1. Bidang Liturgia (Peribadatan atau Doa)
Kata Liturgia berasal dari bahasa Yunani yaitu Liturgi, liturgi
berarti ibadat umum dan resmi gereja. Ibadat ini dilaksanakan berdasarkan
tata acara yang sudah disahkan oleh pimpinan gereja yang berwenang.
Dalam tugas liturgi, gereja berusaha membantu para anggotanya agar
memiliki hubungan yang semakin dekat dengan Allah. Gereja tidak hanya
menawarkan aneka bentuk dan rumusan doa tetapi mau menjadi tempat
orang merasakan dan menghayati komunikasi dengan Bapa, bersama
Putera, dalam Roh Kudus. Intinya adalah kesatuan pribadi dengan Putera
dalam penyerahan-Nya kepada Bapa. Hal ini juga mengandung dua unsur
yang mendasar bagi kehidupannya, yakni unsur kemuliaan Allah dimana
gereja mengungkapkan imannya untuk memuliakan Allah dan unsur
pengudusan manusia yang dalam arti bahwa dalam liturgia ini gereja
merayakan suatu peristiwa yakni Allah menguduskan manusia (KWI,
1996:392-396).
Dalam bidang Liturgia ini Partisipasi aktif OMK diwujudkan
dalam memimpin perayaan liturgi tertentu seperti: memimpin ibadat
sabda/doa bersama, membagi komuni, menjadi lector/lektris, pemazmur,
organis, misdinar dan mengambil bagian secara aktif dalam setiap
perayaan dengan doa bersama.
2. Bidang Kerygma (Pewartaan)
Kata Kerygma berasal dari bahasa Yunani yang berarti karya
pewartaan Kabar Gembira. Gereja melaksanakan tugas Kerygma
bersumber dari perintah Yesus yang mengutus para rasulnya untuk
mewartkan Injil (Mat. 28:18-20). Maka, Kerygma bermakna sebagai tugas
Gereja untuk mewartakan Sabda Allah, yakni karya keselamatan Allah
yang terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Dengan demikian, inti pewartaan
gereja adalah mengenai pribadi Yesus Kristus yang melaksanakan karya
keselamatan Allah terutama melalui wafat dan kebangkitan-Nya. Bentuk
pewartaan gereja ditentukan oleh orang-orang yang menjadi sasaran
kegiatan pewartaan.
Orang Muda Katolik juga ikut serta mewartakan kabar gembira
Allah yang telah menyelamatkan dan menebus manusia dari dosa melalui
Yesus Kristus Putera-Nya. Melalui bidang ini, diharapkan dapat
membantu umat Allah untuk mendalami kebenaran firman Allah,
menumbuhkan semangat untuk menghayati hidup berdasarkan semangat
injil dan mengusahakan pengenalan yang semakin mendalam akan pokok
iman kristiani supaya tidak mudah goyah dan tetap setia. Beberapa karya
yang termasuk dalam bidang ini, misalnya pendalaman iman seperti
katekese, pelajaran agama Katolik di sekolah dan pendalaman Kitab Suci.
3. Bidang Koinonia (Persekutuan)
Kata Koinonia berasal dari bahasa Yunani yang berarti
persekutuan. Kisah Para Rasul 2:42 melukiskan persekutuan dalam jemaat
perdana “mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam
persekutuan”. Tugas Koinonia mneyatakan keberadaan gereja sebagai
suatu persekutuan (Mariyanto, 2004:101).
Gereja melaksanakan Koinonia atau persekutuan untuk
membangun relasi dengan sesama sebagai saudara yakni antar pribadi
dengan Allah dan antar pribadi dengan sesama manusia.
Koinonia berarti ikut serta dalam persekutuan atau persaudaraan
sebagai anak-anak Bapa dengan pengantaraan Kristus dalam kuasa Roh
Kudus. Dalam bidang persekutuan ini relasi persaudaraan dapat
diwujudkan nyatakan dalam menghayati hidup menggereja baik secara
territorial (Keuskupan, Paroki, stasi dan lingkungan keluarga), dalam
komunitas basis gerejani maupun dalam kelompok-kelompok kategorial.

4. Bidang Diakonia (Pelayanan)


Kata Diakonia berasal dari bahasa Yunani, yang memiliki arti
pelayanan. Diakonia merupakan salah satu segi hidup gereja yang
membidangi pelayanan kepada masyarakat. Gereja dibangun bukan untuk
dirinya sendiri tetapi untuk melayani orang lain. Penekanan segi pelayanan
mengacu pada pola perutusan Kristus yang datang bukan untuk dilayani
tetapi untuk melayani (Mariyanto, 2004:39).
Pelayanan berarti perwujudan iman kristiani untuk mengikuti jejak
Kristus. Yesus menyuruh para murid-Nya untuk selalu bersikap sebagai
pelayan “yang paling rendah dari semua dan sebagai pelayan dari semua
(Mrk. 9:35),
Pelayanan ini diwujud nyatakan dengan ikut serta dalam
melaksanakan cinta kasih melalui aneka kegiatan amal kasih kristiani,
khususnya kepada mereka yang miskin, terlantar dan tersingkir. Melalui
bidang karya ini, umat beriman menyadari akan tanggung jawab pribadi
mereka akan kesejahteraan sesamanya. Oleh karena itu, dibutuhkan
adanya kerja sama dalam kasih, keterbukaan yang penuh empati,
partisipasi dan keiklasan hati untuk berbagi satu sama lain demi
kepentingan seluruh umat.
5. Bidang Martyria (Kesaksian)
Kata Martyria berasal dari bahasa Yunani yakni “marturion” yang
berarti kesaksian. Martyria merupakan bidang hidup atau pelayanan gereja
yang berpusat pada kesaksian kepada masyarakat, baik lewat kata-kata
maupun tindakan terutama lewat karya nyata (Mariyanto, 2004:122)
Tugas gereja untuk memberikan kesaksian berpusat pada Yesus
Kristus. Yesus Kristus adalah saksi yang memberikan sabda rencana Allah
Bapa untuk menyelamatkan manusia. Yesus adalah saksi yang benar dan
setia (Why 3:14)
Kesaksian atau martyria berarti ikut serta dalam menjadi saksi
Kristus bagi dunia. Hal ini dapat diwujudkan dalam menghayati hidup
sehari-hari sebagai orang beriman ditengah sesama dalam menjalin relasi
dengan umat yang lain.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode atau penelitian kualitatif yang bertujuan
untuk mendeskripsikan gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat. Penelitian
kualitatif mau memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah (Moleong, 2010:6). Penelitian kualitatif adalah penelitian yang tidak
menggunakan model-model matematik statistik atau komputer. Proses penelitian
dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir yang akan digunakan dalam
penelitian. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dalam kegiatannya peneliti
tidak menggunakan angka dalam mengumpulkan data dalam memberikan penafsiran
terhadap hasilnya (Sugiyono, 2013).
Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa jenis penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk
memahami peristiwa khusus pada kondisi objek yang alamiah di mana peneliti
merupakan instrumen kunci.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di pusat Paroki St. Dominikus de Guzman Karuni,
Keuskupan Weetebula, Kecamatan Loura, Kabupaten Sumba Barat Daya. Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan April tahun 2024.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara. Yusuf (2014) mengemukakan bahwa pengumpulan data diperoleh dari hasil
observasi, wawancara dan dokumentasi. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan
menggunakan teknik wawancara. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara
semi terstruktur (semistrukcture interview). Tujuan dari jenis wawancara ini adalah untuk
menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dari pihak yang diwawancara dan
diminta pendapat.
D. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah
peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, peneliti sebagai instrumen juga harus divalidasi
seberapa jauh penelitian kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya turun ke
lapangan. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap
pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang
diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik
maupun logistiknya. Peneliti sendiri yang melakukan evaluasi untuk mengetahui seberapa
jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan terhadap
bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan. Penelitian kualitatif
sebagai human instrumen, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan
sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data,
menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya (Sugiyono, 2003).
Pedoman wawancara yang digunakan peneliti dalam penelitian ini berdasarkan dampak
pembinaan anak temu minggu dan sekami terhadap partisipasi remaja dalam hidup menggereja.
Adapun beberapa pertanyaan yang akan ditanyakan kepada informan sebagai berikut:

No Pertanyaan Indikator

E. Sumber Data
Sumber data adalah subyek darimana data tersebut diperoleh. Sumber data dapat
dibagi menjadi dua, yaitu data sumber primer dan data sumber sekunder. Mukhtar
(2003:197) mengatakan, sumber data adalah sumber-sumber yang dimungkinkan seorang
peneliti mendapatkan sejumlah informan atau data-data yang dibutuhkan dalam sebuah
penelitian, baik data primer maupun data sekunder. Sumber data primer adalah sumber
data yang di dapat dari informan yang diwawancara dan sumber data sekunder di dapat
dari sekretariat paroki tentang jumlah orang muda Katolik, kegiatan-kegiatan orang muda
Katolik yang telah dilaksanakan.
F. Teknik Analisis Data
Teknik Analisis Data yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini ialah reduksi
data, display data dan pengambilan keputusan. Menurut Miles dan Huberman (Sunarto
2001:158), pada penelitian kualitatif, analisis data meliputi tiga tahap yaitu, reduksi data,
display data dan pengambilan keputusan atau verifikasi.
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara
sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan
diverifikasi.
2. Display Data
Pada tahap ini peneliti membuat kegiatan penyajian atau penampilan (display)
dari data yang dikumpulkan dan dianalisis sebelumnya. Display adalah format yang
menyajikan informasi secara tematik kepada pembaca tentang apa yang sudah
didapatkan dari kegiatan penelitian tersebut
3. Pengambilan Keputusan dan Verifikasi
Langkah selanjutnya adalah tahap penarikan kesimpulan berdasarkan temuan
dalam melakukan verifikasi data. Dari data yang diperoleh dan dianalisis oleh
peneliti, maka seorang peneliti mempunyai alasan untuk menarik sebuah kesimpulan.
Dari kesimpulan itu bisa dipertanggung jawabkan jika didukung dengan data-data
yang sudah diverifikasi (proses untuk mendapatkan bukti-bukti)

DAFTAR PUSTAKA

Santesa, D., Adinuhgra, S., & Maria, P. (2020). Partisipasi Orang Muda Katolik dalam
Kehidupan Menggereja di Paroki Santo Yosef Kudangan. Jurnal Pastoral Kateketik, 6.

Relubun, D. A. (2013). Pengaruh Pembelajaran dan Sikap Pelayanan terhadap Motivasi


Belajar dan Prestasi Belajar Mahasiswa pada Universitas Darussalam Ambon (Tesis).
Universitas Darusallam Ambon.

Zuchdi, D. (1995). Pembentukan Sikap. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 14.

M, Murni. (2017). Perkembangan Fisik, Kognitif dan Psikologi padaMasa Kanak-kanak


Awal 2-6 Tahun. Jurnal Pendidikan Anak, 3(1)
Jannah, M. (2015). Tugas-tugas Perkembangan pada Usia Kanak-kanak

Sari, S.Y. (2017). Tinjauan Perkembangan Psikologi Manusia pasa Usia Kanak-kanak
dan Remaja. Primary Education Jurnal, 1(1)

Kumowal, R, L., Widodo, S., & Pusung, W. W. (2023). Peranan Gereja dalam
Menyikapi

Kehadiran Anggota Persiapan dalam Beribadah di Gereja Alkitab Anugerah Jemaat


Singkil Manado. Jurnal Teologi Injili dan Dispensasional, 1

Priyanto, Y. E., & Utama, C. T. T. (2017). Perwujudan Panca Tugas Gereja dalam
Kehidupan Sehari-hari Keluarga Kristiani di Stasi Hati Kudus Yesus Bulak Sumbersari.
Jurnal Pendidikan Agama Katolik, 18

Abidin, A. M. (2018). Penerapan Pendidikan Karakter pada Kegiatan Ekstrakurikuler


melalui Metode Pembiasaan. Didaktika Jurnal Kependidikan, 12 (2)

Moleong, L. J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Yusuf, Muri A. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian


Gabungan. Jakarta. PT. Fajar Interpratama Mandiri

Sugiyono. (2003). Meteode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta

Sugiono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung.


PT. Alfabeta,CV
Mukhtar. (2003). Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: CV Fitamas

Anda mungkin juga menyukai