Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah arteri yang persisten,
dimana tekanan sistolik (SBP) di atas 130 mmHg atau tekanan darah diastolik (DBP) di atas
80 mmHg. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila peningkatan tekanan darah didapatkan pada
pemeriksaan berulang (setidaknya 2 kali) di praktik klinis. Lebih lanjut, hipertensi dapat
dibagi menjadi hipertensi derajat 1 dan derajat 2.[1,2]
Sebagian besar kasus hipertensi yang ditemukan di praktik merupakan hipertensi esensial,
yaitu hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui atau idiopatik. Berbagai mekanisme
diduga menjadi dasar patofisiologi hipertensi, termasuk keterlibatan ginjal, vaskular, dan
sistem saraf pusat. Selain itu, regulasi sodium maupun sistem hormonal renin-angiotensin-
aldosteron juga diduga berperan dalam pengaturan tekanan darah.[1,3-5]
Seperti telah disebutkan di atas, diagnosis hipertensi dapat ditegakkan jika terjadi
peningkatan tekanan darah dari ambang normalnya. Pada dewasa, tekanan darah dianggap
tinggi bila SBP di atas 130 mmHg atau DBP di atas 80 mmHg. Diagnosis sebaiknya dibuat
dengan pengukuran berulang, sekitar 2-3 kunjungan dengan interval 1-4 minggu. Diagnosis
hipertensi dapat dibuat pada satu kunjungan, jika tekanan darah 180/110 mmHg atau lebih
dan ada bukti penyakit kardiovaskular (CVD) seperti sindrom koroner akut. Apabila
memungkinkan, diagnosis hipertensi sebaiknya dikonfirmasi dengan pengukuran out of
office, misalnya dengan teknik pengukuran tekanan darah ambulatori.
Penatalaksanaan hipertensi dilakukan dengan modifikasi gaya hidup dan farmakoterapi.
Tujuan penatalaksanaan adalah menurunkan tekanan darah, mencegah perkembangan
penyakit kardiovaskuler, menurunkan mortalitas, serta menjaga kualitas hidup pasien.
Modifikasi gaya hidup melibatkan modifikasi diet, peningkatan aktivitas fisik, penurunan
berat badan pada pasien obesitas atau overweight, serta berhenti merokok.
Pemilihan obat antihipertensi bergantung pada komorbiditas yang dimiliki, tolerabilitas, dan
juga mempertimbangkan preferensi pasien. Secara umum, antihipertensi lini pertama
adalah calcium channel blocker (CCB) seperti amlodipine, ACE
inhibitor seperti captopril, angiotensin receptor blocker (ARB) seperti valsartan, dan diuretik
seperti hydrochlorothiazide.[1,2,6-8]
Patofisiologi hipertensi melibatkan peningkatan tekanan darah, yang jika terjadi secara kronis
akan menyebabkan kerusakan target organ. Peningkatan tekanan darah dapat terjadi akibat
abnormalitas pada resistensi perifer ataupun cardiac output. Patofisiologi hipertensi juga
melibatkan sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Ginjal juga memiliki persarafan aferen yang dapat mengirimkan sinyal ke sistem saraf pusat,
sehingga terjadi refleks yang merangsang peningkatan tonus sistem saraf eferen dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah.[1,3-5]
Peran Vaskulatur
Mekanisme vaskular, termasuk ukuran, reaktivitas, dan elastisitas pembuluh darah juga
memainkan peran penting dalam terjadinya hipertensi. Hipertensi sering dikaitkan dengan
vasokonstriksi yang dapat disebabkan oleh peningkatan hormon vasokonstriktor, seperti
angiotensin II, katekolamin, dan vasopresin. Selain itu, gangguan vasodilatasi juga dapat
berperan dalam terjadinya hipertensi.
Hipertensi juga dapat disebabkan oleh adanya gangguan anatomis pada vaskular, seperti
kakunya arteri besar, sehingga tidak terjadi distensi saat sistol dan recoil saat diastol.[1,3-5]
Peran Endokrin
Selain angiotensin II, aldosteron juga memiliki peran dalam terjadinya hipertensi.
Keberadaan angiotensin II menyebabkan pelepasan aldosteron oleh kelenjar adrenal.
Aldosteron diketahui meningkatkan resorpsi natrium oleh ginjal dan menurunkan diuresis.
Peran Genetik
Genetik diduga kuat berperan penting dalam patofisiologi hipertensi. Kasus hipertensi yang
diturunkan dalam keluarga cukup umum ditemukan. Namun, hingga saat ini, beberapa mutasi
genetik gen tunggal yang dicurigai menyebabkan hipertensi belum dapat menjelaskan
fenomena hipertensi yang diturunkan dalam keluarga.[1,3-5]
Berdasarkan etiologi, hipertensi dapat dibagi menjadi hipertensi esensial dan hipertensi
sekunder. Faktor risiko hipertensi dapat berupa faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi,
seperti usia dan jenis kelamin, serta faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti berat badan.
Hipertensi Esensial
Hipertensi esensial merupakan jenis hipertensi yang paling banyak terjadi. Penyebab
hipertensi esensial tidak diketahui atau idiopatik.[1-3,9]
Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang penyebabnya diketahui. Hipertensi sekunder
meliputi sekitar 5–10% kasus hipertensi. Contoh etiologi hipertensi sekunder adalah penyakit
ginjal kronik, hipertiroid, kehamilan, dan obat seperti ibuprofen dan naproxen. Etiologi
hipertensi sekunder selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 1.[2,3,9-11]
Sindrom Cushing
Hipertiroid
Hipotiroid
Hiperparatiroid
Pheochromocytoma
Akromegali
Skleroderma
Obat:
● Dekongestan: pseudoefedrin
● Kafein
● Stimulan: methylphenidate
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya hipertensi dapat terbagi menjadi dua, yaitu faktor yang tidak dapat
dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi.
Global
Secara global, diperkirakan lebih dari 1 miliar orang mengalami peningkatan tekanan darah
yang masuk kriteria hipertensi. Prevalensi hipertensi yang tinggi ini konsisten pada seluruh
golongan sosioekonomi, dengan prevalensi yang meningkat seiring pertambahan usia. Angka
prevalensi hipertensi dapat mencapai 60% pada populasi dengan usia lebih dari 60 tahun.
Diperkirakan jumlah pasien dengan hipertensi dalam skala global akan meningkat sekitar 15-
20% hingga mencapai 1,5 miliar pada tahun 2025.[1,3,10,14]
Indonesia
Berdasarkan Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018 terhadap 658.201 subjek
penelitian dari seluruh provinsi di Indonesia, prevalensi hipertensi menurut diagnosis dokter
pada populasi dewasa berada pada angka 8,36%. Angka ini terlampau jauh dari prevalensi
hipertensi berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah yang berada pada angka 34,11%.
Data tersebut menunjukkan tingginya prevalensi hipertensi yang belum terdeteksi di
masyarakat Indonesia. Selain itu, kepatuhan minum obat secara rutin pada subjek yang telah
didiagnosis hipertensi hanya berada pada 54,40%.[15]
Mortalitas
Hipertensi tidak langsung menjadi penyebab kematian pada penderitanya, melainkan menjadi
faktor yang sangat penting dalam peningkatan kejadian penyakit kardio-serebrovaskular. Hal
ini menyebabkan mortalitas hipertensi secara global menjadi sangat tinggi, di mana tekanan
darah sistolik ≥140 mmHg dikaitkan dengan 14,0% dari seluruh kematian di dunia. Tekanan
darah sistolik ≥140 mmHg juga dikaitkan dengan 40,1% mortalitas akibat penyakit jantung
iskemik, 38,1% mortalitas akibat stroke iskemik, dan 42,5% mortalitas akibat stroke
hemoragik.[1,3,9]
Diagnosis hipertensi ditegakkan jika terdapat peningkatan tekanan darah dari ambang
normalnya. Hipertensi umumnya didefinisikan sebagai tekanan sistolik (SBP) di atas 130
mmHg atau tekanan darah diastolik (DBP) di atas 80 mmHg pada pasien dewasa. Pengukuran
tekanan darah oleh petugas kesehatan sebaiknya dilakukan berulang pada 2-3 kunjungan
dengan interval 1-4 minggu. Selain itu, apabila memungkinkan dapat dilakukan
pengukutan out of office, seperti pengukuran dengan teknik ambulatori, yang dapat
membantu mengeksklusi white coat hypertension.
Anamnesis
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala apapun. Pada kasus hipertensi
esensial, hipertensi bersifat idiopatik atau tidak terdapat penyebab dasar yang bisa
diidentifikasi. Pada kasus hipertensi sekunder, dokter perlu mengidentifikasi keluhan-keluhan
untuk mengetahui penyebab hipertensi, misalnya penyakit ginjal kronik atau hipertiroid.
Gejala
Sebagian besar pasien tidak bergejala. Jika bergela, gejala yang sering dikeluhkan pasien
adalah nyeri kepala. Gejala yang dialami terkait komplikasi hipertensi antara lain fatigue,
sesak napas saat beraktivitas, kaki bengkak, kelemahan tubuh satu sisi, dan penglihatan
buram. Komplikasi dari hipertensi dapat berupa kejadian kardio-serebrovaskular,
seperti gagal jantung kongestif dan stroke.
Faktor Risiko
Faktor risiko juga perlu ditanyakan untuk menilai risiko komplikasi penyakit kardiovaskular
serta perencanaan terapi. Hal yang perlu ditanyakan yakni komorbiditas terkait risiko
penyakit kardiovaskular seperti diabetes, dislipidemia, serta gaya hidup seperti inaktivitas
fisik, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik utama yang dilakukan adalah pemeriksaan tekanan darah. Selain itu, dapat
dilakukan pemeriksaan fisik yang mengevaluasi target organ untuk mengetahui adanya
penyebab sekunder atau kemungkinan komplikasi
Pengukuran Tekanan Darah
Pemeriksaan tekanan darah sendiri sebaiknya tidak dilakukan hanya satu kali, melainkan 2-3
kali pemeriksaan dalam jarak pemeriksaan 1–4 minggu di fasilitas pelayanan kesehatan.
Selain itu, pemeriksaan tekanan darah mandiri di rumah atau home blood pressure
measurement (HBPM) maupun pengukuran tekanan darah selama 24 jam atau 24-hour
ambulatory blood pressure (ABPM) perlu dilakukan, terutama bila nilai tekanan darah
dicurigai berubah saat bertemu dengan tenaga kesehatan (white coat
hypertension). Spigmomanometer yang digunakan juga merupakan jenis aneroid atau digital
yang telah dikalibrasi tiap 6–12 bulan. Pasien dapat diminta istirahat 10-30 menit untuk
mencegah bias hasil pemeriksaan. Adapun kategori tekanan darah dapat dilihat pada Tabel 2
dan Tabel 3.[1-3,6-10]
Saat dilakukan pengukuran tekanan darah, posisi pasien sebaiknya duduk dengan posisi
lengan setinggi jantung, punggung bersandar serta tungkai tidak menyilang. Posisi yang tidak
sesuai terbukti memberikan hasil pengukuran yang lebih tinggi. Pasien sebaiknya tidak
berbicara saat dilakukan pengukuran. Pengukuran juga dilakukan minimal setelah 5 menit
pasien duduk. Setelah posisi tepat, lakukan pengukuran tekanan darah.
Pompa manset tensimeter hingga pulsasi arteri radialis menghilang. Lanjutkan pompa
tensimeter hingga 30 mmHg di atas sistolik (di atas batas nilai saat pulsasi menghilang).
Letakan stetoskop pada area arteri brakialis dengan penekanan ringan. Kempeskan manset
tensi perlahan dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per denyut nadi. SBP ditandai dengan
Korotkoff fase I (bunyi pulsasi yang terdengar pertama kali). Bunyi pulsasi akan perlahan
menghilang. Bunyi terakhir yang terdengar atau dikenal dengan Korotkoff fase V merupakan
DBP.[1-3,6-10]
Pemeriksaan neurologis lengkap harus dilakukan jika secara klinis terdapat gejala
stroke
Tanda kongesti: Pada pasien gagal jantung dapat ditemukan tanda kongesti seperti
peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah halus, hepatomegali dan pitting
edema. Pembesaran ventrikel kiri dapat dicurigai jika apeks teraba bergeser ke lateral
saat palpasi
Pulsasi: Penyakit arteri perifer dapat ditandai dengan melemah bahkan hilangnya
pulsasi perifer[1-3,6-10]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan pada pasien dengan hipetensi sekunder
adalah hiperaldosteronisme, koarktasio aorta, stenosis arteri renal, dan penyakit gunjal kronis.
Hiperaldosteronisme
Hiperaldosteronisme adalah penyakit di mana kelenjar adrenal (s) membuat terlalu banyak
aldosteron yang menyebabkan hipertensi (tekanan darah tinggi) dan kadar kalium darah
rendah.
Koarktasio Aorta
Koarktasio aorta dapat menimbulkan tekanan darah tinggi. Koarktasio aorta adalah
penyempitan aorta yang menyebabkan jantung harus memompa lebih keras untuk membuat
darah dapat melewati aorta. Koarktasio aorta umumnya timbul sebagai cacat jantung bawaan.
Kondisi ini mungkin tidak terdeteksi sampai dewasa.
Terdapat berbagai jenis diagnosis hipertensi menurut etiologi, hasil tekanan darah, maupun
kondisi yang mempengaruhi, antara lain:
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan pada pasien dengan hipertensi sebagai
penapisan terhadap end-organ damage.
Pemeriksaan Penunjang Dasar
Pemeriksaan penunjang dasar rutin yang perlu segera dilakukan, antara lain:
Pemeriksaan laboratorium: Fungsi ginjal dengan elektrolit dan perhitungan laju
filtrasi glomerulus (estimated glomerular filtration rate), profil lipid, dan gula darah
puasa
Pemeriksaan dipstick urine
Elektrokardiografi 12-lead[1-3,6-10]
Pemberian terapi farmakologi dapat ditunda pada pasien hipertensi derajat 1 dengan risiko
komplikasi penyakit kardiovaskular rendah. Jika dalam 4-6 bulan tekanan darah belum
mencapai target atau terdapat faktor risiko penyakit kardiovaskular lainnya maka pemberian
medikamentosa sebaiknya dimulai.
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik reguler telah dilaporkan membantu penurunan tekanan darah, terutama pada
kasus hipertensi resisten. Rekomendasi terkait olahraga yakni olahraga aerobik dan latihan
resistensi secara teratur sebanyak 30 menit/hari pada 3-5 hari/minggu.
Medikamentosa
Terapi medikamentosa perlu segera dimulai pada hipertensi derajat 1 dengan risiko tinggi
maupun dengan riwayat penyakit komorbid seperti stroke, penyakit ginjal kronik, diabetes
mellitus, dan hypertension-mediated organ damage dan. Farmakoterapi juga dilakukan pada
setiap kasus hipertensi derajat 2.
Pada hipertensi derajat 1 dengan risiko rendah-sedang dan tanpa disertai komorbiditas, terapi
medikamentosa dimulai setelah 3–6 bulan modifikasi gaya hidup tidak menyebabkan tekanan
darah terkontrol. Target reduksi tekanan darah setidaknya 20/10 mmHg dalam 3 bulan, tetapi
sebaiknya hingga <140/90 mmHg. Bila memungkinkan, target tekanan darah dilakukan
berdasarkan usia, yaitu:
<65 tahun: Target tekanan darah <130/80 mmHg bila dapat ditoleransi
≥65 tahun: Target tekanan darah <140/90 mmHg bila dapat ditoleransi[1-3,6-10]
Langkah Kedua:
Langkah kedua adalah penggunaan kombinasi ganda ACE-inhibitor atau ARB bersama DHP-
CCB dosis penuh.
Langkah Ketiga:
Langkah ketiga adalah kombinasi tripel ACE-inhibitor atau ARB, DHP-CCB, dan
diuretik thiazide-like. Diuretik dapat diganti menjadi thiazide bila diuretik thiazide-like tidak
tersedia.
Langkah Keempat:
Langkah keempat adalah kombinasi tripel ACE-inhibitor atau ARB, DHP-CCB, dan
diuretik thiazide-like disertai spironolactone atau obat lain (termasuk beta bloker) pada
hipertensi resisten.
Catatan Khusus:
Pertimbangkan pemberian beta-bloker pada setiap langkah bila ada indikasi khusus,
seperti gagal jantung, angina, post infark miokard, atrial fibrilasi, atau wanita muda yang
sedang hamil atau merencanakan kehamilan.[1-3,6-10]
Prognosis hipertensi bergantung pada seberapa baik kontrol terhadap tekanan darah.
Hipertensi memerlukan manajemen jangka panjang. Hipertensi yang tidak tekontrol akan
menyebabkan komplikasi berupa kerusakan target organ, sehingga meningkatkan morbiditas
dan mortalitas.
Komplikasi
Hipertensi dapat menyebabkan perubahan struktural atau fungsional dari pembuluh darah
arteri serta organ yang disuplai pembuluh darah tersebut. Hal ini disebut
dengan hypertension-mediated organ damage (HMOD). Organ yang sering terlibat antara
lain otak, jantung, ginjal, arteri sentral dan perifer, serta mata.
Komplikasi pada Otak
Transient ischemic attack (TIA) dan stroke merupakan komplikasi pada otak yang paling
sering ditemui akibat peningkatan tekanan darah. Perubahan subklinis awal dapat dideteksi
dengan MRI kepala, dimana dapat tampak lesi white matter, mikroinfark, perdarahan mikro,
dan atrofi otak.
Komplikasi pada Jantung
Hipertensi meningkatkan risiko gagal jantung kongestif, aritmia, dan penyakit jantung
iskemik. Pemeriksaan EKG 12 lead sebaiknya dilakukan berkala pada pasien dengan
hipertensi.
Komplikasi Ginjal
Hipertensi meningkatkan risiko gangguan fungsi ginjal, termasuk penyakit ginjal kronik.
Pemeriksaan berkala laju filtrasi glomerulus dan kadar kreatinin serum sebaiknya dilakukan
untuk memantau fungsi ginjal pada pasien hipertensi.
Komplikasi Arteri Sentral dan Perifer
Hipertensi juga meningkatkan risiko aterosklerosis, termasuk pada pembuluh besar seperti
arteri karotis, serta gangguan pada arteri perifer. Pemantauan arteri dapat dilakukan:
Arteri karotis melalui USG karotis untuk mendeteksi beban plak aterosklerotik atau
stenosis dan ketebalan media intima
Penilaian aorta dengan carotid-femoral pulse wave velocity (PWV) untuk mendeteksi
kekakuan arteri besar
Arteri ekstremitas bawah dengan penilaian ankle brachial index (ABI)
Prognosis
Prognosis hipertensi bisa baik bila tekanan darah terkontrol dengan kepatuhan pengobatan
yang baik. Namun, pada hipertensi resisten dan kepatuhan pengobatan yang kurang,
peningkatan tekanan darah sistolik sebanyak 20 mmHg dan diastolik sebanyak 10 mmHg
dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardio-serebrovaskuler.
Kerusakan end-organ yang paling sulit dicegah terkait hipertensi adalah penyakit ginjal
kronik hingga gangguan fungsi ginjal berat yang memerlukan dialisis.[1,3,9-11]
Edukasi dan promosi kesehatan hipertensi ditekankan pada pentingnya kepatuhan terapi demi
tercapainya target tekanan darah.
Edukasi Pasien
Pada pasien hipertensi, tekankan betapa pentingnya kontrol tekanan darah. Sampaikan pada
pasien bahwa terapi dilakukan jangka panjang dengan jadwal temu yang berkala. Jelaskan
bahwa hal ini penting untuk memastikan terapi memadai dan komplikasi dapat dicegah
seoptimal mungkin. Minta kerja sama pasien dalam tata laksana dan berikan motivasi bahwa
diagnosis hipertensi tidak berarti pasien akan memiliki kualitas hidup yang buruk. Jelaskan
bahwa dengan manajemen yang adekuat, pasien memiliki kemungkinan kesintasan yang baik.
Adapun upaya pengendalian hipertensi juga dapat dilakukan dengan program penyakit tidak
menular Kementerian Kesehatan Republik Indonesia berupa PATUH yang merupakan
akronim dari:
Periksa kesehatan secara rutin dan ikuti anjuran dokter
Atasi penyakit dengan pengobatan yang tepat dan teratur
Tetap diet dengan gizi yang seimbang
Upayakan aktivitas fisik dengan aman
Hindari asap rokok, alkohol, dan zat karsinogenik[17]
Edukasi dan promosi kesehatan mengenai hipertensi dalam kehamilan dibahas dalam artikel
terpisah. Selain itu, suplementasi kalsium telah diduga bermanfaat dalam pencegahan
hipertensi.[18]
Referensi:
1. Iqbal AM, Jamal SF. Essential Hypertension. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539859/?
report=reader
2. Unger T, Borghi C, Charchar F, et al. 2020 International Society of Hypertension global
hypertension practice guidelines. Hypertension. 2020 Jun;75(6):1334-57.
3. Oparil S, Acelajado MC, Bakris GL, et al. Hypertension. Nat Rev Dis Primers.
2018;4:18014.
4. Harrison DG, Coffman TM, Wilcox CS. Pathophysiology of hypertension: the mosaic
theory and beyond. Circulation Research. 2021 Apr 2;128(7):847-63.
5. Saxena T, Ali AO, Saxena M. Pathophysiology of essential hypertension: an update.
Expert review of cardiovascular therapy. 2018 Dec 2;16(12):879-87.
6. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, et al. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA guideline for the
prevention, detection, evaluation, and management of high blood pressure in adults: a report
of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical
Practice Guidelines. Journal of the American College of Cardiology. 2018 May
15;71(19):e127-248.
7. Williams B, Mancia G, Spiering W, et al. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management
of arterial hypertension: The Task Force for the management of arterial hypertension of the
European Society of Cardiology (ESC) and the European Society of Hypertension (ESH).
European heart journal. 2018 Sep 1;39(33):3021-104.
8. Lukito AA, Harmeiwaty E, Hustrini NM. Konsensus penatalaksanaan hipertensi 2019.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. 2019:7-8.
9. Jordan J, Kurschat C, Reuter H. Arterial hypertension: diagnosis and treatment. Deutsches
Ärzteblatt International. 2018 Aug;115(33-34):557.
10. Hegde S, Aeddula NR. Secondary Hypertension. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544305/
11. Charles L, Triscott J, Dobbs B. Secondary hypertension: discovering the underlying
cause. American family physician. 2017 Oct 1;96(7):453-61.
12. Pinto IC, Martins D. Prevalence and risk factors of arterial hypertension: A literature
review. Journal of Cardiovascular Medicine and Therapeutics. 2017;1(2):1-7.
13. Singh S, Shankar R, Singh GP. Prevalence and associated risk factors of hypertension: a
cross-sectional study in urban Varanasi. International journal of hypertension. 2017
Oct;2017.
14. Mills KT, Stefanescu A, He J. The global epidemiology of hypertension. Nature Reviews
Nephrology. 2020 Apr;16(4):223-37.
15. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Laporan
nasional RISKESDAS 2018. Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. 2019.
16. Direktorat Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Cegah Hipertensi
dengan CERDIK. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019.
http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/hipertensi-penyakit-jantung-dan-pembuluh-
darah/cegah-hipertensi-dengan-cerdik
17. Direktorat Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Kendalikan
Hipertensi dengan PATUH. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018.
http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/hipertensi-penyakit-jantung-dan-pembuluh-
darah/page/9/kendalikan-hipertensi-dengan-patuh
18. Cormick G, Ciapponi A, et al. Calcium supplementation for prevention of primary
hypertension. Cochrane Database of Systematic Reviews 2022, Issue 1. Art. No.: CD010037.
DOI: 10.1002/14651858.CD010037.pub4