Anda di halaman 1dari 21

Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah arteri yang persisten,
dimana tekanan sistolik (SBP) di atas 130 mmHg atau tekanan darah diastolik (DBP) di atas
80 mmHg. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila peningkatan tekanan darah didapatkan pada
pemeriksaan berulang (setidaknya 2 kali) di praktik klinis. Lebih lanjut, hipertensi dapat
dibagi menjadi hipertensi derajat 1 dan derajat 2.[1,2]

Sebagian besar kasus hipertensi yang ditemukan di praktik merupakan hipertensi esensial,
yaitu hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui atau idiopatik. Berbagai mekanisme
diduga menjadi dasar patofisiologi hipertensi, termasuk keterlibatan ginjal, vaskular, dan
sistem saraf pusat. Selain itu, regulasi sodium maupun sistem hormonal renin-angiotensin-
aldosteron juga diduga berperan dalam pengaturan tekanan darah.[1,3-5]

Seperti telah disebutkan di atas, diagnosis hipertensi dapat ditegakkan jika terjadi
peningkatan tekanan darah dari ambang normalnya. Pada dewasa, tekanan darah dianggap
tinggi bila SBP di atas 130 mmHg atau DBP di atas 80 mmHg. Diagnosis sebaiknya dibuat
dengan pengukuran berulang, sekitar 2-3 kunjungan dengan interval 1-4 minggu. Diagnosis
hipertensi dapat dibuat pada satu kunjungan, jika tekanan darah 180/110 mmHg atau lebih
dan ada bukti penyakit kardiovaskular (CVD) seperti sindrom koroner akut. Apabila
memungkinkan, diagnosis hipertensi sebaiknya dikonfirmasi dengan pengukuran out of
office, misalnya dengan teknik pengukuran tekanan darah ambulatori.
Penatalaksanaan hipertensi dilakukan dengan modifikasi gaya hidup dan farmakoterapi.
Tujuan penatalaksanaan adalah menurunkan tekanan darah, mencegah perkembangan
penyakit kardiovaskuler, menurunkan mortalitas, serta menjaga kualitas hidup pasien.
Modifikasi gaya hidup melibatkan modifikasi diet, peningkatan aktivitas fisik, penurunan
berat badan pada pasien obesitas atau overweight, serta berhenti merokok.
Pemilihan obat antihipertensi bergantung pada komorbiditas yang dimiliki, tolerabilitas, dan
juga mempertimbangkan preferensi pasien. Secara umum, antihipertensi lini pertama
adalah calcium channel blocker (CCB) seperti amlodipine, ACE
inhibitor seperti captopril, angiotensin receptor blocker (ARB) seperti valsartan, dan diuretik
seperti hydrochlorothiazide.[1,2,6-8]

Patofisiologi hipertensi melibatkan peningkatan tekanan darah, yang jika terjadi secara kronis
akan menyebabkan kerusakan target organ. Peningkatan tekanan darah dapat terjadi akibat
abnormalitas pada resistensi perifer ataupun cardiac output. Patofisiologi hipertensi juga
melibatkan sistem renin-angiotensin-aldosteron.

Peran Ginjal dan Volume Cairan Tubuh


Ginjal memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan darah. Ginjal memproduksi dan
meregulasi renin yang merangsang angiotensin I-converting enzyme (ACE) untuk
membentuk angiotensin II dari angiotensin I yang disebut juga sebagai renin-angiotensin
system (RAS).
Angiotensin II merupakan peptida vasoaktif yang berperan dalam konstriksi pembuluh darah,
sehingga peningkatannya akan meningkatkan tekanan darah. Selain itu, ginjal juga berperan
dalam mengatur diuresis dan natriuresis, di mana kegagalan fungsi ini menyebabkan
peningkatan volume cairan dan kadar natrium darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan
darah.

Ginjal juga memiliki persarafan aferen yang dapat mengirimkan sinyal ke sistem saraf pusat,
sehingga terjadi refleks yang merangsang peningkatan tonus sistem saraf eferen dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah.[1,3-5]

Peran Vaskulatur
Mekanisme vaskular, termasuk ukuran, reaktivitas, dan elastisitas pembuluh darah juga
memainkan peran penting dalam terjadinya hipertensi. Hipertensi sering dikaitkan dengan
vasokonstriksi yang dapat disebabkan oleh peningkatan hormon vasokonstriktor, seperti
angiotensin II, katekolamin, dan vasopresin. Selain itu, gangguan vasodilatasi juga dapat
berperan dalam terjadinya hipertensi.

Hipertensi juga dapat disebabkan oleh adanya gangguan anatomis pada vaskular, seperti
kakunya arteri besar, sehingga tidak terjadi distensi saat sistol dan recoil saat diastol.[1,3-5]

Peran Sistem Saraf Pusat


Sistem saraf pusat berperan dalam patofisiologi hipertensi melalui aktivitas simpatetik akibat
sinyal saraf aferen. Aktivitas simpatetik yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,
antara lain peningkatan vasokonstriksi dan remodelling vaskular, produksi renin oleh ginjal,
dan peningkatan resorpsi natrium oleh ginjal.
Pada orang dengan obesitas, saraf aferen dari jaringan adiposa yang dirangsang oleh diet
tinggi lemak mengirimkan sinyal refleks untuk meningkatkan tekanan darah dan resistensi
insulin.[1,3-5]

Peran Endokrin
Selain angiotensin II, aldosteron juga memiliki peran dalam terjadinya hipertensi.
Keberadaan angiotensin II menyebabkan pelepasan aldosteron oleh kelenjar adrenal.
Aldosteron diketahui meningkatkan resorpsi natrium oleh ginjal dan menurunkan diuresis.

Peran Mekanisme Imun


Pada orang dengan hipertensi, sel inflamasi diketahui terakumulasi di ginjal dan pembuluh
darah. Sel inflamasi dapat memproduksi sitokin, termasuk interleukin, spesies oksigen
reaktif, dan metaloproteinase yang ikut mengatur fungsi dan struktur ginjal dan vaskular.
Namun, penyebab aktivasi sel inflamasi ini masih belum diketahui, di mana diduga sel
inflamasi aktif akibat adanya aktivasi endotel pembuluh darah..[1,3-5]

Peran Genetik
Genetik diduga kuat berperan penting dalam patofisiologi hipertensi. Kasus hipertensi yang
diturunkan dalam keluarga cukup umum ditemukan. Namun, hingga saat ini, beberapa mutasi
genetik gen tunggal yang dicurigai menyebabkan hipertensi belum dapat menjelaskan
fenomena hipertensi yang diturunkan dalam keluarga.[1,3-5]

Berdasarkan etiologi, hipertensi dapat dibagi menjadi hipertensi esensial dan hipertensi
sekunder. Faktor risiko hipertensi dapat berupa faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi,
seperti usia dan jenis kelamin, serta faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti berat badan.

Hipertensi Esensial
Hipertensi esensial merupakan jenis hipertensi yang paling banyak terjadi. Penyebab
hipertensi esensial tidak diketahui atau idiopatik.[1-3,9]

Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang penyebabnya diketahui. Hipertensi sekunder
meliputi sekitar 5–10% kasus hipertensi. Contoh etiologi hipertensi sekunder adalah penyakit
ginjal kronik, hipertiroid, kehamilan, dan obat seperti ibuprofen dan naproxen. Etiologi
hipertensi sekunder selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 1.[2,3,9-11]

Tabel 1. Etiologi Hipertensi Sekunder


Sistem organ Etiologi

Penyakit parenkim ginjal: penyakit ginjal kronik, penyakit ginjal polikistik

Penyakit renovaskuler: stenosis arteri ginjal, displasia fibromuskular


Renal
Endokrin Aldosteronisme primer

Sindrom Cushing

Hipertiroid

Hipotiroid
Hiperparatiroid
Pheochromocytoma
Akromegali

Hiperplasia adrenal kongenital

Vaskuler Koarktasio aorta

Obstructive sleep apnea


Kehamilan

Skleroderma
Obat:

● Obat antiinflamasi nonsteroid: ibuprofen, naproxen

● Dekongestan: pseudoefedrin

● Antidepresan: venlafaxine, bupropion, and desipramine


● Hormon: pil kontrasepsi

● Kafein

● Antibodi monoklonal: bevacizumab, gefitinib, imatinib , pazopanib,


ramucirumab

● Imunosupresan: siklosporin, tacrolimus

● Stimulan: methylphenidate

● Narkoba: amfetamin, kokain, ekstasi


Lainnya

Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya hipertensi dapat terbagi menjadi dua, yaitu faktor yang tidak dapat
dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi.

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, antara lain:


 Jenis kelamin laki-laki
 Usia ≥55 tahun pada laki-laki, serta ≥65 tahun pada perempuan
 Riwayat penyakit kardiovaskuler pada kerabat tingkat pertama
 Riwayat hipertensi pada keluarga
 Menopause[1,2,9,10,12,13]

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara lain:


 Merokok atau riwayat pernah merokok
 Dislipidemia
 Gula darah puasa 102–125 mg/dL
 Hiperurisemia
 Obesitas: indeks massa tubuh ≥30 kg/m2 atau lingkar perut ≥102 cm pada laki-laki
dan ≥88 cm pada perempuan
 Denyut jantung >80 kali per menit saat istirahat
 Gaya hidup kurang bergerak (sedentary lifestyle)[1,2,9,10,12,13]
Epidemiologi hipertensi secara global diperkirakan mencapai 45% dari populasi dewasa. Di
Indonesia sendiri, 34,11% populasi dewasa mengalami hipertensi.

Global
Secara global, diperkirakan lebih dari 1 miliar orang mengalami peningkatan tekanan darah
yang masuk kriteria hipertensi. Prevalensi hipertensi yang tinggi ini konsisten pada seluruh
golongan sosioekonomi, dengan prevalensi yang meningkat seiring pertambahan usia. Angka
prevalensi hipertensi dapat mencapai 60% pada populasi dengan usia lebih dari 60 tahun.
Diperkirakan jumlah pasien dengan hipertensi dalam skala global akan meningkat sekitar 15-
20% hingga mencapai 1,5 miliar pada tahun 2025.[1,3,10,14]

Indonesia
Berdasarkan Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018 terhadap 658.201 subjek
penelitian dari seluruh provinsi di Indonesia, prevalensi hipertensi menurut diagnosis dokter
pada populasi dewasa berada pada angka 8,36%. Angka ini terlampau jauh dari prevalensi
hipertensi berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah yang berada pada angka 34,11%.
Data tersebut menunjukkan tingginya prevalensi hipertensi yang belum terdeteksi di
masyarakat Indonesia. Selain itu, kepatuhan minum obat secara rutin pada subjek yang telah
didiagnosis hipertensi hanya berada pada 54,40%.[15]

Mortalitas
Hipertensi tidak langsung menjadi penyebab kematian pada penderitanya, melainkan menjadi
faktor yang sangat penting dalam peningkatan kejadian penyakit kardio-serebrovaskular. Hal
ini menyebabkan mortalitas hipertensi secara global menjadi sangat tinggi, di mana tekanan
darah sistolik ≥140 mmHg dikaitkan dengan 14,0% dari seluruh kematian di dunia. Tekanan
darah sistolik ≥140 mmHg juga dikaitkan dengan 40,1% mortalitas akibat penyakit jantung
iskemik, 38,1% mortalitas akibat stroke iskemik, dan 42,5% mortalitas akibat stroke
hemoragik.[1,3,9]
Diagnosis hipertensi ditegakkan jika terdapat peningkatan tekanan darah dari ambang
normalnya. Hipertensi umumnya didefinisikan sebagai tekanan sistolik (SBP) di atas 130
mmHg atau tekanan darah diastolik (DBP) di atas 80 mmHg pada pasien dewasa. Pengukuran
tekanan darah oleh petugas kesehatan sebaiknya dilakukan berulang pada 2-3 kunjungan
dengan interval 1-4 minggu. Selain itu, apabila memungkinkan dapat dilakukan
pengukutan out of office, seperti pengukuran dengan teknik ambulatori, yang dapat
membantu mengeksklusi white coat hypertension.

Anamnesis
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala apapun. Pada kasus hipertensi
esensial, hipertensi bersifat idiopatik atau tidak terdapat penyebab dasar yang bisa
diidentifikasi. Pada kasus hipertensi sekunder, dokter perlu mengidentifikasi keluhan-keluhan
untuk mengetahui penyebab hipertensi, misalnya penyakit ginjal kronik atau hipertiroid.

Gejala
Sebagian besar pasien tidak bergejala. Jika bergela, gejala yang sering dikeluhkan pasien
adalah nyeri kepala. Gejala yang dialami terkait komplikasi hipertensi antara lain fatigue,
sesak napas saat beraktivitas, kaki bengkak, kelemahan tubuh satu sisi, dan penglihatan
buram. Komplikasi dari hipertensi dapat berupa kejadian kardio-serebrovaskular,
seperti gagal jantung kongestif dan stroke.

Riwayat Kejadian Kardiovaskular


Tanyakan kepada pasien apakah sebelumnya sudah didiagnosis hipertensi. Selain itu
tanyakan riwayat penyakit kardiovaskular sebelumnya yakni sindrom koroner akut, gagal
jantung, penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer, sleep apnea, stroke, transient ischemic
attack (TIA), ataupun dementia.

Faktor Risiko
Faktor risiko juga perlu ditanyakan untuk menilai risiko komplikasi penyakit kardiovaskular
serta perencanaan terapi. Hal yang perlu ditanyakan yakni komorbiditas terkait risiko
penyakit kardiovaskular seperti diabetes, dislipidemia, serta gaya hidup seperti inaktivitas
fisik, kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol.

Riwayat Konsumsi Obat


Hal ini perlu ditanyakan untuk penyesuaian jenis dan dosis antihipertensi pada pasien yang
sudah sering berobat untuk masalah hipertensi. Selain itu, dokter juga perlu mengevaluasi
penggunaa obat yang memiliki efek memicu kenaikan tekanan darah, misalnya pil
kontrasepsi, pseufoephedrine, serta narkoba seperti kokain dan ekstasi.[1-3,6-10]

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik utama yang dilakukan adalah pemeriksaan tekanan darah. Selain itu, dapat
dilakukan pemeriksaan fisik yang mengevaluasi target organ untuk mengetahui adanya
penyebab sekunder atau kemungkinan komplikasi
Pengukuran Tekanan Darah

Pemeriksaan tekanan darah sendiri sebaiknya tidak dilakukan hanya satu kali, melainkan 2-3
kali pemeriksaan dalam jarak pemeriksaan 1–4 minggu di fasilitas pelayanan kesehatan.
Selain itu, pemeriksaan tekanan darah mandiri di rumah atau home blood pressure
measurement (HBPM) maupun pengukuran tekanan darah selama 24 jam atau 24-hour
ambulatory blood pressure (ABPM) perlu dilakukan, terutama bila nilai tekanan darah
dicurigai berubah saat bertemu dengan tenaga kesehatan (white coat
hypertension). Spigmomanometer yang digunakan juga merupakan jenis aneroid atau digital
yang telah dikalibrasi tiap 6–12 bulan. Pasien dapat diminta istirahat 10-30 menit untuk
mencegah bias hasil pemeriksaan. Adapun kategori tekanan darah dapat dilihat pada Tabel 2
dan Tabel 3.[1-3,6-10]

Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah di Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <130 dan <85
Normal-tinggi 130 - 139 dan/atau 85 – 89
Hipertensi derajat 1 140 - 159 dan/atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2 ≥160 dan/atau ≥100

Tabel 3. Kriteria Hipertensi pada Metode Pengukuran yang Berbeda


Metode pengukuran Sistolik/diastolik (mmHg)
Pada fasilitas pelayanan kesehatan ≥140 dan/atau ≥90
Pengukuran tekanan darah ambulatori
● Rerata 24 jam ≥130 dan/atau ≥80
● Rerata saat terjaga/pagi-siang hari ≥135 dan/atau ≥85
● Rerata saat tidur/malam hari ≥120 dan/atau ≥70
Pengukuran tekanan darah mandiri di rumah ≥135 dan/atau ≥85
Perhatian Khusus dalam Pengukuran Tekanan Darah:

Saat dilakukan pengukuran tekanan darah, posisi pasien sebaiknya duduk dengan posisi
lengan setinggi jantung, punggung bersandar serta tungkai tidak menyilang. Posisi yang tidak
sesuai terbukti memberikan hasil pengukuran yang lebih tinggi. Pasien sebaiknya tidak
berbicara saat dilakukan pengukuran. Pengukuran juga dilakukan minimal setelah 5 menit
pasien duduk. Setelah posisi tepat, lakukan pengukuran tekanan darah.
Pompa manset tensimeter hingga pulsasi arteri radialis menghilang. Lanjutkan pompa
tensimeter hingga 30 mmHg di atas sistolik (di atas batas nilai saat pulsasi menghilang).
Letakan stetoskop pada area arteri brakialis dengan penekanan ringan. Kempeskan manset
tensi perlahan dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per denyut nadi. SBP ditandai dengan
Korotkoff fase I (bunyi pulsasi yang terdengar pertama kali). Bunyi pulsasi akan perlahan
menghilang. Bunyi terakhir yang terdengar atau dikenal dengan Korotkoff fase V merupakan
DBP.[1-3,6-10]

Pemeriksaan Fisik Lainnya


Pemeriksaan antropometri sebaiknya dilakukan pada semua pasien. Perhitungan indeks massa
tubuh (IMT) diperlukan untuk pemantauan berat badan. Obesitas terbukti merupakan faktor
risiko hipertensi. Selain tinggi dan berat badan, ukur juga lingkar pinggang pasien.
Selain antropometri, perlu dilakukan evaluasi terkait komplikasi hipertensi :

 Pemeriksaan neurologis lengkap harus dilakukan jika secara klinis terdapat gejala
stroke

 Pemeriksaan mata: Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan pada fundus okuli.


Selain itu cek ada tidaknya xanthoma sebagai tanda gangguan metabolisme lipid

 Tanda kongesti: Pada pasien gagal jantung dapat ditemukan tanda kongesti seperti
peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah halus, hepatomegali dan pitting
edema. Pembesaran ventrikel kiri dapat dicurigai jika apeks teraba bergeser ke lateral
saat palpasi
 Pulsasi: Penyakit arteri perifer dapat ditandai dengan melemah bahkan hilangnya
pulsasi perifer[1-3,6-10]

Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan pada pasien dengan hipetensi sekunder
adalah hiperaldosteronisme, koarktasio aorta, stenosis arteri renal, dan penyakit gunjal kronis.

Hiperaldosteronisme
Hiperaldosteronisme adalah penyakit di mana kelenjar adrenal (s) membuat terlalu banyak
aldosteron yang menyebabkan hipertensi (tekanan darah tinggi) dan kadar kalium darah
rendah.

Koarktasio Aorta
Koarktasio aorta dapat menimbulkan tekanan darah tinggi. Koarktasio aorta adalah
penyempitan aorta yang menyebabkan jantung harus memompa lebih keras untuk membuat
darah dapat melewati aorta. Koarktasio aorta umumnya timbul sebagai cacat jantung bawaan.
Kondisi ini mungkin tidak terdeteksi sampai dewasa.

Stenosis Arteri Renal


Stenosis arteri renal adalah penyempitan salah satu atau kedua arteri ginjal. Kondisi ini
merupakan salah satu penyebab utama hipertensi.

Penyakit Ginjal Kronis


Hipertensi merupakan penyebab dan akibat dari penyakit ginjal kronis (PGK) dan
mempengaruhi sebagian besar pasien PGK. Pemeriksaan laboratorium urine dan fungsi ginjal
dapat mendeteksi adanya PGK.[1]
Jenis Hipertensi

Terdapat berbagai jenis diagnosis hipertensi menurut etiologi, hasil tekanan darah, maupun
kondisi yang mempengaruhi, antara lain:

 Hipertensi esensial: Hipertensi dengan etiologi idiopatik


 Hipertensi sekunder: Hipertensi yang diketahui penyebabnya, misalnya akibat
konsumsi obat tertentu, gangguan fungsi ginjal, atau hipertiroid
 Hipertensi resisten: Hipertensi yang tidak dapat diobati hingga mencapai target
tekanan darah <140/90 mmHg meskipun telah mendapatkan 3 antihipertensi berbeda
golongan serta menjalani rekomendasi perubahan gaya hidup
 Krisis hipertensi: Hipertensi dengan tekanan darah sistolik ≥180 mmHg atau diastolik
≥110 mmHg, dapat disertai dengan hypertension-mediated organ damage (hipertensi
emergensi) maupun tanpa hypertension-mediated organ damage (hipertensi urgensi)
 Hipertensi jas putih (white coat hypertension): Hipertensi dengan tekanan darah tinggi
saat diperiksa di fasilitas pelayanan kesehatan, namun hasil pengukuran dengan
metode HBPM atau ABPM menunjukkan hasil tekanan darah normal
 Hipertensi terselubung (masked hypertension): Hipertensi dengan tekanan darah
normal saat diperiksa di fasilitas pelayanan kesehatan, namun hasil pengukuran
dengan metode HBPM atau ABPM menunjukkan hasil hipertensi[1-3,6-10]

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan pada pasien dengan hipertensi sebagai
penapisan terhadap end-organ damage.
Pemeriksaan Penunjang Dasar

Pemeriksaan penunjang dasar rutin yang perlu segera dilakukan, antara lain:
 Pemeriksaan laboratorium: Fungsi ginjal dengan elektrolit dan perhitungan laju
filtrasi glomerulus (estimated glomerular filtration rate), profil lipid, dan gula darah
puasa
 Pemeriksaan dipstick urine
 Elektrokardiografi 12-lead[1-3,6-10]

Pemeriksaan Penunjang pada Kecurigaan Hypertension-Mediated Organ Damage


Bila terdapat kecurigaan kuat terjadinya hypertension-mediated organ damage, perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan. Pemeriksaan pencitraan yang mungkin
diperlukan antara lain echocardiography, carotid ultrasound, pencitraan renovaskuler
dengan ultrasound maupun angiografi dengan computed tomography (CT) atau magnetic
resonance imaging (MRI), funduskopi, dan CT scan atau MRI kepala.

Pemilihan pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi. Echocardiography dapat


bermanfaat pada pasien yang dicurigai mengalami iskemia atau gagal jantung. CT scan dan
MRI kepala bermanfaat pada kecurigaan TIA atau stroke. Doppler perifer dapat digunakan
untuk melihat struktur pembuluh darah, misalnya pada deep vein thrombosis dan penyakit
arteri perifer. USG ginjal digunakan untuk melihat adanya kelainan pada ginjal,
misalnya batu ginjal atau kista ginjal.[1-3,6-10]

Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah, mencegah


perkembangan penyakit kardiovaskuler, menurunkan mortalitas, serta menjaga kualitas hidup
pasien. Penatalaksanaan mencakup modifikasi gaya hidup dan pemberian medikamentosa.

Modifikasi Gaya Hidup


Modifikasi gaya hidup harus menjadi terapi lini pertama dalam penatalaksanaan hipertensi.
Modifikasi gaya hidup juga dapat meningkatkan efikasi medikamentosa yang dikonsumsi
oleh pasien.

Pemberian terapi farmakologi dapat ditunda pada pasien hipertensi derajat 1 dengan risiko
komplikasi penyakit kardiovaskular rendah. Jika dalam 4-6 bulan tekanan darah belum
mencapai target atau terdapat faktor risiko penyakit kardiovaskular lainnya maka pemberian
medikamentosa sebaiknya dimulai.

Penurunan Berat Badan


Penurunan berat badan akan bermanfaat pada pasien
dengan obesitas atau overweight. Penurunan berat badan dilakukan perlahan hingga
mencapai berat badan ideal dengan cara terapi nutrisi medis dan peningkatan aktivitas
fisik dengan latihan jasmani.
Modifikasi Diet
Diet tinggi garam akan meningkatkan retensi cairan tubuh. Asupan garam sebaiknya tidak
melebihi 2 gr/ hari.
Diet DASH merupakan salah satu diet yang direkomendasikan pada pasien hipertensi. Diet
ini pada intinya mengandung makanan kaya sayur dan buah, serta produk rendah lemak.
Makanan yang dihindari yakni jeroan, daging kambing, makanan yang diolah menggunakan
garam natrium, makanan dan minuman dalam kemasan, makanan yang diawetkan, mentega
dan keju. Pasien juga dianjurkan menghindari konsumsi bumbu-bumbu tertentu (kecap asin,
terasi, petis, saus tomat, saus sambal, tauco dan bumbu penyedap lain), serta makanan dan
minuman yang mengandung alkohol.

Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik reguler telah dilaporkan membantu penurunan tekanan darah, terutama pada
kasus hipertensi resisten. Rekomendasi terkait olahraga yakni olahraga aerobik dan latihan
resistensi secara teratur sebanyak 30 menit/hari pada 3-5 hari/minggu.

Modifikasi Gaya Hidup Lain


Minta pasien mengurangi konsumsi alkohol. Pembatasan konsumsi alkohol tidak lebih dari 2
gelas per hari pada pria atau 1,5 gelas per hari pada wanita dapat menurunkan tekanan darah.
Penderita hipertensi juga dianjurkan untuk berhenti merokok demi menurunkan risiko
komplikasi penyakit kardiovaskular. Selain itu diperlukan manajemen stres yang baik karena
stres diketahui dapat meningkatkan tekanan darah.[1-3,6-10]

Medikamentosa
Terapi medikamentosa perlu segera dimulai pada hipertensi derajat 1 dengan risiko tinggi
maupun dengan riwayat penyakit komorbid seperti stroke, penyakit ginjal kronik, diabetes
mellitus, dan hypertension-mediated organ damage dan. Farmakoterapi juga dilakukan pada
setiap kasus hipertensi derajat 2.
Pada hipertensi derajat 1 dengan risiko rendah-sedang dan tanpa disertai komorbiditas, terapi
medikamentosa dimulai setelah 3–6 bulan modifikasi gaya hidup tidak menyebabkan tekanan
darah terkontrol. Target reduksi tekanan darah setidaknya 20/10 mmHg dalam 3 bulan, tetapi
sebaiknya hingga <140/90 mmHg. Bila memungkinkan, target tekanan darah dilakukan
berdasarkan usia, yaitu:
 <65 tahun: Target tekanan darah <130/80 mmHg bila dapat ditoleransi
 ≥65 tahun: Target tekanan darah <140/90 mmHg bila dapat ditoleransi[1-3,6-10]

4 Langkah Strategi Penatalaksanaan Hipertensi


Secara garis besar, pemberian obat sebagai bagian dari penatalaksanaan hipertensi terbagi
menjadi 4 langkah berdasarkan respon terapi pasien.
Langkah Pertama:
Langkah pertama adalah penggunaan kombinasi ganda ACE-inhibitor atau Angiotensin
Receptor Blocker (ARB) bersama Dihydropyridine - Calcium Channel Blocker (DHP-CCB).
Gunakan obat non-DHP-CCB bila DHP-CCB tidak tersedia atau tidak dapat ditoleransi.
Pengobatan dimulai dengan dosis rendah. Pertimbangkan monoterapi pada pasien usia ≥80
tahun atau ringkih dengan hipertensi derajat 1 risiko rendah.[1-3,6-10]

Langkah Kedua:
Langkah kedua adalah penggunaan kombinasi ganda ACE-inhibitor atau ARB bersama DHP-
CCB dosis penuh.

Langkah Ketiga:
Langkah ketiga adalah kombinasi tripel ACE-inhibitor atau ARB, DHP-CCB, dan
diuretik thiazide-like. Diuretik dapat diganti menjadi thiazide bila diuretik thiazide-like tidak
tersedia.

Langkah Keempat:
Langkah keempat adalah kombinasi tripel ACE-inhibitor atau ARB, DHP-CCB, dan
diuretik thiazide-like disertai spironolactone atau obat lain (termasuk beta bloker) pada
hipertensi resisten.

Catatan Khusus:
Pertimbangkan pemberian beta-bloker pada setiap langkah bila ada indikasi khusus,
seperti gagal jantung, angina, post infark miokard, atrial fibrilasi, atau wanita muda yang
sedang hamil atau merencanakan kehamilan.[1-3,6-10]

Pilihan Obat Hipertensi


Adapun pilihan obat hipertensi berdasarkan kelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah.
Contoh dari ACE inhibitor adalah captopril, sedangkan contoh angiotensin receptor
blocker (ARB) adalah valsartan. Contoh dihydropyridine calcium channel blocker (DHP-
CCB) adalah amlodipine dan aliskiren. Contoh non-DHP-CCB
adalah diltiazem dan verapamil.
Contoh diuretik thiazide-like adalah indapamide dan metolazone, sedangkan contoh diuretik
thiazide adalah hydrochlorothiazide.
Contoh beta bloker adalah atenolol dan bisoprolol. Sementara itu, spironolactone merupakan
diuretik antagonis aldosteron.

Kelas Obat Dosis (mg/hari) Frekuensi per hari


Hydrochlorothiazide 25 - 50 1
Thiazide atau
diuretik thiazide-like Indapamide 1,25 – 2,5 1
Captopril 12,5 - 150 2 atau 3
Enalapril 5 – 40 1 atau 2
Lisinopril 10 – 40 1
Perindopril 5 – 10 1
ACE inhibitor Ramipril 2,5 - 10 1 atau 2
Candesartan 8 – 32 1
Eprosartan 600 1
Irbesartan 150 – 300 1
Losartan 50 – 100 1 atau 2
Olmesartan 20 – 40 1
Telmisartan 20 – 80 1
Angiotensin receptor
blocker (ARB) Valsartan 80 – 320 1
Amlodipine 2,5 – 10 1
Felodipine 5 – 10 1
Dihydropyridine calcium
Nifedipine 30 – 90 1
channel blocker (DHP-
CCB) Lercandipine 10 – 20 1
Diltiazem SR 180 – 360 2
Diltiazem CD 100 – 200 1
Non-DHP-CCB Verapamil SR 120 – 480 1 atau 2
Spironolactone 25 – 100 1
Diuretik antagonis
aldosteron Eplerenone 50 – 100 1 atau 2
Nebivolol 5 - 40 1
Atenolol 25 - 100 1 atau 2
Bisoprolol 2,5 – 10 1
Beta bloker -
kardioselektif Metoprolol tartrate 100 – 400 2
Propanolol IR 160 - 480 2
Beta bloker – non
kardiosekeltif Propanolol LA 80 - 320 1

Evaluasi Kepatuhan Terapi


Evaluasi kepatuhan terhadap pengobatan hipertensi pada setiap kunjungan dan sebelum
eskalasi pengobatan. Untuk meningkatkan kepatuhan terapi, langkah berikut dapat coba
dilakukan:
 Mengurangi polifarmasi dengan penggunaan kombinasi pil tunggal
 Dosis sekali sehari dibandingkan beberapa kali dosis per hari
 Menghubungkan perilaku kepatuhan dengan kebiasaan sehari-hari, misalnya
konsumsi obat segera setelah makan atau sebelum tidur
 Lakukan pemantauan tekanan darah mandiri di rumah
 Gunakan aplikasi pintar pengingat obat, misalnya aplikasi ponsel atau layanan pesan
singkat[2]

Penanganan Hipertensi Resisten


Hipertensi resisten didefinisikan sebagai tekanan darah di atas140/90 mm Hg pada pasien
yang telah mendapat terapi dengan tiga atau lebih obat antihipertensi pada dosis optimal atau
yang dapat ditoleransi, termasuk diuretik. Hipertensi resisten mempengaruhi sekitar 10%
pasien hipertensi, serta meningkatkan risiko kerusakan organ target.

Dalam melakukan penatalaksanaan hipertensi resisten, dokter perlu menyingkirkan terlebih


dulu pseudoresistensi, misalnya akibat white coat hypertension atau kepatuhan terapi yang
buruk. Selanjutnya, perlu dilakukan skrining terhadap penyebab sekunder hipertensi.
Lakukan optimalisasi terapi yang sudah dijalani, serta dapat ditambahkan agen ke-4 berupa
spironolactone dosis rendah. Jika spironolactone tidak dapat diberikan, pilihan terapi
alternatif adalah amilorid, doxazosin, eplerenone, dan clonidine.[2]

Penanganan Hipertensi Sekunder


Pertimbangkan skrining untuk hipertensi sekunder pada:
 Pasien dengan hipertensi onset dini (<30 tahun) khususnya jika pasien tidak memiliki
faktor risiko hipertensi, seperti obesitas, sindrom metabolik, atau riwayat keluarga
 Pasien dengan hipertensi resisten
 Pasien dengan penurunan mendadak dalam kontrol tekanan darah
 Hipertensi urgensi dan emergensi
 Pasien yang memiliki kemungkinan tinggi hipertensi sekunder berdasarkan analisis
klinis.
Skrining dasar untuk hipertensi sekunder harus mencakup penilaian menyeluruh dari riwayat
klinis, pemeriksaan fisik, elektrolit, fungsi ginjal, fungsi tiroid, dan analisis urine dipstick.
Pada pasien dengan hipertensi sekunder, lakukan rujukan pada spesialis terkait dan lakukan
penanganan multidisiplin.[2]

Penanganan Hipertensi dalam Kehamilan


Hipertensi dalam kehamilan mempengaruhi 5-10% kehamilan di seluruh dunia. Adanya
hipertensi pada kehamilan akan meningkatkan risiko ibu berupa solusio plasenta, stroke,
kegagalan organ multipel, dan koagulasi vaskular diseminata. Pada janin, hipertensi akan
meningkatkan risiko retardasi pertumbuhan intrauterine, kelahiran prematur, dan kematian
intrauterine. Penanganan hipertensi dalam kehamilan dibahas dalam artikel terpisah.[2]

Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner


Pasien hipertensi dengan komorbid penyakit jantung koroner mengalami peningkatan
risiko infark miokard akut. Penanganan mirip dengan pasien hipertensi pada umumnya,
meliputi modifikasi gaya hidup dan farmakoterapi. Obat antihipertensi yang
direkomendasikan adalah beta bloker dengan atau tanpa CCB.
Selain itu, pasien juga memerlukan obat antidislipidemia dengan target penurunan kolesterol-
LDL hingga di bawah 55 mg/dl. Pasien juga direkomendasikan mendapat aspirin.[2]

Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Stroke


Hipertensi meningkatkan risiko serangan stroke dan rekurensi stroke. Kontrol tekanan darah
dapat mencegah kejadian stroke. Obat antihipertensi yang disarankan mencakup ACE
inhibitor, ARB, CCB, dan diuretik.
Pasien juga perlu mendapat obat antidislipidemia dengan target kolesterol-LDL di bawah 70
mg/dl. Antiplatelet, seperti aspirin, mungkin diperlukan pada pasien dengan riwayat stroke
iskemik. Pemberian antiplatelet perlu berhati-hati pada pasien dengan riwayat stroke
hemoragik.[2]

Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Gagal Jantung


Hipertensi merupakan faktor risiko gagal jantung kongestif. Penurunan tekanan darah akan
bermanfaat menurunkan risiko gagal jantung dan keperluan rawat inap pada pasien gagal
jantung.
Obat antihipertensi yang disarankan adalah ACE inhibitor, ARB, dan anatagonis reseptor
mineralokortikoid seperti spironolactone. Penggunaan dilaporkan bermanfaat pada pasien
dengan penurunan fraksi ejeksi.[2]

Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis


Hipertensi merupakan faktor risiko dan dapat memperburuk fungsi ginjal pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis. ACE inhibitor dan ARB direkomendasikan sebagai lini pertama
karena dapat menurunkan albuminusia. CCB dan loop diuretic dapat ditambahkan jika perlu.
Laju filtrasi glomerulus, mikroalbuminuria, dan kadar elektrolit perlu dipantau.[2]

Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis


Hipertensi merupakan komorbiditas tersering pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronis. Antihipertensi yang disarankan adalah ARB dan CCB dengan atau tanpa diuretik.[2]
Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Diabetes
Antihipertensi yang disarankan pada pasien diabetes adalah ACE inhibitor atau ARB, CCB,
dengan atau tanpa diuretik. Pemberian statin, seperti atorvastatin, disarankan sebagai
profilaksis primer jika kadar kolesterol LDL melebihi 100 mg/dl pada diabetes tanpa
komplikasi target organ atau di atas 70 mg/dl jika sudah ada komplikasi.[2]

Penanganan Hipertensi pada Pasien dengan Dislipidemia


Pada pasien hipertensi dengan dislipidemia, antihipertensi yang disarankan adalah ACE
inhibitor atau ARB dengan CCB. Obat penurun kadar lipid yang disarankan adalah ezetimibe
dan PCSK9 inhibitor seperti evolocumab. Fenofibrat dapat diberikan pada pasien dengan
kadar HDL rendah atau trigliserida tinggi.[2]

Prognosis hipertensi bergantung pada seberapa baik kontrol terhadap tekanan darah.
Hipertensi memerlukan manajemen jangka panjang. Hipertensi yang tidak tekontrol akan
menyebabkan komplikasi berupa kerusakan target organ, sehingga meningkatkan morbiditas
dan mortalitas.

Komplikasi
Hipertensi dapat menyebabkan perubahan struktural atau fungsional dari pembuluh darah
arteri serta organ yang disuplai pembuluh darah tersebut. Hal ini disebut
dengan hypertension-mediated organ damage (HMOD). Organ yang sering terlibat antara
lain otak, jantung, ginjal, arteri sentral dan perifer, serta mata.
Komplikasi pada Otak

Transient ischemic attack (TIA) dan stroke merupakan komplikasi pada otak yang paling
sering ditemui akibat peningkatan tekanan darah. Perubahan subklinis awal dapat dideteksi
dengan MRI kepala, dimana dapat tampak lesi white matter, mikroinfark, perdarahan mikro,
dan atrofi otak.
Komplikasi pada Jantung

Hipertensi meningkatkan risiko gagal jantung kongestif, aritmia, dan penyakit jantung
iskemik. Pemeriksaan EKG 12 lead sebaiknya dilakukan berkala pada pasien dengan
hipertensi.
Komplikasi Ginjal

Hipertensi meningkatkan risiko gangguan fungsi ginjal, termasuk penyakit ginjal kronik.
Pemeriksaan berkala laju filtrasi glomerulus dan kadar kreatinin serum sebaiknya dilakukan
untuk memantau fungsi ginjal pada pasien hipertensi.
Komplikasi Arteri Sentral dan Perifer
Hipertensi juga meningkatkan risiko aterosklerosis, termasuk pada pembuluh besar seperti
arteri karotis, serta gangguan pada arteri perifer. Pemantauan arteri dapat dilakukan:
 Arteri karotis melalui USG karotis untuk mendeteksi beban plak aterosklerotik atau
stenosis dan ketebalan media intima
 Penilaian aorta dengan carotid-femoral pulse wave velocity (PWV) untuk mendeteksi
kekakuan arteri besar
 Arteri ekstremitas bawah dengan penilaian ankle brachial index (ABI)

Komplikasi pada Mata


Hipertensi dapat menyebabkan retinopati. Evaluasi dengan funduskopi dapat dilakukan pada
pasien hipertensi yang mengalami keluhan pada mata.[1,3,9-11]

Prognosis
Prognosis hipertensi bisa baik bila tekanan darah terkontrol dengan kepatuhan pengobatan
yang baik. Namun, pada hipertensi resisten dan kepatuhan pengobatan yang kurang,
peningkatan tekanan darah sistolik sebanyak 20 mmHg dan diastolik sebanyak 10 mmHg
dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardio-serebrovaskuler.
Kerusakan end-organ yang paling sulit dicegah terkait hipertensi adalah penyakit ginjal
kronik hingga gangguan fungsi ginjal berat yang memerlukan dialisis.[1,3,9-11]

Edukasi dan promosi kesehatan hipertensi ditekankan pada pentingnya kepatuhan terapi demi
tercapainya target tekanan darah.

Edukasi Pasien
Pada pasien hipertensi, tekankan betapa pentingnya kontrol tekanan darah. Sampaikan pada
pasien bahwa terapi dilakukan jangka panjang dengan jadwal temu yang berkala. Jelaskan
bahwa hal ini penting untuk memastikan terapi memadai dan komplikasi dapat dicegah
seoptimal mungkin. Minta kerja sama pasien dalam tata laksana dan berikan motivasi bahwa
diagnosis hipertensi tidak berarti pasien akan memiliki kualitas hidup yang buruk. Jelaskan
bahwa dengan manajemen yang adekuat, pasien memiliki kemungkinan kesintasan yang baik.

Modifikasi Gaya Hidup


Sampaikan pada pasien bahwa modifikasi gaya hidup berperan besar dalam manajemen
hipertensi. Pada pasien dengan obesitas atau overweight, sampaikan mengenai perlunya
penurunan berat badan, dimana berat diturunkan perlahan hingga mencapai berat badan ideal.
Minta pasien membatasi asupan garam agar tidak melebihi 2 gr/ hari. Sarankan pasien untuk
mengonsumsi diet yang kaya sayur dan buah, serta produk rendah lemak.
Selain itu, minta pasien meningkatkan aktivitas fisik, setidaknya 30 menit/hari sebanyak 3-5
hari/minggu. Minta pula pasien untuk mengurangi konsumsi alkohol, berhenti merokok, serta
memperbaiki manajemen stres.
Pemantauan
Pasien hipertensi memerlukan kontrol berkala. Pada awal diagnosis, minta pasien untuk
kontrol setiap bulan. Sampaikan bahwa ini bertujuan untuk evaluasi keberhasilan terapi dan
deteksi dini komplikasi. Selanjutnya, jadwal kontrol dapat disesuaikan dengan seberapa baik
kontrol tekanan darah.
Minta pasien untuk melakukan pemantauan tekanan darah secara mandiri di rumah.
Sampaikan pula bahwa akan dilakukan evaluasi berkala untuk mendeteksi kerusakan target
organ. Evaluasi umumnya mencakup EKG, laboratorium fungsi ginjal, serta funduskopi.
Pemeriksaan lain mungkin diperlukan sesuai indikasi.
Risiko Komplikasi

Sampaikan pada pasien bahwa hipertensi meningkatkan risiko penyakit kardio-


serebrovaskular, termasuk gagal jantung kongestif, aterosklerosis, transient ischemic
attack (TIA), dan stroke. Jelaskan tanda bahaya yang perlu diawasi, misalnya kelumpuhan
pada satu sisi tubuh atau adanya nyeri dada. Sampaikan pula bahwa kontrol tekanan darah
yang baik akan menurunkan risiko komplikasi tersebut.[1-3,6-10]

Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Upaya pencegahan hipertensi dapat dilakukan melalui program penyakit tidak menular
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia berupa CERDIK yang merupakan akronim dari:
 Cek kesehatan secara berkala
 Menyahkan asap rokok
 Rajin aktivitas fisik
 Diet seimbang
 Istirahat cukup
 Kelola stres[16]

Adapun upaya pengendalian hipertensi juga dapat dilakukan dengan program penyakit tidak
menular Kementerian Kesehatan Republik Indonesia berupa PATUH yang merupakan
akronim dari:
 Periksa kesehatan secara rutin dan ikuti anjuran dokter
 Atasi penyakit dengan pengobatan yang tepat dan teratur
 Tetap diet dengan gizi yang seimbang
 Upayakan aktivitas fisik dengan aman
 Hindari asap rokok, alkohol, dan zat karsinogenik[17]
Edukasi dan promosi kesehatan mengenai hipertensi dalam kehamilan dibahas dalam artikel
terpisah. Selain itu, suplementasi kalsium telah diduga bermanfaat dalam pencegahan
hipertensi.[18]
Referensi:

1. Iqbal AM, Jamal SF. Essential Hypertension. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539859/?
report=reader
2. Unger T, Borghi C, Charchar F, et al. 2020 International Society of Hypertension global
hypertension practice guidelines. Hypertension. 2020 Jun;75(6):1334-57.
3. Oparil S, Acelajado MC, Bakris GL, et al. Hypertension. Nat Rev Dis Primers.
2018;4:18014.
4. Harrison DG, Coffman TM, Wilcox CS. Pathophysiology of hypertension: the mosaic
theory and beyond. Circulation Research. 2021 Apr 2;128(7):847-63.
5. Saxena T, Ali AO, Saxena M. Pathophysiology of essential hypertension: an update.
Expert review of cardiovascular therapy. 2018 Dec 2;16(12):879-87.
6. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, et al. 2017
ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA guideline for the
prevention, detection, evaluation, and management of high blood pressure in adults: a report
of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical
Practice Guidelines. Journal of the American College of Cardiology. 2018 May
15;71(19):e127-248.
7. Williams B, Mancia G, Spiering W, et al. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management
of arterial hypertension: The Task Force for the management of arterial hypertension of the
European Society of Cardiology (ESC) and the European Society of Hypertension (ESH).
European heart journal. 2018 Sep 1;39(33):3021-104.
8. Lukito AA, Harmeiwaty E, Hustrini NM. Konsensus penatalaksanaan hipertensi 2019.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. 2019:7-8.
9. Jordan J, Kurschat C, Reuter H. Arterial hypertension: diagnosis and treatment. Deutsches
Ärzteblatt International. 2018 Aug;115(33-34):557.
10. Hegde S, Aeddula NR. Secondary Hypertension. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544305/
11. Charles L, Triscott J, Dobbs B. Secondary hypertension: discovering the underlying
cause. American family physician. 2017 Oct 1;96(7):453-61.
12. Pinto IC, Martins D. Prevalence and risk factors of arterial hypertension: A literature
review. Journal of Cardiovascular Medicine and Therapeutics. 2017;1(2):1-7.
13. Singh S, Shankar R, Singh GP. Prevalence and associated risk factors of hypertension: a
cross-sectional study in urban Varanasi. International journal of hypertension. 2017
Oct;2017.
14. Mills KT, Stefanescu A, He J. The global epidemiology of hypertension. Nature Reviews
Nephrology. 2020 Apr;16(4):223-37.
15. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Laporan
nasional RISKESDAS 2018. Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. 2019.
16. Direktorat Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Cegah Hipertensi
dengan CERDIK. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019.
http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/hipertensi-penyakit-jantung-dan-pembuluh-
darah/cegah-hipertensi-dengan-cerdik
17. Direktorat Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Kendalikan
Hipertensi dengan PATUH. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018.
http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/hipertensi-penyakit-jantung-dan-pembuluh-
darah/page/9/kendalikan-hipertensi-dengan-patuh
18. Cormick G, Ciapponi A, et al. Calcium supplementation for prevention of primary
hypertension. Cochrane Database of Systematic Reviews 2022, Issue 1. Art. No.: CD010037.
DOI: 10.1002/14651858.CD010037.pub4

Anda mungkin juga menyukai