Anda di halaman 1dari 4

Menyibak Tarekat Malamatiyah dari Lubuk Peradaban

Kehadiran Malamatiyah di Nusantara memang seperti bayangan: ada tapi tak jelas bentuk rupanya.
Gus Muwafiq, seorang da’i populer di Jawa, pernah bercerita bahwa tarekat Malamatiyah adalah
sejenis tarekat yang paling awal memasuki tanah Jawa, baru disusul tarekat Akmaliyah. Banyak
cerita atau jejak yang bisa dikenali yang menunjukkan pengaruh tarekat ini.

Dalam buku Tarekat dan Etika Malamatiyah ini, Nur Kholik Ridwan berupaya menyibak Malamatiyah
dari persembunyiannya untuk dihadirkan. Nur Kholik mengambil karya Syekh Abu Abdurrahman al-
Sulami (937-1021 M) yang berjudul Risalah ‘an Malamatiyah, suatu kitab induk yang dianggap “satu-
satunya kitab yang secara panjang menjelaskan Malamatiyah, sementara kitab-kitab lain
menjelaskannya dalam uraian yang pendek.” (hlm. iii), kemudian membahasnya menjadi lebih
membumi untuk khalayak Indonesia.

Nur Kholik Ridwan sendiri secara lahiriah adalah seorang penulis dan pengajar. Sebagai penulis,
sudah puluhan buku yang sudah beliau terbitkan. Ketika muda, Nur Kholik banyak menulis buku
perihal pemikiran, filsafat dan dunia pergerakan. Tentu saja ia bukan semata menulis sebagai
pengamat. Nur Kholik muda adalah aktivis pergerakan yang terjun di jalanan dalam mendorong dan
mengawal Indonesia dalam transisi reformasi. Namun, proses reformasi yang tidak mulus itulah yang
menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam bagi banyak aktivis termasuk dirinya. Suatu
momen yang membuatnya tenggelam dalam perenungan yang kian dalam, sehingga butuh upaya
yang keras bertahun-tahun untuk mentas kembali.

Ketika Nur Kholik Ridwan semakin beranjak sepuh kini, justru dirinya jauh lebih produktif menulis.
Berbeda dengan tulisan-tulisannya waktu muda, kini lebih banyak seputar tasawuf. Secara pribadi
mengingatkan saya pada perjalanan intelektual Imam al-Ghazali. Apalagi kini Nur Kholik Ridwan oleh
masyarakat kampung tempat beliau berdiam memberinya gelar “Kiai”. Sehingga, dengan membaca
buku ini Anda bisa merasakan penjar ilmu dari Nur Kholik Ridwan sebagai “Kiai Kholik”.

Menyibak Malamatiyah

Penyematan istilah Malamatiyah atau Malamiyah berasal dari upaya malamatun-nafs atau mencela
atau mengecam nafsu. (hal. 91). Maksud kecaman atau celaan terhadap nafsu ini adalah upaya
pembersihan dari perangai yang kotor, ilmu-ilmu yang kotor, “sehingga kecaman itu pada dasarnya
adalah mengasah, kemudian nafs perlu diasuh-diasihi.” (hal. 91). Pada praktiknya, untuk tetap terus
menjalin hubungan khusus dengan Allah, pelaku Malamatiyah mensituasikan diri agar jangan sampai
nampak mulia di mata manusia.

Namun, sebagaimana dikupas dalam buku ini, penggunaan Malamatiyah atau Malamiyah rupanya
berbeda-beda. Ada yang menyebut sebagai suatu tarekat, sebagian lagi sebagai suatu madzhab
dalam jalan spiritual, sebagian lagi merujuk pada suatu akhlak tertentu, dan ada yang menyebutnya
sebagai suatu tertentu dalam tasawuf. (hal. 93-94). Ibn Arabi misalnya, dalam al-Futuhat al-
Makkiyah, menyebutnya sebagai maqam qurbah, maqam tertinggi dalam kewalian yang mana tiada
lagi maqam di atasnya kecuali kenabian. Salah satu tandanya, menurut Ibn Arabi, adalah mereka
tidak dikenal khalayak sebagai ahli ibadah, tapi tak pernah melanggar hal-hal yang diharamkan Allah.
(hal. 94).
Buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama adalah Risalah ‘an Malamatiyah karya Syekh Abu
Abdurrahman al-Sulami. Sementara bagian kedua, ketiga dan keempat berisi pembahasan Kiai Kholik
secara khusus tentang Syekh al-Sulami dan Risalah-nya dalam kecendekiaan tasawuf, lalu lebih luas
tentang Malamatiyah dan terakhir upaya pembumian nilai-nilai Malamatiyah dalam masyarakat
secara lebih luas.

Penerjemahan Risalah an Malamatiyah dilakukan oleh Imam Nawawi, pemuda yang banyak terlibat
dalam penerjemahan kitab-kitab penting. Penerjemahan kitab ini juga sangat penting karena
memang belum ada yang menerjemahkan buku induk Malamatiyah dalam konteks pembaca
Indonesia.

Risalah ‘an Malamatiyah secara ringkas berisi pembagian tiga kelompok pengampu ahwal batin, lalu
perkataan para syekh terkait Malamatiyah, dan terakhir wasiat-wasiat menempuh jalan
Malamatiyah yang berjumlah 45 butir. Guru-guru Malamatiyah di situ disebutkan seperti Abu Hafs
al-Nisaburi, Hamdun al-Qashar, Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Mu’adz, Abu Yazid al-Busthomi,
Abdullah bin Khayyat, dan seterusnya.

Dalam wasiat-wasiat menempuh jalan Malamatiyah, nampak jelas bahwa itu adalah jalan yang keras
nan sulit dilalui. Misalnya, dalam wasiat ke-1, bahwa berbangga sedikit saja atas ibadah lahiriyah
disebut sebagai kesyirikan, sementara berbangga atas ahwal batin adalah kemurtadan, maksudnya
keluar dari jalan Malamatiyah. (hal. 24). Wasiat-wasiat selanjutnya sampai butir ke-45 juga tidak
kalah kerasnya, seperti pantang meminta kemuliaan, selalu mawas diri terhadap nafsu, kesadaran
bahwa setiap mukmin tak pernah memiliki dirinya sendiri, mengingat kematian sebagai rumah sejati,
khawatir ketika doanya selalu dikabulkan Allah, menutup aib orang lain, tidak suka dilayani dan
dihormati, dan seterusnya.

Adapun 3 bagian selebihnya adalah tulisan Kiai Kholik yang membahas karya tersebut.

Terdiri dari ... bab. Dalam pembahasan ini, Kiai Kholik berupanya melakukan kontekstualisasi atas
ajaran Malamatiyah dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat sampai bagaimana bernegara.

Penyematan istilah Malamatiyah atau Malamiyah berasal dari upaya malamatun-nafs atau mencela
nafsu. (hal. 91). Maksud kecaman atau celaan terhadap nafsu ini adalah upaya pembersihan dari
perangai yang kotor, ilmu-ilmu yang kotor, “sehingga kecaman itu pada dasarnya adalah mengasah,
kemudian nafs perlu diasuh-diasihi.” (hal. 91). Pada praktiknya, untuk tetap terus menjalin hubungan
khusus dengan Allah, pelaku Malamatiyah mensituasikan diri agar jangan sampai nampak mulia di
mata manusia.

Namun, sebagaimana dikupas dalam buku ini, penggunaan Malamatiyah atau Malamiyah rupanya
berbeda-beda. Ada yang menyebut sebagai suatu tarekat, sebagian lagi sebagai suatu madzhab
dalam jalan spiritual, sebagian lagi merujuk pada suatu akhlak tertentu, dan ada yang menyebutnya
sebagai suatu tertentu dalam tasawuf. (hal. 93-94). Ibn Arabi misalnya, dalam al-Futuhat al-
Makkiyah, menyebutnya sebagai maqam qurbah, maqam tertinggi dalam kewalian yang mana tiada
lagi maqam di atasnya kecuali kenabian. Salah satu tandanya, menurut Ibn Arabi, adalah mereka
tidak dikenal khalayak sebagai ahli ibadah, tapi tak pernah melanggar hal-hal yang diharamkan Allah.
(hal. 94).

Malamatiyah

Setiap agama punya dimensi mistiknya masing-masing. Dalam Islam, kita mengenalnya dengan
tasawuf. Ada banyak jenis tasawuf, yang dikenal maupun tidak. Salah satu yang tidak dikenal adalah
Malamatiyah.

Di Nusantara, Malamatiyah dipandang sebagai suatu tarekat rahasia. Bahkan nama “Malamatiyah”
sangat asing bagi masyarakat, berbanding terbalik dengan misalnya Naqshabandiyah, Qadiriyah,
Sadziliyah, Qadiriyah wa Naqshabandiyah, atau Sattariyah. Padahal banyak para wali dalam dunia
Islam Nusantara menjalani laku Malamatiyah. Sehingga, banyak juga yang menganggap Malamatiyah
bukan sebagai jenis tarekat.

Buku ini hendak menyibak Malamatiyah dari tempat persembunyiannya yang berada jauh di lubuk
peradaban. Penghadiran Malamatiyah barangkali memang penting untuk mengimbangi arus jagat
manusia yang lebih mementingkan citra daripada makna, bungkus daripada isi.

Pementingan citra itu bisa ditangkap dari dunia digital yang memang hadir sebagai platform dengan
pengutamaan popularitas daripada kepakaran, apalagi kebermanfaatan. Dalam bermedia sosial
misalnya, katakanlah dalam urusan nutrisi tubuh, seorang influenser dengan followernya sejuta
meski bukan pakar akan lebih banyak diikuti masyarakat dibanding seorang pakar nutrisi tetapi
berlollower hanya seratus.

Mungkin saja pada mulanya hal itu dianggap tak terlalu bermasalah. Namun efeknya jangka
panjangnya bisa dibayangkan ketika misalnya saat ini banyaknya anak-anak yang bercita-cita jadi
influenser (baik youtuber, tiktoker, dsb.) dibanding cita-cita lain semisal dokter, astronot, petani,
ilmuwan atau (apalagi) sufi. Sementara itu, di sektor publik, para pejabat juga lebih mengejar citra
daripada menjalankan kewajibannya, bahkan sampai memakai buzzer untuk memoles citranya itu.
Begitu juga di sektor pendidikan, ketika banyak akademisi lebih mengejar formalitas “scopus” karena
berkaitan secara langsung dengan urusan kesejahteraan dirinya. Artinya, masyarakat kita seperti
sedang serenrak mengejar gebyardaripada isi. Bukankah itu yang dikenal dengan jahiliyah modern
yang jika dibiarkan akan sangat berbahaya? Bukankah jahiliyah adalah suatu alasan diturunkannya
agama Islam itu sendiri demi pencerahan?

Masalahnya, hal tersebut pada kenyataannya di dunia Islam hal tersebut berlangsung lebih parah.
Sehingga dunia Islam jauh lebih tertinggal dengan yang lain dari berbagai sisi. Indeks pembangunan
manusia jeblok, IQ rendah, korupsi tinggi, kriminalitas tinggi, ketimpangan tinggi, kemiskinan tinggi,
dan seterusnya. Bukankah menjadi suatu ironi? Bagaimana umat Islam mengatasi hal ini?
Struktur Buku

Anda mungkin juga menyukai