Anda di halaman 1dari 9

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berkembang lebih awal

dibandingkan dengan lembaga pendidikan formal yang dikenalkan ketika masa


kolonialisme. Pesantren tumbuh dan berkembang sesuai dinamika sosiokultural yang
mengitari masyarakat. Hingga saat ini, pesantren masih eksis di tengah perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup pesat dengan adaptasi sesuai tuntunan
zaman. Sebab itu, sistem pendidikan pesantren diakui sebagai indigenous (asli) institusi
pendidikan Indonesia yang berbeda dengan pola pendidikan di negera manapun
(Madjid, 2007, p. 59).
Menurut Nurcholish Madjid dalam Tamin (2018), perubahan pada setiap zaman
dan institusi pendidikan merupakan sebuah keniscayaan, dalam kaitanya dengan
pengembangan kurikulum dan pengembangan kelembagaan pesantren, beberapa respon
terhadap perubahan yang diutarakan oleh Nurcholis Madjid bisa dikemukakan sebagai
berikut: (Tamin, 2018, p. 10).
Pertama, kelompok pertama yang merupakan kelompok terbesar atau mayoritas
dalam merespon perubahan kelembagaan dan transformasi pesantren, yaitu kelompok
yang menyadari dirinya apakah bernilai baik ataukah bernilai kurang baik. Sikap
seperti ini menempatkan perubahan zaman sama sekali dianggap tidak berpengaruh
terhadap tatanan kelembagaan pesantrenya. Sikap apriori yang seperti ini dimiliki
banyak pemimpin pesantren dalam sekala yang sangat umum. Kedua, kelompok yang
menurut anggapan seseorang yang fanatik terhadap model dan situasi tertentu. Mereka
dengan mudah begitu saja menilai bahwa pesantren dengan segala aspeknya adalah
positif dan mutlak untuk dipertahankan. Hal ini menyatakan bahwa pandangan
mayoritas pemimpin dan unsur-unsur didalamnya menampilkan sikap yang eksklusif
dan cenderung konservatif. Ketiga, kelompok yang ketiga adalah kelompok yang
merespon perubahan dengan sikap yang cenderung rendah diri, dan menumbuhkan
sikap dangkal dalam mengejar ketertinggalan zamannya, sehingga akhirnya merusak
diri sendiri dan identitas keseluruhanya. Keempat, pesantren yang sepenuhnya
menyadari dirinya sendiri baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan segi-segi
positifnya dan yang berkaitan dengan segi-segi negatifnya, sanggup dengan jernih dan
kritis melihat mana tradisi atau unsur yang diteruskan dan mana yang harus
ditinggalkan, dan karenanya memiliki kemampuan adaptasi yang positif pada
perkembangan zaman dan masyarakatnya.
Keempat respon kalangan pesantren terhadap perkembangan zaman tersebut telah
melahirkan polarisasi dilingkungan pesantren itu sendiri. Namun perkembangan di era
modern telah mengambil sikap tersendiri dengan menuntut kebutuhan spiritualisasi
yang dimiliki pesantren, masyarakat berharap bahwa pendidikan sebagai tempat belajar
juga memberikan bekal kemampuan untuk mengadopsi kehidupan dan berkompetisi
serta berparsitipasi dalam kehidupanya nyata dimasa depan. Dalam konteks masyarakat
Indonesia yang tengah membangun jati dirinya, tentunya dalam hal ini pendidikan
sangat diharapkan untuk menopang terlaksananya program pembangunan dan
kemajuan bangsa dan sumber daya manusia masyarakat Indonesia ke depan.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang merupakan wadah dalam kegiatan
belajar mengajar tentunya dalam mencapai tujuannya tidak terlepas dari peranan
manajemen yang ada di dalamnya. Karena manajemen dalam lembaga pendidikan
merupakan mobilisasi segala sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Manajemen umumnya sebagai proses perencanaan,
mengorganisasi, pengarahan, dan pengawasan. Usaha-usaha para anggota organisasi
dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang
telah ditetapkan. Inti dari manajemen adalah pengaturan (Musfah, 2015). Disamping
itu salah satu komponen penting pada lembaga pendidikan formal yang digunakan
sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme
pendidikan, kualitas hasil pendidikan, dan tolak ukur keberhasilan adalah kurikulum
(Departemen Agama, 2001, p. 43).
Keberhasilan kurikulum dapat dipengaruhi oleh adanya pemberdayaan di dalam
bidang manajemen atau pengelolaan di lembaga pendidikan yang bersangkutan dan
sering diistilahkan dengan manajemen kurikulum. Manajemen kurikulum salah satu
aspek yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran dalam pendidikan
nasional. Di samping itu, kurikulum merupakan suatu sistem program pembelajaran
untuk mencapai tujuan institusional pada lembaga pendidikan, sehingga kurikulum
memegang peranan penting dalam mewujudkan sekolah yang bermutu atau berkualitas.
Untuk menunjang keberhasilan kurikulum, diperlukan upaya pemberdayaan bidang
manajemen atau pengelolaan kurikulum.
Istilah kurikulum sebagaimana yang diterapkan pada lembaga pendidikan formal,
tidak didapatkan di lembaga pondok pesantren. Akan tetapi ketika memiliki maksud
sebagai arah pembelajaran (manhaj), maka pondok pesantren sudah dikatakan memiliki
kurikulum melalui kitab-kitab yang diajarkan pada para santri yang lebih terkonsentrasi
pada ilmu-ilmu agama, misalnya hukum islam, hadist, tafsir, Al Qur‘an, teologi Islam,
tasawuf, tarikh, dan kitab-kitab klasik lainnya.
Hal ini menjadi aspek terpenting khususnya kurikulum yang diterapkan di pondok
pesantren. Sebagaimana di ketahui bahwasanya kurikulum disamping sebagai pedoman
penyelenggaraan pendidikan pada pondok pesantren dan untuk memungkinkan
pencapaian tujuan pendidikan pondok pesantren tersebut, juga bisa sebagai batasan dari
suatu program kegiatan (bahan pengajaran) yang akan dijalankan pada suatu semester,
kelas, maupun pada tingkat/jenjang pendidikan tertentu, dan sebagai pedoman
kyai/ustadz dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar, sehingga kegiatan yang
dilakukan Kyai/ustadz dan santri terarah pada tujuan yang telah ditentukan.
Kurikulum dalam dunia pesantren dilestarikan melalui pengajaran kitab-kitab
klasik dan secara kultural yang telah menjadi karakteristik pondok pesantren hingga
saat ini. Pengajaran kitab-kitab klasik tersebut pada gilirannya menumbuhkan warna
tersendiri dalam bentuk faham dan sistem nilai tertentu. Pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam di Indonesia yang pada umumnya menyelenggarakan berbagai satuan
pendidikan, baik dalam bentuk sekolah maupun madrasah juga seyogyanya menjadikan
prinsip pengembangan kurikulum yang bermuatan nilai-nilai multikultural tersebut
dalam kegiatan perencanaan, implementasi, dan evaluasi kurikulumnya. Namun, dalam
praktiknya, butir ini tidak mudah dilakukan oleh pesantren, terutama pesantren
tradisional (salafiyyah). Kegiatan pendidikan di pesantren tradisional pada umumnya
merupakan hasil improvisasi dari seorang kiai secara intuitif yang disesuaikan dengan
perkembangan pesantrennya (Madjid, 2007, p. 5).
Pendidikan formal lebih mengenalkan tentang ilmu pengetahuan secara umum.
Sampai saat ini, pesantren dan madrasah/sekolah pun telah tumbuh dan berkembang
sesuai dengan perkembangan zamannya. Bahkan pesantren telah mengelaborasikan
sistem madrasah/sekolah dalam kurikulumnya ketika sekolah telah memasuki
pesantren. Pesantren dan sekolah merupakan lembaga yang telah memberikan
kontribusi dalam pendidikan bagi masyarakat. Pesantren telah memiliki akar kultural
dan historis yang cukup kuat di masyarakat Indonesia dan tradisi pengembangan ilmu,
sedangkan sekolah sebagai institusi modern telah memberikan kontribusi besar dalam
memberikan pendidikan kepada masyarakat. Akan tetapi, output dari kedua lembaga
ini cukup berbeda. Terjadi dikotomi dengan jurang pemisah yang cukup dalam seperti
perbedaan ketika menghadapi dunia kerja. Hal ini tidak lepas dari suatu paradigma
bahwa lulusan pesantren lebih berkontribusi pada bidang yang terkait sosial, dakwah
dan praktek keagamaan, sedangkan lulusan madrasah/sekolah bisa mengisi
sektorsektor industri.
Berdasarkan konteks pendidikan yang ada di Indonesia, wacana integrasi keilmuan
agama dan sains ini mulai mendapatkan perhatian pada tahun 1990-an. Hal ini
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang sebelumnya telah banyak dielaborasi
oleh pemikir-pemikir dari barat. Pada saat ini, hasil pemikiran para cendikiawan dalam
upaya integrasi ilmu agama dan ilmu umum telah diterapkan pada dua lembaga itu
sekaligus. Fenomena tersebut dapat dilihat dari hadirnya MTs/SMP/SMPIT ,
MA/SMA/SMAIT di lingkungan pesantren dengan pola penerapan kurikulum
sebagaimana yang berlaku di luar pesantren, sedangkan pendidikan keagamaan
mengikuti kurikulum pesantren secara khusus (Suyatno, 2013, p. 355).
Tuntutan masyarakat terhadap dunia pesantren dan persekolahan telah berkembang
pesat seiring dengan perkembangan waktu. Masyarakat dan orang tua menginginkan
berbagai hal lebih dari keberadaan pesantren. Beberapa keinginan yang muncul
diantaranya adalah a) Memiliki kemampuan dalam keagaman dan juga menginginkan
lulusan pesantren memiliki peluang yang setara dengan lulusan sekolah umum
sehingga para lulusan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan formal lainnya secara
leluasa, b) Memiliki keunggulan dalam keterampilan spesifik dalam bidang agama
seperti hafal Al-Qur‘an, mampu membaca kitab kuning, dan juga memiliki logika
berpikir kuat, pengetahuan umum yang luas maupun pengembangan kreatifitas yang
terasah sehingga mampu menghadapi persoalan dunia global yang kompleks, c)
Lulusan pesantren memiliki daya saing dalam keterampilan spesifik dan pengisian
dunia kerja dan berbagai tuntutan lainnya.
Dalam prosesnya, sebagian besar pondok pesantren berupaya merespon tuntutan
zaman dengan memodernisasi lembaganya dengan mendirikan lembaga pendidikan
formal mulai dari pra-sekolah hingga tingkat pendidikan tinggi. Selain itu, beberapa
pondok pesantren mencoba untuk tetap berkarakteristik aslinya sebagai lembaga
pendidikan Islam yang berfokus pada tafaqquh fi al-din (pendalaman agama), yang
mengajarkan siswa bagaimana memahami isi kitab kuning. Pesantren yang berupaya
menggabungkan dua dimensi, sambil mempertahankan identitasnya sebagai lembaga
pendidikan yang tafaqquh fi al-din tetapi di sisi lain juga mengadopsi sistem
pendidikan formal, khususnya madrasah yang kemudian dikenal dengan sebutan
pondok pesantren terintegrasi. (Muhdi, 2018, p. 2).

Jadi dapat disimpulkan pesantren selalu merespon perubahan zaman yang terjadi.
Respon tersebut dapat direalisasikan dengan dua langkah utama, yakni: a) Merevisi
kurikulumnya dengan memasukkan mata pelajaran umum; b) Membuka kelembagaan
dan fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Dalam proses
mengembangkan kurikulumnya, pesantren membentuk lembaga pendidikan yang
mengakomodir kepentingan masyarakat yaitu lembaga pendidikan sekolah.
Perpaduan antara pondok pesantren dan sekolah umum yang berada dalam satu
lingkungan akan cukup menarik, sebab pesantren dengan karakteristik dan metode
belajar yang telah diterapkan cukup lama harus mengalami reaktualisasi, baik dari sisi
pembenahan kurikulum pesantren maupun tenaga pendidiknya. Adapun perpaduan ini
tentunya melahirkan dinamika baru yang patut dikaji terutama dari segi manajemennya
guna mengetahui lebih dalam konsep integrasi kurikulum pondok pesantren dan
sekolah.
Sekarang ini banyak pondok pesantren yang lahir dengan konsep integrasi sistem
pendidikan yang meliputi pendidikan ilmu agama dan pendidikan ilmu umum temasuk
didalamnya adalah penerapan integrasi kurikulum sekolah. Permasalahannya adalah
apakah penerapan atau implementasi manajemen integrasi kurikulum sudah tepat,
sehingga tujuan maupun harapan integrasi kurikulum dapat tercapai secara maksimal
atau tidak. Sebab, di satu sisi pondok pesantren harus mencetak santri-santrinya
menjadi manusia yang ahli dalam bidang ilmu maupun praktek agama, namun sisi lain
sekolah formal menuntut agar siswanya menjadi orang yang paham sains, teknologi
maupun pengembangan kreatifitasnya. Untuk itu sangat diperlukan penguasaan ilmu
manajemen dalam konsep integrasi kurikulum tersebut.
Proses penyesuaian kurikulum tidak serta merta dapat dilakukan dengan mudah
oleh setiap lembaga pendidikan. Berbagai kendala dan hambatan sering sekali terjadi
menyertai dalam proses penyesuaian kurikulum tersebut. Hal ini juga dapat dialami
oleh kalangan pesantren. Pesantren yang membuka pendidikan formal memiliki
kendala yang mungkin lebih besar dari lembaga formal lainnya karena pesantren yang
memiliki konsep integrasi kurikulum disisi lain harus mampu menjaga tradisi
keilmuannya juga harus mampu menerapkan kurikulum yang diterapkan pemerintah.
Perpaduan (integrasi) pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan non formal
dan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian terkait hal tersebut di sebuah lembaga pondok pesantren di kawasan Kota
Bekasi yang bernama Pondok Pesantren Papan Raudhotul Jannah. Pondok Pesantren
ini yang telah menerapkan integrasi kurikulum pesantren dan sekolah umum yang
diberi nama SMPIT Papan Raudhotul Jannah. Pondok yang mempunyai santri sekitar
173 santri laki-laki dan perempuan ini mengintegrasikan kurikulum sejak awal
didirikan sekolah formal di lingkungan pesantren. Pondok pesantren Papan Raudhotul
Jannah adalah pondok pesantren yang memiliki sebuah SMPIT & SMA berbasis
pondok pesantren dan penyelenggaraanya adalah tanggung jawab Yayasan Raudhotul
Jannah, Kota Bekasi, Jawa Barat. Keberadaan lembaga pendidikan pondok pesantren
sejak tahun 2000, artinya sudah 23 tahun kegiatan belajar mengajar di Pondok
Pesantren Papan Raudhotul Jannah berjalan. Pada saat lembaga berusia 15 tahun,
persoalan muncul dengan kebutuhan dan tuntunan masyarakat terhadap pendidikan
yang berkualitas, hal ini menjadi problematika yang perlu dijawab tuntas.
Oleh karena itu Pondok Pesantren dan SMPIT Papan Raudhotul Jannah sedang
dihadapkan dengan berbagai tuntutan untuk terus berupaya meningkatkan mutu
pesantren dalam berbagai aspek. SMPIT Papan RJ adalah salah satu sekolah swasta di
Kota Bekasi yang berusaha menjawab tantangan zaman dengan pemadatan materi dan
penambahan alokasi waktu mata pelajaran. Juga evaluasi pendidikan berupa ujian
tertulis dan lisan untuk mata pelajaran pesantren dan ujian tertulis untuk pelajaran
sekolah umum.
Model pendidikan terpadu inilah yang diterapkan di SMPIT Papan RJ yang
mengintegrasikan pendidikan formal sekolah ke dalam lembaga pendidikan pesantren.
Artinya, pesantren sebagai lembaga pendidikan telah berdiri terlebih dahulu, baru
kemudian sistem pendidikan formal sekolah diadopsi dan diterapkan di lembaga
pesantren. Para siswa sekaligus santri baik putra dan putri, wajib menetap di
asrama/pondok/ma‘had selama 24 (dua puluh empat) jam. Pesantren berdiri tahun 2000
dan sekolah ini baru berdiri pada tahun 2017, namun pembelajaran di pesantren telah
berjalan dan tersusun dalam kurikulum pesantren tersendiri. Adapun layanan
pembelajaran dan pembinaan yang diberikan di Pesantren Papan RJ adalah: Pertama.
Pengajian Kitab Kuning bermazhab Imam Syafi’i, Tahfidz Al-Quran dan tambahan
bekal pengetahuan serta pengamalan agama (sholat jama‘ah setiap waktu, qiyamul lail,
puasa dan amalan sunnah lainnya, qiratul kutub, tafsir Al Quran, pembinaan baca al-
Qur‘an, lughah/bahasa arab, pembiasaan pembacaan wirid. Kedua, materi pelajaran
sekolah berbasis kurikulum Kemendikbud, bimbingan belajar (bimbel) dan
pengembangan muhadatsah dan lain- lain. Ketiga, pembinaan akhlaqul karimah
(perilaku, tutur kata, pola berbusana, dan lain-lain). Sedangkan keempat adalah
melatih kemandirian melalui berbagai aktifitas dan tanggung jawab serta kegiatan
ekstra kurikuler.
Adanya sekolah di dalam Pesantren Papan Raudhotul Janah ini, mensyaratkan
adanya manajemen kurikulum integrasi diantara keduanya. Hal ini dikarenakan,
kurikulum SMPIT menjadi sub sistem dari sistem induknya, yaitu kurikulum
Pesantren. Kurikulum sekolah cenderung lebih kaku karena sudah ditentukan oleh
pemerintah, sedangkan kurikulum pesantren lebih fleksibel karena memang
dikembangkan sepenuhnya oleh pesantren yang bersangkutan. Sehingga, muatan
kurikulum pesantren disini dapat disesuaikan dengan tujuan maupun struktur
kurikulum pesantren. Pada konten atau isi kurikulum masing-masing berjalan sendiri.
Materi pelajaran masih dilaksanakan terpisah antara kurikulum sekolah dan kurikulum
pesantren, tidak terjadi integrasi berupa penyatuan materi pelajaran dalam arti integrasi
keilmuan.
Konsep hidden kurikulum terlihat pada kegiatan–kegiatan yang mengarahkan
kepada pembentukan karakter siswa melalui pembiasaan kegiatan (Shalat Dhuha,
Tahfidz, Pengajian, Muhadatsah, Zikir, Shalat berjama‘ah, Berdoa bersama).
Pesantren Papan RJ mendesain program hidden kurikulum untuk pembentukan
karakter peserta didik. Praktik hidden kurikulum berhasil membentuk karakter peserta
didik yaitu kejujuran, tanggung jawab, toleransi, disiplin diri, religius, mandiri, peduli
sesama, kesopanan. Kegiatan pembiasaan yang dilakukan tentu bukan hanya
membentuk karakter akan tetapi juga memperlihatkan sikap, mengajarkan norma,
menerapkan nilai, meningkatkan kepercayaan serta memberikan asumsi kepada peserta
didik. Pendapat tersebut dipertegas oleh Musfah, (Fauzan et.al.2018) Yang
mengemukakan bahwa santri tidak hanya belajar mengasah kemampuan akal tetapi
melakukan pembiasaan yang bisa menguatkan hatinya untuk memiliki karakter yang
baik, seperti membaca Al-Quran, shalat, dan puasa.
Pondok Pesantren Raudhotul Jannah merupakan salah satu pesantren yang ada di
Kota Bekasi yang mengikuti trend pengembangan model pendidikan tersebut.
Pesantren yang didirikan oleh Dr. KH. Muhammad Kemalsyah ini merupakan sebuah
fenomena yang unik. Pesantren dengan Pengajian Kitab Kuning bermazhab Imam
Syafi’i yang kental ini ternyata sangat menerima terhadap dinamika modernisasi,
sehingga dikembangkan juga sistem pendidikan sekolah umum dengan mendirikan
TPA (Taman Pendidikan Al quran), SMPIT, dan SMA. Pondok Pesantren Papan RJ &
SMPIT Papan RJ merupakan salah satu bentuk integrasi pendidikan yang sudah
membuka diri terhadap perubahan, karena kebutuhan zaman dan karena semakin
berkembangnya pemikiran rasional.

Penggabungan kurikulum tersebut sebagai upaya pimpinan pondok pesantren


dalam memenuhi kebutuhan santri dan membekali diri mereka supaya dapat bersaing
dengan sekolah luar. Berangkat dari kebijakan pondok untuk mengadakan terobosan-
terobosan dalam mensikapi dinamisasi pendidikan tersebut dan Integrasi Kurikulum di
Pondok Pesantren dan SMPIT Papan RJ sekaligus juga mengangkat persoalan yang
ada. Untuk itu, manajemen yang baik diperlukan untuk mengawal dan terus
meningkatkan program atau kurikulum agar berjalan dengan baik, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan sehingga terus dapat meningkatkan mutu
pendidikannya.
Beberapa keberhasilan yang diraih oleh Pondok Pesantren Papan Raudhotul
Jannah yang dijalankan oleh Yayasan Raudhotul Jannah ini, menurut penulis menjadi
suatu hal yang menarik dan layak untuk dijadikan satu pembahasan, dan bahkan
dijadikan sebagai sebuah contoh bagi lembaga pendidikan Islam lain yang ingin
mengembangkan program Pengajian dan Pemahaman Kitab Kuning bermazhab Imam
Syafi’i dan mengintegrasi kurikulum sekolah umum yang mengacu pada kurikulum
pemerintah dengan penyesuaian seperlunya dan pihak pesantren menggunakan
kurikulum yang disusunnya sendiri pula. Jadi bentuk integrasi semacam ini cukup unik
untuk diteliti lebih lanjut, seperti apa model integrasi kurikulum yang digunakan. Oleh
karena pentingnya hal ini, maka penulis merasa perlu mengadakan penelitian secara
mendalam tentang Implementasi Manajemen Integrasi Kurikulum Pesantren dan
SMPIT dalam bentuk penelitian kualitatif di Pondok Pesantren & SMPIT Papan
Raudhotul Jannah.

Anda mungkin juga menyukai