Anda di halaman 1dari 14

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

Oleh:
Alviandra Expriansyah
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Banten
alviandraexpriansyah@gmail.com

Abstrak
Salah satu fenomena yang terjadi di Indonesia adalah perkawinan beda agama. Perkawinan
tersebut sebagian dilakukan secara terang-terangan dan sebagai dilakukan sembunyi-sembunyi.
Islam melarang perkawinan beda agama berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 221.
Perkawinan beda agama juga dilarang oleh undang-undang no 1 tahun 1974 pasal 2. Masalah
pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana hukum pernikahan beda agama menurut peraturan
perundang-undangan di Indonesia, dan bagaimana hukum pernikahan beda agama menurut
fuqaha. Perbedaan agama memang menjadi suatu hal yang rentan terhadap munculnya masalah
dan konflik dalam kehidupan berumah tangga pasangan beda agama, karena banyak perbedaan
dalam pola pikir, cara pandang, aktivitas dan kebiasaan sehari-hari yang sedikit banyak disebabkan
oleh perbedaan agama yang dimiliki oleh keduanya.

Kata kunci: Pernikahan, Agama, Hukum

Abstract
One of the phenomena that occurs in Indonesia is interfaith marriage. Some of these marriages
were carried out openly and some were carried out secretly. Islam prohibits interfaith marriages
based on the word of Allah in Surah Al-Baqarah verse 221. Interreligious marriages are also
prohibited by law no. 1 of 1974 article 2. The main problem in this research is what the law is for
interfaith marriages according to the laws and regulations in Indonesia, and what is the law on
interfaith marriage according to the fuqaha. Differences in religion are indeed something that is
vulnerable to the emergence of problems and conflicts in the married life of couples of different
religions, because there are many differences in thought patterns, perspectives, daily activities and
habits which are more or less caused by the differences in religion that both of them have.

1
Keywords: Marriage, Religion, Law

PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan suatu ikatan hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk
menjadi pasangan suami-istri guna membangun rumah tangga yang bahagia, harmonis, dan saling
membantu serta melengkapi satu sama lain. Untuk melaksanakan suatu perkawinan haruslah
berdasarkan pada perikatan atau perjanjian yang sah dan diakui oleh agama dan negara.
Perkawinan sah sebagaimana diatur dalam undang-undang perkawinan harus sesuai dengan agama
yang dianutnya, akan tetapi banyak ditemukan perkawinan beda agama atau kepercayaan.
Perkawinan beda agama merupakan suatu perkawinan dimana kedua belah pihak memeluk agama
dan kepercayaannya yang berbeda.

Pernikahan beda agama di Indonesia merupakan fenomena yang kompleks dan menarik
untuk dipelajari. Indonesia, sebagai negara dengan keragaman budaya dan agama, seringkali
menjadi tempat di mana individu dari latar belakang agama yang berbeda memilih untuk menjalin
hubungan pernikahan. Fenomena ini menghadirkan tantangan tersendiri, baik dari segi sosial,
budaya, maupun hukum. Dalam pendahuluan ini, akan dibahas tentang latar belakang pernikahan
beda agama di Indonesia, dampaknya terhadap individu dan masyarakat, serta upaya yang
dilakukan untuk mengatasi tantangan yang muncul.

Pernikahan beda agama menurut Abdul Hafidz adalah perkawinan antara dua orang yang
memeluk (menganut) agama yang berbeda dan salah satunya beragama islam, sementara yang
satunya memeluk agama selain islam (non muslim). Kemudian menurut Hilman Hadikusuma
perkawinan campuran antar agama terjadi apabila seorang pria dan seorang wanita yang berbeda
agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-
masing, walaupun agamanya satu kiblat namun berbeda dalam pelaksanaan upacara-upacara
agamanya dan kepercayaanya.1

Pernikahan beda agama adalah suatu isu yang banyak terjadi di Indonesia, terutama karena
adanya perbedaan agama dan kepercayaan yang berbeda antara pasangan yang ingin menikah.
Pernikahana beda agama dapat menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang sangat berbeda

1
Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak (Hasil Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum
Islam), Bandung: Reflika Aditama, 2015, hlm 45-46

2
dalam tata cara, yaitu peraturan agama dan peraturan negara. Hal berarti juga bahwa hukum agama
menyatakan perkawinan beda agama itu tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut negara. Jadi
dalam pernikahan beda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
Pernikahan beda agama dapat menyebabkan berbagai benturan dan kesulitan dalam pelaksanaan
ibadah, pendidikan anak, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain-lain.

Pernikahan beda agama merupakan suatu perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang
berlainan agama dan kepercayaannya. Imam Syafi’i dalam kitab Al-Ummnya mengatakan
“dihalalkan menikahi perempuan merdeka dari ahli kitab bagi setiap laki-laki muslim tanpa kecuali
karena Allah ta’la telah menghalalkannya dan saya menyukai kalau laki-laki muslim tidak
menikahinya.”2

JENIS PENELITIAN

Penelitian ini termasuk jenis pustaka (library research), yaitu penelitian yang objek
kajiaanya menggunakan data pustaka berupa buku-buku sebagai sumber datanya. Penelitian ini
dilakukan dengan membaca, menelaah, dan menganilisis berbagai literatur yang ada,berupa Al-
Qur’an, Hadist, maupun hasil penelitian.

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hukum pernikahan beda agama
menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dan bagaimana hukum pernikahan beda
agama menurut fuqaha.

PEMBAHASAN

1. Definisi Pernikahan Beda Agama

Pernikahan dalam islam dianggap sebagai institusi suci yang didasarkan pada
ajaran agama. Konsep pernikahan dalam islam dalam penting dan memiliki prinsip-prinsip
khusus yang menjadi panduan bagi umat muslim dalam menjalankan hubungan
pernikahan. Pernikahan dalam islam dianggap sebagai ikatan yang disyariatkan oleh Allah
SWT yang menyatukan antara kelurga laki-laki dan keluarga perempuan dalam ikatan

2
Abi Abd Allah Muhammad Ibn Idris As-Syafi’i, Al-Umm, Jil. V (Beirut: Dar al-Fikr), hlm 7

3
keluarga yang sah. Tujuan utama pernikahan dalam islam adalah untuk membentuk ikatan
yang penuh kasih sayang, saling pengertian, dan kerja sama antara suami dan istri.

Perkawinan beda agama adalah pernikahan pemeluk agama yang berbeda. Namun
mereka tetap memeluk agama masing-masing. Karena di Indonesia adalah masyarakat
yang plularistic dalam beragam. Yang terdiri dari agama samawi maupun agama ardhi.
Dengan kondisi seperti ini bisa jadi pernikahan antara islam dengan katholik, islam dengan
hindu, katholik dengan protestan, hindu dengan budha dan sebagainya. Namun yang akan
menjadi topik utama dalam pembahasan ini adalah pernikahan beda agama yang dilakukan
oleh pria atau wanita muslim dengan pria atau wanita non muslim.

Pernikahan beda agama, juga dikenal sebagai pernikahan lintas agama, terjadi
karena dua individu dari agama yang berbeda memutuskan untuk menikah. Hal ini sering
kali melibatkan perbedaan keyakinan, praktik keagamaan dan nilai-nilai budaya.

Di Indonesia, sebuah negara dengan beregam agama dan budaya, pernikahan beda
agama sering kali menjadi isu komplek. Pasangan yang berasal dari agama yang berbeda
harus menghadapi tantangan dalam menggabungkan tradisi dan keyakinan mereka.
Perspektif agama terhadap pernikahan beda agama bervariasi beberapa agama
mengizinkan pernikahan lintas agama dengan syarat tertentu, sementara agama lain
melarangnya.3

2. Perkawinan Beda Agama Perspektif Ulama Tafsir


a) Q.S Al-Baqarah Ayat 221
Ayat tentang larangan pernikahan beda agama terdapat pada surat Al-
Baqarah ayat 221 yang berbunyi sebagai berikut:

‫يا ِم ْانا ُّم ْش ِرَكةاا َول ْا‬


‫َواأَ ْع َجبَ ْت ُك ْاما َوَالاتُ ْنكِ ُحوا‬ ‫تا َحّتَاايُ ْؤِم َانا َوَل َمةاا ُّم ْؤِمنَةاا َخ ْا‬
‫ا َوَالاتَ ْنكِ ُحوااال ُْم ْش ِرْك ِا‬

‫لاا ْْلَن َِةا‬


‫اّللُايَ ْدعُوااإِ َا‬ ‫يا ِم ْانا ُّم ْش ِركاا َول ْا‬
‫َواأَ ْع َجبَ ُك ْاماأُولَئِ َا‬
‫كايَ ْدعُ ْو َاناإِ َا‬
‫لاالنَا ِارا َو َا‬ ‫يا َحّتَاايُ ْؤِمنُواا َول ََع ْبداا ُّم ْؤِمناا َخ ْا‬
‫اال ُْم ْش ِركِ َا‬

‫ياايْتِِاهالِلن ِا‬
‫َاسال ََعلَ ُه ْامايَتَ َذ َك ُرو َنا‬ ‫َوال َْم ْغ ِف َراِةاِبِِ ْذنِِاها َويُبَِ ُا‬

3
AA Sachedina, “Islamic Perspectives On Interfaith Marriage”, The Muslim Word 91, No.1-2 (2001)

4
Janganlah kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman!
Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan
musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki
musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman. Sungguh,
hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik
meskipun dai menarik hatimu. Mereka mengajak ke nereka, sedangkan Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat
nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.

Menurut Al-Qurtubi yang dimaksud dengan wanita-wanita musyrik pada ayat di


atas adalah wanita-wanita penyembah berhala dan wanita-wanita yang beragama majusi,
hal ini dinukil dengan pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Al Auza’i, yang
melarang menikah dengan wanita majusi. Ibnu Hanbal berkata, “hal itu tidak menarik
untukku”. Diriwayatkan bahwa Hudzaifah bin Al Yaman pernah menikahi seorang wainta
majusi, lalu Umar berkata kepadanya, “Ceraikan dia!

Rasyid Ridha menafsirkan ayat tersebut dengan menyatakan bahwa wanita musyrik
yang haram dinikahi oleh pria muslim dalam surat Al-Baqarah ayat 221 di atas adalah
wanita musyrik Arab yang tidak memiliki kitab suci sebagai pedoman untuk dibaca atau
dianut. Karena seluruh riwayat terkait ayat ini memang mengarah ke pemahaman itu.
Adapun orang-orang yang memiliki kitab suci tidak termasuk dalam kategori musyrik dan
secara spontan telah keluar dari hukum pengharaman. Apakah masih ada sampai sekarang
orang-orang musyrik arab itu? Kalau ada, maka hukum tetap berlaku. Tetapi apabila tidak
ada, maka dengan sendirinya tidak ada satu kepercayaan dan agama pun yang menjadi
kendala dalam melakukan pernikahan.4

Penafsiran kata “musyrikat” dalam ayat 221 surat Al-Baqarah tersebut dengan
musyrik Arab menurut Ridha Rasyid adalah pendapat yang sudah disepakati dan didukung
oleh Syaikh Al-Mufassirin, maha guru Ibnu Jarir al-Thabari, “istilah musyrik dalam ayat
tersebut dimaksudkan hanya bagi musyrikat Arab yang tidak memiliki kitab sebagai
pedoman untuk dibaca. Secara zahir, nash ayat itu bersifat umum. Akan tetapi, secara

4
Muhammad Rasyid Ridha. (1974). Tafsir Ak-Manar. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Hlm 281.

5
aplikasi bersifat khusus, ayat tersebut juga tidak pernah dinaskh oleh ayat apapun. Oleh
karena itu, wanita Ahli Kitab tidak termasuk dalam kategori wanita musyrik”. Pernyataan
dari Rasyid Ridha di atas sangat jelas sekali mengharamkan pria muslim menikah dengan
wanita musyrik (musyrik mekkah). Alasan dari pengharaman tersebut kata Rasyid Ridha
adalah karena orang musyrik merupakan faktor yang bisa menjerumuskan atau mengajak
pria muslim ke dalam api nereka, baik dengan perkataan atau perbuatan mereka. Maka,
menjalin kasih dengan mereka dalam bentuk pernikahan merupakan faktor terbesar yang
bisa mewujudkan kehinaan masuk nereka itu.

b) Q.S Al-Mumtahanah (60) ayat 10


Selanjutnya ayat yang berhubungan dengan perkawinan beda agama
terdapat pada Q.S al- Mumtahanah (60) ayat 10 yang berbunyi sebagai berikut:
‫وه َانا ُم ْؤِمنَةاافَ َلا‬
ُ ‫اّللُاأَ ْعلَ ُاماِبِِْْيَاِنِِ َانافَِإ ْانا َعلِ ْمتُ ُم‬ ‫آمنُوااإِذَاا َجاءَ ُك ُاماال ُْم ْؤِمنَ ُا‬
‫تا ُم ْه ِج َراتاافَ ْامتَ ِحنُ ْو ُه َانا َا‬ ‫ا ََيَيُّ َهااالَ ِذ َا‬
َ ‫ينا‬
ِ
‫احا َعلَْي ُك ْاماأَ ْنا‬ ُ ُ‫لاالْ ُك َفا ِارا َالا ُه َاناحلاا ََّلُْاما َوَالا ُه ْاما ََِيلُّ ْو َانا ََّلُ َانا َوات‬
‫وه ْاما َمااأَنْ َف ُق ْواا َوَالا ُجنَ َا‬ ُ ُ‫اتَ ْرِجع‬
‫وه َاناإِ َا‬

‫ص ِاماالْ َك َوافِ ِارا َو ْسئَ لُ ْواا َماااَنْ َف ْقتُ ْاما َولْيَ ْسئَ لُ ْواا َماااَنْ َف ُقوااذلِ ُك ْما‬ ِ ِ
َ ‫ورُه َانا َوَالاُتُْس ُكواابِع‬ ُ ‫اتَ ْنكِ ُح‬
َ ‫وه َاناإِذَااآتَ ْي تُ ُم ْو ُه َانااُ ُج‬
‫اّللُا َعلِيماا َحكِيما‬ ‫ُح ُك ُاما ِا‬
‫للاا ََْي ُك ُامابَ ْي نَ ُك ْاما َو َا‬

“wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan


mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka: jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak
halal bagi orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan ada dosa bagimu menikahi
mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlahkamu tetap
berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir: dan
hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan: dan (jika
suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka
bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikian hukum Allah yang
ditetapkan nya di antara kamu. Dan Allah maha mengetahui, maha bijaksana.

6
Hamka menjelaskan makna ayat “dan janganlah kamu berpegang dengan tali
(perkawinan) perempuan-perempuan kafir,” bahwa kata ishan diartikan tali, yakni tali-tali
yang masih menghubungkan cinta kasih di antara suami yang telah islam dengan istrinya
yang masih kafir. Ayat ini mengandung penjelasan bahwa mulai saat diturunkan ayat ini,
tali (hubungan) suami istri antara laki-laki yang islam dan telah hijrah, dengan sendirinya
diputuskan dengan istri-istrinya yang masih kafir.5

Maka dari keterangan ayat ini. Hamka menerangkan bahwa seorang laki-laki kafir
yang telah Islam tidak diperbolehkan nikah dengan perempuan yang masih kafir, baik apa
saja agama yang mereka anut, kecuali dalam surat Al-Maidah ayat 5. Namun dalam hal ini
perempuan ahli kitab ini diberi penjelasan lagi, hendaklah laki-laki islam itu yang kuat
imannya dan dapat membimbing istrinya dengan perlahan-lahan ke dalam akidah Islam.
Kalu tidak kuat iman laki-laki, sama saja dengan mempermainkan dan meringan-ringankan
agama.

c) Q.S Al-Maidah (5) ayat 5:


Perkawinan tentang beda agama juga secara eksplisit dapat dilihat pada Q.S
Al-Maidah (5) ayat 5 yang berbunyi sebagai berikut:

‫تا ِم َنا‬ ِ ِ ‫يناأُوتُوااالْكِت ا‬


َ ‫باحلاالَ ُك ْاما َوطَ َع ُام ُك ْاماحلاا ََّلُْاما َوال ُْم ْح‬
‫صنَ ُا‬ ََ ‫اماالَ ِذ َا‬ ِ ‫االْي واماأ‬
‫ُح َالالَ ُك ُاماالطَيِْب ُا‬
‫تا َوطَ َع ُا‬ َ َْ
ِ ِ ‫يناأُوتُوااالْكِتَ ا‬
‫تا ِم َاناالَ ِذ َا‬ ‫اال ُْم ْؤِمنَ ِا‬
َ ‫يا ُم ْس ِف ِح‬
‫يا‬ ‫صنِ َا‬
‫ياغَ َْا‬ ِ ‫وه َاناأُجورُه َانا ُُْم‬
َ ُ ُ ‫بام ْاناقَ ْبل ُك ْاماإِذَااآتَ ْي تُ ُم‬
َ ‫صنَ ُا‬
َ ‫تا َوال ُْم ْح‬
ِ ِ ِ ِ ‫طا َعملُاهاوه اواِ ا‬ ِ ‫َخ ِذ َا‬
‫ياأَ ْخ َداناا َوَم ْانايَ ْك ُف ْارا ِِب ِْْل ْْيَ ِا‬ ِ ‫وَالامت‬
َ ‫فا ْاْلخ َراةام َاناا ْْلَس ِر‬
‫ينا‬ َ ُ َ ُ َ ‫انافَ َق ْادا َحب َا‬ ُ َ

’’pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan


(sebelihan) ahli kitab itu halal bagimu, dan makaananmu halal bagi mereka. Dan
)dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan
di antara perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-
perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang kehormatan di antara
orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin
mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk

5
Hamka, (2000). Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas.hlm.111.

7
menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa kafir setelah beriman, maka
sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.

Dalam menafsirkan ayat ini, Al-Qurtubi menukil pendapat Ishak bin Ibrahim al-
Harabi yang mengatakan bahwa sekelompok orang berpendapat untuk menjadikan ayat
221 dalam surat al-Baqarah sebagai ayat yang menasakh (menghapus), sedangkan ayat
dalam surat al-Maidah sebagai ayat yang dinasakh (dihapus). Mereka mengharamkan
menikahi setiap wanita musyrik, baik ahli kitab maupun selain ahli kitab.6

3. Perkawinan Beda Agama Perspektif Majelis Ulama Indonesia


Menanggapi silang pendapat di kalangan ulama tafsir di atas. Muhammad Jamil
dalam bukunya Fikih Perkotaan mengungkapkan bahwa terlepas dari perbedaan-
perbedaan tersebut, Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1980 telah mengelurkan fatwa
yang ditanda tangani oleh Prof. Dr. Hamka berkenaan dengan pernikahan beda agama. Mui
menfatwakan: (1) “perkawinan wanita muslimah dengan lelaki non muslin adalah haram
hukumnya”, (2) ’’seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim.
Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan.
Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya (kerusakannya) lebih besar dari pada
maslahahnya, Majelis Ulama Indonesia menfatwakan perkawinan tersebut hukumnya
haram.7

Fatwa MUI ini kembali dipertegas lagi dengan keluarnya fatwa MUI
Nomor:4/Munas VVI//MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama pada tanggal 28 juli
2005. Substansi isi dalam fatwa ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan fatwa yang
dikeluarkan pada 1980. Bahwa, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Fatwa
MUI ini menyatakan setelah mempertimbangkan bahwa perkawinan beda agama sering
menimbulkan kerehasan di tengah-tengah masyarakat, mengundang perdebatan di antara
sesama umat islam, memunculkan paham dan pemikiran yang membenarkan perkawinan
beda agama dengan dalih Hak Asasi Manusia dan kemaslahatan, maka dengan berdasarkan
pada Al-Qur’an, Hadist Nabi SAW, kaidah fikih: dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-
mashalih, dan kaidah sadd adz dzari’ah, maka MUI menetapkan bahwa perkawinan laki-

6
Al-Qurtubi. (2007). Tafsir Al-Qurtubi. Jakarta: Pustaka Azam.hlm 142
7
M. Jamil (2014). Fikih Perkotaan. Bandung: Cipta Pustaka.hlm 189.

8
laki muslim dengan wanita ahli kita adalah haram dan tidak sah. Keputusan ini kemudian
didukung oleh organisasi masyarakat Islam seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah.

4. Perkawinan Beda Agama Perspektif Hukum Kelurga Islam di Indonesia


Bila kita kaitkan dengan hukum keluarga islam di Indonesia, maka keputusan MUI
tentang larangan umat Islam menikahi non muslim sangat sejalan dan menurut hemat harus
senantiasa dipertahankan. Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan diatur dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991 tentang komplikasi hukum islam. Kedua produk perundang-undangan ini
mengatur masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama.
Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 disebutkan: “perkawinan
adalah salah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu. Hal senada diterapkan beberapa pasal dalam kompilasi hukum isla sebagai
berikut:

Pasal 40: dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertetu:

a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan


pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. Seorang wanita yang tidak bergama islam.

Pada pasal 40 huruf (c), diterapkan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan


antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu yaitu seorang wanita
yang tidak beragama islam.

Pasal 44: “seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan


seorang pria yang tidak beragama islam.

Sejak disahkannya undang-undang perkawinan nasional pada tahun 1974,


masyarakat Indonesia yang pada umumnya heterogen masih dibingungkan dengan suatu
kenyataan akan berlangsungnya perkawinan beda agama yang dilakukan oleh beberapa
orang dinegara ini karena dalam undang-undang perkawinan nasional yang telah disahkan
tersebut tidak ditemukan suatu peraturan yang secara tegas mengatur maupun melarang

9
tentang perkawinan beda agama. Sehingga bisa dikatakan menimbulkan suatu kekosongan
hukum.8 Tidak diaturnya perkawinan beda agama secara eksplisit dalam UU No.1 Tahun
1974 menyebabkan perbedaaan interpretasi terhadap pasal 2 ayat 1 UU No.1 tahun 1974.
Hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi pasangan yang melakukan
perkawinan beda agama sedangkan perkawinan beda agama di Indonesia tidak dapat
dihindari sebagai akibat keadaan masyarakat yang heterogen.

5. PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT FUQAHA


Fuqaha sepakat bahwa perkawinan seorang perempuan muslimah dengan pria non muslim
baik ahlul kitab atau musyrik tidak sah. Karena akan dikhawatirkan ada pelanggaran-
pelanggaran etika akidah, karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa istri wajib tunduk
pada suami. Sedangkan perkawinan pria muslim dengan wanita beda agama terjadi
perbedaan pendapat dikalangan fuqaha antara lain:
a. Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanafi berpendapat tentang perkawinan antar beda agama terdiri dari
dua hal. Yaitu:
1) Perkawinan antar pria muslim dengan wanita non muslim (musyrik)
hukumnya adala haram mutlak.
2) Perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahlu al-kitab (yahudi dan
nasrani),hukumnya mubah (boleh). Menurut mazhab Hanafi yang dimaksud
dengan ahlu al-kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang nabi dan
kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang
percaya kepada Nabi Ibrahim As dan suhufnya dan orang yang percaya
kepada nabi Musa As dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlu al-kitab dzimmi atau
wanita kitabiyah yang ada di Daaral-Harbi boleh hukumnya

b. Mazhab Maliki
Mazhab maliki berpendapat bahwa perkawinan beda agama mempunyai dua
pendapat. Yaitu:

8
Lihat Ahmad Tholabi Kharlie. (2015). Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta Timur: Sinar Grafika.hlm 168.

10
1) Menikah dengan kitabiyah hukumnya makruh baik dzimmiyah (wanita-
wanita non muslim yang berada di wilayahnya atau negeri yang tunduk pada
hukum islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi harbiyah lebih
besar. Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si istri yang kitabiyah ini akan
mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka
hukumnya haram.
2) Menikah dengan kitabiyah hukumnya boleh karena ayat tersebut tidak
melarang secara mutlak. Metedologi berfikir mazhab Maliki ini
menggunakan pendekatan Sad al-Zarai (menutup jalan yang mengarah
kepada kemafsadahan). Jika dikhawatirkan kemafsadahan yang akan
muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.9

c. Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan beda agama adalah boleh yaitu
menikahi wanita ahlu al-kitab. Akan tetapi termasuk golongan wanita ahlu al-kitab
menurut mazhab Imam Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan
orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk
penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah:
1) Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel,
dan bukan bangsa lainnya.
2) Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada surat Al-Maidah ayat 5
menunjukan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa
Israel. Menurut mazhab ini termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-
wanita yang menganut agama tersebut sejak Nabi Muhammad SAW
sebelum diutus menjadi Rasul, yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an
diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani
sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori
ahlu al-kitab, karena tidak sesaui dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.

9
Ibnu Rusdy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul al-Muqtashid (Beirut: Maktabah Ilmiyah) juz II

11
d. Mazhab Hambali
Mazhab Hambali mengemukakan bahwa perkawinan beda agama haram apabila
wanita-wanita musyrik akan tetapi boleh menikahi wanita Yahudi dan Nasrani. Mazhab
ini lebih cenderung mendukung pendapat Imam Syafi’i. Tetapi mazhab Hambali tidak
menbatasi tentang ahlu al-kitab, menurut pendapat mazhab ini bahwa yang termasuk
ahlu al-kitab adalah yang menganut agama Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi
Muhammad SAW sebelum diutus menjadi Rasul. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
dari tabel berikut:
NO Pendapat Imam Isi Keterangan
Hambali
1 Haram Perkawinan beda agama Haram pernikahan
haram apabila wanita-wanita beda agama.
musyrik.
2 boleh Boleh menikahi wanita Lebih baik
Yahudi dan Nasrani sebagai dihindari
ahlu al-kitab, termasuk ahlul pernikahan beda
al-kitab adalah yang agama
menganut agama Yahudi dan
Nasrani sejak saat Nabi
Muhammad belum di utus
menjadi Rasul

KESIMPULAN

Peraturan perudangan yang berlaku di Indonesia tidak menyediakan aturan yang


membolehkan pernikahan beda agama. Para ulama sepakat menyatakan bahwa pernikahan dengan
orang musyrik haram beda agama adalah haram. Menikahi wanita Ahl al-Kitab bagi pria muslim
terdapat dua pandangan ulama, pertama, halal hukummnya, jika wanita Ahl al-Kitab adalah
wanita-wanita yang merdeka dan menjaga kehormatan dirinya (tidak berzina). Hal ini berdasarkan
QS. Al-Maidah (5) ayat 5; kedua, haram hukumnya jika wanita ahl al-kitab tersebut ternyata
akidahnya telah berubah, yakni mengakui trinitas atau mengatakan Uzer dan Isa sebagai anak

12
Tuhan. Dalam posisi demikian wanita Ahl al-Kitab itu telah tergolong sebagai orang-orang
musyrik. Hal ini sesaui dengan firman Allah QS. Al-Baqarah (2) ayat 221.

Namun pada prinsipnya penulis menyatakan bahwa berdasarkan fakta yang ada ditengah-
tengah kehidupan modern sekarang ini, kehalalan menikahi wanita Ahl al-Kitab itu hanya
dirujukan bagi pria muslim yang kuat imannya, mampu menampakkan kesempurnaan Islam,
keluhuran budi pekerti secara islami dan mampu menjalankan misi dakwah, sehingga wanita Ahl
al-Kitab tersebut tertarik dengan ajaran islam dan sekaligus memeluk islam dengan penuh
kesadaran. Tetapi jika imannya lemah dan khuwatir akan terkikis keimanan serta berakibat murtad,
maka haram hukumnya menikahi wanita Ahl al-Kitab. Hal ini sesuai dengan konsep li sad al-
zari’ah.

DAFTAR PUSTAKA

AA Sachedina, “Islamic Perspectives On Interfaith Marriage”, The Muslim Word 91, No.1-2
(2001)
Abi Abd Allah Muhammad Ibn Idris As-Syafi’i, Al-Umm, Jil. V (Beirut: Dar al-Fikr), hlm 7
Al-Qurtubi. (2007). Tafsir Al-Qurtubi. Jakarta: Pustaka Azam.hlm 142
Hamka, (2000). Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas.hlm.111.
Lihat Ahmad Tholabi Kharlie. (2015). Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta Timur: Sinar
Grafika.hlm 168.
M. Jamil (2014). Fikih Perkotaan. Bandung: Cipta Pustaka.hlm 189.
Muhammad Rasyid Ridha. (1974). Tafsir Ak-Manar. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Hlm 281.
Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak (Hasil Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum
Positif dan Hukum Islam), Bandung: Reflika Aditama, 2015, hlm 45-46

13
14

Anda mungkin juga menyukai