Anda di halaman 1dari 114

HUBUNGAN DURASI TIDUR DAN PERILAKU SEDENTARI DENGAN

BODY MASS INDEX PADA SISWA SMA NEGERI 3 CIAMIS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat Untuk Memperoleh Gelar


Sarjana Pendidikan Jasmani

KRISBI SARA

NIM. 2124160133

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS GALUH
CIAMIS
2020
HUBUNGAN DURASI TIDUR DAN PERILAKU SEDENTARI DENGAN
BODY MASS INDEX PADA SISWA SMA NEGERI 3 CIAMIS

KRISBI SARA

2124160133

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH

Pembimbing I

NanaSutisna, M.Pd

NIK. 01.3112770045

Pembimbing II

Risma, S.Si,M.Pd

NIK. 01.3112770495

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Pendidikan Jasmani

Andang Rohendi, M.Pd

NIK. 01.3112770217
BUKTI PENGUJI

Dewan Penguji ujian sidang Sarjana Program Studi Pendidikan Jasmani Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Galuh Ciamis dengan inimenyatakan
bahwa Skripsi yang berjudul:

HUBUNGAN DURASI TIDUR DAN PERILAKU SEDENTARI DENGAN


BODY MASS INDEX PADA SISWA SMA NEGERI 3 CIAMIS

Krisbi Sara telah diujikan dalam rangka ujian Sarjana Pendidikan (S.Pd) Program
studi Pendidikan Jasmani telah diperbaiki sebagaimana mestinya.

Penguji I Ketua merangkap anggota

Penguji II Anggota

Penguji III Anggota

Diketahui
Ketua Prodi Penddidikan Jasmani

Andang Rohendi, M.Pd


SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa skripsi ini berjudul:

“HUBUNGAN DURASI TIDUR DAN PERILAKU SEDENTARI DENGAN

BODY MASS INDEX PADA SISWA SMA NEGERI 3 CIAMIS”, adalah

betul-betul karya tulis saya. Isi dari karya tulis ini bukan merupakan hasil

penjiplakan atau pengutipan yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang

berlaku, dengan demikian saya bersedia menanggung resiko sangsi apapun yang

dijatuhkan kepada saya jika ternyata ditemukan adanya pelanggaran terhadap

etika keilmuan seperti dinyatakan diatas.

Ciamis, 20 Juli 2020

Yang Menyatakan

Krisbi Sara
NIM. 2124160133
ABSTRAK

Krisbi Sara. 2124160133. Judul Skripsi: Hubungan Durasi Tidur dan Perilaku
Sedentari dengan Body Mass Index pada Siswa SMA Negeri 3 Ciamis.
Pembimbing I Nana Sutisna, M.Pd. Pembimbing II Risma, S.Si., M.Pd.

Indonesia seperti negara berkembang lainnya mengalami permasalahan obesitas


pada remaja. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjdinya obesitas diantaranya
adalah durasi tidur dan perilaku sedentari. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
hubungan antara durasi tidur dan perilaku sedentari dengan body mass index pada siswa
SMA Negeri 3 Ciamis. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
Correlational. Sampel berjumlah 36 orang siswa SMA di Kabupaten Ciamis. Instrumen
yang digunakan untuk mengukur durasi tidur dan perilaku sedentari adalah alat ActivPal,
sedangkan untuk mengukur body mass index adalah dengan pengukuran tinggi badan dan
berat badan siswa. Berdasarkan hasil analisis data, deskripsi, pengujiam hasil penelitian,
dan hasil analisis korelasi product moment rx1y = -0,264, bahwa terdapat hubungan
negatif antara durasi tidur dengan body mass index dengan kekuatan sangat rendah. rx2y
= 0,008, bahwa terdapat hubungan positif antara perilaku sedentari dengan body mass
index dengan kekuatan sangat rendah. Sedangkan hasil analisis regresi linear multiples
dengan hasil rx12y = 0,339, bahwa terdapat hubungan antar durasi tidur dan perilaku
sedentari dengan body mass index.

Kata kunci : Durasi tidur, Perilaku sedentari, Body Mass Index

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha Pengasih

lagi Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga

penyusunan skripsi dengan judul “Hubungan Durasi Tidur dan Perilaku Sedentari

dengan Body Mass Index pada Siswa SMA Negeri 3 Ciamis” ini dapat

diselesaikan. Penulisan skripsi ini diajukan sebagai tugas akhir guna memenuhi

salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan pada Pprogram Studi

Pendidikan Jasmani, FKIP, Universitas Galuh Ciamis.

Penulis dalam kesempatan ini, bermaksud memberikan ucapan terima

kasih kepada semua pihak yang telah membantu melalui dorongan moril maupun

material sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih

tersebut diantaranya sebagai berikut:

1. Bapak Dekan FKIP, yang telah memberikan izin penelitian sehingga penulis

dapat melaksanakan penelitian dengan lancar.

2. Bapak Andang Rohendi, M.Pd. sebagai ketua Prodi Pendidikan Jasmani, yang

telah memberikan dorongan baik secara langsung maupun tidak langsung

kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini.

3. Kedua orang tua beserta keluarga besar yang banyak memberikan motivasi.

ii
4. Bapak Nana Sutisna, M.Pd. sebagai pembimbing I yang telah meluangkan

waktunya sehingga proses penyusunan skripsi yang penulis lakukan bisa

terselesaikan.

5. Ibu Risma, S.Si., M.Pd. sebagai pembimbing II yang telah memberikan

dukungan dan arahan dengan kesabarannya dalam proses pembimbingan

kepada penulis.

6. Kepala Sekolah beserta Guru SMAN 3 Ciamis, yang telah menerima kami

selama melakukan penelitian.

7. Siswa dan Siswi SMAN 3 Ciamis, yang telah bersedia menjadi sampel dalam

penelitian yang dilakukan oleh penulis.

8. Dosen dan Staf Prodi Pendidikan Jasmani, yang banyak membantu penulis

selama kuliah di Prodi Pendidikan Jasmani, Universitas Galuh Ciamis.

9. Gita Maelani S.Pd. yang selalu memberikan motivasi, bantuan dan

perhatiannya dalam menyelesaikan karya tulis ini.

10. Teman-teman se-angkatan, yang dengan kebersamaan dalam suka dan duka

selama perkuliahan.

Penulis mohon maaf apabila ada pihak-pihak yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu, tidak ada kata yang dapat penulis ucapkan kecuali mudah-

mudahan Allah SWT melipat gandakan amal kebaikannya. Penulis juga

iii
mengharapkan masukan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan

skripsi ini. Semoga ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua

pihak yang membacanya.

Ciamis, 20 Juli 2020

Krisbi Sara
NIM. 2124160133

DAFTAR ISI

ABSTRAK.......................................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iv
DAFTAR TABEL...........................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR......................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................9
C. Tujuan Penelitian..................................................................................9
D. Manfaat Penelitian................................................................................9
BAB II KAJIAN TEORITIS.........................................................................11
A. Hakekat Durasi Tidur...........................................................................11
B. Hakekat Perilaku Sedentari...................................................................24

iv
C. Hakekat Body Mass Index....................................................................29
D. Hubungan Durasi Tidur dengan Body Mass Index...............................35
E. Hubugan Perilaku Sedentari dengan Body Mass Index........................38
F. Penelitian Yang Relevan.......................................................................39
G. Anggapan Dasar....................................................................................45
H. Hipotesis...............................................................................................46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.....................................................47
A. Metode Penelitian.................................................................................47
B. Desain Penelitian..................................................................................49
C. Populasi dan Sampel Penelitian............................................................50
D. Definisi Operasional Variabel..............................................................52
E. Instrumen Penelitian.............................................................................53
F. Prosedur Pengembangan Instrumen.....................................................54
G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data..................................................56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..............................63
A. Hasil Penelitian.....................................................................................63
B. Pembahasan..........................................................................................74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................81
A. Kesimpulan...........................................................................................81
B. Saran.....................................................................................................81
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................83
LAMPIRAN-LAMPIRAN.............................................................................87
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.......................................................................101

v
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Durasi Kebutuhan Tidur Normal Berdasarkan Usia.........................19

Tabel 2.2 Kriteria Status BMI (World Healty Organization)...........................33

Tabel 3.1 Operasional Variabel........................................................................52

Tabel 3.2 Kriteria Status BMI (World Healty Organization)...........................55

Tabel 3.3 Pedoman Untuk Koefisien Korelasi.................................................61

Tabel 4.1 Distribusi Durasi Tidur.....................................................................63

Tabel 4.2 Distribusi Perilaku Sedentari............................................................64

Tabel 4.3 Distribusi Body Mass Index..............................................................66

Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas.........................................................................67

Tabel 4.5 Hasil Uji Linearitas Durasi Tidur dengan Body Mass Index............68

Tabel 4.6 Hasil Uji Linearitas Perilaku Sedentari dengan Body Mass Index...69

Tabel 4.7 Hasil Uji Korelasi Product Moment.................................................70

Tabel 4.8 Hasil Uji Korelasi Product Moment Durasi Tidur dengan Body Mass

Index.................................................................................................................71

Tabel 4.9 Hasil Uji Korelasi Product Moment Perilaku Sedentari dengan Body

Mass Index........................................................................................................72

Tabel 4.10 Hasil Analisis Regresi Linear Multiples.........................................73

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tahap-tahap tidur..........................................................................15

Gambar 3.1 Desain Penelitian..........................................................................49

Gambar 3.2 Alat Ukur Tinggi Badan...............................................................54

Gambar 3.3 Timbangan Badan.........................................................................55

Gambar 3.4 ActivPal.........................................................................................56

Gambar 4.1 Diagram Durasi Tidur...................................................................64

Gambar 4.2 Diagram Perilaku Sedentari..........................................................65

Gambar 4.3 Diagram Body Mass Index............................................................67

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data hasil pengukuran variabel X1 (Durasi Tidur)..................87

Lampiran 2. Data hasil pengukuran variabel X2 (Perilaku Sedentari).........88

Lampiran 3. Data hasil pengukuran variabel Y (Body Mass Index)............89

Lampiran 4. Output Uji Normalitas variabel X 1 (Durasi Tidur), X2 (Perilaku

Sedentari), dan Y (Body Mass Index).....................................90

Lampiran 5. Output Uji Linearitas X 1 (Durasi Tidur) dengan Y (Body

Mass Index).............................................................................91

Lampiran 6.Output Uji Linearitas X2 (Perilaku Sedentari) dengan Y

(Body Mass Index)..................................................................92

Lampiran 7. Output Uji Korelasi Pearson Product Moment X1 (Durasi

Tidur) dengan Y (Body Mass Index)......................................93

Lampiran 8. Output Uji Korelasi Pearson Product Moment X2 (Perilaku

Sedentari) dengan Y (Body Mass Index)................................94

Lampiran 9. Output Uji Korelasi Regreasi Llinear Multiples X (Durasi

Tidur) dan X2 (Perilaku Sedentari) dengan Y (Body Mass

Index)......................................................................................95

Lampiran 10. Dokumentasi penelitian.........................................................97

Lampiran 11. Surat permohonan izin penelitian..........................................99

Lampiran 12. Surat keterangan telah melaksanakan penelitian...................100

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan zaman dan arus globalisasi sangatlah mempengaruhi kehidupan

setiap individu di Indonesia maupun di negara-negara lainnya, baik ditinjau dari

teknologi maupun gaya hidupnya. Akibat perkembangan teknologi yang sangat

cepat, memungkinkan manusia untuk hidup serba praktis, instan serta otomatis,

sehingga banyak pekerjaan atau kegiatan dapat dilakukan dengan mudah tanpa

harus mengeluarkan tenaga yang besar. Bila ingin menuju suatu tempat kita hanya

perlu mengendarai mobil dan alat transportasi lainnya.

Kecenderungan untuk menonton televisi dan bermain game komputer yang

banyak menghabiskan waktu seharian untuk duduk di depan komputer,

memanjakan kita sehingga kurangnya aktivitas gerak, terlebih untuk remaja yang

sedang dalam masa pertumbuhan. Berbagai kemudahan yang diperoleh dari

kemajuan itu menyebabkan manusia secara sadar atau tidak sadar mengalami

perubahan pada pola perilaku yang monoton atau terbatas serta diikuti dengan

perubahan pola tidur yang serba tidak teratur.

Aktivitas gerak tubuh merupakan suatu dasar dari tingkat kebugaran jasmani.

Pada era globalisasi ini menyebabkan perubahan perilaku yang menimbulkan

ketidakseimbangan dalam melakukan aktivitas fisik. Rendahnya tingkat aktivitas

fisik merupakan salah satu faktor peningkatan body mass index (BMI). Perubahan

body mass index dapat terjadi pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin

tidak terkecuali anak remaja. Baik dan buruknya tingkat kebugaran jasmani

ditentukan oleh aktif dan tidaknya anggota tubuh itu sendiri. Seseorang yang

1
2

secara fisik bugar dapat melakukan aktivitas fisik sehari-hari dengan giat memiliki

risiko rendah dalam masalah penyakit obesitas dan dapat menikmati olahraga

serta berbagai aktivitas lainnya (Meredith, 1996). Obesitas yang menetap sejak

masa anak-anak sampai dewasa memicu terjadinya hipertensi dan penyakit

jantung iskemik. Oleh karena itu, obesitas menjadi masalah kesehatan pada

masyarakat (Hassink, 2003).

Data hasil dari buku Profil Kesehatan di Jawa Barat (2017), secara nasional

menunjukkan angka status gizi pada anak usia 13-15 tahun terdiri dari, 2% sangat

kurus, 6,5% kurus, 71,5% normal 7,5% gemuk, dan 2,5% sangat gemuk

(obesitas). Sedangkan pada anak umur 16-18 tahun terdiri dari 1,4% sangat kurus,

7,7% kurus, 83,3% normal, 6,2% gemuk dan 1,4% sangat gemuk (obesitas)

(Dinkes Jabar, 2017). Selain itu masalah yang harus diperhatikan yakni masalah

kegemukan. Di Indonesia masalah kegemukan pada anak umur 13-18 tahun masih

tinggi. Berdasarkan dari data riset tersebut dapat disimpulkan bahwa angka

prevalensi yang mengalami masalah berat badan dibawah angka normal dan berat

badan diatas angka normal (obesitas) yang terjadi pada masyarakat di Indonesia

terkhusus pada anak Sekolah Menengah Atas membutuhkan perhatian khusus.

Apabila masalah tersebut hanya dibiarkan tanpa adanya tindakan pencegahan

sejak dini dapat menjadi salah satu permasalahan yang cukup serius di masa yang

akan datang. Salah satu cara untuk menekan dan menghambat angka obesitas

yang terjadi sejak dini adalah rutin melakukan aktivitas fisik. Tetapi, pada era

sekarang intensitas aktivitas fisik telah mengalami penurunan.

Berdasarkan hasil Profil Kesehatan di Jawa Barat (2017), menunjukkan angka

sebesar 33.5 masyarakat di Indonesia usia ≥10 tahun yang tergolong kurang aktif.
3

Hasil riset pada provinsi Jawa Barat sendiri sebesar masyarakat yang tergolong

kurang aktif. Semakin menurunnya tingkat aktivitas fisik pada anak dan diikuti

kurang tepatnya pola makan, mempunyai peluang peningkatan body mass index

(BMI) secara terus-menerus. Sebaliknya apabila melakukan aktivitas fisik secara

berlebihan dan asupan yang dimakan kurang tepat kemungkinan dapat berdampak

pada kekurangan berat badan atau indeks massa tubuh dibawah angka normal.

Setiap aktivitas yang dilakukan membutuhkan energi yang berbeda

tergantung lama intensitas dan kerja otot. Body mass index, durasi tidur dan

perilaku sedentari merupakan tiga variabel yang saling berkaitan karena semakin

tinggi intensitas perilaku sedentari maka body mass index yang dimiliki semakin

buruk. Sebaliknya, semakin rendah perilaku sedentari yang dilakukan maka

kemungkinan indeks massa tubuh semakin baik. Tingginya perilaku sedentari

menyebabkan penumpukan energi oleh tubuh dalam bentuk lemak (Ariyani &

Masluhiya, 2017). Jika hal ini terjadi secara berkelanjutan maka akan

menyebabkan peningkatan body mass index. Tetapi, perilaku sedentari yang

dilakukan haruslah sesuai dengan porsinya, teratur dan tidak berlebihan agar dapat

memberikan hasil yang baik.

Masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang cepat dengan berbagai

perubahan drastis pada komposisi tubuh seperti peningkatan massa otot serta

ukuran tulang untuk mempengaruhi aktivitas fisik dan respon terhadap latihan.

Salah satu cara untuk memantau tingkat status gizi anak adalah dengan

menggunakan alat ukur body mass index. BMI merupakan cara pengkategorian

berat badan anak yang sangat sederhana dan bisa digunakan dalam penelitian

populasi berskala besar. Pengukurannya hanya membutuhkan dua komponen


4

yaitu berat badan dan tinggi badan (Egger & Swinburn,1996).

Terlepas dari itu semua, body mass index bisa menjadi patokan seseorang

untuk mengontrol berat badannya.seseorang yang kelebihan berat badan atau

bahkan obesitas sangat rentan terhadap penyakit tertentu. Obesitas adalah

penumpukkan lemak yang tidak normal atau berlebihan di dalam tubuh. Kondisi

ini jika dibiarkan terus menerus dapat mempengaruhi kesehatan penderitanya.

Kondisi ini tidak hanya berdampak pada penampilan fisik penderitanya, tetapi

juga meningkatkan risiko dalam kesehatan seperti penyakit jantung, diabetes, dan

tekanan darah tinggi (Bays et al., 2007). Kebiasaan pola perilaku yang pasif untuk

melakukan aktivitas fisik terkhusus pada anak remaja membuat peluang

peningkatan body mass index semakin besar. Adanya asumsi bahwa semakin

tingginya body mass index seseorang maka aktivitas fisik yang dilakukan semakin

rendah.

Anak-anak dan remaja kini lebih banyak menghabiskan waktu mereka

dengan dengan menonton televisi dan bermain game. Tren perilaku seperti itu

disebut dengan perilaku sedentari. Perilaku sedentari adalah segala macam

aktivitas diluar waktu tidur, dalam posisi duduk atau berbaring yang tidak

memerlukan banyak energi atau bahkan sangat sedikit (Tremblay,2012). Berbagai

macam aktivitas di rumah, sekolah, atau di tempat kerja; seperti membaca,

menonton televisi, bermain game, berkendara sepeda motor, dan menggunakan

komputer, tergolong perilaku sedentari. Di Kanada, anak-anak dan remaja rata-

rata menghabiskan waktunya dengan perilaku sedentary lebih dari 6 jam dalam

sehari (Colley et al, 2011). Di beberapa negara, perilaku sedentari saat ini menjadi

isu penting dalam kesehatan masyarakat karena efek negatifnya terhadap


5

kesehatan. Namun, studi tentang perilaku sedentari ini di Indonesia masih sangat

kurang. Padahal aktivitas fisik pada anak remaja saja masih kurang, apalagi

aktivitas menetap atau sedentari ini di Indonesia yang sering dilakukan anak

remaja pada waktu luang. Data World Health Organization menyatakan bahwa

salah satu faktor terjadinya obesitas anak adalah meningkatnya perilaku sedentari

dan kurangnya aktivitas fisik (Paramitha, 2013).

Penelitian mengenai aktivitas sedentari pernah dilakukan di Indonesia salah

satunya yaitu yang dilakukan oleh Rahmadani A, Indriasari R dan Yustini pada

tahun 2014. Penelitian tersebut membahas mengenai hubungan aktivitas sedentari

dengan kejadian overweight pada remaja di SMA Katolik Cendrawasih Makassar,

dimana dari hasil akhir yang didapatkan menunjukkan bahwa ada korelasi antara

aktivitas sedentari dengan kejadian overweight / kelebihan berat badan

(Rahmadani, Indiasari, & Yustini, 2014).

Namun terdapat penelitian lain yang membahas mengenai perilaku sedentari

adalah penelitian yang dilakukan oleh Pramita & Griadhi pada tahun 2016 dengan

judul Hubungan Antara Perilaku Sedentari Dengan Indeks Massa Tubuh Pada

Siswa Kelas V di SD Cipta Dharma Denpasar dimana dari hasil akhir penelitian

yang didapatkan menunjukkan bahwa ada hubungan antara perilaku sedentari

dengan indeks massa tubuh pada siswa kelas V di SD Cipta Dharma Denpasar.

Selain perilaku sedentari, durasi tidur juga dapat mempengaruhi body mass

index seseorang. Durasi tidur pendek dapat menyebabkan terjadinya perubahan

asupan energi individu (Chapman dkk, 2012). Asupan makan akan berpengaruh

terhadap berat badan dan menyebabkan perubahan IMT (Dewi, 2013).Remaja

adalah tempo waktu transisi antara kanak-kanak menuju dewasa. Dalam masa
6

peralihan ini tentunya diiringi perubahan jadwal dan aktivitas kegiatan. Beberapa

diantaranya jadwal disekolah / perkuliahan yang mulai padat. Beberapa remaja

bahkan ada yang sudah mulai bekerja. Di satu sisi lingkungan pergaulan yang

semakin luas, memicu kebiasaan berkeliling hingga larut malam. Selain itu

mudahnya datang rasa jenuh dan bosan, membuat remaja suka mencari hiburan.

Salah satunya menyaksikan tayangan televisi, dan tentunya bila sudah di depan

layar kaca, akan menghabiskan waktu hingga berjam-jam hingga larut malam

sehingga durasi tidur menjadi berkurang.

Saat istirahat tubuh melakukan proses pemulihan yang sangat bermanfaat

untuk mengembalikan stamina tubuh hingga berada dalam kondisi yang optimal.

Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia untuk fungsi restorasi dan homeostatis

seluruh sistem organ tubuh, yang bersifat menyegarkan dan penting dalam

termoregulasi normal serta penyimpanan energi. Kebutuhan tidur anak sekitar 10-

12 jam per hari, dengan pola tidur yang irregular, sangat dipengaruhi oleh kondisi

psikologis, gaya hidup, dan gangguan siklus sirkadian bangun-tidur akibat

pengaruh perubahan hormon melatonin saat pubertas (Nelson, 2014).

Setiap orang memiliki durasi tidur yang berbeda, kebutuhan tidur yang tidak

tercukupi secara kualitas dan kuantitas, dapat menimbulkan gangguan konsentrasi,

rasa ngantuk, serta penurunan produktivitas (Moorcroft, 2013). Tidur yang tidak

adekuat dan kualitas tidur dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan fisiologi

dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, rasa

capek, lemah, koordinasi neuromuscular buruk, proses penyembuhan lambat, daya

tahan tubuh menurun, dan ketidakstabilan tanda vital. Sedangkan dampak

psikologi meliputi depresi, cemas, tidak konsentrasi (Rasyid IA, Syafrita Y, &
7

Sastri S, 2017).

Orang yang tidur kurang dari 7 jam per hari memiliki resiko mendapatkan

body mass index yang lebih besar dari pada orang yang tidur lebih lama karena

obesitas erat kaitannya dengan sekresi hormone ghrelin dan leptin yang terdapat

dalam sirkulasi darah. Hormon ghrelin dan leptin merupakan hormon pencernaan

yang memberikan sinyal ke hipotalamus untuk mengatur nafsu makan sebagai

penyeimbang pengatur rasa lapar dan kenyang. Ghrelin dihasilkan oleh saluran

pencernaan yang berperan untuk meningkatkan nafsu makan, sedangkan leptin

bertanggung jawab untuk memberikan sinyal ke otak ketika kenyang. Ketika

seseorang memiliki waktu tidur yang kurang akan meningkatkan kadar ghrelin

dan menurunkan kadar leptin, yang artinya rasa lapar akan terus terangsang dan

meningkat (Septiana & Irwanto, 2017).

Penelitian mengenai hubungan antara durasi tidur dan kualitas tidur dengan

indeks massa tubuh dalam besar sampel dewasa muda di Universitas Zagreb

Krowasia menunjukkan terdapat hubungan dimana durasi tidur yang singkat dan

kualitas tidur yang buruk akan meningkatkan indeks massa tubuh (Krističević,

Štefan, & Sporiš, 2018). Di Amerika Serikat terdapat penelitian mengenai kualitas

tidur dengan indeks massa tubuh pada mahasiswa di Amerika menunjukkan 51

persen memiliki kualitas tidur yang buruk dan termasuk kategori obesitas (Perla

A. Vargas, Melissa Flores, 2014).

Penelitian yang dilakukan di Kanada menunjukkan setiap orang yang

memiliki durasi tidur lebih cepat akan meningkatkan resiko obesitas. Terdapat

variasi berat badan 0,7 kg setiap berkurang waktu tidur selama 1 jam (Filiatrault,

Chaput, Drapeau, & Tremblay, 2014). Penelitian terhadap pengaruh kurang tidur
8

dengan resiko obesitas didapatkan kurangnya durasi tidur akan meningkatkan

resiko obesitas (Monica, 2013). Terdapat penelitian mengenai durasi dan kualitas

tidur terhadap indeks massa tubuh pada individu dewasa di kota Yogyakarta

menyatakan bahwa durasi tidur pendek dan kualitas tidur buruk berhubungan

dengan indeks massa tubuh yang tinggi pada individu dewasa di Yogyakarta

(Satwika, 2017).

Namun terdapat penelitian lain yang membahas mengenai durasi tidur adalah

penelitian yang dilakukan oleh Hasiana pada tahun 2013 dengan Judul Hubungan

Pola Tidur Dengan Indeks Massa Tubuh Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011 dan 2012 dimana dari hasil akhir

penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pola

tidur dengan indeks massa tubuh. Penelitian mengenai hubungan kualitas tidur

dengan obesitas mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Riau angkatan 2014

menyatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kualitas tidur dengan

IMT (Yenni Yostiana Sinaga, Eka Bebasari, 2015).

Berdasarkan uraian di atas masih terdapat perbedaan atau inkonsistensi dari

beberapa hasil penelitian yang membahas tentang hubungan perilaku sedentari

dan durasi tidur dengan body mass index. Maka, harus dilakukan penelitian lebih

lanjut lagi untuk mengetahui hubungan antara perilaku sedentari dan durasi tidur

dengan indeks massa tubuh. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul; “Hubungan Durasi Tidur Dan Perilaku Sedentari Dengan

Body Mass Index Pada Siswa SMA Negeri 3 Ciamis”


9

B. Rumusan Masalah

Suatu permasalahan akan dapat dikaji dengan baik, jika masalah tersebut

dirumuskan dengan jelas. Dan berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan

maka yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat hubungan antara durasi tidur dengan body mass index pada

siswa SMA Negeri 3 Ciamis ?

2. Apakah terdapat hubungan antara perilaku sedentari dengan body mass index

pada siswa SMA Negeri 3 Ciamis ?

3. Apakah terdapat hubungan antara durasi tidur dan perilaku sedentari secara

bersama-sama dengan body mass index pada siswa SMA Negeri 3 Ciamis ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui:

1. Hubungan antara durasi tidur dengan body mass index pada siswa SMA

Negeri 3 Ciamis.

2. Hubungan antara perilaku sedentari dengan body mass index pada siswa SMA

Negeri 3 Ciamis.

3. Hubungan antara durasi tidur dan perilaku sedentari secara bersama-sama

dengan body mass index pada siswa SMA Negeri 3 Ciamis.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan ruang lingkup dan permasalahan yang diteliti, hasil penelitian ini

diharapkan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.


10

Manfaat teoritis berarti bahwa hasil penelitian bermanfaat untuk mengembangkan

ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan objek penelitian. Sedangkan manfaat

praktis ialah manfaat yang bersifat praktik.

Lebih lanjut manfaat teoritis maupun praktis dari penelitian ini ialah sebagai

berikut :

A. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi

pengembangan penelitian dalam bidang kesehatan dan dapat menjadi bahan

penelitian yang lebih lanjut. Selain itu, penelitian ini juga dapat dijadikan

sebagai sumber literatur dalam pengembangan bidang kesehatan khususnya

mengenai hubungan antara durasi tidur dan perilaku sedentari dengan body

mass index pada siswa SMA Negeri 3 Ciamis.

B. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan untuk mengontrol durasi

tidur dan perilaku sedentari anak remaja serta memberikan informasi kepada

anak berkaitan dengan pentingnya durasi tidur dan perilaku sedentari guna

menekan body mass index anak agar terhindar dari kekurangan dan kelebihan

berat badan.
BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Hakekat Durasi Tidur

1. Definisi tidur

Guyton dan Hall (2006) mengemukakan bahwa, “tidur didefinisikan

sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat

dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang

lainnya.” Berdasarkan penjelasan diatas penulis menginterpretasikan bahwa,

tidur adalah suatu keadaan tidak sadar (unconciouseness) akan tetapi masih

dapat dibangunkan dengan memberikan perangsangan sensori atau dengan

rangsangan yang lainnya yang sesusai.

Tarwoto & Wartonah (2011) mengemukakan bahwa, “tidur adalah

suatu keadaan yang relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa

kegiatan yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dan masing-

masing menyatakan fase kegiatan otak dan badaniyah yang berbeda.”

Berdasarkan penjelasan diatas penulis menginterpretasikan bahwa, tidur

adalah suatu keadaan fisiologis dimana badan relatif tanpa sadar yang penuh

dengan ketenangan tanpa sedang melakukan aktivitas dan merupakan fase

siklus yang berulang-ulang dan masing-masing fase menyatakan kegiatan

otak dan badan bertolak belakang dimana tubuh dan aktivitas metabolisme

menurun akan tetapi otak bekerja lebih keras selama periode bermimpi.

Asmadi (2008) mengemukakan bahwa, “tidur merupakan suatu keadaan

tidak sadar dimana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan

menurun atau hilang, dan dapat dibangunkan kembali dengan indra atau

11
12

rangsangan yang cukup.” Berdasarkan penjelasan diatas penulis

menginterpretasikan bahwa, tidur merupakan proses dimana badan yang

semula bekerja penuh akan mulai turun saat tidur dan di saat tidur tersebut

tubuh akan merileksasikan organ tubuh dan memperbaiki sel-sel tubuh yang

sudah rusak secara maksimal, dan juga membantu merileksasikan kerja

otak.

Berdasarkan pendapat atau pemaparan teori yang telah dikemukakan,

maka penulis dapat meyimpulkan bahwa tidur adalah sebagai suatu keadaan

tanpa sadar yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dimana

badan yang semula bekerja penuh akan mulai turun saat tidur dan masih

dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan

rangsang lainnya

Fisiologi tidur. Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, di mana

ketika seseorang sedang tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya

tidak aktif melainkan sedang bekerja (Hartono, 1996). Sistem yang

mengatur siklus atau perubahan dalam tidur Reticular Activating System

(RAS) Bulbar Synchronizing Regional (BSR) yang terletak pada otak

(Tortora & Derrickson, 2014).

RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan

susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak

dalam mesensefalon dan bagian atas pons. Selain itu RAS dapat memberi

rangsangan visual, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari

korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan

sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti


13

norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan

serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak tengah,

yaitu BSR (Tortora & Derrickson, 2014).

2. Tahapan tidur

Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau

Rapid Eye Movement (RED) dengan pergerakan mata yang tidak cepat atau

Non Rapid Eye Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang

terdiri dari 4 stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium dua, tidur

stadium tiga dan tidur stadium empat; lalu diikuti oleh fase REM. Fase

NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam semalam

(Patlak, 2005).

a. Tidur stadium satu

Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan

dapat terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain.

Selama tahap pertama tidur, mata akan bergerak perlahan-lahan dan

aktivitas otot melambat (Patlak, 2005).

b. Tidur stadium dua

Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung

melambat dan suhu tubuh menurun (Smith dan Segal, 2010). Pada tahap

ini didapatkan gerakan bola mata berhenti (Patlak, 2005).

c. Tidur stadium tiga

Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong 2003). Pada

tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun, individu
14

tersebut tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung

selama beberapa menit (Smith dan Segal 2010).

d. Tidur stadium empat

Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam titik gelombang

otak sangat lamban. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju

otot untuk memulihkan energi fisik (Smith dan Segal 2010).

Tahap 3 dan 4 dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, sangat

restorative dan merupakan bagian tidur yang diperlukan untuk merasa cukup

istirahat dan energik di siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM ini

biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan

masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung

lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau

bangun (Japardi, 2002).

Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun

kelopak mata tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak

teratur, dan dangkal. Denyut jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005).

Selama tidur, baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi, tetapi

mimpi dari tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional

untuk konsolidasi memori jangka panjang (Potter dan Perry, 2005).

Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata 7 jam, kedua macam

tidur, yaitu REM dan NREM, berselingan 4-6 kali. Apabila seseorang

kurang cukup mengalami REMS, maka keesokan harinya ia akan

menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat

mengendalikan emosinya, nafsu makan bertambah dan nafsu birahi pun


15

lebih besar. Sedangkan, jika NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi

kurang gesit (Mardjono, 2008).

Siklus tidur normal dapat dilihat dari skema berikut:

Gambar 2.1 Tahap-tahap tidur


(Sumber: Potter dan Perry:2005)

Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan

siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Ketukan Irama sirkadian ini juga

merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi

fisiologis dan psikologis dapat terganggu (Potter dan Perry, 2005).

3. Mekanisme tidur

Tidur NREM dan REM berbeda berdasarkan kumpulan parameter

fisiologis. NREM ditandai oleh denyut jantung dan frekuensi pernafasan

yang stabil dan lambat serta tekanan darah yang rendah. NREM adalah

tahapan tidur yang tenang. REM ditandai dengan gerakan mata yang tepat

dan tiba-tiba, peningkatan saraf otonom dan mimpi. Pada tidur REM

terdapat fluktuasi luas dari tekanan darah denyut nadi dan frekuensi nafas.

Keadaan ini disertai dengan penurunan tonus otot dan peningkatan aktivitas
16

otot involunter. REM disebut juga aktivitas otak yang tinggi dalam tubuh

yang lumpuh dan tidur paradoks (Ganong, 2003).

Pada tidur yang normal, masa tidur REM berlangsung 5-20 menit, rata-

rata timbul setiap 90 menit dengan periode pertama terjadi 80-100 menit

setelah seseorang tertidur. Tidur REM menghasilkan pola EEG yang

menyerupai tidur NREM tingkat satu dengan gelombang beta, disertai

mimpi aktif, tonus otot sangat rendah, frekuensi jantung dan nafas tidak

teratur (pada mata menyebabkan gerakan bola mata yang cepat atau rapid

eye movement), dan lebih sulit dibangunkan daripada tidur gelombang

lambat atau NREM.

Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh

sistem yang disebut Reticular Activity System (RAS). Bila aktivitas ras

meningkat maka orang tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas ras

menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktivitas ras ini sangat

dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmitter seperti sistem serotoninergik,

noradrenergik, histaminergik (Japardi, 2002).

a. Sistem serotoninergik

Hasil serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam

amino triptofan. Dengan bertambahnya jumlah triptofan maka jumlah

serotonin yang terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan

mengantuk atau tidur. Bila serotonin dalam triptofan terhambat

pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur atau terjaga.

Menurut beberapa peneliti, lokasi dengan sistem serotoninergik,

terbanyak terletak pada nucleus raphe dorsalis pada batang otak, yang
17

mana terdapat hubungan aktivitas serotonis di nucleus raphe dorsalis

dengan tidur REM.

b. Sistem adrenergik

Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepinefrin terletak di

badan sel nucleus cereleus di batang otak titik kerusakan sel neuron pada

locus cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM

tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktivitas neuron

adrenergik akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan

peningkatan keadaan jaga.

c. Sistem kolinergik

Menurut Sitaram dkk, (1976) dalam Japardi (2002) membuktikan

dengan pemberian intravena dalam mempengaruhi episode tidur REM.

Stimulasi jalur kolinergik ini mengakibatkan aktivitas gambaran EEG

seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktivitas kolinergik Sentral yang

berhubungan dengan pola tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga

terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik

(scopolamine) yang menghambat pengeluaran kolinergik dari locus

cereleus maka tampak gangguan pada fase awal dan penurunan REM.

d. Sistem histaminergik

Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.

e. Sistem hormon

Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti Adrenal

Corticotropin Hormone (ACTH), Growth Hormone (GH), Tyroid

Stimulating Hormon (TSH), Liteunizing Hormone (LH). Hormon-


18

hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar hipofisis

anterior melalui jalur hipotalamus. Sistem ini secara teratur

mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter norepinefrin, dopamine,

serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.

4. Kualitas tidur

Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga

seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah mudah terangsang,

dan belisa, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata kelopak mata bengkak,

konjungtiva merah mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala, dan

sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Kualitas tidur, menurut

American Psychiatric Association (2000), dalam Wong Wai Yi (2008),

didefinisikan sebagai suatu fenomena konflik yang melibatkan beberapa

dimensi.

Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti

lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi

terbangun dan aspek subjektif seperti kedalaman dan kepuasan tidur

(Buysse, Reynolds, Monk, Berman, & Kupfer, 1988).

Kebutuhan total tidur setiap golongan usia berbeda. Semakin dewasa

durasi tidur akan semakin sedikit. Hal ini dikarenakan kesibukan yang

dimiliki individu tersebut untuk bersekolah atau bekerja pada siang hari.

Berikut ini adalah kebutuhan tidur yang normal untuk masing-masing

golongan usia.
19

Tabel 2.1
Durasi Kebutuhan Tidur Normal Berdasarkan Usia

Usia Durasi Tidur


0-1 Bulan 18 Jam
1-4 Bulan 14 ½ – 15 ½ Jam
4-12 Bulan 14-15 Jam
1-3 Tahun 12-14 Jam
3-6 Tahun 10 ¾ – 12 Jam
7-12 Tahun 10-11 Jam
12-18 Tahun 8¼–9½ Jam
18-25 Tahun 7-9 Jam
26-64 Tahun 7-9 Jam
Sumber : Nelson, 2014

Durasi tidur mungkin menjadi regulator penting berat badan dan

metabolisme. Suatu hubungan antara kebiasaan waktu tidur yang pendek

dan peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) telah dilaporkan dalam sampel

populasi yang lebih besar. Peranan potensial hormon metabolik dalam

hubungan ini belum diketahui.

Sejumlah hormon memediasi interaksi antara durasi tidur yang pendek,

metabolisme dan tingginya IMT. Dua hormon kunci yang mengatur nafsu

makan yaitu leptin dan ghrelin. Kedua hormon ini memainkan peranan yang

signifikan dalam interaksi antara durasi tidur yang pendek dan tingginya

IMT. Fungsi dari kedua hormon ini adalah sebagai berikut :

a. Hormon Leptin

Leptin adalah adipocyte-derived hormone yang menekan nafsu

makan. Hormon pertama yang dapat menurunkan berat badan adalah

hormon leptin. Hormon ini merupakan salah satu hormon yang terdapat

di dalam tubuh yang disekresikan oleh jaringan adiposa. Selain di bagian

jaringan adiposa, hormon leptin ini juga diproduksi di bagian tubuh


20

lainnya seperti di dalam perut, jantung dan plasenta (Taheri, Lin, Austin,

Young, & Mignot, 2004).

Sebenarnya fungsi hormon leptin ini adalah memberikan sinyal

kepada otak mengenai beberapa banyak jumlah lemak yang ada di

dalam tubuh, dan hormon ini juga dapat dipecah menjadi zat

metabolisme tubuh. Semakin banyak jumlah hormon ini di dalam tubuh

dapat mengakibatkan naiknya metabolisme tubuh, sedangkan jika

hormon leptin ini mengalami penurunan maka akan menyebabkan

metabolisme tubuh menurun (Taheri et al., 2004).

Cara kerja dari hormon leptin ini dibantu oleh reseptor leptin

antara lain adalah LEPR, gen LEPR dimana reseptor tersebut berada di

dalam kromosom 1 yang di dalamnya mengandung 18 ekson dan 17

intron, sehingga reseptor ini dapat melakukan tugasnya dengan baik.

Reseptor tersebut dapat juga memberikan sinyal kepada bagian otak

yaitu, hipotalamus. Hormon leptin ini dikeluarkan dalam sistem melalui

jaringan adiposa tersebut. Hormon ini akan memberikan sinyal kepada

otak mengenai berapa banyak jumlah lemak sebagai persediaan energi di

dalam tubuh, setelah otak menerima berita tersebut maka selanjutnya

otak akan memberikan instruksi pada tubuh, apakah untuk menambah

atau mengurangi energi yang ada di dalam tubuh. Jika perlu menambah

maka otak akan memberikan sinyal lapar dan haus, jika tidak maka otak

tidak akan memberikan sinyal apapun.

Jumlah kadar leptin di dalam tubuh dipengaruhi oleh berbagai

faktor termasuk persediaan energi, asupan makanan dalam tubuh, umur,


21

gender, dan kadar gula darah dalam tubuh. Semakin besar energi

tersimpan di dalam tubuh akan membuat kadar leptin juga semakin besar

(Taheri et al., 2004).

b. Hormon Ghrelin

Hormon lainnya selain hormon leptin yang bertanggung jawab dalam

pengelolaan nafsu makan adalah hormon ghrelin. Ghrelin sebagian besar

adalah peptide yang berasal dari abdomen yang menstimulasi nafsu

makan. Hormon ghrelin ini pertama kali ditemukan dalam hormone

secretagogue receptors. Yang berfungsi sebagai stimulan sekresi GH.

Hormon ini diproduksi dalam kelenjar-kelenjar oxyntic mukosa yang

tersebar di dalam lambung. Selain di dalam lambung ternyata di dalam

saraf neutron antara nukleus-nukleus di sekitar vertikel III juga didapati

bisa memproduksi hormon ghrelin ini (Taheri et al., 2004).

Hormon ini merupakan senyawa peptide yang memberikan sinyal

kepada otak mengenai kondisi asupan makanan di dalam tubuh apakah

masih mencukupi (kenyang) ataukah sudah perlu mendapatkan asupan

makanan (lapar). Hormon ghrelin yang ada di dalam lambung akan

menuju hipotalamus melalui saluran darah.

Mediator lain yang memberi kontribusi terhadap metabolisme adalah

adiponektin dan insulin. Adiponektin adalah hormon yang baru

diketahui, disekresi oleh adiposit dan berhubungan dengan sensitivitas

insulin. Beberapa penelitian telah menghubungkan durasi tidur (akut dan

kebiasaan), hormon-hormon metabolik, dan IMT pada populasi studi

wisconsin Sleep Cohort Study. Garaulet dkk pada tahun 2012,


22

menemukan bahwa durasi tidur yang pendek mempengaruhi peningkatan

IMT. Chaput dkk pada tahun 2012 menemukan hanya durasi tidur yang

pendek (<10 jam/malam) secara independen berhubungan dengan resiko

overweight/obesity.

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Durasi Tidur

a. Umur

Semakin bertambah umur manusia, maka semakin berkurang total

waktu kebutuhan tidur. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan dan

fisiologis dari sel-sel dan organ pada neonati, kebutuhan tidur tinggi

karena masih dalam proses adaptasi dengan lingkungan dari dalam rahim

ibu, sedangkan pada lansia sudah mulai terjadi degenerasi sel dan organ

yang mempengaruhi fungsi dan mekanisme tidur (Perry&Potter, 2010).

b. Penyakit

Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik

(misal kesulitan bernapas), atau masalah suasana hati. Penyakit juga

dapat memaksa klien untuk tidur dalam posisi yang tidak biasa. Sebagai

contoh memperoleh posisi yang aneh saat tangan atau lengan di

mobilisasi pada traksi dapat mengganggu tidur. Hal ini umumnya terjadi

pada klien dengan nyeri, kecemasan, dan dispnea. Juga pada kasus

tertentu dengan klien gangguan hipertiroid. Penyakit pernapasan

seringkali mempengaruhi tidur. Hipertensi seringkali menyebabkan

terbangun pada pagi hari dan kelemahan nokturia, atau berkemih pada

malam hari, mengganggu tidur dan siklus tidur. Lansia seringkali

mengalami “sindrom kaki tak berdaya” yang terjadi pada saat sebelum
23

tidur. Seseorang yang berpenyakit tukak peptik seringkali terbangun

pada tengah malam. Kadar asam lambung mencapai puncak sekitar

pukul 1-3 menyebabkan nyeri lambung (Perry&Potter, 2010).

c. Motivasi

Niat seseorang untuk tidur mempengaruhi kualitas tidur seperti

menonton, main game atau hal-hal lain yang dapat menyebabkan

penundaan waktu anda untuk tidur (Perry&Potter, 2010).

d. Emosi

Suasana hati, marah, cemas, dan stress dapat menyebabkan

seseorang tidak bisa tidur atau mempertahankan tidur (Perry&Potter,

2010).

e. Lingkungan

Lingkungan yang tidak kondusif seperti di dekat bandara atau di

tempat-tempat umum yang menimbulkan kebisingan (Perry&Potter,

2010).

f. Obat-obatan

Penggunaan atau ketergantungan pada penggunaan obat-obat

tertentu seperti, hipnotika dan steroid. Mengantuk dan deprivasi tidur

adalah efek samping medikasi yang umum. Medikasi yang diresepkan

untuk tidur seringkali memberi banyak masalah daripada keuntungan.

Orang dewasa muda dan dewasa tengah dapat tergantung pada obat tidur

untuk mengatasi stressor gaya hidupnya (Perry&Potter, 2010).


24

g. Makanan dan Minuman

Pola dan konsumsi makanan yang mengandung merica, gas/air yang

banyak, pola dan konsumsi minuman yang mengandung kafein, gas dll

(Perry&Potter, 2010).

h. Aktivitas

Kurang beraktivitas dan atau melakukan aktivitas yang berlebih

justru akan menyebabkan kesulitan untuk memulai tidur (Perry&Potter,

2010).

B. Hakekat Perilaku Sedentari

1. Definisi Perilaku Sedentari

Pengertian perilaku sedentari telah diungkapkan oleh para pakar

kesehatan, sehingga istilah tersebut menjadi pokok pembahasan yang cukup

menarik. Pemaparan teori atau pendapat para ahli adalah sebagai berikut:

Riskesdas (2013) mengemukakan bahwa “perilaku sedentari adalah

suatu perilaku duduk atau berbaring dalam kegiatan sehari-hari baik di

tempat kerja (membaca, di depan komputer, dan lain lain), di rumah

(menonton TV, bermain game, dan lain lain), di perjalanan/transportasi

(kereta, bus, mobil, motor, dan lain lain), tetapi tidak termasuk saat tidur.”

Berdasarkan penjelasan diatas penulis menginterpretasikan bahwa, perilaku

sedentari adalah perilaku seseorang yang tidak atau kurang banyak

melakukan gerakan seperti bekerja di depan komputer, menonton televisi,

bermain game, dan lain-lain akan tetapi tidak termasuk tidur.


25

Dogra & Stathokostas (2012) mengemukakan bahwa “perilaku

sedentari adalah suatu perilaku terjaga yang ditandai dengan pengeluaran

energi ≤1,5 MET baik saat duduk atau saat berbaring.” Berdasarkan

penjelasan diatas penulis menginterpretasikan bahwa, perilaku sedentari

adalah suatu perilaku yang hanya megeluarkan sedikit atau hampir tidak

mengeluarkan tenaga baik saat duduk ataupun saat berbarig.

Berdasarkann pendapat atau pemapara teori yag telah dikemukakan,

maka penulis dapat menyimpulkan bahwa perilaku sedentari adalah suatu

jenis perilaku dimana seseorang kurang melakukan gerak ataupun

melakukan aktivitas fisik yang berarti. Dengan kata lain, gaya hidup

seseorang yang terindikasi sedentari merupakan perilaku yag dominan pasif

dan hanya berupa duduk dan berbaring diluar waktu tidur. Perilaku tersebut

tentulah hanya mengeluarkan sejumlah energi yang sangat rendah atau

sedikit.

Dari beberapa bukti yang didapat menunjukkan bahwa, terlepas dari

tingkat perilaku sedentari, perilaku sedentari juga dikaitkan dengan

peningkatan risiko penyakit kardiometabolik dan peningkatan angka

mortalitas pada anak-anak dan orang dewasa (Shields & Tremblay, 2008).

Bukti serupa yang muncul untuk populasi orang dewasa yang lebih tua

(Katzmarzyk, Church, Craig, & Bouchard, 2009).

Perilaku sedentari sebagai kelas yang berbeda dari perilaku yang

ditandai dengan sedikit atau tidak ada gerakan fisik dan pengeluaran energi

yang rendah kurang dari 1,5 MET (Metabolic Equivalent Task) MET

digunakan untuk menilai pengeluaran energi selama kegiatan. Berlari


26

mengeluarkan energi senilai 8 MET, jalan cepat memiliki nilai 3-4 MET

sementara perilaku sedentari adalah suatu kegiatan yang mengeluarkan lebih

sedikit dari 1,5 MET. Mereka menjelaskan lebih lanjut bahwa beberapa

individu diklasifikasikan sebagai sedentari karena perilaku sedentari

sementara yang lain diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan mereka dalam

kegiatan yang tidak memerlukan konsumsi energi yang tinggi. Peneliti

mengandalkan berbagai pendekatan untuk mengukur perilaku

sedentari.Termasuk pada waktu di mobil, duduk di kursi, waktu duduk di

luar dan waktu menonton TV atau bioskop (Wong, Colley, Gorber, &

Tremblay, 2011).

Salah satu metode yang digunakan untuk mengukur sedentari karena

perilaku sedentari adalah dengan kriteria 4 tingkatan indeks perilaku

sedentary (Addo, Nyarko, Sackey, Akweongo, & Sarfo, 2015). 4 tingkatan

indeks perilaku sedentari dikategorikan menjadi:

a. Aktif

Pekerjaan sedentari dan melakukan ≥ 3 jam latihan fisik dan / atau

bersepeda dalam seminggu atau pekerjaan dengan berdiri dan 1-2,9 jam

latihan fisik dan/atau bersepeda dalam seminggu atau pekerjaan fisik dan

lainnya tapi < 1 jam latihan fisik dan / atau bersepeda dalam seminggu

atau pekerjaan berat.

b. Cukup Aktif

Pekerjaan sedentari dan melakukan 1-2,9 jam latihan fisik dan /

atau bersepeda dalam seminggu atau pekerjaan dengan berdiri tapi <1
27

jam latihan fisik dan/atau bersepeda dalam seminggu atau pekerjaan fisik

dan tidak ada latihan fisik atau bersepeda.

c. Cukup Tidak Aktif

Pekerjaan sedentari tapi melakukan < 1 jam latihan fisik dan / atau

bersepeda dalam seminggu atau pekerjaan dengan berdiri dan tidak ada

latihan fisik atau bersepeda.

d. Tidak Aktif

Pekerjaan sedentari dan tidak melakukan latihan fisik atau

bersepeda.

6. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Sedentari

a. Kemajuan Teknologi

Pekerjaan manual yang menggunakan tenaga manusia sudah sangat

semakin jarang akibat kemajuan teknologi, pengetahuan, mekanisasi,

automatisasi, dan juga komputerisasi. Pabrik dan beberapa industri

rumahan telah mulai menggunakan beragam komputer dan mesin yang

mengurangi perilaku sedentari dan meningkatkan perilaku sedentari.

Remaja pun juga menghabiskan sebagian waktu mereka dalam

menggunakan komputer atau laptop yang tidak berhubungan dengan

determinan kesehatan seperti apresiasi hidup, tanggung jawab kesehatan,

dukungan sosial, dan perilaku latihan fisik (Elsevier, 2013).

b. Faktor Demografik, Usia dan Jenis Kelamin

Perilaku sedentari meningkat selama masa kanak-kanak dan dari

masa kanak-kanak ke masa remaja. Pada anak-anak yang lebih muda

(kurang dari sepuluh tahun), menonton TV dan menggunakan komputer


28

tidak tampak berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Selama masa

remaja, ada beberapa bukti yang menunjukkan anak laki-laki biasanya

menghabiskan lebih banyak waktu dibandingkan anak perempuan

menonton TV atau menggunakan komputer terutama bermain game

komputer (Popkin, 1999).

c. Etnisitas dan Status Sosial Ekonomi

Status sosial-ekonomi (SES) seperti pendapatan atau pendidikan

orang tua, yang berbanding terbalik dengan perilaku sedentari (yaitu,

perilaku sedentari cenderung lebih tinggi pada kelompok SES rendah).

Tingkat penonton TV biasanya lebih tinggi pada orang "non-putih" yaitu

kelompok etnis misalnya, Afrika-Amerika. Pada remaja cenderung

memiliki tingkat yang lebih tinggi dari perilaku sedentari, jika orang tua

atau saudara mereka juga terlibat dalam tingkat tinggi perilaku sedentari.

Memiliki sebuah set televisi dan komputer di dalam rumah dan memiliki

TV di kamar tidur juga berhubungan dengan penggunaan yang lebih

tinggi dan berpengaruh pada perilaku sedentari. Adanya aturan orang tua

mengenai TV dan penggunaan komputer akan berhubungan dan

mempengaruhi rendahnya tingkat dari perilaku sedentari ini pada remaja

(Salmon, Tremblay, Marshall, & Hume, 2011).

d. Durasi Waktu Kerja

Rata-rata pekerja menghabiskan antara 8-10 jam bertugas dengan

sedikit atau tidak ada waktu untuk rekreasi dan olahraga. Hal ini terbukti

dalam negara berkembang dan negara-negara maju di mana

kesejahteraan karyawan dirusak. Para pekerja asyik dengan duduk lama,


29

membaca, mengoperasikan komputer, mengoperasikan mesin,

menghadiri pertemuan dan pada saat pulang kerja, saat perjalanan pulang

mengemudi dan terkena kemacetan lalu lintas berat (sama dengan pekerja

Nigeria). Pada periode perilaku duduk berkepanjangan dapat memicu

terjadinya perilaku sedentari. Untuk itu mulai gerakan minimal dengan

pengeluaran energi yang rendah (Inyang, Oriji, & Stella, 2015).

C. Hakekat Body Mass Index

1. Pengertian Body Mass Index

Pengertian body mass index banyak sekali diungkap oleh para pakar

kesehatan, sehingga istilah tersebut menjadi pokok pembahasan yang cukup

menarik. Pemaparan teori atau pendapat para ahli adalah sebagai berikut:

Body mass index menurut Sudargo (2014) dalam Suprasetyo (2015),

mengemukakan bahwa "body mass index adalah pengukuran antropometri

untuk menilai Apakah komponen tubuh tersebut sesuai dengan standar

normal atau ideal." Berdasarkan Penjelasan diatas penulis menginterpretasi

bahwa body mass index merupakan pengukuran antropometri untuk menilai

status berat badan seseorang dengan kategori atau norma.

Rakhmawati (2009) mengemukakan bahwa " indeks massa tubuh

merupakan indikator status gizi subjek penelitian untuk mengetahui derajat

kegemukan. " berdasarkan Penjelasan diatas penulis menginterpretasikan

bahwa, body mass index adalah sebuah indikator yang digunakan dalam

suatu penelitian untuk mengetahui status kegemukan seseorang.


30

Suparisa (2002) dalam Angraini (2007), mengemukakan bahwa "indeks

massa tubuh merupakan salah satu indeks antropometri sederhana untuk

memantau status gizi orang dewasa yang berumur diatas 18 tahun,

khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.

"Berdasarkan Penjelasan diatas penulis menginterpretasikan bahwa, body

mass index adalah sebuah pengukuran antropometri sederhana yang

digunakan untuk memantau gizi seseorang dengan kriteria umur tertentu.

Atikah (2010) dalam Suprasetyo (2015), mengemukakan " indeks

massa tubuh adalah pengukuran yang menghubungkan atau

membandingkan antara berat badan dan tinggi badan." Berdasarkan

Penjelasan diatas penulis menginterpretasikan bahwa, body mass index

adalah sebuah pengukuran sederhana yang membandingkan berat badan dan

tinggi badan untuk menentukan status kategori tubuh.

Berdasarkan pendapat atau pemaparan teori yang telah dikemukakan,

maka penulis dapat menyimpulkan bahwa body mass index atau indeks

massa tubuh adalah pengukuran antropometri untuk menilai status massa

tubuh seseorang dalam kategori atau norma dengan mengemukakan angka

yang menyatakan perbandingan berat badan (dalam kilogram) terhadap

kuadrat tinggi badan (dalam meter).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Body Mass Index

Body mass index tidak terlepas dari berbagai faktor yang

mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi body mass

index diantaranya a. usia, b. jenis kelamin, c. genetik, d. pola makan, dan f.


31

aktivitas fisik. Faktor-faktor yang mempengaruhi body mass index akan

dibahas secara mendalam sebagai berikut:

a. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Kantachuvessiri, Sirivichayakul,

Kaew Kungwal,Tungtrochitr dan Lotrakul menunjukkan bahwa Terdapat

hubungan yang signifikan antara usia yang lebih tua dengan body mass

index kategori obesitas. Subjek penelitian pada kelompok usia 40-49 dan

50-59 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami obesitas

dibandingkan kelompok usia kurang dari 40 tahun. Keadaan ini dicurigai

karena lambatnya proses metabolisme berkurangnya aktivitas fisik, dan

frekuensi konsumsi pangan yang lebih sering.

b. Jenis kelamin

Body mass index dengan kategori kelebihan berat badan seperti

banyak ditemukan pada laki-laki, tetapi angka kejadian obesitas lebih

tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Data dari National

Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) periode 1999-

2000 menunjukkan tingkat obesitas pada laki-laki sebesar 27,3% dan

pada perempuan sebesar 30,1% di Amerika.

c. Genetik

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa lebih dari 40% variasi

BMI dijelaskan oleh faktor genetik. Body mass index sangat berhubungan

erat dengan generasi pertama keluarga. Studi lain yang berfokus pada

pola keturunan dan gen spesifik telah menemukan bahwa 80% keturunan
32

dari 2 orang tua yang obesitas juga mengalami obesitas dan kurang dari

10% memiliki berat badan normal.

d. Pola makan

Pola makan adalah pengurangan Susunan makanan yang terjadi saat

makan. Makanan cepat saji berkontribusi terhadap peningkatan indeks

massa tubuh sehingga seseorang dapat menjadi obesitas. Penyakit

obesitas ini terjadi karena kandungan lemak dan gula yang tinggi pada

makanan cepat saji. Selain itu peningkatan porsi dan frekuensi makan

juga berpengaruh terhadap peningkatan obesitas. Orang yang

mengkonsumsi makanan tinggi lemak lebih cepat mengalami

peningkatan berat badan dibanding mereka yang mengkonsumsi

makanan tinggi karbohidrat dengan jumlah kalori yang sama.

e. Aktivitas fisik

Aktivitas fisik menggambarkan Gerakan tubuh yang disebabkan oleh

kontraksi otot. Menjaga kesehatan tubuh merupakan aktivitas fisik

sedang atau bertenaga serta dilakukan hingga kurang lebih 30 menit

setiap harinya dalam seminggu. Penurunan berat badan atau pencegahan

peningkatan berat badan dapat dilakukan dengan beraktivitas fisik sekitar

60 menit dalam sehari.

3. Cara mengukur Body Mass Index

Cara untuk mengukur body mass index menurut Kemendikbud

(2014:78) adalah " dengan mengukur Tinggi Badan (TB) menggunakan alat

studio M dengan satuan pengukuran sentimeter dan Berat Badan (BB)

menggunakan alat timbangan berat badan dengan satuan kilogram."


33

Langkah-langkah pengukuran body mass index sebagai berikut:

a. Pelaksanaan pengukuran berat badan adalah sebagai berikut:

1) Anak berdiri tanpa alas kaki.

2) Anak berdiri tegak diatas timbangan.

3) Hasil pengukuran dicatat dalam satuan kilogram (kg).

b. Pelaksanaan pengukuran tinggi badan adalah sebagai berikut:

1) Anak berdiri membelakangi dinding pengukur.

2) Anak berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan.

3) Alat ukur ditarik sampai menyentuh kepala.

4) Hasil pengukuran dicatat dalam satuan sentimeter (cm).

c. Menghitung dan menafsirkan body mass index sebagai berikut:

1) Sebelum menghitung body mass index harus memperoleh data

pengukuran berat badan dan pengukuran tinggi badan yang akurat.

2) Hitunglah body mass index dengan menggunakan rumus.

3) Kemudian hasil perhitungan body mass index dapat dikalkulasikan

dengan tabel kategori status BMI menurut (WHO) sebagai berikut:

Tabel 2.2
Kriteria Status BMI (World Healty Organization)

Kategori BMI
Kurus (Under weight) <18,5
Normal (Healty weight) 18,5 – 24,9
Kegemukan (Over weight) 25,0 – 29,9
Obesitas Tingkat 1 30,0 – 34,9
Obesitas Tingkat 2 35,0 – 39,9
Obesitas Tingkat 3 > 40
Sumber: (Kemendikbud, 2014:80)
34

4. Kelebihan dan kekurangan Body Mass Index

Pengukuran body mass index bukanlah sebuah pengukuran yang

sempurna. Adapun kelebihan dan kekurangan body mass index diantaranya

sebagai berikut:

a. Kelebihan body mass index adalah:

1) Biaya yang diperlukan murah.

2) Pengukuran yang diperlukan hanya meliputi berat badan dan tinggi

badan.

3) Mudah dikerjakan dan sesuai nilai standar yang dinyatakan pada tabel

BMI.

b. Kekurangan body mass index adalah:

1) Pada olahragawan

Olahragawan yang sangat terlatih, mungkin memiliki body mass

index yang tinggi karena peningkatan massa otot. massa otot yang

meningkat dan berlebihan pada olahragawan (terutama binaragawan)

cenderung menghasilkan kategori obesitas dalam indeks massa tubuh

walaupun kadar lemak tubuh mereka dalam kadar yang rendah.

2) Pada anak-anak

Pada anak-anak tidak dapat digunakan rumus body mass index

yang sesuai pada orang dewasa. Pengukuran dianjurkan untuk

mengukur berat badan berdasarkan nilai persentil yang dibedakan atas

jenis kelamin dan usia. Hal ini terjadi karena kecepatan pertambahan

ukuran linear tubuh (tinggi badan) dan berat badan tidak berlangsung

dengan kecepatan yang sama. Begitu juga dengan jumlah lemak tubuh
35

masih terus berubah seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan

tubuh badan seseorang.

3) Pada bangsa yang berbeda

Tidak akurat pada bangsa tertentu karena perbedaan komposisi

tubuh yang berbeda sehingga memerlukan beberapa modifikasi untuk

body mass index. Bangsa barat seperti negara di benua Eropa dengan

BMI 24.9 kg/m termasuk kedalam kategori normal, namun bagi

bangsa Asia dengan BMI 24.9 kg/m termasuk kategori over weight.

D. Hubungan Durasi Tidur dengan Body Mass Index

Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini sering mengaitkan peningkatan

indeks massa dengan penurunan jumlah tidur, baik pada anak-anak maupun

dewasa (Carter, Taylor, Williams, & Taylor (2011); Landhuis, Poulton, Welch, &

Hancox, (2008); Seegers et al., (2011); Patel, Malhotra, White, Gottlieb, & Hu,

(2006); Adámková et al., (2009); López-García et al., (2008)). Keterlibatan fungsi

metabolisme dapat terlibat dalam pengaturan hormon yang meregulasi nafsu

makan dan pengeluaran energi (Karine Spiegel, Esra Tasali, Rachel Leproult,

(2004); Taheri, Lin, Austin, Young, & Mignot, (2004)). Taheri et al., (2004)

mengungkapkan bahwa durasi tidur yang sedikit berkaitan dengan peningkatan

indeks massa tubuh dan juga berpengaruh pada kadar hormon leptin dan ghrelin,

yaitu hormon yang mengatur nafsu makan. Kadar leptin akan meningkat,

sedangkan ghrelin akan menurun. (Leproult & Cauter, 2010) juga

mengungkapkan bahwa penurunan jumlah tidur menyebabkan kadar leptin berada


36

dalam level terendah sehingga memberikan sinyal kepada pusat kenyang bahwa

tubuh memerlukan asupan kalori tambahan, meskipun tidak diperlukan.

Pada orang normal, peningkatan hormon ghrelin merangsang keinginan untuk

makan, sedangkan leptin mengisyaratkan hipotalamus bahwa simpanan energi

sudah cukup. Tetapi pada obesitas, peningkatan kadar leptin tidak mengurangi

nafsu makan karena peningkatan kadar leptin seimbang dengan penambahan

jaringan adiposa, sehingga terjadi resistensi leptin (Ganong & Hall, 2007).

Menurut Thompson et al. (1999) dalam Karine Spiegel, Esra Tasali, Rachel

Leproult, (2004) penurunan jumlah jam tidur selama 6 hari menunjukkan

peningkatan keseimbangan cardiac sympathovagal. Peningkatan ini

mencerminkan penurunan aktivitas vagus. Seperti yang diketahui bahwa vagus

dan ghrelin memiliki perbandingan yang terbalik, yaitu penurunan vagus berarti

peningkatan ghrelin. Sedangkan leptin berkaitan dengan aktivitas simpatis, yang

mana perangsangan simpatis akan menurunkan pelepasan leptin. Penurunan

jumlah jam tidur ini mengakibatkan peningkatan cardiac sympathovagal, dimana

selanjutnya akan menurunkan kadar leptin (Karine Spiegel, Esra Tasali, Rachel

Leproult, 2004).

Selain hormon leptin, kortisol dan GH (growth hormone – hormon

pertumbuhan) juga dipengaruhi oleh ritme sirkadian. Perubahan ritme sirkadian

akan ditransmisikan ke hipotalamus, yang kemudian akan menyalurkan informasi

ke kelenjar hipofisis. Hormon pertumbuhan dengan kadar rendah pada malam hari

dapat menjaga kadar glukosa dengan cara menghambat pengambilan glukosa dari

jaringan otot. Jika terjadi pengurangan jumlah tidur, maka pelepasan hormon

pertumbuhan akan meningkat pada malam hari. Selanjutnya, pada orang normal,
37

kadar kortisol paling rendah terdapat pada sore hari. Hal ini menyebabkan

sensitivitas insulin menurun pada awal tidur, dan meningkat pada pertengahan

tidur, sehingga keseimbangan glukosa akan tetap terjaga. Pengurangan jumlah

tidur dapat mengakibatkan kadar kortisol tertinggi pada sore hari, sehingga tidak

terjadi ritme sensitivitas insulin. Peningkatan kadar hormon kortisol dan hormon

pertumbuhan inilah yang dapat mengakibatkan metabolisme glukosa terganggu

(Leproult & Cauter, 2010).

Penelitian yang dilakukan Gangwisch et al. (2007), mengungkapkan bahwa

kurangnya durasi tidur dapat meningkatkan resiko hipertensi. Salah satu

kemungkinannya adalah adanya peningkatan aktivitas nukleus suprakiasma.

Nukleus suprakiasma bekerja berdasarkan rangsangan dari kegiatan fisiologis

tubuh, baik dari dalam maupun dari luar. Pengalihan jam tidur dapat menganggu

kerja nukleus suprakiasma sebagai salah satu pencetus tidur. Nukleus

suprakiasma, melalui saraf otonom, telah menunjukkan adanya koneksi terhadap

beberapa organ metabolik yang dapat mencetus diabetes seperti pancreas, hati dan

jaringan lemak. Gangguan pada nukleus suprakiasma dapat menimbulkan

gangguan pada pelepasan kortisol dan glukosa serta tekanan darah (Gangwisch et

al., 2007).

Kaitan jumlah jam tidur yang berhubungan dengan peningkatan indeks massa

tubuh, khusunya obesitas, adalah penurunan jumlah jam tidur yang berkisar antara

‘kurang dari 7 jam’ menurut Watson, Buchwald, Vitiello, Noonan, & Goldberg

(2010) atau ‘kurang dari 4-5 jam’ menurut Schmid, Hallschmid, Jauch-Chara,

Born, & Schultes (2008) dan Adámková et al. (2009).


38

E. Hubungan Perilaku Sedentari Dengan Body Mass Index

World Health Organization (WHO), mengidentifikasi obesitas sebagai

masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia yang mempengaruhi lebih dari

100 juta orang. Mengurangi perilaku sedentari yang mencirikan perilaku sedentari

menyebabkan akumulasi kelebihan kalori dan asam lemak. Hal ini karena

pemeliharaan berat badan tergantung pada jumlah kalori yang diserap melalui

asupan makanan dan jumlah yang dikeluarkan melalui perilaku sedentari dan

metabolisme. Perilaku sedentari diidentifikasikan sebagai penyebab utama

obesitas pada pekerja pria maupun wanita. Seorang individu yang sedentric,

menyerap dan menyimpan banyak kalori karena pengeluaran energi berkurang

dan kalori ini yang tidak diinginkan dan akan menjadi obesitas (Inyang et al.,

2015)

Obesitas adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan kelebihan lemak

tubuh sedemikian rupa bahwa kesehatan individu dapat terpengaruh. Obesitas

telah diidentifikasi sebagai gaya hidup yang terkait dengan globalisasi yang

membawa banyak perubahan dalam kebiasaan makanan anak-anak dan orang

dewasa karena pengeluaran energi sedikit atau tidak ada perilaku sedentari.

Mereka menggambarkan beberapa metode untuk menilai Obesitas seperti:

ketebalan lipat kulit, Body Mass Index, Lingkar pinggang dan rasio pinggang

pinggul atau Waist Hip Ratio (WHR). Ketebalan lipat kulit ini menunjukkan

tingkat timbunan lemak menggunakan lipatan kulit triceps dan lipatan kulit

scapular. Sebuah caliper disebut "Harpenden Caliper" digunakan untuk tujuan ini.

Body Mass Index ini dihitung dengan menggunakan berat badan dalam kilogram

dibagi dengan tinggi badan dalam meter (BMI = Kg / m) pencegahan dan


39

pengobatan obesitas didefinisikan kelebihan berat badan sebagai BMI 25-29,9 dan

obesitas sebagai BMI 30. Waist rasio lingkar pinggang dan pinggul (WHR).

Metode ini digunakan untuk menilai distribusi lemak menggunakan rasio

pinggang dengan ukuran pinggul. Orang yang memiliki rasio pinggang pinggul

melebihi 0,85 pada wanita dan 0,9 pada laki-laki yang dikatakan memiliki

abdominal obesity (Inyang et al., 2015).

F. Penelitian yang Relevan

Untuk membantu dalam mempersiapkan penelitian ini, dicari bahan-bahan

penelitian yang ada dan relevan dengan penelitian ini, karena sangat berguna

untuk mendukung kajian teoritis yang dikemukakan, sehingga dapat digunakan

sebagai landasan pada penyusunan kerangka berpikir. Penelitian ini didukung oleh

beberapa penelitian yang berkaitan dengan variabel-variabel penelitian yang

digunakan. Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Puput Septiana (2017) dengan judul “Hubungan

Antara Durasi Tidur Dengan Kejadian Obesitas Pada Anak Usia 3-8 Tahun.”

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara durasi tidur dengan

kejadian obesitas pada anak usia 3-8 tahun di Desa Rengasdengklok Selatan

Kecamatan Rengasdengklok, Karawang. Metode penelitian ini adalah analitik

observasional berdesain survei deskriptif dengan pendekatan cross sectional.

Populasi seluruh anak usia 3-8 tahun yang bersekolah di SDN Rengasdengklok

Selatan I, RA-AL MUAWANAH, dan SDN Rengasdengklok Selatan II

Kecamatan Rengasdengklok, Karawang. Pengambilan sampel dengan teknik

total sampling pada bulan Maret 2017 sejumlah 440 responden. Variabel
40

independen pada penelitian ini adalah durasi tidur pada anak usia 3-8 tahun,

sedangkan variabel dependen adalah status gizi anak usia 3-8 tahun. Instrumen

yang digunakan kuesioner, timbangan, dan microtoise. Analisis data

menggunakan uji Karl Spearman. Hasil penelitian dari 440 responden secara

deskriptif, anak dengan riwayat durasi tidur selama 7-9 jam 64,8 %, 10-12 jam

34,3 %, dan 13- > 14 jam 9%. Pola makan berdasarkan jenis makanan

menunjukkan bahwa seluruh responden mengkonsumsi makanan pokok 100%

dan sebagian besar mengkonsumsi lauk nabati 94,5%, hewani 94,5%, dan

sayur 94,5%, namun hanya sebagian kecil responden yang mengkonsumsi buah

25,9%. Jumlah makanan yang dikonsumsi dalam sehari didapatkan sebagian

besar 94,1% pola makan dari responden dikategorikan dalam pola makan baik

(memenuhi ≥ 80% AKG) dan kategori pola makan kurang baik (hanya

memenuhi < 80% AKG anak usia pra sekolah dan usia sekolah) sebanyak 5,7%

anak. Frekuensi makan anak usia 3-8 tahun pada penelitian ini didapatkan

sebagian besar berfrekuensi makan ≥ 3 kali dengan jumlah 86,6%. Status gizi

anak usia 3-8 tahun berdasarkan indeks IMT/U 7% memiliki status gizi sangat

kurus, 5,0% memiliki status gizi kurus, 30,2% memiliki status gizi normal, dan

64,1% memiliki status gizi gemuk-obesitas. Setelah dilakukan uji statistik

menggunakan Karl Spearman didapatkan nilai signifikansi p<0,05 pada

hubungan durasi tidur dengan kejadian obesitas berdasarkan status gizi IMT/U.

Sehingga H0 ditolak dan H1 diterima. Kesimpulan dari penelitian ini adalah

terdapat hubungan antara durasi tidur dengan kejadian obesitas. Durasi tidur

yang kurang akan meningkatkan risiko terjadinya obesitas pada anak usia 3-8

tahun di Desa Rengasdengklok Selatan Kecamatan Rengasdengklok,


41

Karawang. Dan pola tidur yang singkat sangat berpengaruh terhadap pola

makan karena peningkatan grehlin dan penurunan/resistensi leptin, sehingga

perlu mengontrol pola tidur anak.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Restu Lestari (2018) dengan judul “Hubungan

Tingkat Asupan Energi Dan Durasi Tidur Dengan Indeks Massa Tubuh

Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.”

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan tingkat

asupan energi dan durasi tidur dengan IMT mahasiswa FIK UMS. Penelitian

ini menggunakan rancangan cross sectional dengan subjek sebanyak 87 orang

diambil menggunakan teknik proportional random sampling. Penelitian

dilakukan pada mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Surakarta angkatan 2016. Data tingkat asupan energi

diperoleh dari wawancara food recall 24 jam, data durasi tidur diperoleh dari

instrumen self report sleep duration, Indeks Massa Tubuh (IMT) diperoleh dari

pengukuran berat badan dan tinggi badan. Hasil penelitian menunjukkan

sebanyak 58,8% responden memiliki tingkat asupan energi defisit berat, 51,7%

responden memiliki durasi tidur pendek, dan sebesar 71,3% responden

memiliki IMT normal. Hasil uji Pearson Product Moment untuk mengetahui

hubungan tingkat asupan energi dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)

menunjukkan nilai p=0,006 dan koefisien korelasi r=0,292. Terdapat hubungan

antara tingkat asupan energi dengan Indeks Massa Tubuh Mahasiswa Fakultas

Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hasil uji hubungan

durasi tidur dengan Indeks Massa Tubuh dengan uji Rank Spearman

menunjukkan nilai p=0,022 dan koefisien korelasi r=-245. Terdapat hubungan


42

antara durasi tidur dengan Indeks Massa Tubuh Mahasiswa Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta hubungan berarah negatif.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Andi Iman Arundhana (2013) dengan judul

“Pola Perilaku Sedentari Merupakan Faktor Resiko Kejadian Obesitas Pada

Anak Sekolah Dasar Di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.” Tujuan

Penelitian ini adalah untuk melihat apakah perilaku sedentari merupakan faktor

risiko obesitas pada anak sekolah dasar, serta untuk melihat seberapa besar

kontribusi faktor risiko tersebut. Desain penelitian ini adalah case control,

dengan populasi adalah siswa sekolah dasar (SD) kelas 1-5 di Yogyakarta dan

Bantul baik dari sekolah negeri maupun swasta. Penentuan sekolah untuk tahap

skrining menggunakan metode Probability Proportional to Size (PPS).

Pemilihan kasus diambil dari anak-anak yang didiagnosis obesitas pada tahap

skrining menggunakan metode simple random sampling dibantu alat tabel

random, dan dilakukan matching asal sekolah. Berdasarkan perhitungan besar

sampel diperoleh sebesar 488 yang terdiri dari 244 kasus dan 244 kontrol. Data

aktivitas fisik dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner aktivitas fisik

anak (CPAQ) yang sudah dimodifikasi. Data diolah dengan software Epidata v

3.1 dan STATA v.11. Dilakukan analisis statistic univariate, bivariate, dan

multivariate dengan uji t, anova, dan logistic regresi. Hasil dari penelitian ini

adalah Durasi perilaku sedentari pada siswa obes lebih panjang dibandingkan

tidak obes dengan besar perbedaan rata-ratanya adalah 49,81 menit/hari

(p<0,01). Hasil analisis chi square menunjukkan aktivitas sedentari secara

signifikan berhubungan dengan kejadian obesitas dengan OR=6,93 (95% CI:

4,56-10,54). Berdasarkan jenis aktivitas sedentari, terdapat hubungan yang


43

signifikan untuk kategori screen based dan duduk (p<0,05). Dan kesimpulan

nya adalah perilaku sedentary merupakan faktor risiko kejadian obesitas pada

anak SD.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Irsyan Baginda Maulana (2016) dengan judul

“Hubungan Aktivitas Sedentari Dengan Lingkar Pinggang Dan Indeks Massa

Tubuh Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKWMS.” Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara aktivitas

sedentari dengan lingkar pinggang dan indeks massa tubuh pada mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Penelitian

ini menggunakan desain analitik dengan dasar observasional dan menggunakan

metode cross-sectional retrospektif. Analisis penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan uji koefisien kontingensi untuk mengetahui hubungan antar

variabel. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Fakultas

Kedokteran Widya Mandala Surabaya. Sampel minimal yang dibutuhkan pada

penelitian ini yaitu sebanyak 167 responden. Kriteria sampel pada penelitian

ini termasuk responden yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini

dan tidak memiliki riwayat penyakit metabolik akut maupun kronik seperti

diabetes atau hipertiroid serta responden yang tidak memiliki riwayat trauma

atau kecelakaan yang membutuhkan istirahat selama satu minggu sebelum

penelitian dimulai. Dari 255 responden didapatkan sebanyak 63,14% memiliki

aktivitas sedentari risiko rendah, 59,21% memiliki indeks massa tubuh normal

dan 69,80% memiliki lingkar pinggang normal. Hasil dari analisis didapatkan

bahwa terdapat hubungan antara aktivitas sedentari dengan lingkar pinggang

yang signifikan (p=0,000). Terdapat hubungan aktivitas sedentari dengan


44

indeks massa tubuh dengan hasil signifikan (p=0,003). Dari penelitian ini

disimpulkan bahwa aktivitas sedentari mempengaruhi lingkar pinggang dan

indeks massa tubuh seseorang sehingga diharapkan apabila seseorang

mengurangi lama waktu melakukan aktivitas sedentari maka risiko untuk

terjadinya obesitas dapat dicegah.

5. Penelitian yang dilakukan oleh Ely Triyani, Herman, dan Jaka Pradika (2018)

dengan judul “Hubungan Antara Aktivitas Fisik Dan Kualitas Tidur Dengan

Obesitas Pada Remaja Di SMP Negeri 22 Pontianak.” Tujuan penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui hubungan antara aktivitas fisik dan kualitas tidur

dengan obesitas pada remaja. Desain penelitian observasional analitik dengan

pendekatan cross sectional. Jumlah sampel 96 orang siswa/siswi kelas VII dan

VIII berusia 12-15 tahun. Teknik pengambilan sampel simple random

sampling. Instrumen yang digunakan adalah GPAQ, PSQI, dan pengukuran

IMT. Data dianalisis dengan uji korelasi Spearman dan regresi logistik dengan

metode Forward. Hasil dari penelitian ini adalah Siswa/siswi remaja sebagian

besar memiliki IMT tidak obesitas yaitu 70,8%, aktivitas fisik aktif 85,4%, dan

kualitas tidur baik 61,5%. Terdapat hubungan dengan korelasi lemah antara

aktivitas fisik dan obesitas p = 0,002 dan antara kualitas tidur dan obesitas p =

0,000. Probabilitas remaja dengan aktivitas fisik tidak aktif dan kualitas tidur

yang buruk dapat mengalami obesitas sebesar 83,3%. Kesimpulannya adalah

terdapat hubungan antara aktivitas fisik dan kualitas tidur dengan obesitas

dimana aktivitas fisik remaja obesitas dalam penelitian ini cenderung tidak

aktif dan memiliki kualitas tidur buruk dibandingkan dengan kebutuhan

aktivitas fisik atau kualitas tidur yang direkomendasikan pada usia remaja.
45

G. Anggapan dasar

Anggapan dasar adalah suatu pendapat yang telah diyakini kebenarannya dan

dijadikan titim tolak penelitian untuk memecahkan masalah. Pengertian anggapan

dasar dikemukakan oleh Arikunto (2013) sebagai berikut: “Anggapan dasar

adalah sebuah titik tolak pemikiran yang kebenarannya diterima oleh peneliti.”

Anggapan dasar merupakan postulat seorang peneliti terhadap penelitian yang

akan dilaksanakan, sehingga peneliti dapat merumuskan beberapa hipotesis

penelitiannya. Oleh karena itu, anggapan dasar yang menjadi titik tolak pemikiran

penulis dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi indeks massa tubuh seperti usia, jenis

kelamin, genetik, pola makan, faktor lingkungan, aktivitas fisik, dan tidur

(Prio, 2015).

2. Berdasarkan data dari National Sleep Foundation, kurangnya durasi tidur akan

berdampak pada kurangnya aktivitas fisik yang diikuti dengan peningkatan

pemasukan kalori yang merupakan salah satu faktor risiko kegemukan.

(Foundation, National Sleep. Sleep in American Poll. s.l.

:https://sleepfoundation.org/sleep-polls-data/sleep-in-america-poll/2002-adult-

sleep-habits, 2002).

3. Hasil dari penelitian Lowry et al. (2012) dengan judul “Association of Sleep

Duration with Obesity among US High School Students”, menunjukkan bahwa

prevalensi obesitas pada remaja SMA khususnya pada siswi putri ditemukan

hubungan dengan meningkatnya resiko obesitas 1,5 kali lebih besar

mempunyai waktu tidur yang pendek (≤4 jam) dibandingkan remaja yang tidur

panjang (>9 jam).


46

4. Menurut Hadi (2005), kurangnya aktivitas fisik (gaya hidup sedentari)

merupakan faktor resiko utama penyebab obesitas yang diakibatkan karena

perubahan gaya hidup menjadi perilaku sedentarian dimana waktu menonton

tv, jumlah mobil per keluarga meningkat sehingga terjadi penurunan aktivitas

fisik (Hadi, 2005).

5. Sedentary behaviour mengakibatkan energi yang tadinya dapat digunakan

untuk tubuh beraktivitas menjadi tidak dibutuhkan sehingga akan disimpan

sebagai timbunan lemak yang lama kelamaan akan bermanifestasi pada

kejadian obesitas (Choi, Atkinson, Karlson, & Curhan, 2005).

H. Hipotesis

Menurut Arikunto (2013) “Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban

yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui

data yang terkumpul”. Berdasarkan kajian teori dan penelitian yang relevan yang

telah dijabarkan dapat ditarik hipotesis sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan antara durasi tidur dengan body mass index pada siswa

SMA Negeri 3 Ciamis.

2. Terdapat hubungan antara perilaku sedentari dengan body mass index pada

siswa SMA Negeri 3 Ciamis.

3. Terdapat hubungan antara durasi tidur dan perilaku sedentari secara bersama-

sama dengan body mass index pada siswa SMA Negeri 3 Ciamis.
BAB III

METODOLGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan selalu memerlukan suatu metode. Berhasil

atau tidaknya suatu penelitian tergantung dari metode yang digunakan. Mengenai

metode, Sugiyono (2015) menjelaskan sebagai berikut:

Metode penelitian pendidikan dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk


mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan, dan
dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan
untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah dalam bidang
pendidikan.

Metode yang tepat akan menjadi penentu keberhasilan suatu penelitian dan

penentuan metode penelitian didasarkan pada permasalahan yang akan diteliti.

Adapun permasalahan yang akan diteliti adalah mencari hubungan antara durasi

tidur dan perilaku sedentari dengan body mass index.

Berdasarkan permasalahan penelitian, maka metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode korelasional. Hal ini dikemukakan oleh Fox yang

dikutip Umar (2002) yang menyatakan, “Penelitian yang dirancang untuk

menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu

populasi disebut penelitian korelasi. Perbedaan yang utama dengan metode lain

adalah adanya usaha untuk menaksir hubungan dan bukan sekedar deskripsi.”

Umar (2005) menambahkan, “Peneliti dapat mengetahui Berapa besar kontribusi

variabel-variabel bebas terhadap variabel terikatnya serta besarnya arah hubungan

yang terjadi.”

Tujuan utama penelitian korelasional adalah untuk memperjelas pemahaman

kita tentang fenomena penting dengan mengidentifikasi hubungan antar variabel.

47
48

Sebuah studi korelasional menggambarkan sejauh mana dua atau lebih variabel

kuantitatif saling berhubungan. Ketika suatu korelasi ditemukan ada di antara dua

variabel, itu berarti bahwa skor dalam kisaran tertentu oada suatu variabel

dikaitkan dengan skor dalam kisaran tertentu pada variabel lain. Korelasi positif

berarti skor tinggi pada satu variabel cenderung dikaitkan dengan skor tinggi pada

variabel lain, sementara skor rendah pada suatu variabel dikaitkan dengan skor

rendah pada variabel lainnya. Korelasi negatif, berarti skor tinggi pada satu

variabel dikaitkan dengan skor rendah pada variabel lain, dan skor rendah pada

satu variabel dikaitkan dengan skor tinggi pada variabel yang lain.

Adapun penggunaan desain penelitian yaitu menggunakan desain

Explanatory dengan jenis metode multiple correlation. Desain Explanatory pada

kenyataannya, desain ini dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu

hubungaan sederhana simple association (Creswell,2008) atau korelasi bivariat

dan hubungan lebih dari dua variabel (multiple correlation). Analisis statistik

multiple correlation merupakan metode statistik yang memungkinkan kita

melakukan penelitian terhadap lebih dari dua variabel secara bersamaan. Dengan

menggunakan teknik analisis ini maka kita dapat menganalisis pengaruh beberapa

variable terhadap variabel–variable lainnya dalam waktu yang bersamaan.

Berdasarkan penjelasan di atas, metode korelasional dengan desain multiple

correlation cocok untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi penulis

sekarang, dimana dalam penelitian ini dimaksudkan untuk meneliti hubungan

durasi tidur dan perilaku sedentari dengan body mass index.


49

B. Desain Penelitian

Dalam suatu penelitian perlu adanya suatu desain penelitian yang sesuai

dengan variabel-variabel dan tujuan penelitian. Desain penelitian merupakan

rancangan tentang cara menganalisis data agar penelitian dapat dilaksanakan

secara ekonomis dan sesuai dengan tujuan penelitian. Arikunto (2006)

menjelaskan bahwa: “Desain (design) penelitian adalah rencana atau

rancanganyang dibuat oleh peneliti, sebagai ancar-ancar kegiatan yang akan

dilaksanakan.”

Mengacu pada tujuan penelitian ini, peneliti ingin menginvestigasi

hubungan antara durasi tidur pada siswa SMA Negeri 3 Ciamis sebagai Variabel

X1 dan Perilaku Sedentari pada siswa SMA Negeri 3 Ciamis sebagai X 2 dengan

body mass index sebagai variabel Y. Adapun desain penelitian yang peneliti

gunakan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:

X1 rx1y

Rx1x2y
Y

X2 rx2y

Gambar 3.1. Desain Penelitian


(Sumber:Sugiyono:2015)
50

Keterangan:

X1 = Variabel bebas (durasi tidur)

X2 = Variabel bebas (perilaku sedentari)

Y = Variabel terikat (body mass index)

rx1y = Hubungan/korelasi durasi tidur dengan indeks massa tubuh

rx2y = Hubungan/korelasi perilaku sedentari dengan indeks massa tubuh

Rx1x2y= Hubungan/korelasi durasi tidur dan perilaku sedentari dengan

indeks massa tubuh

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,

2015). Berdasarkan pendapat tersebut, maka populasi dalam penelitian ini

adalah siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Ciamis (SMA Negeri 3

Ciamis) yang beralamat di Jl.bojonghuni No. 8, Maleber, Kec.ciamis,

Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pemilihan populasi siswa SMA didasarkan

latar belakang yang menyatakan bahwa prevalensi obesitas pada remaja di

Indonesia masih tergolong besar.

2. Sampel

Arikunto (2013) mengemukakan bahwa, “Sampel adalah sebagian atau

wakil dari populasi yang diteliti.” Sampel untuk studi korelasi, seperti dalam

semua jenis studi, harus dipilih secara hati-hati dan jika memungkinkan
51

pemilihan sampel dilakukan secara acak/random sampling. Berdasarkan

uraian tersebut, maka teknik pemilihan sampel dalam penelitian ini yaitu

teknik simple random sampling pada siswa SMA Negeri 3 Ciamis. Menurut

Sugiyono (2015) teknik simple random sampling adalah teknik pengambilan

sampel dari anggota populasi yang dilakukan secara acak tanpa

memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Jadi, dalam teknik

simple random sampling ini memungkinkan setiap unit sampling sebagai

unsur populasi memperoleh peluang yang sama untuk menjadi sampel.

Menurut Creswell (2012) menyatakan populsi untuk uji korelasional

minimal 30 sampel. Berdasarkan definisi tersebut sampel dalam penelitian

ini adalah 36 siswa SMA Negeri 3 Ciamis.

D. Definisi dan Operasional Variabel

Definisi operasional dimaksudkan untuk mencegah adanya kekeliruan dalam

memberikan definisi terhadap masing-masing kata dalam judul penelitian ini.

Lebih jelasnya definisi penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel yang diteliti

Menurut Sugiyono (2015), mengemukakan bahwa “Variabel penelitian

adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang

mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulannya.” Dalam penelitian ini terdapat dua variabel

bebas (independen(X1dan X2)) dan satu variabel terikat (dependen(Y)). Adapun

penjelasannya sebagai berikut:


52

a. Variabel Bebas(Independen)

Variabel bebas menurut Sugiyono (2015) merupakan “Variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel

dependen.” Variabel independen dalam penelitian ini adalah durasi tidur dan

perilaku sedentari.

b. Variabel Terikat (Dependen)

Variabel terikat menurut (Sugiyono, 2015) adalah “Variabel Dependen

(variabel) merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat

karena adanya variabel bebas.” Variabel dependen Dalam penelitian ini

adalah body mass index.

2. Operasional Variabel

Operasional variabel diperlukan guna menentukan jenis dan indikator dari

variabel-variabel yang terkait dalam penelitian ini. Disamping itu, operasional

variabel bertujuan untuk menentukan skala pengukuran dari masing-masing

variabel, sehingga pengujian hipotesis dengan menggunakan alat bantu dapat

dilakukan dengan tepat. Secara lebih rinci operasionalisasi variabel dalam

penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.1
Operasional Variabel

Variabel Definisi Indikator Skala


Pengukuran
Variabel Durasi Tidur adalah Nilai hasil Rasio
Independen lamanya waktu tidur pengukuran alat
(X1): Durasi secara rata-rata per 24 ActivPal
Tidur jam dalam sehari
Variabel Dalam Riskesdas 2013, Nilai hasil Rasio
Independe perilaku sedentari adalah pengukuran
n (X2): perilaku duduk atau alat ActivPal
Perilaku berbaring dalam sehari-
Sedentari hari baik di tempat kerja
(kerja di depan komputer,
53

membaca, dll), di rumah


(nonton TV, main game,
dll), di
perjalanan/transportasi
(bus, kereta, motor), tetapi
tidak termasuk waktu
tidur (Kemenkes, 2013).

Variabel Sudargo (2014) (dalam Nilai hasil Rasio


Dependen (Suprasetyo, 2015)) body mass
(Y): body mengemukakan bahwa: index (BMI)
mass Body mass index adalah
index pengukuran antropometri
(BMI) untuk menilai apakah
komponen tubuh tersebut
sesuai dengan standar
normal atau ideal.

E. Instrumen Penelitian

Diperlukan adanya data yang benar, cermat serta akurat karena keabsahan

hasil pengujian hipotesis tergantung pada kebenaran dan ketepatan data untuk

menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Sedangkan kebenaran dan ketepatan

data yang diperoleh tergantung pada alat pengumpulan data yang digunakan

sebagai sumber data. Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian

ini perlu digunakan alat ukur sebagai pengumpul data. Arikunto (2012)

mengemukakan bahwa: “Dalam proses pengumpulan membutuhkan alat

pengukur, dengan alat ini kita akan mendapatkan data yang merupakan hasil

pengukuran.”

Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat

ActivPal untuk mengukur durasi tidur dan perilaku sedentari. Sedangkan alat pita

meter atau meteran untuk mengukur tinggi badan. Serta alat timbangan badan

untuk mengukur berat badan.


54

F. Proses Pengembangan Instrumen

a. Instrumen Pengukuran Tinggi Badan

Instrumen penelitian untuk mengukur body mass index menurut

Kemendikbud (2014:78) adalah “dengan mengukur Tinggi Badan (TB)

menggunakan alat stadiometer dan Berat Badan (BB) menggunakan alat

timbangan berat badan dengan satuan kilogram.”

Gambar 3.2. Alat Ukur Tinggi Badan

Cara mengukur tinggi badan menurut Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan dalam (Nur Robiah, 2016: 48), yaitu:

1) Anak berdiri tegak membelakangi stadiometer/dinding. Lengan

disamping dan pandangan lurus ke depan.

2) Kedua kaki harus ke depan dan jarak antara kedua kaki kurang lebih 10

cm.

3) Tumit, dataran belakang panggul dan kepala bagian belakang menyentuh

stadiometer/dinding.

4) Tekan bagian atas kepala dengan siku-siku.

5) Tentukan tinggi dengan mengukur jarak vertikal dari alas kaki sampai

titik yang ditunjuk oleh segitiga siku-siku di bagian bawah.


55

Gambar 3.3 Timbangan Badan

Cara menimbang berat badan menurut Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan dalam (Nur Robiah, 2016: 50), yaitu:

a) Anak berdiri menghadap timbangan, bisa di atas atau tengah timbangan.

b) Sebaiknya anak berpakaian dalam saja dan tidak memakai sepatu/alas

kaki.

c) Tentukan berat badan sampai dengan ukuran ons.

Selanjutnya adalah menghitung body mass index (BMI) dengan rumus

sebagai berikut (I Dewa Nyoman Supariasa, dkk.,2001: 60), yaitu

Berat Badan (Kg)


BMI=
Tinggi Badan /(m)2

Kemudian hasil perhitungan Indeks Massa Tubuh dapat dilakukan

dengan tabel kategori status body mass index menurut (WHO) sebagai

berikut:

Tabel 3.2
Kriteria Status BMI (World Healty Organization)

Kategori BMI
Kurus (Under weight) <18,5
Normal (Healty weight) 18,5 – 24,9
Kegemukan (Over weight) 25,0 – 29,9
Obesitas Tingkat 1 30,0 – 34,9
Obesitas Tingkat 2 35,0 – 39,9
Obesitas Tingkat 3 > 40
Sumber: (Kemendikbud, 2014:80)

a. Instrumen ActivPal

Instrumen yang digunakan untuk mengukur aktivitas fisik yaitu

ActivPAL. ActivPAL merupakan accelerometer yang dikeluarkan oleh

PAL Technologies Ltd, Glasgow, UK dan telah banyak digunakan untuk


56

mengukur aktivitas fisik. Penelitian menggunakan instrumen alat

activPAL dan actigraph. Melalui alat itu, kita akan mengetahui berapa

menit atau persen seorang anak melakukan aktivitas fisik, aktivitas fisik

yang energik, diam nonton TV, atau tidur dalam seharinya. Penelitian

dilakukan selama 3 hari untuk melihat konsistensinya. ActivPAL

mengidentifikasi perubahan postur tubuh dari duduk dan tidur ke berdiri

atau berjalan, merekam jumlah langkah dan irama jalan serta

mengestimasi pengeluaran energi dalam satuan METs. ActivPal yang

merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

menempelkan di bagian paha selama tiga hari dari mulai pemasangan.

Gambar 3.4 ActivPal

G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dalam kegiatan penelitian merupakan salah satu langkah

yang penting terutama dalam menarik kesimpulan tentang masalah yang diteliti.

Untuk itu apabila semua data yang diperlukan sudah terkumpul, maka langkah

selanjutnya adalah menganalisis data dari hasil penelitian yang telah dilakukan

titik adapun langkah-langkah analisis data sebagai berikut:

1. Analisis Data ActivPal Durasi Tidur

Setelah diperoleh hasil data dari ActivPal tentang durasi tidur, dan langkah

selanjutnya skor yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel nilai durasi tidur.

2. Analisis Data ActivPal Perilaku Sedentari


57

Setelah diperoleh hasil data dari ActivPal tentang durasi tidur, dan langkah

selanjutnya skor yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabel nilai perilaku

sedentari.

3. Analisis Data Body Mass Index (BMI)

Setelah diperoleh data hasil pengukuran berat badan, tinggi badan, dan

jenis kelamin. Langkah berikutnya adalah memasukkannya ke dalam Body

Mass Index (BMI) Calculator, dan selanjutnya menentukan klasifikasi

berdasarkan kriteria status BMI menurut WHO.

4. Analisis Statistik

Analisis data dilaksanakan dengan menggunakan program Statistical

Product and Service Solution (SPSS) for Windows versi 24.0 . Sebelum

dilakukan analisa data, maka perlu dilakukan uji asumsi terlebih dahulu, seperti

yang dijabarkan oleh (Riduwan & Sunarto), yaitu:

a. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui dan menentukan teknik

statistik apa yang digunakan selanjutnya, apakah data distribusi normal atau

tidak, apabila penyebaran datanya normal maka akan digunakan statistic

parametric. Sedangkan apabila penyebaran tidak normal maka akan

digunakan teknik statistic non parametric, rumus normalitas dalam SPSS

dengan Kolomogrov Smirnov dengan cara sebagai berikut:

1) Buka program SPSS.

2) Klik variable view dan isi name dengan variabel X dan variabel Y.

3) Klik data view dan masukan semua data dari kedua data tersebut.
58

4) Pilih menu utama SPSS, klik analyze kemudian klik regression dan pilih

linear, muncul kotak dialog kemudian masukan kedua variabel ke kotak

dependent dan independent lalu klik save.

5) Kemudian akan mucul lagi kotak dialog, pada bagian residuals centang

(√) unstandardized klik continue dan ok.

6) Langkah selanjutnya klik analyze pilih non-parametric test klik legasi

dialog kemudian pilih sub menu I-sampel K-S.

7) Kemudian muncul kotak one-sampel kolomogrov smirnov test.

Kemudian masukan variabel unstandardized residuals ke kotak tes

variabel list. Lalu centang (√) normal dan klik Ok untuk mengakhiri

perintah.

8) Setelah selesai, maka akan muncul tampilan output SPSS dan

diinterpretasikan. Lihat nilai signifikansi dari kedua data yang muncul

pada hasil output SPSS, lalu bandingkan dengan nilai signifikan 0,05.

Dengan kriteria pengujiannya sebagai berikut:

 Jika nilai signifikansi > 0,05, maka data tersebut berdistribusi normal.

 Jika nilai signifikansi < 0,05, maka data tersebut berdistribusi tidak

normal.

b. Uji Linearitas

Secara umum uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah dua

variabel mempunyai hubungan yang linearsecara signifikan atau tidak. Data

yang baik seharusnya terdapat hubungan antara variabel X dengan variabel

Y. Adapun langkah-langkah untuk menguji linearitas, adalah sebagai

berikut:
59

1) Buka program SPSS.

2) Klik variable view dan isi name dengan variabel X (durasi tidur) dan

variabel Y (body mass index)

3) Klik data view dan masukan semua data dari kedua data tersebut.

4) Berikutnya, klik menu analyze, lalu klik compare means, dan pilih

means.

5) Masukan variabel X ke kotak Independent List dan variabel Y ke kotak

Dependent List.

6) Klik options, pilih Test of Linearity, kemudian klik contonue.

7) Klik ok, untuk mengakhiri perintah. Lihat nilai signifikansi dari kedua

data yang muncul pada hasil output SPSS, lalu bandingkan dengan nilai

signifikansi 0,05 atau membandingkan Fhitung dan Ftabel.

 Jika nilai Sig. deviation from linearity > 0,05, maka terdapat

hubungan yang linear antara variabel bebas dengan variabel terikat

 Jika nilai Sig. deviation from linearity < 0,05, maka tidak terdapat

hubungan yang linear antara variabel bebas dengan variabel terikat

c. Korelasi Pearson Product Moment

Uji korelasi biasanya banyak digunakan dalam berbagai penelitian,

mulai dari penelitian sederhana sampai yang cukup kompleks. Analisis

korelasi PPM sering digunakan untuk mencari dan menguji hipotesis

asosiatif / hubungan. Variabel dalam analisis korelasi yang dihubungkan

adalah variabel bebas (X) dan variabel (Y).

Analisis korelasi dengan menggunakan uji koefisien korelasi

dimaksudkan untuk mengetahui derajat hubungan antara variabel X 1 dengan


60

variabel Y, dan variabel X2 dengan variabel Y, dengan menggunakan rumus

SPSS korelasi pearson product moment, sebagai berikut:

1) Buka program SPSS.

2) Klik variabel view, selanjutnya pada bagian name tulis X dan Y.

3) Kolom Type diisi Numeric, kolom Width diisi 8, kolom Decimals

diubah menjadi angka 0, lalu pada kolom label untuk baris pertama (X)

dituliskan Durasi Tidur dan untuk baris kedua (Y) dituliskan Body Mass

Index, kolom value diisi None, kolom Coloumns diisi 8, kolom Align

pilih Center dan kolom Measure pilih Scale.

4) Klik data view dan masukan data Durasi Tidur dan data Body Mass

Index.

5) Selanjutnya, pada menu utama SPSS pilih menu analyze, klik correlate

dan pilih bivariate.

6) Muncul kotak dialog dengan nama bivariate correlations lalu masukan

variabel Durasi Tidur dan Body Mass Index.

7) Pada correlation coefficients pilih pearson dan pada kolom test of

significant pilih two-tailed dan centang (√) flag significant correlations.

8) Klik option dan tandai pilihan pada kotak Mean and Standart deviation.

9) Klik contonue sehingga kembali ke kotak dialog awal.

10) Klik Ok untuk mengakhiri perintah.

11) Setelah selesai, maka akan muncul tampilan output SPSS dan

diinterpretasikan.

a) Uji Signifikansi Untuk X1 dan Y

 Jika sig < 0,05 maka terdapat korelasi yang signifikan


61

 Jika sig > 0,05 maka tidak terdapat korelasi yang signifikan

b) Uji Signifikansi Untuk X2 dan Y

 Jika sig < 0,05 maka terdapat korelasi yang signifikan

 Jika sig > 0,05 maka tidak terdapat korelasi yang signifikan

c) Uji Signifikansi Secara Keseluruhan

 Jika sig F < 0,05 maka terdapat korelasi yang signifikan

 Jika sig F > 0,05 maka tidak terdapat korelasi yang signifikan

Menurut (Sugiyono, 2013) penentuan koefisien korelasi dengan

menggunakan metode analisis korelasi Pearson Product Moment. Mengukur

keeratan hubungan diantara hasil-hasil pengamatan dan Korelasi Pearson

Product Moment digunakan untuk mengukur korelasi data interval. maka

dapat berpedoman pada ketentuan berikut ini:

Tabel 3.3
Pedoman Untuk Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan


0,00 – 0,199 Sangat Rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Cukup
0,60 - 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat Kuat

Sumber: Sugiyono (2015: 257)

d) Regresi Linear Multiples


62

1) Buka program SPSS.

2) Klik variable view, selanjutnya pada bagian name pada baris pertama

diisi dengan X1, X2, dan baris ketiga diisi dengan Y. Kolom Type diisi

Numeric, kolom Width diisi 8, kolom Decimals diubah menjadi angka 0,

lalu pada kolom label untuk baris pertama ketikan (X1) Durasi Tidur,

(X2) Perilaku Sedentari, dan untuk baris ketiga (Y) ketikan Body Mass

Index.

3) Klik data view dan masukan data Durasi Tidur, Perilaku Sedentari, dan

Body Mass Index.

4) Selanjutnya, pada menu utama SPSS pilih menu analyze, kemudian pilih

regression, klik linear.

5) Muncul kotak dialog masukkan variabel Durasi Tidur dan Perilaku

Sedentari pada tabel Independent dan Body Mass Index pada tabel

dependent, pada methode pilih enter.

6) Pilih statistic lalu centang (√) estimasi: (√) model fit: Klik continue.

7) Klik Ok untuk mengakhiri perintah. Setelah selesai, maka akan muncul

tampilan output SPSS dan diinterpretasikan.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Data Penelitian

a. Durasi Tidur

Pengukuran durasi tidur, data diperoleh dengan pemasangan alat

ActivPAL pada siswa SMA N 3 Ciamis. Hasil klasifikasi menjadi

delapan, yaitu: (1) 6-7 jam, (2) 7-8 jam, (3) 8-9 jam, (4) 9-10 jam (5) 10-

11 jam, (6) 11-12 jam, (7) 12-13 jam, (8) 13-14 jam. Data hasil alat

ActivPAL sebagai berikut:

Tabel 4.l.
Distribusi Durasi Tidur

No Kategori Frekuensi
F F%
1. 6-7 jam 5 13,9%
2. 7-8 jam 9 25%
3. 8-9 jam 10 27,8%
4. 9-10 jam 8 22,2%
5. 10-11 jam 3 8,3%
6. 11-12 jam 1 2,8%
7. 12-13 jam 0 0%
8. 13-14 jam 0 0%
JUMLAH 36 100%
Sumber: Data Diolah Peneliti (2020)

Berdasarkan tabel 4.1 tersebut di atas, dari 36 siswa (100 %) terdapat

5 siswa (13,9%) dalam kategori durasi tidur 6-7 jam, 9 siswa (25%)

dalam kategori durasi tidur 7-8 jam, 10 siswa (27,8%) dalam kategori

durasi tidur 8-9 jam, 8 siswa (22,2%) dalam kategori durasi tidur 9-10

jam, 3 siswa (8,3%) dalam kategori durasi tidur 10-11 jam, 1 siswa

(2,8%) dalam kategori durasi tidur 11-12 jam, 0 siswa (0%) dalam

63
64

kategori durasi tidur12-13 jam, dan tidak ada siswa dalam kategori

durasi tidur 13-14 jam. Data hasil pemasangan alat ActivPAL pada siswa

dapat dilihat pada diagram batang di bawah ini:

Diagram Durasi Tidur


12

10

0
6-7 jam 7-8 jam 8-9 jam 9-10 jam 10-11 jam 11-12 jam 12-13 jam

Series 1

Gambar 4.1 Diagram Durasi Tidur


(Sumber: Data Diolah Peneliti (2020)

b. Perilaku Sedentari

Pengukuran perilaku sedentari diperoleh dari pemasangan alat

ActivPAL pada siswa SMA N 3 Ciamis. Hasil klasifikasi menjadi tujuh,

yaitu: (1) 6-7 jam, (2) 7-8 jam, (3) 8-9 jam, (4) 9-10 jam (5) 10-11 jam,

(6) 11-12 jam, (7) 12-13 jam.. Data hasil alat ActivPAL sebagai berikut:

Tabel 4.2.
Distribusi Perilaku Sedentari

No Kategori Frekuensi
F F%
1. 6-7 jam 0 0%
2. 7-8 jam 2 5,6%
3. 8-9 jam 2 5,6%
4. 9-10 jam 8 22,2%
5. 10-11 jam 14 38,9%
6. 11-12 jam 6 16,7%
65

7. 12-13 jam 2 5,6%


8. 13-14 jam 2 5,6%
JUMLAH 36 100%
Sumber: Data Diolah Peneliti (2020)

Berdasarkan tabel 4.2 tersebut di atas, dari 36 siswa (100 %), tidak

terdapat siswa dalam kategori perilaku sedentari 6-7 jam, 2 siswa (5,6%)

dalam kategori perilaku sedentari 7-8 jam, 2 siswa (5,6%) dalam kategori

perilaku sedentari 8-9 jam, 8 siswa (22,2%) dalam kategori perilaku

sedentari 9-10 jam, 14 siswa (38,9%) dalam kategori perilaku sedentari

10-11 jam, 6 siswa (16,7%) dalam kategori perilaku sedentari 11-12 jam,

2 siswa (5,6%) dalam kategori perilaku sedentari 12-13 jam, 2 siswa

(5,6%) dalam kategori perilaku sedentari 13-14 jam. Data hasil

pemasangan alat ActivPAL pada siswa dapat dilihat pada diagram batang

di bawah ini:

Diagram Perilaku Sedentari


16

14

12

10

0
6-7 jam 7-8 jam 8-9 jam 9-10 jam 10-11 jam 11-12 jam 12-13 jam

Series 1

Gambar 4.2 Diagram Perilaku Sedentari


Sumber: Data Diolah Peneliti (2020)
66

c. Tingkat Body Mass Index

Pengukuran body mass index diperoleh dari data jenis kelamin,

pengukuran berat badan, dan tinggi badan. Data hasil tersebut di

klasifikasikan menurut klasifikasi Body Mass Index Calculator. Data

hasil body mass index adalah sebagai berikut:

Tabel 4.3
Distribusi Tingkat Body Mass Index

No Kategori Frekuensi
F F%
1. Kurus (Under weight) 4 11,1%
2. Normal (Healty weight) 22 61,1%
3. Kegemukan (Over weight) 9 25%
4. Obesitas Tingkat 1 1 2,8%
5. Obesitas Tingkat 2 0 0%
6. Obesitas Tingkat 3 0 0%
JUMLAH 36 100%
Sumber: Data Diolah Peneliti (2020)

Berdasarkan tabel 4.3 tersebut di atas, dari 36 siswa (100%)

terdapat 4 siswa (11,1%) dalam kategori kurus, 22 siswa (61,1%) dalam

kategori berat badan normal, 9 siswa (25%) dalam kategori kegemukan,

1 siswa (2,8%) dalam kategori obesitas I, dan tidak ada siswa dalam

kategori obesitas II dan III. Data hasil body mass index siswa dapat

dilihat pada diagram batang di bawah ini:


67

Diagram Body Mass Index


25

20

15

10

0
Kurus (Under Normal Kegemukan Obesitas Obesitas Obesitas
weight) (Healty (Over weight) Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3
weight)

Series 1

Gambar 4.3 Diagram Perilaku Sedentari


Sumber: Data Diolah Peneliti (2020)

2. Hasil Analisis Data

a. Uji Normalitas

Menurut Husaini & Purnomo (2003) dalam (Erwinanto, 2017), "Uji

normalitas bertujuan untuk menguji apakah data berdistribusi normal

atau tidak sehingga analisis dengan validitas, reliabilitas, uji t, korelasi,

dan regresi dapat dilaksanakan." Uji normalitas dilakukan dengan uji

One-Sample Kolmogorov-smirnov dengan kaidah keputusan jika

signifikansi lebih dari 0,05 maka dapat dikatakan data tersebut

berdistribusi normal.

Tabel 4.4.
Hasil Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Unstandardized Residual

N 36
Normal Parametersa,b Mean ,0000000
Std. 3,19834297
Deviation
68

Most Extreme Absolute ,107


Differences Positive ,107
Negative -,089
Test Statistic ,107
Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.
Sumber: Data Diolah Peneliti (2020)

Berdasarkan hasil pengujian pada tabel 4.4., diketahui bahwa hasil

signifikansi sebesar 0.200 lebih besar dari 0.05, sehingga dapat

disimpulkan bahwa data tersebut berdistribusi normal.

b. Uji Linearitas

Tujuan dilakukan uji linearitas adalah untuk mengetahui apakah dua

variabel mempunyai hubungan yang linear secara signifikan atau tidak.

Hasil analisis uji linearitas, sebagai berikut :

Tabel 4.5.
Hasil Uji Linearitas Durasi Tidur dengan Body Mass Index

ANOVA Table
Sum of Mean
Squares df Square F Sig.
Body Between (Combined) 389,377 32 12,168 2,424 ,255
Mass Groups Linearity 28,213 1 28,213 5,619 ,098
Index * Deviation 361,164 31 11,650 2,320 ,268
Durasi from
Tidur Linearity
Within Groups 15,062 3 5,021
Total 404,439 35
Sumber: Data Diolah Peneliti (2020)

Dapat diketahui bahwa berdasarkan nilai tabel signifikansi :

 Jika nilai Sig. deviation from linearity > 0,05, maka terdapat

hubungan yang linear antara variabel bebas dengan variabel terikat


69

 Jika nilai Sig. deviation from linearity < 0,05, maka tidak terdapat

hubungan yang linear antara variabel bebas dengan variabel terikat

Berdasarkan hasill output diatas diperoleh nilai Sig. deviation from

linearity sebesar 0.268 > 0.05 yang artinya terdapat hubungan linear

antara durasi tidur dengan body mass index.

Tabel 4.6.
Hasil Uji Linearitas Perilaku Sedentari dengan Body Mass Index

ANOVA Table
Sum of Mean
Squares df Square F Sig.
Body Between (Combined) 402,709 34 11,844 6,847 ,295
Mass Groups Linearity ,025 1 ,025 ,015 ,923
Index * Deviation 402,684 33 12,203 7,054 ,291
Perilaku from
Sedentari Linearity
Within Groups 1,730 1 1,730
Total 404,439 35
Sumber: Data Diolah Peneliti (2020)

Berdasarkan hasill output diatas diperoleh nilai Sig. deviation from

linearity 0.291 > 0.05 yang artinya tidak terdapat hubungan secara linear

antara perilaku sedentari dengan body mass index.

3. Hasil Uji Hipotesis

Setelah melakukan pengujian normalitas, linieritas, dapat disimpulkan

bahwa sampel berdistribusi normal, terdapat hubungan yang linier antar

variabel. Selanjutnya dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan analisis

korelasi Pearson Product Moment dan analisis regresi ganda/multiples.

Korelasi Pearson Product Moment dilambangkan r, dengan ketentuan nilair

tidak lebih dari harga (-1 < r < + 1). Apabila r = -1 artinya korelasi negatif

sempurna, r = 0 artinya tidak ada korelasi, dan r = 1 berarti korelasinya


70

sempurna positif (kuat). Korelasi yang bertanda positif menunjukkan arah

korelasi yang positif. Korelasi yang bertanda negatif menunjukkan arah

korelasi yang negatif. Sedangkan 0,000 menunjukkan tidak adanya korelasi

antara X dan Y. Sedangkan kekuatan hubungan akan dikonsultasikan

dengan tabel interpretasi.

Hasil analisis korelasi antara variabel motivasi melakukan aktivitas fisik

dengan kebugaran jasmani siswa SMA N 3 Ciamis, adalah sebagai berikut :

Tabel 4.7.
Hasil Uji Korelasi Product Moment

Correlations
Perilaku Body Mass
Durasi Tidur Sedentari Index
Durasi Tidur Pearson 1 -,644** -,264
Correlation
Sig. (2-tailed) ,000 ,120
N 36 36 36
Perilaku Pearson -,644** 1 ,008
Sedentari Correlation
Sig. (2-tailed) ,000 ,963
N 36 36 36
Body Mass Index Pearson -,264 ,008 1
Correlation
Sig. (2-tailed) ,120 ,963
N 36 36 36
Sumber: Data Diolah Peneliti (2020)

Berdasarkan data di atas maka dapat dilakukan pengujian dengan

membandingkan taraf signifikansi (p-value) sebagai berikut:

 Jika signifikansi <0.05 maka ada korelasi yang signifikan.

 Jika signifikansi > 0.05 maka tidak ada korelasi yang signifikan.

a. Hubungan Durasi Tidur dengan Body Mass Index


71

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa koefisien korelasi adalah -,264

dengan signifikansi 0,120. Karena signifikansi > 0.05, maka tidak

terdapat hubungan yang signifikan. Selanjutnya jika koefisien korelasi

hasil analisis korelasi Pearson Product Moment tidak = 0, maka dapat

dikatakan terjadi sebuah hubungan. Hasil korelasi Pearson Product

Moment menghasilkan -,264 yang artinya terdapat korelasi negatif antara

durasi tidur dengan body mass Index .

Tabel 4.8.
Hasil Uji Korelasi Product Moment Durasi Tidur dengan Body Mass
Index

Correlations
Durasi Tidur Body Mass Index
Durasi Tidur Pearson Correlation 1 -,264
Sig. (2-tailed) ,120
N 36 36
Body Mass Index Pearson Correlation -,264 1
Sig. (2-tailed) ,120
N 36 36
Sumber: Data Diolah Peneliti (2020)

Setelah didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan negatif antara

durasi tidur dengan body mass Index, langkah selanjutnya adalah

menginterpretasi kekuatan hubungan antara durasi tidur dengan body

mass Index. Setelah diinterpretasi dengan tabel tingkat hubungan

koefisien korelasi didapatkan hasil bahwa kekuatan hubungan durasi

tidur dengan body mass Index adalah sangat rendah.

Berdasarkan hasil korelasi yang terjadi, terdapat korelasi sebesar -

0,264, yang artinya terdapat hubungan yang negatif dengan kekuatan


72

sangat rendah, yang artinya semakin meningkatnya durasi tidur, akan

diikuti oleh semakin menurunnya body mass index.

b. Hubungan Perilaku Sedentari dengan Body Mass Index

Pada tabel korelasi, diperoleh harga koefisien korelasi sebesar 0,008

dengan signifikansi 0,963. Karena signifikansi > 0.05, maka tidak

terdapat hubungan yang signifikan. Selanjutnya jika koefisien korelasi

hasil analisis korelasi Pearson Product Moment tidak = 0, maka dapat

dikatakan terjadi sebuah hubungan. Hasil korelasi Pearson Product

Moment menghasilkan 0,008 yang artinya terdapat korelasi negatif antara

perilaku sedentari dengan body mass index.

Tabel 4.9.
Hasil Uji Korelasi Product Moment Perilaku Sedentari dengan Body
Mass Index

Correlations
Perilaku Sedentari Body Mass Index
Perilaku Pearson 1 ,008
Sedentari Correlation
Sig. (2-tailed) ,963
N 36 36
Body Mass Pearson ,008 1
Index Correlation
Sig. (2-tailed) ,963
N 36 36
Sumber: Data Diolah Peneliti (2020)

Setelah didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan positif antara

perilaku sedentari dengan body mass index, langkah selanjutnya adalah

menginterpretasi kekuatan hubungan antara perilaku sedentari dengan

body mass index. Setelah diinterpretasi dengan tabel tingkat hubungan


73

koefisien korelasi didapatkan hasil bahwa kekuatan hubungan antara

perilaku sedentari dengan body mass index adalah sangat rendah.

Berdasarkan hasil korelasi yang terjadi, terdapat korelasi sebesar

0,008, yang artinya terdapat hubungan yang positif dengan kekuatan

sangat rendah, yang artinya semakin meningkatnya perilaku sedentari,

akan diikuti oleh semakin meningkatnya body mass index.

c. Hubungan Durasi Tidur dan Perilaku Sedentari dengan Body Mass

Index

Tabel 4.10.
Hasil Analisis Regresi Linear Multiples

Variabel Koefisien regresi T hitung Sig


Konstanta 40,182 4,051 0,000
X1 -1,221 -2,068 0,047
X2 -0,738 -1,295 0,204
Fhitung 2,139 Sig. 0,134
R 0,339 R2 0,115
Sumber: Data Diolah Peneliti (2020)

Berdasarkan data di atas maka dapat dilakukan pengujian dengan

membandingkan taraf signifikansi Secara keseluruhan sebagai berikut:

1) Jika sig F < 0,05 maka terdapat hubungan yang signifikan.

2) Jika sig F > 0,05 maka tidak terdapat hubungan yang signifikan.

Dari data di atas, dapat diketahui bahwa hasil dari F hitung dengan

signifikansi sebesar 0,134 > 0.05 yang artinya tidak terdapat korelasi

yang signifikan. Berdasarkan analisis diperoleh koefisien F hitung 2,139

< F tabel (3,28) pada taraf signifikansi 5% dan R hitung = 0,339 > R=

0.3338, dengan demikian diartikan tidak ada hubungan yang signifikan

antara durasi tidur dan perilaku sedentari dengan body mass index.
74

Selanjutnya untuk menginterpretasikan korelasi ganda lihat nilai R,

semakin mendekati 1 maka korelasi semakin kuat. Maka dapat diketahui

bahwa hasil korelasi menghasilkan 0,339 yang artinya terdapat korelasi

antara durasi tidur dan perilaku sedentari dengan body mass index dengan

kekuatan hubungan yang rendah.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan jumlah sampel 36

siswa diketahui bahwa durasi tidur siswa SMA Negeri 3 Ciamis terdapat 5 siswa

(13,9%) dalam kategori durasi tidur 6-7 jam, sebanyak 9 siswa (25%) dalam

kategori durasi tidur 7-8 jam, sebanyak 10 siswa (27,8%) dalam kategori durasi

tidur 8-9 jam, sebanyak 8 siswa (22,2%) dalam kategori durasi tidur 9-10 jam,

sebanyak 3 siswa (8,3%) dalam kategori durasi tidur 10-11 jam, sebanyak 1 siswa

(2,8%) dalam kategori durasi tidur 11-12 jam, tidak ada siswa yang masuk dalam

kategori durasi tidur 12-13 jam dan durasi tidur 13-14 jam.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa sebagian besar siswa

memiliki durasi tidur 8-9 jam (27,8%). Orang yang tidur kurang dari 7 jam per

hari memiliki resiko mendapatkan body mass index yang lebih besar dari pada

orang yang tidur lebih lama hal ini karena obesitas erat kaitannya dengan proses

sekresi hormon ghrelin dan leptin yang terdapat dalam sirkulasi darah. Dengan

mengetahui tingkat kebutuhan durasi tidur, siswa diharapkan bisa menerapkannya

pada kegiatan sehari-hari, agar tetap menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani

tubuhnya.
75

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan jumlah sampel 36

siswa diketahui bahwa jumlah waktu perilaku sedentari siswa SMA Negeri 3

Ciamis adalah tidak terdapat siswa yang memiliki jumlah waktu perilaku sedentari

6-7 jam, sebanyak 2 siswa (5,6%) yang memiliki jumlah waktu perilaku sedentari

7-8 jam, sebanyak 2 siswa (5,6%) yang memiliki jumlah waktu perilaku sedentari

8-9 jam, sebanyak 8 siswa (22,2%) yang memiliki jumlah waktu perilaku

sedentari 9-10 jam, sebanyak 14 siswa (38,9%) yang memiliki jumlah waktu

perilaku sedentari 10-11 jam, sebanyak 6 siswa (16,7%) yang memiliki jumlah

waktu perilaku sedentari 11-12 jam, sebanyak 2 siswa (5,6%) yang memiliki

jumlah waktu perilaku sedentari 12-13 jam, sebanyak 2 siswa (5,6%) yang

memiliki jumlah waktu perilaku sedentari 13-14 jam.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut diatas diketahui bahwa sebagian besar

siswa memiliki durasi tidur 10-11 jam (38,9%). Studi tentang perilaku sedentari

ini di Indonesia masih sangat kurang. Padahal aktivitas fisik pada anak remaja saja

masih kurang, apalagi aktivitas menetap atau sedentari ini di Indonesia yang

sering dilakukan anak remaja pada waktu luang. Data World Health Organization

menyatakan bahwa salah satu faktor terjadinya obesitas anak adalah

meningkatnya perilaku sedentari dan kurangnya aktivitas fisik. Dengan

mengetahui resiko yang diakibatkan dari perilaku sedentari tersebut, siswa

diharapkan untuk melakukan aktivitas fisik lebih banyak lagi dan menerapkan

pola hidup sehat untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan kebugaran jasmani

tubuhnya.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan jumlah sampel 36

siswa diketahui bahwa tingkat Body Mass Index siswa SMA Negeri 3 Ciamis
76

adalah terdapat 4 siswa (11,1%) dalam kategori kurus, 22 siswa (61,1%) dalam

kategori berat badan normal, 9 siswa (25%) dalam kategori kegemukan, 1 siswa

(2,8%) dalam kategori obesitas I, dan tidak ada siswa dalam kategori obesitas II

dan III Data hasil body mass index siswa.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui sebagian besar siswa termasuk

dalam kategori berat badan normal (61,1 %) dan diharapkan siswa yang memilik

berat badan kurang perlu adanya peningkatan dan penambahan berat badan

sehingga tercipta berat badan yang ideal yang di sesuikan dengan kriteria Body

Mass Index. Begitu pula untuk siswa yang memiliki berat badan lebih perlu

adanya pengurangan berat badan sehingga tercipta berat badan yang ideal.

Hasil tersebut mengindikasikan bahwa siswa SMA Negeri 3 Ciamis, masih

memiliki durasi tidur yang kurang dari 7 jam dan lebih dari 10 jam, serta masih

memiliki tingkat perilaku sedentari yang lebih dari 11 jam per harinya, dan juga

masih terdapat siswa yang memiliki body mass index yang kurang dan lebih. Agar

kondisinya lebih baik lagi perlu adanya peningkatan dalam memenuhi kebutuhan

tidur, dan melakukan aktivitas fisik yang dikarenakan dari hasil penelitian

diketahui pada body mass index masih ada yang termasuk kategori yang kurang

dan melebihi.

Lebih lanjut dalam penelitian ini, peneliti juga meneliti keterkaitan antara

durasi tidur dan perilaku sedentari dengan body mass index siswa SMA Negeri 3

Ciamis, sebagai berikut :

1. Hubungan Durasi Tidur dengan Body Mass Index

Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan hasil, koefisien korelasi

adalah -0,264 dengan signifikansi 0,120. Karena signifikansi > 0.05, maka
77

tidak terdapat hubungan yang signifikan. Selanjutnya jika koefisien korelasi

hasil analisis korelasi Pearson Product Moment tidak = 0, maka dapat

dikatakan terjadi sebuah hubungan. Hasil korelasi Pearson Product Moment

menghasilkan -0,264 yang artinya terdapat korelasi negatif antara durasi tidur

dengan body mass Index .

Setelah didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan negatif antara durasi

tidur dengan body mass Index, langkah selanjutnya adalah menginterpretasi

kekuatan hubungan antara durasi tidur dengan body mass Index. Setelah

diinterpretasi dengan tabel tingkat hubungan koefisien korelasi didapatkan

hasil bahwa kekuatan hubungan durasi tidur dengan body mass Index adalah

sangat rendah.

Berdasarkan hasil korelasi yang terjadi, terdapat korelasi sebesar -0,264,

yang artinya terdapat hubungan yang negatif dengan kekuatan sangat rendah,

yang artinya semakin meningkatnya durasi tidur, akan diikuti oleh semakin

menurunnya body mass index.

Seperti hasil penelitian Puput Septiana (2017) dengan judul Hubungan

Antara Durasi Tidur Dengan Kejadian Obesitas Pada Anak Usia 3-8 Tahun.

Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji Karl Spearman

dengan SPSS. Setelah dilakukan uji statistik menggunakan Karl Spearman

didapatkan nilai signifikansi p<0,05 pada hubungan durasi tidur dengan

kejadian obesitas berdasarkan status gizi IMT/U. Sehingga H 0 ditolak dan H1

diterima. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara durasi

tidur dengan kejadian obesitas pada anak usia 3-8 tahun di Desa

Rengasdengklok Selatan Kecamatan Rengasdengklok, Karawang.


78

2. Hubungan Perilaku Sedentari dengan Body Mass Index

Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan hasil koefisien korelasi

sebesar 0,008 dengan signifikansi 0,963. Karena signifikansi > 0.05, maka

tidak terdapat hubungan yang signifikan. Selanjutnya jika koefisien korelasi

hasil analisis korelasi Pearson Product Moment tidak = 0, maka dapat

dikatakan terjadi sebuah hubungan. Hasil korelasi Pearson Product Moment

menghasilkan 0,008 yang artinya terdapat korelasi positif antara perilaku

sedentari dengan body mass index.

Setelah didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan positif antara perilaku

sedentari dengan body mass index, langkah selanjutnya adalah

menginterpretasi kekuatan hubungan antara perilaku sedentari dengan body

mass index. Setelah diinterpretasi dengan tabel tingkat hubungan koefisien

korelasi didapatkan hasil bahwa kekuatan hubungan antara perilaku sedentari

dengan body mass index adalah sangat rendah.

Berdasarkan hasil korelasi yang terjadi, terdapat korelasi sebesar 0,008,

yang artinya terdapat hubungan yang positif dengan kekuatan sangat rendah,

yang artinya semakin meningkatnya perilaku sedentari, akan diikuti oleh

semakin meningkatnya body mass index.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh, Andi Iman Arundhana (2013)

dengan judul Pola Perilaku Sedentari Merupakan Faktor Resiko Kejadian

Obesitas Pada Anak Sekolah Dasar Di Kota Yogyakarta dan Kabupaten

Bantul. Dan hipotesis pada penelitian ini terbukti yakni didapatkan hasil dari

penelitian ini adalah durasi perilaku sedentari pada siswa obesitas lebih

panjang dibandingkan tidak obesitas dengan besar perbedaan rata-ratanya


79

adalah 49,81 menit/hari (p<0,01). Hasil analisis chi square menunjukkan

aktivitas sedentari secara signifikan berhubungan dengan kejadian obesitas

dengan OR=6,93 (95% CI: 4,56-10,54). Berdasarkan jenis aktivitas sedentari,

terdapat hubungan yang signifikan untuk kategori screen based dan duduk

(p<0,05). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat nampak bahwa perilaku

sedentary merupakan faktor risiko kejadian obesitas pada anak SD. Rata-rata

durasi perilaku sedentari siswa obesitas lebih tinggi dibandingkan siswa tidak

obesitas.

3. Hubungan Durasi Tidur dan Perilaku Sedentari dengan Body Mass Index

Berdasarkan analisis diperoleh koefisien F hitung dengan signifikansi

sebesar 0,134 > 0.05 yang artinya tidak terdapat korelasi yang signifikan.

Berdasarkan analisis diperoleh koefisien F hitung 2,139 < F tabel (3,28) pada

taraf signifikansi 5% dan R hitung = 0,339 > R= 0.3338, dengan demikian

diartikan tidak ada hubungan yang signifikan antara durasi tidur dan perilaku

sedentari dengan body mass index.

Selanjutnya untuk menginterpretasikan korelasi ganda lihat nilai R,

semakin mendekati 1 maka korelasi semakin kuat. Maka dapat diketahui

bahwa hasil korelasi menghasilkan 0,339 yang artinya terdapat korelasi antara

durasi tidur dan perilaku sedentari dengan body mass index dengan kekuatan

hubungan yang rendah.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh, Restu Lestari (2018) dengan judul

“Hubungan Tingkat Asupan Energi Dan Durasi Tidur Dengan Indeks Massa

Tubuh Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Surakarta.” Berdasarkan hasil pengolahan analisis data, Hasil penelitian


80

menunjukkan sebanyak 58,8% responden memiliki tingkat asupan energi

defisit berat, 51,7% responden memiliki durasi tidur pendek, dan sebesar

71,3% responden memiliki IMT normal. Hasil uji Pearson Product Moment

untuk mengetahui hubungan tingkat asupan energi dengan Indeks Massa

Tubuh (IMT) menunjukkan nilai p=0,006 dan koefisien korelasi r=0,292.

Terdapat hubungan antara tingkat asupan energi dengan Indeks Massa Tubuh

Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Hasil uji hubungan durasi tidur dengan Indeks Massa Tubuh dengan uji Rank

Spearman menunjukkan nilai p=0,022 dan koefisien korelasi r=-245. Terdapat

hubungan antara durasi tidur dengan Indeks Massa Tubuh Mahasiswa Fakultas

Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta hubungan berarah

negatif.

Harapan peneliti, hasil dari studi mengenai durasi tidur ini, siswa perlu

memperhatikannya untuk menerapkan pola hidup sehat dengan tidur yang

cukup. Karena Orang yang tidur kurang dari 7 jam per hari memiliki resiko

mendapatkan body mass index yang lebih besar dari pada orang yang tidur

lebih lama karena obesitas, tidak hanya durasi tidurnya saja yang harus

diperhatikan tapi perilaku sedentari pun harus dikurangi karena dengan siswa

aktif bergerak dalam kegiatan olahraga maupun kegiatan sehari-hari selain

meningkatkan tingkat kebugaran jasmani juga menjaga Body Mass Index

dalam keadaan ideal.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan dalam

bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan negatif antara durasi tidur dengan body mass index pada

siswa SMA Negeri 3 Ciamis.

2. Terdapat hubungan positif antara perilaku sedentari dengan body mass index

pada siswa SMA Negeri 3 Ciamis.

3. Terdapat hubungan antara durasi tidur dan perilaku sedentari secara bersama-

sama dengan body mass index pada siswa SMA Negeri 3 Ciamis.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan durasi tidur dan perilaku

sedentari dengan body mass index pada siswa SMA Negeri 3 Ciamis, saran yang

dapat penulis berikan sebagai tindak lanjut dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi kepada peneliti

selanjutnya apabila akan mengadakan penelitian sejenis dengan menambah

lebih banyak lagi jumlah sampel penelitian yang digunakan sehingga penelitian

akan lebih maksimal serta menggunakan sampel penelitian yang berbeda

dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang ada. Peneliti sangat mengharapkan

adanya penelitian lebih lanjut tentang hubungan durasi tidur dan perilaku

sedentari dengan body mass index.

81
82

2. Siswa SMA Negeri 3 Ciamis disarankan untuk menerapkan gaya hidup sehat

dengan cara mengatur pola tidur dan melakukan aktifitas fisik lebih banyak

lagi agar body mass index tidak diatas angka normal (obesitas) ataupun

dibawah angka normal (kurus).

3. Guru Penjas disarankan agar dapat memberikan pemahaman akan pentingnya

gaya hidup sehat, dimana gaya hidup sehat diantaranya melakukan aktivitas

fisik yang moderat dan durasi tidur yang cukup. Jika semua itu sudah tercapai

maka siswa akan memiliki body mass index yang ideal. Dengan demikian maka

siswa akan memiliki badan sehat dan jauh dari penyakit sehingga siswa dapat

belajar serta berprestasi dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Adámková, V., Hubáček, J. A., Lánská, V., Vrablík, M., Králová Lesná, I.,
Suchánek, P., … Veleminský, M. (2009). Association between Duration of
the Sleep and Body Weight. Physiological Research, 58(SUPPL.1).

Addo, P. N. O., Nyarko, K. M., Sackey, S. O., Akweongo, P., & Sarfo, B. (2015).
Prevalence of obesity and overweight and associated factors among financial
institution workers in Accra Metropolis, Ghana: a cross sectional study. BMC
Research Notes, 8(1), 1–8.

Angraini, R. D. (2007). Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT), Aktivitas Fisik,


Rokok, Konsumsi Buah, Sayur dan Kejadian Hipertensi pada Lansia di
Pulau Kalimantan (Analisis Data Riskesdas 20070.

Buysse, D. J., Reynolds, C. F., Monk, T. H., Berman, S. R., & Kupfer, D. J.
(1988). The Pittsburgh Sleep Quality Index: A New InstrumentFor
Psychiatric Practice and Research. Psychiatry Reasearch.

Carter, P. J., Taylor, B. J., Williams, S. M., & Taylor, R. W. (2011). Longitudinal
analysis of sleep in relation to BMI and body fat in children: The FLAME
study. Bmj, 342(7809), 3–9.

Choi, H. K., Atkinson, K., Karlson, E. W., & Curhan, G. (2005). Obesity, Weight
Change, Hypertension, Diuretic Use, and Risk of Gout in Men. Archives of
Internal Medicine, 165(7), 742–748.

Dinkes Jabar. (2017). Profile Kesehatan Provinsi Jawa Barat 2017. In Jawa Barat,
Dinas Kesehatan.

Filiatrault, M. L., Chaput, J. P., Drapeau, V., & Tremblay, A. (2014). Eating
behavior traits and sleep as determinants of weight loss in overweight and
obese adults. Nutrition and Diabetes, 4(10), e140-8.

Gangwisch, J. E., Heymsfield, S. B., Boden-Albala, B., Buijs, R. M., Kreier, F.,
Pickering, T. G., … Dolores, M. (2007). Sleep Duration as a Risk Factor for
Diabetes Incidence in a Large US Sample. SLEEP.

Hasiana, R. D. (2013). Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh Pada
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010,
2011, dan 2012. In Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.

Inyang, M. P., Oriji, O.-, & Stella. (2015). Sedentary Lifestyle: Health
Implications. IOSR Journal of Nursing and Health Science Ver. I, 4(2),
2320–1940.

Japardi, I. (2002). Gangguan Tidur. In Fakultas Kedokteran, Universitas


Sumatera Utara.

Karine Spiegel, Esra Tasali, Rachel Leproult, and E. V. C. (2004). Effects of poor

83
84

and short sleep on glucose metabolism and obesity. Nat Rev Endocrinol,
5(6), 1–8.

Katzmarzyk, P. T., Church, T. S., Craig, C. L., & Bouchard, C. (2009). Sitting
Time and Mortality from All Causes, Cardiovascular Disease, and Cancer.
Medicine and Science in Sports and Exercise, 41(5), 998–1005.

Krističević, T., Štefan, L., & Sporiš, G. (2018). The Associations between Sleep
Duration and Sleep Quality with Body-Mass Index in a Large Sample of
Young Adults. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 15(4).

Landhuis, C. E., Poulton, R., Welch, D., & Hancox, R. J. (2008). Childhood Sleep
Time and Long-Term Risk for Obesity: A 32-Year Prospective Birth Cohort
Study. Pediatrics, 122(5), 955–960.

Leproult, R., & Cauter, E. Van. (2010). Role of Sleep and Sleep Loss in
Hormonal Release and Metabolism. Endocr Dev, 1–220.

Lestari, R. (2018). Hubungan Tingkat Asupan Energi dan Durasi Tidur dengan
Indeks Massa Tubuh Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Fakultas Kedokteran, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

López-García, E., Faubel, R., León-Muñoz, L., Zuluaga, M. C., Banegas, J. R., &
Rodríguez-Artalejo, F. (2008). Sleep duration, general and abdominal
obesity, and weight change among the older adult population of Spain.
American Journal of Clinical Nutrition, 87(2), 310–316.

Lowry, R., Eaton, D. K., Foti, K., McKnight-Eily, L., Perry, G., & Galuska, D. A.
(2012). Association of Sleep Duration with Obesity among US High School
Students. Journal of Obesity, 2012(December 2014).

Maulana, I. B. (2016). Hubungan Aktivitas Sedentary Dengan Lingkar Pinggang


dan Indeks Massa Tubuh pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKWMS. In
Fakultas Kedokteran, Universitas Katolik Widya Mandala.

Monica, S. (2013). Pengaruh Kurang Tidur Terhadap Peningkatan Risiko


Obesitas. Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha Bandung.

Moorcroft, W. H. (2013). Understanding sleep and dreaming. In Understanding


Sleep and Dreaming.

Paramitha, A. I. (2013). Hubungan Pola Makan Anak, Aktivitas Fisik Anak, dan
Status Ekonomi Orang Tua dengan Obesitas Anak di Sekolah Dasar
Kecamatan Pontianak Selatan. Fakultas Kedokteran, Universitas
Tanjugpura.

Patel, S. R., Malhotra, A., White, D. P., Gottlieb, D. J., & Hu, F. B. (2006).
Association between Reduced Sleep and Weight Gain in Women. American
85

Journal of Epidemiology, 164(10), 947–954.

Patlak. (2005). Your guide to healthy sleep. US Department of Health and Human
Services. Retrieved from
https://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/public/sleep/healthy_sleep.pdf
%0Ahttp://www.nhlbi.nih.gov/health/resources/sleep/healthy-sleep

Perla A. Vargas, Melissa Flores, E. R. (2014). Sleep Quality and Body MMass
Index in College Student: The Role of Sleep Disturbance. National Institutes
Health Public Access, 62(8): 534.

Popkin, B. M. (1999). Urbanization, Lifestyle Changes and the Nutrition


Transition. World Development, 27(11), 1905–1916.

Pramita, R. D., & Griadhi, I. P. A. (2016). Hubungan antara Perilaku Sedentari


dengan Indeks Massa Tubuh pada Siswa Kelas V SDCipta Dharma
Denpasar. Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana.

Prio, P. (2015). Durasi tidur singkat dan obesitas. Fakultas Kedokteran,


Universitas Lampung.

Rahmadani, A., Indiasari, R., & Yustini. (2014). Hubungan Aktivitas


Sedentaridengan Kejadian Overweight pada Remaja di SMA Katolik
Cendrawasih Makasar. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Hasanudin, 1–8.

Rakhmawati, A. (2009). Hubungan Antara Indeks Massa Tubuh Dengan Usia


Awal Andropause. In Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret.

Rasyid IA, Syafrita Y, & Sastri S. (2017). Hubungan Faktor Resiko dengan
Fungsi Kognitif pada Lanjut Usia Kecamatan Padang PanjangTimur Kota
Padang Panjang. Jurnal Keshatan Andalas.

Salmon, J., Tremblay, M. S., Marshall, S. J., & Hume, C. (2011). Health Risks,
Correlates, and Interventions to Reduce Sedentary Behavior in Young
People. American Journal of Preventive Medicine, 41(2), 197–206.

Schmid, S. M., Hallschmid, M., Jauch-Chara, K., Born, J., & Schultes, B. (2008).
A single night of sleep deprivation increases ghrelin levels and feelings of
hunger in normal-weight healthy men. Journal of Sleep Research, 17(3),
331–334.

Seegers, V., Petit, D., Falissard, B., Vitaro, F., Tremblay, R. E., Montplaisir, J., &
Touchette, E. (2011). Short sleep duration and body mass index: A
prospective longitudinal study in preadolescence. American Journal of
Epidemiology, 173(6), 621–629.

Septiana, P. (2017). Hubungan Antara Durasi Tidur Dengan Kejadian Obesitas


Pada Anak Usia 3-8 Tahun. In Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga.
86

Shields, M., & Tremblay, M. S. (2008). Screen time among Canadian adults: a
profile. Health Reports / Statistics Canada, Canadian Centre for Health
Information = Rapports Sur La Santé / Statistique Canada, Centre Canadien
d’information Sur La Santé, 19(2), 31–43.

Sugiyono. (2013). Metodologi. 79–108.

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R&D.

Suprasetyo, A. (2015). STATUS GIZI ANAK TUNAGRAHITA


BERDASARKAN INDEKS MASSA TUBUH DI SLB TUNAS BHAKTI
PLERET. In Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Taheri, S., Lin, L., Austin, D., Young, T., & Mignot, E. (2004). Short Sleep
Duration Is Associated with Reduced Leptin, Elevated Ghrelin, and
Increased Body Mass Index. PLoS Medicine, 1(3), 210–217.

Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2014). Principles of Anatomy & Physiology 14th
Edition. In Wiley.

Triyani, E., Herman, & Pradika, J. (2018). Hubungan Antara Aktivitas Fisik dan
Kualitas Tidur dengan Obesitas Pada Remaja di SMP Negeri 22 Pontianak.
Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjung Pura.

Watson, N. F., Buchwald, D., Vitiello, M. V., Noonan, C., & Goldberg, J. (2010).
A twin study of sleep duration and body mass index. Journal of Clinical
Sleep Medicine, 6(1), 11–17.

Wong, S. L., Colley, R., Gorber, S. C., & Tremblay, M. (2011). Actical
accelerometer sedentary activity thresholds for adults. Journal of Physical
Activity and Health, 8(4), 587–591.

Wong Wai Yi, W. (2008). The Relationship between Time Management,


Perceived Stress, Sleep Quality and Academic Performance among
University Student.

Yenni Yostiana Sinaga, Eka Bebasari, Y. E. (2015). Hubungan Kualitas Tidur


Dengan Obesitas Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau
Angkatan 2014.
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1

Data hasil pengukuran variabel x1 (Durasi Tidur)

No Nama Durasi Tidur


1 Fitri Rahmawati 10,10
2 Nurdin 6,22
3 Yulia Mutiara Putti 11,20
4 Farras Khalishdaffa R. K. 7,64
5 Keukeu Ratna Dewi 9,30
6 Fatwa Vemar Al Nafi 8,00
7 Pera Susilawati 8,79
8 Muhammad Daffa Wardana 8,81
9 Dendy Bima Ardana 7,76
10 Dede Miftahul Ramdhani 7,72
11 Offi Muhammad Abdel T. 7,25
12 Putty Alya S 10,41
13 Reihan Mochamad Lazuardy 6,28
14 Azmi Tauhid Muharram 8,00
15 Alinda Marselia Putri 8,42
16 Dadi Haryadi 9,11
17 Mailanie Jakawardana 7,54
18 Alenia Daniati 6,92
19 Marom 7,68
20 Mohamad Alif Khadifa W. 9,04
21 Lusi Yuliani Agustin 7,76
22 Alivia Martina Maulidiah 9,84
23 Wahyu Tri Saputra 7,94
24 Eef Safurrohman 6,77
25 Rian Prayoga 9,95
26 Yanimaryani 8,21
27 Sri Devi Anjani 9,41
28 Melda Pebriane Restianti 8,72
29 Siti Nurul Hija Hardianti 8,79
30 Sinfi Pasha Pratiwi 8,50
31 Santi Rahmawati 7,33
32 Anggara Machesa Putra 6,04
33 Sri Maya Utari 10,05
34 Natalia Atha Ferdinanda Mansoben 9,44
35 Zakarias Sroyer 9,36
36 Tina Yosina Fajar Sasior 8,64

87
88

Lampiran 2

Data hasil pengukuran variabel X2 (Perilaku SedentarI)

No Nama Perilaku Sedentari


1 Fitri Rahmawati 8,56
2 Nurdin 13,60
3 Yulia Mutiara Putti 7,88
4 Farras Khalishdaffa R. K. 11,18
5 Keukeu Ratna Dewi 9,79
6 Fatwa Vemar Al Nafi 10,49
7 Pera Susilawati 10,62
8 Muhammad Daffa Wardana 11,34
9 Dendy Bima Ardana 10,56
10 Dede Miftahul Ramdhani 10,01
11 Offi Muhammad Abdel T. 9,73
12 Putty Alya S 7,60
13 Reihan Mochamad Lazuardy 13,20
14 Azmi Tauhid Muharram 10,43
15 Alinda Marselia Putri 10,91
16 Dadi Haryadi 8,97
17 Mailanie Jakawardana 12,92
18 Alenia Daniati 10,22
19 Marom 11,32
20 Mohamad Alif Khadifa W. 10,05
21 Lusi Yuliani Agustin 9,90
22 Alivia Martina Maulidiah 11,17
23 Wahyu Tri Saputra 11,11
24 Eef Safurrohman 10,11
25 Rian Prayoga 9,39
26 Yanimaryani 10,66
27 Sri Devi Anjani 9,63
28 Melda Pebriane Restianti 10,77
29 Siti Nurul Hija Hardianti 9,79
30 Sinfi Pasha Pratiwi 9,43
31 Santi Rahmawati 11,24
32 Anggara Machesa Putra 10,89
33 Sri Maya Utari 9,55
34 Natalia Atha Ferdinanda Mansoben 10,04
35 Zakarias Sroyer 12,13
36 Tina Yosina Fajar Sasior 10,42
89

Lampiran 3

Data hasil pengukuran variabel Y (Body Mass Index)

No Nama TB BB BMI Keterangan


1 Fitri Rahmawati 19,6
1,58 49 Normal
3
2 Nurdin 19,1
1,74 58 Normal
6
3 Yulia Mutiara Putti 21,5
1,54 51 Normal
0
4 Farras Khalishdaffa R. K. 20,5
1,78 65 Normal
2
5 Keukeu Ratna Dewi 24,8
1,54 59 Normal
8
6 Fatwa Vemar Al Nafi 26,4
1,65 72 Normal
5
7 Pera Susilawati 20,9
1,56 51 Normal
6
8 Muhammad Daffa Wardana 26,0
1,72 77 Normal
3
9 Dendy Bima Ardana 20,4
1,7 59 Normal
2
10 Dede Miftahul Ramdhani 27,7
1,6 71 Normal
3
11 Offi Muhammad Abdel T. 20,7
1,7 60 Normal
6
12 Putty Alya S 16,8
1,52 39 Kurus
8
13 Reihan Mochamad Lazuardy 24,2
1,71 71 Normal
8
14 Azmi Tauhid Muharram 31,0
1,73 93 Obesitas Tingkat 1
7
15 Alinda Marselia Putri 21,7
1,59 55 Normal
6
16 Dadi Haryadi 19,1
1,74 58 Normal
6
17 Mailanie Jakawardana 21,0
1,66 58 Normal
5
18 Alenia Daniati 22,4
1,55 54 Normal
8
19 Marom 21,0
1,48 46 Normal
0
20 Mohamad Alif Khadifa W. 19,1
1,77 60 Normal
5
21 Lusi Yuliani Agustin 22,5
1,59 57 Normal
5
22 Alivia Martina Maulidiah 22,5
1,59 57 Normal
5
23 Wahyu Tri Saputra 19,0
1,56 46,4 Normal
7
90

24 Eef Safurrohman 24,4


1,75 75 Normal
9
25 Rian Prayoga 18,2
1,64 49 Kurus
2
26 Yanimaryani 20,5
1,56 50 Normal
5
27 Sri Devi Anjani 20,9
1,58 52,3 Normal
5
28 Melda Pebriane Restianti 23,1
1,44 48 Normal
5
29 Siti Nurul Hija Hardianti 23,0
1,5 51,8 Normal
2
30 Sinfi Pasha Pratiwi 29,3
1,58 73,3 Normal
6
31 Santi Rahmawati 22,2
1,5 50 Normal
2
32 Anggara Machesa Putra 25,7
1,59 65 Normal
1
33 Sri Maya Utari 26,1
1,6 67 Normal
7
34 Natalia Atha Ferdinanda M. 18,3
1,52 42,3 Kurus
1
35 Zakarias Sroyer 15,6
1,56 38 Kurus
1
36 Tina Yosina Fajar Sasior 22,6
1,52 52,4 Normal
8

Lampiran 4

Output Uji Normalitas variabel X1 (Durasi Tidur), X2 (Perilaku Sedentari), dan Y

(Body Mass Index)

NPar Tests
91

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Unstandardiz
ed Residual
N 36
a,b
Normal Parameters Mean ,0000000
Std. 3,19834297
Deviation
Most Extreme Absolute ,107
Differences Positive ,107
Negative -,089
Test Statistic ,107
Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.

Lampiran 5

Output Uji Linearitas X1 (Durasi Tidur) dengan Y (Body Mass Index)

ANOVA Table
Sum of Mean
Squares df Square F Sig.
Body Mass Between (Combined) 389,377 32 12,168 2,424 ,255
Index * Groups Linearity 28,213 1 28,213 5,619 ,098
92

Durasi Tidur Deviation from 361,164 31 11,650 2,320 ,268


Linearity
Within Groups 15,062 3 5,021
Total 404,439 35

Lampiran 6

Output Uji Linearitas X2 (Perilaku Sedentari) dengan Y (Body Mass Index)

ANOVA Table
Sum of Mean
Squares df Square F Sig.
Body Mass Between (Combined) 402,709 34 11,844 6,847 ,295
93

Index * Groups Linearity ,025 1 ,025 ,015 ,923


Perilaku Deviation from 402,684 33 12,203 7,054 ,291
Sedentari Linearity
Within Groups 1,730 1 1,730
Total 404,439 35

Lampiran 7

Output Uji Korelasi Pearson Product Moment X1 (Durasi Tidur) dengan Y (Body

Mass Index)

Correlations
94

Durasi Body Mass


Tidur Index
Durasi Tidur Pearson 1 -,264
Correlation
Sig. (2-tailed) ,120
N 36 36
Body Mass Pearson -,264 1
Index Correlation
Sig. (2-tailed) ,120
N 36 36

Lampiran 8

Output Uji Korelasi Pearson Product Moment X2 (Perilaku Sedentari) dengan Y

(Body Mass Index)


95

Correlations

Correlations
Perilaku Body Mass
Sedentari Index
Perilaku Pearson 1 ,008
Sedentari Correlation
Sig. (2-tailed) ,963
N 36 36
Body Mass Index Pearson ,008 1
Correlation
Sig. (2-tailed) ,963
N 36 36

Lampiran 9

Output Uji Korelasi Regresi Linear Multiples X1 (Durasi Tidur) dan X2 (Perilaku

Sedentari) dengan Y (Body Mass Index)


96

Regression

Variables Entered/Removeda
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 Perilaku . Enter
Sedentari,
Durasi Tidurb
a. Dependent Variable: Body Mass Index
b. All requested variables entered.

Model Summaryb
Change Statistics
R F Sig. F
Mode R Adjusted Std. Error of Square Chang Chang
l R Square R Square the Estimate Change e df1 df2 e
a
1 ,339 ,115 ,061 3,29384 ,115 2,139 2 33 ,134
a. Predictors: (Constant), Perilaku Sedentari, Durasi Tidur
b. Dependent Variable: Body Mass Index

ANOVAa
Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 46,410 2 23,205 2,139 ,134b
Residual 358,029 33 10,849
Total 404,439 35
a. Dependent Variable: Body Mass Index
b. Predictors: (Constant), Perilaku Sedentari, Durasi Tidur

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 40,182 9,919 4,051 ,000
97

Durasi -1,221 ,591 -,443 -2,068 ,047


Tidur
Perilaku -,738 ,570 -,277 -1,295 ,204
Sedentari
a. Dependent Variable: Body Mass Index

Residuals Statisticsa
Minimum Maximum Mean Std. Deviation N
Predicted Value 19,8023 24,7717 22,2078 1,15152 36
Residual -4,98156 8,35272 ,00000 3,19834 36
Std. Predicted Value -2,089 2,227 ,000 1,000 36
Std. Residual -1,512 2,536 ,000 ,971 36
a. Dependent Variable: Body Mass Index

Lampiran 10

Dokumentasi penelitian
98

A. Pengukuran Tinggi Badan

B. Pengukuran Berat Badan

C. Pemasangan Alat ActivPAL


99

Lampiran 11
100

Surat permohonan izin penelitian

Lampiran 12
101

Surat keterangan telah melaksanakan penelitian


RIWAYAT HIDNP

Data Pribadi :

Nama : Krisbi Sara

Nomor Induk Mahasiswa : 2124160133

Tempat, Tanggal Lahir : Brebes, 18 April 1998

Jenis Kelamin : Laki-laki

Nama Orang Tua

Ayah : Amud Wasmud

Ibu : Bawon Komariah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Raya Bangbayang No. 36 Brebes

Riwayat Pendidikan :

1. SD : SD Negeri Bangbayang 01 lulus tahun 2010


2. SMP : MTs Negeri Bangbayang lulus tahun 2013
3. SMA : MAN 2 Brebes lulus tahun 2016
4. S1 : Universitas Galuh Ciamis lulus tahun 2020

102

Anda mungkin juga menyukai