Anda di halaman 1dari 14

BAB II

LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Stakeholder

Freeman (1984) berpendapat bahwa stakeholder adalah seseorang atau sekelompok


orang yang dipengaruhi dan mempengaruhi proses perusahaan dalam mencapai
tujuannya. Donaldson dan Preston (1995) berpendapat bahwa stakeholder perusahaan
tidak hanya shareholder saja, namun juga terdapat kelompok lainnya, yaitu pelanggan,
pemasok, karyawan, kreditor, politisi, pemerintah dan masyarakat.

Stakeholder adalah semua pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki
hubungan baik bersifat mempengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun
tidak langsung, oleh berbagai keputusan, kebijakan, maupun operasi perusahaan
(Menurut Budimanta Dkk, 2008). Menurut Jones (2011) menjelaskan bahwa stakeholders
dibagi dalam dua kategori, yaitu:

a) Inside stakeholder, terdiri atas orang-orang yang memiliki kepentingan dan tuntutan
terhadap sumber daya perusahaan serta berada di dalam organisasi perusahaan. Pihak-
pihak yang termasuk dalam kategori ini adalah pemegang saham dan karyawan.
b) Outside stakeholder, terdiri atas orang-orang maupun pihak-pihak yang bukan pemilik
perusahaan, bukan pemimpin perusahaan, dan bukan pula karyawan perusahaan, namun
memiliki kepentingan terhadap perusahaan dan dipengaruhi oleh keputusan serta
tindakan yang dilakukan oleh perusahaan. Pihak-pihak yang termasuk dalam kategori
ini adalah pelanggan, pemasok, pemerintah, masyarakat lokal, dan masyarakat secara
umum.
Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya
beroperasi untuk kepentingannya sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi
stakeholder (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat,
analis dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat
dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut
(Ghozali, 2007). Stakeholder theory adalah "Teori yang menyatakan bahwa semua
stakeholder mempunyai hak memperoleh informasi mengenai aktivitas perusahaan yang
dapat memengaruhi pengambilan keputusan mereka. Para stakeholder juga dapat memilih
untuk tidak menggunakan informasi tersebut dan tidak dapat memainkan peran secara
langsung dalam suatu perusahaan. Perkembangan konsep stakeholder juga dibagi
menjadi tiga yaitu model perencanaan perusahaan, kebijakan bisnis dan corporate social
responsibility (Roberts, 1992).

Pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari


komunikasi antara perusahaan dengan stakeholdernya. Oleh karena itu, ketika
stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka
perusahaan akan bereaksi dengan cara yang memuaskan keinginan stakeholder (Ghozali,
2007). Teori stakeholder secara eksplisit mempertimbangkan akan dampak kebijakan
pengungkapan perusahaan ketika ada perbedaan kelompok stakeholder dalam sebuah
perusahaan. Pengungkapan informasi oleh perusahaan dijadikan alat manajemen untuk
mengelola kebutuhan informasi yang dibutuhkan oleh berbagai kelompok (stakeholders).
Oleh karena itu, manajemen mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan
lingkungan ini dalam rangka mengelola stakeholder agar perusahaan mendapatkan
dukungan dari mereka. Dukungan tersebut dapat berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup perusahaan. Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan memiliki pihak-
pihak yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan. Pihak-pihak ini dapat meliputi
investor dan pihak-pihak non investor seperti pelanggan, karyawan, pemasok, masyarakat
sekitar, dan pemerintah (Robbins dan Coulter, 2007). Menurut teori ini, perusahaan
memiliki kontrak dengan stakeholdernya. Dengan demikian, stakeholder memegang
peranan penting dalam menentukan kesuksesan perusahaan.

2.1.2 Pajak

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 : “Pajak adalah


kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Mardiasmo (2011) menjelaskan bahwa pajak merupakan iuran dari rakyat kepada
kas negara yang berdasarkan Undang-Undang yang dipaksakan dan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung yang dapat ditunjukkan serta dapat digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Dari pengertian diatas dapat dilihat ciri-ciri pajak sebagai berikut
(Waluyo, 2013): (a) Pemungutan pajak yang pelaksanaannya sifatnya memaksa diatur
berdasarkan undang-undang; (b) Pembayaran pajak tidak ditunjukkan kontraprestasi
individual oleh pemerintah; (c) Pemungutan pajak dilakukan oleh negara (pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah); (d) Pengeluaran-pegeluaran pemerintah dari pajak,
jika pemasukannya masih surplus maka akan dipergunakan untuk membayar “public
investment”; (e) Tujuan pajak selain budgetair, yaitu mengatur.

Dari definisi diatas dapat simpulkan bahwa pajak adalah iuran wajib yang dapat
dipaksakan kepada masyarakat guna kepentingan pembangunan nasional dan
pemungutannya hanya dapat dipungut oleh Negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Mardiasmo dalam bukunya yang berjudul perpajakan edisi revisi (2011:1)
menjelaskan bahwa ada dua fungsi pajak, yaitu fungsi penerimaan (budgetair) dan
mengatur (regular). Fungsi budgetir yaitu pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Fungsi regular yaitu suatu alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan peemerintah dalam bidang social dan
ekonomi. Sedangkan jenis-jenis pajak dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu :

a. Menurut golongannya dibagi menjadi pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak
langsung adalah pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain, contoh: PPh. Pajak tidak langsung
adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain,
contoh: PPn.
b. Menurut sifatnya pajak dibagi menjadi pajak subjektif dan pajak objektif. Pajak subjektif
adalah pajak yag berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya dalam arti memperhatikan
keadaan diri wajib pajak, contoh: PPh. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal pada
objek, tanpa melihat keadaan diri wajib pajak, contoh: PPn dan pajak Penjualan atas
Brang Mewah.
c. Menurut lembaga pemungutan pajak dibagi menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pajak
pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai
rumah tangga Negara, contoh: PPh, PPn, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pajak
daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan lain-lain.

2.1.3 Penghindaran Pajak (Tax Advoidance)

Rahayu (2018:201) menyatakan bahwa : “Tax avoidance (penghindaran pajak)


adalah suatu tindakan legal, dan bisa dibenarkan karena tidak melanggar aturan / undang-
undang yang ada karena tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan. Tujuan
perusahaan penghindaran pajak adalah untuk meminimalisasi jumlah pajak yang harus
dibayar kepada negara ”.

Sebuah pengendalian tindakan yang dilakukan untuk menghindari pengenaan


perpajakan dapat terindikasi penghindaran pajak (tax avoidance). Sartika (2017)
menjelaskan bahwa penyelundupan pajak (tax evasion) adalah penyelundupan yang
melanggar undang-undang pajak sedangkan penghindaran pajak (tax avoidance) adalah
cara untuk mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang dapat dibenarkan, terutama melalui perencanaan pajak.

Pada dasarnya terdapat dua pendekatan dalam strategi pengurangan pembayaran


pajak, yaitu dengan memperkecil pendapatan atau memperbesar beban perusahaan.
Usaha-usaha untuk meminimalkan pembayaran pajak yang dilakukan sepanjang masih
diperbolehkan oleh peraturan perpajakan yang berlaku disebut dengan penghindaran
pajak (tax avoidance). Perilaku penghindaran pajak termasuk dalam perencanaan pajak
atau tax planning. Perencanaan pajak (tax planning) adalah proses mengorganisasi usaha
wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan, maupun
pajak-pajak lainnya berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang dimungkinkan
oleh ketentuan peraturan undang-undang perpajakan maupun secara komersial (Zain
2008).
Penghindaran pajak dapat dilakukan dengan memanfaatkan peluang yang ada dalam
undang-undang perpajakan dalam hal ini adalah tax loopholes dan grey area. Tax
loopholes merupakan cara legal untuk menghindari pembayaran pajak atau bagian dari
tagihan pajak dikarenakan terdapat kesenjangan di dalam ketentuan pajak (Saptono
2013). Dengan memanfaatkan loopholes atau celah-celah dalam perpajakan dapat
menguntungkan bagi wajib pajak dalam menghindari kewajiban pajaknya. Grey area
muncul karena adanya peraturan perpajakan yang tidak jelas, akibatnya peraturan
perpajakan yang tidak jelas tersebut menjadi kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh
wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak. Menurut Komite urusan fiskal dari
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) karakteristik dari tax
avoidance, yaitu :

1. Unsur artificial arrangement, adanya faktor ketiadaan pajak.


2. Pemanfaatan loopholes atau terdapat celah dan peluang dari undang-undang atau
penerapan yang lawful untuk kepentingan manajemen perusahaan.
3. Terdapat unsur kerahasiaan. Biasanya dalam melaksanakan kecurangan atau
penghindaran pajak ini, para pelaku lebih cenderung untuk mempergunakan orang-orang
yang memang melakukan hal serupa atau orang-orang yang dapat dikendalikan untuk
tetap menjaga kerahasiaannya.
Untuk mengetahui seberapa besar aktivitas penghindaran pajak pada suatu
perusahaan dapat dilakukan pengukuran dengan menggunakan beberapa cara antara lain :
a. Effective Tax Rate (ETR)
Menurut Lanis dan Richardson (2012) ETR merupakan ukuran hasil berbasis pada
laporan laba rugi yang secara umum mengukur efektifitas dari strategi pengurangan pajak
dan mengarahkan pada laba setelah pajak yang tinggi. ETR digunakan karena dianggap
dapat merefleksikan perbedaan tetap antara perhitungan laba buku dengan laba fiskal. ETR
dapat dihitung dengan membandingkan beban pajak dengan laba sebelum pajak.
b. Cash Effective Tax Rate (CETR)
CETR dirumuskan dengan kas yang dikeluarkan untuk biaya pajak dibagi dengan
laba sebelum pajak (Budiman dan Setiyono 2012). CETR digunakan untuk
mengidentifikasi keagresifan perencanaan pajak yang dilakukan perusahaan dengan
menggunakan perbedaan tetap maupun perbedaan temporer.
c. Book-Tax Difference (BTD).
Xing dan Shunjun (2007) dalam Sartika (2015), mendefinisikan Book-Tax
Differences (BTD) sebagai perbedaan jumlah laba yang dihitung berdasarkan akuntansi
dengan laba yang dihitung sesuai dengan peraturan perpajakan. Perbedaan yang besar
antara laba akuntansi dengan penghasilan kena pajak di perusahaan umumnya menunjukkan
semakin besar perilaku agresif dalam menghindari pembayaran pajak. Book-tax difference
bisa timbul karena adanya aktivitas perencanaan pajak dan manajemen laba didalam
perusahaan.
Dari ketiga ukuran tersebut diharapkan tindakan penghindaran pajak dapat
diidentifikasi dan diketahui apakah suatu perusahaan melakukan suatu tindakan
penghindaran pajak apa tidak. Walaupun tindakan yang dilakukan perusahaan tidak
melanggar peraturan, namun akan mengakibatkan kerugian bagi negara.

2.1.4 Likuiditas

Suyanto (2012) memberikan pengertian Likuiditas sebagai berikut: “Likuiditas


merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
Perusahaan yang memiliki likuiditas tinggi akan mampu memenuhi kewajiban jangka
pendeknya serta menandakan bahwa perusahaan dalam kondisi sehat dan dengan mudah
menjual aset yang dimilikinya apabila diperlukan”.

Suatu perusahaan memiliki suatu tingkat likuiditas yang makin besar jika jumlah
aktiva-aktiva lancarnya jauh lebih besar dari pada jumlah hutang-hutang lancarnya yang
harus segera dipenuhi. Dengan demikian, jika tingkat likuiditas perusahaan tinggi, maka
perusahaan akan membayar pajaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan rasio
likuiditas yang tinggi tersebut juga menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban jangka pendeknya, yang menandakan perusahaan dalam kondisi keuangan yang
sehat serta dengan mudah menjual aset yang dimilikinya jika diperlukan (Anita M, 2015).

Likuiditas adalah tolak ukur kesanggupan perusahaan dalam memenuhi kewajiban


jangka pendeknya yang dicerminkan oleh aktiva lancarnya relatif terhadap utang lancarnya.
Likuiditas dapat digunakan untuk memperhitungkan dampak yang berasal dari
ketidakmampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Likiuditas dalam
penelitian ini dapat diukur dengan current ratio. Rasio lancar menjelaskan bahwa besarnya
kas yang dimiliki oleh perusahaan dalam satu periode akuntansi terhadap utang-utang jangka
pendek yang telah jatuh tempo dimana hal tersebut tercermin dalam laporan posisi keuangan
(Hanafi dan Halim; 2012). Pendapat Suyanto dan Supramono (2012:168) menyatakan
apabila sebuah perusahaan yang memiliki rasio lancar tinggi menggambarkan bahwa
perusahaan mampu memenuhi utang lancarnya. Hal ini menerangkan bahwa perusahaan
dalam kedaan yang sehat daan tidak mempunyai masalah mengenai cash flow sehingga
mampu menanggung biaya-biaya yang muncul seperti biaya pajak. Penelitian yang
dilakukan Putri (2014), membuktikan bahwa perusahaan yang memiliki likuiditas yang baik,
tidak merealisasikan pajak demi tujuan untuk meminimalisasi biaya.

Rasio Likuiditas merupakan rasio yang digunakan untuk mengetahui kemampuan


suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Likuiditas mengacu pada
kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Jenis-jenis rasio
likuiditas :

1. Rasio Lancar (Current Ratio) merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan
dalam membayar kewajiban jangka pendek atau hutang yang segera jatuh tempo pada saat
ditagih secara keseluruhan.
2. Rasio Cepat (Quick Ratio) merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan
dalam memenuhi atau membayar kewajiban atau hutang lancar dengan aktiva lancar tanpa
memperhitungkan nilai perusahaan.
3. Rasio Kas (Cash Ratio) merupakan alat yang digunakan untuk mengukur seberapa besar
uang kas yang tersedia untuk membayar utang.
4. Rasio Perputaran Kas merupakan rasio yang mengukur tingkat kecukupan modal kerja
perusahaan yang dibutuhkan untuk membayar tagihan dan membiayai penjualan.
5. Inventory to Net Working Capital merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur atau
membandingkan antara jumlah persediaan yang ada dengan modal kerja perusahaan.

2.1.5 Leverage

Leverage merupakan tingkat hutang yang digunakan perusahaan dalam melakukan


pembiayaan. Leverage menggambarkan seberapa besar tingkat risiko dari perusahaan
yang diukur dengan membandingkan total kewajiban perusahaan dengan total aktiva yang
dimiliki perusahaan. Maka dari itu, semakin besar tingkat hutang yang dimiliki
perusahaan maka semakin besar risiko yang akan ditanggung. Financial leverage
merupakan proksi yang digunakan untuk menangkap keputusan pendanaan perusahaan
(Surbakti, 2012).

Leverage merupakan gambaran untuk melihat sejauh mana aset perusahaan dibiayai
oleh hutang dibandingkan dengan modal sendiri (Analisa, 2011). Leverage dapat
dikatakan sebagai penaksir dari resiko yang melekat pada suatu perubahaan. Artinya,
semakin besar tingkat leverage maka risiko investasi yang semakin besar pula.
Perusahaan dengan rasio leverage yang rendah memiliki risiko leverage yang rendah
pula.

Leverage merupakan rasio yang menghitung seberapa jauh dana yang disediakan
oleh kreditur, juga sebagai rasio yang membandingkan total hutang dengan aktiva yang
dimiliki perusahaan, untuk mengukur seberapa tinggi aktiva perusahaan yang disediakan
pemilik dan berapa yang didanai dari pinjaman. Menurut Analisa (2011), tingginya rasio
leverage menunjukkan bahwa perusahaan tidak solvable, dimana total hutangnya lebih
besar dibandingkan dengan total aktivanya. Leverage merupakan banyaknya jumlah
utang yang dimiliki perusahaan dalam melakukan pembiayaan dan dapat digunakan untuk
mengukur besarnya aktiva yang dibiayai dengan utang. Perusahaan yang mempunyai
tingkat leverage yang tinggi mempunyai ketergantungan pada pinjaman luar untuk
membiayai asetnya. Sedangkan perusahaan yang mempunyai tingkat leverage rendah
lebih banyak membiayai asetnya dengan modal sendiri (Yulfaida, 2012).

Leverage merupakan rasio yang menunjukan besarnya komposisi tingkat hutang


yang dilakukan perusahaan dalam melakukan suatu pembiayaan (Kurniasih dan Sari,
2013). Menurut Brigham dan Houston (2001) dalam Pradnyadari (2015) ada 3 jenis
leverage, yaitu :

a. Operating Leverage
Operating leverage merupakan penggunaan aktiva atau operasi perusahaan yang disertai
dengan biaya tetap. Setiap perusahaan memiliki biaya operasi tetap tanpa memperhatikan
jumlah biaya tersebut. Biaya operasi tetap dikeluarkan agar volume penjualan
menghasilkan penerimaan lebih untuk menutup seluruh biaya operasi tetap dan variabel.
b. Financial Leverage
Kebijakan perusahaan mendapatkan modal pinjaman dari luar ditinjau dari bidang
manajemen keuangan, merupakan penerapan kebijakan financial leverage, dimana
perusahaan membiayai kegiatannya (operasional) dengan menggunakan modal pinjaman
serta menanggung suatu beban tetap yang bertujuan untuk meningkatkan laba per lembar
saham.
c. Total Leverage
Total leverage didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan dalam menggunakan biaya
tetap, baik biaya tetap operasi maupun biaya tetap financial untuk memperbesar pengaruh
perubahan volume penjualan terhadap pendapatan per lembar saham biasa. Oleh karena
itu total leverage dapat dipandang sebagai refleksi keseluruhan pengaruh dari struktur
biaya tetap operasi dan biaya tetap financial perusahaan.

Leverage dihitung dari total hutang dibagi dengan total asset perusahaan. Perusahaan
dengan tingkat leverage yang tinggi menunjukan bahwa perusahaan lebih banyak
bergantung pada hutang dalam membiayai asset perusahaan. Hutang bagi perusahaan
memiliki beban tetap yang berupa beban bunga. Semakin besar hutang yang dimiliki
perusahaan maka beban bunga yang harus dibayarkan juga semakin tinggi. Perusahaan
yang memiliki hutang tinggi akan mendapatkan insentif pajak berupa potongan atas
bunga pinjaman sehingga perusahaan yang memiliki beban pajak tinggi dapat melakukan
penghematan pajak dengan cara menambah hutang perusahaan (Suyanto dan Supramono,
2012).

2.1.6 Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan yaitu gambaran mengenai besar atau kecilnya suatu perusahaan.
Ukuran perusahaan tercantum pada laporan keuangan selama akhir periode yang telah
diaudit. Ukuran perusahaan dapat dilihat dari total aset yang dimiliki perusahan atau total
aktiva perusahaan yang kecilnya perusahaan dapat diukur berdasarkan total penjualan,
total nilai buku aset, nilai total aktiva dan jumlah tenaga kerja (Munawir, 2007). Ukuran
perusahaan secara langsung mencerminkan tinggi rendahnya aktivitas operasi suatu
perusahaan. Semakin besar suatu perusahaan maka akan semakin besar pula aktivitasnya.

Hormati (2009) mendefinisikan ukuran perusahaan sebagai skala atau nilai yang
dapat mengklasifikasikan suatu perusahaan ke dalam kategori besar atau kecil
berdasarkan total aset, log size, dan sebagainya. Semakin besar total aset
mengindikasikan semakin besar pula ukuran perusahaan tersebut. Semakin besar ukuran
perusahaannya, maka transaksi yang dilakukan akan semakin kompleks.

Jadi hal itu memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan celah-celah yang ada
untuk melakukan tindakan tax avoidance dari setiap transaksi. Selain itu perusahaan yang
beroperasi lintas negara memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan tax
avoidance yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang beroperasi lintas domestik,
karena mereka bisa melakukan transfer laba ke perusahaan yang ada di negara lain,
dimana negara tersebut memungut tarif pajak yang lebih rendah dibandingkan negara
lainnya (Marfu’ah, 2015).

Sedangkan menurut Yusuf dan Soraya (2008), ukuran perusahaan merupakan ukuran
atau besarnya aset yang dimiliki perusahaan, ditunjukan oleh natural logaritma dari total
aktiva. Besar kecilnya ukuran suatu perusahaan akan berpengaruh terhadap struktur
modal, semakin besar perusahaan maka akan semakin besar pula dana yang dibutuhkan
perusahaan untuk melakukan investasi (Taufik, 2002).

Ukuran perusahaan adalah suatu skala yang menentukan besar kecilnya perusahaan
yang dapat dilihat dari nilai equity, nilai penjualan, jumlah karyawan dan nilai total aset,
dan lainnya (Saifudin dan Yunanda 2016). Pengukuran dengan log total aset dinilai
memiliki tingkat kestabilan yang lebih dibandingkan proksi-proksi yang lainnya dan
berkesinambungan antar periode (Yogiyanto 2007 dalam Dewinta dan Setiawan 2016).

Dewinta dan Setiawan (2016) mengatakan bahwa perusahaan merupakan wajib


pajak, sehingga ukuran perusahaan dianggap mampu mempengaruhi cara sebuah
perusahaan dalam memenuhi kewajiban pajaknya dan merupakan faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya tax avoidance. Semakin besar total aset yang dimiliki
perusahaan maka semakin besar ukuran perusahaan. Besar kecilnya total aset juga
mempengaruhi jumlah produktifitas perusahaan, sehingga laba yang dihasilkan
perusahaan juga akan terpengaruh. Laba yang dihasilkan oleh perusahaan yang memiliki
aset besar akan memengaruhi tingkat pembayaran pajak perusahaan.

Semakin besar ukuran perusahaan, maka perusahaan akan lebih mempertimbangkan


risiko dalam hal mengelola beban pajaknya. Perusahaan yang termasuk dalam perusahaan
besar cenderung memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan perusahaan yang
memiliki skala lebih kecil untuk melakukan pengelolaan pajak. Sumber daya manusia
yang ahli dalam perpajakan diperlukan agar dalam pengelolaan pajak yang dilakukan
oleh perusahaan dapat maksimal untuk menekan beban pajak perusahaan. Perusahaan
berskala kecil tidak dapat optimal dalam mengelola beban pajaknya dikarenakan
kekurangan ahli dalam perpajakan (Nicodeme 2007 dalam Dharma dan Ardiana 2016).
Banyaknya sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan berskala besar maka akan
semakin besar biaya pajak yang dapat dikelola oleh perusahaan.

2.2 Pengembangan Hipotesis

2.2.1 Pengaruh Likuiditas terhadap Penghindaran Pajak

Likuiditas merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka


pendeknya. Perusahaan yang memiliki likuiditas tinggi akan mampu memenuhi
kewajiban jangka pendeknya serta menandakan bahwa perusahaan dalam kondisi sehat
dan dengan mudah menjual aset yang dimilikinya apabila diperlukan, artinya semakin
tinggi tingkat utang jangka pendek perusahaan maka semakin tinggi pula indikasi suatu
perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak.

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh (Budianti & Curry, 2018)
menyatakan bahwa likuiditas berpengaruh signifikan positif terhadap penghindaran
pajak. Artinya jika perusahaan mampu memenuhi kewajiban jangka pendeknya maka kas
dalam perusahaan berjalan lancar, dan beban pajak merupakan kewajiban jangka pendek
yang akan mudah dipenuhi. Berdasarkan penjelasan diatas maka hipotesis pertama
penelitian ini adalah sebagai berikut :

H1 : Likuiditas berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak


2.2.2 Pengaruh Leverage terhadap Penghindaran Pajak

Leverage merupakan rasio yang menunjukan besarnya komposisi tingkat hutang


yang dilakukan perusahaan dalam melakukan suatu pembiayaan (Kurniasih dan Sari,
2013). Manajer dituntut untuk membuat keputusan yang memperhitungkan kepentingan
stakeholder, sehingga manajer akan dinilai kinerjanya berdasarkan kemampuannya
mengimplementasikan strategi untuk mencapai tujuan. Salah satu keputusan penting yang
harus diambil manajemen adalah menentukan sumber-sumber pendanaan bagi
perusahaan, yang tercermin dari struktur modal perusahaan. Didalam pembiayaan hutang
terdapat komponen biaya bunga pinjaman yang menjadi pengurang dalam penghasilan
kena pajak. Hal ini menyebabkan laba perusahaan sebelum kena pajak yang
menggunakan hutang sebagai sumber pendanaan mayoritas akan cenderung lebih kecil
dibandingkan perusahaan yang mendanai kegiatan operasionalnya mayoritas dengan
penerbitan saham. Hal tersebut dapat mengurangi kewajiban pajak perusahaan (Maesarah
et al., 2014).

Maka, jika suatu perusahaan memiliki perencanaan keputusan struktur modal


perusahaan yang tepat, perusahaan tersebut dapat memperoleh manfaat pajak dari
pengurangan beban bunga pinjaman. Jika hal tersebut terjadi, maka kemungkinan
perusahaan tidak akan melakukan praktik penghindaran pajak, yang diukur dari nilai
ETR. Nilai ETR yang semakin tinggi, mengindikasikan perusahaan tidak melakukan
praktik penghindaran pajak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suyanto dan
Supramono (2015) dan Marfu’ah (2015) menunjukan bahwa leverage berpengaruh positif
terhadap praktik penghindaran pajak. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan dengan
jumlah hutang yang lebih banyak akan memiliki tarif pajak efektif yang baik sehingga
tingkat praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan akan berkurang, sehingga
nilai ETR yang dihasilkan akan semakin tinggi. Berdasarkan penjelasan diatas, maka
hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah :

H2 : Leverage berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak


2.2.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Penghindaran Pajak

Ukuran perusahaan merupakan suatu skala yang menentukan besar kecilnya


perusahaan yang dapat dilihat dari nilai equity, nilai penjualan, jumlah karyawan, dan
nilai total aset, dan lainnya (Ngadiman dan Puspitasari 2014). Tahap kedewasaan
perusahaan ditentukan berdasarkan total aset, semakin besar total aset menunjukan bahwa
perusahaan memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif panjang.

Perusahaan yang dikelompokkan ke dalam ukuran yang besar (memiliki aset yang
besar) akan cenderung lebih mampu dan lebih stabil untuk menghasilkan laba jika
dibandingkan dengan perusahaan dengan total aset yang kecil (Indriani 2005 dalam
Dewinta dan Setiawan 2016). Perusahaan yang tergolong besar akan memiliki sumber
daya yang besar salah satunya sumber daya manusia yang ahli dibidang perpajakan.
Maka dari itu perusahaan besar cenderung melakukan praktik penghindaran pajak karena
perusahaan besar memiliki sumber daya manusia yang ahli dalam melakukan
perencanaan pajak sehingga dapat menekan beban pajak secara optimal. Teori kekuasaan
politik menjelaskan bahwa perusahaan besar akan lebih agresif untuk melakukan
penghindaran pajak agar mencapai penghematan beban pajak yang optimal (Dharma dan
Ardiana 2016).

Pendapat diatas didukung dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmawan dan
Sukartha (2014), Swingly dan Sukartha (2015) dan Dharma dan Ardiana (2016), dimana
penelitian-penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa ukuran perusahaan berpengaruh
positif terhadap penghindaran pajak. Artinya semakin tinggi nilai ukuran perusahaan
maka aktivitas penghindaran pajak semakin tinggi pula. Berdasarkan uraian tersebut,
maka hipotesis ketiga dalam penelitian ini sebagai berikut :

H3 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap penghindaran pajak


2.2 Model Penelitian

Likuiditas (X1)
H1+

Leverage (X2) H2 + Penghindaran Pajak (Y)


+
H3

Ukuran Perusahaan (X3)

Gambar 2.1 Model Penelitian

Model penelitian diatas menjelaskan mengenai pengaruh variabel indepen


pertama (X1) yaitu Likuiditas dan pengaruhnya terhadap variabel dependen (Y) yaitu
penghindaran pajak. Selanjutnya, dijelaskan variabel independen kedua (X2) yaitu
Leverage dan pengaruhnya terhadap variabel dependen (Y) yaitu penghindaran pajak.
Kemudian yang terakhir variabel independen ketiga (X3) Ukuran Perusahaan dan
pengaruhnya terhadap variabel dependen (Y) yaitu penghindaran pajak.

Anda mungkin juga menyukai