Anda di halaman 1dari 13

Silvani Geani

dr. Trisiswati Indranarum, Sp.KK


Jumat, 16 April 2021 pukul 13.00

BAB 124: PORFIRIA (Bag. I)


Eric W. Gou & Karl E. Anderson

PENDAHULUAN
Porfiria adalah penyakit metabolik yang disebabkan oleh kelainan dari 8 enzim di jalur biosintetik heme. Hampir
semua kelainan diakibatkan oleh mutasi enzim pada jalur biosintetik heme; kecuali porphyria cutanea tarda
(PCT), yang diakibatkan oleh defisiensi enzim kelima pada jalur biosinteteik heme dengan atau tanpa mutasi.
Porfiria diklasifikasikan sebagai hepatik atau eritropoietik berdasarkan prekursor heme pertama kali terakumulasi
di hepar atau sumsum tulang, yang merupakan jaringan yang paling aktif menyintesis heme. Porfiria
dikategorikan secara klinis berdasarkan gambaran klinisnya sebagai porfiria kulit atau akut (Tabel 124-1).
Porfiria kulit disebabkan oleh produksi berlebih dan akumulasi porfirin fotosensitisasi. Sebagian besar,
menyebabkan klinis berupa kulit melepuh dan jaringan parut pada area kulit yang terpapar sinar matahari,
sedangkan protoporfiria menghasilkan reaksi akut yang berat, dan sebagian besar tidak melepuh terhadap sinar
matahari, melainkan seringkali hanya menyisakan sedikit jika ada perubahan kulit yang kronis. Porfiria akut
memiliki ciri berupa gejala neurologis dan peningkatan kadar prekursor porfirin, asam δ-aminolevulinic (ALA)
dan porfobilinogen (PBG). Porfirin juga terakumulasi pada porfiria akut, dan mencapai kadar yang cukup dalam
plasma sehingga menyebabkan kulit melepuh, seperti yang ada pada variegate porphyria (VP). Pada beberapa
porfiria, kerusakan pada organ lain, seperti hepar dan ginjal, juga dapat terjadi. Gejala, tanda, dan temuan
histologis yang disebabkan oleh porfiria, tidak spesifik, sedangkan pola porfirin dan prekursor porfirin
memungkinkan diagnosis dan pengobatan spesifik (Tabel 124-2).

PERSPEKTIF SEJARAH
Porfiria pertama kali dilaporkan oleh Schultz pada tahun 1874. Dia melaporkan kasus seorang pria berusia
33 tahun dengan fotosensitifitas sejak usia 3 bulan disertai dengan anemia, splenomegali, dan urin berwarna
merah. T. McCall Anderson pada tahun 1898 melaporkan kasus pasien 2 bersaudara dengan kulit melepuh
akibat terpapar sinar matahari, bekas luka yang luas pada wajah, dan urin berwarna merah. Pasien-pasien
tersebut diperkirakan memiliki porfiria eritropoietik bawaan (congenital erythropoietic porphyria - CEP),
porfiria kulit yang sangat langka dan parah. Porfiria akut pertama kali dilaporkan oleh Stokvis pada tahun
1888 pada wanita lanjut usia dengan gejala urine berwarna merah tua dan kemudian meninggal, setelah
mengonsumsi sulphonal, obat penenang seperti barbiturat. Pada tahun 1923, Archibald Garrod mengusulkan
istilah kelainan bawaan metabolisme untuk menggambarkan sejumlah kelainan metabolisme yang
diturunkan secara genetik, termasuk porfiria. Porfiria pertama kali dikelompokkan menjadi profiria hepatik
atau eritropoietik pada tahun 1954. Pengobatan porfiria kutanea tarda dengan plebotomi diperkenalkan oleh
Ippen pada1961. Pada tahun 1970, defisiensi enzim kongenital pertama kali dilaporkan pada porfiria
intermiten akut, dan terapi hemin pertama kali digunakan untuk kasus ini pada tahun 1971. Pada dekade-
dekade berikutnya, enzim dan gen dikenali dan beberapa mutasi ditemukan pada porfiria. Selain itu, regulasi
sintesis heme terutama di hepar dan sumsum tulang telah dipahami dengan lebih baik. Berdasarkan temuan
ini, terapi tambahan telah diperkenalkan dan sedang dikembangkan.
Tabel 124 – 1
Porfiria: Enzim yang Terpengaruh Mutasi, Cara Pewarisan, Klasifikasi, dan Gambaran Klinis

ENZIM YANG MUTASI YANG GAMBARAN


PORFIRIA PEWARISAN KLASIFIKASI
TERPENGARUH DIKETAHUI KLINIS

δ-Aminolevulinic
X-linked
acid (ALA) synthase– Fotosentifitas
protoporphyria 4 Sex linked Eritropoietik
erythroid specific tanpa melepuh
(XLP)
form (ALAS2)
c-Aminolevulinic
ALA dehydratase Autosomal
acid dehydratase 10 Hepatik Neurovisceral
(ALAD) resessive
porphyria (ADP)

Acute intermittent Hydroxymethylbilane Autosomal


>400 Hepatik Neurovisceral
porphyria (AIP) synthase (HMBS) domimant

Congenital
Uroporphyrinogen Autosomal
erythropoietic 48 Eritropoietik Neurovisceral
III synthase (UROS) resessive
porphyria (CEP)
Uroporphyrinogen
Porphyria cutanea Autosomal Fotosentifitas dan
decarboxylase 121 Hepatik
tarda (PCT) domimant kulit melepuh
(UROD)

Hepatoerythropoietic Autosomal Fotosentifitas dan


UROD - Hepatik
porfiria (HEP) resessive kulit melepuh

Hereditary Neurovisceral;
Coproporphyrinogen Autosomal
coproporphyria 64 Hepatik fotosentifitas dan
oxidase (CPOX) domimant
(HCP) kulit melepuh
Neurovisceral;
Variegate porphyria Protoporphyrinogen Autosomal
174 Hepatik fotosentifitas dan
(VP) oxidase (PPOX) domimant
kulit melepuh
Erythropoietic
Ferrochelatase Autosomal Fotosentifitas
protoporphyria 189 Eritropoietik
(FECH) resessive tanpa melepuh
(EPP)

SINTESIS HEME DAN FUNGSI


Sel eukariotik menyintesis heme, atau besi protoporphyrin IX, dalam 8 langkah, masing-masing dikatalisasi oleh
enzim yang berbeda (Gambar. 124-1). 3 enzim pertama dan terakhir berada di mitokondria dan 4 lainnya berada
di sitosol. Enzim pertama, asam δ-aminolevulinic synthase (ALAS), menggabungkan glisin dan suksinil-koenzim
A untuk menghasilkan asam amino δ-aminolevulinic acid (ALA), juga dikenal sebagai asam 5-aminolevulinic.
Dua molekul ALA kemudian bergabung membentuk pirol, porphobilinogen (PBG). Empat molekul PBG
bergabung membentuk tetrapirol linier, hidroksimetylbilan (HMB). HMB adalah substrat untuk enzim keempat,
yang membalikkan salah satu cincin pirol HMB untuk membentuk uroporfirinogen III, porfirin pertama di jalur
tersebut. Molekul asimetris ini mengalami serangkaian dekarboksilasi dan oksidasi membentuk protoporphyrin
IX. Besi kemudian disisipkan untuk membentuk heme.
2+
Heme terdiri dari atom besi dalam bentuk besi ferrous (tereduksi) (Fe ) yang terikat pada 4 nitrogen
pirolik dari siklus makro porfirin (Gambar. 124-1), yang menyisakan 2 pasangan elektron yang tidak
berpasangan. Heme adalah kelompok prostetik untuk beberapa hemoprotein esensial. Dalam hemoglobin,
misalnya, satu pasangan elektron yang tidak ditempati bersamaan dengan residu histidine, mengikat oksigen
molekuler.
Gambar 124 – 1 Urutan dan struktur kimiawi zat di jalur biosintesis heme dan lokalisasi 8 enzim di mitokondria atau sitosol. Asam δ-Aminolevulinic synthase
1 (ALAS1), ditemukan di semua jaringan, dan bentuk khusus eritroid (ALAS2) hanya ditemukan di sel-sel eritroid sumsum. Seperti yang dijelaskan diatas,
sintesis ALAS1 di hepar dikendalikan umpan balik negative oleh heme, sebagai produk akhir jalur biosintesis heme ini.
Tabel 124 – 2
Biokimia Abnormal (dalam Huruf Tebal) dan Pengukuran Pembeda Lainnya pada Porfiria
Manusia
PORFIRIA ERITROSIT PLASMA URIN FESES

ADP ▪ Peningkatan zinc ▪ Peningkatan ALA ▪ Peningkatan ALA ▪ Kadar porfirin normal

protoporphyrin Kadar PBG dan porfirin ▪ Peningkatan atau sedikit meningkat
normal atau sedikit coproporphyrin III

meningkat Kadar PBG dan porfirin
normal atau sedikit
meningkat
AIP ▪ PBGD biasanya ▪ Peningkatan ALA dan ▪ Peningkatan ALA dan ▪ Kadar porfirin normal
menurun PBG PBG dan porfirin atau sedikit meningkat
▪ Kadar porfirin normal (Paling sering
atau sedikit meningk uroporhyrin)

Fluorosensi ~ 620 nm
CEP ▪ Uroporphyrin I; ▪ Uroporphyrin I; ▪ Uroporphyrin I; ▪ Coproporphyrin I
coproporphyrin I coproporphyrin I coproporphyrin I

Fluorosensi ~ 620 nm

PCT ▪ Kadar porfirin normal ▪ Uroporphyrin, ▪ Uroporphyrin, ▪ Uroporphyrin,


atau sedikit meningkat heptacarboxyl heptacarboxyl heptacarboxyl
porphyrin porphyrin porphyrin,

HEP ▪ Zinc Protoporphyrin Fluorosensi ~ 620 nm Coproporphyrin III,
isocoproporphyrin
HCP ▪ Kadar porfirin normal ▪ Kadar porfirin normal ▪ ALA, PBG, ▪ Coproporphyrin III
atau sedikit meningkat atau sedikit meningkat coproporphyrin III

Fluorosensi ~ 620 nm
VP ▪ Kadar porfirin normal ▪ Kadar protoporphyrin ▪ ALA, PBG, ▪ Coproporphyrin III,
atau sedikit meningkat sedikit meningkat coproporphyrin III protoporphyrin

Fluorosensi ~ 626 nm
EPP dan ▪ Protoporphyrin bebas ▪ Protoporphyrin ▪ ALA, PBG, ▪ Protoporphyrin normal

XLP besi Fluorosensi ~ 634 nm proporphyrin normal atau sedikit meningkat

Hemin adalah istilah kimia untuk bentuk teroksidasi dari heme, ferric protoporphyrin IX, yang hanya
memiliki satu muatan positif, dan dapat diisolasi dari darah dan jaringan lain dalam bentuk klorida. Hemin
secara biologis yaitu hematin terliofilisasi (heme hidroksida) dan heme arginat, menjadi pengobatan untuk
porfiria akut.
Sekitar 85% sintesis heme terjadi di sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin, dan sisanya
berada di hepar, terutama oleh enzim sitokrom P450 (CYP) yang ditemukan di retikulum endoplasma.
Jaringan lain menyintesis heme dalam jumlah yang lebih kecil. Contoh dari hemoprotein vital lainnya adalah
mioglobin, sitokrom mitokondria, sintase oksida nitrat, dan katalase.
Sintesis heme di hepar diatur terutama oleh aktivitas asam δ-aminolevulinic synthase 1 (ALAS1, enzim
pertama dalam jalur biosintetik heme), dengan represi sintesis enzim ini dan masuknya ke mitokondria oleh
heme, yang merupakan produk akhir dari proses ini. Di sumsum, sintesis heme dan globin berkaitan erat
selama pembentukan eritropoietin. Ekspresi ALAS2, dan sejumlah enzim lainnya, di-trigger oleh heme atau
besi dan oleh elemen-elemen erythroid-specific cis-acting termasuk GATA-1 dan NF-E2, dan puncaknya
adalah dengan fosforilasi ferrochelatase (FECH), yaiut enzim terakhir dalam sintesis heme.
PORPHYRIA CUTANEA TARDA
Ringkasan
▪ Ditandai dengan kulit yang rapuh dan melepuh pada area yang terpapar sinar matahari
▪ Disebabkan oleh inhibisi aktivitas uroporphyrinogen decarboxylase (UROD) hepar
▪ Hal ini menyebabkan kelebihan jumlah porfirin yang sangat terkarboksilasi di hepar, plasma, urin, dan
feses.
▪ Faktor genetik yang mempengaruhi adalah mutasi UROD (heterozigot, hanya pada ∼20% kasus) dan
hemochromatosis (HFE)
▪ Faktor risiko (alkohol, merokok, kelebihan zat besi sekunder, hepatitis C kronis, HIV, dan estrogen)
seringkali multiplikasi
.

PCT adalah porfiria yang paling umum, dan ditandai dengan kulit yang rapuh dan melepuh pada punggung
tangan dan area yang terpapar sinar matahari biasanya pada usia pertengahan atau usia lanjut. Penyebab
yang mendasari adalah defisiensi uroporphyrinogen deaminase (UROD) dalam hepatosit, di mana
uroporphyrinogen dan porfirinogen berkarboksilasi tinggi menumpuk dan teroksidasi menjadi porfirin.
Dalam kasus aktif, aktivitas UROD hepar berkurang hingga kurang dari 20% dari normal. PCT adalah
gangguan terkait besi dan terjadi hanya jika jumlah besi dalam hepar normal atau sedikit meningkat.
Beberapa faktor risiko berkontribusi pada akumulasi besi, stres oksidatif, dan pembentukan inhibitor UROD
dalam hepatosit, dan penting untuk diidentifikasi pada setiap pasien. PCT adalah satu-satunya porfiria yang
dapat muncul tanpa adanya mutasi enzim. Mutasi UROD heterozigot ditemukan pada 20% pasien, tetapi
tidak akan menyebabkan PCT tanpa adanya faktor risiko lainnya.
PCT adalah porfiria yang paling mudah diobati, merespons dengan baik terapi plebotomi atau
hydroxychloroquine dosis rendah. Tetapi penyakit ini pertama-tama harus dibedakan dari porfiria lain yang
kurang umum yang menyebabkan lesi kulit yang identik tetapi tidak responsif terhadap terapi ini.]

GAMBARAN KLINIS
PCT biasanya muncul pada dekade keempat atau kelima, paling sering terjadi pada pria. Gejala kulit berupa
kulit melepuh dan bula berisi cairan di bagian punggung tangan (Gambar. 124-2), area tubuh yang paling
terpapar sinar matahari, dan sering muncul setelah trauma ringan (Kerapuhan kulit meningkat). Lesi lepuh
juga bisa terjadi di lengan bawah, wajah, telinga, leher, tungkai, dan kaki. Lesi ini mudah pecah,
meninggalkan erosi yang dapat menjadi kering dan mengeras dan sembuh perlahan (Gambar. 124-2). Area
kulit yang terkikis rentan terhadap infeksi bakteri. Jaringan parut sisa dan hiper- dan hipopigmentasi lebih
prominen pada kondisi yang kronis. Milia bisa mendahului atau bersamaan dengan pembentukan vesikel.
Hipertrikosis dan hiperpigmentasi wajah (Gambar. 124-3) sering terjadi, bahkan dapat terjadi tanpa adanya
lesi lepuh, dan menyebabkan masalah secara kosmetik, terutama pada wanita.
Penebalan pada area kulit yang terkena, terkadang disertai kalsifikasi, dapat menyerupai sklerosis dan
disebut sebagai pseudoscleroderma. Karakteristik gejala neurologis porfiria akut tidak terlihat pada PCT.
Kasus-kasus langka pada masa kanak-kanak sering dikaitkan dengan mutasi UROD dan kemoterapi
kanker (Gambar 124-3). Penyakit ini dapat berkembang selama kehamilan, kemungkinan terkait dengan
efek peningkatan estrogen. Hubungan antara lupus eritematosus kulit dan sistemik tidak dapat dijelaskan.
PCT yang terkait dengan penyakit ginjal stadium akhir biasanya lebih parah, karena ekskresi porfirin dalam
urin terganggu, dan apabila melakukan dialysis, ekskresi porfirin cukup buruk. Kadar porfirin plasma yang
dihasilkan dapat sama dengan yang terlihat pada porfiria eritropoietik bawaan (CEP) dan berkaitan dengan
infeksi bakteri yang parah dan tindakan amputasi.
Abnormalitas pada tes faal hati ditemukan di hampir semua kasus. Jaringan hepar menunjukkan
fluoresensi merah yang kuat saat terpapar sinar ultraviolet gelombang panjang (Gambar. 124-4), yang
menunjukkan akumulasi porfirin yang signifikan. Histopatologi hepar tidak spesifik dan biasanya mencakup
peningkatan besi, lemak, nekrosis hepatosit, dan inflamasi, yang dalam banyak kasus akibat efek alkohol
atau infeksi hepatitis C. Sirosis tidak biasa muncul pada awal PCT. Risiko kanker hepar meningkat, terutama
pada kondisi yang kronis, mungkin karena faktor risiko yang menyertai yang dapat menyebabkan kerusakan
hepar kronis dan fibrosis.

Gambar 124 – 2 Karakteristik lesi kulit pada PCT paling sering terjadi pada punggung tangan dan tidak
dapat dibedakan dari yang terlihat pada porfiria kutaneus yang melepuh (terutama porfiria variegate) dan
pseudoporphyria. A, Lesi lepuh (panah hitam pendek) sering terbentuk setelah trauma ringan, pecah
meninggalkan ulserasi superfisial yang mengeras (panah putih pendek) dan meninggalkan area atropik
(panah panjang) yang sembuh perlahan. B, Lesi lepuh rapuh, sehingga seringkali lesi yang kronis, seperti
erosi, kerak dan jaringan parut.

Gambar 124 – 3 Hipertrikosis dan hiperpigmentasi karena porphyria cutanea tarda pada anak dengan
mutasi UROD setelah kemoterapi untuk leukemia
Gambar 124 – 4 A, Jaringan biopsi hepar menunjukkan fluoresensi merah terang di bawah sinar ultraviolet
gelombang panjang (Wood Lamp) yang mencerminkan akumulasi porfirin yang terkarboksilasi di hepatosit. B,
Analisis porfirin hepar dari biopsi yang sama (total porfirin 176 nmol/g jaringan, ref <1) dengan dominasi
uroporfirin I dan III dan heptakarboksil porfirin III pada analisis porfirin dengan high-performance liquid
chromatography (HPLC); pola ini mirip dengan yang ditemukan di plasma dan urin. (Gambar digunakan
dengan seizin Heather Stevenson-Lerner, MD, PhD; HPLC dan V.M.S. Ramanujam, PhD).

FAKTOR RISIKO
PCT adalah kelainan multifaktorial, dengan banyak faktor risiko yang berkontribusi terhadap penyakit.
Faktor-faktor tersebut adalah faktor genetik, infeksi virus, dan paparan bahan kimia. Pasien hampir selalu
memiliki faktor seperti itu, yang memiliki implikasi kesehatan lain. Misalnya, pada 143 pasien dengan PCT
di Amerika Serikat, faktor risiko yang paling umum adalah konsumsi etanol (87%), merokok (81%),
hepatitis C kronis (69%), dan mutasi HFE (hemochromatosis) (53%). Faktor-faktor ini umum terjadi pada
populasi tetapi tidak dengan sendirinya menyebabkan PCT. Faktor risiko yang lain kemungkinan akan
diidentifikasi di masa depan.

Mutasi UROD

Kebanyakan pasien PCT tidak mengalami mutasi UROD dan memiliki penyakit yang sporadis (tipe 1).
Kira-kira 20% pasien memiliki faktor predisposisi mutasi UROD heterozigot dan disebut sebagai PCT
familial (tipe 2). Mutasi semacam itu diturunkan secara autosomal dominan, tetapi dengan insidensi yang
rendah, sehingga sebagian besar pasien tipe 2 muncul secara “sporadis”, karena tidak memiliki keluarga
dengan PCT. Tanpa adanya faktor risiko yang didapat atau genetik lainnya, mutasi UROD merupakan faktor
risiko yang tidak menyebabkan PCT. HEP adalah bentuk homozigot tipe 2 PCT, dan secara klinis
menyerupai CEP. Setidaknya terdapat 100 mutasi dari gen UROD, kebanyakan merupakan mutasi missense
pada PCT dan HEP tipe 2 (Tabel 124-1). Tipe 3 merupakan kelainan familial langka tetapi tidak ada mutasi
UROD. Ketiga tipe PCT secara klinis tampak identik, meskipun onset terkadang lebih awal pada tipe 2.

Mutasi Besi dan Gen Hemokromatosis (Hfe)

Pada PCT, cadangan besi selalu normal atau sedikit meningkat, sedangkan defisiensi zat besi bersifat protektif.
Besi menyebabkan lingkungan yang oksidatif di hepatosit dan memfasilitasi pembentukan UROD inhibitor,
tetapi tidak dengan sendirinya menghambat UROD. Mutasi C282Y dari gen HFE, mutasi utama yang
menyebabkan hemochromatosis pada orang kulit putih, lebih umum terjadi pada PCT sporadis dan familial
dibandingkan pada individu yang tidak terkena. Hingga 10% hingga 20%, pasien homozigot C282Y, dan
ungkin mengalami onset penyakit lebih awal.
Di Eropa selatan, di mana C282Y kurang lazim, mutasi H63D lebih sering dikaitkan dengan PCT. Mutasi
HFE merusak sensing besi serum, sehingga mengurangi produksi hepcidin hepar. Karena kadar hepcidin yang
bersirkulasi terlalu rendah, regulasi sintesis enterosit ferroportin oleh hepcidin terganggu, yang menyebabkan
penyerapan zat besi usus yang tinggi. Ekspresi hepcidin hepar juga berkurang pada pasien PCT tanpa mutasi
HFE, karena beberapa faktor risiko lain mengurangi ekspresi hormon ini, seperti yang ada di bawah ini.

Alkohol

PCT telah lama dikaitkan dengan penyalahgunaan/kecanduan alkohol. Alkohol dan metabolitnya dapat
mempengaruhi onset PCT dengan menginduksi ALAS1 dan CYP hepar, menghasilkan reactive oxygen
species, dan menyebabkan kerusakan mitokondria, deposisi lipid, glutathione dan pertahanan antioksidan
lainnya yang berkurang, meningkatkan produksi endotoksin dan mengaktifkan Küpffer sel. Konsumsi
alkohol juga dapat mengurangi ekspresi hepcidin.

Merokok dan Enzim Cytochrome P450

Merokok sering dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol tetapi dianggap sebagai faktor risiko independen
dalam PCT. Merokok dapat meningkatkan stres oksidatif dalam hepatosit dan menginduksi CYP hepar,
termasuk CYP1A2 yang penting untuk uroporfiria pada PCT di tikus. CYP hepar sering meningkat pada
PCT manusia, tetapi belum jelas kontribusi CYP pada PCT di manusia.

Estrogen

Estrogen umum digunakan pada wanita dengan PCT. PCT juga terjadi pada beberapa pria yang diobati
dengan estrogen untuk kanker prostat. Tikus betina atau jantan yang menerima estrogen lebih rentan
terhadap perkembangan uroporphyria yang tidak diberikan estrogen.

Hepatitis C

Hepatitis C meningkatkan steatosis hepatosit, akumulasi besi, disfungsi mitokondria, stres oksidatif, dan
disregulasi ekspresi hepcidin. Prevalensi hepatitis C kronis pada PCT berkisar antara 21% hingga 92% di
berbagai negara. Diperkirakan 0,05% orang dengan hepatitis C kronis yang akhirnya menjadi PCT. Perbedaan
yang besar dalam prevalensi infeksi hepatitis C pada kasus PCT di berbagai negara mencerminkan variasi
geografis yang cukup besar dalam prevalensi infeksi hepatitis C pada populasi berisiko.

HIV

PCT lebih jarang dikaitkan dengan infeksi HIV, yang mungkin muncul dengan atau tanpa koinfeksi HCV.
PCT dapat menjadi manifestasi awal dari infeksi HIV. Mekanisme hubungan antara PCT dan infeksi HIV
dan kemungkinan hubungan dengan terapi antiretroviral tertentu belum diketahui.
Antioksidan

Pada beberapa pasien dengan PCT, kadar askorbat dan karotenoid dalam plasma menurun. Pada hewan
pengerat dengan defisiensi askorbat juga lebih rentan terhadap kejadian uroporphyria

Paparan Bahan Kimia dan Obat-Obatan

Wabah PCT terjadi di Turki timur pada tahun 1950-an selama periode kekurangan makanan ketika rakyat
Turki mengonsumsi biji gandum yang menggunakan fungisida hexachlorobenzene. Wabah di tempat lain
didapatkan PCT terjadi setelah terpapar bahan kimia seperti 2,3,7,8- tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD,
dioxin).

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


PCT muncul ketika UROD di hepar berkurang hingga 20% dari level normal. Dengan inhibitor enzim, kadar
protein UROD tetap pada level yang ditentukan secara genetik di hepar. Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
sekitar 20% pasien heterozigot mutasi UROD dan lebih rentan untuk terkena PCT, karena UROD di hepar (serta
jaringan lain) menjadi setengah tingkat dari level normal sejak lahir. PCT tidak bermanifestasi pada populasi ini
kecuali terjadi penurunan aktivitas UROD lebih lanjut di hepar. UROD inhibitor, yang memiliki ciri sebagai
uroporphomethene, diidentifikasi pada subjek penelitian tikus yang secara spontan memiliki ciri biokimia PCT.
Inhibitor ini merupakan produk oksidasi parsial uroporphyrinogen, kemungkinan dihasilkan oleh 1 atau lebih
CYP (Gambar. 124-5). UROD secara berurutan melakukan dekarboksilasi uroporfirinogen I dan III (masing-
masing dengan 8 gugus samping karboksil) menjadi koproporfirinogen I dan III (masing-masing dengan 4 gugus
karboksil). Kedua isomer tersebut adalah substrat untuk UROD, tetapi uroporphyrinogen III lebih utama.
(Berikutnya hanya coproporphyrinogen III sebagai substrat, uroporfirinogen I dan coproporphyrinI bukan
prekursor heme.) Ketika UROD hepar dihambat, uroporfirinogen I dan III dan zat lainnya dalam reaksi (mis.,
isomer I dan III hepta-, hexa-, dan pentacarboxyl porphyrinogen) terakumulasi sebagai porfirin teroksidasi yang
sesuai, dan akhirnya diangkut dalam plasma ke kulit, menyebabkan fotosensitifitas, dan ke ginjal untuk ekskresi.
Porfirin bilier dan feses juga meningkat. Porfirin dalam keadaan teroksidasi berwarna kemerahan, berpendar, dan
fotosensitisasi, sedangkan porfirinogen tidak memiliki sifat-sifat ini. Struktur aromatik polisiklik dari porfirin
teroksidasi mengandung elektron yang terdelokalisasi, yang meningkatkan tingkat energinya saat terpapar sinar
violet (pada panjang gelombang ∼410 nm). Energi ini dapat dilepaskan pada panjang gelombang yang lebih
tinggi sebagai cahaya fluoresen merah atau ditransfer ke oksigen molekuler, membentuk reactive oxygen
specieses. ROS dapat merusak konstituen seluler kulit atau menyebabkan degranulasi sel mast dan aktivasi
komplemen. Kerusakan pada lapisan subepidermal kulit membuat kulit rapuh dan rentan melepuh

DIAGNOSIS
PCT muncul paling sering pada pria dewasa terkait dengan faktor-faktor seperti penyalahgunaan alkohol,
merokok dan hepatitis C kronis, dan pada wanita, terutama dengan penggunaan estrogen. Gambaran klinis
biasanya khas, tetapi harus diingat bahwa orang dewasa dengan variegate porphyria (VP), hereditary
coproporphyria (HCP) atau pseudoporphyria, dan anak-anak atau orang dewasa dengan congenital
erythropoietic porphyria (CEP) atau hepato- erythropoietic porphyria (HEP) dapat muncul dengan lesi kulit
yang identik.
Gambar 124 – 5 A, Skema pembentukan inhibitor spesifik uroporphyrinogen dekarboksilase di hepar
dengan adanya zat besi, enzim sitokrom P450 (terutama CYP1A2) dan stres oksidatif di PCT. (Porphyria
cutanea tarda: A possible role for ascorbic acid. Hepatology. 2007;45(1):6-8; with permission. Copyright
© 2007, John Wiley & Sons) B, UROD inhibitor telah diisolasi sebagai uroporphomethene, sebuah
molekul uroporfirinogen yang teroksidasi sebagian pada satu cincin (dilingkari dengan warna biru) dan
pada metil bridge yang berdekatan

Oleh karena itu, penting untuk menegakkan diagnosis laboratorium PCT sebelum memulai pengobatan. Uji
diagnostik lini pertama (yaitu, skrining) untuk PCT adalah pengukuran porfirin total pada plasma atau urin.
Hasil normal dapat menunjukkan diagnosis pseudoporphyria. Karena peningkatan porfirin, terutama dalam
urin, sering terjadi pada penyakit hepar dan kondisi medis lainnya, temuan peningkatan porfirin tidak
mendukung diagnosis porfiria. Oleh karena itu, jika tes lini pertama positif, berikut ini saran untuk
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan porfiria lainnya yang kurang umum yang dapat menyebabkan
manifestasi kulit serupa dan sering salah didiagnosis sebagai PCT:
▪ Pemeriksaan fluoresensi plasma yang diencerkan pada pH netral. Porfiria yang paling sering salah
diagnosis sebagai PCT adalah VP, dan dapat dengan cepat didiagnosis menggunakan fluoresensi
plasma pada ∼626 nm, berbeda dengan PCT dan porfiria kulit yang melepuh pada ∼620 nm.

▪ Fraksinasi porfirin urin atau plasma, yang menunjukkan dominasi uroporphyrin, dan hepta-, hexa-, dan
pentacarboxyl, porphyrins pada PCT. Pola dominasi porfirin berkarboksilasi tinggi ini tidak
sepenuhnya dapat menjadi kriteria utama, karena dapat terjadi pada porfiria lain yang jauh lebih umum
yang dapat salah didiagnosis sebagai PCT terutama bila muncul pada orang dewasa.

▪ Porfirin eritrosit total, normal atau sedikit meningkat pada PCT, tetapi meningkat tajam pada kasus
CEP, HEP, atau HCP atau VP homozigot yang jarang terjadi. Kondisi ini biasanya muncul pada masa
bayi, tetapi pertama kali dapat menjadi signifikan pada orang dewasa, kadang-kadang berhubungan
dengan gangguan myeloproliferative klonal atau myelodysplastic.

▪ Porfirin feses mungkin normal atau sedikit meningkat pada PCT, dengan mencakup isocoproporphyrins.
Tetra-karboksilporfirin atipikal ini terbentuk ketika pentakarboksilporfirinogen terakumulasi di hepar
sebagai akibat dari UROD inhibitor dan mengalami dekarboksilasi awal oleh CPOX, yang selanjutnya
membentuk dehydroisocoproporphyrinogen. Yang terakhir diekskresikan dalam empedu dan mengalami
oksidasi oleh bakteri usus menjadi isocoproporphyrins. Berbeda dengan PCT, pada CEP, HCP, dan VP,
porphyrins feses meningkat signifikan, dengan dominasi coproporphyrin I pada CEP, coproporphyrin III
pada HCP, dan coproporphyrin III dan protoporphyrin pada VP.
▪ ALA urin normal atau sedikit meningkat pada PCT, dan PBG selalu normal. Kadar prekursor porfirin ini
dapat meningkat pada porfiria hati akut, AIP, HCP dan VP.

Peningkatan porfirin plasma dan dominasi porfirin yang terkarboksilasi penting untuk diagnosis PCT pada
pasien dengan penyakit ginjal lanjut, meskipun kisaran nilai rujukan lebih tinggi pada populasi ini. Penyakit
ginjal lanjut umumnya terkait dengan eritropoiesis yang terganggu dan mengakibatkan peningkatan eritrosit
zinc protoporphyrin, yang tidak boleh dikaitkan dengan PCT atau porfiria lain. Pasien dengan AIP dan
penyakit ginjal stadium akhir terkadang datang dengan lesi kulit melepuh yang menyerupai PCT.
Meskipun tidak diperlukan untuk diagnosis PCT, biopsi kulit menunjukkan temuan yang khas tetapi tidak
spesifik seperti subepidermal blister dan pengendapan bahan periodic acid–Schiff-positive di sekitar
pembuluh darah dan bahan fibrillar halus di bagian atas dan di dermo epidermal juntion. Endapan
imunoglobulin dan komplemen juga dapat ditemukan.
Perubahan histologis ini juga terlihat pada porphyrias kutaneus serta pseudoporphyria, kondisi yang
muncul dengan lesi yang sangat mirip dengan PCT, tetapi dengan porfirin plasma yang tidak meningkat
secara signifikan.

IDENTIFIKASI FAKTOR RISIKO


Semua pasien PCT harus diperiksa untuk mengetahui faktor risiko berikut, yang beberapa di antaranya dapat
diintervensi: penyalahgunaan alkohol dan estrogen, merokok, infeksi hepatitis C dan HIV, serta mutasi HFE
dan UROD. Penggunaan obat-obatan yang memperburuk porfirin akut jarang mempengaruhi PCT.
Meskipun kasus PCT familial (tipe 2) dapat diidentifikasi dengan aktivitas UROD eritrosit setengah kadar
normal, analisis mutasi UROD lebih dapat diandalkan. Analisis faktor risiko ini membantu penanganan
penyakit. Selain itu, beberapa faktor ini juga memiliki implikasi medis tersendiri. Feritin serum harus diukur
dan dapat mempengaruhi pilihan pengobatan

TERAPI
Pengobatan dengan plebotomi atau hidroksiklorokuin dosis rendah sangat efektif pada PCT sporadis dan
familial. Terapi ini dilakukan hanya setelah diagnosis pasti, karena tidak efektif pada porfiria lain. Mungkin
masuk akal untuk memulai pengobatan setelah hasil porfirin plasma, termasuk fluoresensi porfirin plasma,
yang sesuai dengan kriteria PCT dan menyingkirkan VP dan pseudoporphyria. Pasien harus disarankan
untuk berhenti merokok dan konsumsi alkohol. Penggunaan estrogen dan obat-obatan yang diketahui induce
sintesis heme di hepar harus dihentikan jika memungkinkan. Terapi penggantian estrogen, dengan trans-
dermal, dapat dipertimbangkan, jika diperlukan, setelah PCT dalam stadium remisi. Asupan asam askorbat
dan nutrisi lain yang memadai harus diberikan. Eliminasi 1 atau lebih faktor risiko dapat membantu
perbaikan kondisi klinis, tetapi responsnya lambat atau tidak dapat diprediksi.
Plebotomi berulang untuk mengurangi zat besi hepar adalah pengobatan yang sering dipilih. Pengambilan 450
mL darah dalam interval 2 minggu dengan evaluasi menggunakan kadar feritin serum, dengan target 15 hingga
20 ng / mL (yaitu, mendekati batas bawah normal). Pengukuran hematokrit dan ferritin pada setiap sesi untuk
mencegah gejala anemia dan menilai perbaikan tingkat feritin. Plebotomi dihentikan ketika feritin dari sesi
sebelumnya adalah 25 hingga 30 ng / L, dan feritin diukur untuk memastikan bahwa target tercapai. Pada saat itu,
kadar porfirin mungkin belum sepenuhnya normal dan lesi kulit tidak sembuh total. Penurunan zat besi lebih
lanjut tidak bermanfaat dan menyebabkan anemia. Sebagian besar pasien memerlukan 6 hingga 8 sesi plebotomi
untuk remisi secara biokimia dan klinis, tetapi sesi tambahan mungkin diperlukan, terutama jika kadar feritin
serum meningkat secara signifikan. Penurunan kadar porfirin plasma (atau serum) cenderung lebih lambat
dibandingkan feritin serum, tetapi akan menjadi normal dalam beberapa minggu setelah sesi
plebotomi selesai. Kerapuhan kulit dapat bertahan untuk beberapa waktu setelah kadar porfirin normal,
sampai penyembuhan dan perbaikan subepidermal lapisan kulit sudah selesai. Plebotomi berikutnya
umumnya tidak diperlukan, dengan pengecualian pasien homozigot atau heterozigot majemuk pada mutasi
C282Y HFE, sesuai yang disarankan oleh pedoman terapi hemochromatosis saat ini untuk mempertahankan
tingkat feritin antara 50 dan 100 ng / mL. Relaps PCT dapat terjadi, sering kali terkait dengan konsumsi
kembali alkohol, tetapi biasanya dapat dilakukan pengobatan ulang. Kadar porfirin setelah remisi dapat
mendeteksi kekambuhan lebih awal sehingga pengobatan ulang dapat dilakukan kembali segera.
Rejimen dosis rendah hydroxychloroquine (atau chloroquine) merupakan alternatif untuk plebotomi.
Antimalaria 4-aminoquinoline ini tampaknya tidak menghabiskan cadangan besi hati, tetapi memobilisasi
porfirin yang telah terakumulasi dalam lisosom dan organel intraseluler lainnya di hepatosit. Dosis
terapeutik dari obat-obatan ini dapat dengan cepat memobilisasi porfirin dan menyebabkan hepatitis akut,
ditandai dengan demam, malaise, mual, dan peningkatan tajam porfirin urin dan plasma serta fotosensitifitas.
Rejimen dosis rendah (hydroxychloroquine 100 mg atau chloroquine 125 mg [setengah dari tablet standar]
dua kali seminggu) direkomendasikan untuk mencapai remisi dan menghindari efek samping dari obat ini.
Pengobatan dilanjutkan sampai porphyrins plasma atau urin menjadi normal selama setidaknya satu bulan.
Pasien yang merespon buruk mungkin memerlukan terapi alternatif dengan plebotomi. Obat-obat ini dapat
menyebabkan retinopati, yang mungkin lebih rendah jika dengan hydroxychloroquine. Oleh karena itu,
pasien harus diskrining oleh dokter mata sebelum pengobatan. Perbandingan pengobatan dengan plebotomi
atau hydroxychloroquine (100 mg dua kali seminggu), menunjukkan bahwa waktu untuk remisi (tingkat
porfirin plasma menjadi normal) sebanding dengan pengobatan ini. Perawatan dengan chelating agent besi
seperti desferrioksamin kurang efisien daripada plebotomi, tetapi dapat dipertimbangkan jika plebotomi dan
hidroksikloroquine dosis rendah merupakan kontraindikasi.
Pengobatan hepatitis C berbasis interferon seringkali tidak berhasil. Oleh karena itu, sebaiknya pertama
kali mengobati PCT, yang biasanya lebih simptomatis, dan setelah mencapai remisi, kemudian mengobati
hepatitis C. Regimen pengobatan berbasis interferon biasanya menyebabkan anemia, yang biasanya
menghambat plebotomi untuk PCT
Data laporan penggunaan hydroxychloroquine dosis rendah selama pengobatan hepatitis C secara
bersamaan cukup terbatas. Antiviral baru yang dapat mengobati infeksi ini dengan cepat dan dapat
diandalkan, dan penelitian sedang dilakukan untuk mengumpulkan bukti apakah obat tersebut harus
digunakan sebagai pengganti plebotomi atau hidroksikloroquine dosis rendah sebagai pengobatan awal PCT
yang terkait dengan hepatitis C.
PCT yang terkait dengan penyakit ginjal stadium akhir seringkali sulit diobati. Plebotomi efektif jika
memungkinkan, dengan memulai atau meningkatkan dosis eritropoietin. Hemodialisis fluks tinggi dapat
memberikan beberapa manfaat. Transplantasi ginjal dapat menyebabkan remisi karena kembalinya produksi
eritropoietin endogen dan penurunan kadar hepcidin.
Skrining berkala untuk karsinoma hepatoseluler harus meliputi imejing hepar dengan USG atau CT-Scan
abdomen. Seperti pada penyakit hati lainnya, prosedur ini harus berdasarkan bukti sirosis atau fibrosis hati,
yang dapat dinilai dengan biopsi hepar atau secara tidak langsung dengan elastografi, dan adanya penyebab
lain dari penyakit hati.

HEPATOERYTHROPOIETIC PORPHYRIA
Ringkasan
▪ HEP adalah PCT familial homozigot (tipe 2), dengan mutasi pada kedua alel UROD yang mengakibatkan
aktivitas UROD berkurang signifikan
▪ HEP menyerupai CEP, dengan lesi melepuh pada area kulit yang terpapar sinar matahari, biasanya muncul
pada masa kanak-kanak
▪ Hasil uji diagnostik biokimia mirip dengan PCT, tetapi dengan peningkatan signifikan dari erythrocyte
zinc protoporphyrin
▪ Pasien harus menghindari sinar matahari. Pengobatan dengan plebotomi atau hydroxychloroquine dosis
rendah tidak efektif

Bentuk porfiria yang sangat langka ini adalah PCT familial homozigot (atau majemuk heterozigot) (tipe 2)
dan ditandai dengan lesi kulit melepuh akibat fotosensitifitas kronis yang parah.

GAMBARAN KLINIS
HEP muncul dengan timbulnya lesi kulit melepuh, hipertrikosis, jaringan parut, anemia hemolitik, dan urine
merah pada anak usia dini. Perubahan kulit sklerodermoid terkadang tampak signifikan. Manifestasi kulit
mirip dengan yang ditemukan di PCT, tetapi biasanya lebih parah. Kasus ringan dan onset yang tidak biasa
selama kehidupan dewasa juga telah dilaporkan.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Pasien dengan HEP mewarisi mutasi UROD dari masing-masing orang tua. Banyak mutasi UROD yang
terkait dengan PCT atau UROD telah diidentifikasi. Aktivitas UROD eritrosit turun 5% sampai 30% dari
normal pada HEP. Karena homozigositas alel UROD yang mematikan, setidaknya satu dari alel UROD
mutan harus menghasilkan beberapa protein enzim dengan aktivitas katalitik. Studi sel eukariotik
menunjukkan bahwa beberapa mutasi dapat mengganggu kestabilan protein enzim dalam jaringan. Porfirin
jumlah berlebih terutama dihasilkan di hati. Zinc protoporphyrin terakumulasi di sumsum tulang dan
meningkat tajam di eritrosit.

DIAGNOSIS
Uji diagnostik biokimia HEP menyerupai PCT, dengan akumulasi dan ekskresi uroporfirin, heptakarboksil
porfirin, dan isokoproporfirin yang dominan. Berbeda dengan PCT, zinc protoporfirin eritrosit meningkat
secara signifikan. Aktivitas UROD eritrosit sangat berkurang, dan studi molekuler menunjukkan mutasi
yang mempengaruhi kedua alel UROD.

TERAPI
Penderita HEP harus diedukasi untuk menghindari sinar matahari. Plebotomi dan hydroxychloroquine
menunjukkan sedikit atau tidak ada manfaat. Pasien harus menghindari faktor risiko yang diketahui penting
dalam PCT. Charcoal oral sangat membantu dalam kasus parah yang terkait dengan diserythropoiesis,
kemungkinan disebabkan oleh akumulasi porfirin dalam lumen usus dan menghambat sirkulasi
enterohepatiknya. Studi Retrovirus-mediated gene transfer menunjukkan bahwa koreksi defek HEP melalui
gene replacement therapy dapat diterapkan di masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai