Anda di halaman 1dari 21

PORFIRIA

1. DEFINISI
Porfiria merupakan kumpulan penyakit metabolik yang disebabkan oleh gangguan
sintesis heme, akibat kelainan pada enzim penting biosintesis yang didapat ataupun
diturunkan.(1.Fitzpatrick),

2. KLASIFIKASI
Porfiria sebelumnya diklasifikasikan berdasarkan akumulasi dari letak porfirin, dibagi
menjadi kelompok eritropoietik (congenital erythropoietic porphyria and erythropoietic
protoporphyria) dan kelompok hepatik (lainnya). Pembagian ini tidak bernilai secara
klinis. Untuk para klinis pembagian porfiria dibedakan menjadi porfiria yang
menyebabkan serangan akut dan yang menyebabkan penyakit kulit. (2.Rooks)
Berdasarkan klasifikasi terdapat enam porfiria umum: (2.Rooks)
1. Penyakit kulit saja :
a. Porphyria cutanea tarda (PCT)
b. Congenital erythropoietic porphyria (CEP)
c. Erythropoietic protoporphyria (EPP)
2. Penyakit kutaneus dan serangan akut :
a. Hereditary coproporphyria (HC)
b. Variegate porphyria (VP)
3. Serangan akut saja :
a. Acute intermittent porphyria (AIP)
Berdasarkan perspektif dermatologi, porfiria dapat dilasifikasikan berdasarkan bentuk
kutaneus dan nonkutaneus. Akan tetapi, dari perspektif klinisi secara umum, kami lebih
memilih mengklasifikasikan porfiria berdasarkan dua subtipe: (1) non-akut dan (2) akut,
dengan demikian dapat membedakan pasien dengan temuan dominan kulit dari yang
serangan neuroviseral akut mengancam jiwa (Tabel 1 dan 2).
Porfiria non akut termasuk porphyria cutanea tarda (PCT) tipe tersering dari porfiria,
hepatoerythropietic porphyria (HEP) variasi homozigot dari PCT, erythropoietic
protoporphyria (EPP), XLDPP tiper porfiria terbaru, congenital erythropoirtic porphyria
(CEP). Sedangkan porfiria akut termsuk, Acute Intermittent Porphyria (AIP), Variegate
Porphyria (VP) dan Hereditary Coproporphyria (HCP) dan defisiensi α-aminolevulinic acid
dehydratase (ALAD) dikenal sebagai plumboporphyria. Serangan porfiria akut dapat
berbentuk kumpulan gejala seperti nyeri abdominal yang intens, muntah, disregulasi elektrolit

1
(hiponatrium), konstipasi, takikardi, hipertensi, nyeri otot dan kelemahan, paralisis, paresis
dari ekstremitas atas dan bawah, dan berbagai gejala neurologi dan psikiatri lainnya.

Tabel 1. Ringkasan dari porifira non-akut

Tabel 2. Ringkasan dari porfiria akut

3. PATOFISIOLOGI

2
Porfiria merupakan penyakit yang menarik, memiliki manifestasi klinis yang luas dan
aneh. Penyakit kelainan porfirin atau metabolisme prekusor porfirin menghasilkan aberasi
pada kontrol dari jalur biosintesis heme.
Heme merupakan hal penting untuk ikatan oksigen dan transpor (pada hemoglobin
dan mioglibin), dan untuk transport elektron (seperti pada sitokrom) dan untuk
monooksigenase seperti cytochrome P450.
Klorofil, porfirin magesium-chelated, merupakan tetrapyrrole peting untuk
fotosintesis, sistem penyimpan energi ditemukan pada tumbuhan dimana akan mengkonversi
energi cahaya menjadi energi kimia yang stabil didapatkan dari sekuensing reaksi reduksi-
oksidasi.
Cincin corrin, tetrapyrrole cobalt-chelaed, merupakan konsistuen utama dari B12, jika
kekurangan ini akan menyebabkan anemia pernisius. Akan tetapi, porfirin banyak dan
konsistuen biokimiawi yang penting untuk makhluk hidup. Kepentingan biologis dari porfirin
dan kompleks besi terletak pada kapasitas mereka untuk memfasilitasi reaksi metabolik,
sebagai komponen oksidatif pada metabolisme steroid, obat dan lingkungan kimiawi atau
dengan meningkatkan pertukaran gas, seperti oksigen dan karbon dioksida, antara lingkungan
dan jaringan tubuh.
Sintesis harian dari porfirin dan heme di manusia terdapat pada jumlah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Kontrol dari sintesis heme sangat tepat,
dibawah kericuhan normal, hanya kuantitas mikrogram atau kurang dari jalur intermediates
yang ada dalam plasma, sel darah merah,urine dan feses.
Porfiria merupakan kelompok penyakit metabolik yang heterogen secara klinis dan
genetik, akibat disfungsi herediter ataupun didapat pada enzim yang penting untuk biosintesis
heme. Sintesis eme dikontrol oleh delapan enzim bersama jalur biosinteis heme. Penurunan
aktivitas menjadi tujuh dari delapan enzim dapat memberikan tipe spesifik porfiria (Tabel 1)
Tabel 1. Nilai normal porfirin dan prekusor porfirin pada manusia

Fungsi enzim pertama pada jalur, δ-aminolevulinic acid synthase (ALAS)


bertanggung jawab untuk penyakit X-linked dominant protoporphyria (XLDPP), tipe porfiria

3
yang baru diketahui. Setiap enzim-enzim ini akan dibawah secara terpisah, mengikuti tipe
porfiria.
Secara biokimiawi, porfira yang berbeda dikarakteristikan oleh pola tertentu dari
akumulasi dan ekskresi dari porfirin dan atau prekusornya. Secara umum, porfirin
dieksresikan pada tipe spesifik porfiria yang secara substrat teroksidasi yang ireversibel dari
defisiensi enzim. Perantara ini, jika ada dalam jumlah berlebiha, akan mengeluarkan efek
toksik yang bertanggungjawab pada tanda dan gejala kutaneus dan neurologis dari porfiria.

Biosintesis Porfirin-Heme
Lokasi utama dari sintesis heme di tubuh adalah sumsum tulang belakang dan hepar.
Heme merupakan kelompok prostetik dari berbagai protein, termasuk diantaranya
hemoglobin, mioglobin, sitokrom mitokondria, sitokrom mikrosomal (termasuk CYP450),
katalase, peroksidase, tryptophanpyrrolase, prostaglandin endoperoxide synthase, dan bentuk
terlarut guanylate cyclase. Hampir 85% dari sintesis heme terdapat pada sumsum tulang
belakang dimana digunakan untuk produksi hemoglobin; sisanya sebagian besar terdapat
pada hepar untuk membuat katalase cytochrome P450 dan berbagai sitokrom mitokondria.
Heme merupakan konsitiuen utama yang penting untuk berbagai proses metabolik, terutama
karena kemampuan unik dari heme dapat menangkap dan melepaskan oksigen dan
memfasilitasi transpor elektron. Sintesis heme diregulasi oleh berbagai faktor dan secara
langsung bergantung dari konsentrasi di dalam sel dan atas kebutuhan sel untuk produksi
berbagai hemoprotein yang dijelaskan di atas. Banyak dari hemoprotein ini memiliki waktu
turnover yang cepat (menit sampai jam), sehingga membutuhkan tingkat sintesis heme
hepatik. Sebagai contoh, cytochrome P450 adalah enzim terikat membran di hepar yang terlibat
detoksifikasi dan metabolisme obat, dan memiliki waktu paru sekitar 90-180 menit.

Regulasi Biosintesis Heme


Sintesis heme mulai di mitokondria dari sel dimana succinate dan glycine (satu
molekul dari glucine dan sucinyl CoA) terkonjugasi oleh ALAS ke bentuk karbon-lima
aminoketone, δ-aminolevulinic acid (ALA). Reaksi ini memerlukan pyridoxal 5-phosphate
sebagai kofaktor. Regulasi dari biosintesis heme (dan kemampuan untuk mensintesis heme
keseluruhan) tergantung dari interaksi serial dari delapan enzim intraseluler (Gambar 1 dan
2).

4
Gambar 1. Langkah-langkah utama dari jalur biosintesis porfirin-heme

Gambar 2. Jalur biosintesis porfirin-heme

Pertama, tiga enzim terakhir yang terlibat, coproporphyrinogen oxidase (CPOX),


protoporphyrinogen oxidase (PPOX), and ferrochelatase (FECH) di mitokondira, dimana
enzim sisanya termasuk δ-aminolevulinic acid dehyratase (ALAD), porphobilinogen
deaminase (PBGD), uroporphyrinogen synthase (UROS), and uroporphyrinogen
decarboxylase (UROD) berlokasi di sitosol. Degradasi heme dikatalisasi oleh enzim
microsomal NADPH-cytochrome C reductase, heme oxygenase 1 dan 2. Heme oxygenase 1
merupakan tanda utama oksidatif dari kerusakan jaringan dan anti-oksidan poten. Heme
oxygenase 2 merupakan sensor oksigen. Metabolik by-products dari enzim-enzim ini linear

5
dengan tetrapyrrole biliverdin IXα dan karbon monoksida dan juga properti proses
antioksidan. cDNA untuk tiap delapan enzim termasuk dalam biosintesis heme begitu juga
enzim yang bertanggungjawab dalam katabolik heme. Regulasi abnormal dari sintesis heme
akibat dari defek pada enzim jalur sintesis dan hal ini mungkin timbul sebagai turunan dan
atau faktor lingkungan menyebabkan akumulasi di tubuh dari satu atau lebih jalur tengah
heme, seperti porfirin arau prekusornya. Walaupun diagnosis porfiria dapat dilakukan dari
riwayat medis (termasuk riwayat keluarga) dan pemeriksaan fisik, diagnosis definitif
membutuhkan pengukuran dari : (1) porifirn dan atau prekusor porfirin di urine, feses, plasma
atau sel darah merah (2) aktivitas residu dari enzim spesifik jalur heme atau (3) identifikasi
dari mutasi pada koding gene dari enzim-enzim ini (Gambar 1) teknik biologi molekular
modern membantu mengklarifikasi dasar mekanik dari porfiria. Langkah-langkah yang
termasuk dalam biosintesis porfirin dan heme dan kontrol regulatornya diringkas pada
Gambar 1 dan 4.

4. PORFIRIA NON AKUT


a. Porphyria Cutanea Tarda (PCT)
Epidemiologi
PCT merupakan bentuk tersering dari semua porfiria dan prevalensinya diestimasikan
sekitar 1:10.000. Onset penyakit ini biasanya pada individu usia pertengahan tetapi dapat
berkembang lebih cepat.
Etiologi dan patogenesis
PCT dapat herediter ataupun didapat akibat defisiensi UROD, enzim kelima pada
jalur heme (gambar 132-1 dan 132-2) dan memiliki masa molekuler sebesar 42 kDa.
UROGEN I dan III memiliki delapaon kabroksil sebagai rantai samping, empat mengandung
asetat dan empat propionate (gambar 132-2). Enzim UROD sitosolik yang larut air
mengkatalisasi dekarboksilasi oksidatif sekuensial dari kelompok empat karboksil pada rantai
samping asetat ke kelompok metil untuk membentuk COPROGEN (gambar 132-2).
Dekarboksilasi pertama timbul pada cincin D, setelah itu enzim berbalik untuk dekarboksilasi
cincin A,B dan C sarah jarum jam. Hal ini mengubah 8-carboxyl porphyrinogen (UROGEN I
atau III) pertama menjadi 7-carboxyl, kemudian 6-carboxyl dan 5-carboxyl porphyrinogen. 5-
carboxyl porphyrinogen mengalami dekarboksilasi pada kelompk asetil akhir untuk
membentuk 4-carboxyl porphyrinogen atau dikenal sebagai coproporphyrinogen
(COPROGEN I atau III) (gambar 132-2). Hal ini disebut juga sebagai hepta-, hexa-, penta-,

6
dan tetracarboxylate porphyrinogen. COPROGEN I tidak dapat dimetabolisme lebih lanjut
menjadi heme.
UROD dikode oleh gen yang terletak pada kromosom 1p34. cDNA UROD telah
diisolasi dan menunjukan sekuensi sebesar 367 asam amino. Kebanyakan klasifikasi dari
PCT memisahkan kelainan ini menjadi dua kategori besar, keduanya berhubungan dengan
penurunan aktivitas UROD : (1) PCT yang didapat, disebut juga sporadik atau PCT tipe I dan
(2) PCT herediter yang disebut juga familial atau PCT tipe II
Pada PCT tipe I, defisiensi enzim hany pada liver dan tidak ada mutasi yang dideteksi
pada gen koding ataupun sekuensi promoter UROD (tabel 132-2). Beberapa substansi
pencetus (alkohol atau estrogen) dapat menginduksi PCT hanya pada individu tertentu (tabel
132-7)
Pada PCT tipe II merupakan penyakit autosomal dominan dan aktivitas residu UROD
menurun sebsesar 50% pada semua jaringan, termasuk sel darah merah dan fibroblas kulit.
Penurunan konsentrasi enzim menyebabkan distribusi bimodal, menyarakan dua kelompok
yang tumpang tindih : kelompok besar (>80%) dengan konsentrasi UROD dan kelompok
kecil (<20%) dimana enzim yang terdeteksi setengah dari normal. Pada pasien pada PCT tipe
II ditemukan aktivitas UROD menurun pada batas bawah nilai normal. Penetrasi klinis dari
PCT tipe II rendah, sehingga mayoritas indivdu dengan defek enzim herediter tidak
bermanifestasi penyakit, hal ini menunjukan genetik tambahan atau faktor nongenetik juga
diperlukan untuk mengekspresikan penyakit. Sampai saat ini lebih dari 50 mutasi pda gen
UROD yang telah teridentifikasi pada PCT tipe II, kebanyakan pada ekson 5-10 dimana
mengkode 75% protein yang dapat menurunkan stabilitas enzim atau memproduksi defek
pada pemotongan pre-mRNA.
Penting untuk mengetahui bahwa tidak semua pasien dengan riwayat keluarga PCT
akan memiliki penyakit PCT tipe II. Pasien seperti ini dapat memiliki beberapa bentuk
UROD yang secara imunohistokimia tidak dapat dibedakan dari enzim normal tetapi rentan
terhdapa inhibisi di hepar, atau mereka mungkin memiliki defisiensi enzim herediter yang
tidak berhubungan dengan UROD.
Beberapa agen yang diketahui berkontribusi untuk perkembangan PCT (tipe I, didapat
atau sporadik) termasuk alkohol, estrogen, besi, infeksi virus, polychlorinated hydrocarbons
(HCB dan TCDD) dan hemodialisis pada pasien gagal ginjal (tabel 132-7).
Alkohol  etanol menginduksi ALAS1 pada pasien dengan PCT. Aktivitas eritrosit
UROD hilang pada subjek sehat setelah ingesti etanol dan pada alkoholik kronik. Etanol juga
dapat menginhibisi aktivitas dari enzim lainnya pada jalur heme, termasuk FECH dan ALAD.

7
Alkoholik kronis menyebabkan supresi eritropoiesis dan peningkatan absorbsi besi, mungkin
berhubungan dengan mutasi herediter dengan hemochromatosis. ALAS1 meningkat pada
pasien sirosis hepatis tanpa porfiria menjadi pertanyaan relevansi efek alkohol pada ALAS1
pada ekspresi klinis PCT.
Estrogen  penggunaan estrogen sebagai kontrasepsi atau suplemen hormon untuk
terapi pengganti postmenapouse pada wanita dan sebagai terapi tambahan horonal apda pria
dengan karsinoma prostaat berhubungan dengan PCT. Mekanisme efek estrogen pada
ekspresi PCT belum dapat dijelaskan. Mayoritas pasien yang menerima estrogen tidak
terdapat kelainan biokimiawi yang berasosiasi dengan PCT.
Hexachlorobenzene (HCB)  fungsidal ini menyebabkan PCT-like syndrome di
Turki pda tahun 1950-an. Obat ini ditambahan sebagai preservatif pada gandum untuk
bertanam. Duapuluh lima tahun kemudian, temuan klinis pada individu yang teracuni HCB
menderita porfiria kronik, luka sclerodermoid (84%), hiperpigmentasi (78%), hirsutisme
(49%), tiromegali dan peningkatan kerapuhan kulit (38%).
Tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD)  TCDD merupakan polutan kimia lingkunan,
dimana dapat terlihat efek dari TCDD pada tikus yang kekurangan besi
Besi Konsentrasi serum besi dan ferritin tinggi pada pasien PCT, mengkonfirmsai
pentingnya peranan besi pada patogenesis penyakit. Hepsidin merupakan peptida 25-asam
amino dikode oleh gen HAMP dan disekresikan di hepar dan menghambat transportasi besi
dengan berikatan dengan kanal besi ferroportin yang berlokasi dipermukaan enterosit
gastrointestinal dan plasma membran sel retikulo-endotelial. Hasilnya besi terperangkap di
sel-sel ini dan tidak dapat diserap. Pada pasien PCT ekspresi HAMP menurun menunjukan
bahwa terjadi siderosis hepatis berhubungan dengan PCT menghasilkan disregulasi dari
HAMP. Peranan besi pada patogenesis PCT sangat kompleks, beberapa hipotesis dijelaskan,
besi dapat menghambat UROD secara langsung. Kelebihan besi yang kronis dapat
memproduksi kerusakan peroksidatif kepada mitokonria dan membran mikrosomal pada
hepar, tetapi hubungan efek toksik untuk mengubah sintesis heme hepatik belum dapat
dijelaskan. Mutasi gen C282Y dikatakan bertanggungjawab pada kelebihan besi.

8
Gambar 3. Photoexcited porphyrins pada fase triplet

Manifestasi Klinis
Vesikel dan bula diikuti dengan erosi dan krusta timbul pada area dimana sering
terkena trauma (Gambar 132-7 & 8). Peningkatan kerapuhan kulit yang terpapar cahaya,
terutama dibagian punggung tangan, dengan trauma minor dapat merusak kulit dan
meninggalkan erosi (gambar 8). Beberapa milia kecil dapat timbul terutama pada jari dan
tangan. Papul putih mutiara ini timul pada setiap porfiria hepatik dengan fotosensitivitas
kutaneus (PCT, VP, HCP)

Perubahan kulit lainnya pada PCT termasuk hiperpigmentasi dan hipopigmentasi,


mirip dengan kloasma. Hal ini berhubungan dengan suffusion merah keunguan (heliotrope) di
bagian tengan wajah, termasuk daerah periorbital, dapat seperti plethora yang ditemukan
pada polycythemia rubra vera (9)

9
Hipertrikosis dapat sebagai tanda diagnostik yang berguna pada wanita, dapat juga
terjadi pada pria. Rambut dapat bervariasi dalam ukuran dan tekstur serta warna. Rambut ini
lebih terlihat pada area pipi dan samping pipi, dapat juga di daerah batang tubuh dan
ekstremitas.
Plak sclerodermoid timbul pada PCT dan HEP dan berkembang secara tipikal pada
area terpapar sinar dan tidak. (11A dan 11B). Biasanya gambarannya tersebar, berwarna
kuning sampai putih, plak berindurasi, mirip dengan morfea ataupun skleroderma. Hal ini
karena URO I menstimulasi sintesis kolagen pada fibroblas manusia. Pada beberapa pasien,
kalsifikasi berkembang pada plak sklerodermoid, sehingga memerlukan eksisi atau grafting
Pemeriksaan Laboratorium
Pasien dengan PCT mengeksresikan penigkatan porfirin pada urin, yang kadang
menunjukan warna pink-kemerahan jika diperiksa degan lampu Wood. Tiga pola utama
eksresi porfirin pada PCT : (1) peningkatan eksresi URO dan porfirin tersubsitusi asetat
lainnya; (2) pola distinctive dari eksresi porfirin I dan III (3) Peningkatan eksresi dari
ISOCOPRO fekal
Histopatologi
Temuan karakteristik dari histopatologi PCT adalah bula subepidermal. Bula
enunjukan corrugated, undulasi yang disebut festooned. Tidak ada infiltrat inflamasi.
Pewarnaan PAS menunjukan penebalan dinding pembuluh darah papiler. Pewarnaan reticulin
menunjukan proliferasi serat pada basal membran. Imunofluresesn lagsung menunjukan
deposisi C3, C5b-9 dan IgG dengan pola granular pada taut dermal-epidermal dan sekitar
dinding pembuluh darah.

10
Diagnosis Banding
Diagnosis banding PCT termasuk VP, HCP bentuk ringan dari HEP dan atau CEP,
pseudoporfiria, scleroderma, epidermolisis bulosa akusita (EBA). Evaluasi yang teliti dari
porfiirin urine, feses dan plasma mengkonfirmasi diagnosis PCT.
Pengobatan
Anamnesis mengenai faktor pencetus seperti alkohol, estrogen, klorin harus dihindari.
Pengobatan agresif seperti phlebotomi atau obat antimalaria seperti klorokuin atau
hidroklorokuin atau kombinasinya. Bentuk lain terapi seperti chelators besi dan pemberian
cholestyramine.
a. Phlebotomy
Phlebotomy tetap menjadi pilihan terapi untuk PCT. Beberapa laporan telah
mengkonfirmasi keamanan dan efikasi dari terapi ini. Phlebotomu efektif karena
menghancurkan cadangan besi hepar yang berlebihan yang menjadi karakteristik PCT.
Efikasi phlebotomu berhubungan dengan beberapa efek : 1. Efek besi pada ALAS1. Besi
dapat meningkatkan induksi respon dari ALAS1 pada obat dan respon porphyrinogenic pada
HCB pada hewan percobaan. 2. Kekurangan besi dapat berpengaruh pada enzim jalur heme.
Besi ferrous menghambat UROD dan meningkatkan laju sintesis porfirin hepatik dari ALA
atau PBG, menunjukan bahwa hilangnya besi dapat memudahkan aktivitas UROD untuk
kembali ke normal dan atau menurunkan porphyrinogenesisi yang berlebihan. 3. Efek besi
pada peroksidasi lipid hepatik sekunder dari ROS. Kehabisan besi daat mengembalikan
respon ini pada hepari menjadi kelebihan besi. 4. Efek besi pada oksidasi URO. Hilangnya
besi dapat berakibat hilangnya kapasitas metal ferrous menjadi oksidasi irreversibel pada
substrat UROGEN menjadi porfirin non-metabolis. Produk pertama dari oksidasi UROGEN
menjadi URO adalah uroporphomethene dimana menjadi jembatan methane yang teroksidasi.
Metabolit ini merupakan inhibitor dari UROD.
Phlebotomy menjadi prosedur yang dapat dikerjakan. Jumlah darah yang diambil
bervariasi dari 1.500 sampai 12.000 mL. Paling mudah menggunakan kantong darah yang
tersedia di bank darah. Sekitar 500 mL darah per minggu atau 2xseminggu sampai
hemoglobin menurun hinggal 10g/dL atau sampai serum besi menjadi 50-60 ug/dL. Pasien
juga disarankan untuk menghentikan atau menurunkan paparan agen porfirinogen , hal ini
biasanya mempercepat remsisi klinis dan biokimiawi.
b. Antimalaria
Pada beberapa pasien phlebotomu tidak direkomendasikan atau kontraindikasi akibat
adanya anemia atau penyakit kardiopulmonal atau infeksi HIV. Pada kasus demikian,

11
penggunaan terapi antimalaria dosis rendah menjadi alternatif yang baik. Antimalaria seperti
aminokuinolon, klorokuin dan hidroksiklorokiun dapat digunakan. Tanda klinis pada kulit
biasanya hilang dalam waktu 1 tahun pada pasien yang menerima 500 mg per hari selama
beberapa bulan. Akan tetapi, dengan dosis tersebut dapat memicu hepatotoksik berat pada
pasien PCT, sehingga sekarang tidak digunakan lagi. Sebagai gantinya, terapi klorokuin dosis
rendah 125 mg dua kali seminggu efektif dalam mengobati PCT dan tidak ada efek
hepatotoksik.

b. Hepatoerythropoietic Porphyria (HEP)


Etiologi
HEP merupakan variasi homozigot dari PCR dan hasil dari defisiensi berat dari
UROD akibat mutasi G281E. Pengukuran enzim pada darah atau fibroblas kulit menunjukan
reduksi sebesar 5% dari kadar normal.
Manifestasi klinis
Penyakit ini biasanya timbul saat masa kanak-kanak dan urine berwarna merah
kehitaman menjadi tanda pertama. Fotosensitivitas kulit yang berat dengan bula dan gatal.
Fotosensitivitas dapat menghilang dengan bertambahnya usia dan diikuti dengan
hipertrikosis, hiperpigmentasi dan luka mirip scleroderma yang mirip dengan CEP (Günther’s
disease) (Gambar 123-13). Manifestasi okular termasuk ektropion berhubungan dengan
sclerosis kutaneus dan perforans scleromalacia.

Temuan laboratorium
Pola urin porfirin mirip dengan yang ditemukan ada PCT (Tabel 132-8). Tetapi
peningkatan PROTO sel darah merah pada HEP membantu membedakan dengan PCT.
Peningkatan URO I dan II urine (URO:COPRO ratio>5∼1) and 7-carboxyl porphyrins

12
(>90% isomer III), pengikatan COPRO and ISOCOPRO feses, dan peningkatan PROTO sel
darah merah ditemukan pada semua pasien.
Histopatologi
Menunjukan bula subepidermal yang mirip dengan PCT dan pemeriksaan PAS psotif.
Diagnosis banding
Porfiria anak-anak, bentuk berat dari PCT dan CEP.
Pengobatan
Tidak ada pengobatan selain, proteksi sinar, termasuk sinar yang terlihat mata.

c. Erythropoietic Protoporphyria (EEP)


Epidemiologi
Prevalensi EPP secara global berkisar 1 : 75.000 dan 1:200.000. walaupun insidensi
pasti EPP tetap belum diketahui.
Etiologi dan Patofisiologi
Defek enzim spesifik pada EPP adalah FEH, dimana enzim ini menurun diberbagai
jaringan, termasuk sel darah merah, limfosit terstimulasi mitogen, dan kultur fibroblas kulit
pada pasien. FECH berada bagian matriks wajah dari membran dalam mitokondria dan
mengkatalisasi langkah akhir untuk pembentukan heme, dan bekerjasama dengan besi ferrous
(Fe2+) menjadi PROTO (Gambar 1132-1 dan 132-2). Enzim kaya lisin ini memiliki masa 63
kDa dan pH optimum 7.8 dan direferensikan sebagai sintesis heme atau proto-heme-ferro-
lyase.
Tidak seperti enzim lainnya pada jalur biosintesis heme, yang memerlukan bentuk
reduksi dari porfirin (porphyrinogens) sebagai substrat, FECH menggunakan PROTO, yang
merupakan isomer teroksidasi dari PROTOGEN. Hasil akhir dari jalur tersebut, ferrous-
PROTO (FePROTO) atau heme, difusi keluar dari mitokondria menuju sitoplasma, dimana
berfungsi sebagai kelompok prostetik dengan menggabungkan dengan apoprotein yang tepat.
Lewat kadar konsumsi heme di sitoplasma, heme mengkontrol sintesisnya sendiri
berdasarkan kebutuhan sel.
Manifestasi Klinis
Pada kulit, biasanya penyakit mulai pada usia muda dan dikarakteristikan deengan
episode akut dari fotosensitivitas termasuk rasa terbakar, menyengat dan gatal mempengaruhi
kulit yang terpapar cahaya, terutama di hidung, pipi, dan aspek dorsal dari tangan. Kemudian
diikuti dengan eritema dan edema (gambar 132-14), lesi urtikaria dan purpura. Gejala ini
dapat timbul dari beberapa menit terpapar matahari. Lesi kulit kemudian membaik perlahan,

13
meninggalkan jaringan parut atrofi, berminyak atau skar cekung. (gambar 132-15). Pada kulit
perioral terdapat bebrapa pursing (pseudorhagades). Pada jari dan buku-buku jari, di sendi
metacarpophalangeal dan interphalangeal, terdapat penebalan, keruput dan berminyak mirip
denga kulit orang tua. Perubahan ini pathognomic. Luka superfisial pada batang hidung dan
luka dangkal pada wajah. Pada individu yang menderita, sebagian keterlibatan kulit ini tetap
ada sepanjang hayat, dan yang lainnya dapat berkurang seiring berjalan waktu.
Temuan laboratorium
Diagnosis EEP berdasarkan dideteksinya peningkatan PROTO bebas pada sel darah
merah dan atau feses (Tabel 132-8). Selain peningkatan PROTO plasma, dapat ditemukan
penigkatan COPRO fekal dan COPRO sel darah merah. Pemeriksaan kuatitatif yang cepat
untuk PROTO plasma dan eritrosit bebas dapat digunakan untuk skrining EEP. Pada pasien
EPP, kadar PROTO beriksar antara 131-1671 ug/dL pada sel darah merah (normal <90
ug/dL). Pasien dengan EPP juga menderita anemia ringan dan trombositopenia yang
berkorelasi dengan kadar PROTO eritrosit.
Histopatologi
Kerusakan sel endotel, degranulasi sel mas dan sel polimorfonuklear dapat dilihat
pada dermis. Pada area terpapar matahari, homogenasi eosinofilik dan penebalan pembuluh
darah papiler dermis akibat akumulasi susbstansi smorfous, homogenus dan basofilik (seperti
hialin) pada dan sekitar pembuluh darah. Kumpulan di pervaskular dari material seperti hialin
akan terwarnai kuat dengan pewarnaan PAS.
Diagnosis Banding
EPP harus dibedakan dengan penyakit fotosensitifitas lainnya, seperti polymorphous
light eruption (PMLE), fototoksisitas terinduksi obat, prurigo aktinik, hydroa vacciniforme,
idiopathic solar urticaria. Pada PMLE, karakteristik lesi berupa papul, plak, papulovesikel,
riwayat keluarga mengenai fotosensitivitas lebih sedikit. Rasa nyeri dan terbakar pada kulit
saat atau setelah terpapar matahari sangat jarang, dimana pada EPP hal ini seirng.
Pengobatan
Fotoproteksi merupakan hal yang penting, penggunaan sunscreen topikal, seperti
produk yang mengandung mexoryl, titanium dan zinc oxides paling baik untuk absobsi dan
refleksi cahaya. Obat oral seperti antimalaria, cholestyramine dan vitammin E dan C
disarankan tetapi tidak ada bukti yang menguntungkan untuk pengobatan EPP. Selain itu,
terdapat penelitian mengenai pemberian β-carotene dimana β-carotene dapat menekan
induksi matrix metalloproteinases (MMPs) termasuk MMP-1, MMP-3, and MMP-10, and
dan efek ini dimemediasi oleh penahanan dari singlet oxygen-mediated induction dari MMP.

14
d. X-LINKED DOMINANT PROTOPORPHYRIA
ALAS merupakan enzim mitokondria yang mengkatalisasi pembentukan dari ALA.
Signifikansi utama dari enzim ini adalah perannya sebagai pengatur laju dari sintesis heme
pada hepar via mekanisme negative feedback. Heme beraksi pada berbagai tempat untuk
meregulasi ALAS hepatik. Saat ini, terdapat 2 bentuk dari ALAS, satu dengan ekspresi yang
banyak, termasuk ALAS1 hepar dan lainnya ekspresi ekskusif dari jaringan erythroid,
ALAS2.
Congenital Erythropoietic Porphyria (CEP)
Epidemiologi
CEP kurang dari 500 kasus yang pernah dilaporkan. Penyakit ini awal timbul saat
masa kanak-kanak.
Eitologi
CEP merupakan penyakit autosomal resesif hasil dari bervariasi tetapi defisiensi
UROS, enzim keempat jalur sintesis heme, dimana akan mengkatalisasi pembentukan
uroporphyrinogen III dari hydroxymethylbilane (HMB) atau dari PBG jika PBGD ada.
Manifestasi Klinis
Penyakit ini biasanya timbul saat beberapa bulan awal kehidupan dengan
fotosensitivitas kutaneus yang sedang sampai berat berhubungan dengan urine berwarna pink
ke merahan. Pasien memiliki URO I dan COPRO I yang berlebihan pada sel darah merah,
plasma dan kulit. Manifestasi kulit termasuk kerapuhan kulit, vesikel dan bula yang berisi
cairan berwarna pink. Infeksi sekunder, penyembuhan luka yang lambat dan jaringan parut
biasa terlihat. Hal ini menyebabkan hilangnya jaringan pada akral, seperti ujung telinga,
hidung dan jarin (Gambar 132-8A dan 8B) dan mutilasi fasialis. CEP adalah profiria yang
paling sering menyebabkan mutilasi kutaneus. Hirsutisme, dengan rambut lanugo yang
panjang dan gelap, dapat terlihat pada daerah yang terpapar cahaya, seperti wajah, leher, dan
ekstremitas. Selain itu juga dapat timbul, alopesia sikratisial, perubahan pada mata kulit yang
hiper atau hipopigmentasi serta erythrodontia (gigi berwarna merah) yang merupakan
gambaran pathognomonic pada CEP.

15
Temuan Laboratorium
Kerusakan utama pada CEP adalah penurunan aktivitas UROS yang menghasilkan
akumulasi porfirin tipe I pada jaringan. Warna pink sampai merah burgundy pada urin akibat
banyaknya URO I . kadar ALA dan PBG dalam batas normal
Histopatologi
Lesi bulosa pada CEP dibagian subepidermal dengan inflamasi minimal. Kumpulan
kolagen yang menebal dapat terlihat pada daerah dengan jaringan parut. Deposit porfirin
pervaskular dapat ditemukan pada mikroskop
Diagnosis Banding
Diagnosis CEP dapat ditegakkan pada saat onset awal fotosensitivitas kutaneus yang
berat yang berhubungan urine pink kemerahan dan erythrodontia. Membedakan CEP dengan
fotodermatosis kongenital lainnya penting. Temuan kutaneus pada pasien dengan xeroderma
pigmentosus, epidermolisis bulosa, hydroa vacciniforme, pemfigoid bulosa mirip dengan
pasien CEP, tetapi analisis porfirin dapat membedakannya.
Pengobatan
Pengobatan pada CEP termasuk preventif, simtomatik, dan menghindari paparan
matahari, menemukan tada-tanda anemia dan mengobati infeksi kulit berulang. Proteksi
secara fisik menggunakan baju memiliki efek yang besar. Sunscreen tpikal dan β-carotene
tidak efektif. Spenektomi dapat dikerjakan untuk memperbaiki anemia dan fotosensitivitas
kutaneus. Supresi eritropoiesis oleh transfusi dapat menghilangkan produksi porfirin dan
eksresi, akan tetapi kelebihan besi sekunder pperlu dipertimbangkan. Charcoal aktif (60 g
3xsehari) selama 9 bulan dapat menurunkan kadar porfirin di plasma dan fotosensitivitas kulit

16
menjadi remisi sempurna. Charcoal dipikirkan mengintervensi resirkulasi enterohepatik dari
porfirin.

5. PORFIRIA AKUT
a. Acute Intermittent Porphyria (AIP)
Epidemiologi
Bentuk profiria ini sekitar 1.5 : 100.000 dari populasi dunia, dan lebih tinggi di daerah
Scandinavia. AIP biasanya bermanifestasi sebelum pubertas.
Etiologi
AIP akibat defisiensi PGBD disebut juga hydroxymethylbilane synthetase (HMBS),
yang merupakan enzim ketiga dari jalur biosintesis heme. Enzim ini mengkombinasikan
empat molekul monopyrrole PBG menjadi bentuk linear tetrapyrrole HMB, dimana
membentuk porfirinogen awal atau tetrapyrrole yang dikenal sebagai uroporphyrinogen I
(UROGEN I).
Manifestasi Klinis
Kurang dari 10% pasien dengan defek PBGD menunjukan fenotip. Akan tetapi defek
gen saja tidak cukup kecuali individu tersebut terpapar oleh faktor pemicu lainnya, seperti
obat yang menginduksi cytochromes (CYP) hepatik. Tanda dan gejala klinis dari AIP
berhubungan dengan efek berlebihan dari porfirin atau akibat kekurangan heme pada siste
saraf autonom. Serangan akut porfiria dikarakteristikan dengan adanya nyer abdominal (80-
90% pasie AIP) dan gejaa neurologis dan psikiatri yang mirip dengan kelainan lainnya.
Nyerinya mungkin saja tidak terlalu terasa atau terlokalisasi dan sering intermiten dan spastis.
Muntah dan konstipasi sering terjadi. Demam ringan dan leukosistosis dapat muncul,
sehingga sulit untuk mendiagnosis banding. Serangan biasa terjadi setelah memnium obat
pada tabel 132-9. Serangan akut pada AIP dapat disertai dengan kejang, neuropati perifer
sensorik sampai dengan motorik. Pasien dapat meninggal saat serangan, akibat kegagalan
pernapasan.

17
Temuan Laboratorium
Defek dari gen utama pada AIP menghasilkan defesiensi PBGD, dimana
menyebabkan eksresi berlebihan dari ALA dan PBG. Porfirin urin sedikit meningkat. Eksresi
urine dari ALA dan PBG sebesar 100 mg/24 jam pada serangan akut. Hal ini kontras pada
pasien VP dan HCP dimana akan menunjkan eksresi urine dari ALA dan PBG yang normal
saat serangan akut. Dua cara skrining yang cepat untuk mengetahui pengingkatan PBG
adalah, memaparkan urine pada sinar matahari selama beberapa jam, jika berubah menjadi
merah kegelapan dapat dipikirkan. Cara kedua adalah, tes Hoesch, dua tetes urine
ditambahkan 2 cc reagent Ehrlich, menunjukan perbahan warna merah-ceri yang uniform
menandakan reaksi yang positif.
Histopatologi
AIP tidak memiliki manifestasi kutaneus
Diagnosis Banding
Manifestasi klinis AIP bermacam-macam dan mirip dengan berbagai penyakit
lainnya, dimana Waldenstrom memberikan nama sebagai “little imitator” karena penyakit ini
tidak memiliki manifestasi klinis maka tidak akan dibahas disini
Pengobatan
Tidak ada obat untuk AIP. Komponen utama pengobatan AIP adalah mencegah serangan
akut, dengan cara meminimalisir paparan erhadap obat porfirinogenik dan kimiawi
b. Variegate Porphyria
Epidemiologi
Prevalensi tersering penyakit ini di Afrika Selatan dan Chile. Insidensi VP di afrika
selatan sebesar 1:300 pada individu kulit putih.
Etiologi
VP terjadi akibat penurunan aktivitas PPOX dan merupakan penyakit autosomal
dominan. PPOX merupakan protein integral dari membran dalam mitokondria dan
mengkatalisasi oksidasi PROTOGEN IX menjadi PROTO dengan menghilangkan enam
hidrogen dari PROTOGEN IX. PPOX dikode oleh gen dengan nama yang sama PPOX
terletak pada kromosom 1q22-23.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari VP mencakup PCT dan porfiria hepatik akut lainnya, dapat
timbul secara simultan ataupun terpisah pada individu yang sama. Perbedaan utama dari VP
dan PCT adalah tanda dan gejala kulit dapat terjadi pada usia awal pada penyakit VP (dekade
kedua dan ketiga) dibandignkan dengan PCT (dekade eempat atau kelima). Perbedaan utama

18
VP dengan porfiria hepatik lainya (AIP dan HCP) adalah serangan akut jarang ditemui pada
VP. Lesi kutaneus VP sulit dibedakan dengan PCT dan HCP. Dimana semuanya terdapat bula
dan erosi setelah paparan cahaya. Hiperpigmentasi, milia, hipertrikosis dan penigkatan
kerapuhan kulit juga dapat terlihat. Lebih sering di iklim yang panas dibandingkan dengan di
iklim yang dingin. Bula dapat berisi darah, sembuh perlahan dan menjadi jaringan parut atau
pembentukan milia. Pada kondisi kronis, perubahan kulit menjadi menebal dan jaringan
parut.

Temuan Laboratorium
ALA dan BG urin meningkat saat serangan akut dari VP, dan kembali ke kadar
normal diantara serangan, dimana pasien AIP, kadar ALA dan PBG meningkat, saat dan
antara serangan. Pebanding lainnya adalah eksresi porfirin pada feses. Pasien asimptomatis
dengan VP dengan elevasi dari PROTO dan COPRO pada feses antara serangan. Hal ini
mungkin berfluktuasi selama serangan akut dan PROTO lebih banyak COPRO. Pada AIP,
porfirin feses tidak meningkat antara serangan dan biasanya hanya meningkat sedikit selama
serangan.
Histopatologi
Tidak dapat dibedakan dengan bentuk PCT
Diagnosis Banding
Diagnosis banding VP harus dilihat berdasarkan dua perspektif. Lesi kulit VP mirip
dengan PCT dan HCP termasuk penyakit bulosa dan juga kelainan fotosensitivitas. HEP juga
perlu dipikirkan, tetapi HEP biasanya mulai saat awal masa kanak-kanak dan dengan
karakteristik defisiensi aktivitas UROGEN decarboxylase dan peningkatan eritrosit PROT
juga peningkatan ISOCOPRO feses. HCP dikarakteristikan dengan peningkatan eksresi
COPRO III di urine dan feses.

19
Serangan akut nyeri abdominal dan tanda neurologis dan gejala mirip dengan AIP.
Pengobatan
Pengobatan preventif dan simptomatik pada serangan akut pada VP identik dengan yang
dideskripsikan pada AIP, termasuk menghindari obat yang mengginduksi. Sebagai kontras
dengan PCT, tidak ada bukti kelebihan besi pada VP dan phlebotomy dan antimalaria tidak
efektif.
c. Hereditary Coproporphyria
Epidemiologi
Laporan kasus pada di seluruh dunia baru menemukan 75 kasus untuk HCP. Etiologi
HCP merupakan penyakit autosomal dominan akibat penurunan aktivitas katalisasi dari
CPOX. Enzim ini berada di ruang intermembran mitokondria, dengan berat massa 74 kDa
dan mengkatalisasi konversi COPROGEN III menjadi PROTOGEN. COPROGEN III
memiliki empat kelompok karboksil dimana setiap bagian memiliki rantai samping
propionate. COPROGEN oksidase mengkatalisasi sekuensi oksidatif untuk menghilangkan
kelompok karboksil dari dua kelopmpok propionate, dan membentuk 3-carboxyl
porphyrinogen, yang dikenal sebagai (HARDEROGEN), dan 2-carboxylporphyrinogen,
dikenal sebagai PROTOGEN. CPOX dikode oleh gen dengan nama yang sama CPOX, yang
berlokasi pada kromosom 3q12.
Manifestasi klinis
Seperti pada VP, gejala klinis termasuk manifestasi kutaneus dan seragnan neurologis
yang dapat mengancam jiwa. Gejala kutaneus didapatkan kurang dari 10% kasus dan sulit
dibedakan dengan PCT dan VP (gambar 132-21). Serangan akut ini mirip dengan AIP, gejala
neuroviseral lebih didominasi pada HCP. Termasuk nyeri abdominal, muntah, konstipasi,
neuropati, dan gejala psikiatri. Agen oral glipizide dapat memicu eksaserbasi sindrom seperti-
coproporphyria yang dapat hilang dengan penghentian obat.
Temuan laboratorium
HCP dikarakteristikan dengan pengingkatan ekskresi COPRO III di urine dan feses.
Peningkatan COPRO feses (10-100 kali lipat), dengan bentuk isomer III.
Histopatologi
Tidak ada
Diagnosis banding
Pada HCP, gejala kutaneus tidak biasa dan jika timbul sering terlihat pada pasien
dengan onset kanak-kanak dan manifestasi kulit mirip dengan pasien PCT dan VP.

20
Predominan COPRO III feses mengarah pada HCP dibanding VP, dimana PROTO dan
COPRO biasanya meningkat.
Pengobatan
Sama dengan pengobatan pada AIP dan VP yang sudah dijelaskan sebelumnya.

6. PENANGANAN KASUS SUSPEK PROFIRIA


Tatalaksana penyakit ini terdiri dari kombinasi antara anamnesis (riwayat keluarga),
pemeriksaan klinis, pemeriksaan porfirin dan prekusor porfirin di urine, feses dan darah.
Gambaran kutaneus dari porfiria sangat mirip satu dengan yang lainnya. Diagnosis yang tepat
diperlukan pada porffiria karena perbedaan tatalaksana antara porfira yang sulit dibedakan
secara klinis. Pada pemeriksaan laboratorium yang lebih spesifik, prosedur diagnostik dapat
dilakukan sampai aktivitias spesifik dari enzim di eritrosit, limfosit atau fibroblas pada pasien
dan keluarga pasien. Teknik molekular memberikan informasi diagnostik yang lebih tepat
berdasarkan isolasi DNA dari darah perifer kemudian dapat dilakukan polymerase chain
reaction (PCR) dan sekuensi DNA.

Tabel 2. Temuan biokimiawi pada porfiria kutaneus

21

Anda mungkin juga menyukai