Anda di halaman 1dari 4

1.

Berikanlah pandangan anda didasarkan pada analisis yang kongkrit dalam pemahaman
dan pengaturan tentang Hak Asasi Manusia terkait adanya permintaan sejumlah
nominal yang mencapai ratusan juta oleh pelapor kepada keluarga nenek Saulina untuk
upaya damai dalam perkara tersebut! Jelaskan!

Bahwa Deklarasi HAM merupakan aturan tertulis pertama yang disepakati oleh dunia, yang
menetapkan hak-hak dasar apa saja yang melekat pada diri setiap manusia, dimana hak-hak
dasar yang melekat pada diri setiap manusia tanpa melihat status sosialnya, asal-usulnya,
kebangsaannya, warna kulitnya, kondisi fisiknya, agamanya dan lain sebagainya, yang harus
dihormati, dilindungi, dipenuhi, dan ditegakkan oleh setiap negara. Deklarasi HAM
meletakkan tiga nilai pokok, yakni penghormatan martabat manusia, kemerdekaan, dan
kesetaraan, dimana tiga nilai pokok tersebut dengan maksud menciptakan keadilan,
kedamaian, serta kemajuan umat manusia yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan. Di Indonesia sendiri, HAM sudah terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, dimana sudah ditegaskan bahwa penghormatan,
perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan (P5) Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Lebih terinci lagi dalam Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ditegaskan tentang hak-hak dasar manusia yaitu
hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak
memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan,
hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak.

Kemudian terkait dengan adanya permintaan sejumlah nominal yang mencapai ratusan juta
oleh pelapor kepada keluarga nenek Saulina untuk upaya damai dalam perkara tersebut,
seharusnya terlepas dari fakta bahwa nenek Saulina terbukti melakukan perusakan akibat
menebang pohon durian berdiameter lima inci tersebut. hal tersebut tidak perluu dilakukan
oleh pelapor, mengingat nenek Saulina merupakan seorang nenek yang sudah berusia 92
tahun. Menurut hemat saya juga bahwa, persoalan yang menimpa Nenek Saulina tersebut
menjadi pelajaran yang sangat berharga dalam dunia penegakan hukum di Indonesia, dimana
persoalan seperti yang terjadi pada Nenek Saulina atau persoalan lainnya yang sejenis, bisa
diselesaikan dengan mekanisme non-formal, dengan pendekatan restorative justice yang
merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan
dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Seperti yang sudah saya
jelaskan di atas bahwa deklarasi HAM meletakkan tiga nilai pokok, yakni penghormatan
martabat manusia, kemerdekaan, dan kesetaraan, dimana tiga nilai pokok tersebut dengan
maksud menciptakan keadilan, kedamaian, serta kemajuan umat manusia yang berlandaskan
nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Di Indonesia sendiri, HAM sudah terdapat dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dimana sudah ditegaskan
bahwa penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan (P5) Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Jika kita melihat baik
deklarasi HAM maupun aturan yang mengatur tentang HAM di Indonesia, maka sudah sangat
jelas bahwa permintaan sejumlah nominal yang mencapai ratusan juta oleh pelapor kepada
keluarga nenek Saulina untuk upaya damai dalam perkara tersebut sangat tidak masuk di akal.
Sehingga ke depan jika ada kasus seperti yang di alami oleh nenek Saulina, sudah wajib
hukumnya dilakukan dengan mekanisme non-formal, dengan pendekatan restorative
justice yang merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi
terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.

2. Analisislah vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim kepada nenek Saulina dan
keluarganya sesuai dengan tujuan hukum berdasarkan pandangan Prof. Satjipto
Rahardjo! Jelaskan!

Hukum progresif merupakan pemikiran perkembangan hukum yang digagas oleh Prof.
Satjipto Rahardjo, berpandangan bahwa hukum dibentuk untuk manusia bukan manusia untuk
hukum. Dasar pemikiran beliau bahwa kajian hukum saat ini telah mencapai ekologi dalam
yang mendasar pada pemikiran antroposentrisme. Suatu faham yang berpusat pada manusia
sehingga manusia dianggap memiliki kemampuan cipta, rasa, bahasa, karya, dan karsa sebatas
diizinkan oleh Sang Kholiq. Sehingga hukum tidak memutus maunya sendiri tanpa belajar
dari lingkungan hidup. Pandangan manusia sebagai Kholifah fil ardh menjadi dasar bahwa
Tuhan sangat memuliakan ciptaan-Nya dengan kemuliaan dan hormat. Sehingga hukum
buatan manusia seharusnya tidak mereduksi kemuliaan dan hormat sebatas yang dikatakan
dalam undang-undang. Hukum progresif memahami konsep keadilan sebagai hukum yang
benar-benar memperhatikan sumber-sumber hukum yang baru untuk tercapainya keadilan.
Sehingga tidak lagi mendasar bahwa wanita dan anak adalah subyek hukum yang paling
lemah. Bahwa lebih jauh Prof. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa membaca hukum
adalah menafsirkan hukum, karenanya penafsiran hukum merupakan jantung hukum.
Sehingga hukum yang sudah berwujud lex scripta harus menjaga kepastian hukum, bagi para
penegak hukum harus berpandangan bahwa hukum bukan sebatas gugusan norma dan
logika, tapi memandang hati nurani melalui empati, kejujuran, dan keberanian. Sehingga
prophetic Intelegence merupakan pilar progresif dengan kemampuan manusia
mentransformasikan diri dalam interaksi, sosialisasi, dan adaptasi. Hukum progresif mengarah
pada aspek moral, sehingga dalam pembentukan hukum berinkorporasi dengan nilai
dasar/prinsip moral.

Jika kita kaitkan vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim kepada nenek Saulina dan
keluarganya sesuai dengan tujuan hukum berdasarkan pandangan Prof. Satjipto Rahardjo,
maka sangat jelas terlihat bahwa pendapat Prof. Satjipto Rahardj yang berpandangan bahwa
hukum dibentuk untuk manusia bukan manusia untuk hukum, masih sangat jauh dari harapan.
Tentunya pendapat dari Prof. Satjipto Rahardjo tersebut menitikberatkan kepada ‘keadilan’.
Bahwa terdapat hal yang lebih penting dari terpenuhinya unsur pidana dalam kasus nenek
Saulina tersebut, hal tersebut adalah keadilan dalam putusan pengadilan yang dijatuhkan.
Semua orang ingin memiliki keadilan. Selain pandangan dari Prof. Satjipto Rahardjo, di
Indonesia sendiri terdapat pancasila yang merupakan norma fundamental dalam proses
penegakan hukum dimana seharusnya menjadi guiding star dalam setiap putusan hakim,
artinya bahwa dalam memutuskan suatu perkara hakim tidak seharusnya hanya melihat pada
apa yang dikatakan oleh undang-undang saja tetapi hakim juga harus menggali nilai-nilai
keadilan yang ada dalam Pancasila. Hakekat dari norma dasar adalah syarat bagi berlakunya
suatu Kontitusi, norma dasar terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau Undang-
undang Dasar. Dalam sila ke-lima Pancasila, jelas bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia yang memiliki cita hukum (rechtsidee) yakni keadilan yang dihadirkan oleh hukum
Indonesia hendaknya dapat diakses oleh seluruh lapisan masayarakat. Hal tersebut sesuai
dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 34 ayat 1 “ fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Selain itu hakim juga harus melihat nilai-
nilai keadilan yang ada dalam penegakan hukum seperti yang di kemukakan oleh Prof.
Satjipto Rahardjo. Bahwa keadilan merupakan upaya untuk menemukan keseimbangan,
persamaan, kebenaran serta memutuskan jika terdapat pelanggaran yang telah diatur secara
normalitas. Hal tersebut merupakan keadilan yang bersifat prosedural. Dengan keadilan
prosedural diharapkan keadilan substansial terwujud. tanpa adanya keadilan prosedural, maka
keadilan substansial tidak terwujud. Dan juga tanpa keadilan substansial, maka keadilan
prosedural tidak menyentuh realitas masyarakat. Keadilan merupakan konsep abstrak dalam
membentuk cara pandang. Pada akhirnya Pemerintah dalam membuat kebijakan dituntut
untuk menemukan konsep keadilan untuk kepentingan bersama, dan pengadilan dalam
memutuskan dituntut untuk menemukan keadilan dalam penerapan hukum. Bahwa dasar
seorang hakim dalam mengambil putusan adalah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhahan
Yang Maha Esa. Maka sudah selayaknya hakim dalam menjatuhkan vonis kepada Nenek
Saulina sudah dan wajib berlandaskan pada prinsip keadilan itu sendiri, sehingga nilai-nilai
keadilan dalam penegakan hukum yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo dapat
terwujud.

Sumber refrensi yang saya gunakan :

- Modul Modul Filsafat Hukum Dan Etika Profesi HKUM 4103.


- Pemikiran Hukum Progresif Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. oleh Dr. Suteki, S.H.,M.Hum,
dalam Laman http://mitrahukum.org.
- Konsep Keadilan Dalam Filsafat Hukum oleh Muhammad Helmi.

Anda mungkin juga menyukai