Bab I Pendahuluan: 1 Diakses Pada 10 Mei 2016. 2 Diakses Pada 10 Mei 2016
Bab I Pendahuluan: 1 Diakses Pada 10 Mei 2016. 2 Diakses Pada 10 Mei 2016
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit
karena di dalamnya masih banyak yang berteriak karena kelaparan dan hidup yang
tidak layak. Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan Provinsi ketiga di Indonesia yang
masih ada dalam kategori Provinsi miskin, yaitu tercatat dengan presentase
22,58%. 1 Kemiskinan yang terjadi di NTT tidak saja berada di satu titik wilayah NTT,
penduduk miskin.
Salah satu Kabupaten miskin di NTT adalah Kabupaten Kupang yang terletak di
bagian Timur Kota Kupang. Angka kemiskinan di Kabupaten Kupang dapat dikatakan
cukup tinggi, yang mana mencapai 20,06% dengan indeks keparahan kemiskinan
3,28% dan 0,78%. 2 Masih banyak masyarakat Kabupaten Kupang yang ketinggalan
dalam pendidikan dan rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM), dikarenakan tingkat
Salah satu contohnya, dapat dilihat dalam kehidupan di Desa Tuapukan. Meskipun
Desa Tuapukan bukanlah sebuah desa yang berada di pinggiran Kabupaten Kupang,
akan tetapi desa Tuapukan masih dapat dikategorikan sebagai desa yang ketinggalan
1
Tuapukan adalah desa Kristen, karena kurang lebih 85% masyarakat desa Tuapukan
adalah warga gereja GMIT Zaitun Tuapukan, dan masyarakat lainnya bergereja di
Fajar Anugerah (salah satu gereja dari dedominasi GBI) yang juga terletak di desa
Tuapukan. Dengan demikian, data kemiskinan terkait penduduk desa Tuapukan juga
dapat diperoleh dari kehidupan warga gereja GMIT Zaitun. Sebagaimana tercatat
berdasarkan hasil sensus yang dilakukan oleh Majelis Jemaat pada tahun 2014, yaitu
warga GMIT Jemaat Zaitun berjumlah sebanyak 357 KK (Kepala Keluarga) yang
terdiri dari 1.376 jiwa yakni 689 orang laki-laki dan 687 orang perempuan. Secara
umum pekerjaan warga gereja setempat, adalah 85% Penyadap Lontar dan Petani, 3
10% PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan Honor, 5% TNI dan Polri. 4
Berdasarkan data jumlah warga gereja dan pendidikan serta pekerjaan warga
gereja, maka dapat diperhatikan bahwa pekerjaan pokok yang dilakukan oleh warga
gereja setempat adalah penyedap lontar dan bertani. Hal tersebut dapat
diasumsikan, bahwa GMIT Jemaat Zaitun berada di antara mereka yang belum
atas, bahwa desa Tuapukan merupakan desa Kristen, maka meskipun di tengah
kemiskinan atau persoalan sosial lainnya, warga gereja yang juga adalah masyarakat
setempat masih dapat berpartisipasi dalam ikut serta membangun gedung ibadah
yang megah.
merupakan suatu permasalahan sosial yang kompleks. Di mana tanpa disadari ada
3 Musim panas Jemaat menyadap nira dan musim hujan mereka bekerja di kebun. Menyadap Nira
merupakan pekerjaan pokok masyarakat setempat, sehingga Desa Tuapukan terkenal sebagai Desa pabrik gula
lempeng (sejenis gula jawa atau gula merah) dan juga sebagai Desa Pohon Tuak (Lontar). Sedangkan di musim
hujan masyarakat Desa Tuapukan sering menanam jagung, singkong dan beberapa jenis sayur-sayuran.
4 Data diambil dari LPJ 2014 dalam Persidangan Majelis Jemat Zaitun Tuapukan yang diadakan pada
bulan Januari 2015.
2
dua hal yang telah berjalan bersama-sama, memiliki keterkaitan satu dengan yang
lainnya, dan memiliki pengaruh yang kuat. Hal tersebut terlihat dalam kehidupan
religiositas yang tinggi dihidupi oleh warga gereja GMIT Jemaat Zaitun, yang mana
tengah persoalan sosial seperti kemiskinan. Artinya, bahwa warga gereja berada di
tengah persoalan kemiskinan, tetapi hal tersebut tidak menjadi penghalang utama
bagi mereka untuk membangun gedung ibadah yang dianggap sebagai rumah Tuhan,
kehidupan orang Asia. 5 Dalam hal ini, Pieris menyampaikan bahwa kemiskinan dan
kereligiusan merupakan ciri khas yang dimiliki dan dihidupi di Asia. Dua hal tersebut
memiliki keterkaitan satu sama lainnya hingga memberi pengaruh yang kuat bagi
kehidupan orang Asia. Namun, sifat khas yang membedakan Asia dengan negara-
negara miskin lainnya, ialah kereligiusan yang beragam. 6 Dengan kata lain, dapat
diketahui bahwa orang Asia tidak dapat meningkatkan nilai kereligiusan mereka
apabila tidak ada keprihatinan terhadap kaum miskin di Asia, dan begitu juga
aspek kereligiusannya. Bagi Pieris, hal tersebut merupakan tantangan bagi gereja
dan kereligiusan. 6
Oleh karena itu, Pieris kembali mempertanyakan, apakah bagi orang Asia kemiskinan
secara otomatis dipahami sebagai penderitaan semata-mata? Ataukah ada nilai lain
5 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1 “Allah Penyelamat” (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 230.
6
Dister, Teologi Sistematika 1, 231.
6 Dister, Teologi Sistematika 1, 232.
3
kemiskinan dapat juga disebut suatu kebajikan? 7 Merespon pertanyaan di atas,
atau suatu kebajikan perlu disampaikan kepada warga gereja GMIT Zaitun. Artinya,
bahwa dengan
melihat gambaran singkat dari matriks teologi Asia yang diuraikan oleh Pieris, maka
ada kemungkinan hal tersebut juga secara tidak sadar dihidupi oleh warga gereja
(dalam hal ini masyarakat desa Tuapukan). Dari tahun ke tahun kemiskinan tidak
kemungkinan ada nilai lain kemiskinan dan kereligiusan yang dihidupi oleh warga
gereja. Di mana, kemungkinan tersebut memiliki pengaruh yang kuat di dalam sikap
persoalan kemiskinan.
gereja juga diberikan peluang yang besar untuk mengekspresikan segala metode
pengajaran berdasarkan doktrin gereja yang dihidupi. Di samping itu, gereja tidak
saja diberikan ruang untuk mengabarkan Injil sebagai warta keselamatan. Akan
ibadah. Adanya peluang besar bagi gereja (GMIT) untuk membangun gedung ibadah,
sehingga tidaklah mengherankan bila GMIT pada umumnya memiliki gedung ibadah
GMIT pada umumnya selalu berupaya untuk membangun gedung ibadah yang besar
dan megah meskipun mereka berada di tengah konteks kemiskinan. Hal tersebut
terjadi, karena ada kemungkinan salah satu tolok ukur yang dipakai sebagai nilai
4
keberhasilan suatu gereja, yaitu ketika gereja tersebut dapat memiliki warga gereja
yang banyak, dan berhasil menggerakkan warga gerejanya untuk bekerja sama
dalam membangun gedung ibadah yang bagus. Selain dari itu, secara umum
pembangunan gedung ibadah terjadi karena seringkali warga gereja merasa bahwa
gedung ibadah yang lama tidaklah layak dipakai dan tidak mencukupi kapasitas
jemaat yang ada, sehingga dengan kondisi ekonomi gereja yang mampu atau tidak,
kapasitas warga gereja, maka salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah
menambahkan jadwal kebaktian di hari minggu, sehingga biaya yang dipakai untuk
mengutamakan, dan berupaya untuk membangun gedung ibadah yang besar dan
umumnya, maka hal tersebut juga dilakukan oleh GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan.
GMIT Jemaat Zaitun merupakan salah satu gereja yang berada di tengah konteks
kemiskinan, dan GMIT Jemaat Zaitun juga merupakan salah satu gereja yang juga
ibadah.
Jalinan kemiskinan dan kereligiusan terjadi di desa Tuapukan. Nilai kereligiusan yang
gedung ibadah. Kemiskinan yang terjadi di desa Tuapukan tidak menjadi penghalang
bagi gereja dalam membangun gedung ibadah. Di mana gereja bersama warga
gerejanya saat ini mampu dan telah berhasil membangun gedung ibadah yang
megah dengan biaya yang cukup besar. Kurang lebih biaya yang tercatat dalam
5
proses pembangunan gedung ibadah GMIT Jemaat Zaitun saat ini, telah mencapai
8
1.470.000.000,- melebihi dari budget awal, yaitu Rp. 845.485.000,- 9 sedangkan
pembangunan ini belum benar-benar selesai. Biaya yang tercatat merupakan tolok
Salah satu alasan warga gereja antusias dalam berpartisipasi membangun gedung
gedung ibadah sebagai rumah Tuhan yang perlu dibangun dengan megah dan
diperhatikan dengan baik. 1 0 Warga gereja memahami gedung ibadah sebagai suatu
tempat yang sakral, di mana gereja tersebut menjadi ruang bagi mereka untuk
bersekutu dengan Tuhan. 1 1 Konsep rumah Tuhan dan tempat persekutuan ini
membuat warga gereja menghadirkan suatu sikap kerja sama yang baik, sehingga
dengan segala upaya hingga saat ini warga gereja telah berhasil membangun GMIT
Jemaat Zaitun menjadi gereja yang megah. Melihat fenomena demikian, maka yang
8 Data pengeluaran Pembangunan Gedung ibadah GMIT Jemaat Zaitun diperoleh berdasarkan
pembukuan yang dibuat oleh Panitia pembangunan, yaitu Laporan Pertanggungjawaban Program Kerja
Panitia Pembangunan Jemaat Zaitun Tuapukan Tahun Pelayanan 2014. Nominal Pengeluaran yang tercatat
belum termasuk pembayaran ongkos tukang, dan lainnya. Pengeluaran sebesar Rp. 1.470.000.000,-
merupakan pengeluaran pembangunan gedung ibadah yang meliputi, tahap pertama/pekerjaan galian dan
fondasi (Rp.187.818.500,-), tahap kedua/pekerjaan sloof bawah, sloof atas dan atap (Rp.384.299.625,),
tahap ketiga/pekerjaan tembok, konsistori, pembongkaran bangunan lama dan timbunan (Rp.
196.344.500,-), tahap keempat/pekerjaan lantai tempat majelis Jemaat, kusen pintu dan jendela, instalasi
listrik, plesterean, balkon dan interior (Rp. 150.000.000,-), tahap kelima/pekerjaan plafon, lantai, cat dan
kaca bagian atap depan (Rp. 300.000.000,-), dan tahap keenam/pekerjaan teras depan, menara dan
lonceng gereja (150.000.000,-).
9 Data diambil dari Proposal Kegiatan Pembangunan Gedung ibadah Jemaat Zaitun Tuapukan
pada tahun 2009.
10 Pernyataan tersebut penulis dapatkan melalui wawancara penelitian penulisan Skripsi yang
dilakukan oleh penulis pada tahun 2015.
11 Wawancara Penulisan Skripsi, 2015.
6
Pada prinsipnya, keberhasilan warga gereja dalam membangun gedung ibadah yang
megah saat ini, bukanlah suatu sikap dan tindakan yang salah. Justru jika
diperhatikan, maka gereja dan warga gerejanya perlu menerima sebuah apresiasi.
Sebab dalam keterbatasan ekonomi yang dihadapi warga gereja, tidak menutup
kemungkinan bagi gereja dan warga gereja untuk mewujudkan impian mereka dalam
memiliki gedung ibadah (baca: rumah Tuhan) yang nyaman dan bagus. Akan tetapi,
fenomena tersebut juga perlu kembali diperhatikan dengan baik oleh gereja atas
(baca:kemiskinan). Josef Widyatmadja dalam tulisannya tentang Yesus & Wong Cilik
banyak gedung ibadah, mereka telah membangun kerajaan Allah di bumi untuk
menyambut kedatangan Yesus. 1 3 Menurut hemat penulis, apa yang dituliskan oleh
Widyatmadja, merupakan suatu realitas yang juga dialami oleh GMIT pada umumnya
dan juga GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan. Dalam kehidupan bergereja maka warga
kerajaan Allah. Selain tulisan Widyatmadja, penulis juga tertarik dengan cara
12 Josef P. Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 37.
13 Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik,37.
14 Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 21.
7
tengah kemiskinan atau persoalan sosial, maka sebenarnya gereja memiliki peran
Fokus dari penelitian terhadap pembangunan gedung ibadah yang megah oleh
jemaat, tidak bermaksud merombak gedung ibadah yang sudah ada. Akan tetapi,
yang ingin diperhatikan ialah bagaimana gedung ibadah yang megah dibangun dapat
Gereja tidak saja sibuk dengan diri sendiri dan berupaya untuk meningkatkan
Melainkan, perlu adanya upaya gereja dalam meningkatkan kesadaran warga gereja
yang adalah rumah Tuhan tidaklah hanya menjadi sebuah ruang alienasi sosial warga
gereja dari realitas yang ada. Sebagaimana istilah yang digunakan oleh Karl Marx
dalam melihat agama sebagai ruang alienasi, maka ada kemungkinan bahwa gereja
bisa menjadi sebuah ruang alienasi sosial bagi warga gereja dari realitas yang
sebenarnya mereka alami. Gereja dijadikan sebagai opium bagi warga gereja. Marx
suatu zat narkotik dan halusinigenik, yang mana dapat menghilangkan rasa sakit dan
sekaligus menciptakan fantasi. 1 5 Meminjam dan melihat istilah yang digunakan oleh
Marx, maka menurut hemat penulis ada kemungkinan warga gereja zaitun melihat
gedung ibadah sebagai opium, yang mana adanya sikap antusias dalam membangun
gedung ibadah di tengah kemiskinan. Di mana dengan adanya gedung ibadah yang
15 Karl Marx, Agama sebagai Alienasi dalam Seven Theories of Religion (Yogyakarta: Qalam,
2001). 237.
8
megah, dapat mengalihkan warga gereja dari realitas yang menyatakan bahwa
Dengan demikian, sebagaimana yang dikatakan Marx tentang alienasi, dan sikap
yang dilakukan oleh warga gereja, maka gereja perlu untuk mewujudkan sebuah
teologi pembebasan. Gereja hadir di tengah dunia ini bukan memberikan ruang bagi
jemaatnya, bahkan memberikan ruang bagi mereka untuk membebaskan diri dari
Penulis melihat, bahwa fenomena yang terjadi di GMIT Jemaat Zaitun dapat
menjadi batasan masalah, ialah penulis akan melihat tentang konsep rumah Tuhan
yang dipahami dan dihidupi oleh warga gereja dalam bergereja, dan pemahaman
warga gereja akan fungsi gedung ibadah yang dibangun dengan megah meskipun di
pertanyaan penulis yang juga disampaikan sebagai judul tesis, yaitu Alienasi atau
Zaitun Tuapukan mengenai gedung ibadah yang telah dibangun? Apakah gedung
ibadah yang dibangun menjadi sebuah tempat mengasingkan diri dari kemiskinan
atau menjadi ruang pembebasan bagi mereka untuk mencari jalan keluar dari
kemiskinan? Pertanyaan tersebut tentu juga membantu gereja dan juga warga
Tuhan (baca:gedung ibadah) bagi mereka dan sekitar, sehingga tidak ada kekeliruan
9
dalam memahami konsep rumah Tuhan dalam mewujudkan kerajaan Allah bagi
dunia.
gereja dan warga gereja untuk mengatasi kemiskinan yang justru lahir dari
keberadaan gedung ibadah melalui dua hal yakni alienasi dan pembebasan, maka
GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan, yaitu apakah warga gereja hanya menjadikan gedung
ibadah sebagai ruang alienasi sosial atau sebagai ruang pembebasan dari
kemiskinan.
Oleh karena itu, dengan kegelisahan yang masih mengusik dalam benak penulis
melalui penelitian ini dapat memberikan manfaat baik, yaitu dapat mengarahkan
warga gereja untuk mengetahui fungsi gedung ibadah, dan membantu menemukan
solusi yang baik secara kontekstual bagi gereja dan juga warga gerejanya, sehingga
gereja yang adalah utusan Allah mampu mewujudkan kerajaan Allah melalui
10
(pengamatan). Wawancara terbuka merupakan tipe wawancara yang berjalan secara
Dalam melakukan wawancara terbuka, para informan tidak dijadikan sebagai objek
Alasan penulis memilih pendekatan kualitatif, karena dengan pendekatan ini tidak
realitas. Sehingga dalam proses penelitian, maka peneliti dan informan tidak
memperoleh data, penulis juga akan melakukan pengamatan atau observasi pada
tempat penelitian. Untuk itu, yang menjadi informan dalam penelitian adalah warga
gereja GMIT Zaitun, yakni yang melingkup beberapa kategorial yang ada dalam
struktural gereja. Alasan pemilihan informan berdasarkan kategorial, agar data yang
pertanyaan penelitian yang dimaksud. Selain itu, juga membantu penulis untuk
Penulis memilih Desa Tuapukan khususnya GMIT Jemaat Zaitun sebagai tempat
hemat penulis, ada banyak tugas yang perlu dilakukan oleh gereja dalam merespon
kemiskinan dan juga memberikan kesadaran kepada warga gereja untuk melihat
gereja memiliki potensi untuk memandirikan diri dan terlepas dari persoalan sosial
persoalan pembangunan gereja yang bagi mereka adalah rumah Tuhan. Di samping
11
itu, hal-hal yang selalu menjadi pandangan utama warga gereja ialah semua yang
berbau gerejawi. Hal tersebutlah yang menjadi alasan penulis melakukan penelitian
di Desa Tuapukan khususnya GMIT Jemaat Zaitun, karena yang ingin digali oleh
penulis, yaitu sejauh mana yang dipahami dan dihidupi oleh warga gereja tentang
rumah Tuhan.
Bab 1: Pendahuluan
Pada bagian ini akan berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
Pada bagian ini penulis akan menguraikan konsep teori yang berkaitan dengan konsep
alienasi dan pembebasan berdasarkan teori Karl Marx dan Gustavo Guiterrez, dan juga
gedung ibadah.
Pada bagian ini, penulis akan menganalisis data-data berdasarkan hasil yang diperoleh dari
lapangan. Setelah itu, penulis juga aka melihat data penelitian dengan konsep teori yang
telah dipahami sehingga dapat menemukan titik terang terkait konsep alienasi dan
Tuapukan
Pada bagian ini akan berisikan tentang analisis yang dilakukan oleh penulis secara kritis
atas data penelitian yang diperoleh dan teori yang diuraikan, sehingga dengan
12
mengevaluasi konsep teori yang telah disajikan dan data penelitan, maka akan kembali
Bab 5: Kesimpulan
Pada bagian terakhir, penulis akan menyimpulkan secara menyeluruh dari penulisan ini,
dan juga penulis akan menyajikan beberapa saran yang dapat membantu warga GMIT
Jemaat Zaitun dalam menemukan fungsi gedung ibadah dan solusi untuk menyelesaikan
persoalan kemiskinan.
13