Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Kemiskinan merupakan salah satu persoalan sosial yang hingga saat ini masih sulit

ditanggulangi dan diselesaikan. Indonesia masih dikatakan sebagai Negara miskin,

karena di dalamnya masih banyak yang berteriak karena kelaparan dan hidup yang

tidak layak. Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan Provinsi ketiga di Indonesia yang

masih ada dalam kategori Provinsi miskin, yaitu tercatat dengan presentase

22,58%. 1 Kemiskinan yang terjadi di NTT tidak saja berada di satu titik wilayah NTT,

tetapi mencakup beberapa wilayah atau Kabupaten yang tergolong daerah

penduduk miskin.

Salah satu Kabupaten miskin di NTT adalah Kabupaten Kupang yang terletak di

bagian Timur Kota Kupang. Angka kemiskinan di Kabupaten Kupang dapat dikatakan

cukup tinggi, yang mana mencapai 20,06% dengan indeks keparahan kemiskinan

3,28% dan 0,78%. 2 Masih banyak masyarakat Kabupaten Kupang yang ketinggalan

dalam pendidikan dan rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM), dikarenakan tingkat

kemiskinan yang cukup tinggi dihadapi.

Hampir di setiap sudut Kabupaten Kupang dapat ditemukan penduduk miskin.

Salah satu contohnya, dapat dilihat dalam kehidupan di Desa Tuapukan. Meskipun

Desa Tuapukan bukanlah sebuah desa yang berada di pinggiran Kabupaten Kupang,

akan tetapi desa Tuapukan masih dapat dikategorikan sebagai desa yang ketinggalan

dalam pendidikan dan rendahnya SDM karena persoalan kemiskinan. Desa

1 http://ideas-aceh.org/10-provinsi-termiskin-di-indonesia/ diakses pada 10 Mei 2016.


2 http://www.zonalinenews.com/2016/03/kemiskinan-di-kabupaten-kupang-cukup-tinggi/ diakses
pada 10 Mei 2016.

1
Tuapukan adalah desa Kristen, karena kurang lebih 85% masyarakat desa Tuapukan

adalah warga gereja GMIT Zaitun Tuapukan, dan masyarakat lainnya bergereja di

gereja Kristen Katolik dan juga gereja

Fajar Anugerah (salah satu gereja dari dedominasi GBI) yang juga terletak di desa

Tuapukan. Dengan demikian, data kemiskinan terkait penduduk desa Tuapukan juga

dapat diperoleh dari kehidupan warga gereja GMIT Zaitun. Sebagaimana tercatat

berdasarkan hasil sensus yang dilakukan oleh Majelis Jemaat pada tahun 2014, yaitu

warga GMIT Jemaat Zaitun berjumlah sebanyak 357 KK (Kepala Keluarga) yang

terdiri dari 1.376 jiwa yakni 689 orang laki-laki dan 687 orang perempuan. Secara

umum pekerjaan warga gereja setempat, adalah 85% Penyadap Lontar dan Petani, 3

10% PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan Honor, 5% TNI dan Polri. 4

Berdasarkan data jumlah warga gereja dan pendidikan serta pekerjaan warga

gereja, maka dapat diperhatikan bahwa pekerjaan pokok yang dilakukan oleh warga

gereja setempat adalah penyedap lontar dan bertani. Hal tersebut dapat

diasumsikan, bahwa GMIT Jemaat Zaitun berada di antara mereka yang belum

mengalami perubahan sosial terkait persoalan ekonomi. Sebagaimana dikatakan di

atas, bahwa desa Tuapukan merupakan desa Kristen, maka meskipun di tengah

kemiskinan atau persoalan sosial lainnya, warga gereja yang juga adalah masyarakat

setempat masih dapat berpartisipasi dalam ikut serta membangun gedung ibadah

yang megah.

Fenomena kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Kupang khususnya desa Tuapukan,

merupakan suatu permasalahan sosial yang kompleks. Di mana tanpa disadari ada

3 Musim panas Jemaat menyadap nira dan musim hujan mereka bekerja di kebun. Menyadap Nira
merupakan pekerjaan pokok masyarakat setempat, sehingga Desa Tuapukan terkenal sebagai Desa pabrik gula
lempeng (sejenis gula jawa atau gula merah) dan juga sebagai Desa Pohon Tuak (Lontar). Sedangkan di musim
hujan masyarakat Desa Tuapukan sering menanam jagung, singkong dan beberapa jenis sayur-sayuran.
4 Data diambil dari LPJ 2014 dalam Persidangan Majelis Jemat Zaitun Tuapukan yang diadakan pada
bulan Januari 2015.

2
dua hal yang telah berjalan bersama-sama, memiliki keterkaitan satu dengan yang

lainnya, dan memiliki pengaruh yang kuat. Hal tersebut terlihat dalam kehidupan

religiositas yang tinggi dihidupi oleh warga gereja GMIT Jemaat Zaitun, yang mana

mampu menghadirkan sikap dalam membangun gedung ibadah yang megah di

tengah persoalan sosial seperti kemiskinan. Artinya, bahwa warga gereja berada di

tengah persoalan kemiskinan, tetapi hal tersebut tidak menjadi penghalang utama

bagi mereka untuk membangun gedung ibadah yang dianggap sebagai rumah Tuhan,

dan menjadi tempat persekutuan antara mereka dengan Tuhan.

Aloysius Pieris melihat kereligiusan dan kemiskinan sebagai matriks teologi di

kehidupan orang Asia. 5 Dalam hal ini, Pieris menyampaikan bahwa kemiskinan dan

kereligiusan merupakan ciri khas yang dimiliki dan dihidupi di Asia. Dua hal tersebut

memiliki keterkaitan satu sama lainnya hingga memberi pengaruh yang kuat bagi

kehidupan orang Asia. Namun, sifat khas yang membedakan Asia dengan negara-

negara miskin lainnya, ialah kereligiusan yang beragam. 6 Dengan kata lain, dapat

diketahui bahwa orang Asia tidak dapat meningkatkan nilai kereligiusan mereka

apabila tidak ada keprihatinan terhadap kaum miskin di Asia, dan begitu juga

kemiskinan di Asia tidak dapat ditanggulangi apabila tidak mempertimbangkan

aspek kereligiusannya. Bagi Pieris, hal tersebut merupakan tantangan bagi gereja

Asia dalam menemukan suatu titik tersembunyi yang mempertautkan kemiskinan

dan kereligiusan. 6

Oleh karena itu, Pieris kembali mempertanyakan, apakah bagi orang Asia kemiskinan

secara otomatis dipahami sebagai penderitaan semata-mata? Ataukah ada nilai lain

kemiskinan, yang potensial mendukung upaya memperoleh keselamatan, sehingga

5 Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1 “Allah Penyelamat” (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 230.
6
Dister, Teologi Sistematika 1, 231.
6 Dister, Teologi Sistematika 1, 232.

3
kemiskinan dapat juga disebut suatu kebajikan? 7 Merespon pertanyaan di atas,

maka menurut hemat penulis pertanyaan terkait kemiskinan sebagai penderitaan

atau suatu kebajikan perlu disampaikan kepada warga gereja GMIT Zaitun. Artinya,

bahwa dengan

melihat gambaran singkat dari matriks teologi Asia yang diuraikan oleh Pieris, maka

ada kemungkinan hal tersebut juga secara tidak sadar dihidupi oleh warga gereja

(dalam hal ini masyarakat desa Tuapukan). Dari tahun ke tahun kemiskinan tidak

begitu direspon dengan baik, sedangkan peningkatan nilai religius semakin

dipertahankan di tengah konteks kemiskinan. Hal ini menujukkan, bahwa

kemungkinan ada nilai lain kemiskinan dan kereligiusan yang dihidupi oleh warga

gereja. Di mana, kemungkinan tersebut memiliki pengaruh yang kuat di dalam sikap

pembangunan gedung ibadah (baca:rumah Tuhan) dibandingkan memperhatikan

persoalan kemiskinan.

Gereja yang mengabarkan Injil di tengah Kekristenan, maka dengan sendirinya

gereja juga diberikan peluang yang besar untuk mengekspresikan segala metode

pengajaran berdasarkan doktrin gereja yang dihidupi. Di samping itu, gereja tidak

saja diberikan ruang untuk mengabarkan Injil sebagai warta keselamatan. Akan

tetapi, gereja juga diberikan kesempatan dengan mudah membangun gedung

ibadah. Adanya peluang besar bagi gereja (GMIT) untuk membangun gedung ibadah,

sehingga tidaklah mengherankan bila GMIT pada umumnya memiliki gedung ibadah

yang besar dan megah.

GMIT pada umumnya selalu berupaya untuk membangun gedung ibadah yang besar

dan megah meskipun mereka berada di tengah konteks kemiskinan. Hal tersebut

terjadi, karena ada kemungkinan salah satu tolok ukur yang dipakai sebagai nilai

7 Dister, Teologi Sistematika 1, 232.

4
keberhasilan suatu gereja, yaitu ketika gereja tersebut dapat memiliki warga gereja

yang banyak, dan berhasil menggerakkan warga gerejanya untuk bekerja sama

dalam membangun gedung ibadah yang bagus. Selain dari itu, secara umum

pembangunan gedung ibadah terjadi karena seringkali warga gereja merasa bahwa

gedung ibadah yang lama tidaklah layak dipakai dan tidak mencukupi kapasitas

jemaat yang ada, sehingga dengan kondisi ekonomi gereja yang mampu atau tidak,

pembangunan gedung ibadah akan tetap diupayakan. Padahal, berbicara mengenai

kapasitas warga gereja, maka salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah

menambahkan jadwal kebaktian di hari minggu, sehingga biaya yang dipakai untuk

pembangunan dapat digunakan dalam penanggulangan persoalan kemiskinan.

Fenomena pembangunan gedung ibadah di GMIT, terkesan seperti perlombaan. Hal

tersebut dikatakan suatu perlombaan, karena gereja-gereja selalu berpikir,

mengutamakan, dan berupaya untuk membangun gedung ibadah yang besar dan

megah. Sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan bergereja di GMIT pada

umumnya, maka hal tersebut juga dilakukan oleh GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan.

GMIT Jemaat Zaitun merupakan salah satu gereja yang berada di tengah konteks

kemiskinan, dan GMIT Jemaat Zaitun juga merupakan salah satu gereja yang juga

berupaya dalam membangun gedung

ibadah.

Jalinan kemiskinan dan kereligiusan terjadi di desa Tuapukan. Nilai kereligiusan yang

tinggi memampukan warga gereja untuk tetap berpartisipasi dalam membangun

gedung ibadah. Kemiskinan yang terjadi di desa Tuapukan tidak menjadi penghalang

bagi gereja dalam membangun gedung ibadah. Di mana gereja bersama warga

gerejanya saat ini mampu dan telah berhasil membangun gedung ibadah yang

megah dengan biaya yang cukup besar. Kurang lebih biaya yang tercatat dalam

5
proses pembangunan gedung ibadah GMIT Jemaat Zaitun saat ini, telah mencapai

85% dalam penyelesaian pembangunan dengan menghabiskan biaya sebesar Rp.

8
1.470.000.000,- melebihi dari budget awal, yaitu Rp. 845.485.000,- 9 sedangkan

pembangunan ini belum benar-benar selesai. Biaya yang tercatat merupakan tolok

ukur kemewahan sebuah Gedung ibadah.

Salah satu alasan warga gereja antusias dalam berpartisipasi membangun gedung

ibadah meskipun di tengah kekurangn ekonomi, karena warga gereja melihat

gedung ibadah sebagai rumah Tuhan yang perlu dibangun dengan megah dan

diperhatikan dengan baik. 1 0 Warga gereja memahami gedung ibadah sebagai suatu

tempat yang sakral, di mana gereja tersebut menjadi ruang bagi mereka untuk

bersekutu dengan Tuhan. 1 1 Konsep rumah Tuhan dan tempat persekutuan ini

membuat warga gereja menghadirkan suatu sikap kerja sama yang baik, sehingga

dengan segala upaya hingga saat ini warga gereja telah berhasil membangun GMIT

Jemaat Zaitun menjadi gereja yang megah. Melihat fenomena demikian, maka yang

menjadi pertanyaan, ialah apakah kehadiran gereja hanya untuk memperlihatkan

simbol-simbol ataukah untuk mengembangkan ekonomi dan pendidikan warga

gereja dan untuk membantu mengatasi persoalan sosial?

8 Data pengeluaran Pembangunan Gedung ibadah GMIT Jemaat Zaitun diperoleh berdasarkan
pembukuan yang dibuat oleh Panitia pembangunan, yaitu Laporan Pertanggungjawaban Program Kerja
Panitia Pembangunan Jemaat Zaitun Tuapukan Tahun Pelayanan 2014. Nominal Pengeluaran yang tercatat
belum termasuk pembayaran ongkos tukang, dan lainnya. Pengeluaran sebesar Rp. 1.470.000.000,-
merupakan pengeluaran pembangunan gedung ibadah yang meliputi, tahap pertama/pekerjaan galian dan
fondasi (Rp.187.818.500,-), tahap kedua/pekerjaan sloof bawah, sloof atas dan atap (Rp.384.299.625,),
tahap ketiga/pekerjaan tembok, konsistori, pembongkaran bangunan lama dan timbunan (Rp.
196.344.500,-), tahap keempat/pekerjaan lantai tempat majelis Jemaat, kusen pintu dan jendela, instalasi
listrik, plesterean, balkon dan interior (Rp. 150.000.000,-), tahap kelima/pekerjaan plafon, lantai, cat dan
kaca bagian atap depan (Rp. 300.000.000,-), dan tahap keenam/pekerjaan teras depan, menara dan
lonceng gereja (150.000.000,-).
9 Data diambil dari Proposal Kegiatan Pembangunan Gedung ibadah Jemaat Zaitun Tuapukan
pada tahun 2009.
10 Pernyataan tersebut penulis dapatkan melalui wawancara penelitian penulisan Skripsi yang
dilakukan oleh penulis pada tahun 2015.
11 Wawancara Penulisan Skripsi, 2015.

6
Pada prinsipnya, keberhasilan warga gereja dalam membangun gedung ibadah yang

megah saat ini, bukanlah suatu sikap dan tindakan yang salah. Justru jika

diperhatikan, maka gereja dan warga gerejanya perlu menerima sebuah apresiasi.

Sebab dalam keterbatasan ekonomi yang dihadapi warga gereja, tidak menutup

kemungkinan bagi gereja dan warga gereja untuk mewujudkan impian mereka dalam

memiliki gedung ibadah (baca: rumah Tuhan) yang nyaman dan bagus. Akan tetapi,

fenomena tersebut juga perlu kembali diperhatikan dengan baik oleh gereja atas

keberadaannya di tengah konteks warga gereja yang mengalami persoalan sosial

(baca:kemiskinan). Josef Widyatmadja dalam tulisannya tentang Yesus & Wong Cilik

mengatakan bahwa, gereja-gereja di kota besar berlomba-lomba membangun

gedung ibadah yang megah sambil mengabaikan keadaan makin meluasnya

kemiskinan dan ketidakadilan. 1 2 Gereja sering berpikir bahwa dengan membangun

banyak gedung ibadah, mereka telah membangun kerajaan Allah di bumi untuk

menyambut kedatangan Yesus. 1 3 Menurut hemat penulis, apa yang dituliskan oleh

Widyatmadja, merupakan suatu realitas yang juga dialami oleh GMIT pada umumnya

dan juga GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan. Dalam kehidupan bergereja maka warga

gereja memahami, bahwa dengan membangun gedung ibadah berarti membangun

kerajaan Allah. Selain tulisan Widyatmadja, penulis juga tertarik dengan cara

berpikir seorang teolog pembebasan, yaitu Gustavo Gutierrez. Di mana dalam

upaya menyuarakan pembebasan di tengah kemiskinan yang terjadi di Amerika

Latin, Gutierrez secara kritis menyampaikan, bahwa gereja seharusnya dapat

mewujudkan diri dalam memproklamasikan karya pembebasan Kristus di tengah-

tengah sejarah kemiskinan dan penindasan, atau menjadi perutusan pembebasan

terhadap kemiskinan. 1 4 Dengan kata lain, Guterrez ingin menyampaikan bahwa di

12 Josef P. Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 37.
13 Widyatmadja, Yesus & Wong Cilik,37.
14 Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 21.

7
tengah kemiskinan atau persoalan sosial, maka sebenarnya gereja memiliki peran

penting dalam memberikan perubahan sosial atau memberikan pembebasan bagi

mereka yang masih membiarkan diri terbelenggu dalam kemiskinan.

Fokus dari penelitian terhadap pembangunan gedung ibadah yang megah oleh

jemaat, tidak bermaksud merombak gedung ibadah yang sudah ada. Akan tetapi,

yang ingin diperhatikan ialah bagaimana gedung ibadah yang megah dibangun dapat

digunakan untuk memerangi kemiskinan sebagaimana realitas yang dihidupi oleh

masyarakat (dalam hal ini juga warga gereja) desa Tuapukan.

Gereja tidak saja sibuk dengan diri sendiri dan berupaya untuk meningkatkan

kesadaran warga gereja akan partisipasi pembangunan gedung ibadah saja.

Melainkan, perlu adanya upaya gereja dalam meningkatkan kesadaran warga gereja

untuk berjuang meniadakan kemiskinan dalam kehidupan mereka, sehingga gereja

yang adalah rumah Tuhan tidaklah hanya menjadi sebuah ruang alienasi sosial warga

gereja dari realitas yang ada. Sebagaimana istilah yang digunakan oleh Karl Marx

dalam melihat agama sebagai ruang alienasi, maka ada kemungkinan bahwa gereja

bisa menjadi sebuah ruang alienasi sosial bagi warga gereja dari realitas yang

sebenarnya mereka alami. Gereja dijadikan sebagai opium bagi warga gereja. Marx

menggunakan istilah opium, karena menurut sepengatahuan Marx, opium adalah

suatu zat narkotik dan halusinigenik, yang mana dapat menghilangkan rasa sakit dan

sekaligus menciptakan fantasi. 1 5 Meminjam dan melihat istilah yang digunakan oleh

Marx, maka menurut hemat penulis ada kemungkinan warga gereja zaitun melihat

gedung ibadah sebagai opium, yang mana adanya sikap antusias dalam membangun

gedung ibadah di tengah kemiskinan. Di mana dengan adanya gedung ibadah yang

15 Karl Marx, Agama sebagai Alienasi dalam Seven Theories of Religion (Yogyakarta: Qalam,
2001). 237.

8
megah, dapat mengalihkan warga gereja dari realitas yang menyatakan bahwa

mereka ada dalam persoalan kemiskinan.

Dengan demikian, sebagaimana yang dikatakan Marx tentang alienasi, dan sikap

yang dilakukan oleh warga gereja, maka gereja perlu untuk mewujudkan sebuah

teologi pembebasan. Gereja hadir di tengah dunia ini bukan memberikan ruang bagi

jemaatnya untuk mengasingkan diri. Melainkan gereja hadir untuk menolong

jemaatnya, bahkan memberikan ruang bagi mereka untuk membebaskan diri dari

setiap pergumulan dan persoalan yang dihadapi.

Penulis melihat, bahwa fenomena yang terjadi di GMIT Jemaat Zaitun dapat

memberikan suatu penjabaran permasalahan yang meluas. Dengan begitu, yang

menjadi batasan masalah, ialah penulis akan melihat tentang konsep rumah Tuhan

yang dipahami dan dihidupi oleh warga gereja dalam bergereja, dan pemahaman

warga gereja akan fungsi gedung ibadah yang dibangun dengan megah meskipun di

tengah persoalan kemiskinan. Penulis berharap penelitian ini dapat menjawab

pertanyaan penulis yang juga disampaikan sebagai judul tesis, yaitu Alienasi atau

Pembebasan? “Studi mengenai Perspektif GMIT

Jemaat Zaitun Tuapukan terhadap Pembangunan Gedung Ibadah”

Pertanyaan penelitian penulis, yaitu bagaimana pandangan warga GMIT jemaat

Zaitun Tuapukan mengenai gedung ibadah yang telah dibangun? Apakah gedung

ibadah yang dibangun menjadi sebuah tempat mengasingkan diri dari kemiskinan

atau menjadi ruang pembebasan bagi mereka untuk mencari jalan keluar dari

kemiskinan? Pertanyaan tersebut tentu juga membantu gereja dan juga warga

gereja untuk kembali berefleksi dengan mempertanyakan kembali fungsi rumah

Tuhan (baca:gedung ibadah) bagi mereka dan sekitar, sehingga tidak ada kekeliruan

9
dalam memahami konsep rumah Tuhan dalam mewujudkan kerajaan Allah bagi

dunia.

Tujuan penulis dalam memperhatikan fenomena di GMIT Zaitun Tuapukan, yaitu

mendeskripsikan pemahaman warga gereja tentang pemanfaatan gedung ibadah

sebagai media untuk penyelesaian persoalan kemiskinan. Penulis juga bertujuan

mengidentifikasi model-model tindakan yang sudah, sedang, dan akan dilakukan

gereja dan warga gereja untuk mengatasi kemiskinan yang justru lahir dari

pemanfaatan yang benar tentang gedung ibadah. Dengan mendeskripsikan

keberadaan gedung ibadah melalui dua hal yakni alienasi dan pembebasan, maka

dengan begitu akan memperlihatkan secara jelas mengenai kehidupan bergereja di

GMIT Jemaat Zaitun Tuapukan, yaitu apakah warga gereja hanya menjadikan gedung

ibadah sebagai ruang alienasi sosial atau sebagai ruang pembebasan dari

kemiskinan.

Oleh karena itu, dengan kegelisahan yang masih mengusik dalam benak penulis

terkait pembangunan gedung ibadah di tengah kemiskinan, maka penulis berharap

melalui penelitian ini dapat memberikan manfaat baik, yaitu dapat mengarahkan

warga gereja untuk mengetahui fungsi gedung ibadah, dan membantu menemukan

solusi yang baik secara kontekstual bagi gereja dan juga warga gerejanya, sehingga

gereja yang adalah utusan Allah mampu mewujudkan kerajaan Allah melalui

realisasi perubahan sosial bagi dunia khususnya Desa Tuapukan.

II. METODE PENELITIAN

Untuk itu, agar penulis dapat menemukan jawaban-jawaban atas

pertanyaanpertanyaan penelitian, dan memenuhi suatu karya ilmiah yang valid,

maka penulis akan melakukan penelitian lapangan. Penulis akan menggunakan

pendekatan Kualitatif dengan cara melakukan wawancara terbuka dan observasi

10
(pengamatan). Wawancara terbuka merupakan tipe wawancara yang berjalan secara

santai dan tidak menggunakan bahasa ataupun pertanyaan-pertanyaan yang kaku. 1 6

Dalam melakukan wawancara terbuka, para informan tidak dijadikan sebagai objek

penelitian melainkan sebagai subjek. 1 8

Alasan penulis memilih pendekatan kualitatif, karena dengan pendekatan ini tidak

membatasi informan dalam menyampaikan pemahaman mereka tentang gereja dan

realitas. Sehingga dalam proses penelitian, maka peneliti dan informan tidak

merasa canggung dalam berbincang. Selain menggunakan wawacanra terbuka untuk

memperoleh data, penulis juga akan melakukan pengamatan atau observasi pada

tempat penelitian. Untuk itu, yang menjadi informan dalam penelitian adalah warga

gereja GMIT Zaitun, yakni yang melingkup beberapa kategorial yang ada dalam

struktural gereja. Alasan pemilihan informan berdasarkan kategorial, agar data yang

diperoleh juga berdasarkan suara yang seimbang. Sehingga akan semakin

memperjelas dan memperkaya data yang dibutuhkan oleh peneliti terkait

pertanyaan penelitian yang dimaksud. Selain itu, juga membantu penulis untuk

semakin lebih tajam melakukan analisis dari data yang diperoleh.

Penulis memilih Desa Tuapukan khususnya GMIT Jemaat Zaitun sebagai tempat

penelitian, dikarenakan adanya kegelisahan yang mengusik pikiran penulis. Menurut

hemat penulis, ada banyak tugas yang perlu dilakukan oleh gereja dalam merespon

kemiskinan dan juga memberikan kesadaran kepada warga gereja untuk melihat

keberadaan mereka di tengah kemiskinan. Artinya, bahwa penulis melihat warga

gereja memiliki potensi untuk memandirikan diri dan terlepas dari persoalan sosial

seperti kemiskinan. Namun, warga gereja lebih nyaman untuk mempersoalkan

persoalan pembangunan gereja yang bagi mereka adalah rumah Tuhan. Di samping

16 John Mansford, Meneliti Jemaat (Jakarta: PT. Grasindo, 1997), 96.


18
Mansford, Meneliti Jemaat, 96.

11
itu, hal-hal yang selalu menjadi pandangan utama warga gereja ialah semua yang

berbau gerejawi. Hal tersebutlah yang menjadi alasan penulis melakukan penelitian

di Desa Tuapukan khususnya GMIT Jemaat Zaitun, karena yang ingin digali oleh

penulis, yaitu sejauh mana yang dipahami dan dihidupi oleh warga gereja tentang

rumah Tuhan.

III. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab 1: Pendahuluan

Pada bagian ini akan berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

dan alasan penelitian, dan metode penelitian

Bab 2: Gereja dalam Konteks Kemiskinan, Alienasi, dan Pembebasan

Pada bagian ini penulis akan menguraikan konsep teori yang berkaitan dengan konsep

alienasi dan pembebasan berdasarkan teori Karl Marx dan Gustavo Guiterrez, dan juga

penulis akan memperlihatkan hal-hal terkait kemiskinan serta konsep pembangunan

gedung ibadah.

Bab 3: Pembangunan Gedung Ibadah di Tengah Konteks Kemiskinan

Pada bagian ini, penulis akan menganalisis data-data berdasarkan hasil yang diperoleh dari

lapangan. Setelah itu, penulis juga aka melihat data penelitian dengan konsep teori yang

telah dipahami sehingga dapat menemukan titik terang terkait konsep alienasi dan

pembebasan yang terjadi di GMIT Jemaat Zaitun.

Bab 4: Gedung Ibadah sebagai Pusat Kehidupan Bergereja di GMIT Zaitun

Tuapukan

Pada bagian ini akan berisikan tentang analisis yang dilakukan oleh penulis secara kritis

atas data penelitian yang diperoleh dan teori yang diuraikan, sehingga dengan
12
mengevaluasi konsep teori yang telah disajikan dan data penelitan, maka akan kembali

mempertajam serta menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian.

Bab 5: Kesimpulan

Pada bagian terakhir, penulis akan menyimpulkan secara menyeluruh dari penulisan ini,

dan juga penulis akan menyajikan beberapa saran yang dapat membantu warga GMIT

Jemaat Zaitun dalam menemukan fungsi gedung ibadah dan solusi untuk menyelesaikan

persoalan kemiskinan.

13

Anda mungkin juga menyukai