Anda di halaman 1dari 5

Asbabul Nuzul ayat di bawah ini:

Menurut Ibnu Katsir: Ini merupakan perintah dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-
Nya melalui lisan Nabi-Nya, Muhammad, yaitu jika mereka akan membaca al-Qur’an, maka
hendaklah mereka meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Perintah
ini bersifat anjuran, bukan kewajiban. Kesepakatan mengenai hal itu diceritakan oleh Abu
Ja’far bin Jarir dan imam-imam lainnya. Hadits yang berkenaan dengan permohonan
perlindungan ini telah kami kemukakan sebelumnya pada pembahasan pertama. Segala puji
dan sanjungan hanya milik Allah.

Firman-Nya yang artinya (“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasannya atas
orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya.”) Ats-Tsauri mengatakan
bahwa syaitan itu tidak memiliki kekuasaan atas mereka (orang yang beriman dan
bertawakkal kepada Rabbnya) untuk menjatuhkan mereka ke dalam dosa yang mereka tidak
bisa bertaubat darinya. Sedangkan yang lainnya mengatakan, artinya, tidak ada hujjah bagi
syaitan atas mereka. Yang lain lagi mengatakan, yang demikian itu sama seperti firman-Nya:
“Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlish di antara mereka.” (QS. Al-Hijr: 40).

(“Sesungguhnya kekuasaannya [syaitan] banyalah atas orang-orang yang


menjadikannya sebagai pemimpin.”) Mujahid mengatakan: “Yakni, mentaatinya [syaitan].”
Ulama lainnya mengatakan: “Mereka menjadikannya sebagai pelindung selain Allah:
walladziina Hum biHii musyrikuun (“Dan atas orang-orang yang mempersekutukannya
dengan Allah.”) Maksudnya, mereka menyekutukan syaitan dalam beribadah kepada Allah
Ta’ala. Huruf ba’ bisa jadi sebagai ba’ sababiyyah, artinya, karena ketaatan mereka kepada
syaitan, mereka menjadi musyrik kepada Allah Ta’ala.
Uama lainnya mengatakan bahwa artinya, syaitan itu bersekutu dengan mereka dalam harta
benda dan anak-anak.

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg.


BANGSAONLINE.com - Fa-idzaa qara/ta alqur-aana faista’idz biallaahi mina
alsysyaythaani alrrajiimi.
Ayat sebelumnya bertutur orang yang beramal baik dan beriman, tak pandang pria
maupun wanita, akan diberi servis kehidupan yang amat bagus di dunia dan kelak di akhirat
mendapat pembalasan fantastis. Ayat 97 ini turun sebagai jawaban atas sekelompok orang
Yahudi yang merasa lebih tinggi derajatnya karena punya kitab al-Taurah. Begitu halnya
orang-orang Nasrani karena kitab al-Injil dan tidak mau kalah para penyembah Berhala
dengan berhala bikinannya. Tak ada yang mau mengalah, lalu ayat ini turun memberikan
panduan.
Berprestasi, seperti yang dicanang pada ayat tersebut, agar tidak sembarang prestasi,
maka ayat studi ini (98) menyajikan kitab suci al-qur'an untuk dibaca, dipahami dan
diamalkan dengan terlebih dahulu memohon perlindungan kepada Tuhan dari gangguan
syetan yang terkutuk, yang selanjutnya kita istilahkan dengan "isti'adzah" atau "ta'awwudz".
Kenapa harus baca isti'adzah, tidak baca basmalah?
Ada dua dalil pengantar pembacaan: Pertama, "iqra bi ismi rabbik", bacalah - diawali
- dengan menyebut nama Tuhanmu. (al-‘Alaq:1). Ism Rabbik itu pastilah basmalah,
"bismillah ar-rahman al-rahim". Fakhruddin al-Razy berpihak pada dalil ini. Kedua, ayat
studi ini, "fa idza qara't al-qur'an fa ista'idz bi Allah..". Kata "fa ista'idz" pastilah isti'adzah,
bukan basmalah. Mayoritas mufassirin berpihak pada dalil ini. Ada solusi?
Dikompromikan saja dengan memposisikan sasaran masing-masing ayat. Ayat satu
al-'Alaq tersebut berobyek pada pembacaan secara umum, membaca apa saja, termasuk
membaca fenomena. Hal itu nampak dengan tidak adanya obyek yang ditunjuk secara tegas.
Al-maf'ul bih dibuang untuk mengesankan perintah umum.
Sedangkan pada ayat studi ini, obyek (al-maf'ul bih) ditunjuk secara khusus, yakni
"al-qur'an" (fa idza qara'ta al-qur'an..). Jadinya, khusus membaca al-qur'an pakai bacaan
antaran "isti'adzah". Dengan langkah al-jam' ini, masing-masing ayat berfungsi dan tidak
kontradiktif. Jika mau enak, ya baca saja keduanya, isti'adzah dulu baru basmalah. Jika harus
dipilih salah satu, maka mengawali baca al-qur'an sebaiknya pakai isti'adzah. Itu, bila
pembacaan dilakukan di luar shalat.
Anda menjadi imam dan setelah membaca al-fatihah mau membaca potongan ayat,
(ayat di tengah surah), maka baca langsung saja, tanpa isti'adzah dan tanpa basmalah. Jika
yang dibaca mulai awal surah, maka bacalah basmalah lebih dulu tanpa isti'adzah. Begitu
anjuran madzhab syafi'iy. Tapi bagi madzhab Mailiky tidak. Langsung saja membaca awal
surah. Misalnya, Qul huw Allah ahad... dst.", tanpa basmalah lebih dahulu.
Kenapa lebih diutamakan membaca isti'adzah daripada membaca basmalah dalam
mengawali baca al-Qur'an? Hal itu, antara lain karena:
Pertama, komunitas Syetan sungguh membenci ada ayat al-Qur'an dibaca. Syetan
berupaya sekuat tenaga dan berjuang habis-habis menajuhkan orang beriman dari al-Qur'an.
Dibaca pun jangan, bahkan jangan sampai didengar. Ada-ada saja gangguan yang mereka
lakukan kepada setiap orang yang mau membaca al-Qur'an. Kadang si bayi tiba-tiba
menangis ketika si ibu hendak beribadah. Untuk itu, sebelum memasuki ruang teologis, di
mana pembaca hadir di hadapan Tuhan via al-Qur'an, maka perlu dilakukan tindakan
sterilisasi, pembersihan, pengusiran lebih dulu dari semua syetan pengganggu.
Kedua, terkait gangguan syetan dalam pembacaan al-Qur'an, kandungan makna
isti'adzah lebih pas dan lebih konferhenshif dibanding dengan kandungan makna pada
basmalah. Dalam isti'adzah disebut nama Allah dan disebut pula tujuan berlindung diri,
bahkan kutukan kepada syetan. Semantara dalam basmalah hanyalah pemujian kepada-Nya
tanpa ada permohonan perlindungan, apalagi kutukan. Allah a'lam.
Syetan, meskipun telah diusir dan dikutuk dari majelis baca al-qur'an, tetapi mereka
tidak putus asa. tetap saja mengintai dan terus mengintai, kalau-kalau ada kesempatan, lalu
langsung masuk dan menggoda.
Makanya, jangan heran ada orang yang lebih malas membaca al-qur'an dibanding
membaca buku, bahkan kitab kuning sekalipun. Bisa jadi, sebagian kiai pondok salaf sangat
tekun dan menghabiskan waktu membaca kitab kuning, tapi sangat sedikit istiqamah
membaca al-Qur'an. Ya, boleh-boleh saja dan bagus, sebab mengajar itu bagus dan
memanfaati kepada orang lain. Tapi di sisi lain, syetan berhasil membuat jarak antara kiai
dengan al-Qur'an, hal mana al-Qur'an adalah Nur yang mencerahkan spiritualitas kiai.
Jika ada ilmuwan muslim gemar sekali membaca buku, jika ada ustadz penceramah
sibuk sekali berceramah, tapi tidak istiqamah membaca al-qur'an, maka begitulah kehebatan
syetan beraksi. Eronisnya, mereka biasa-biasa saja dan merasa apa yang menjadi rutinitasnya
sudah baik, padahal ada yang lebih baik.
Seorang awam ngerasani seorang ustadz yang shalat Tarawaih super cepat. "Saya
perhatikan, pak ustadz itu duduk bersantai sambil merokok, ternyata lebih lama dari pada
shalat tarawihnya".
Soal redaksi isti'adzah, jumhur mufassirin memilih model iqtibas, redaksi yang persis
pada ayat (98), yakni "a'udz bi Allah min al-syaithan al-rajim". Kata "Allah" polos tanpa
bubuhan sifat. Begitu pula kata al-Rajim sebagai sifat syetan. Meski demikian, dibolehkan
ada tambahan sifat pada lafadh "Allah", seperti al-sami' al-alim. Jadinya, "A'udz bi Allah al-
sami' al-'alim min al-syaithan al-rajim". Tambahan ini merujuk pada ayat ".. fa ista'idz bi
Allah, innah huw al-sami' al-'alim". (Fussilat:36).

Al-A’raf 204:
Setelah Allah menyebutkan bahwa al-Qur’an itu merupakan bukti yang nyata,
petunjuk dan rahmat bagi umat manusia, Allah pun memerintahkan supaya diam ketika
dibacakan al-Qur’an. Sebagai suatu pengagungan dan perhormatan kepadanya, tidak seperti
apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir dari kaum Quraisy dalam ucapan mereka yang
artinya: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al Qur’an ini dan
buatlah hiruk-pikuk terhadapnya.” (QS. Fushshilat: 26)

Bahkan hal itu lebih ditekankan lagi dalam shalat wajib jika imam membaca ayat al-
Qur’an secarajahr (jelas/keras). Sebagaimana diriwayatkan Muslim dalam kitab Shahihnya,
dari Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya dijadikan untuk diikuti imam itu. Jika ia bertakbir, maka hendaklah kalian
bertakbir. Dan jika ia membaca (al-Qur’an), maka hendaklah kalian diam
mendengarkannya.” (HR. Muslim. Demikian pula diriwayatkan para perawi penulis kitab as-
Sunan, dari Abu Hurairah. Dan dinyatakan shahih oleh Muslim bin al-Hajjaj, tetapi ia tidak
mengeluarkannya dalam kitabnya)

Ibrahim bin Muslim al-Hijri mengatakan dari Abu ‘Iyadh dari Abu Hurairah, ia
berkata: “Orang-orang sebelumnya berbicara dalam shalat dan setelah turun ayat: wa idzaa
quri-al qur-aana fastami’uu laHu (“Dan apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah
baik-baik.”) Maka mereka pun diperintahkan untuk diam memperhatikan.”

MEMAHAMI MAKNA KANDUNGAN QS. AN-NAHL: 98 DAN QS. AL-A’RAF: 204

Adab membaca Alqur’an

Dalam QS. An-nahl ayat 98 Allah Swt memerintahkan kita berlindung kepada Allah
dari godaan syaitan yang terkutuk karena mereka akan senantiasa mengganggu orang
mukmin yang ingin membaca Al-Qur’an agar mereka tidak jadi membacanya, oleh sebab itu
setiap kali mau membaca Al-Qur’an mulailah dengan mengucap ta’awuzd agar senantiasa
terpelihara dari gangguan syaitan tersebut.

Dalam kitab Al Itqan karangan Imam Jalaluddin As Suyuthi, beliau menjelaskan


tentang adab membaca Al-Qur’an antara lain:

a. Di sunatkan membaca Al-Qur’an sesudah berwudhu, dalam keadaan bersih.

b. Di sunatkan membaca Al-Qur’an di tempat yang bersih,seperti di rumah, di mesjid, di


mushalla dan tempat-tempat lain yang dianggap bersih.

c. Di sunatkan membaca Al-Qur’an menghadap kiblat,membacanya dengan khusyu’ dan


tenang.

d. Ketika membaca Al-Qur’an,mulut hendaknya bersih, tidak berisi makanan.

e. Sebelum membaca Al-Qur’an disunatkan membaca ta’awwudz yaitu:

‫اعوذ باهلل من الّش يطان الّرجيم‬

Baru disambung dengan membaca:

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

f. Di sunatkan membaca Alqur’an denga tartil, yaitu bacaan yang pelan dan tenang.

g. Bagi orang yang sudah mengerti arti dan maksud ayat-ayat Alqur’an, di sunatkan
membacanya dengan penuh perhatian dan pemikiran tentang ayat-ayat yang
dibacanya itu dan maksudnya.

h. Di sunatkan membaca Al-Qur’an dengan suara yang bagus lagi merdu.

i. Sedapat-dapatnya membaca Al-Qur’an janganlah di putuskan karena hendak


berbicara dengan orang lain, hendaknya pembacaan diteruskan sampai ke batas yang
telah ditentukan, barulah disudahi.

j. Dalam membaca Al-Qur’an, jangan tertawa-tawa dan sambil bermain-main.

k. Tutuplah bacaan Alqur’an dengan kalimat:

‫صدق هللا العظيم‬

Sementara dalam QS. Al-A’raf ayat 204 Allah Swt menjelaskan apabila dibacakan
Al-Quran, maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang supaya kalian
mendapat rahmat. Maksudnya: jika dibacakan Al Quran kita diwajibkan mendengar dan
memperhatikan sambil berdiam diri, baik dalam shalat maupun di luar shalat, terkecuali
dalam shalat berjamaah ma'mum boleh membaca Al Faatihah sendiri waktu imam membaca
ayat-ayat Al Quran.

Setelah Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah bukti bagi manusia dan sebagai
petunjuk serta rahmat , Allah memerintahkan untuk diam ketika dibacakan Al-Qur’an sebagai
penghargaan dan pengehormatan kepadanya. Tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang
kafir, mereka tidak mau mendengarkan ayat-ayat Allah, seperti yang dijelaskan dalam QS.
Fushshilat : 26 yang artinya :”dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu
mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk
terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka".

Dari Abu Hurairah ra, meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda sebagai
berikut : “ Barangsiapa yang mendengarkan sebuah ayat dari kitab Allah , maka ditulislah
baginya kebaikan yang berlipat ganda. Dan barangsiapa yang membacanya maka ia akan
mempunyai cahaya pada hari kiamat “ ( HR. Ahmad )

Intinya , barangsiapa yang mendengarkan dan diam ketika Al-Qur’an dibacakan ,


maka dialah yang lebih dekat untuk dapat memahami dan memikirkannya dan orang seperti
itulah yang patut diberi rahmat.

Jadi sikap seorang mukmin yang baik apabila ia ingin membaca Al-Qur’an adalah
sebagai berikut :

1. Dalam keadaan suci lahir dan batin

2. Memohon perlindungan kepada Allah Swt dari godaan syaitan yang terkutuk

3. Meresapi makna yang ia baca, agar tumbuh kecintaan kepada Al-Qur’an

4. Apabila dibacakan Al-Qur’an maka dengarkanlah dengan baik.

Banyak orang yang membaca Al-Qur’an, tetapi yang terpenting adalah sebagaimana
yang Allah nyatakan dalam ayatnya yakni merenungkan tiap-tiap ayat Al-Qur’an ,
mengambil pelajaran dari ayat tersebut dan memperbaiki perilaku seseorang sesuai dengan
pelajaran yang terkandung didalamnya.

Anda mungkin juga menyukai