DISUSUN OLEH:
FRANSISKA YULIANTI
NIM. 14901232214
A. Pengertian
Ansietas adalah kondisi emosi dan pengalaman subyektif individuterhadap
objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yangmemungkinkan
individu melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman (PPNI, 2016). Ansietas
merupakan perasaan tidak tenang yang samar–samarkarena ketidaknyamanan atau
rasa takut yang disertai suatu respons (penyebab tidak spesifik atau tidak diketahui
oleh individu) (Yusuf, Fitryasari, & Tristiana,2019).
Ansietas adalah perasaan tidak tenang yang samar-samar karena
ketidaknyamanan, atau ketakutan yang disertai dengan
ketidakpastian,ketidakberdayaan ,isolasi, dan ketidakamanan (Stuart, 2012). Ansietas
adalahperasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respon
otonom(sumber tidak diketahui oleh individu) sehingga individu akan
meningkatkankewaspadaan untuk mengantisipasi (NANDA, 2015). Ansietas adalah
adanyatuntutan, persaingan, serta bencana yang terjadi dalam kehidupan
dapatmembawa dampak terhadap kesehatan fisik dan psikologi (Sutejo, 2019).
Berdasarkan beberapa pengertian tentang ansietas jadi dapat disimpulkanbahwa
ansietas adalah suatu perasaan tidak santai yang samar – samar karenaadanya
ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu respon. Sumberperasaan tidak
santai tersebut tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu.Selain itu ansietas juga
dapat diartikan sebagai perasaan takut akan terjadisesuatu yang disebabkan oleh
antisipasi bahaya dan merupakan sinyal yangmembantu individu untuk bersiap
mengambil tindakan untuk menghadapiancaman. Salah satu dampak psikologis
adalah ansietas atau kecemasan.
B. Tanda Dan Gejala Ansietas
1. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri serta mudah
tersinggung
2. Pasien merasa tegang, tidak tenang, gelisah dan mudah terkejut
3. Pasien mengatakan takut bila sendiri, atau pada keramaian dan banyak orang
4. Mengalami gangguan pola tidur dan disertai mimpi yang menegangkan
5. Gangguan konsensstrasi dan daya ingat
6. Adanya keluhan somatik, mis rasa sakit pada otot dan tulang belakang,
pendengaran yang berdenging atau berdebar-debar, sesak napas, mengalami
gangguan pencernaan berkemih atau sakit kepala.
C. Rentang Respon Ansietas
D. Tingkatan Ansietas
Stuart dan Laraia (2005) dalam Nurhalimah (2016), membagi ansietas terbagi dalam
beberapa tingkatan. yaitu :
1. Ansietas ringan
Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam hidup sehari – hari yang
menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya.
Pada tahap ini ansietas menimbulkan motivasi belajar sehingga menghasilkan
pertumbuhan dan kreativitas. Pada tahap ini dapat disebutkan ansietas yang
positif,
2. Ansietas sedang
Ansietas sedang dapat membuat seseorang untuk lebih memusatkan pada halyang
penting dan mengesampingkan yang lain.Pada ansietas sedang iniseseorang
mengalami perhatian yang selektif tetapi dapat melakukan sesuatuyang lebih
terarah.
3. Ansietas berat
Ansietas ini sangat mengurangi lahan persepsi seseorang, adanyakecendrungan
untuk lebih memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifikserta tidak dapat
berpikir tentang hal yang lain. Semua perilaku ditunjukkanuntuk mengurangi
ketegangan. Orang tersebut memerlukan pengarahan untukdapat kembali focus
pada suatu hal.
4. Tingkat panik
Pada tahap ini ansietas berhubungan dengan ketakutan dan merasa diterorserta
tidak mampu melakukan apapun walaupun dengan pengarahan.
Panikmeningkatkan aktivitas motorik, menurunkan kemampuan yang
berhubungandengan orang lain persepsi menyimpang serta kehilangan pemikiran
rasional.
E. Etiologi Ansietas
Stuart & Suddent (2014) menyatakan bahwa ansietas dapat diekspresikan secara
langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping yang dikembangkan untuk
menjelaskan asal ansietas yaitu :
1. Faktor Predisposisi:
a. Faktor Psikoanalitik
Ansietas merupakan konflik emosional antara dua unsur kepribadian dari
seseorang yaitu pikiran, ego dan super ego. Konsep melambangkan dorongan
insting atau perasaan naluriah primitif, sedangkan super ego mencerminkan
hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang.
Ego atau fungsi diri berfungsi memediasi kebutuhan dari dua unsur yang
bertentangan tersebut.
b. Faktor Interpersonal
Ansietas terjadi karena adanya perasaan takut dari individu tersebut akibat
ditolak oleh hubungan interpersonal. Ini juga dengan trauma masa
perkembangan seperti kehilangan, perpisahan. Individu dengan harga diri
rendah lebih mudah mengalami kecemasan yang parah.
c. Faktor Perilaku
Ansietas merupakan produk depresi yaitu segala sesuatu yang mengganggu
kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
d. Kajian Biologis
Penelitian biologis menunujukkan bahwa otak mengandung reseptor spesifik
untuk obat yang memiliki efek penenang, obat ini dapat meningkatkan efek
penghambatan terhadap neuroregulatory inhibisi asam gama-aminobutirat
(GABA), yang berperan penting dalam mekanisme bilogis yang berhubungan
dengan ansietas. Ansietas dapat menyertai ketidaknyamanan fisik dan dapat
mengurangi kemampuan individu untuk mengatasi masalah yang sedang
dihadapi.
2. Faktor Presipitasi
Stressor pencetus dapat berasal dari sumber internal atau eksternal.
Stressorpemicu dapat dibagi menjadi dua kategori :
a. Ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas fisiologi yang
akanterjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas
hidupsehari-hari.
b. Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan indentitas, hargadiri, dan
fungsi social yang terintegrasi pada individu.
A. Pengertian
B. Etiologi
Etiologi ketidakberdayaan menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,2017) antara lain :
a. Program pengobatan/perawatan yang mempunyai jangkapanjang
b. Lingkungan yang tidak mendukung dalampengobatan/perawatan.
c. Interaksi interpersoanal yang tidak memuaskan
Ketidakberdayaan disebabkan karena kurangnya pengetahuan, ketidakadekuatan
koping sebelumnya (seperti : Depresi), serta kurangnya kesempatan dalam membuat
keputusan (Novi, 2017). Faktor yang berhubungan dengan ketidakberdayaan menurut
(Novi, 2017) yaitu:
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi merupakan suatu kondisi internal seorang pasiendimana pasien tersebut
kkurang dapat menerima perubahanfisiknya dan psikologis yang telah terjadi. Kondisi
eksternal biasanya dari pihak keluarga dan masyarakat kurang mendukung (Sarani, 2021).
Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan faktor presipitasi yang akan timbul
ketidakbaerdayaan antara lain :
a. Biologis
1) Seseorang menderita suatu penyakit dan harus melakukan tindakan terapi
tertentu, pengobatan terkait dengan penyakit (jangka panjang, sulit dan
kompleks).
2) Penyakit kronis yang kambuh dalam 6 bulan terakhir.
3) Kurang mampu menyusaikian diri dengan budaya, rasetnik dangender.
4) Adanya perubahan didalam diri (fisik).
b. Psikologis
1) Perubahan gaya hidup akaibat memiliki penyakit kronis.
2) Tidak dapat melakukan aktivitas sendiri kemudian timbullah
keputusasaan.
3) Perasaan malu serta rendah diri karena aktivitas bergantung
dengan orang lain.
4) Kehilangan rasa mandiri atau ketergantungan denganorang lain
c. Social budaya
1) Kehilangan pekerjaan karena kondisi kesehatan sekarang.
2) Kehilangan kemampuan dalam melakukan aktivitas dari prosespenuaan
(pensiun, defisit memori, defisit motoric danstatus finansial).
3) Terdapat perubahan status kuratif menjadi status paliatif.
4) Tidak dapat melakukan kegiatan agama dan tidak mampu
melakukanpartisipasi dengan masyarakat.
LAPORAN PENDAHULUAN
“MASALAH KESEHATAN JIWA BERDUKA DAN KEHILANGAN”
I. BERDUKA
A. Pengertian Berduka
Berduka (Grief) adalah merupakan reaksi psikologis sebagai respon kehilangan
sesuatu yang dimiliki yang berpengaruh terhadap perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial
maupun intelekstual seseorang (Amira dkk, 2020). Berduka (grieving) merupakan
reaksi emosional terhadap kehilangan. Hal ini diwujudkan dalam berbagai cara yang
unik pada masing-masing orang dan didasarkan pada pengalaman pribadi, ekspetasi
budaya, dan keyakinan spiritual yang dianutnya. Sementara itu, istilah kehilangan
(bereavement) mencakup berduka dan berkabung (mourning), yaitu perasaan di dalam
dan reaksi keluar orang yang ditinggalkan. Berkabung adalah periode penerimaan
terhadap kehilangan dan berduka. Hal ini terjadi dalam masa kehilangan dan sering
dipengaruhi oleh kebudayaan atau kebiasaan (Aziz Alimul, 2014).
B. Penyebab Berduka
Menurut Keliat (2020), penyebab berduka antara lain:
1. Kematian anggota keluarga atau orang yang berarti
2. Antisipasi Kematian keluarga atau orang yang berarti
3. Kehilangan (Objek, pekerjaan, fungsi, status, bagian tubuh, hubungan
sosial)
D. Klasifikasi Berduka
Klasifikasi berduka antara lain:
1. Berduka normal: Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap
kehilangan misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik
diri dari aktivitas untuk sementara.
2. Berduka antisipatif: Proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan
atau kematian yang sesungguhnya terjadi.Misalnya, ketika menerima diagnosis
terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyesuaikan beragai
urusan didunia sebelum ajalnya tiba
3. Berduka Disfungsional/Berpompilasi: Dialami oleh seseorang yang sulit untuk
maju ke tahap berikutnya,yaitu tahap kedukaan normal.Masa berkabung seolah-
olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang
bersangkutan dengan orang lain.
4. Berduka tertutup: Yang juga dikenal sebagai berduka marginal atau tidak
didukung, ketika hubungan mereka dengan orang yang sudah meninggal tidak
disetujui secara sosial, tidak dapat diakui secara terbuka didepan umum, atau
terlihat kurang signifikan Kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui
secara terbuka. Contohnya:Kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami
kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau
ketika bersalin
E. Rentang Respon Berduka
Fase akut berduka yang dialami seseorang pada umumnya 6 – 8 minggu Penyelesaian
kehilangan & berduka secara menyeluruh memerlukan waktu 1 bulan sampai dengan
3 tahun. Menurut Yosep 2011 respons berduka seseorang terhadap kehilangan dapat
melalui tahap-tahap berikut:
1) Tahap Pengingkaran (denial)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak
dipercaya, mengerti, atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar
terjadi. Sebagai contoh,seseorang akan tidak percaya akan kenyataan yang telah
terjadi. Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual,
diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering
kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung dalam
beberapa menit hingga beberapa tahun.
2) Tahap Marah (anger)
Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering
tunjukan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang mengalami
kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar,
menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat
tidak kompeten. Respons fisik yang sering terjadi, antara lain muka merah, denyut
nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal, dan seterusnya.
3) Tahap Tawar-Menawar (bergining)
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadi kehilangan dan
dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan
seolah-olah kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu mungkin berupaya untuk
melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
4) Tahap Depresi (depression)
Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang- kadang
bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, rasa tidak
berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik yang
ditunjukkan,
antara lain menolak makan, susah tidur, letih, turunnya dorongan libido, dan lain-
lain.
5) Tahap Penerimaan (acceptance)
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang
berpusat pada objek yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah
menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai memandang ke
depan. Gambaran tentang objek atau orang yang hilang akan mulai dilepaskan
secara bertahap. Perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Apabila
individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan damai,
maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi perasaan
kehilangan secara tuntas. Kegagalan untuk masuk ke tahap penerimaan akan
memengaruhi kemampuan individu tersebut dalam mengatasi perasaan kehilangan
selanjutnya
II. KEHILANGAN
A. Pengertian Kehilangan
Kehilangan merupakan suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai
sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi
secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau
tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali
(Dian dan Puspita, 2019).
Kehilangan adalah keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya. Kehilangan
merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh tiap individu selama rentang
kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda (Yosep, 2011).
C. Tipe Kehilangan
Menurut Dian dan Puspita 2019 kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:
1. Aktual atau nyata Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya
amputasi, kematian orang yang sangat berarti / di cintai.
2. Persepsi Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya;
seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan perasaan kemandirian dan
kebebasannya menjadi menurun.
D. Jenis-Jenis Kehilangan
Jenis kehilangan, menurut Ambarwati dan Sunarsih, 2011 yaitu:
a. Kehilangan seseorang seseorang yang dicintai.
Kehilangan seseorang yang dicintai atau orang yang berarti adalah salah satu jenis
kehilangan yang paling membuat seseorang stress dan mengganggu dari tipe-tipe
kehilangan lainnya. Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang
dicintai. Karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan
yang ada, kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak
emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.
b. Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental
seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri,
kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya.
Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau
komplit. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya
kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
c. Kehilangan objek eksternal.
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama,
perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang
terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.
d. Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal
Kehilangan ini diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal
termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau
bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki
tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.
E. Dampak Kehilangan
Menurut Uliyah dan Hidayat (2011), kehilangan pada seseorang dapat memiliki
berbagai dampak, diantaranya :
1. Masa anak-anak, maka kehilangan akan dapat mengancam kemampuannya untuk
berkembang, terkadang akan timbul regresi serta merasa takut untuk ditinggalkan
atau dibiarkan kesepian.
2. Masa remaja atau dewasa muda, kehilangan dapat terjadi perpecahan dalam
keluarga
3. Masa dewasa tua, khususnya kematian pasangan hidup dapat menjadi pukulan yang
sangat berat dan menghilangkan semangat hidup orang yang ditinggalkan.
F. Proses Kehilangan
LAPORAN PENDAHULUAN
“MASALAH KESEHATAN JIWA KEPUTUSASAAN”
A. Pengertian
Keputusasaan adalah kondisi individu yang memandang adanya keterbatasan
atau tidak tersedianya alternatif pemecahan pada masalah yang dihadapi (SDKI,
2016). Keputusasaan merupakan kondisi subjektif seorang individu memandang
keterbatasan atau tidak adanya alternatif pemecahan masalah dan tidak mampu
memobilisasi energi demi kepentingannya sendiri (NANDA-I, 2018).
B. Rentang Respon
Respon individu terhadap konsep diri dimulai dari respon adaptif dan maladaptif.
Menurut Stuart, 2013, rentang respon keputusasaan digambarkan sebagai berikut :
Keterangan :
1. Respon emosional : tingkatan perasaan diri mengenai cara berperilaku, bisa
diutarakan baik lisan ataupun tulisan mengenai keadaan diri sendiri.
2. Reaksi berduka : perasaan sedih yang mendalam dan sulit maju ketahap
berikutnya.
3. Supresi emosi : secara sadar tindakan yang dapat dipilih guna menutupi pikiran,
perasaan ataupun dukungan dengan adanya perasaan marah, kecewa dan kesal.
4. Reaksi berduka tertunda : upaya untuk menghindari distress hebat yang
berkaitan dengan berduka terkait pada penggambaran dalam penggunaan
mekanisme pertahanan penyangkalan dan supresi yang berlebihan.
5. Depresi : suasana hati yang terganggu atau perasaan sedih yang mendalam dan
rasa tidak perduli.
C. Etiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusasaan menurut TIM Pokja SDKI DPP PPNI
(2016), yaitu :
1. Stres jangka panjang
2. Penurunan keadaan fisik
3. Hilangnya kepercayaan terhadap nilai-nilai penting
4. Hilangnya kepercayaan pada kekuatan spiritual
5. Pembatasan kegiatan jangka panjang
6. Pengasingan
Sedangkan faktor yang mempengaruhi keputusasaan menurut Stuart, (2007) yaitu
faktor predisposisi dan faktor presipitasi, faktor predisposisi dalam kurun waktu itu
lebih dari enam bulan, sedangkan presipitasi kurang dari enam bulan :
1. Faktor predisposisi
a. Faktor Genetik : sikap optimisme terhadap masalah akan sulit dikembangkan
pada individu yang terlahir dan besar dalam keluarga yang mempunyai riwayat
depresi
b. Kesehatan Mental : seseorang dengan gangguan kejiwaan terutama pada
riwayat depresi yang ditandai dengan ketidakberdayaan dan pesimisme, akan
selalu dibayangi masa depan yang suram, biasanya sangat sensitif terhadap
masalah dan sering merasa putus asa.
c. Kesehatan Jasmani : Individu dengan kondisi fisik yang sehat dan gaya hidup
yang baik akan memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk mengatasi stres
dibandingkan orang yang berpenyakit fisik.
d. Struktur Kepribadian : seseorang dengan konsep negatif dan harga diri yang
rendah akan menimbulkan rasa kepercayaaan diri yang rendah dan tidak
obyektif pada tekanan yang dihadapinya.
2. Faktor presipitasi
a. Faktor kehilangan
b. Terus menerus mengalami kegagalan
c. Faktor lingkungan
d. Keluarga atau orang terdekat
e. Status kesehatan (penyakit di derita yang dapat mengancam jiwa)
D. Tanda dan Gejala
Klien dengan depresi biasanya memiliki pandangan negatif pada stressor sejak
awal. Klien beranggapan bahwa masalah ini 100% buruk, dan tidak akan ada hikmah
atas semua masalah yang dihadapinya. Misalnya, ketika seseorang terdiagnosis
menderita diabetes mellitus seseorang akan sulit untuk menerima fonis tersebut,
dibalik itu hikmahnya ia akan lebih memperhatikan pola makan dengan baik. Semua
masalah yang muncul hampir dianggap negatif. Dengan persepsi yang salah hal ini
akan memicu klien untuk berperilaku dan berfikir salah. Persepsi yang pasti muncul
adalah “saya sial, saya menderita, saya tidak mampu, tidak ada harapan, semuanya
buruk”, kondisi ini semakin buruk karena kurangnya sistem pendukung yang
memadai misalnya keluarga, tetangga, teman, terutama iman. Sehingga muncullah
fase akumulasi stresor dan stresor lain yang akan memperburuk situasinya. Klien akan
semakin merasakan ketidakberdayaan dan muncul niat untuk menyakiti diri sendiri
bahkan bunuh diri, hal ini dapat memicu kemunculan rasa rendah diri dan menjadi
tekanan internal. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya depresi, antara lain
faktor herediter dan genetik, kepribadian premorbid, fisik, psikobiologis, neurologis,
biokimia dalam tubuh, keseimbangan elektrolit dan sebagainya. Biasanya depresi
disebabkan oleh trauma fisik misalnya pembedahan, penyakit menular, kecelakaan,
faktor psikologis seperti kehilangan kasih sayang, persalinan dan harga diri.
A. Pengertian
Citra tubuh adalah cara individu mempersepsikan ukuran, penampilan, danfungsi
tubuh dan bagian-bagiannya. Citra tubuh memiliki aspek kognitif dan afektif. Kognitif
adalah pengetahuan materi tubuh dan kelekatannya, afektif mencakup sensasi tubuh,
seperti nyeri, kesenangan, keletihan, gerakan fisik. Citra tubuh adalah gabungan dari
sikap, kesadaran, dan tidak kesadaran, yang dimiliki seseorang terhadap tubuhnya.
Citra tubuh dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan
kemampuan fisik dan oleh persepsi dari pandangan orang lain (Potter &Perry, 2017).
Citra tubuh (body image) meliputi perilaku yang berkaitan dengan tubuh, termasuk
penampilan, struktur, atau fungsi fisik. Rasa terhadap citra tubuh termasuk semua yang
berkaitan dengan seksualitas, feminitas dan maskulinitas, berpenampilan muda,
kesehatan dan kekuatan (Potter & Perry, 2017).
B. Etiologi
Menurut stuart, 2013 dalam (Dwira Mayorin,2018) faktor-faktor penyebab gangguan
citra tubuh yaitu :
1. Faktor Predisposisi
a. Biologi
Gambaran tentang tubuhnya meliputi bentuk, fungsi, struktur yang diinginkan namun
tidak tercapai karena suatu hal.
b. Psikologi
Terjadi suatu masalah atau peristiwa yang mengakibatkan individu mengalami
streesdan tertekan secara mental.
c. Sosiokultural
Terdapat perubahan dilingkungan sekitar yang mengalami perubahan nilai-nilai sosial
dan norma-norma masyarakat
d. Fisik yang berubah dari segi bentuk, fungsi, struktur, penampilan dan aspek
perubahan lain yang berada ditubuh. Suatu proses patologik sebuah penyakit
yang berdampak pada perubahan struktur ataupun fungsi. Dampak dari
pengobatan yang dijalani, misalnya kemoterapi, radiasi dan lain-lain.
e. Didikan dari keluarga yang tidak tepat
f. Penolakan dari orang lain
g. Tidak mampu mencapai keinginan yang diharapkan
h. Tidak dihargai dilingkungan sekitar
C. Klasifikasi
Menurut Riyadi (2015), citra tubuh normal adalah persepsi individu yangdapat
menerima dan menyukai tubuhnya sehingga bebas dari ansietas dan harga dirinya
meningkat. Gangguan citra tubuh adalah persepsi negatif tentang tubuh yang
diakibatkan oleh perubahan ukuran, bentuk, struktur,fungsi, keterbatasan, makna dan
obyek yang sering berhubungan dengan tubuh (Riyadi,2015). Stressor pada tiap
perubahan, yaitu:
1. Perubahan ukuran tubuh :Berat badan yang turun akibat penyakit.
D. Rentang Respon
5. Mengungkapkan keputusasaan.
6. Mengungkapkan ketakutan
3. Banyak diam
4. Komunikasi terbatas
7. Mudah tersinggung
LAPORAN PENDAHULUAN
“MASALAH KESEHATAN JIWA HARGA DIRI RENDAH”
A. Pengertian
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berarti, rendah diri,
yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri (keliat,
2011). Harga diri rendah situasional merupakan perkembangan persepsi negatif tentang
harga diri sebagai respons seseorang terhadap situasi yang sedang dialami (Wilkinson,
2012).
Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negative terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga
diri, merasa gagal dalam mencapai keinginan(Herman, 2011). Gangguan harga diri
dapat dijabarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, yang menjadikan
hilangnya rasa percaya diri seseorang karena merasa tidak mampu dalam mencapai
keinginan (Fitria, 2009). Harga diri rendah adalah Adanya perasaan hilang kepercayaan
diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai ideal diri, perasaan
tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang
negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri (Yosep, 2010).
1. Respon adaptif adalah pertanyaan dimana klien jika menghadapi suatu masalah
akan dapat memecahkan masalah tersebut.
2. Aktualisasi diri adalah pernyataan tentang konsep diri positif dengan latar belakang
pengalaman yang sukses dan dapat diterima
3. Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang positif
dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang negative dari
dirinya. Bagaimana seseorang memandang apa yang ada pada dirinya meliputi citra
dirinya, ideal dirinya, harga dirinya, penampilan peran serta identitas dirinya secara
positif. Hal ini akan menunjukkan bahwa individu itu akan menjadi individu yang
sukses.
4. Respon maladaptive adalah keadaan klien dalam menghadapi suatu masalah tidak
dapat memecahkan masalah tersebut
5. Harga diri rendah adalah individu cenderung untuk menilai dirinya negative dan
merasa lebih rendah dari orang lain. Perasaan negatif terhadap dirinya sendiri,
termasuk kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, pesimis, tidak ada
harapan dan putus asa. Adapun perilaku yang berhubungan dengan harga diri yang
rendah yaitu mengkritik diri sendiri dan/ atau orang lain, penurunan produktivitas,
destruktif yang diarahkan kepada orang lain, gangguan dalam berhubungan,
perasaan tidak mampu, rasa bersalah, perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri,
keluhan fisik, menarik diri secara sosial, khawatir, serta menarik diri dari realitas.
6. Identitas kacau adalah kegagalan individu untuk mengintegrasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kana ke dalam kematangan aspek psikososial kepribadian
masa dewasa yang harmonis. Suatu kegagalan individu untuk mengintegrasikan
berbagai identifikasi masa kanak – kanak ke dalam kepribadian psikososial dewasa
yang harmonis. Adapun perilaku yang berhubungan dengan kerancuan identitas
yaitu tidak ada kode moral, sifat kepribadian yang bertentangan, hubungan
interpersonal eksploitatif, perasaan hampa. Perasaan mengambang tentang diri
sendiri, tingkat ansietas yang tinggi, ketidak mampuan untuk empati terhadap
orang lain.
7. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri
yang berhubungan dengan kecemasan , kepanikan serta tidak membedakan dirinya
dengan orang lain. Suatu perasaan yang tidak realistis dimana klien tidak dapat
membedakan stimulus dari dalam atau luar dirinya (Stuart & Sundeen, 1998).
Individu mengalami kesulitan untuk membedakan dirinya sendiri dari orang lain,
dan tubuhnya sendiri merasa tidak nyata dan asing baginya.
D. Faktor Penyebab
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan orang tua yang
tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab
personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis. Faktor
predisposisi citra tubuh adalah:
a. Kehilangan atau kerusakan bagian tubuh
b. Perubahan ukuran, bentuk, dan penampilan tubuh akibat penyakit.
c. Proses penyakit dan dampak terhadap struktur dan fungsi tubuh.
d. Proses pengobatan seperti radiasi dan kemoterapi.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah kehilangan bagian tubuh,
perubahan penampilan/ bentuk tubuh, kegagalan atau produktifitas yang menurun.
Secara umum, gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara
situasional atau kronik. Secara situasional misalnya karena trauma yang muncul
secara tiba tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan, perkosaan atau dipenjara,
termasuk dirawat dirumah sakit bisa menyebabkan harga diri rendah disebabkan
karena penyakit fisik atau pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman.
Penyebab lainnya adalah harapan fungsi tubuh yang tidak tercapai serta perlakuan
petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga. Harga diri rendah
kronik biasanya dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah
memiliki pikiran negative dan meningkat saat dirawat (Yosep, 2007).
E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping jangka pendek yang biasa dilakukan pasien harga diri rendah
adalah kegiatan yang dilakukan untuk larisementarab dari krisis, misalnya pemakaian
obat obatan, kerja keras dan nonton tv terus menerus. Kegiatan mengganti identitas
sementara, misalnya ikut kelompok social, keagamaan dan politik. Kegiatan yang
member dukungan sementara, seperti mengikuti suatu kompetisi atau kontes popularitas.
Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara, seperti penyalahgunaan obat
obatan. Jika mekanisme koping jangka pendek tidak memberi hasil yang diharapkan
individu akan mengembangkan mekanisme koping jangka panjang, antara lain adalah
menutup identitas, dimana pasien terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi dari
orang orang yang berarti tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau potensi diri sendiri,
identitas negative, dimana asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan
masyarakat. Sedangkan mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan adalah
fantasi, regresi, disasosiasi, isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik pada diri
sendiri dan orang lain (Yosep, 2007).