Anda di halaman 1dari 20

STASE ANESTESI

Journal Reading
April 2023

EFEK ANESTESI TANPA OPIOID


DALAM KEBUTUHAN PERIOPERATIF OPIOID
PADA ANAK DENGAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA (OSA) DERAJAT BERAT
UNTUK TINDAKAN ADENOTONSILEKTOMI

Oleh:
dr. Selvie Sira
C035192004

Pembimbing:
Dr. dr. Faisal Muchtar, Sp.An-TI, Subsp T.I.(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS PPDS-1


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
PENGARUH EFEK ANESTESI TANPA OPIOID DALAM KEBUTUHAN
PERIOPERATIF OPIOID PADA ANAK-ANAK DENGAN OBSTRUCTIVE SLEEP
APNEA DERAJAT BERAT (OSA) UNTUK TINDAKAN ADENOTONSILEKTOMI

JA Clinical Reports (2022)


Connie Mun‐Price, Kathleen Than, Margaret J. Klein, Patrick Ross, Eugene Kim, Christian
Hochstim dan Makoto Nagoshi

Abstrak
Latar belakang: Anak-anak dengan obstructive sleep apnea derajat berat (OSA) memiliki
risiko komplikasi pernapasan yang lebih tinggi setelah adenotonsilektomi. Sensitivitas mereka
yang berubah terhadap opioid dapat menjadi kontributor yang signifikan terhadap morbiditas
pernapasan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bagaimana anestesi tanpa
opioid mempengaruhi kebutuhan opioid saat perioperatif dan pasca operasi.
Metode: Tinjauan grafik dilakukan pada anak-anak dengan OSA derajat berat (apnea hypoxia
index; AHI ≥10) yang menjalani adenotonsilektomi. Komorbiditas dan pengobatan perioperatif
didokumentasikan. Dosis opioid perioperatif dalam waktu 48 jam setelah prosedur dihitung
sebagai ekuivalen morfin (mcg/kg). Skor nyeri, rescue medication, dan komplikasi pasca
operasi di PICU dan non-PICU juga didokumentasikan. Anestesi tanpa opioid dan dengan
kelompok opioid juga dibandingkan.
Hasil: 225 anak termasuk dalam analisis ini. Persentase yang lebih tinggi secara signifikan
terdapat pada kelompok anak-anak yang tidak menerima opioid pasca operasi pada anestesi
dengan kelompok tanpa opioid dibandingkan dengan mereka yang menggunakan opioid (46
dari 88 anak dibandingkan 43 dari 137; P <0,05). Insiden nyeri hebat pasca operasi antara
kedua kelompok tidak berbeda di PICU (P = 0,88) atau non-PICU (P = 0,84). Pemberian opioid
perioperatif secara signifikan lebih rendah pada anestesi tanpa opioid (median, Q1, Q3: 0.0,
0.0, 83.0) dibandingkan dengan opioid (144.4, 72.5, 222.2; P <0.01). Anestesi tanpa opioid
adalah salah satu faktor independen untuk menghindari opioid perioperatif (<50mcg/kg).
Kesimpulan: Anestesi tanpa opioid untuk anak-anak dengan OSA derajat berat untuk
tonsilektomi secara signifikan mengurangi kebutuhan opioid perioperatif dan tidak
mempengaruhi terjadinya nyeri hebat. Anestesi tanpa opioid merupakan strategi yang efektif
untuk meminimalkan kebutuhan opioid secara perioperatif pada anak dengan OSA derajat
berat untuk tonsilektomi.
Kata kunci: opioid avoidance, severe OSA, tonsillectomy, pediatric
PENDAHULUAN
Adenotonsilektomi adalah salah satu prosedur bedah yang paling umum dilakukan pada
anak-anak. Ada 3 isu utama yang berkaitan pada manajemen anak dengan obstructive sleep
apnea (OSA) untuk adenotonsilektomi: skrining pra operasi, manajemen nyeri perioperatif,
dan pengaturan pasca operasi [1]. Anak-anak dengan OSA yang menjalani adenotonsilektomi
berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi pernapasan pasca operasi, terutama mereka dengan
OSA derajat berat [2]. Sensitivitas mereka yang berubah terhadap opioid dapat menjadi
kontributor yang signifikan terhadap morbiditas pernapasan [3]. Sampai saat ini, ada banyak
penelitian yang mencoba untuk mengidentifikasi titrasi atau sparing opioid untuk anak-anak
dengan OSA yang menjalani adenotonsilektomi menggunakan berbagai jenis strategi analgesik
termasuk mengurangi opioid, obat antiinflamasi nonsteroid, asetaminofen, ketamin, dan
dexmedetomidine [4-13]. Untuk mengatasi masalah penghindaran opioid, kami fokus pada
anak-anak dengan OSA derajat berat, yang kami yakini sebagai populasi yang paling rentan
mengalami komplikasi pernafasan setelah adenotonsilektomi. Karena tidak ada protokol
anestesi standar untuk anak-anak dengan OSA derajat berat yang menjalani adenotonsilektomi,
keputusan mengenai penggunaan obat opioid adalah keputusan tim anestesi. Karakteristik
individu pasien dan informasi yang tersedia dari penilaian pra operasi digunakan sebagai
panduan dalam pengambilan keputusan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi bagaimana anestesi tanpa opioid mempengaruhi kebutuhan opioid pasca
operasi sebagai hasil primer dan perjalanan pasca operasi termasuk nyeri, rescue medication,
dan komplikasi sebagai hasil sekunder pada anak dengan OSA derajat berat yang menjalani
adenotonsilektomi.

BAHAN DAN METODE


Pengumpulan data
Ini adalah studi yang disetujui IRB di Rumah Sakit Anak Los Angeles. Anak-anak yang
menjalani adenotonsilektomi diidentifikasi melalui rekam medis elektronik anestesi kami dari
1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2018. Periode penelitian kami dibagi menjadi sebelum 1
Januari 2014 (2009-2013), dan setelah 1 Januari 2014 (2014–2018), berdasarkan FDA black
box warning terkait kodein, peningkatan literatur terkait penghindaran opioid saat ini, serta
pembukaan PICU yang lebih besar yang menyediakan lebih banyak ketersediaan di rumah sakit
kami.
Kriteria inklusi adalah anak-anak (di bawah usia 18 tahun) yang menjalani
adenotonsilektomi dan memiliki diagnosis OSA derajat berat yang ditentukan dengan
polisomnogram (PSG) dengan indeks apnea-hipopnea (AHI) ≥ 10. Semua anak dengan OSA
derajat berat yang menjalani adenoidektomi memiliki tonsilektomi. Kami mengekstraksi
penggunaan obat pasca operasi karena tingkat AHI ini merupakan pemicu pasien rawat inap.
Anak-anak dengan trakeostomi diekslusikan. Terdapat 28 anak yang dilakukan intubasi dan
ventilasi mekanis dengan infus fentanyl untuk sedasi di PICU. Pasien-pasien tersebut juga
diekslusikan dari penelitian kami karena infus fentanil.
Persentil body mass index (BMI) dihitung menggunakan kalkulator BMI pediatrik CDC
dengan menggunakan jenis kelamin, usia (tahun), tinggi badan (meter), dan berat badan
(kilogram) pada saat prosedur. Berdasarkan persentil BMI, anak-anak diklasifikasikan ke
dalam 4 kategori: BMI % <5, underweight; 5 ≤ BMI % < 95, normal hingga overweight; 95 ≤
BMI % ≤ 98, obesitas; dan BMI% ≥ 99, morbidly obese. Kami memilih rentang BMI ini
terpisah dari definisi CDC karena kami mengantisipasi tingkat obesitas yang lebih tinggi
mungkin terkait dengan keputusan untuk menghindari obat opioid. Berdasarkan AHI dari
polisomnogram, anak diklasifikasikan menjadi 3 kategori: AHI 10–19,9, AHI 20–39,9, dan
AHI > 40.
Komorbiditas dikelompokkan menggunakan kategori berikut: anomali kraniofasial
(cleft palate, craniosynostosis, sindrom Treacher-Collins, sindrom Goldenhar,
mucopolysaccharidosis, sindrom Apert, sindrom Pfeiffer, dll.), penyakit neuromuskuler
(cerebral palsy, distrofi otot Duchenne, gangguan mitokondria, gangguan kejang, hidrosefalus,
hipotonia, dll.), sindrom genetik (sindrom Down, sindrom Apert, sindrom Pfeiffer, gangguan
mitokondria, dll.), penyakit jantung bawaan (PJK), dan ekokardiogram abnormal (ECHO;
didefinisikan sebagai pelebaran RV dan/ atau HTN paru). Kategori yang tumpang tindih seperti
adanya sindrom dan anomali kraniofasial dihitung dalam kedua kategori tersebut. Faktor risiko
tinggi diambil berdasarkan laporan sebelumnya termasuk obesitas morbid (BMI lebih dari 99
persentil untuk usia), ras = kulit hitam, AHI > 20, PSG SO2 <80%, PSG EtCO2 > 60 selain
anomali kraniofasial yang sudah ada sebelumnya, penyakit neuromuskuler, atau sindrom
genetik [14-17]. Teknik bedah untuk tonsilektomi diklasifikasikan berdasarkan pendekatan
anatomi (ekstrakapsular atau intrakapsular) dan alat (koblator atau non-koblator) [18, 19].
Perawatan klinis intraoperatif diberikan atas kebijakan ahli anestesi karena pasien tidak
berada di bawah protokol penelitian. Di rumah sakit kami, semua anak yang menjalani
adenotonsilektomi menjalani anestesi umum dengan pipa endotrakeal dan sevofluran tanpa
atau dengan pemberian opioid. Induksi anestesi dilakukan baik dengan inhalasi, intravena, atau
kombinasi keduanya. Deksametason diberikan secara rutin. Ondansetron hanya dihindari jika
diminta oleh ahli otolaringologi. Obat-obatan pelemas otot yang memerlukan reversal,
dexmedetomidine, dan/atau pemberian ketamin juga dicatat.
Departemen THT dan Anestesiologi kami terlibat dalam perencanaan PICU. Dalam
retrospeksi, kami mempertimbangkan anak untuk masuk ke PICU setelah tonsilektomi
berdasarkan beberapa faktor termasuk angka AHI yang lebih tinggi (>30), PSG O2 Sat. <80%,
penyakit penyerta seperti kesulitan jalan napas, obesitas, anomali kraniofasial, penyakit
neuromuskuler, kelainan genetik, asma derajat berat, penyakit paru kronis, atau penyakit
jantung bawaan termasuk hipertensi pulmonal. Faktor-faktor ini ditinjau sebelum operasi dan
tempat tidur PICU dipesan biasanya 1 sampai 2 hari sebelum prosedur.
Tujuan pasca operasi dicatat sebagai admisi perawatan intensif anak (PICU) atau non-
PICU (unit perawatan postanesthesia; PACU, kemudian ke bagian bedah). Tidak ada pasien
anak-anak yang memenuhi kriteria inklusi menjalani operasi rawat jalan.
Penilaian nyeri secara verbal untuk anak-anak disesusaikan menggunakan Verbal
Rating Scale (VRS) atau skala nyeri FACES (0-10) dan/atau skala nyeri FLACC untuk anak-
anak yang lebih muda atau non-verbal. Untuk FLACC dan VRS, skor 7-10 dianggap nyeri
hebat dan skala nyeri FACES 8-10. Di institusi kami, pemberian opioid pasca operasi adalah
pilihan utama untuk manajemen anak-anak yang menderita nyeri hebat. Untuk nyeri ringan
sampai sedang, asetaminofen atau obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), baik ibuprofen atau
ketorolac, digunakan pada periode pasca operasi. Pemberian opioid untuk nyeri ringan sampai
sedang dipertimbangkan hanya setelah berkonsultasi dengan dokter (ahli anestesi, ahli intensif,
atau ahli bedah). Penggunaan ketorolak di rumah sakit kami sangat terbatas karena preferensi
ahli THT dan hanya diberikan setelah konsultasi dan kesepakatan dengan mereka pasca operasi.
Pemberian opioid pasca operasi yang diperlukan untuk pengendalian nyeri dicatat
sebagai rescue opioid. Komplikasi pasca operasi seperti mual/muntah, hipoksia yang
memerlukan intervensi saluran napas, masa rawat di PICU yang berkepanjangan, durasi rawat
berkepanjangan di PACU, dan rawat inap di rumah sakit yang berkepanjangan juga
didokumentasikan. Mual/muntah yang membutuhkan agen antiemetik dihitung. Hipoksia yang
membutuhkan intervensi jalan napas didefinisikan sebagai SO2 lebih rendah dari 90% yang
membutuhkan intervensi jalan napas termasuk penerapan baru CPAP, peningkatan pengaturan
CPAP, peningkatan aliran O2 tambahan menggunakan sungkup wajah/kanula hidung, atau
penggunaan jalan napas oral/nasal. Masa rawat PICU berkepanjangan didefinisikan sebagai
masa rawat inap PICU selama 48 jam. Masa rawat di PACU berkepanjangan didefinisikan
sebagai masa rawat PACU lebih dari 3 jam dengan alasan medis seperti kebutuhan oksigen
tambahan aliran tinggi yang berkepanjangan karena seringnya apnea/ hipoksia yang
menyebabkan SO2 lebih rendah dari 90%. Masa rawat inap di rumah sakit yang berkepanjangan
didefinisikan sebagai tinggal di rumah sakit lebih dari 2 hari.
Administrasi opioid intraoperatif dan pasca operasi dalam waktu 48 jam dari prosedur
dicatat. Acetaminophen digunakan baik pada saat intraoperatif dan pasca operasi. Obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), baik ibuprofen atau ketorolac, digunakan hanya pada
periode pasca operasi. Jumlah opioid intraoperatif dan pascaoperasi (fentanil, morfin,
hidromorfon, oksikodon, hidrokodon, kodein) dihitung dan dinyatakan sebagai ekuivalen
morfin per kilogram (mcg/kg) berdasarkan rumus: morfin (mg, IV):fentanil (mg, IV):
hidromorfon (mg, IV): hidrokodon (mg, PO):oksikodon (mg, PO):kodein (mg, PO) =
10:0.1:1.5:30:20:200 [20]. Penggunaan kodein benar-benar dihilangkan setelah 2013 karena
FDA black box warning.

Analisis statistic
Total dosis opioid perioperatif (intraoperatif dan pascaoperasi) yang diberikan
dibandingkan antara kelompok anestesi tanpa opioid dan kelompok opioid menggunakan uji
Mann-Whitney U. Kejadian pasca operasi tanpa opioid dibandingkan antara kelompok anestesi
tanpa opioid dengan opioid menggunakan uji chi-square. Kami memeriksa terjadinya nyeri
hebat dan penggunaan rescue opioid di PICU dan non-PICU, kemudian membandingkan antara
kelompok anestesi tanpa opioid dengan opioid menggunakan uji chi-square. Terjadinya
komplikasi pasca operasi juga dibandingkan antara kelompok anestesi tanpa opioid dengan
kelompok opioid di PICU dan non-PICU menggunakan uji chi-square.
Hubungan independen dengan penghindaran opioid perioperatif (<50 mcg/kg) dari
setiap faktor perioperatif dianalisis dengan chi-square atau uji Fisher untuk variabel kategori
dan uji Mann-Whitney U untuk variabel kontinyu. Variabel dengan asosiasi independen (nilai
P <0,10) dipertimbangkan dalam proses pemilihan model multivariabel.
Backward stepwise selection digunakan untuk menentukan faktor akhir yang terkait
dengan sparing opioid pasca operasi dan perioperatif; variabel dipilih jika P <0,05. Hasil
dinyatakan sebagai odds ratio, batas kepercayaan Ward 95% (95% CL). Semua analisis
statistik dilakukan dengan menggunakan SAS Versi 9.4 untuk Windows (SAS Institute Inc,
Cary, North Carolina).
Hasil
Kami mengidentifikasi 225 anak dengan OSA derajat berat (AHI > 10) yang dirawat
pascaoperasi setelah adenotonsilektomi (Gbr. 1). Terdapat 88 anak yang mendapatkan anestesi
tanpa opioid dan 137 anak yang mendapatkan anestesi dengan opioid. Di antara kelompok
anestesi tanpa opioid, 56 anak dirawat di PICU dan 32 anak tidak dirawat di PICU. Di antara
kelompok anestesi dengan opioid, 72 anak dirawat di PICU dan 65 anak tidak dirawat di PICU.
Tabel 1 menunjukkan demografi kelompok anestesi tanpa dan dengan opioid. Sehubungan
dengan teknik bedah, semua tonsilektomi intrakapsular dilakukan dengan menggunakan
koblasi. Perbandingan kelompok anestesi tanpa opioid dan dengan opioid ditunjukkan pada
Tabel 2 dan 3. Pada perbandingan periode 2003–2013 (sebelum 2014) dan periode 2014–2018
(setelah 2013), penggunaan ketamin menurun pada periode terakhir (37,3% dibandingkan
26,5%) tetapi penggunaan dexmedetomidine menjadi meningkat (13,6% dibandingkan 74,1%).
Dosis opioid intraoperatif (median; Q1, Q3; (setara morfin mcg/kg)) kelompok anestesi dengan
opioid adalah (116,5; 65,3, 182,8) pada periode 2009–2013, (68,4; 40,3, 119,8) pada 2014–
2018, dan (80.1; 47.4, 129.2) untuk seluruh durasi penelitian masing-masing pada tahun 2009-
2018. Dosis opioid pasca operasi (median; Q1, Q3; (setara morfin mcg/kg)) dari kelompok
anestesi tanpa opioid adalah (76,3; 6,2, 219,6) pada 2009–2013, (0,0; 0,0, 74,1) pada 2013–
2018, dan (0,0; 0,0, 82,3) pada 2009–2018 sedangkan kelompok anestesi dengan opioid adalah
(55,4; 17,6, 117,6) pada 2009–2013, (34,2; 0,0, 97,5) pada 2014–2018, dan (39,1; 0,0, 97,6)
untuk seluruh durasi studi pada 2009-2018. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam dosis
opioid pasca operasi antara kelompok anestesi tanpa opioid dan dengan kelompok opioid pada
periode waktu manapun. Namun, persentase anak-anak yang tidak menerima opioid pasca
operasi dalam kelompok anestesi tanpa opioid lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
dengan kelompok anestesi dengan opioid (46 dari 88 anak vs. 43 dari 137; P <0,01). Dosis
opioid perioperatif (median; Q1, Q3) kelompok anestesi tanpa opioid secara signifikan lebih
rendah daripada kelompok anestesi dengan opioid (76,3; 6,2, 219,6) vs. (177,6; 116,7, 271,8)
pada tahun 2009–2013 (P < 0,05), (0.0; 0.0, 74.1) vs. (120.7; 55.8, 202.8) pada 2014–2018 (P
< 0.01), dan (0.0; 0.0, 83.0) vs. (144.4; 72.5, 222.2) pada 2009–2018 (P <0,01).
Gambar 1. Diagram pasien inklusi dalam studi. Pada studi ini diidentifikasi 225 anak dengan OSA derajat berat
(AHI ≥ 10). Delapan puluh delapan anak menjalani anestesi tanpa opioid dan 137 anak menjalani anestesi dengan
opioid. Di antara kelompok anestesi tanpa opioid, 56 anak dirawat di PICU dan 32 anak tidak dirawat di PICU.
Di antara kelompok anestesi dengan opioid, 72 anak dirawat di PICU dan 65 anak tidak dirawat di PICU.

Untuk anak-anak yang dirawat di PICU, nyeri hebat dilaporkan pada 48,6% kelompok
anestesi tanpa opioid dan pada 50,0% kelompok anestesi dengan opioid (P = 0,88). Di PICU,
anak-anak menerima rescue opioid pasca operasi secara signifikan lebih jarang pada kelompok
anestesi tanpa opioid (37,5%) dibandingkan dengan kelompok anestesi dengan opioid (69,4%;
P <0,01). Dosis opioid pasca operasi (median, Q1, Q3) untuk anak-anak dalam kelompok
anestesi tanpa opioid (0, 0, 57,8) secara signifikan lebih rendah daripada kelompok anestesi
dengan opioid (39,6, 0, 103,3; P <0,01). Untuk anak-anak yang dirawat di bangsal anak, nyeri
hebat dilaporkan pada 38.5% kelompok anestesi tanpa opioid dan pada 40,6% kelompok
anestesi dengan opioid (P = 0,84). Di perawatan bangsal, anak-anak menerima rescue opioid
pasca operasi dalam frekuensi yang sama antara kedua kelompok, 65,6% dari kelompok
anestesi tanpa opioid dan 69,2% dari kelompok anestesi dengan opioid (P = 0,72). Opioid pasca
operasi (median, Q1, Q3) pada kelompok anestesi tanpa opioid (53.1, 0, 246.1) tidak memiliki
perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan kelompok anestesi dengan opioid (30.9, 0,
104.2; P = 0.12). Dalam perbandingan komplikasi pasca operasi antara kelompok anestesi
tanpa opioid dan dengan opioid pada anak-anak PICU dan non-PICU, tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam kejadian mual/muntah, hipoksia yang membutuhkan intervensi jalan
napas, perawatan PICU lebih dari 48 jam, perawatan PACU lebih dari 3 jam, dan durasi tinggal
di rumah sakit lebih dari 2 hari. Namun, kejadian hipoksia lebih tinggi pada rawat inap PICU
dibandingkan rawat inap non-PICU pada kelompok anestesi tanpa opioid dan dengan
kelompok opioid.
Tabel 4 menunjukkan hasil analisis univariabel untuk faktor-faktor yang terkait dengan
penghindaran opioid perioperatif sehingga pasien menerima dosis kurang dari 50 mcg/kg dari
dosis ekuivalen morfin. Perbedaan yang signifikan untuk AHI> 20 (P <0,05), persentil usia
BMI lebih dari 99% (P <0,05), pemberian ketamin (P <0,1), dexmedetomidine (P <0,01), tidak
ada pemberian dexmedetomidine atau ketamin (P <0,01), NSAID (P <0,01), perawatan PICU
(P <0,05), anestesi tanpa opioid (P <0,01), dan operasi setelah 2013 (P <0,01). Faktor-faktor
ini digunakan sebagai variabel kandidat dalam metode forward stepwise selection.
Tabel 5 menunjukkan analisis multivariabel dari faktor independen untuk penghindaran
opioid perioperatif (dosis total kurang dari 50 mcg/kg); operasi setelah 2013 (rasio odds, 95%
CI, nilai P; 5.26, 1.79–14.29, P <0.01), anestesi tanpa opioid (11.1, 5.26–20.0, P <0.01), dan
AHI > 20 (2.60, 1.20–5.62, P <0,05).

Diskusi
Manajemen nyeri pasca operasi pada pasien OSA derajat berat merupakan tantangan
tersendiri, terutama setelah prosedur saluran napas seperti adenotonsilektomi. Jika tidak diobati
dengan baik, nyeri pasca operasi setelah adenotonsilektomi dapat menyebabkan munculnya
agitasi pada anak-anak yang dapat memicu perdarahan dari lokasi operasi. Sebaliknya, anak-
anak mungkin terlalu terbius dengan opioid untuk mempertahankan patensi jalan napas
dan/atau untuk mempertahankan dorongan pernapasan akibat apnea sentral. Beberapa efek
samping yang berat yang dilaporkan setelah adenotonsilektomi mungkin terkait dengan
peningkatan sensitivitas opioid pada pasien OSA derajat berat serta overdosis yang disebabkan
oleh penggunaan kodein [2, 3, 21, 22]. Dalam literatur yang diterbitkan sebelumnya,
dexmedetomidine [6, 23], ketamine [7], dan acetaminophen [24] telah digunakan untuk anak-
anak dengan OSA yang menjalani adenotonsilektomi dan telah terbukti memiliki beberapa
kemampuan untuk mengurangi penggunaan opioid. Ada beberapa faktor yang mungkin
berkontribusi pada perbedaan pemberian opioid kami dalam anestesi berdasarkan masa operasi.
FDA Blackbox warning yang diterbitkan untuk kodein dalam penggunaan pediatrik adalah
pada tahun 2013. Di fasilitas kami, ada pengenalan jarum suntik dexmedetomidine 3-ml yang
diisi sebelumnya pada tahun 2013. Ada beberapa penelitian yang diterbitkan untuk
meningkatkan kesadaran akan risiko OSA dan penggunaan opioid setelah pasca operasi
tonsilektomi [2, 3, 25, 26]. Akhirnya, kapasitas tempat tidur PICU tambahan tersedia pada
tahun 2014 di fasilitas kami. Oleh karena itu, dalam merancang penelitian, kami mengantisipasi
potensi perubahan dalam manajemen nyeri sebelum dan sesudah tahun 2014 dengan
peningkatan insentif untuk menghindari opioid.
Teknik bedah yang berbeda juga dapat berkontribusi untuk mengurangi rasa sakit pasca
operasi. Penggunaan koblator dibandingkan diseksi non-koblator [19] dan pendekatan
intrakapsular dibandingkan ekstrakapsular untuk tonsilektomi [18] dapat mengurangi nyeri
pasca operasi. Teknik pembedahan yang dilakukan serupa dalam perbandingan kelompok
anestesi tanpa dan dengan opioid. Tonsilektomi ekstrakapsular tanpa koblasi digunakan (77,3%
dibandingkan 78,1%). Oleh karena itu, perbedaan teknik pembedahan mungkin tidak
mempengaruhi perbandingan pada dua kelompok.
Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa ahli anestesi anak kami menghindari
penggunaan opioid intraoperatif untuk anak-anak dengan OSA derajat berat dengan AHI ≥ 20,
morbidly obese (BMI > 99 persentil usia), PSG SO2 <80%, sindrom genetik, dan anak-anak
diantisipasi untuk dirawat di PICU pasca operasi. Untuk anak-anak yang tidak menggunakan
opioid, pengobatan alternatif yang digunakan untuk membantu mengatasi nyeri pasca operasi
termasuk NSAID, dexmedetomidine, dan ketamin. Acetaminophen diberikan untuk semua
anak.
Hasil kami menunjukkan anestesi tanpa opioid secara signifikan menurunkan
kebutuhan opioid perioperatif. Kami merancang penghindaran perioperatif sebagai dosis
ekuivalen morfin total <50 mcg/kg berdasarkan dosis bolus morfin intravena maksimal yang
direkomendasikan. Penghindaran opioid perioperatif secara signifikan lebih tinggi pada
kelompok anestesi tanpa opioid dalam PICU (P <0,01). Analisis multivariabel
mengidentifikasi anestesi tanpa opioid sebagai salah satu faktor independen untuk
penghindaran opioid perioperatif, yang selanjutnya mendukung peran anestesi tanpa opioid
sebagai strategi untuk menurunkan kebutuhan opioid perioperatif. Nilai AHI > 20 adalah satu-
satunya faktor yang signifikan secara statistik. Kami tidak menemukan faktor perioperatif lain
yang secara statistik terkait dengan penghindaran opioid perioperatif. Karakteristik pasien
termasuk anomali kraniofasial, penyakit neuromuskuler, sindrom genetik, penyakit jantung
bawaan, dan temuan dari rekaman polisomnogram kecuali AHI secara statistik tidak berkaitan
dengan keputusan untuk menghindari opioid.
Dapat diasumsikan bahwa anak-anak dengan risiko komplikasi perioperatif pasca
operasi yang lebih tinggi lebih sering dirawat di PICU. Oleh karena itu, mungkin ada keraguan
yang lebih kuat oleh ahli anestesi yang memberikan opioid intraoperatif kepada anak-anak
yang akan dirawat di PICU pasca operasi [2, 3, 25, 26]. Dalam penelitian kami, 43,8% anak
yang dirawat di PICU menjalani anestesi tanpa opioid. Di antara anak-anak non-PICU yang
dirawat di bangsal, hanya 33,0% anak yang menjalani anestesi dengan opioid. Tidak ada
perbedaan yang signifikan pada skor nyeri hebat pasca operasi antara anak-anak yang
menjalani anestesi tanpa opioid dan anestesi dengan opioid terlepas dari penerimaan PICU atau
non-PICU (PACU kemudian bangsal). Di PICU, penggunaan rescue opioid lebih jarang
diberikan pada kelompok anestesi tanpa opioid dibandingkan dengan kelompok anestesi
dengan opioid (P < 0,01). Untuk anak-anak yang dirawat di PICU yang menjalani anestesi
tanpa opioid, rencana untuk membatasi opioid dilakukan oleh tim dan penggunaan rescue
opioid dibatasi. Namun, untuk anak-anak yang dirawat di bangsal, tidak ada perbedaan
signifikan dalam penggunaan rescue opioid antara kedua kelompok.
Mungkin terdapat peranan opioid, ketamin, dexmedetomidine, atau NSAID pada
komplikasi pasca operasi. Opioid mungkin berperan terhadap gejala mual/muntah, delirium,
atau keterlambatan kesadaran pasien. Munculnya delirium dapat dikaitkan dengan pemberian
ketamin, sedangkan dexmedetomidine dapat menyebabkan keterlambatan kesadaran. Obat-
obatan NSAID, terutama ketorolac, dapat menyebabkan perdarahan dari lokasi pembedahan.
Namun, baik delirium maupun perdarahan pasca operasi tidak terjadi dalam 48 jam periode
pasca operasi. Dexmedetomidine lebih banyak diberikan pada kelompok anestesi tanpa opioid
dibandingkan pada kelompok anestesi dengan opioid. Namun, insiden rawat inap
berkepanjangan di PICU/PACU atau rawat inap yang berkepanjangan di rumah sakit tidak
berbeda antara kelompok anestesi tanpa opioid dan dengan opioid. Tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam kejadian mual/muntah, hipoksia yang memerlukan intervensi jalan napas,
durasi rawat yang berkepanjangan di PICU/PACU, atau rawat inap yang berkepanjangan di
rumah sakit antara kelompok anestesi tanpa opioid dan dengan opioid baik di PICU atau di
non-PICU.
Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Studi ini merupakan studi observasi
retrospektif selama periode 8 tahun. Sebagai studi retrospektif, pasien OSA derajat berat kami
untuk tonsilektomi diterapi dengan teknik anestesi yang berbeda berdasarkan preferensi pribadi
dari praktisi anestesi. Manajemen perioperatif juga bervariasi selama masa studi. Seperti
disebutkan di atas, periode observasi penelitian kami dibagi menjadi sebelum 2014 dan periode
sesudahnya (termasuk 2014 hingga 2018). Meskipun kami mencoba mengumpulkan informasi
dari rekam medis seakurat mungkin, mungkin ada beberapa informasi yang tidak konsisten.
Sebagai contoh, terkadang hanya skala nyeri FLACC yang dicatat dalam rekam medis
elektronik meskipun skala nyeri lainnya (VRS, FACES) juga digunakan untuk menentukan
pemberian opioid untuk nyeri hebat. Kami tidak mencatat terjadinya onset delirium yang dapat
mempengaruhi penggunaan obat opioid pasca operasi. Namun, pada praktik klinisnya, kami
menggunakan obat lain untuk tatalaksana delirium. Intensitas perawatan berbeda antara PICU,
PACU, dan bangsal. Oleh karena itu, manajemen nyeri pasca operasi mungkin juga berbeda
antar unit berdasarkan perawatan masing-masing unit. Studi ini hanya dapat menunjukkan
anestesi tanpa opioid sebagai faktor independen untuk penghindaran opioid perioperatif tetapi
tidak dapat menunjukkan pemberian ketamin atau dexmedetomidine sebagai faktor independen.
Hal ini dapat dijelaskan dengan tingginya korelasi antara anestesi tanpa opioid dan penggunaan
dexmedetomidine dan/atau ketamin.
Untuk ukuran sampel dan analisis dilakukan berdasarkan uji Wilcoxon-Mann-Whitney,
kami menemukan bahwa ukuran sampel kami saat ini, dengan nilai rata-rata sampel dan standar
deviasi didukung dengan baik dalam perbandingan perioperatif tetapi kurang bermakna dalam
perbandingan pasca operasi.
Adapun uji chi-square dilakukan untuk membandingkan manajemen opioid non-
pascaoperasi dari kelompok anestesi tanpa opioid dan dengan opioid, perbandingan sudah
cukup signifikan baik dari perhitungan ukuran sampel dan power (88%). Studi ini merupakan
studi dari single-center, sehingga hasil yang diamati pada penelitian ini mungkin tidak dapat
digeneralisasikan ke institusi lain, dan karena sifat analisis yang bersifat eksplorasi, semua hasil
harus ditafsirkan dengan hati-hati.

Kesimpulan
Pengamatan retrospektif kami menunjukkan bahwa anestesi tanpa opioid dalam
pengelolaan anak-anak dengan OSA derajat berat (AHI > 10) untuk tonsilektomi tidak
meningkatkan kebutuhan opioid pasca operasi atau meningkatkan terjadinya nyeri hebat.
Beberapa faktor prediktor diidentifikasi terkait dengan penghindaran opioid perioperatif (dosis
ekuivalen morfin < 50 mcg/kg) pada anak dengan OSA derajat berat setelah adenotonsilektomi:
operasi setelah tahun 2013, anestesi tanpa opioid, dan AHI ≥ 20. Faktor-faktor ini dapat
mengidentifikasi kekhawatiran ahli anestesi untuk depresi pernapasan perioperatif dalam
memilih strategi manajemen.
Tabel 1. Demografik populasi studi.

Anesthesia
Total
Tanpa opioid Dengan opioid
n = 77 n = 148 n = 225
Perempuan; n (%) 21 (23.9%) 46 (33.6%) 67 (29.8%)
Usia, tahun; median (Q1, Q3) 6.9 (4.5, 11.3) 6.6 (4.2, 10.7) 6.8 (4.3, 11.0)
Berat badan, kg; median (Q1, Q3) 35.2 (17.4, 62.0) 28.9 (17.0, 4.7) 31.0 (17.0, 56.4)
Tinggi badan, kg; median (Q1, Q3) 124.0 (100.0, 148.0) 118.5 (100.0, 144.0) 121.0 (100.0, 146.0)
Ras; n
(%)
Asia/Pacific 1 (1.1%) 3 (2.2%) 4 (4.8%)
Lainnya/tidak diketahui 19 (21.6%) 20 (14.6%) 39 (17.3%)
Kulit hitam 8 (9.1%) 13 (9.5%) 21 (9.3%)
Hispanic 57 (64.8%) 92 (67.2%) 149 (66.2%)
Kulit putih 3 (3.4%) 9 (6.6%) 12 (5.3%)
Kategori AHI; n (%)
10-20 26 (29.6%) 48 (35.6%) 74 (33.2%)
20-40 31 (35.2%) 54 (40.0%) 85 (38.1%)
≥40 31 (35.2%) 33 (24.4%) 64 (28.7%)
BMI; n (%)
Underweight (<5%) 2 (2.3%) 6 (4.4%) 8 (3.6%)
Normal - overweight (5-95%) 34 (39.1%) 60 (44.1%) 94 (42.2%
Obesitas (96-98%) 13 (14.9%) 18 (13.2%) 31 (13.9%)
Morbidly obese (≥99%) 38 (43.7%) 52 (38.2%) 90 (40.4%)
Ras: Kulit hitam; n (%) 9 (9.1%) 13 (9.5%) 21 (9.3%)
AHI ≥ 20; n (%) 62 (70.4%) 87 (64.4%) 149 (66.8%)
PSG SO2 < 80%; n (%) 47 (58.8%) 58 (48.7%) 105 (52.8%)
PSG EtCo2 ≥ 60 mmHg; n (%) 5 (9.4%) 14 (16.5%) 19 (13.8%)
Anomali kraniofasial; n (%) 5 (5.7%) 11 (8.3%) 16 (7.1%)
Penyakit neuromuskular; n (%) 8 (9.1%) 21 (15.3%) 29 (12.9%)
Sindrom genetik; n (%) 28 (31.8%) 28 (20.4%) 56 (24.9%)
Teknik pembedahan; n (%)
Ekstrakapsular tanpa koblasi 68 (77.3%) 107 (78.1%) 175 (77.8%)
Ekstrakapsular dengan koblasi 4(4.5%) 13 (9.5%) 17 (7.6%)
Intrakapsular dengan koblasi 16 (18.2%) 17 (12.4%) 33 (14.7%)
Perawatan PICU; n (%) 56 (63.6%) 72 (52.6%) 128 (56.9%)
"n" mempresentasikan untuk data kategori kecuali dinyatakan lain (median dengan rentang interkuartil dilaporkan untuk data kontinu yang tidak
terdistribusi normal). Semua persentase kolom berdasarkan dari total data yang tidak hilang. Q1 = persentil ke-25, Q3 = persentil ke-75
Tabel 2. Perbandingan kelompok intraoperatif opioid dan kelompok tanpa intraoperative opioid pada perawatan PICU dan non-PICU
Anesthesia Total
Tanpa opioid Dengan opioid
2009-2013; n (%) n=16 n=43 n=59
Muscle relaxant (rocuronium, vecuronium or cisatracurium) 4 (25%) 22 (51.2%) 26 (44.1%)
Hanya Dexmedetomidine 1 (0.63%) 3 (7.0%) 4 (6.8%)
Demedetomidine dan ketamine 4 (25%) 0 (0%) 4 (6.8%)
Hanya Ketamine 9 (28.8%) 9 (20.9%) 18 (30.5%)
NSAIDs 4 (25%) 7 (16.3%) 11 (18.6%)
Acetaminophen 13 (81.3%) 38 (88.4%) 51 (86.4%)
Perawatan PICU 12 (75%) 35 (81.4%) 47 (79.7%)
2014-2018; n (%) n = 72 n = 94 n = 166
Muscle relaxant (rocuronium, vecuronium or cisatracurium) 28 (38.9%) 35 (37.2%) 63 (39.0%)
Hanya Dexmedetomidine 38 (52.8%) 47 (50%) 85 (51.2%)
Demedetomidine dan ketamine 28 (38.9%) 10 (10.6%) 38 (22.9%)
Hanya Ketamine 0 (0%) 6 (6.4% 6 (3.6%)
NSAIDs 32 (44.4%) 27 (28.7%) 59 (35.5%)
165
Acetaminophen 71 (98.6%) 94 (100%)
(99.4%)
Perawatan PICU 44 (61.1%) 37 (39.4%) 81 (48.8%)
Penggunaan opioid (mcg/kg) Anesthesia P value
Dengan opioid
Median (Q1, Q3) Tanpa opioid (n=88)
(n=137)
Intraoperatif
(2009-2013) NA 116.5 (65.3, 182.8)
(2014-2018) NA 68.4 (40.3, 119.8) NA
(2009-2018) NA 80.1 (47.4, 129.2)
Postoperatif
(2009-2013) 76.3 (6.2, 219.6) 55.4 (17.6, 117.6) 0.96
(2014-2018) 0.0 (0.0, 74.1) 34.2 (0.0, 97.5) 0.09
(2009-2018) 0.0 (0.0, 82.3) 39.1 (0.0, 97.6) 0.06
Perioperatif
(2009-2013) 76.3 (6.2, 219.6) 177.6 (116.7, 271.8) <0.05a
(2014-2018) 0.0 (0.0, 74.1) 120.7 (55.8, 202.8) <0.001a
(2009-2018) 0.0 (0.0, 83.0) 144.4 (72.5, 222.2) <0.001
Postoperative tanpa opioid; n (%) 46 (52.3%) 43 (31.4%) <0.05
Periode 2009–2013 dimulai dari 1 Januari 2009 hingga 31 Desember 2013. Periode 2014–2018 dimulai dari 1 Januari 2014 hingga 31 Desember
2018. Total dosis opioid pasca operasi yang diberikan dibandingkan antara kelompok anestesi tanpa opioid dan dengan opioid menggunakan uji
Mann-Whitney U. Terjadinya pasca operasi tanpa konsumsi opioid dibandingkan dengan menggunakan uji chi-square
a
Setelah menyesuaikan beberapa perbandingan menggunakan penyesuaian Bonferroni.
Tabel 3. Perbandingan kelompok intraoperatif opioid dan kelompok tanpa intraoperatif opioid pada perawatan PICU dan non-PICU
PICU admission (n=128) Non-PICU admission (n=97)
Anestesi Anestesi Anestesi Anestesi
tanpa opioid dengan P value tanpa opioid dengan P value
(n=56) opioid (n=72) (n=32) opioid (n=65)
Nyeri hebat n (%) 28 (50%) 35 (49%) 0.88 13 (41%) 25 (39%) 0.94
Postoperatif dengan rescue opioid n (%) 21 (38%) 50 (69%) <0.01 21 (66%) 45 (69%) 0.72
Postoperatif opioid (mcg/kg) Median 0 39.6 <0.01 53.1 30.9 0.17
Q1, Q3 (0, 57.8) (0, 103.3) (0, 246.1) (0, 104.2)
Postoperatif hipoksia yang membutuhkan
n (%) 27 (48%) 37 (52%) 0.72 5 (16%) 11 (17%) 0.87
intervensi jalan napas
Lama perawatan PICU > 48 jam or PACU > 3 jam n (%) 2 (4%) 5 (7%) 0.42 12 (38%) 18 (28%) 0.32
Lama perawatan di rumah sakit >2 hari n (%) 10 (18%) 11 (15%) 0.7 1 (3%) 2 (2%) 0.98
Setiap insiden dibandingkan antara kelompok anestesi tanpa opioid dan dengan opioid dalam perawatan PICU dan non-PICU secara terpisah
menggunakan uji chi-square.
Tabel 4. Analisa univariate untuk penghindaran opioid perioperatif (ekuivalen dosis morfin
<50 mcg/kg)

Perioperatif opioid
< 50 mcg/kg ≥ 50 mcg/kg P value
n = 77 n = 148
Perempuan 22 (29%) 45 (30% 0.78
Usia < 3 tahun 2 (3%) 25 (17%) < 0.01
Ras kulit hitam 5 (7%) 16 (11%) 0.29
AHI ≥ 20 (n=223) 59 (77%) 92 (62%) < 0.05
BMI untuk usia ≥ 99% (n=223) 38 (50%) 52 (35%) < 0.05
PSF SO2 < 80% (n=199) 40 (56%) 65 (51%) 0.45
PSG EtCO2 ≥ 60mmHg (n=138) 7 (15%) 12 (13%) 0.73
Anomali kraniofasial 5 (7%) 11 (7%) 0.79
Penyakit neuromuscular 8 (10%) 21 (14%) 0.42
Sindrom genetik 56 (73%) 35 (24%) 0.55
Penyakit jantung bawaan 68 (88%) 15 (10%) 0.72
Penggunaan ketamine 29 (38%) 36 (24%) < 0.05
Penggunaan dexmedetomidine 60 (78%) 71 (48%) < 0.01
Tanpa dexmedetomidine atau ketamine 11 (14%) 60 (41%) < 0.01
Penggunaan desmedetomidine atau ketamine 66 (86%) 88 (60%) < 0.01
NSAIDs (ibuprofen atau ketorolac) 36 (47%) 34 (23%) < 0.01
Acetaminophen 74 (96%) 142 (96%) >0.99
Perawatan PICU 52 (68%) 76 (51%) < 0.05
Anestesi tanpa opioid 57 (74%) 31 (21%) < 0.01
Pembedahan setelahh tahun 2013 (2014-2018) 70 (91%) 96 (65%) < 0.01
Hubungan independen dengan penghindaran opioid perioperatif (<50 mcg/kg) dari setiap faktor perioperatif
dianalisis dengan chi-square atau uji Fisher untuk variabel kategori dan uji Mann-Whitney U untuk variabel
kontinyu. Variabel dengan asosiasi univariabel P <0,10 digunakan sebagai variabel metode forward stepwise
selection.

Tabel 5. Analisis logistic regression multivariate untuk penghindaran perioperative opioid


(ekuivalen dosis morfin <50 mcg/kg)

Estimasi odds ratio


95% Wald
Efek Poin estimasi confidence P value
limits
Pembedahan setelah tahun 2013 5.26 1.79 14.29 P < 0.01
Anestesi tanpa opioid 11.1 5.26 20.0 P < 0.01
AHI ≥ 20 2.60 1.20 5.62 P < 0.05
Probabilitas penghindaran opioid perioperatif meningkat dengan operasi setelah tahun 2013,
anestesi tanpa opioid, dan AHI > 20. Probabilitas menurun pada awal tanggal operasi (sebelum
2014)
DAFTAR PUSTAKA

1. Murto KT, Chen W, Katz SL, Schwengel DA, Elden LM, Belani KG, et al. Research needs
assessment for children with obstructive sleep apnea undergoing diagnostic or surgical
procedures. Anesth Analg. 2018;127(1):198–201.
2. Cote CJ, Posner KL, Domino KB. Death or neurologic injury after tonsillectomy in children
with a focus on obstructive sleep apnea: Houston, we have a problem! Anesth Analg.
2014;118(6):1276–83.
3. Brown KA, Laferriere A, Lakheeram I, Moss IR. Recurrent hypoxemia in children is
associated with increased analgesic sensitivity to opiates. Anesthesiology. 2006;105(4):665–9.
4. Hack H. An audit of the use of an opiate sparing, multimodal analgesic regime in children
with sleep disordered breathing/obstructive sleep apnoea undergoing adenotonsillectomy. Int
J Pediatr Otorhinolaryngol. 2014;78(1):119–23.
5. Franz AM, Dahl JP, Huang H, Verma ST, Martin LD, Martin LD, et al. The development of
an opioid sparing anesthesia protocol for pediatric ambulatory tonsillectomy and
adenotonsillectomy surgery‐a quality improvement project. Paediatr Anaesth. 2019;29(7):682–
9.
6. Olutoye OA, Glover CD, Diefenderfer JW, McGilberry M, Wyatt MM, Larrier DR, et al.
The effect of intraoperative dexmedetomidine on postoperative analgesia and sedation in
pediatric patients undergoing tonsillectomy and adenoidectomy. Anesth Analg.
2010;111(2):490–5.
7. Elshammaa N, Chidambaran V, Housny W, Thomas J, Zhang X, Michael R. Ketamine as
an adjunct to fentanyl improves postoperative anal‐ gesia and hastens discharge in children
following tonsillectomy ‐ a prospective, double‐blinded, randomized study. Paediatr Anaesth.
2011;21(10):1009–14.
8. Isaiah A, Pereira KD. Outcomes after adenotonsillectomy using a fixed anesthesia protocol
in children with obstructive sleep apnea. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2015;79(5):638–43.
9. Thung AK, Elmaraghy CA, Barry N, Tumin D, Jatana KR, Rice J, et al. Double‐blind
randomized placebo‐controlled trial of single‐dose intra‐ venous acetaminophen for pain
associated with adenotonsillectomy in pediatric patients with sleep‐disordered breathing. J
Pediatr Pharmacol Ther. 2017;22(5):344–51.
10. Tsui BCH, Pan S, Smith L, Lin C, Balakrishnan K. Opioid‐free tonsillectomy with and
without adenoidectomy: the role of regional anesthesia in the “New Era”. Anesth Analg.
2021;133(1):e7–9.
11. Mann GE, Flamer SZ, Nair S, Maher JN, Cowan B, Streiff A, et al. Opioid‐free anesthesia
for adenotonsillectomy in children. Int J Pediatr Otorhi‐ nolaryngol. 2021;140:110501.
12. Cozowicz C, Memtsoudis SG. Perioperative management of the patient with obstructive
sleep apnea: a narrative review. Anesth Analg. 2021;132(5):1231–43.
13. Alghamdi F, Roth C, Jatana KR, Elmaraghy CA, Rice J, Tobias JD, et al. Opioid‐sparing
anesthetic technique for pediatric patients undergoing adenoidectomy: a pilot study. J Pain Res.
2020;13:2997–3004.
14. Gerber ME, O’Connor DM, Adler E, Myer CM. Selected risk factors in pediatric
adenotonsillectomy. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1996;122(8):811–4.
15. Paruthi S, Rosen CL, Wang R, Weng J, Marcus CL, Chervin RD, et al. End‐ tidal carbon
dioxide measurement during pediatric polysomnography: signal quality, association with
apnea severity, and prediction of neurobe‐ havioral outcomes. Sleep. 2015;38(11):1719–26.
16. Roland PS, Rosenfeld RM, Brooks LJ, Friedman NR, Jones J, Kim TW, et al. Clinical
practice guideline: polysomnography for sleep‐disordered breathing prior to tonsillectomy in
children. Otolaryngol Head Neck Surg. 2011;145(1 Suppl):S1–15.
17. Thongyam A, Marcus CL, Lockman JL, Cornaglia MA, Caroff A, Gallagher PR, et al.
Predictors of perioperative complications in higher risk children after adenotonsillectomy for
obstructive sleep apnea: a prospective study. Otolaryngol Head Neck Surg. 2014;151(6):1046–
54.
18. Cohen MS, Getz AE, Isaacson G, Gaughan J, Szeremeta W. Intracapsular vs. extracapsular
tonsillectomy: a comparison of pain. Laryngoscope. 2007;117(10):1855–8.
19. Pynnonen M, Brinkmeier JV, Thorne MC, Chong LY, Burton MJ. Coblation versus other
surgical techniques for tonsillectomy. Cochrane Database Syst Rev. 2017;8:CD004619.
20. Shaheen PE, Walsh D, Lasheen W, Davis MP, Lagman RL. Opioid equian‐ algesic tables:
are they all equally dangerous? J Pain Symptom Manage. 2009;38(3):409–17.
21. Kelly LE, Rieder M, van den Anker J, Malkin B, Ross C, Neely MN, et al. More codeine
fatalities after tonsillectomy in North American children. Pediatrics. 2012;129(5):e1343–7.
22. Kohler JE, Cartmill RS, Kalbfell E, Schumacher J. Continued prescribing of periprocedural
codeine and tramadol to children after a black box warn‐ ing. J Surg Res. 2020;256:131–5.
23. Pestieau SR, Quezado ZM, Johnson YJ, Anderson JL, Cheng YI, McCarter RJ, et al. High‐
dose dexmedetomidine increases the opioid‐free interval and decreases opioid requirement
after tonsillectomy in children. Can J Anaesth. 2011;58(6):540–50.
24. Bowman B, Sanchez L, Sarangarm P. Perioperative intravenous acetami‐ nophen in
pediatric tonsillectomies. Hosp Pharm. 2018;53(5):316–20.
25. Blake DW, Chia PH, Donnan G, Williams DL. Preoperative assessment for obstructive
sleep apnoea and the prediction of postoperative respiratory obstruction and hypoxaemia.
Anaesth Intensive Care. 2008;36(3):379–84.
26. Doufas AG, Tian L, Padrez KA, Suwanprathes P, Cardell JA, Maecker HT,
et al. Experimental pain and opioid analgesia in volunteers at high risk for obstructive sleep
apnea. PLoS One. 2013;8(1):e54807.

Anda mungkin juga menyukai