Anda di halaman 1dari 16

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

SISTEM KARDIOVASKULER : PADA KASUS TRAUMA INHALASAI

DISUSUN OLEH :

AJI SUHANDI
NIM. 231122004

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
JURUSAN SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
DAN PROFESI NERS
TAHUN 2023
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA INHALASI

1. DEFINSI
Trauma inhalasi atau cedera inhalasi merupakan kerusakan pada saluran
pernafasan yang disebabkan karena menghirup gas berbahaya, uap dan komponen
partikel yang terdapat dalam asap pembakaran. Hal ini bermanifestasi sebagai cedera
termal, cedera kimia dan toksisitas sistemik, ataupun kombinasi dari semuanya (Gill
& Rebecca. 2015).
Trauma inhalasi dapat menunjukkan cedera termal supraglottik, iritasi kimia
pada saluran pernapasan, toksisitas sistemik karena agen seperti karbon monoksida
(CO) dan sianida. Respons inflamasi yang dihasilkan dapat menyebabkan volume
resusitasi cairan yang lebih tinggi, disfungsi pulmonal progresif, penggunaan
ventilator yang berkepanjangan, peningkatan risiko pneumonia, dan sindrom
gangguan pernapasan akut (ARDS) (Walker, et all., 2015).
Trauma inhalasi merupakan masalah klinis yang lebih kompleks. Trauma
inhalasi yang parah merupakan proses mekanis yang ditandai dengan edema paru,
edema bronkial, dan sekresi yang dapat menutup jalan napas sehingga menyebabkan
atelektasis dan pneumonia (Dries & Frederick, 2013).
Trauma inhalasi merupakan komplikasi yang terjadi pada luka bakar dengan
persentase sekitar 10 sampai 20 % pasien dan secara signifikan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas (Walker, et all., 2015).

2. ETIOLOGI
Gas CO adalah penyebab utama dari kejadian trauma inhalasi. Karbon
monoksida (CO ) adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau yang dihasilkan
dari proses pembakaran yang tidak sempurna dari material yang berbahan dasar
karbon seperti kayu, batu bara, bahan bakar minyak dan zat-zat organik lainnya.
Setiap korban kebakaran api harus dicurigai adanya intoksikasi gas CO. Sekitar 50%
kematian akibat luka bakar berhubungan dengan trauma inhalasi dan hipoksia dini
menjadi penyebab kematian lebih dari 50% kasus trauma inhalasi. Intoksikasi gas CO
merupakan akibat yang serius dari kasus inhalasi asap dan diperkirakan lebih dari
80% penyebab kefatalan yang disebabkan oleh trauma inhalasi (Louise & Kristine
dalam Soekamto, 2013)

3. PATOFISIOLOGI
Trauma Inhalasi terjadi karena pernafasan menghirup asap atau zat kimia
darivhasilpembakaran yang menimbulkan angka morbiditas dan mortalitas yang
signifikan. Bahkanpada ruang yang tertutup, trauma inhalasi dapat menyebabkan
disfungsi pulmonary dalamwaktu yang lama.
Trauma Inhalasi dapat menyebankan keracunan sistemik pada tubuh. Lokasi
dankeparahan trauma tergantung dari beberapa faktor, termasuk sumber api, ukuran
dandiameter partikel yang ada dalam asap, lamanya kebakaran, dan kandungan gas-
gasnya.Adanya kandungan racun yang masuk dalam tubuh secara langsung
disebabkan oleh unsur-unsur yang memiliki berat rendah dalam asap karena
kandungan pHnya, kemampuan untukmembentuk radikal bebas, dan kemampuan
mereka untuk mencapai jalan napas bawah danalveoli.
Munculnya trauma inhalasi pada jalan napas atas karena adanya pertugaran
gasdengan temperatur yang panas yang melewati oro- dan nasopharing. Trauma ini
dengancepat menimbulkan eritema, ulserasi, dan edema. Dengan adanya luka bakar
dan traumainhalasi, pengaturan cairan yang agresif diperlukan untuk menangani syok
luka bakar danmenangani pembentukan edema di awal.
Selanjutnya, adanya luka bakar di wajah dan leherdapat menyebabkan distorsi
anatomi atau kompresi eksternal pada jalan napas atas, dankomplikasi pada jalan
napas. Hal ini juga dapat menyebabkan inflamasi akut, kerusakanfungsi silia yang
akan mengganggu pembersihan proses jalan napas, meningkatkan resikoterinfeksi
bakteridalam beberapa minggu. Lebih lanjut, peningkatan produksi secret
dapatmenyebabkan obstruksi jalan napas, atelektasis, merusak pertukaran gas
(Ronald P Micak,2017).
Pathway

TRAUMA INHALASI

KONSENTRASI CO MENINGKAT
DALAM RUANGAN

TRAUMA PADA JALAN


TD MENURUN KARENA KADAR CO DIHIRUP BERLEBIH DALAM
NAFAS ATAS KARENA
OKSIGEN BERKURANG TUBUH SEHINGGA O2 MENIPIS
TEMPERATUR PANAS DAN
PH ASAM

HEMOGLOBIN BERIKATAN
DENGAN CO SEHINGGA TERDENGAR WHEEZING
BANYAK TERBENTUK
SENINGGA TERBENTUK IKATAN

KADAR OKSIGEN DALAM


DARAH DAN JARINGAN
MENURUN

TERJADI SYNCOPE

KOMPENSASI TUBUH
TAKIKARDI DAN TAKIPNEA
4. GAMBARAN KLINIS
Oleh karena trauma inhalasi terjadinya tidak segera dan sering tidak ditangani
sesegera mungkin, maka perlu diketahui tanda-tanda yang dapat mengarahkan kita
untuk bertindak dan harus mencurigai bahwa seseorang telah mengalami trauma
inhalasi antala lain:
 Luka bakar pada wajah,
 alis mata dan bulu hidung hangus,
 adanya timbunan karbon dan tanda-tanda inflamasi akut di dalam orofaring,
 sputum yang mengandung arang atau karbon, wheezing, sesak dan suara serak
 Adanya riwayat terkurun dalam kepungan api
 Ledakan yng menyebakan trauma bakar pada kepala dan badan
 Tanda-tanda keracunan CO (karboksihemoglobin > 10 % setelah berada dalam
lingkungan api) seperti kulit berwarna pink sampai merah, takikardi, takipnea,
sakit kepala, mual, pusing, pandangan kabur, halusinasi, ataksia, kolaps sampai
koma.

5. PENATALAKSANAAN

Diagnosis yang cepat terhadap trauma inhalasi adalah penting untuk


penanganan cepat agar terhindar dari gagal nafas yang berakibat kematian.
Pengobatan trauma inhalsi adalah bersifat suportif.
1. Airway Jika dicurigai seseorang dengan trauma inhalsi maka sebelum dikirim ke
pusat luka bakar sebaiknya dilakukan intubasi cepat untuk melindungi jalan nafas
sebelum terjadi pembengkakan wajah dan faring yang biasanya terjadi 24-48 jam
setelah kejadian , dimana jika terjadi edema maka yang diperlukan adalah trakeostomi
atau krikotiroidotomi jika intubasi oral tidak dapat dilakukan.
2. Breathing Jika didapatkan tanda-tanda insufisiensi pernafasan seperti susah nafas,
stridor , batuk, retraksi suara nafas bilateral atau anda –tanda keracunan CO maka
dibutuhkan oksigen 100% atau oksigen tekan tinggi yang akan menurunkan waktu
paruh dari CO dalam darah.
3. Circulation Pengukuran tekanan darah dan nadi untk mengetahut stabilitas
hemodinamik. Untuk mencegah syok hipovolemik diperlukan resusitasi cairan
intravena. Pada pasien dengan trauma inhalasi biasanya biasanya dalam 24 jam
pertama digunakan cairan kristaloid 40-75 % lebih bnayak dibandingkan pasien yang
hanya luka bakar saja.
4. Neurologik Pasien yang berespon atau sadar membantu untuk mengetahui
kemampuan mereka untuk melindungi jalan nafas dan merupakan indikator yang baik
untk mengukur kesussesan resusitasi. Pasien dengan kelainan neurologik seringkali
memerlukan analgetik poten
5. Luka bakar Periksa seluruh badan untuk mengetahui adanya trauma lain dan luka
bakar. Cuci Nacl kulit yang tidak terbakar untuk menghindari sisa zat toksik
6. Medikasi
a. Kortikosteroid: Digunakan untuk menekan inflamasi dan menurunkan edema
b. Antibiotik : Mengobati infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh
staphylococus Aureus dan Pseudomonas Aeruginosa pada pasien-pasien dengan
kerusakan paru
c. Amyl dan sodium nitrit untuk mengobati keracunan sianida tetapi harus berhati-
hati jika ditemukan pula tanda-tanda keracunan CO kerena obat ini dapat
menyebabkan methahemoglobinemia. Oksigen dan sodium tiosulfat juga dapat
sebagai antidotum sianida, antidotum yang lain adalah hidroksikobalamin dan EDTA
d. Bronkodilator untuk pasien-pasien dengan bronkokontriksi. Pada kasus-kasus
berat bronkodilator digunakan secara intravena.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Data dasar : Pengumpulan data pada pasien dan keluarga dilakukan dengan
cara anamnesa, pemeriksaan fisik dan melalui pemeriksaan penunjang Data pasien :
Terdiri atas nama,umur,jenis kelamin, pekerjaan, alamat, tanggal MRS dan informan
apabila dalam melakukan pengkajian kita perlu informasi selain dari klien. Umur
seseorang tidak hanya mempengaruhi hebatnya luka bakar akan tetapi anak dibawah
umur 2 tahun dan dewasa diatas 80 tahun memiliki penilaian lebih tinggi terhadap
jumlah kematian. Data pekerjaaan perlu karena jenis pekerjaaan memilki resiko tinggi
terhadap luka. Anak kecil dan orang tua merupakan populasi yang beresiko tinggi
untuk mengalami luka bakar . Kaum remaja laki-laki dan pria dalam usia kerja juga
lebih sering menderita luka bakar ( smeltzer. 2001: 1911).
Keluhan utama : Keluhan yang dirasakan sakit, Hal spesifik dengan penyebab
dari traumanya. Riwayat penyakit sekarang : Penyebab dari traumanya dikarenakan
riwayat terkurung dalam api, luka bakar pada wajah, bulu hidung yang terbakar, dan
sputum yang hitam. Riwayat penyakit sebelumnya : Merupakan riwayat penyakit
yang mungkin pernah di derita oleh klien sebelum mengalami trauma inhalasi. Resiko
kematian akan meningkat jika klien mempunyai riwayat penyakit kardiovskuler, paru,
DM, neurologis . Riwayat penyakit keluarga : Merupakan gambaran keadaan
kesehatan keluarga dan penyakit yang berhubungan dngan kesehatan klien, serta
kemungkinan penyakit keturunan.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien


terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung actual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang
berkaitan dengan kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif (D.0001)
Definisi : ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas untuk
mempertahankan jalan nafas tetap paten.
Penyebab :
Fisiologis:
1. Spasme jalan napas.
2. Hipersekresi jalan napas.
3. Disfungsi neuromuskuler.
4. Benda asing dalam jalan napas.
5. Adanya jalan napas buatan.
6. Sekresi yang tertahan.
7. Hiperplasia dinding jalan napas.
8. Proses infeksi .
9. Respon alergi.
10. Efek agen farmakologis (mis. anastesi).

Gejala dan tanda mayor :


Subjektif : tidak tersedia.
Objektif :
1. batuk tidak efektif
2. tidak mampu batuk.
3. sputum berlebih.
4. Mengi, wheezing dan / atau ronkhi kering.
5. Mekonium di jalan nafas pada Neonatus.

2. Gangguan pertukaran gas (D0003)


Definisi : Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan atau eleminasi
karbondioksida pada membran alveolus-kapiler.
Penyebab :
1. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
2. Perubahan membran alveolus-kapiler.
Gejala dan Tanda Mayor – Subjektif :
1. Dispnea.
Gejala dan Tanda Mayor – Objektif :
1. PCO2 meningkat / menurun.
2. PO2 menurun.
3. Takikardia.
4. pH arteri meningkat/menurun.
5. Bunyi napas tambahan.

Gejala dan tanda minor – Subjektif :


1. Pusing.
2. Penglihatan kabur.

Gejala dan tanda minor – Objektif :


1. Sianosis.
2. Diaforesis.
3. Gelisah.
4. Napas cuping hidung.
5. Pola napas abnormal (cepat / lambat, regular/iregular, dalam/dangkal).
6. Warna kulit abnormal (mis. pucat, kebiruan).
7. Kesadaran menurun.

3. Nyeri Akut (D0077)


Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
Penyebab :
Agen pencedera fisiologis ( mis : inflamasi, iskemia, neoplasma). Batasan
Karakteristik :
Kriteria Mayor :
1) Subjektif : mengeluh nyeri.
2) Objektif : tampak meringis, bersikap protektif (mis : waspada, posisi
menghindar nyeri), gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur.
Kriteria Minor :

1) Subjektif : tidak ada


2) Objektif : tekanan darah meningkat, pola nafas berubah, nafus makan
berubah, proses berfikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri
sendiri, diaforesis.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome)
yang diharapkan. Sedangkan tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas
spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi
keperawatan. Tindakan pada intervensi keperawatan terdiri atas observasi, terapeutik,
edukasi dan kolaborasi (PPNI, 2018)
Menurut Nurarif & Kusuma (2015) dan Tim pokja SDKI PPNI (2017)

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi


tracheobronchiale,
trauma inhalasi .

Tujuan : Bersihan jalan nafas tetap efektif. Kriteria : Bunyi nafas vesikuler, RR
dalam batas normal, bebas dispnoe/cyanosis.

Intervensi Keperawatan :
1. Kaji reflek gangguan / menelan; perhatikan pengaliran air liur,
ketidakmampuan menelan, serak, batuk mengi.
2. Awasi frekuensi, irama, kedalaman pernafasan ; perhatikan adanya
pucat/sianosis dan sputum mengandung karbon atau merah muda.
3. Auskultasi paru, perhatikan stridor, mengi/gemericik, penurunan bunyi nafas,
batuk rejan.
4. Perhatikan adanya pucat atau warna buah ceri merah pada kulit yang cidera
5. Tinggikan kepala tempat tidur. Hindari penggunaan bantal di bawah kepala,
sesuai indikasi
6. Dorong batuk/latihan nafas dalam dan perubahan posisi sering.
7. Hisapan (bila perlu) pada perawatan ekstrem, pertahankan teknik steril.
8. Tingkatkan istirahat suara tetapi kaji kemampuan untuk bicara dan/atau
menelan sekret oral secara periodik.
9. Selidiki perubahan perilaku/mental contoh gelisah, agitasi, kacau mental.
10. Awasi 24 jam keseimbngan cairan, perhatikan variasi/perubahan.
11. Lakukan program kolaborasi meliputi :
 Berikan pelembab O2 melalui cara yang tepat, contoh masker wajah
 Awasi/gambaran seri GDA
 Kaji ulang seri rontgen
 Berikan / bantu fisioterapi dada/ spinometri intensif
 Siapkan/ bantu atau trakeostomi sesuai indikasi.

2. Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan cedera inhalasi asap atau
sindrom kompartemen torakal sekunder terhadap luka bakar sirkumfisial dari dada
atau leher.

Tujuan : Pasien dapat mendemonstrasikan oksigenasi adekuat.

Kriteria : RR 12-24 x/mnt, warna kulit normal, GDA dalam renatng normal, bunyi
nafas bersih, tak ada kesulitan bernafas.

Intervensi :
1. Pantau laporan GDA dan kadar karbon monoksida serum.
2. Berikan suplemen oksigen pada tingkat yang ditentukan. Pasang atau bantu
dengan selang endotrakeal dan temaptkan pasien pada ventilator mekanis
sesuai pesanan bila terjadi insufisiensi pernafasan (dibuktikan dnegna
hipoksia, hiperkapnia, rales, takipnea dan perubahan sensorium).
3. Anjurkan pernafasan dalam dengan penggunaan spirometri insentif setiap 2
jam selama tirah baring.
4. Pertahankan posisi semi fowler, bila hipotensi tak ada.
5. Untuk luka bakar sekitar torakal, beritahu dokter bila terjadi dispnea disertai
dengan takipnea. Siapkan pasien untuk pembedahan eskarotomi sesuai
pesanan.

3. Nyeri Akut berhubungan dengan kerusakan kulit/jaringan


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
tingkat nyeri menurun
Kriteria hasil : Tingkat nyeri ( L.08066)
a) Pasien mengatakan nyeri berkurang dari skala 7 menjadi 2
b) Pasien menunjukan ekspresi wajah tenang
c) Pasien dapat beristirahat dengan nyaman

Rencana tindakan : (Manajemen nyeri I.08238)


1) Identifikasi lokasi, karakteristik nyeri, durasi, frekuensi,
intensitas nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
4) Berikan terapi non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis: akupuntur,terapi musik hopnosis, biofeedback, teknik
imajinasi terbimbing,kompres hangat/dingin)
5) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis: suhu
ruangan, pencahayaan,kebisingan)
6) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
7) Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri
8) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
keperawatan. Tindakan mencakup tindakan mandiri dan tindakan kolaborasi
(Wartonah, 2015). Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien,
faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi
keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Dinarti & Muryanti, 2017).
Jenis Implementasi Keperawatan Dalam pelaksanaannya terdapat tiga jenis
implementasi keperawatan, yaitu:
1. Independent Implementations adalah implementasi yang diprakarsai sendiri oleh
perawat untuk membantu pasien dalam mengatasi masalahnya sesuai dengan
kebutuhan, misalnya: membantu dalam memenuhi activity daily living (ADL),
memberikan perawatan diri, mengatur posisi tidur, menciptakan lingkungan yang
terapeutik, memberikan dorongan motivasi, pemenuhan kebutuhan psiko-sosio-
kultural, dan lain-lain.
2. Interdependen/Collaborative Implementations Adalah tindakan keperawatan atas
dasar kerjasama sesama tim keperawatan atau dengan tim kesehatan lainnya,
seperti dokter. Contohnya dalam hal pemberian obat oral, obat injeksi, infus,
kateter urin, naso gastric tube (NGT), dan lain-lain.
3. Dependent Implementations Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari
profesi lain, seperti ahli gizi, physiotherapies, psikolog dan sebagainya, misalnya
dalam hal: pemberian nutrisi pada pasien sesuai dengan diit yang telah dibuat oleh
ahli gizi, latihan fisik (mobilisasi fisik) sesuai dengan anjuran dari bagian
fisioterapi.

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi adalah proses keberhasilan tindakan keperawatan yang
membandingkan antara proses dengan tujuan yang telah ditetapkan, dan menilai
efektif tidaknya dari proses keperawatan yang dilaksanakan serta hasil dari penilaian
keperawatan tersebut digunakan untuk bahan perencanaan selanjutnya apabila
masalah belum teratasi. Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian
proses keperawatan guna tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan
tercapai atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan mengukur keberhasilan
dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi
kebutuhan pasien (Dinarti &Muryanti, 2017)
Menurut (Asmadi, 2008) terdapat 2 jenis evaluasi :
1. Evaluasi formatif (proses)
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan
keperawatan yang telah dilaksanaan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi
empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif (data berupa
keluhan klien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis data (perbandingan data
dengan teori) dan perencanaan.
Komponen catatan perkembangan, antara lain sebagai berikut: Kartu
SOAP (data subjektif, data objektif, analisis/assessment, dan perencanaan/plan)
dapat dipakai untuk mendokumentasikan evaluasi dan pengkajian ulang.
1. S ( Subjektif ): data subjektif yang diambil dari keluhan klien, kecuali pada
klien yang afasia.
2. O (Objektif): data objektif yang siperoleh dari hasil observasi perawat,
misalnya tanda-tanda akibat penyimpangan fungsi fisik, tindakan
keperawatan, atau akibat pengobatan.
3. A (Analisis/assessment): Berdasarkan data yang terkumpul kemudian dibuat
kesimpulan yang meliputi diagnosis, antisipasi diagnosis atau masalah
potensial, dimana analisis ada 3, yaitu (teratasi, tidak teratasi, dan sebagian
teratasi) sehingga perlu tidaknya dilakukan tindakan segera. Oleh karena itu,
seing memerlukan pengkajian ulang untuk menentukan perubahan diagnosis,
rencana, dan tindakan.
4. (Perencanaan/planning): perencanaan kembali tentang pengembangan
tindakan keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan dating (hasil
modifikasi rencana keperawatan) dengan tujuan memperbaiki keadaan
kesehatan klien. Proses ini berdasarkan kriteria tujuan yang spesifik dan
priode yang telah ditentukan.

2. Evaluasi Sumatif (Hasil)


Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas
proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai dan
memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Metode yang dapat
digunakan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan wawancara pada akhir
pelayanan, menanyakan respon klien dan keluarga terkait pelayanan keperawatan,
mengadakan pertemuan pada akhir layanan. Adapun tiga kemungkinan hasil
evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan pada tahap evaluasi
meliputi:
1. Tujuan tercapai/masalah teratasi : jika klien menunjukan perubahan sesuai
dengan tujuan P dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.
2. Tujuan tercapai sebagian/masalah sebagian teratasi : jika klien menunjukan
perubahan sebagian dari kriteria hasil yang telah ditetapkan.
Tujuan tidak tercapai/masalah tidak teratasi : jika klien tidak menunjukan
perubahan dan kemajuan sama sekali yang sesuai dengan tujuan dan kriteria
hasil yang telah ditetapkan dan atau bahkan timbul masalah/diagnosa
keperawatan baru.
DAFTAR PUSTAKA

Dries, David J & Frederick W Endorf.” Inhalation Injury: Epidemiology, Pathology,


Treatment Strategies”. Scand J Trauma Resusc Emerg Med. 2013; 21: 31.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3653783

Gill, Preea & Rebecca V Martin. “Smoke Inhalation Injury”. BJA Education, 15 (3): 143–
148 (2015). doi: 10.1093/bjaceaccp/mku017

Gobel, M. G. S., Mulyadi, N., & Malara, R. (2016). Hubungan Peran Parawat Sebagai
Care Giver Dengan Tingkat Kepuasan Pasien Instalasi Gawat Darurat Di Rsu.
Gmibm Monompia Kotamobagu Kabupaten Bolaang Mongondow. Jurnal
Keperawatan, 4(2)

Hadiyani, Murti. 2012. Keracunan Karbon Monoksida. Jakarta: Badan POM, RI diunduh
melalui http://www2.pom.go.id/public/siker/desc/produk/racunkarmon.pdf pada hari
selasa , 19 september 2017 pukul 08.35

Jasa, Z. K., Saleh, S. C., & Rahardjo, S. (n.d.). Dan Intraventrikular Yang Dilakukan Vp-
Shunt Emergensi Outcome Of Patients With Intracerebral And Intraventricular
Haemorrhage After An Emergency Vp-Shunt InsertioN.
1(3), 158–162.

Paramita, D dkk. 2013. “Luka Bakar Disertai Truma Inhalasi”. Jambi: Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universita Negeri Jambi.

Ronald P Micak, P. M. (2017, 9 24). Inhalation Injury from Heat, Smoke, or Chemical
Irritants. Wolters Kluwer, pp. 1-5

Walker, Patrick F, et al. “Diagnosis And Management Of Inhalation Injury: An Updated


Review”.CritCare.2015;19:351.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
PMC4624587

Anda mungkin juga menyukai