Anda di halaman 1dari 7

Skenario 1

Trauma Inhalasi
1. Definisi Trauma Inhalasi
• Trauma inhalasi adalah akibat dari respons inflamasi jalan nafas terhadap inhalasi bahan-
bahan yang terbakar tidak sempurna, dan merupakan penyebab kematian tertinggi (sampai
77%) pada pasien-pasien luka bakar. Kira-kira 33% pasien dengan luka bakar yang luas
menderita trauma inhalasi, dan risikonya meningkat sesuai dengan luas permukaan tubuh
yang terbakar. Trauma inhalasi yang berdiri sendiri akan meningkatkan mortalitas sebesar
20%.

• Trauma inhalasi atau cedera inhalasi merupakan kerusakan pada saluran pernafasan yang
disebabkan karena menghirup gas berbahaya, uap dan komponen partikel yang terdapat
dalam asap pembakaran. Hal ini bermanifestasi sebagai cedera termal, cedera kimia dan
toksisitas sistemik, ataupun kombinasi dari semuanya (Gill & Rebecca. 2015).

• Trauma inhalasi dapat menunjukkan cedera termal supraglottik, iritasi kimia pada saluran
pernapasan, toksisitas sistemik karena agen seperti karbon monoksida (CO) dan sianida.
Respons inflamasi yang dihasilkan dapat menyebabkan volume resusitasi cairan yang lebih
tinggi, disfungsi pulmonal progresif, penggunaan ventilator yang berkepanjangan,
peningkatan risiko pneumonia, dan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) (Walker, et
all., 2015).

• Trauma inhalasi merupakan masalah klinis yang lebih kompleks. Trauma inhalasi yang parah
merupakan proses mekanis yang ditandai dengan edema paru, edema bronkial, dan sekresi
yang dapat menutup jalan napas sehingga menyebabkan atelektasis dan pneumonia (Dries
& Frederick, 2013).

• Trauma inhalasi merupakan komplikasi yang terjadi pada luka bakar dengan persentase
sekitar 10 sampai 20 % pasien dan secara signifikan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
(Walker, et all., 2015).

Definisi Luka Bakar


✓ Luka bakar merupakan kerusakan pada kulit yang disebabkan oleh berbagai sumber
non-mekanik seperti zat kimia, listrik, panas, sinar matahari atau radiasi nuklir (Murray
& Hospenthal, 2008).

✓ Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera (injuri) sebagai akibat kontak langsung atau
terpapar dengan sumber-sumber panas (thermal), listrik (electrict), zat kimia
(chemycal), atau radiasi (radiation). Jurnal Profesi Volume 08 / Februari–September
2012 dengan Judul Penatalaksanaan Luka Bakar (Combustio) oleh Tutik
Rahayuningsih, S. Kep., Ns.
✓ Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang dapat disebabkan oleh
panas (api, cairan/lemak panas, uap panas), radiasi, listrik, kimia. Luka bakar merupakan
jenis trauma yang merusak dan merubah berbagai sistem tubuh. Luka bakar adalah luka
yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan dengan benda-benda yang
menghasilkan panas baik kontak secara langsung maupun tidak langsung. (Jurnal Widya
Medika Surabaya Vol.2 No.2 Oktober 2014 Luka Bakar Sudut Pandang Dermatologi Jose
L. Anggowarsito)

2. Etiologi dan Faktor Risiko


Gas CO adalah penyebab utama dari kejadian trauma inhalasi. Karbon monoksida (CO)
adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau yang dihasilkan dari proses pembakaran yang
tidak sempurna dari material yang berbahan dasar karbon seperti kayu, batu bara, bahan bakar
minyak dan zat-zat organik lainnya. Setiap korban kebakaran api harus dicurigai adanya
intoksikasi gas CO. Sekitar 50% kematian akibat luka bakar berhubungan dengan trauma inhalasi
dan hipoksia dini menjadi penyebab kematian lebih dari 50% kasus trauma inhalasi. Intoksikasi
gas CO merupakan akibat yang serius dari kasus inhalasi asap dan diperkirakan lebih dari 80%
penyebab kefatalan yang disebabkan oleh trauma inhalasi (Louise & Kristine dalam Soekamto,
2013).
Ada tiga mekanisme yang menyebabkan cedera pada trauma inhalasi, yaitu kerusakan
jaringan karena suhu yang sangat tinggi, iritasi paru-paru dan asfiksia. Hipoksia jaringan terjadi
karena sebab sekunder dari beberapa mekanisme. Proses pembakaran menyerap banyak
oksigen, dimana di dalam ruangan sempit seseorang akan menghirup udara dengan konsentrasi
oksigen yang rendah sekitar 10-13%. Penurunan fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) akan
menyebabkan hipoksia (Peter dalam Soekamto, 2013).
3. Indikasi Pemasangan Ventilator Mekanik
• Pasien dengan distres pernafasan gagal nafas, henti nafas (apnu) maupun hipoksemia yang
tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan indikasi ventilasi mekanik. Idealnya
pasien telah mendapat intubasi dan pemasangan ventilasi mekanik sebelum terjadi gagal
nafas yang sebenarnya. Distres pernafasan disebabkan ketidakadekuatan ventilasi dan atau
oksigenasi. Prosesnya dapat berupa kerusakan paru (seperti pada pneumonia) maupun
karena kelemahan otot pernafasan dada (kegagalan memompa udara karena distrofi otot).

• Insufisiensi jantung. Tidak semua pasien dengan ventilasi mekanik memiliki kelainan
pernafasan primer. Pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan
aliran darah pada sistem pernafasan (sebagai akibat peningkatan kerja nafas dan konsumsi
oksigen) dapat mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilasi mekanik untuk
mengurangi beban kerja sistem pernafasan sehingga beban kerja jantung juga berkurang.

• Disfungsi neurologis. Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apnoe
berulang juga mendapatkan ventilasi mekanik. Selain itu ventilasi mekanik juga berfungsi
untuk menjaga jalan nafas pasien serta memungkinkan pemberian hiperventilasi pada klien
dengan peningkatan tekanan intra cranial.

• Tindakan operasi. Tindakan operasi yang membutuhkan penggunaan anestesi dan sedative
sangat terbantu dengan keberadaan alat ini. Resiko terjadinya gagal napas selama operasi
akibat pengaruh obat sedative sudah bisa tertangani dengan keberadaan ventilasi mekanik.

Contoh indikasi medis penggunaan ventilasi mekanik, yaitu:


• Gagal Napas
Pasien dengan distres pernapasan gagal napas, henti napas (apneu), maupun hipoksemia
yang tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan indikasi ventilator mekanik.
Idealnya, pasien telah mendapat intubasi dan pemasangan ventilator mekanik sebelum
terjadi gagal napas yang sebenarnya. Distres pernapasan disebabkan ketidakadekuatan
ventilasi dan atau oksigenasi. Prosesnya dapat berupa kerusakan paru (seperti pada
pneumonia) maupun karena kelemahan otot pernapasan dada (kegagalan memompa udara
karena distrofi otot).

• Apneu dengan henti napas, termasuk kasus akibat intoksikasi


Pasien apneu, seperti pada kondisi kerusakan sistem saraf pusat katastropik, membutuhkan
tindakan yang cepat untuk pemasangan ventilator mekanik.

• Syok
Semua jenis syok menyebabkan proses metabolik seluler yang akan memicu terjadinya jejas
sel, organ failure, dan kematian. Syok akan menyebabkan paling tidak tiga respon
pernapasan, yaitu: peningkatan ruang mati ventilasi, disfungsi otot-otot pernapasan, dan
inflamasi pulmoner. pasien dengan syok biasanya dilaporkan sebagai dispneu. Pasien juga
biasanya mengalami takipneu dan takikardi, asidosis metabolik atau alkalosis respiratorik
dengan beberapa derajat kompensasi respiratorik.
• Insufisiensi Jantung
Tidak semua pasien dengan ventilator mekanik memiliki kelainan pernapasan primer. Pada
pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem
pernapasan (sebagai akibat peningkatan kerja napas dan konsumsi oksigen) dapat
mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilator untuk mengurangi beban kerja sistem
pernapasan sehingga beban kerja jantung juga berkurang.

• Disfungsi Neurologis
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang berisiko mengalami apneu berulang juga
mendapatkan ventilator mekanik. Selain itu, ventilator mekanik juga berfungsi untuk
menjaga jalan napas pasien. Ventilator mekanik juga memungkinkan pemberian
hiperventilasi pada klien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
(dr. Dita Aditianingsih, SpAn, Universitas Indonesia. 2013)

Indikasi pemasangan ventilator mekanik :


• Hiperkapnia
(peningkatan PCO2 dengan ketidakmampuan mempertahankan ventilasi aveolar yang
adekuat). Penyebab hiperkapnia yang dapat diobati harus dicari (misalnya narkotik).
Beberapa pasien dengan penyakit paru kronik akan mentoleransi peningkatan PACO2,
pasien tersebut tetap sadar dan merasa nyaman. Namun, pH arteri di bawah 7,1 dianggap
sebagai indikasi untuk ventilsi mekanik.

• Peninggian tekanan intrakanial.


Hipokapnia yang disengaja dengan ventilasi tekanan tekanan positif intermiten (IPPV;
intermitent possitive-pressure ventilation) dapat diindikasikan untuk menurunkan tekanan
intrakranial pada keadaan keadaan tertentu.

• Hipoksia.
PAO2 biasanya akan diperbaiki dengan IPPV. Kriteria khusus untuk melakukan ventilasi
mekanik adalah (a) PAO2 < 40 torr pada )2 inspirasi yang maksimal, (b) peningkatan lemah,
(c) penyakit pernapasan yang cepat memburuk, (d) penigkatan keja pernapasan (misalnya
retraksi interkostal selama inspirasi), (e) peningkatan PACO2.
(Graber, Mark. Dkk. 1997. Buku saku dokter keluarga. Jakarta : Kedokteran EGC)
4. Klasifikasi

5. Tanda dan Gejala


➢ Luka bakar wajah
➢ Edema dari orofaring
➢ Suara serak
➢ Stridor
➢ Lesi mukosa atas saluran napas
➢ Sputum karbon
➢ Gejala pada saluran napas bagian bawah seperti takipnea, dyspnea, batuk, suara napas
menurun, wheezing, rhonki, retraksi
➢ Sianosis
➢ Asfiksia
6. Pathway dan Penatalaksanaan
• Airway
Jika dicurigai seseorang dengan trauma inhalsi maka sebelum dikirim ke pusat luka bakar
sebaiknya dilakukan intubasi cepat untuk melindungi jalan nafas sebelum terjadi
pembengkakan wajah dan faring yang biasanya terjadi 24-48 jam setelah kejadian, dimana
jika terjadi edema maka yang diperlukan adalah trakeostomi atau krikotiroidotomi jika
intubasi oral tidak dapat dilakukan.

• Breathing
Jika didapatkan tanda-tanda insufisiensi pernafasan seperti susah nafas, stridor, batuk,
retraksi suara nafas bilateral atau anda –tanda keracunan CO maka dibutuhkan oksigen
100% atau oksigen tekan tinggi yang akan menurunkan waktu paruh dari CO dalam darah.

• Circulation
Pengukuran tekanan darah dan nadi untk mengetahut stabilitas hemodinamik. Untuk
mencegah syok hipovolemik diperlukan resusitasi cairan intravena. Pada pasien dengan
trauma inhalasi biasanya biasanya dalam 24 jam pertama digunakan cairan kristaloid 40-75
% lebih bnayak dibandingkan pasien yang hanya luka bakar saja.

• Neurologik
Pasien yang berespon atau sadar membantu untuk mengetahui kemampuan mereka untuk
melindungi jalan nafas dan merupakan indikator yang baik untk mengukur kesussesan
resusitasi. Pasien dengan kelainan neurologik seringkali memerlukan analgetik poten

• Luka bakar
Periksa seluruh badan untuk mengetahui adanya trauma lain dan luka bakar. Cuci Nacl kulit
yang tidak terbakar untuk menghindari sisa zat toksik.

• Medikasi
➢ Kortikosteroid: Digunakan untuk menekan inflamasi dan menurunkan edema
➢ Antibiotik : Mengobati infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh staphylococus
Aureus dan Pseudomonas Aeruginosa pada pasien-pasien dengan kerusakan paru
➢ Amyl dan sodium nitrit untuk mengobati keracunan sianida tetapi harus berhati-hati
jika ditemukan pula tanda-tanda keracunan CO kerena obat ini dapat menyebabkan
methahemoglobinemia. Oksigen dan sodium tiosulfat juga dapat sebagai antidotum
sianida, antidotum yang lain adalah hidroksikobalamin dan EDTA
➢ Bronkodilator untuk pasien-pasien dengan bronkokontriksi. Pada kasus-kasus berat,
bronkodilator digunakan secara intravena.

7. Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium
➢ Pulse Oximetry
Digunakan untuk mengukur saturasi hemoglobin yang meningkat palsu akibat akatan
CO terhadap hemoglobin sehingga kadar karboksihemoglobin seringkali diartikan
sebagai oksihemaglobin.

➢ Analisa Gas Darah


Untuk mengukur kadar karboksihemoglobin, keseimbangan asam basa dan kadar
sianida. Sianida dihasilkan dari kebakaran rumah tangga dan biasanya terjadi
peningkatan kadar laktat plasma.
➢ Elektrolit
Untuk memonitor abnormalitas elektrolit sebagai hasl dari resusitasi cairan dalam
jumlah besar.

➢ Darah lengkap
Hemokonsentrasi akibat kehilangan cairan biasanya terjadi sasaat setelah trauma.
Hematokrit yang menurun secara progresif akibat pemulihan volume intravaskular.
Anemia berat biasanya terjadi akibat hipoksia atau ke tidak seimbangan hemodinamik.
Peningkatan sel darah putih untuk melihat adanya infeksi.

• Foto Thorak
Biasanya normal dalam 3-5 hari, gambran yang dapat muncul sesudahnya termasuk
atetektasis, edema paru dan ARDS.

• Laringoskopi dan Bronkoskopi fiberoptik


Keduanya dapat digunakan sebagai alat diagnostik maupun terapeutik. Pada bronkoskopi
biasnya didapatkan gambaran jelaga, ulserasi, sekresi, mukopurulen. Bronkoskopi serial
berguna untuk menghilangkan debris dan sel- sel nekrotik pada kasus-kassus paru atau jika
suction dan ventilasi tekanan positif tidak cukup memadai.

8. EBN Luka Bakar (A, B, C, D, E)


9. Perhitungan Luka Bakar

10.Komplikasi
• Terhadap respirasi dapat berakibat Hipoksia jaringan dan seluler yang bersifat ringan sampai
berat.
• Komplikasi terhadap kardiovaskular dapat berupa iskemia miokard, edema pulmonal,
aritmia dan sindrom miokardial. Efek kardiovaskuler ini dapat disebabkan karena
menurunnya cardiac output yang disebabkan oleh hipoksia jaringan, ikatan CO dengan
myoglobin dan menyebabkan kurangnya pelepasan oksigen ke sel.
• Komplikasi terhadap sistem saraf berupa nistagmus, ataksia dan pada intoksikasi akut yang
berat dapat ditemukan edema serebri hingga Hidrosefalus akut Komplikasi pada fungsi ginjal
yaitu Rhabdomyolisis dan gagal ginjal akut.
• Rhabdomyolisis dapat terjadi pada otot.
• Trauma paru berat, edema, dan ketidakmampuan untuk oksigenasi atau ventilasi
yangadekuat dapat menyebabkan kematian.
• Keracunan CO dan inhalasi dari hasil pembakaran yang lain secara bersamaan
dapatmenyebabkan hipoksemia, trauma organ dan morbiditas.
(Soekamto, 2008)

11.IRK

Anda mungkin juga menyukai