Anda di halaman 1dari 4

/ Musibah dan Muhasabah /

Secara ringkas, musibah merupakan kata dari bahasa Arab untuk menyebut apa
yang disebut dalam bahasa Indonesia terwakili dengan sebutan bencana yang
tidak mengenakkan.
Musibah beririsan dengan Bala atau cobaan, bedanya, cobaan atau ujian lebih
umum, bisa berupa kebaikan maupun keburukan, kesenangan maupun
kesengsaraan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

‫َو َنْبُلوُك م ِبالَّش ِّر َو اَخْلِرْي ِفْتَنًة َو ِإَلْيَنا ُتْر َجُعوَن‬


“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan
(yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS.
Al Anbiya: 35)

Dalam firman-Nya yang lain:

‫وَن َٰذ ِلَك ۖ َل َنا ِبا َناِت الَّس ِّي اِت‬ ‫ِم‬ ‫ِم‬
‫َو َب ْو ُه ْم َحْلَس َو َئ‬ ‫َو َقَّطْع َناُه ْم يِف اَأْلْر ِض ُأًمَما ۖ ْنُه ُم الَّص اُحِلوَن َو ْنُه ْم ُد‬
‫َلَعَّلُه ْم َيْر ِج ُعوَن‬
“Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di
antaranya ada orang-orang yang sholeh dan di antaranya ada yang tidak
demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana)
yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (QS. Al A’raf: 168).

Baik Musibah maupun Bala, pada hakikatnya ditimpakan oleh Allah Al-Hakim
sebagai keadaan di mana seorang hamba dituntut untuk bersabar dan
menjadikannya jalan untuk semakin mendekat kepada-Nya.

Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ta’ala ‘anha pernah menuturkan, bahwa jika
langit mendung, awan menghitam dan angin kencang, wajah Baginda Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang biasanya memancarkan cahaya
akan terlihat pucat-pasi karena takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Beliau
lalu keluar dan masuk ke masjid dalam keadaan gelisah seraya berdoa, “Ya
Allah…aku berlindung kepada-Mu dari keburukan hujan dan angin ini, dari
keburukan apa saja yang dia kandung dan keburukan apa saja yang dia bawa.”
Aisyah radhiallahu ta’ala ‘anha bertanya, “Ya Rasulullah, jika langit mendung,
semua orang merasa gembira karena pertanda hujan akan turun. Namun,
mengapa engkau tampak ketakutan?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aisyah, bagaimana aku dapat
meyakini bahwa awan hitam dan angin kencang itu tidak akan mendatangkan
azab Allah? Kaum 'Ad telah dibinasakan oleh angin topan. Saat awan mendung,
mereka bergembira karena mengira hujan akan turun. Padahal Allah kemudian
mendatangkan azab atas mereka.” (THR. Muslim dan at-Tirmidzi).
*
MasyaAllah! Kita sepantasnya takjub dengan rasa takut Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Bayangkan, Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kekasih-Nya, penghulu ahli surga. Allah
Subhanahu wa ta’ala mustahil mengazab beliau. Namun, rasa takut kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala sering menyelinap dalam batin beliau di saat-saat awan
mendung dan angin kencang.
Tidaklah rasa takut yang sedemikian terjadi pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melainkan ianya adalah hal yang terpuji, salah satu bentuk
ketaqwaan; Al-khaufu minal Jaliil.
Bagaimana dengan para Sahabat beliau? Sama saja. Para Sahabat adalah juga
orang-orang yang paling takut kepada Allah Al-Jalil setelah Baginda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal mereka telah dijamin masuk ke dalam
surga-Nya.
Demikian pula para tabi'in dan generasi sesudah mereka. Kebanyakan mereka
adalah generasi yang mengisi hari-harinya dengan amal-ibadah. Malam-
malamnya diisi dengan zikir, tilawah Alquran dan qiyamul lail. Siangnya sering
diisi dengan shaum sembari tetap mencari nafkah, berdakwah bahkan berjihad
(berperang) di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala. Namun demikian, rasa takut
mereka terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala begitu luar biasa.
Bagaimana dengan generasi Muslim saat ini? Sungguh, musibah demi musibah di
negeri ini sudah sering terjadi; mulai dari tsunami, gunung meletus, banjir
bandang, kebakaran hutan hingga gempa bumi yang beruntun terjadi. Namun,
sepertinya musibah demi musibah itu datang sekadar menimbulkan duka-lara
seketika, kemudian setelah itu tak berbekas apa-apa.
Banyak orang kemudian bermaksiat seperti biasa, melakukan banyak dosa
seperti sedia kala. Penguasa dan wakil rakyat tetap menerapkan hukum-hukum
kufur. Para ulama pun seolah tetap merasa 'nyaman' dengan tidak
diberlakukannya hukum-hukum Allah. Kaum Muslim secara umum juga
sepertinya tetap merasa 'enjoy' dengan berbagai kemaksiatan dan kezaliman
yang ada.
Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): "Apakah kalian
merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjung-
kirbalikkan bumi bersama kalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?
Ataukah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia
akan mengirimkan badai yang berbatu? Kelak kalian akan mengetahui
bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? Sesungguhnya orang-orang
yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Alangkah hebatnya
kemurkaan-Ku" (TQS al-Mulk [67]: 16-18).
Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman (yang artinya): "Apakah mereka tidak
melihat bahwa sesunguhnya Kami mendatangi bumi, lalu Kami mengurangi bumi
itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Allah menetapkan hukum (menurut
kehendak-Nya); tidak ada yang dapat menolak kete-tapan-Nya" (TQS ar-Ra'd [13]:
41).
Sebagian ahli tafsir menerangkan bahwa maksud dari "Kami mengurangi bumi
itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya" adalah dengan tenggelamnya
sebagian bumi, gempa dan berbagai macam bencana. Semua ini, sebagaimana
terungkap dalam ayat di atas, adalah semata-mata atas kehendak Allah
Subhanahu wa ta’ala (Lihat: QS at-Taubah [9]: 51).
Harus disadari, segala bentuk bencana alam merupakan bukti kemahakuasaan
Allah Subhanahu wa ta’ala. Dengan itulah, kita seharusnya menyadari betapa
manusia ini sangat lemah dan tidak berdaya di hadapan kemahakuasaan Allah
(Lihat: QS ar-Ra'd [13]: 41 di atas).
Harus disadari pula, dengan bencana alam itu Allah sebetulnya hendak menguji
kesabaran manusia (QS al-Baqarah [2]: 155-157).
Lebih dari itu, harus disadari bahwa berbagai bencana dan musibah yang terjadi
merupakan teguran sekaligus peringatan agar kita terdorong untuk rajin
melakukan muhasabah (introspeksi diri). Muhasabah tentu sangat penting.
Dengan itu, setiap Muslim bisa mengukur sejauh mana ia telah betul-betul
menaati seluruh perintah Allah Subhanahu wa ta’ala, dan sejauh mana ia benar-
benar telah menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan itu pula, setiap saat ia akan
terdorong untuk terus berupaya menjadi orang yang selalu taat kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala serta menjauhi maksiat dan dosa kepada-Nya.
Tentu, muhasabah wajib dilakukan setiap saat, bukan sekadar saat-saat terjadi
musibah, seperti tsunami dan gempa yang terjadi saat ini.

“Hai orang-orang Muhajirin, lima perkara; jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku
mohon perlindungan kepada Allah agar kamu tidak mendapatinya: Perbuatan
keji (seperti: bakhil, zina, minum khomr, judi, merampok dan lainnya) tidaklah
dilakukan pada suatu masyarakat dengan terang-terangan, kecuali akan
tersebar wabah penyakit tho’un dan penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada
pada orang-orang dahulu, yang telah lewat, Orang-orang tidak mengurangi
takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan paceklik,
kehidupan susah, dan kezholiman pemerintah, Orang-orang tidak menahan zakat
hartanya, kecuali hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka. Seandainya
bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan, Orang-orang
tidak membatalkan perjanjian Allah dan perjanjian Rasul-Nya, kecuali Allah
akan menjadikan musuh dari selain mereka (orang-orang kafir) menguasai
mereka dan merampas sebagian yang ada di tangan mereka, Dan selama
pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab
Allah, dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, kecuali Allah
menjadikan permusuhan di antara mereka.” (HR Ibnu Majah)
Wa ma tawfiqi illa bilLah.

Anda mungkin juga menyukai