Anda di halaman 1dari 16

“Eksistensi Suwuk di Era Millenial”

Untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif yang diampu oleh Bapak Rinekso

METODE PENELITIAN KUALITATIF

Asmaul Khusnah

201810270211006

PROGRAM STUDI MAGISTER SOSIOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH MALANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di era millenial ini, masih banyak penduduk Kota Batu yang masih menerapkan
praktik pengobatan Suwuk, meskipun sudah banyak rumah sakit yang telah modern
fasilitas pengobatannya. Suwuk atau dikenal sebagai mantra, merupakan salah satu sistem
penyembuhan tradisional pada masyarakat Jawa yang diyakini keampuhannya dalam
proses penyembuhan penyakit. Setiap kebudayaan dan masyarakat memiliki cara-cara
serta pengetahuan lokal tersendiri dalam mengatasi penyakitnya, termasuk metode
penyembuhan suwuk. Kebudayaan sinkretisme yang ada di Jawa rata-rata
melatarbelakangi metode penyembuhan suwuk hingga saat ini. Hal ini juga didukung oleh
pemahaman mengenai kelebihan fungsi pengobatan tradisional sebagai pengobatan
alternatif yang memenuhi kebutuhan kesehatan dari segi sosial, psikologi dan organik,
yang tidak didapat dari dokter ataupun pelayanan kesehatan (Foster dan Anderson,
1986:301).

Pengobatan Suwuk menjadi pengobatan alternatif yang sangat penting bagi


kehidupan masyarakat Jawa, karena pengobatan suwuk tumbuh dan berkembang dalam
kebudayaan Jawa, sehingga tidak diragukan jikalau pengobatan ini ada kaitan erat dengan
hal-hal magis. Dalam pengobatan tradisional, hal ini sangat lumrah terjadi. Secara umum,
Kalangie (1973: 15) membagi sistem medis dalam dua golongan besar, yakni sistem medis
ilmiah yang merupakan hasil perkembangan ilmu pengetahuan (terutama dalam dunia
barat) dan sistem non medis (tradisional) yang berasal dari aneka warna kebudayaan
manusia. Suwuk atau biasa disebut mantra tergolong dalam sistem non medis dengan latar
belakang pengobatan berbasis budaya. Metode penyembuhan suwuk sebenarnya telah lama
ada di masyarakat. Suwuk biasa dipraktikkan oleh seorang dukun. Salah satu ciri
penyembuhan dukun adalah penggunaan doa-doa atau bacaan-bacaan, air putih yang diisi
rapalan doa-doa dan ramuan dari tumbuh-tumbuhan (Agoes, 1996).

Pengobatan menggunakan metode suwuk adalah dengan kombinasi teknik


pengobatan lain seperti pijat dan pemberian ramuan herbal. Selain dengan pijatan diruas-
ruas jari kaki dan tangan, penggunaan pusaka misal keris juga dengan analisis riwayat
kesehatan, hingga komunikasi batin antara dukun dengan penunggu desa (danyang) tempat
pasien berasal. Metode suwuk ini dilakukan dan diriwayatkan secara turun-temurun oleh
dukun tersebut. Danyang ialah penghuni daerah tersebut yang tinggal sebelum desa itu
dibangun yang berupa mahluk halus atau demit, menurut kepercayaan warga, Danyang
terserbut sebagai penjaga dan melindungi desa tersebut. Danyang juga memberitahukan
kepada para warga kejadian-kejadian yang akan timbul. Danyang umumnya adalah nama
lain dari demit (yang adalah kata dasar Jawa yang berarti “mahkluk halus”). Seperti demit,
Danyang tinggal menetap di suatu tempat yang disebut punden; seperti demit, mereka
merespon permintaan tolong orang dan sebagai imbalannya, menerima janji akan
slametan. Seperti demit, mereka tidak menyakiti orang, hanya bermaksud melindungi.
Namun, berbeda dengan demit, beberapa Danyang dianggap sebagai arwah dari tokoh-
tokoh yang sudah meninggal; pendiri desa tempat mereka tinggal, orang pertama yang
membabat tanah. Mitos dalam perspektif ini, merupakan sebuah penyampaian pesan dari
masa lalu ke masa kini.

Pengobatan Suwuk juga menjadi warisan leluhur yang masih dipertahankan


masyarakatnya, untuk mendapatkan kesembuhan dari datangnya penyakit. Pada umumnya
kesembuhan dari pengobatan ini juga tidak bersifatmutlak, namun akibat adanya pengaruh
budaya yang kuat pengobatan ini masih terus dijalankan oleh masyarakatnya. Terkait
mengenai strategi adaptasi biologi dan sosial-budaya yang melahirkan sistem-sistem
medis, tingkah laku dan bentuk kepercayaan yang berlandaskan budaya yang timbul
sebagai respon terhadap ancaman-ancaman yang disebabkan oleh penyakit. Sifat yang
adaptif dari suatu sistem medis nampak jelas dari definisi Dunn yang baru : “pola-pola dari
pranata sosial dan tradisi-tradisi budaya yang menyangkut prilaku yang sengaja untuk
meningkatkan kesehatan, meskipun hasil dari tingkahlaku khusus tersebut belum tentu
kesehatan yang baik (Dunn 1976 :135, dikutip oleh Fortes/Anderson 2006 : 41).

Pengobatan Suwuk hingga saat ini masih tetap eksis di Kota Batu, khususnya di
Desa Temas yang notabenenya masih berada dipusat kota, dekat dengan rumah sakit
ataupun puskesmas yang mempunyai fasilitas maupun tenaga medis yang sudah ahli serta
memadai untuk keperluan pengobatan. Mbah Karmanu adalah salah satu dukun suwuk
yang ada di Desa Temas dan sudah cukup kondang ditelinga masyarakat sekitar dan
bahkan sampai luar kota. Metode yang digunakan oleh Mbah Karmanu dalam mengobati
pasiennya adalah dengan cara menggunakan doa-doa (mantra) serta dibantu oleh danyang
(penunggu desa setempat).
Selain melakukan suwuk pada orang dewasa, Mbah Karmanu juga dapat
melakukan suwuk pada bayi. Mbah Karmanu mengobati bayi yang terkena sawanen
(penyebutan sakit karena hal gaib). Bayi yang terkena sawan cenderung menangis terus
menerus dan disertai demam. Cara melakukan metode suwuk pada anak bayi yang
dilakukan oleh Mbah Karmanu antara lain adalah: daun sangket di kunyah (beliau yang
mengunyah daunnya) kemudian kunyahan dari daun sangket tersebut diusapkan pada dahi
bayi yang disuwuk tadi. Namun, apabila ramuan kunyahan daun sangket ini tetap tidak
berhasil membuat bayi “sembuh”, Mbah Karmanu ini akan memberikan sejumput garam
yang dibungkus dengan kertas yang sudah di beri asma’ (tulisan doa-doa yang
menggunakan tulisan arab), kemudian bungkusan garam tersebut ditaruh di bawah bantal
si bayi. dan apabila dalam satu atau dua hari si bayi masih tetap rewel, garam tadi di
campur dengan segelas air dan diminum oleh si ibu dan di susu kan ke bayi.

Penyakit sawan sendiri ditandai dengan sang bayi yang diganggu oleh mahluk halus
atau ketakutan tersendiri terhadap sesuatu yang mengakibatkan bayi tersebut menangis
sepanjang hari/malam dan hal tersebut tidak diketahui oleh orangtua sang bayi.
Pengobatannya pun, selain dilakukan dengan daun sangket ataupun garam, juga dilakukan
dengan membacakan doa-doa serta penulisan doa yang ditulis diselembar kertas yang
kemudian akan dibungkus menggunakan kain dan dilipat berbentuk persegi dan digunakan
sebagai kalung untuk bayi tersebut, dan nantinya kalung tersebut disebut sebagai jimat
penangkal gangguan mahluk halus, penangkal sial dll. Selain digunakan sebagai kalung, jimat
tersebut juga bisa diletakan pada benda yang digunakan sehari-hari seperti cincin.
Mantra dalam suwuk sebagai media doa dalam proses penyembuhan tradisional
masih menjadi pilihan penyembuhan masyarakat di Desa Temas, Kecamatan Batu, Kota
Batu. Kepercayaan masyarakat Desa Temas terhadap penyembuhan suwuk masih bertahan
kuat. Di desa yang terletak dipusat kota ini terdapat tiga hingga lima dukun yang salah
satunya adalah Mbah Karmanu, yang masih menggunakan suwuk untuk melengkapi
metode penyembuhan lain, seperti pijat dan ramuan herbal. Penyembuhan tradisional ini
menjadi pilihan metode penyembuhan dari berbagai penyakit yang ada, juga didukung
pekerjaan dan pola aktifitas masyarakat Desa Temas.

Fenomena pengobatan ini menjadi suatu hal yang secara sadar ataupun tidak sadar
dijalani oleh masyarakatnya sebagai sebuah cerminan budaya setempat. Hal ini
dikarenakan pengobatan Suwuk tumbuh dan berkembang dalam pola masyarakat Jawa itu
sendiri, selain itu pengobatan ini masih terus digunakan di kalangan masyarakat Jawa
dengan asalan mencari kesembuhan dari penyakit yang dialami. Meskipun di era modern
saat ini pengobatan dunia Barat sudah maju dari segi peralatan dan penanganan medisnya,
namun cara pengobatan lama ini tetap mendapat tempat tersendiri bagi masyarakat Jawa.
Karena pengobatan tradisional sebagai cara pengobatan yang dipilih oleh seseorang bila
cara pengobatan konvensional tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Fenomena ini menarik, mengingat metode penyembuhan alternatif seperti suwuk


dibeberapa wilayah di Jawa, khususnya Kota Batu sudah mulai ditinggalkan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui faktor sosial-budaya apa yang melatarbelakangi masyarakat
sehingga penyembuhan suwuk masih eksis di Desa Temas di era millenial ini. Padahal,
disisi lain, di Desa Temas terdapat tiga dokter, dua bidan dan satu mantri kesehatan. Selain
itu, jarak antara desa dengan layanan pengobatan terpadu seperti rumah sakit berjarak
kurang lebih hanya 1 Km.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
suatu permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana model penyembuhan suwuk pada masyarakat Desa Temas, Kota


Batu?

2. Faktor sosial-budaya apa yang menyebabkan aktivitas penyembuhan suwuk di


Desa Temas masih berlangsung di era millenial?
1.3 Tujuan

1. Untuk mengidentifikasi model penyembuhan suwuk pada masyarakat Desa


Temas, Kecamatan Batu, Kota Batu.

2. Untuk menjelaskan faktor sosial-budaya yang menyebabkan penyembuhan


suwuk di Desa Temas masih berlangsung di era millenial.
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Penelitian Secara Teoritis

Secara akademis diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
studi-studi mengenai kondisi masyarakat secara sosial terkait prngobatan tradisional yang
masih tetap eksis diera millenial ini. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai rujukan bagi penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Penelitian Secara Praktis

Manfaat secara praktis penelitian ini adalah memberikan pengetahuan umum


kepada masyarakat tentang kondisi sosial dalam realitas kehidupan bermasyarakat. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan penelitian
selanjutnya dalam bidang kesehatan dan budaya, terutama penggunaan pengobatan
tradisional dalam menjembatani program medis modern. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat digunakan sebagai dasar penguatan dan pelestarian kearifan lokal bangsa Indonesia
dibidang pengobatan tradisional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

Terdapat beberapa penelitian yang mengulas mengenai pengobatan non medis, baik
pengobatan untuk anak atau pun pengobatan tradisional umum lainya yang digunakan
untuk mengobati pasien berasal dari pengetahuan masyarakat setempat dalam menangani
penyakit.

Pertama adalah penelitian tentang penyembuhan tradisional yang ditulis oleh


Zamzami (2013) yang berjudul Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan
Lokal yang Digerus oleh Zaman. Sekerei adalah sebutan bagi mereka yang dapat meracik
obat dari tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit. Seorang sekerei memiliki
pengetahuan khas dan unik serta sekaligus berperan sebagai pemimpin. Sekerei mampu
mengusir roh jahat dengan mengadakan sebuah ritual, yakni tarian yang juga disebut tarian
sekerei. Hasil penelitian Zamzami menjelaskan pengalaman dan perjalanan hidup dari tiga
orang sekerei. Tumbuhan obat yang diracik sekerei bersumber dari hutan, namun hutan
tersebut telah dirambah menjadi tanaman lain (coklat dan sawit) sehingga mengancam
kepunahan tumbuhan obat. Selain itu, pengobat Sekerei semakin berkurang seiring
terputusnya warisan dari seorang Sekerei senior kepada pemuda dalam masyarakat
Mentawai.

Kedua adalah penelitian tentang penyembuhan tradisional yang menggunakan


metode mantra ditulis oleh Sari dkk (2013) berjudul Mantra Pengobatan pada Masyarakat
Pangean Rantau Kuantan. Penelitian ini menjelaskan bahwa masyarakat Melayu Pangean,
Riau, masih menggunakan mantra yang dipergunakan dukun sebagai pengobatan
walaupun sudah banyak tenaga medis. Masyarakat Melayu Pangean beranggapan bahwa
ada hal yang tidak terjangkau oleh tim medis. Pengobatan yang tidak bisa disembuhkan
dengan cara medis antara lain pengobatan terhadap orang yang kesurupan, keteguran,
pemulihan semangat, menghalau hantu dan, tolak setan. Penelitian mantra masyarakat
Pangen ini dikaji melalui ilmu sastra sehingga kajian difokuskan pada bentuk dan peranan
mantra.
Ketiga adalaha penelitian dari Manggala Ismanto dkk (2014) dalam bukunya yang
berjudul : Nan Jauh di Mudik, Buruk Kelaku Budak ( Etnis Melayu Jambi – Kabupaten
Sarolangun). Dalam buku ini memaparkan berbagai fenomena sakit- penyakit yang
dialami oleh masyarakat termaksud sakit yang terjadi pada anak-anak di Desa Kasiro
dengan berbagai upaya pengobatan tradisional yang dilakukan. Masyarakat setempat
memandang sehat dan sakit sebagaimana ketika secara tubuh fisik individu mampu
memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bekerja. Di desa Kasiro juga melakukan upaya-
upaya tradisional dalam menjaga dan melindungi anak khususnya bayi yang baru
melahirkan salah satunya dengan cara memasangkan kain hitam si bayi yang disebut
warga sebagai tando (tanda) berfungsi untuk menandakan bahwa si anak benar anak dari
orang tua agar tidak mendapat gangguan dari iblis gendang buluh. Selain gelang hitam
orang tua dari bayi juga memasangkan ayat suci al-quran di atas buaian bayi serta gunting
yang juga berfungsi sebagai bentuk perlindungan dari gangguan iblis. Selain itu juga
terdapat pengobatan Buruk Kelaku yang masyarakat setempat mempercayai penyakit ini
disebabkan oleh mahkluk halus. Dengan ciri anak yang terus menangis dan biasanya
diobati dengan cara memberi ramuan obat berupa Jerangau dan kunyit melai juga obatan
lain bernama perah yang diteteskan ke mata si anak.

Adapun kesamaan dari penelitian tentang pengobatan tradisional ini dengan ke-3
penelitian terdahulu ialah sama-sama berorientasi pada pengobatan tradisional yang
berbasis mantra, sedangkan yang membedakan penelitian ini dengan kajian pustaka adalah
cara pengobatinya yang berbeda, dengan menggunakan mantra diikuti penggunakaan daun
sangket, garam, jimat, maupun pijit pada tubuh. Selain itu lokasi dan kultur budaya
masyarakatnya juga berbeda, yaitu masyarakat Jawa, yang berada di Desa Temas, Kota
Batu. Sementara itu, penelitian mengenai model penyembuhan suwuk pada masyarakat
Jawa belum banyak dilakukan. Fokus penelitian ini adalah model penyembuhan suwuk
yang ada di Desa Temas. Lebih khusus lagi, adalah mengetahui aktivitas penyembuhan
suwuk dari sudut pandang pelaku budaya yakni sang penyembuh (dukun) dan latar
belakang pasien (masyarakat) yang kemudian menjadi faktor masih eksisnya
penyembuhan suwuk di era millenial. Bahkan, penyembuhan suwuk ini cenderung menjadi
penyembuhan yang favorit di Desa Temas.
2.2 Kerangka Teori

2.2.1 Mantra

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mantra bisa diartikan sebagai susunan
kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan
gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang
lain. Pengobatan menggunakan mantra dalam suwuk dilakukan oleh dukun. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, dukun mempunyai arti yang sangat luas yaitu orang mengobati,
menolong orang sakit, memberi jampi-jampi (mantra, guna-guna, dan sebagainya).
Terdapat spesifikasi dukun yang dapat dikenali seperti dukun beranak, dukun klenik,
dukun santet, dan dukun-dukun lainnya. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
dukun adalah orang yang mempunyai keterampilan atau mampu mengobati penyakit,
bahkan menimbulkan penyakit dengan menggunakan obat tradisional, cara tradisional, dan
mantra-mantra didalam melakukan praktiknya.

Para dukun di Jawa menggunakan teknik-teknik ilmu gaib, ucapan mantra dan
memberikan jamu tradisional, untuk mengobati pasiennya (Koentjaraningrat, 1984).
Kemampuan yang didapatkan oleh seorang dukun dapat diperoleh melalui beberapa hal
yaitu pembelajaran dengan para dukun senior, pembelajaran secara turun-temurun,
ataupun didapat dengan mukjizat atau petunjuk dari nenek moyang melalui mimpi.
Eksistensi dukun pada masyarakat Jawa tidak terlepas dari adanya kepercayaan yang
melekat pada diri mereka, hal ini sejalan dengan pendapat Bruce Kapferer (Alhumami
dalam Syuhudi, 2014), bahwa kepercayaan kepada dukun dan praktik perdukunan
merupakan local beliefs yang tertanam dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai local
beliefs, dukun dan praktik perdukunan tidak bisa dinilai dari sudut pandang rasionalitas
ilmu karena punya nalar dan logika sendiri yang disebut rationality behind irrationality.
Orang yang kemudian mempercayai dukun dan praktik perdukunan tidak lantas
digolongkan ke dalam masyarakat tradisional atau tribal, yang melambangkan
keterbelakangan.

2.2.2 Etnomedisin

Dalam antropologi kesehatan dikenal istilah etnomedisin. Menurut Hughes,


etnomedisin adalah kepercayaan dan praktek-praktek yang berkenaan dengan penyakit dan
merupakan hasil dari perkembangan kebudayaan asli dan eksplisit yang tidak berasal dari
kerangka konseptual kedokteran modern (Foster dan Anderson, 1986:6). Menurut
Fortes/Anderson dalam buku yang berjudul ‘Antropologi Kesehatan’ (1986:63-64)
terdapat 2 sistem medis berbasis etnomedisin yang dapat menganalisa sebuah penyakit
yaitu:

- Sistem Medis Personalistik, adalah suatu sistem dimana penyakit (illness) yang
disebabkan oleh intervensi suatu agen yang aktif, dapat berupa mahluk
supranatural (mahluk gaib atau dewa), mahluk yang bukan manusia (hantu,roh
leluhur,atau roh jahat). Orang yang sakit adalah korbanya, objek dari agresi atau
hukuman yang ditujukan khusus kepadanya untuk alasan-alasan yang khusus
menyangkut dirinya sendiri.
- Sistem Medis Naturalistik, menyebutkan bahwa penyakit (disease) dijelaskan
dengan istilah sistemik yang bukan pribadi. Sistem-sitem naturalistik merupakan
sebuah model keseimbangan. Sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap pada
tubuh, seperti panas, dingin, cairan tubuh (humor atau dosha), (yin dan yang),
berada dalam keadaan keseimbangan menurut usia dan kondisi individual dalam
lingkungan alamiah dan lingkungn sosial. Jika keseimbangan itu terganggu ,maka
hasilnya adalah timbulnya penyakit.

Dalam buku Rivers (1942) berjudul Medicine, Magic dan religion mengatakan
terdapat konsep-konsep dasar yang menjadi penting terutama mengenai sistem pengobatan
asli yang mana pranata-pranata sosial yang harus dipelajari dengan cara yang sama seperti
mempelajari pranata-pranata sosial pada umumnya dan bahwa praktek pengobatan asli
adalah rasional bila dilihat dari sudut kepercayaan mengenai sebab-akibat (Wellin
1977:49). Tergambar dari pengobatan tradisional Suwuk, merupakan pengobatan asli
masyarakat Jawa yang diwarisi secara turun temurun serta dapat dikatakan sebelum
masuknya pengobatan yang berbasis modern.

2.2.3 Konsep Sakit

Konsep sakit menurut Foster/Anderson (2006) memiliki arti dan makna yang
berbeda yaitu antara suatu kondisi patologi dan pada sisi yang lain melihat dari sudut
budaya tentang sebuah sakit penyakit. Dari pandangan budaya penyakit adalah pengakuan
sosial bahwa seseorang tidak dapat menjalankan peranya secara normal, dan harus
dilakukan sesuatu untuk mengatasi kondisi seperti ini. Dengan kata lain harus dibedakan
penyakit (disease) sebagai sebuah konsep patologi dan penyakit (illness) sebagai konsep
kebudayaan.

Dua pandangan antara penyakit (disease) dan penyakit (illness) mempengaruhi satu
sama lain meskipun memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat kesehatan. Peran
dan fungsinya sering dipergunaakan secara bersama sama, yang mana Penyakit (disease)
yang berkonsep Patologi lebih mengarah kepada ilmu Kedokteran dengan analisa hasil
laboratorium dalam mengetahui penyakit. Sedangkan Penyakit (illness) yang berkonsep
budaya mempengaruhi lebih luas yang mana penyakit memiliki definis tersendiri bagi
setiap masyarakat, begitu juga cara menanganinya sesuai dengan apa yang mereka ketahui
dari budayanya tersebut. Secara ilmiah penyakit (disease) diartikan sebagai gangguan
fungsi fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat terjadi infeksi atau tekanan dari
lingkungan. Jadi penyakit itu bersifat obyektif. Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian
individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena
subyektif ini ditandai dengan perasaan tidak enak.

2.2.4 Konsep Mitos

Kehidupan manusia selalu berdampingan dengan sebuah mitos yang berkembang


dalam masyarakat, baik itu masyarakat desa atau kota terdapat mitos yang dianut oleh
warganya sehingga sering kali mitos menguasai tingkah laku dan cara berfikir manusia.
Bagi masyarakat yang percaya mitos merupakan suatu yang benar terjadi dan menjadi
suatu kebenaran, positifnya realitas dan rasional. Dalam pengobatan tradisional
masyarakat, seringkali berkaitan dengan mitos-mitos yang berkembang serta tumbuh
dalam lingkup sosial budaya masyarakat setempat.

Begitu pula dengan pengobatan Suwuk ini. Masyarakat Jawa masih mengadopsi
mitos yang dipercayai dengan adanya kemampuan dari Danyang (penunggu desa) sebagai
pelindung dari marabahaya. Danyang juga memberitahukan kepada para warga kejadian-
kejadian yang akan timbul. Danyang umumnya adalah nama lain dari demit (yang adalah
kata dasar Jawa yang berarti “mahkluk halus”). Seperti demit, Danyang tinggal menetap di
suatu tempat yang disebut punden; seperti demit, mereka merespon permintaan tolong
orang dan sebagai imbalannya, menerima janji akan slametan. Seperti demit, mereka tidak
menyakiti orang, hanya bermaksud melindungi. Namun, berbeda dengan demit, beberapa
Danyang dianggap sebagai arwah dari tokoh-tokoh yang sudah meninggal; pendiri desa
tempat mereka tinggal, orang pertama yang membabat tanah. Mitos dalam perspektif ini,
merupakan sebuah penyampaian pesan dari masa lalu ke masa kini. Sama halnya dengan
pranata kesehatan dan budaya berhubungan satu sama yang lain kepercayaan terhadap
penyakit pada banyak masyarakat sangat berkaitan erat dengan supranatural dan religi
sehingga tidak mungkin untuk memisahkan keduanya dalam mitologi, dewa-dewa
supranatural dan mahluk-mahluk lain yang diduga mendatangkan penyakit.

Mitos merupakan hal-hal yang tidak masuk akal berhubungan dengan realitas,
suatu yang biasanya dianggap dan yang masuk akal telah dianggap tidak. Ia dipenuhi
dengan hal-hal irasional (Umar Yunus, 1981:89). Mitos yang ada dalam masyarakat,
sangat erat kaitanya dengan sejarah masa lampau setempat. Hal itu berkenaan dengan
perkembangan foklore maka Willian R. Bascom membaginya menjadi 3 golongan yaitu
mitos, legenda, dan dongeng. Tetapi dalam konsep pengobatan Suwuk lebih menekankan
pada mitos, dalam sebuah foklore memiliki motif, yang mana motif ini memegang peranan
penting untuk memperjelas suatu cerita terkait fungsi dan peranan sesuai kebutuhannya.
Yang dimaksud dengan istilah motif dalam ilmu foklore adalah unsur-unsur suatu cerita
(narrative element), dapat berupa benda peninggal yang dikeramatkan (wasiat), hewan
yang luar biasa, suatu konsep (larangan/tabu), suatu perbuatan (ujian/ketangkasan),
penipuan terhadap suatu tokoh (raksasa/dewa), tipe orang tertentu, atau sifat struktur
tertentu seperti pengulangan berdasarkan angka keramat, misalnya angka tiga dan tujuh
(James Danandjaja, 2002:51-53).
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Temas, Kecamatan Batu, Kota Batu. Desa Temas
terletak sekitar 1 Km dari pusat Kota Batu. Di Desa Temas terbagi menjadi 6 dusun, yaitu
Dusun Genting, Dusun Krajan, Dusun Putuk, Dusun Glonggong, Dusun Mbesul, dan
Dusun Nggenengan. Pada masyarakat Desa Temas upaya penyembuhan penyakit masih
dilakukan secara tradisional salah satunya melalui metode suwuk.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam ilmu Sosiologi, penelitian lapangan merupakan cara terpenting untuk


mengumpulkan fakta-faktanya. Peneliti datang sendiri dan ikut berpartisipasi dalam
kegiatan masyarakat untuk mendapat keterangan tentang gejala kehidupan manusia dalam
masyarakat itu (Koentjaraningrat, 1990:42). Metode pengumpulan data yang dilakukan
pada penelitian ini berasal dari sumber data primer dan data sekunder. Sumber data primer
adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Sumber data
sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data,
misalnya lewat orang lain atau dokumen (Sugiyono, 2012:137). Pada penelitian ini, data
primer diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam, sedangkan data sekunder
diperoleh melalui studi literatur dan studi dokumentasi. Metode yang digunakan dalam
pengumpulan data penelitian ini adalah metode etnografi yang terdiri dari tiga teknik yaitu
observasi, observasi partisipasi dan wawancara mendalam.

Observasi dilakukan dengan kegiatan mengobrol bersama para warga. Saat


mengunjungi maupun diundang ke rumah warga, peneliti mengamati hiasan-hiasan
dinding dirumah warga yang kebanyakan menganut aliran tertentu. Selain itu peneliti juga
memperhatikan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat
sebagai misal acara tahlilan yang dilakukan beberapa kali dalam seminggu. Peneliti juga
melakukan observasi terhadap aktivitas pelayanan kesehatan di Puskesdes yang terletak di
Balai Desa Temas. Seluruh observasi ini menghasilkan informasi yang akurat karena
berdasarkan apa yang diamati, didengar dan dirasakan.
Selanjutnya peneliti melakukan observasi partisipasi yakni peneliti terlibat dalam
kegiatan sehari-hari orang yang diteliti dan diamati. Pada saat melakukan pengamatan,
peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data (Sugiyono, 2012:227).
Observasi partisipasi dilakukan terhadap informan dukun dan pasien. Observasi partisipasi
yang dilakukan oleh peneliti dengan mencoba teknik pemijatan dan meminum ramuan
herbal yang diberikan oleh dukun.

Peneliti melihat dan memperhatikan bagaimana cara dukun memberikan


pengobatan kepada pasiennya. Selain itu, peneliti juga turut membantu dukun menyiapkan
perlengkapan atau membuat obat tradisional untuk si pasien, serta memperhatikan
bagaimana reaksi pasien ketika mendapatkan pengobatan. Peneliti merasakan secara
langsung pendeteksian penyakit melalui pijat dibagian jari kaki dan jari tangan yang
kemudian disuwuk oleh dukun hingga pijat di seluruh badan. Peneliti juga diberikan jimat-
jimat berupa tulisan arab yang ditulis dilembaran kertas oleh salah satu dukun.

Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan mengalir layaknya percakapan sehari-


hari, yakni informan dapat bercerita tentang segala hal. Namun pada saat informan bebas
bercerita, peneliti berkewajiban untuk tetap mengarahkan arah percakapan sesuai dengan
tema dan pertanyaan penelitian. Sebagai misal peneliti mengajukan pertanyaan bagaimana
metode dukun saat menyembuhkan pasien. Wawancara mendalam tidak hanya dilakukan
terhadap dukun dan pasien saja, tetapi juga dilakukan kepada kerabat ataupun anggota
keluarga mereka. Wawancara menghasilkan data yang cukup mendalam ketika peneliti
telah membangun rapport (hubungan) dengan informan.

3.3 Penentuan Informan

Dalam penelitian ini, pemilihan informan berdasarkan metode snowball sampling.


Seperti yang diungkapkan Frey, pemilihan sampel ini ibarat bola salju yang menggelinding
saja. Peneliti mencari relawan di lapangan yang dapat membantu proses pengumpulan
data. Dari relawan ini akan ada penambahan sampel maupun subyek atas rekomendasi,
sehingga peneliti dapat meneruskan ke subyek lain (Endraswara, 2003:206).

Adapun dalam pemilihan informan ini adalah para dukun suwuk dari Desa Temas
yang memiliki pengetahuan dan terlibat langsung dalam praktek pengobatan suwuk. Lebih
lanjut, informan pada penelitian ini adalah masyarakat yang menjadi pasien dari
pengobatan suwuk. Peneliti menentukan informan yang terdiri dari dukun dan pasien
suwuk. Selain itu, peneliti juga mewawancarai tenaga medis di Desa Temas untuk
memberikan pandangannya mengenai fenomena suwuk.

3.4 Analisis Data

Teknik penyajian dilakukan dengan cara mengkoding data yang telah dituangkan
dalam bentuk narasi. Data yang telah dipilah dikomparasikan dengan teori yang diambil
sehingga dalam penyajiannya menghasilkan data yang akurat. Dalam pengujian akurasi
data sebuah laporan perlu mengalami proses reliabilitas dan validitas. Reliabilitas dan
validitas data menunjukkan mutu seluruh proses pengumpulan data dalam suatu penelitian,
mulai dari penjabaran konsep-konsep sampai data siap untuk dianalisis (Effendi, 1982:87).
Dalam penelitian ini, data mengenai aktivitas penyembuhan suwuk masyarakat Desa
Temas dilihat dari sudut pandang dukun, pasien, serta masyarakat. Hasil observasi serta
wawancara dicatat, dideskripsikan, dicoding, kemudian data dikomparasikan dengan teori.
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Azwar & Jacob. (1996). Antropologi Kesehatan Indonesia, Jilid I, Pengobatan
Tradisional. Jakarta : EGC

Clifford Geertz. (1989). Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Danandjaja,J. (2002). Foklor Indonesia, Ilmu gosib,dongeng,dan lain lain (Cet.VI). Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.

Effendi, Masri Singarimbun dan Sofian (ed) eds. (1982). Metode Penelitian Survey.
Jakarta:LP3ES

Endraswara, Suwardi. (2003). Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Foster, George M, dan Barbara Anderson. (1986). Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press.

Ismanto, Manggala. dkk. (2014) Nan Jauh di Mudik, Buruk Kelaku,Etnik Melayu Jambi,
Kabupaten Sarolangun. Balitbangkes 2014.

Junus, U. (1981). Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.

Mayang dan Elmustian dan Rahman Abdul Jalil. Mantra Pengobatan Pada Masyarakat Pangean
Rantau Kuantan. Diakses dari http://repository.unri.ac.id/xmlui/handle/123456789/2164
pada 31 Oktober 2018

Sarwono, S., 1993, Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep Serta Aplikasinya, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Sugiyono, Prof. Dr. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Syuhudi, M. I dkk. (2013) Etnografi Dukun: Studi Antropologi Tentang Praktik Pengobatan
Dukun Di Kota Makassar. Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar, halaman
1-16.

Zamzami, L. (2013). Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus
oleh Zaman. ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 , 1-91.

Anda mungkin juga menyukai