NIM : 233110392
JURNAL 1
Jurnal Keperawatan Galuh, Vol.5 No.1 (2023)
https://jurnal.unigal.ac.id/index.php/JKG/
ABSTRAK
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Perkembangan masyarakat menuntut Masyarakat Kampung Kuta merupakan
adanya peningkatan pelayanan kepada salah satu masyarakat adat yang berada di
masyarakat, khususnya akan pelayanan Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis
kesehatan termasuk tuntutan asuhan yang masih memegang dan menjalankan
keperawatan yang berkualitas. Dinamika tradisinya yang memenuhi amanat leluhur
globalisasi yang terjadi menyebabkan dengan pengawasan kuncen dan ketua adat.
perpindahan penduduk baik antar daerah Masyarakat Kampung Kuta mengaku mereka
maupun antar negara (migrasi) dimungkinkan sebagai pemeluk agama islam yang taat,
dapat terjadi dan mampu menimbulkan namun dalam kehidupan sehari-hari
pergeseran terhadap tuntutan asuhan kepercayaan religi mereka masih diwarnai oleh
keperawatan. Indonesia sebagai negara mitos dan animisme. Menurut masyarakat
kepulauan dan memiliki keragaman budaya Kuta, penyakit muncul karena melanggar
yang sangat kaya menyebabkan ada beberapa pantangan atau adat istiadat yang
kebiasaan kultur yang terpengaruh dalam menyebabkan munculnya suatu penyakit.
kehidupan sehari-hari khususnya bidang Dalam kesehariannya masyarakat Kuta
kesehatan. telah mempunyai mekanisme sendiri dalam
Perawat memandang pasien sebagai mengatasi kondisi sakit yang sedang mereka
makhluk bio-psikososio-kultural dan spiritual hadapi. Ketika mereka sakit biasanya
yang berespon secara holistik dan unik masyarakat kuta mencoba mengobati sendiri
terhadap perubahan kesehatan. Asuhan dulu,berbekal informasi dari leluhurnya
keperawatan yang diberikan oleh perawat mereka akan mencari tanaman obat yang bisa
tidak bisa terlepas dari aspek kultural yang mengobati penyakitnya. Jika dengan tanaman
merupakan bagian integral dari interaksi obat tidak memberikan perubahan mereka
perawat dengan pasien. Perawat berupaya akan datang kepada kokolot atau orang yang
memberikan pemahaman terhadap pasien dituakan untuk di obati. Kebanyakan dari
sebagai bagian kebutuhan menyeluruh pasien proses pengobatan berhenti pada tahap ini,
dalam kaitannya dengan kesehatannya. karena berdasarkan pengakuan warga, setelah
Teori transcultural nursing yang berasal diobati oleh kokolot atau orang yang dituakan
dari disiplin ilmu antropologi dan biasanya mereka merasa sembuh kembali.
dikembangkan dalam konteks keperawatan, Akan tetapi pada beberapa penyakit akan
teori ini menjabarkan konsep keperawatan dilanjutkan ke pengobatan ke sarana kesehatan
yang didasari oleh pemahaman tentang adanya seperti Puskesmas dan Rumah Sakit. Pada
perbedaan-perbedaan cultural yang melekat beberapa kasus, proses pengobatan sampai ke
dalam masyarakat. Leinginer beranggapan tingkat Rumah sakit biasanya pada kondisi
bahwa sangatlah penting memperhatikan gawat darurat seperti kecelakaan dan pasien
keanekaragamn budaya dan nilai-nilai dala dengan diagnosa penyakit terminal.
penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Budaya yang masih melekat pada
Bila hal tersebut diabaikan maka akan terjadi masyarakat Kampung Kuta pada pasien
cultural shock. Pendekatan trasnkultural dengan penyakit terminal atau pada pasien
merupakan suatu perspektif yang unik karena dengan perawatan paliatif yaitu mereka lebih
bersifat kompleks dan sistematis secara ilmiah, memilih merawat keluarga mereka di rumah
yang secara konstektal melibatkan banyak hal, dibandingkan dirawat di Rumah Sakit,
seperti bahasa yang digunakan tradisi, nilai sedangkan pasien tersebut memerlukan
historis yang teraktualisasikan, serta ekonomi. tindakan medis yang berkelanjutan. Mereka
meyakini jika pasien dengan penyakit terminal
14
Asri Aprilia Rohman, Yoga Ginanjar, Irfan Permana & Asep Wahyudin / Pendekatan Transkultural Nursing
Terhadap Persepsi Masyarakat Tentang Perawatan Paliatif di Kampung Adat Kuta Kecamatan Tambaksari
lebih tenang jika mereka dirawat di rumah perlakuan barulah memberikan tes akhir (post-
karena mereka ingin meninggal dengan damai test) (Arikunto, 2010). Sampel dalam
ditengah tengah keluarga. penelitian ini ini adalah masyarakat di
Kampung dengan jumlah 59 orang.
METODE PENELITIAN Instrumen dalam penelitian ini
Jenis penelitian yang digunakan adalah menggunakan kuesioner. Kuesioner ini
quasi eksperimen dengan pendekatan one dilakukan dengan mengedarkan suatu daftar
group pre post-test design, yaitu jenis pertanyaan tentang persepsi masyarakat
penelitian yang memberikan tes awal (pest- tentang perawatan paliatif.
test) sebelum diberikan perlakuan, setelah
diberikan
15
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
— 155.
Putri, D., 2017. Keperawatan Transkultural
Pengetahuan dan Praktik Berdasarkan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press. Suroso, Haryati,
Rr Tutik Sri, M. &
Novieastari, E., 2015. Pelayanan
Keperawatan Prima Berbasis Budaya Berpengaruh
Terhadap Tingkat Kepuasan Pasien.
Jurnal Keperawatan
JURNAL 2
J ur n a l K e p e r a w a t a n M u h a m m a d i y a h
Alamat Website: http://journal.um- surabaya.ac.id/index.php/JKM
42
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
Methods: This study uses descriptive qualitative methods. The type of data collected in
this study is primary data. The study was conducted on six participants for the data col-
lection process. The participants were five PMOs and one nurse as data triangulation.
Results: From the results of this study, it was found the role of PMO in assisting TB
patients with the theory of holistic care by Madeleine Leininger, namely: knowledge of
PMO; the role of PMO as a companion for TB patients; the role of PMO in
preventing transmission and treatment of TB patients; the role of PMO utilizing of
health insur- ance; the role of PMOs in pursuing alternative medicine; the PMO's
role in engaging with others to provide support; the role of the PMO in seeking
spiritual support; the role of the PMO in finding reliable information sources; the
Keywords:
role of health workers in facilitating OAT availability; the role of PMO in
Drug-Drink Supervisor;
utilizing technology.
Holistic Care; Success
Rate;Tuberculosis
Conclusion: PMO cannot do its job optimally if PMO has few knowledges of TB dis-
ease. On the other hand, if the PMO has plenty knowledge of TB disease, PMO will
perform its role optimally.
43
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
44
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
nitif dari PMO. selanjutnya dari re- duksi dalam menyajikan data
PMO dipilih oleh perawat saat pasien sudah berupa teks naratif atau- pun berupa grafik, matrik,
terdiag- nosa Tb berdasarkan hasil pemeriksaan network (jejaring kerja) dan chart, sedangkan
Sputum. Saat memilih PMO, Perawat perlu penarikan kesimpulan merupakan proses
mempertimbangkan beberapa hal yaitu kesiapan kesimpulan awal yang masih bersifat sementara dan
menjadi PMO dengan ti- dak berat hati, tinggal akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti
serumah, memiliki kedekatan, disegani oleh pasien
dan memiliki tingkat pendidikan yang baik minimal
dapat membaca dan menulis. Menurut Teori
holistic care oleh Madeleine Leininger, perawat
harus mempertimbangkan dan mengkaji tu- juh
faktor dalam melakukan tindakan keperawatan
yakni (1) teknologi, (2) agama (3) sosial, (4)
budaya,
(5) politik, (6) ekonomi dan (7) pendidikan yang
dapat mempengaruhi kehidupan individu,
keluarga dan masyarakat dalam kesehatan dan
kesejahteraan pasien (Sagar, 2012). Berdasarkan
tujuh faktor ini, se- bagai seorang perawat dapat
membuat keputusan dan rencana tindakan asuhan
keperawatan yakni pengo- batan Tb yang akan
diberikan kepada penderita Tb melalui seorang
PMO dalam mendampingi penderita. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi peran PMO
dalam mendampingi penderita Tuberkulosis di
Kota Kupang.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
deskrip- tif. Jenis data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini yaitu data primer. Data primer adalah
data utama un- tuk mengidentifikasi peran PMO
dalam mendampin- gi penderita Tb. Sampel dalam
penelitian ini adalah PMO di salah satu puskesmas
di Kota Kupang. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah den- gan in-depth interview
menggunakan wawancara semi terstruktur.
Patisipan dalam penelitian ini berjumlah eam
partisipan yang terdiri dari satu orang perawat,
dan lima orang PMO. Uji keabsahan data atau va-
liditas data menggunakan tiangulasi. Triagulasi
data dilakukan melalui wawancara terhadap
perawat pen- anggungjawab program DOTS Tb.
Analisa data yang akan dilakukan digunakan yaitu
teknik reduksi den- gan menggunakan aplikasi open
code tipe 4.03, display dta dan penarikan
kesimpulan. Teknik reduksi adalah proses
merangkum data, memilih hal- hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari
tema dan polanya untuk memberikan gambaran
yang lebih jelas dan mempermudah peneliti dalam
pengumpulan data. Display data adalah proses
45
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
yang kuat yang mendukung pada tahap Tb; peran PMO sebagai pendamping pasien Tb;
pengumpulan data berikutnya (Sugiyono, 2018). peran PMO dalam pencegahan penularan dan
Alat pengumpu- lan data yang akan digunakan
yaitu berupa kuesioner dengan alat perekam suara
(handphone) untuk mem- permudahkan peneliti
selama wawancara, agar setiap informasi yang
disampaikan oleh partisipan dapat ter- simpan
dengan baik. Selebihnya peneliti akan men- catat
hal-hal penting yang terjadi selama wawancara
berlangsung. Penelitian ini akan dilakukan pada
bulan Agustus hingga Oktober 2020 di salah satu
puskesmas di kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
46
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
pengobatan pasien Tb; peran PMO dalam peman- mengawasi, memberi dorongan serta mengin-
faatan asuransi kesehatan; peran PMO dalam gatkan penderita Tb agar minum obat secara teratur
men- gupayakan pengobatan alternatif; peran
PMO dalam melibatkan orang lain untuk
memberikan dukungan; peran PMO dalam
mencari dukungan spiritual; peran PMO dalam
mencari sumber informasi; peran petu- gas
kesehatan dalam memfasilitasi ketersedian OAT;
peran PMO dalam memanfaat teknologi.
47
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
sampai selesai pengobatan, (Inaya dkk., 2020). Prese- psi negatif pada penyakit tuberkulosis
Peran PMO diperlukan untuk menjamin tingkat menyebabkan keterlambatan pengobatan dan
keberhas- ilan pengobatan pasien Tb sehingga ada berdampak negatif ter- hadap kelangsungan berobat
hubungan antara pengetahuan PMO tentang (Herawati dkk., 2020). Presepsi yang positif pada
penyakit Tb secara komprehensif dengan sikap dan pasien Tb, juga dipengaruhi
praktik dalam men- dampingi pasien Tb.
Pengetahuan tentang penyakit Tb dan pengobatan
yang baik akan meningkatkan fungsi dan peran
PMO (Sari, 2019).
Dalam penelitian ini, pengetahuan yang dimiliki
oleh PMO terbatas sehingga perilaku PMO
menunjukkan tidak sejalan dengan praktik
kesehatan. Sebelum me- ngunjungi layanan
kesehatan, PMO mencari pengo- batan alternatif
seperti ke dukun, menggunakan ta- naman-tanaman
obat dan pemberian minyak kelapa dari hamba
Tuhan Partisipan beranggapan bahwa pen- yakit Tb
disebabkan oleh suanggi (roh jahat) atau gu- na-
guna. Menurut teori Leininger setiap individu atau
kelompok memiliki nilai- nilai perawatan budaya
dan kepercayaan budaya dalam melakukan
pengobatan, Leininger menekankan tiga prinsip
strategi perawatan yakni mempertahankan budaya,
negosiasi atau men- gakomodasi budaya dan
menggantikan atau mengu- bah budaya individu
(Putri, 2015).
Praktik budaya ini, tidak memberikan perubahan
secara langsung pada pasien Tb, karena penyakit
Tb disebabkan oleh bakteri, dan membutuhkan
obat golongan antibiotik sebagai komponen utama
dan terpenting dalam pengobatan Tb. Prinsip
pengobatan Tb yang adekuat yaitu mengikuti
panduan OAT yang tepat, OAT diberikan dalam
dosis yang tepat, OAT ditelan secara teratur dan
diawasi secara langsung oleh PMO sampai selesai
pengobatan, serta mengikuti pengobatan dalam
jangka waktu yang telah ditentu- kan oleh petugas
kesehatan sesuai dengan tahap-tahap pengobatan Tb,
(Kemenkes RI, 2011). Oleh karena itu, praktik
budaya yang tidak memberikan efek kes- embuhan,
seharusnya bisa dinegosiasikan dan diubah oleh
perawat. Informasi yang diberikan oleh perawat
melalui penyuluhan kesehatan, yang akhirnya men-
gubah pengetahuan partisipan tentang penyakit Tb,
serta memutuskan untuk melakukan perawatan Tb
hingga tuntas.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pen-
didikan kesehatan, dapat membentuk presepsi yang
positif terhadap penyakit Tb, yang menyebutkan bah-
wa pasien Tb tidak harus dihindari ataupun dijauhi
agar pasin tidak merasa minder dan merasa dikucilkan
serta pasien tidak merasa tertekan atau depresi.
48
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
oleh peran dukungan motivasi dari PMO untuk PMO dalam mengawasi pasien menelan obat sangat
tetap mempertahankan kesehatannya dan berperan yaitu sebesar 56% dalam keberhasilan
meningkatkan kepatuhan pengobatan Tb. pengobatan pasien Tb (Firdaus, 2011; Tindatu
Motivasi yang diberikan juga tidak hanya dari Dkk., 2020). Partisipan juga mengontrol pasien
PMO tetapi juga dari pihak-pihak yang lain yakni minum obat secara tidak langsung dengan
anggo- ta keluarga lain yang tidak serumah memanfaatkan teknolo-
dengan pasien, tetangga yang dekat dengan pasien
dan juga dari to- koh-tokoh masyarakat seperti RT
(Rukun Tetangga)/ Rw (Rukun warga). Hal ini
karena PMO dapat mel- ibatkan orang lain untuk
ikut mendukung pasien. Dukungan motivasi
secara spiritual juga diberikan PMO kepada
pasien dengan melibatkan tokoh-tokoh agama.
Menurut teori motivasi protection, jika PMO
termotivasi dalam merawat dan mengawasi
penderita Tb minum obat dan juga penderita
merasa termotiva- si minum obat secara teratur
maka motivasi ini akan terwujud dalam tindakan
yang terkontrol yaitu dapat meningkatkan
kesembuhan penderita, (Sirur, 2016). Menurut
leininger konsep “peduli” dalam keperawatan
bertujuan untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang optimal. Leininger
mengungkapkan bahwa tin- dakan caring atau
human caring merupakan dukungan dan bimbingan
pada manusia secara utuh, sehingga perawat perlu
mengkaji struktur sosial yakni hubun- gan
keluarga, kepercayaan dan kehidupan ditengah
masyarakat. Dari hasil kajian lingkungan sosial-
bu- daya diharapkan mempermudah perawat dalam
mem- berikan dukungan kepada pasien. Hal ini
juga dapat menjadi patokan perawat untuk
memberikan edukasi kepada PMO dan masyarakat
luas dalam memotivasi pasien Tb, (Asriwati &
irawati, 2019).
Peran PMO selanjutnya yang ditemukan dalam
pe- nelitian ini yaitu PMO memiliki sikap dan
praktik yang optimal dalam mendampingi pasien
dalam men- jalankan pengobatan Tb. Partisipan
mendampingi pasien melakukan pemeriksaan
ulang dahak sesuai dengan jadwal pemeriksaannya,
mengantarkan pasien kelayanan kesehatan jika ada
keluhan efek samping dan mengantarkan
penderita mengambil obat secara rutin,
menentukan jadwal minum obat, dan memasti- kan
pasien menelan obat yang dikonsumsi. Penelitian
menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan
an- tara peran PMO dalam mendampingi pasien
dengan keberhasilan pengobatan Tb, (Jufrizal
dkk., 2016). PMO yang memenuhi peran yang
baik dalam men- dampingi penderita Tb,
berpeluang 20 kali memper- oleh tingkat
keberhasilan pengobatan penderita Tb. Peran
49
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
gi telpon atau pesan singkat/sms untuk perlengkapan tidur, (Hidayat dkk., 2017). Pene-
mengingatkan jadwal minum obat kepada pasien. litian sebelumnya Tode dkk (2019) dan Human, dkk
Peran PMO selanjutnya adalah peran dalam
memper- hatikan setiap kebutuhan asupan gizi
dengan mem- pertahankan berat badan penderita
Tb. Bahan makan yang diberikan partisipan kepada
penderita seperti nasi, bubur, kacang-kacangan,
sayuran, buah-buahan, daging, ikan dan telur.
Namun ada partisipan yang mengatakan bahwa
pemberian beras merah atau nasi merah dapat
menjadi salah satu bahan makanan yang dapat
dianjurkan untuk diberikan kepada penderi- ta Tb
karena menurut partisipan beras merah dapat
mempercepat penyembuhan penderita Tb. Kandun-
gan gizi dalam beras merah seperti vitamin C, serat
dan mineral membantu proses penyerapan yang lebih
baik dibandingakan beras putih. Beras merah dapat
dikategorikan menjadi karbohidrat kompleks.
Asupan karbohidrat kompleks penting bagi
penderita Tb. Karbohidrat kompleks ditemukan
dalam makanan in- deks glikemik rendah dan
makan yang mengandung serat. Beras merah
merupakan salah satu makanan indeks glikemik
rendah atau makanan dengan kadar gula yang
rendah. Oleh karena itu beras merah tidak menjadi
masalah jika diberikan kepada pasien Tb, (Ministry
of Healtth & Family Welfare Gevernment of India,
2017).
Peran PMO selanjutnya yaitu memperhatikan ke-
bersihan rumah dan lingkungan juga merupakan
faktor yang penting dalam proses pengobatan Tb.
Upaya pencegahan dengan memodifikasi
lingkungan yang telah dilakukan oleh partisipan
yaitu sirkula- si udara melalui ventilasi rumah yang
cukup. PMO juga mengingatkan pasien agar tidak
membuang da- hak di sembarang tempat.
partisipan juga mengin- gatkan pasien Tb untuk
memakai masker saat ber- interaksi dengan orang
lain ataupun di luar rumah. Hal ini dilakukan oleh
partisipan dengan harapan bahwa dapat
menurunkan resiko penyebaran bak- teri.
Menariknya, PMO memiliki teknik khusus da- lam
menyediakan tempat pembuangan khusus dahak
penderita Tb dan juga untuk mencegah penularan Tb.
PMO juga memisahkan semua peralatan makan
milik penderita Tb dengan teknik mencuci piring
yang ber- beda dengan biasanya. Tujuannya adalah
agar dapat mencegah terjadinya penularan penyakit
Tb. Hal ini seharusnya tidak perlu dilakukan karena
droplet (per- cikan ludah) dalam udara yang
dibatukkan oleh pasin Tb mengandung
Mycrobaterium Tuberculosis akan ter- tular jika lama
menghirup udara tersebut. Penularan Tb tidak
terjadi melalui perlengkapan makan, baju dan 50
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
(2019) juga menyebutkan bahwa memisahkan persepsi positif akan membentuk praktik
pera- latan makan tidak termaksud dalam pengobatan yang tidak sesuai, hal ini akan
pencegahan bak- teri namun dengan mencegah mengakibatkan angka success rate tubekulosis
lingkungan rumah yang bersih dengan ventilasi meningkatkan. Selain itu dalam mendampingi
udara yang baik dan tercukupi dapat menurunkan pasien Tb, PMO harus memberikan dukungan
penyebaran bakteri. motivasi baik itu dukungan moral, spiritual dan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran PMO material serta memperhatikan kebersihan
merupakan faktor pendukung dalam kepatuhan lingkungan dan asupan nutrisi pasien. Hal ini dapat
mengikuti prinsip utama pengobatan Tb dengan meningatkan keberhasilan pengobatan Tb dan
OAT. Peran PMO tidak hanya memantau pasien kesuksesan peran pengawas minum obat dalam
me- nelan obat namun juga peran PMO secara menjalankan tugasnya sebagai PMO.
holistic care dan human caring atau melihat bahwa
pasien adalah manusia yang membutuhkan SARAN
dukungan secara utuh, pandangan ini sangat Diharapakan kepada PMO di Puskesmas
dibutuhkan dalam mendampin- gi pasien Tb. Manutapen agar dapat mencari informasi tentang
penyakit Tuberkulosis dalam menjalankan perannya
KESIMPULAN dan tidak mencari pengobatan alternatif lain yang
Berdasarkan penelitian ini dapat ditarik bertetangan dengan prinsip pengobatan Tb.
kesimpulan bahwa partisipan memiliki Diharapkan bagi pihak Puskesmas Manutapen lebih
pengetahuan yang terbatas tentang Tuberkulosis khusus pemegang program Tb untuk tetap
yakni partisipan menyatakan bahwa penyakit Tb mempertahankan kerja sama dengan lembaga
berasal dari suanggi (roh jahat) atau di guna-guna swadaya masyarakat agar dapat lebih lagi
sehingga pengetahuan yang baik sangat penting memberikan pengetahuan tentang Tuberkulosis
dalam membentuk persepsi positif, hal ini dapat kepada PMO dan masyarakat luas.
mendorong PMO memiliki sikap dan praktik
kesehatan yang sesuai dengan prinsip pengobatan DAFTAR PUSTAKA
Tb yang dianjurkan oleh petugas kesehatan. Asriwati & Irawati. (2019). B u k u
Namun sebaliknya PMO yang tidak memiliki Ajar Antropologi K e s e h a t a n
46
51
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
Irnawati, N. M., Siagian E. T., & Ottay R. I. PMO Di RSUD PROF. DR. MARGONO
(2016). Pengaruh Dukungan Keluarga SOEKARJO. Sainteks, 13(1), Hal 53-58.
Terhadap kepatuhan Minum Obat Pada Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif,
Penderita Tuberkulosis Di Puskesmas Motoboi Kualitatif dan R & D. Alfabeta. Bandung.
Kecil Kota Kotamobagu. Jurnal Kedokteran
Komunitas dan Tropik, 4(1), 61-63. Tindatu, H. F., Maramis, F.R.R., & Wowor, R.
Jufrizal., Hermansyah., Mulyadi. (2016). Peran (2020). Analisis Peran Pengawas Menelan
Keluarga Sebagai Pengawas Minum Obat Obat dalam Kesembuhan Pasien Tb Di
(PMO) Dengan Tingkat Keberhasilan Puskesmas Bitung Barat Kota Bitung.
Pengobatan Penderita Tuberkulosis Paru. Jurnal Kesehatan
Jurnal Ilmu Keperawatan 4:1 ISSN: 2338-
6371.
Kemenkes RI. (2017). Profil Kesehatan Indonesia
tahun 2017. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Retrieved from
http://www.depkes.go.id/resources/download/
pusdatin/profil-kesehatan- indonesia/Data-
dan- Informasi_Profil-Kesehatan-Indonesia-
2018.pdf
Putri, D. M. P. (201..). Keperawatan
Transkultural: Pengetahuan dan Praktik
Berdasarkan Budaya. Pustaka Baru Press.
Yogyakarta
Profil kesehatan indonesia. ( 2 0 1 8 )
.
Profil Kesehatan Indonesia 2018.
Https://doi.org/10.1002/qj
Sagar, Priscilla Limbo.(2012). Transcultural Nursing
Theory and Models: Application in Nursing
Education, Practice and Administration. Hal.1-
2. Department, Springer Journal. New York.
48
Masyarakat, 9(7), 132-133. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
JURNAL 3
Jurnal Keperawatan Silampari Volume
5, Nomor 1, Desember 2021
e-ISSN: 2581-1975
p-ISSN: 2597-7482
DOI: https://doi.org/10.31539/jks.v5i1.2915
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh budaya siri’ na pacce terhadap self
esteem perempuan dengan HIV/AIDS serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat self
esteem perempuan dengan HIV/AIDS di kota Makassar. Metode penelitian ini adalah
penelitian mix method dengan menggunakan pendekatan transcultural nursing Hasil
Penelitian ditemukan bahwa seluruh responden masih menganut budaya siri’ na pacce
dalam keluarga mereka. Berdasarkan hasil analisis data kuesioner, sebagian besar
responden memiliki tingkat self esteem sedang dalam keluarga mereka. Simpulan, faktor
yang mempengaruhi hal tersebut adalah budaya siri’na pacce yang masih dipegang teguh
oleh masyarakat Bugis Makassar, tingkat pendidikan serta adanya dukungan moral yang
didapatkan dari keluarga sehingga perempuan ODHA dapat menjalani kehidupan sehari-
hari secara normal meskipun hanya membuka status HIV kepada keluarga terdekat.
ABSTRACT
This study aims to determine the influence of siri'na pacce culture on women's self-
esteem with HIV/AIDS and the factors that influence the level of self-esteem of women
59
1
with HIV/AIDS in the city of Makassar. This research method is mixed-method research
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
using a transcultural nursing approach. The study results found that all respondents
still adhere to the siri'na pacce culture in their families. Based on the questionnaire
data analysis, most of the respondents had moderate levels of self-esteem in their
families. In conclusion, the factors that influence this are the siri'na pacce culture which
is still adhered to by the Bugis Makassar community, the level of education, and the
moral support obtained from the family so that women living with HIV can live
everyday daily lives even though they only reveal their HIV status to their families.
Closest.
59
2
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
PENDAHULUAN
World Health Organization melaporkan bahwa HIV terus menjadi masalah utama
kesehatan masyarakat global, setelah merenggut hampir 33 juta nyawa selama ini (WHO,
2020). Di Indonesia sendiri, HIV/AIDS masih menjadi permasalahan kesehatan yang
belum dapat diselesaikan hingga saat ini. Bahkan terjadi peningkatan angka penemuan
kasus HIV/AIDS setiap tahunnya. Meskipun cenderung fluktuatif, data kasus HIV/AIDS
di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama sebelas tahun terakhir jumlah
kasus HIV di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282
kasus, dimana Sulawesi Selatan berada pada posisi kesembilan provinsi dengan jumlah
kasus HIV terbanyak pada tahun 2019 yaitu sebanyak 1.537 kasus (Khairunisa et al.,
2020).
Perempuan menjadi salah satu populasi yang rentan terkena HIV/AIDS. Hal ini
terjadi tidak hanya pada kelompok berisiko seperti mereka yang sering berganti-ganti
pasangan, pekerja seksual, serta pemakai narkoba khususnya narkoba suntik, tetapi juga
menginfeksi perempuan ataupun istri dan ibu rumah tangga yang setia pada pasangannya.
Menurut laporan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendaliaan Penyakit (P2P)
tahun 2020, persentase perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS adalah 33% dengan jumlah
kasus AIDS pada ibu rumah tangga sebanyak 18.463 sedangkan kasus pada penjaja seks
sebanyak 3.613 kasus. Selain itu, kerentanan pada perempuan juga ditambah dari bentuk
organ kelamin yang seperti bejana terbuka. Secara fisik, ini memudahkan virus masuk ke
dalam vagina ketika berhubungan seksual dengan lelaki yang positif HIV, melalui luka
kecil atau lecet atau masuknya cairan sperma ke dalam vagina (Moreno-de-Lara et al.,
2021).
Perempuan dengan HIV/AIDS memiliki beban psikososial yang lebih berat
dibandingkan dengan pria. Beban psikososial yang mereka hadapi cukup kompleks,
terdiri dari perubahan self esteem, perawatan anggota keluarga terhadap individu yang
terinfeksi HIV/AIDS, kematian anggota keluarga, dan beban pekerjaan untuk mendukung
keluarga secara finansial jika suami mereka meninggal, kehilangan hak asuh mereka,
menginfeksi anak-anak mereka dan rasa bersalah yang mendalam. Perempuan yang
terkena HIV/AIDS, secara psikologis akan mengalami berbagai masalah, mulai dari
kecemasan, keraguan, stress dan depresi. Tekanan lingkungan yang cenderung
diskriminatif akan membuat perempuan kehilangan penghargaan terhadap dirinya
(Timisela, 2018).
Masyarakat seringkali memberikan anggapan negatif bagi pasien ODHA, sehingga
stigma negatif tersebut akan mempengaruhi ODHA dalam merespon terhadap adaptasi
fisiologisnya (Andri et al., 2020). Penelitian yang dilakukan Maharani (2018) hasil
penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memberikan cap negatif terhadap ODHA
sehingga cap negatif tersebut menyebabkan diskriminasi dalam masyarakat seperti
pengucilan, penolakan, penghindaran.
Salah satu hal yang mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap perempuan
dengan HIV/AIDS adalah adanya budaya yang berkembang di masyarakat tersebut. Salah
satu contohnya adalah budaya siri’na pacce yang masih dipegang teguh oleh masyarakat
suku Bugis Makassar. Siri’ adalah suatu sistem nilai sosial, budaya dan kepribadian yang
merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan
anggota masyarakat. Kata siri’ dalam bahasa Makassar berarti malu atau rasa malu,
maksudnya siri’lanri anggaukanna anu kodi, artinya malu apabila melakukan perbuatan
tercela. Namun selain itu budaya siri’na pacce juga memiliki makna lain yang terkandung
dalam kata pacce. Pacce dalam bahasa Makassar dan pesse
59
3
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
dalam bahasa Bugis merupakan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, semangat rela
berkorban, bekerja keras, dan pantang mundur. Pada dasarnya siri’ dan pacce merupakan
suatu falsafah yang tidak dapat dipisahkan, karena antara satu dengan yang lainnya
mempunyai keterkaitan makna dan hubungan, sehingga dalam hal pembagian siri’ dan
pacce, keduanya saling berkaitan erat (Fuady, 2019).
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Safitri & Suharno (2020)
disimpulkan bahwa siri’na pacce dalam interaksi sosial suku di Makassar merupakan
sebagai harga diri dan solidaritas kemanusiaan. Melalui budaya siri’, mereka berusaha
menjunjung tinggi harkat dan martabat mereka sebagai individu di dalam masyarakat.
Budaya siri’ juga berfungsi sebagai upaya pengekangan bagi seseorang untuk melakukan
tindakan persekusi yang dilarang oleh kaidah adat sehingga dapat menguatkan motivasi
solidaritas sosial dalam penegakan harkat siri’ orang lain (Hijriani & Herman, 2019).
Bagi orang Bugis tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi atau lebih penting
daripada menjaga siri’ dan kalau mereka merasa tersinggung atau ripakasiri
(dipermalukan) maka mereka lebih senang memilih mati dengan perkelahian guna
memulihkan siri’ mereka daripada hidup tanpa siri’. Dengan adanya budaya ini mereka
berusaha mempertahankan harga diri mereka dengan menghindari perbuatan-perbuatan
tercela yang dianggap melanggar aturan (Zainal & Wahyuni, 2018).
Budaya siri,na pacce yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat
suku Bugis Makassar tentunya sangat mempengaruhi cara pandang dan penerimaan
mereka terhadap ODHA khususnya perempuan. Mereka dianggap telah melanggar
budaya siri’ tersebut karena adanya stigma dan diskriminasi yang berkembang di
masyarakat. Masyarakat masih menganggap bahwa HIV/AIDS adalah penyakit pada
mereka yang kurang moral karena tertular melalui hubungan seks, dan para pecandu
narkoba. Tak hanya dari masyarakat sekitar, stigma maupun diskriminasi ini juga dapat
timbul dari lingkungan keluarga ODHA sendiri. Menurut Yani et al., (2020) apabila
terdapat ODHA dalam keluarga, mereka merasa takut untuk tidur bersama dengan ODHA
dan tidak bersedia merawat seperti menyiapkan makanan dan membersihkan peralatan
makan, serta duduk dekat dengan orang-orang terinfeksi HIV yang tidak menunjukkan
gejala sakit. Akibatnya mereka menutupi status HIV keluarganya karena mereka merasa
ripakasiri (dipermalukan) apabila masyarakat tahu bahwa anggota keluarga mereka
terinfeksi HIV/AIDS.
Adanya stigma dan diskriminasi yang diterima oleh ODHA khususnya pada
perempuan, dapat mempengaruhi tingkat self esteem mereka. Mereka akan cenderung
memandang diri mereka tidak berharga karena adanya asumsi sosial yang menjatuhkan
harga diri mereka atau dapat dikatakan mereka telah dipermalukan (siri’ri pakasirik). Self
esteem merupakan salah satu bagian dari kepribadian seseorang yang sangat penting
dalam kehidupan sehari-hari. Self esteem adalah evaluasi yang dibuat oleh individu dan
biasanya berhubungan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri, hal ini
mengekspresikan suatu sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukan tingkat dimana
individu itu meyakini diri sendiri mampu, penting, berhasil dan berharga (Shimizu et al.,
2021). Seseorang dengan harga rendah cenderung merasa tidak dicintai dan sering
mengalami depresi dan kecemasan. Setiap manusia perlu memiliki self esteem yang tinggi
terutama mereka para perempuan yang siri’ mereka terancam karena diri mereka yang
terjangkit HIV/AIDS. Adanya self esteem yang tinggi akan menjadikan seseorang pribadi
yang efektif dan produktif serta dapat melakukan relasi sosial yang lebih positif. Oleh
karena itu, setiap individu perlu memandang dirinya
59
4
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
maupun mendapatkan penghargaan dari orang lain sebagai pribadi yang berharga,
sehingga mereka mampu menguasai tugas dan mampu menghadapi tantangan dalam
kehidupannya (Pardede et al., 2021).
Dalam keperawatan pengkajian budaya terhadap kesehatan dapat dilakukan
berdasarkan teori transcultural nursing. Menurut Leininger 2002 dalam McFarland &
Wehbe-Alamah (2019) transcultural nursing adalah suatu area/wilayah keilmuan budaya
pada belajar dan praktik keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan
antara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya
kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan
keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia. Pengkajian
transcultural nursing dilakukan dengan menggunakan sunrise model yang terdiri dari 7
(tujuh) faktor untuk mengidentifikasi masalah kesehatan berdasarkan latar belakang
budaya (Soares et al., 2020).
Penelitian ini berfokus untuk mengetahui, dan menganalisis bagaimana gambaran
self esteem perempuan dengan HIV/AIDS di Kota Makassar dan mengidentifikasi faktor-
faktor budaya apa saja yang mungkin berpengaruh pada self esteem perempuan ODHIV
dan hal ini belum pernah diteliti sebelumnya. Penelitian ini juga menggunakan metode
transcultural nursing dalam memahami fenomena terkait HIV/AIDS yang dimana
metode ini terbilang masih sangat jarang digunakan.
METODE PENELITIAN
Pendekatan transcultural nursing digunakan dalam penelitian ini. Transcultural
nursing adalah sebuah metode penelitian kualitatif menggunakan pendekatan naturalistik,
penemuan yang bersifat terbuka dengan mengkombinasikan bermacam strategi, teknik
dan dokumen-dokumen pendukung untuk menggambarkan, menginterpretasikan,
mengekspresikan simbol dan berbagai budaya yang berhubungan dengan fenomena dunia
kesehatan. Dalam penelitian ini menggunakan 2 metode transcultural nursing yang
dimodifikasi yaitu; wawancara kepada informan kunci dan informan general serta
observation-participation-reflection.
Populasi pada penelitian ini adalah semua perempuan yang hidup dengan
HIV/AIDS di Kota Makassar yang bersuku Bugis Makassar. Adapun metode
pengambilan sampel menggunakan metode nonprobability sample, accidental sample .
Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu; perempuan yang telah terinfeksi HIV/AIDS
selama ≥ 6 bulan dan mengetahui status positif HIV setidaknya selama 3 bulan terakhir
serta bersedia memberikan informasi yang berkaitan dengan penelitian, bersuku
Bugis/Makassar, dan memiliki pengetahuan dasar tentang konsep siri’na pacce.
Pengumpulan data dengan pendekatan transcultural nursing melibatkan 3 tahap
yaitu pengisian kuesioner, focus group discussion, dan wawancara mendalam (in depth
interview) yang melibatkan 6 orang informan kunci yang merupakan perempuan ODHA
dan 5 orang informan general yang merupakan keluarga/kerabat dari ODHA tersebut.
Proses pertama adalah pengisian kuesioner rosenberg self esteem scale untuk
mengukur tingkat self esteem yang dilakukan secara daring melalui google form
kepada informan kunci. Proses kedua adalah observation-participation-reflection yang
dilakukan dalam bentuk focus group discussion kepada informan kunci dan informan
general. Tahap selanjutnya yaitu wawancara mendalam (in depth interview) kepada 6
orang informan kunci dan 5 orang informan general. Dalam metode wawancara pada
informan kunci dan informan general menggunakan wawancara semi terstruktur dan
59
5
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
panduan wawancara yang berdurasi 45 – 60 menit pada setiap partisipan. Proses
focus group
59
6
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
HASIL PENELITIAN
Tabel. 1
Data Demografis Informan Kunci
N %
Jenis Kelamin
Perempuan 6 100.0
Agama
Islam 6 100.0
Suku
Bugis 3 50.0
Bugis Makassar 1 16.7
Makassar 2 33.3
Pendidikan Terakhir
SMA 5 83.3
D3 1 16.7
Status Perkawinan
Cerai Mati 4 66.7
Cerai Hidup 1 16.7
Menikah 1 16.7
Status Tinggal
Extended Family 3 50.0
Nuclear Family 3 50.0
Pekerjaan
Bekerja 3 50.0
Tidak Bekerja 3 50.0
Besar Penghasilan
<Rp.1.000.000 1 16.7
Rp.1.000.000-2.500.000 2 33.3
>2.500.000 3 50.0
Total 6 100.0
59
7
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
perkawinan, diperoleh total responden dengan status perkawinan cerai mati adalah 3
orang, cerai hidup adalah 1 orang, dan menikah adalah 1 orang.
Adapun berdasarkan status tinggal, diperoleh total responden dengan status
extended family (ayah, ibu, anak, nenek/kakek/paman/bibi) adalah 3 orang dan nuclear
family (ayah, ibu, anak) adalah 3 orang. Adapun berdasarkan pekerjaan, diperoleh total
responden yang bekerja adalah 3 orang dan tidak bekerja adalah 3 orang. Adapun
berdasarkan besar penghasilan, diperoleh total responden yang memiliki besar
penghasilan <Rp.1.000.000 adalah 1 orang, total responden yang memiliki besar
penghasilan Rp.1.000.000-Rp.2.500.000 adalah 2 orang, dan total responden yang
memiliki besar penghasilan >Rp.2.500.000 adalah 3 orang.
Tabel. 2
Berdasarkan tabel 2 informan general yang turut serta dalam penelitian ini akan
tetap dijaga privasinya sehingga nama aslinya diganti dengan menggunakan kode IG1,
IG2, IG3, IG4, IG5 yang berarti IG1 adalah informan general 1, IG2 informan general 2,
IG3 informan general 3 dan seterusnya.
Tabel. 3
Data Self-Esteem
Kuesioner Self-Esteem N %
Self-Esteem: Penerimaan Diri
Rendah 1 16.7
Sedang 4 66.7
Tinggi 1 16.7
Self-Esteem: Penghormatan Diri
Rendah 0 00.0
Sedang 4 66.7
Tinggi 2 33.3
Total 6 100.0
Berdasarkan tabel 3 adapun berdasarkan hasil kuesioner self esteem yang terdiri dari
indikator penerimaan diri dan penghormatan diri, diperoleh total responden dengan tingkat
penerimaan diri yang rendah adalah 1 orang, sedang adalah 4 orang, dan tinggi adalah 1
orang. Sedangkan untuk self esteem indikator penghormatan diri, diperoleh total responden
dengan penghormatan diri yang rendah adalah tidak ada, yang sedang ada 4 orang, dan
yang tinggi sebanyak 2 responden. Secara keseluruhan, total responden dalam penelitian ini
adalah 6 orang dengan tingkat self esteem pada indikator penerimaan diri dan penghormatan
diri yang cenderung sedang, sehingga masih perlu peningkatan self esteem agar mencapai
tingkat yang tinggi.
Selain data dari kuesioner, peneliti juga melakukan wawancara secara mendalam
(indeph interview) kepada 6 informan kunci dan 5 informan general yang memenuhi
59
8
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
kriteria inklusi dengan durasi 45-60 menit. Peneliti mendapatkan data bahwasanya tingkat
59
9
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
self esteem perempuan dengan HIV/AIDS di Kota Makassar dipengaruhi oleh adanya faktor
budaya. Hal ini sejalan dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni
transcultural nursing. Pengkajian transcultural nursing dilakukan dengan menggunakan
sunrise model yang terdiri dari 7 (tujuh) faktor untuk mengidentifikasi masalah kesehatan
berdasarkan latar belakang budaya sehingga didapatkan faktor dominan yang
mempengaruhi self esteem perempuan dengan HIV/AIDS di Kota Makassar.
Dari hasil wawancara didapatkan data semua responden mengatakan bahwa mereka
mendapatkan virus HIV dari suami/pasangan mereka, dan baru mengetahui status
HIV/AIDS suaminya setelah suaminya dalam kondisi kronis seperti yang diungkapkan oleh
responden A
“Awalnya saya kaget, saya tidak tahu kalau suami saya dulu pengguna narkoba.
Waktu ditanya sama orang tuanya kalau dulu suami saya pemakai narkoba (jarum
suntik), jadi yah saya bilang saya terinfeksi dari suami saya”.
Selanjutnya peneliti pun melakukan wawancara untuk mengetahui faktor yang paling
mempengaruhi tingkat self esteem ODHA, dan didapatkan hasil bahwasanya siri’ na pacce
adalah faktor yang sangat berpengaruh, dimana perempuan ODHA akhirnya merasakan
siri’ (malu) dengan keadaannya dan kemudian menutupi statusnya, seperti yang
disampaikan responden I
“Pokoknya selama ada penyakitku lose contact-ka sama temanku, nda bergaulma.
Sa kurung diriku, keluarga semuanya pada tahu tapi sayanyaji yang minder.
Sayanya ji yang minder, kek merasa takutka bilang nanti orang beranggapan
bagaimana to”
Selain ODHA itu sendiri, keluarga/kerabat dekat mereka juga merasa ripakasiri’
(dipermalukan) apabila status HIV keluarga mereka diketahui oleh masyarakat. Siri’ dalam
makna ripakasiri’ karena status ODHA yang dimiliki keluarganya seperti yang
diungkapkan oleh responden M
“Ndak beranika deh karena orang kampung semua, orang kampung, nda ditauki
anunya, nda ditau juga bilang mengertika atau tidak, nanti nda maumi ke rumah,
nda maumi namakan makananta”
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh salah satu informan general P yang
mengatakan bahwa:
“Terus nda lama keknya itu suaminya meninggal, meninggal sekitar 1 bulan setelah
ketemu sama dia, terus sempet main ke rumahnya itu di rumahnya itu agak gimana
ya, dia agak distigma sama keluarganya suaminya. Jadi satu rumah itu dengan 2
dapur. L masak sendiri, mertuanya masak sendiri kaya dikucilkan gitu kan yaa dia
akhirnya memilih untuk ngekos sendiri gitu”
60
0
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
Namun beberapa responden juga mengatakan bahwa mereka menjadi tegar dan
mampu menerima statusnya karena menerima dukungan dari keluarga dan orang
terdekatnya. Beberapa responden mengungkapkan bahwa mereka dapat beradaptasi dengan
60
1
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
baik karena keluarga, terutama Ibu yang selalu mendampingi dan memberikan dukungan,
serta menerima status mereka sebagai ODHA.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwasanya seluruh ODHA
mendapatkan virus HIV dari pasangan mereka dan terdeteksi pada saat pasangan mereka
sudah dalam keadaan kronis dan bahkan sudah terjadi komplikasi. Sehingga, kemungkinan
untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan memperpanjang usia relatif rendah (Tumina &
Yona, 2019). Oleh karena itu deteksi dini HIV sangatlah penting selain mencegah
terjadinya penurunan kualitas hidup ODHA dan komplikasi-komplikasi yang bisa terjadi.
Mengetahui bahwasanya tubuh telah terinfeksi HIV tentunya menimbulkan stress
psikologis bagi kebanyakan orang. Sebagian besar responden dalam penelitian ini di awal
merasa tidak terima dan susah untuk menerima keadaan mereka. Beberapa dari mereka juga
bahkan menarik diri dari lingkungannya. Berbagai masalah psikologis memang sangat
rentan terjadi pada ODHA ditambah lagi jika mereka merasakan diskrimisasi oleh
lingkungan sekitarnya (Prathama et al., 2020). Hal ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Dalam penelitian ini sendiri diidentifikasi bahwasanya nilai budaya dalam hal ini
siri’ na pacce sangat berpengaruh terhadap self esteem perempuan ODHA. Nilai budaya
siri’ na pacce yang mereka anut menimbulkan rasa takut, ragu, cemas untuk terbuka kepada
lingkungan masyarakat terkait status mereka sehingga, mereka cenderung tertutup dan
hanya berani mengatakan status ODHA mereka kepada keluarga, teman atau kerabat
terdekat.
Budaya siri’ ini berkembang oleh karena pengaruh internal dan eksternal. Kedua
faktor ini menyumbang pengaruh yang besar. Pertama, faktor internal yaitu berasal dari diri
ODHA itu sendiri. Tanpa sadar ODHA menarik dirinya dari lingkungan sosial, mereka
membuat batasan dengan lingkungan pertemanan bahkan mengurung dirinya sendiri oleh
karena perasaan siri’ atau malu yang mereka rasakan. Kedua, faktor eksternal adalah oleh
karena pengaruh keluarga/kerabat ODHA itu sendiri. Timbulnya perasaan ripakasiri’
(dipermalukan) oleh keluarga mereka yang merupakan ODHA. Perasaan ripakasiri’ ini
timbul oleh karena stigma buruk yang sangat melekat pada ODHA. Oleh karena itu,
keluarga/kerabat akhirnya akan mencoba untuk membela kehormatan dan harga diri mereka
untuk menegakkan siri’ di masyarakat. Membuat orang Bugis malu di depan umum, akan
membangkitkan rasa siri’ ripakasiri’ dalam dirinya, dan ini merupakan suatu penghinaan
yang dapat menimbulkan perasaan yang membara dalam diri orang Bugis (Widiansyah &
Hamsah, 2018).
Faktor sosial dapat menjadi sistem pendukung bagi perempuan ODHA sekaligus
sumber timbulnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Penilaian negatif dari keluarga
atau kerabat dekat menyebabkan ODHA memilih untuk menyembunyikan statusnya.
Walaupun begitu, dukungan keluarga juga menjadi salah satu alasan perempuan ODHA
untuk tetap tegar, dan semangat menjalani hidupnya. Dukungan dari keluarga juga
memudahkan mereka dalam beradaptasi dengan keadaannya, membuat mereka akhirnya
dapat berdamai dan menerima status mereka sebagai ODHA.
Faktor pendidikan, lebih tepatnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS
ternyata dapat mempengaruhi self esteem ODHA. Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat
mempengaruhi bagaimana individu tersebut akan bersikap terhadap penderita HIV/AIDS
(Soares et al., 2020). Kemudian Andersson et al., (2020) juga mengatakan bahwa salah
satu penyebab terjadinya stigma adalah misinformasi mengenai bagaimana HIV
ditransmisikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Haeriyanto et al.,
(2019) dimana
60
2
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
terdapat hubungan signifikan antara pengetahuan dengan stigma. Terdapat perbedaan secara
bermakna rata-rata skor stigma kelompok intervensi antara sebelum dan sesudah pemberian
pendidikan kesehatan tentang HIV dan AIDS.
SIMPULAN
Budaya siri’na pacce memiliki pengaruh terhadap perempuan dengan HIV/AIDS di
Kota Makassar. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat self esteem berdasarkan pendekatan
transcultural nursing adalah faktor nilai budaya dan gaya hidup serta faktor tingkat
pengetahuan. Penting dilakukan adanya penelitian lebih lanjut terkait bagaimana budaya
setempat dapat mempengaruhi kondisi sehat sakit masyarakat. Pendekatan transcultural
nursing ini memungkinkan untuk direplikasi sebagai salah satu intervensi berbasis budaya
dalam memahami penyakit menular lainnya, seperti TB Paru bahkan COVID-19 yang
dapat diterapkan di seluruh wilayah Indonesia.
SARAN
Agar peneliti selanjutnya lebih mengeksplor faktor-faktor budaya yang dapat
mempengaruhi self esteem perempuan dengan HIV/AIDS yang sesuai dengan teori
transcultural nursing sehingga dapat memberikan hasil yang lebih beragam sehingga dapat
dijadikan salah satu intervensi berbasis budaya yang dapat direplika ke dalam berbagai
kasus penyakit menular seperti TB Paru hingga COVID-19.
DAFTAR PUSTAKA
Andersson, G. Z., Reinius, M., Eriksson, L. E., Svedhem, V., Esfahani, F. M., Deuba,
K., Rao, D., Lyatuu, G. W., Giovenco, D., & Ekström, A. M. (2020). Stigma
Reduction Interventions in People Living with HIV to Improve Health-Related
Quality of Life. The Lancet HIV, 7(2), e129–e140. https://doi.org/10.1016/S2352-
3018(19)30343-1
Andri, J., Ramon, A., Padila, P., Sartika, A., & Putriana, E. (2020). Pengalaman Pasien
ODHA dalam Adaptasi Fisiologis. Journal of Telenursing (JOTING), 2(2), 127-
141. https://doi.org/https://doi.org/10.31539/joting.v2i2.1397
Fuady, M. I. N. (2019). Siri’ Na Pacce Culture in Judge’s Decision (Study in Gowa,
South Sulawesi Province). Fiat Justisia:Jurnal Ilmu Hukum, 13(3), 241.
https://doi.org/10.25041/fiatjustisia.v13no3.1684
Haeriyanto, S., Ekarini, N. L. P., & Lusiani, D. (2019). Stigma Remaja terhadap ODHA
Studi terhadap pelajar SMA di wilayah Jakarta Timur. JKEP, 4(1), 12-23. DOI:
10.32668/jkep.v4i1.277
Hijriani, H., & Herman, H. (2019). The Value of Siri’na Pacce as an Alternative to Settle
Persecution. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law), 5(3), 558–580.
https://doi.org/10.22304/pjih.v5n3.a9
Im, E. O., & Lee, Y. (2018). Transcultural Nursing: Current Trends in Theoretical Works.
Asian Nursing Research, 12(3), 157–165. https://doi.org/10.1016/j.anr.2018.08.006
Khairunisa, S. Q., Megasari, N. L. A., Ueda, S., Budiman, W., Kotaki, T., Nasronudin, &
Kameoka, M. (2020). 2018-2019 Update on the Molecular Epidemiology of HIV-1 in
Indonesia. AIDS Research and Human Retroviruses, 36(11), 957–963.
https://doi.org/10.1089/aid.2020.0151
Maharani, I. (2018). Cap Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) Studi Sosiologi Kualitatif
tentang Stigma. Universitas Airlangga
60
3
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
http://journal.stikeskendal.ac.id/index.php/Keperawatan/article/download/833/524 WHO.
(2020). News Room HIV/AIDS. World Health Organization.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hiv-aids
Widiansyah, S., & Hamsah, H. (2018). Dampak Perubahan Global terhadap Nilai-Nilai
Budaya Lokal dan Nasional (Kasus pada Masyarakat Bugis-Makasar). Jurnal
Hermeneutika, 4(1), 38-48. http://dx.doi.org/10.30870/hermeneutika.v4i1.4822
Yani, F., Harahap, F. S. D., & Hadi, A. J. (2020). Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) di Kabupaten Aceh Utara. The Indonesian Journal of Health
Promotion, 3(1).
http://jurnal.unismuhpalu.ac.id/index.php/MPPKI/article/view/1028
Zainal, X., & Wahyuni, S. (2018). Siri’ na Passe dalam Masyarakat Bugis di Kota Tanjungpinang.
Jurnal Masyarakat Maritim, 2(1).
Jurnal Keperawatan Muhammadiyah 6 (3) 2021
https://www.neliti.com/id/publications/327898/siri-na-pesse-dalam-masyarakat- bugis-di-kota-
tanjungpinan