Anda di halaman 1dari 9

c.

Yuridiksi dalam shipping claim

Sebelum membahas Yuridiksi dalam shipping claim, kita perlu mengetahui apa itu
shipping claim. Klaim pengiriman (shipping claim) adalah proses hukum yang melibatkan
pengajuan permintaan kompensasi atau ganti rugi oleh pihak yang terkena dampak kerugian,
kerusakan, atau kehilangan atas kargo atau muatan yang dikirim melalui layanan pengiriman,
seperti transportasi laut, udara, darat, atau kereta api. Klaim pengiriman umumnya muncul
ketika kargo atau muatan tiba di tujuan dengan kerusakan atau kehilangan, atau jika
pengiriman tersebut mengalami keterlambatan yang signifikan. Klaim semacam ini bisa
diajukan oleh berbagai pihak, termasuk pengirim, penerima, atau pemilik kargo.1

Dalam dunia perdagangan global yang sangat terhubung, klaim pengiriman menjadi
aspek penting dalam menjaga integritas dan keamanan pengiriman barang dari satu lokasi ke
lokasi lainnya. Proses klaim pengiriman tidak hanya melibatkan pengajuan permintaan
kompensasi, tetapi juga merupakan alat yang memastikan bahwa ketentuan dan persyaratan
pengiriman dihormati oleh pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasokan. Dalam
menghadapi situasi klaim pengiriman, dokumentasi yang kuat sangat penting. Pihak yang
terkena dampak harus mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung klaim mereka, termasuk
foto-foto kerusakan, laporan inspeksi, faktur, surat pengangkutan, dan semua dokumen terkait
lainnya. Semakin lengkap dan jelas bukti yang diberikan, semakin kuat klaim mereka.

Yuridiksi dalam klaim pengiriman (shipping claim) mengacu pada wilayah hukum di
mana klaim tersebut dapat diajukan atau diproses. Klaim pengiriman adalah proses hukum di
mana pihak yang terkena dampak kerugian atau kerusakan pada kargo atau muatan yang
dikirim memiliki hak untuk mengajukan klaim terhadap pihak yang bertanggung jawab atas
pengiriman tersebut, seperti maskapai penerbangan, perusahaan pengiriman, atau operator
kapal.2 Penting bagi pihak yang terkena dampak klaim pengiriman untuk memahami kontrak,
peraturan internasional, dan hukum yang berlaku yang mengatur yuridiksi dalam konteks
klaim mereka. Pilihan yuridiksi yang tepat dapat memiliki dampak besar pada hasil klaim,
termasuk prosesnya dan besarnya kompensasi yang dapat diterima.

1
Somadi, “Evaluasi Keterlambatan Pengiriman Barang dengan Menggunakan Metode Six Sigma”, Jurnal Logistik
Indonesia, Volume 4, No. 2, halaman 92
2
Nina Juwitasari, dkk, “Perlindungan Konsumen Terhadap Pengguna Jasa Ekspedisi”, Jurnal USM Law, Volume
4, No. 2, halaman 691
Yuridiksi adalah konsep hukum yang menentukan di mana sebuah perkara atau klaim
dapat diajukan atau diproses. Dalam konteks klaim pengiriman, beberapa faktor yang
memengaruhi yuridiksi termasuk3:

1. Perjanjian Pengangkutan: Perjanjian pengangkutan yang mengatur syarat-syarat


pengiriman, termasuk yuridiksi yang berlaku, dapat memengaruhi di mana klaim dapat
diajukan. Biasanya, perjanjian ini mencakup klausul mengenai yuridiksi pengadilan yang
akan menangani sengketa yang mungkin timbul.
2. Tempat Kejadian: Yuridiksi juga dapat ditentukan oleh tempat kejadian atau lokasi di
mana kerusakan atau kehilangan kargo terjadi. Jika kerusakan terjadi di dalam yuridiksi
tertentu, pengadilan di wilayah tersebut mungkin memiliki yuridiksi untuk mengadili
klaim tersebut.
3. Hukum yang Berlaku: Yuridiksi dapat dipengaruhi oleh hukum yang berlaku dalam
perjanjian pengangkutan atau hukum yang berlaku di tempat kejadian. Hukum ini dapat
memengaruhi proses klaim dan penentuan yuridiksi.
4. Perjanjian Arbitrase: Beberapa perjanjian pengangkutan mungkin mencakup klausul
arbitrase yang menentukan bahwa sengketa harus diselesaikan melalui arbitrase daripada
pengadilan konvensional. Ini juga dapat memengaruhi yuridiksi.

Penting untuk memeriksa perjanjian pengangkutan, peraturan pengiriman


internasional, dan hukum yang berlaku di wilayah tertentu untuk memahami yuridiksi
yang berlaku dalam klaim pengiriman Anda. Dalam banyak kasus, pihak-pihak yang
terlibat dalam klaim harus mematuhi ketentuan-ketentuan tertentu yang ditetapkan oleh
hukum dan peraturan yang berlaku. Jika terdapat ketidaksepakatan atau sengketa terkait
yuridiksi, konsultasikan dengan seorang pengacara yang berpengalaman dalam hukum
pengiriman dan perdagangan internasional untuk mendapatkan panduan yang tepat.

DAFPUS

Somadi. 2020. Evaluasi Keterlambatan Pengiriman Barang dengan Menggunakan Metode


Six Sigma. Jurnal Logistik Indonesia. Volume 4. No. 2. halaman 92
Juwitasari, Nina, dkk. 2021. Perlindungan Konsumen Terhadap Pengguna Jasa Ekspedisi.
Jurnal USM Law. Volume 4. No. 2. halaman 691
3
Ni Made Celin Darayani, “Kajian Hukum Pidana Internasional Dalam Yuridiksi Universal Terhadap
Penanggulangan Kejahatan Perompakan Laut Di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum Sui Generis, Volume 2, No.1,
halaman 3
Made, Ni Celin Darayani. 2021. Kajian Hukum Pidana Internasional Dalam Yuridiksi
Universal Terhadap Penanggulangan Kejahatan Perompakan Laut Di Indonesia. Jurnal Ilmu
Hukum Sui Generis. Volume 2. No.1. halaman 3
d. hak imunitas terhadap yuridiksi

Hak imunitas adalah doktrin hukum yang memberikan suatu entitas atau individu
perlindungan terhadap yuridiksi atau tuntutan hukum dari pihak ketiga. Dalam konteks
hukum internasional, hak imunitas seringkali berkaitan dengan negara-negara, entitas
pemerintah, diplomat, atau pejabat konsuler. Konsep ini didasarkan pada prinsip kedaulatan
negara dan dianggap sebagai elemen penting dalam menjaga stabilitas hubungan
antarnegara.4

Hak imunitas terhadap yuridiksi adalah doktrin hukum yang memberikan perlindungan
terhadap tuntutan hukum atau yuridiksi suatu negara atau pemerintah dari pengadilan di
negara lain. Ini berarti bahwa suatu negara atau entitas pemerintah memiliki hak untuk tidak
tunduk pada yuridiksi pengadilan di negara lain dalam beberapa situasi tertentu. Hak ini
didasarkan pada prinsip kedaulatan negara dan merupakan elemen penting dalam hukum
internasional.

Namun, penting untuk dicatat bahwa imunitas negara bukanlah konsep yang mutlak dan
memiliki pengecualian tertentu. Salah satu pengecualian yang signifikan adalah imunitas
yuridiksi komersial, di mana negara atau entitas pemerintah terlibat dalam kegiatan bisnis
atau komersial di negara lain. Dalam situasi ini, negara mungkin kehilangan imunitas
terhadap yuridiksi pengadilan dalam sengketa komersial tertentu.

Imunitas terhadap yuridiksi adalah bagian penting dalam menjaga stabilitas dan hubungan
damai antarnegara. Namun, hal ini juga dapat menjadi sumber ketegangan dan sengketa
dalam konteks hubungan internasional. Oleh karena itu, pengaturan imunitas negara sering
menjadi subjek perundingan dalam perjanjian internasional, dan beberapa konvensi
internasional telah ditetapkan untuk mengatasi isu-isu terkait imunitas ini. Dalam banyak
kasus, penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional juga menjadi cara untuk
menyelesaikan sengketa yang melibatkan imunitas negara atau diplomatik.

Ada beberapa bentuk hak imunitas terhadap yuridiksi yang umumnya dikenal5, termasuk:

1. Imunitas Negara: Prinsip ini menyatakan bahwa negara-negara memiliki hak imunitas
terhadap yuridiksi pengadilan negara lain. Dengan kata lain, suatu negara tidak dapat
diseret ke pengadilan di negara lain tanpa izin atau persetujuan dari negara tersebut.
4
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Semarang: PT. Citra Adytia Bhakti, hlm. 53
5
Anugrah Andara Putra, “Penerapan Hak Imunitas Yang Dimiliki Oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dan Urgesi Forum Previlegiatum”, Jurnal Diponegoro Law Review, Volume 5, No. 2, halaman
2
Imunitas negara ini biasanya melindungi tindakan pemerintah dan urusan resmi
negara.
2. Imunitas Diplomatik: Imunitas diplomatik diberikan kepada diplomat dan pejabat
konsuler dari negara asing yang berada di negara tuan rumah. Ini berarti bahwa
diplomat tersebut tidak dapat diadili atau dituntut di negara yang mereka kunjungi,
kecuali jika negara asal mereka menarik imunitas tersebut.
3. Imunitas Organisasi Internasional: Organisasi internasional seperti PBB atau badan
lainnya juga dapat memiliki imunitas terhadap yuridiksi negara-negara anggotanya.
Ini bertujuan untuk melindungi integritas dan kemandirian organisasi tersebut dalam
menjalankan tugas-tugasnya.
4. Imunitas terhadap Eksekusi Asing: Selain imunitas terhadap yuridiksi, ada juga
imunitas terhadap eksekusi asing, yang berarti bahwa properti negara asing di negara
lain tidak dapat dieksekusi atau disita sebagai hasil dari putusan pengadilan negara
tuan rumah.

Penting untuk diingat bahwa hak imunitas terhadap yuridiksi bukanlah konsep yang
mutlak dan dapat memiliki pengecualian atau pembatasan tertentu. Misalnya, dalam
beberapa kasus, negara atau entitas pemerintah mungkin kehilangan imunitas jika mereka
terlibat dalam perdagangan atau komersial di negara lain. Selain itu, ada perbedaan
pendekatan dalam hukum internasional terkait dengan imunitas terhadap yuridiksi, dan
beberapa negara mungkin lebih cenderung untuk mengakui imunitas daripada yang lain.
Ketentuan hukum ini sering kali menjadi subjek perdebatan dan sengketa dalam
hubungan internasional dan dapat memerlukan interpretasi yang cermat oleh pengadilan
internasional.

DAFPUS

Rahardjo, Satjipto. 2014. Ilmu Hukum. Semarang: PT. Citra Adytia Bhakti
Andara, Anugrah Putra. 2016. Penerapan Hak Imunitas Yang Dimiliki Oleh Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Urgesi Forum Previlegiatum. Jurnal
Diponegoro Law Review. Volume 5. No. 2. halaman 2
e. penegakan keputusan asing
Penegakan putusan asing adalah proses hukum di mana putusan atau keputusan yang
diberikan oleh pengadilan di satu negara diakui dan ditegakkan di negara lain. Ini adalah
bagian penting dalam hukum internasional dan merupakan cara untuk memastikan bahwa
putusan hukum yang diberikan di satu yuridiksi dapat diterapkan dan ditaati di yuridiksi
lainnya. Proses penegakan putusan asing melibatkan serangkaian langkah hukum yang
kompleks dan seringkali melibatkan kerja sama antara negara-negara yang terlibat. 6
Penegakan putusan asing memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga
integritas sistem hukum internasional dan memfasilitasi hubungan ekonomi dan
perdagangan global. Proses ini memungkinkan pihak yang menang dalam suatu
perselisihan hukum di satu yuridiksi untuk mengamankan hak dan ganti rugi yang telah
diberikan oleh pengadilan atau badan arbiter di yuridiksi tersebut, bahkan jika pihak yang
kalah berada di negara lain.
Salah satu contoh paling umum dari penegakan putusan asing adalah dalam sengketa
bisnis internasional. Ketika dua perusahaan dari negara yang berbeda terlibat dalam
kontrak bisnis dan muncul sengketa, pengadilan atau arbiter di salah satu negara tersebut
mungkin memberikan putusan hukum. Kemudian, pihak yang menang mungkin perlu
menggunakan proses penegakan putusan asing untuk memastikan bahwa mereka dapat
mengumpulkan ganti rugi yang dijanjikan oleh pihak yang kalah, yang mungkin berlokasi
di negara yang berbeda.
Meskipun demikian, ada sejumlah tantangan yang dapat muncul dalam penegakan
putusan asing, termasuk masalah kepatuhan, hambatan hukum, atau perbedaan dalam
hukum dan prosedur antarnegara. Oleh karena itu, penggunaan ahli hukum yang
berpengalaman dalam hukum internasional dan penegakan putusan asing seringkali
sangat penting untuk memastikan bahwa proses ini berjalan dengan lancar dan berhasil.
Dengan demikian, penegakan putusan asing membantu menjaga kepercayaan dalam
perdagangan dan hubungan antarnegara serta memastikan bahwa hak dan kewajiban
diakui dan dihormati di seluruh dunia.
Berikut adalah langkah-langkah umum dalam proses penegakan putusan asing7:

6
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hlm.15
7
Hulman Panjaitan, “Pelaksanaan Putusan Arbitrase Di Indonesia”, Jurnal Hukum Dan Pembangunan, Volume
4, No. 1, halaman 31
1. Pengakuan: Langkah pertama adalah memastikan bahwa putusan hukum yang
diberikan di negara asal diakui di negara tempat penegakan akan dilakukan. Ini
seringkali melibatkan pengajuan permohonan pengakuan di pengadilan negara tempat
penegakan akan berlangsung. Pengadilan tersebut akan memutuskan apakah akan
mengakui putusan asing atau tidak.
2. Permohonan Eksekusi: Setelah pengakuan diberikan, pihak yang memenangkan
putusan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan di negara tempat
penegakan akan berlangsung. Permohonan eksekusi adalah langkah untuk mengubah
putusan hukum menjadi perintah pengadilan yang dapat ditegakkan oleh penegak
hukum di negara tersebut.
3. Kepentingan Lawan: Pihak yang kalah dalam kasus hukum asli dapat memiliki hak
untuk mengajukan keberatan atau melawan permohonan eksekusi. Mereka dapat
mencoba membuktikan bahwa putusan asing tersebut tidak seharusnya diakui atau
ditegakkan berdasarkan hukum negara tersebut.
4. Pelaksanaan Eksekusi: Setelah permohonan eksekusi diterima, pengadilan di negara
tempat penegakan akan mengeluarkan perintah eksekusi yang memerintahkan
penegak hukum untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk melaksanakan
putusan asing. Tindakan ini bisa berupa penyitaan aset, penahanan, atau tindakan lain
yang sesuai untuk memastikan putusan tersebut dipatuhi.
5. Penegakan: Tahap terakhir adalah penegakan putusan itu sendiri. Ini melibatkan upaya
untuk melaksanakan perintah pengadilan dan memastikan bahwa pihak yang kalah
mematuhi putusan tersebut. Jika perlu, penegak hukum dapat menggunakan berbagai
tindakan hukum dan eksekusi fisik untuk memaksa pematuhan.

Penegakan keputusan asing, meskipun penting dalam menjaga integritas hukum


internasional dan memfasilitasi perdagangan dan kerja sama antarnegara, memiliki
beberapa kekurangan dan tantangan yang perlu diperhatikan:

1. Ketidakpatuhan dan Penghindaran: Salah satu tantangan utama dalam penegakan


keputusan asing adalah ketidakpatuhan pihak yang kalah. Pihak yang kalah mungkin
mencoba untuk menghindari pelaksanaan putusan dengan berbagai cara, seperti
menyembunyikan aset atau melakukan tindakan hukum yang menghambat
pelaksanaan. Ini dapat mempersulit upaya pihak yang menang untuk mengumpulkan
ganti rugi yang diberikan oleh pengadilan atau arbiter.
2. Biaya dan Waktu: Proses penegakan keputusan asing seringkali melibatkan biaya
yang tinggi dan memakan waktu. Pihak yang menang dalam perselisihan perlu
mengeluarkan uang untuk biaya hukum, pengadilan, dan badan eksekusi hukum.
Selain itu, proses ini dapat memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-
tahun sebelum putusan dapat ditegakkan sepenuhnya.
3. Kerumitan Hukum dan Birokrasi: Penegakan keputusan asing melibatkan serangkaian
langkah hukum yang rumit dan berbeda antara negara asal dan negara tuan rumah.
Masalah hukum, birokrasi, dan perbedaan dalam prosedur hukum antarnegara dapat
menambah kerumitan proses ini.
4. Keterbatasan Yurisdiksi: Ada kasus di mana pengadilan di negara tuan rumah
mungkin menolak mengakui atau mengeksekusi putusan asing karena pertimbangan
hukum atau peraturan yurisdiksi mereka sendiri. Hal ini dapat menciptakan hambatan
dalam penegakan putusan asing, terutama jika ada perbedaan yang signifikan dalam
prinsip-prinsip hukum antarnegara.
5. Tantangan Internasional: Penegakan keputusan asing seringkali melibatkan kerja sama
internasional. Tantangan politik, diplomatik, atau antarnegara dapat mempengaruhi
kemampuan untuk menegakkan putusan tersebut. Beberapa negara mungkin memiliki
hubungan yang buruk atau konflik politik dengan negara asal putusan, yang dapat
menghambat penegakan.
6. Penegakan terhadap Entitas yang Tidak Dikenal atau Tak Bernama: Dalam beberapa
kasus, penegakan putusan asing dapat menjadi sulit jika pihak yang kalah adalah
entitas yang tidak dikenal atau tidak memiliki aset yang dapat dilacak. Ini dapat
membuat proses pengumpulan ganti rugi dari putusan tersebut menjadi sangat sulit
atau bahkan tidak mungkin.

Meskipun ada berbagai tantangan dalam penegakan keputusan asing, penting untuk
diingat bahwa sistem ini tetap penting untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum
internasional dan menjaga perdagangan internasional yang adil. Untuk mengatasi
beberapa kekurangan ini, beberapa negara telah menjalin perjanjian bilateral atau
multilateral yang mengatur prosedur pengakuan dan penegakan putusan asing. Selain itu,
bantuan dari ahli hukum internasional yang berpengalaman dapat membantu mengatasi
beberapa hambatan dalam proses ini.

Proses penegakan putusan asing dapat menjadi sangat rumit tergantung pada hukum
negara-negara yang terlibat, hubungan bilateral, dan peraturan yang berlaku. Dalam
banyak kasus, negara-negara telah menegakkan konvensi dan perjanjian internasional
yang mengatur pengakuan dan penegakan putusan asing untuk memberikan kerangka
kerja yang lebih jelas dalam penanganan sengketa antarnegara.

DAFPUS

Rahardjo, Satjipto. 2014. Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru


Panjaitan, Hulman. 2016. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Di Indonesia. Jurnal Hukum Dan
Pembangunan. Volume 4. No. 1. halaman 31

Anda mungkin juga menyukai