Buku Panduan
Pengembangan Usaha Terpadu
Garam dan Art emia
Tim Penyusun
Pusriswilnon BRKP
Departemen Kelautan dan Perikanan
Judul:
BUKU PANDUAN PENGEMBANGAN USAHA TERPADU GARAM DAN ARTEMIA
Tim Penyusun:
Tukul Rameyo Adi
Agus Supangat
Budi Sulistiyo
Bangun Muljo S
Husni Amarullah
Tri Heru Prihadi
Sudarto
Eddy Soentjahjo
Agustin Rustam
ISBN 978-979-3768-10-6
Diterbitkan oleh:
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan
Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2006
SAMBUTAN
Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan
Produktivitas usaha garam rakyat Indonesia sampai saat ini dirasakan masih rendah,
dan belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan garam
domestik. Bahkan banyaknya petambak garam yang beralih fungsi mengakibatkan makin
luasnya lahan garam yang menjadi lahan tidur. Hal ini disebabkan harga garam yang terus
menurun akibat rendahnya mutu garam rakyat.
Diperlukan usaha untuk meningkatkan produksi garam rakyat, salah satu solusi yang
sudah ada adalah teknologi terpadu garam dan Artemia. Teknologi ini sudah cukup lama
dikembangkan oleh DKP (BRKP dan Ditjen Perikanan Budidaya) dan BPPT di beberapa
daerah dengan hasil yang sangat menggembirakan tetapi belum diterapkan dalam masyarakat
secara luas.
Keberhasilan yang ada di beberapa daerah seperti Rembang menunjukkan hasil yang
memuaskan dari segi kualitas dan kuantitas garam serta produk samping yaitu sista dan
biomassa Artemia yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Artemia merupakan pakan alami dari
segala industri perikanan budidaya baik budidaya laut maupun budidaya air tawar pada fase
pemeliharaan larva (benur).
Penyusunan dan penerbitan buku panduan “Pengembangan Usaha Terpadu Garam
dan Artemia” oleh Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan
dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan salah satu upaya untuk
meningkatkan produksi garam nasional dan kesejahteraan masyarakat pegaraman melalui
diseminasi dan sosialisasi, dengan target pembaca yaitu stakeholders pembuatan garam,
terutama petani garam.
Besar harapan kami, “Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan
Artemia” ini dapat diaplikasikan langsung oleh petani garam dan usaha pegaraman, sehingga
dapat meningkatkan produksi garam baik dari segi kualitas maupun kuantitas serta meningkatkan
kesejahteraan pegaram. Peningkatan produksi garam diharapkan dapat mengurangi
ketergantungan kita pada impor garam.
i
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
ii
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
SAMBUTAN
Kepala Pusat Riset Wilayah Laut dan
Sumberdaya Non Hayati
Kebutuhan garam nasional sampai saat ini belum dapat dipenuhi dari produksi domestik.
Hal ini disebabkan kualitas garam domestik yang tidak memenuhi SNI dan rendahnya harga
jual garam domestik yang mengakibatkan petambak garam beralih fungsi. Keadaan tersebut
dapat diatasi dengan melakukan upaya-upaya peningkatan kualitas dan kuantitas produksi
garam rakyat. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Tim Pengembang Garam Rakyat, Pusat
Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan, dengan melaksanakan kegiatan mengenai garam mulai
dari tahun 2001 sampai saat ini meliputi seminar, riset lapangan, kajian dan penyusunan buku
panduan. Pengembangan teknologi garam dan Artemia merupakan saat yang tepat untuk
dapat diaplikasikan dimasyarakat pegaraman. Untuk itu diperlukan diseminasi dan sosialisasi
melalui buku panduan ”Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia”
Buku panduan ini berisikan metode-metode pembuatan garam yang aplikatif, dilengkapi
dengan informasi penunjang yang berkaitan dengan parameter lingkungan dari garam dan
Artemia. Diharapkan buku panduan ini dapat dimanfaatkan oleh para petani garam dan usaha
pegaraman untuk meningkatkan produktivitas garam rakyat serta dapat meningkatkan
kesejahteraan.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua narasumber
dan pihak lainnya yang telah membantu terbitnya buku panduan ini.
iii
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
iv
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
PENGANTAR TIM PENYUSUN
Luas ladang penggaraman rakyat sebesar 25.542 Ha dari keseluruhan 33.625 Ha
ladang penggaraman, produksinya hanya mencapai 40 ton/Ha/tahun (PT Garam Persero,
2000). Bahkan akhir-akhir ini banyaknya lahan garam yang dibiarkan oleh petani garam
dikarenakan rendahnya harga jual garam yang mengakibatkan pegaram mencari pekerjaan
yang lain. Rendahnya harga jual garam dikarenakan kualitas garam rakyat yang belum
memenuhi SNI.
Tim Penyusun
v
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
vi
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
vii
Buku P anduan P engem bangan U s aha Ter padu G ar am d an Ar t em i a
2. 1. 1. Konst ruksi Tambak Garam 13
2. 1. 2. Tahapan Pembuat an Garam 16
2. 1. 2. 1. Penampungan Air Laut 18
2. 1. 2. 2. Peminihan 19
2. 1. 2. 3. Krist alisasi 19
2. 1. 2. 4. Perawat an dan Pemant auan 20
2. 1. 2. 5. Panen 20
Model Pembuat an Garam Bermut u 21
2. 2. 1. Pengendapan Model Karbonat 22
2. 2. 2. Pengendapan Model Oksalat 22
Iodisasi 22
viii
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Ar temia
DAFTAR TABEL
ix
Buku P anduan P engem bangan U s aha Ter padu G ar am d an Ar t em i a
DAFTAR GAMBAR
x
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
BAB 1
MENGENAL GARAM DAN ARTEMIA
. Apa Itu Garam
. Pengertian Tentang Garam
Garam adalah salah satu komoditas strategis, selain sebagai kebutuhan
konsumsi juga merupakan bahan baku industri kimia seperti soda api,
soda abu sodium sulfat dan lain-lain. Tanpa garam, manusia tidak mungkin
hidup, karena garam bertindak sebagai pengatur aliran makanan dalam
tubuh, kontraksi hati dan jaringan-jaringan dalam tubuh. Dalam tubuh
orang dewasa, mengandung sekitar 250 gram garam.
. Definisi
Garam atau lebih dikenal dengan nama garam meja, termasuk
dalam kelas mineral halida atau dikenal dengan nama halite,
dengan komposisi kimia sebagai Natrium Klorida (NaCl) terdiri
atas 39,3% Natrium (Na) dan 60,7% Klorin (Cl). Garam ini,
umumnya berada bersama gypsum dan boraks, sehingga akan
terendapkan setelah gypsum terendapkan pada proses
penguapan air laut. Nama halite berasal dari Greek “hals meaning
salt” (Kerry Magruder, Guidelines for Rock Collection).
Beberapa sifat garam atau Natrium Klorida yaitu bisa berbentuk
kristal atau bubuk putih dengan sistem isomerik berbentuk kubus,
bobot molekul 58,45 g/mol, larut dalam air (35,6 g/100 g pada
0°C dan 39,2 g/100 g pada 100°C). Dapat larut dalam alkohol,
tetapi tidak larut dalam asam Klorida pekat, mencair pada suhu
801°C, dan menguap pada suhu diatas titik didihnya (1413°C).
Hardness 2,5 skala MHO, bobot jenis 2,165 g/cm3, tidak berbau,
tidak mudah terbakar dan toksisitas rendah, serta mempunyai
sifat higroskopik sehingga mampu menyerap air dari atmosfir
Gambar 1: Molekul NaCl pada kelembaban 75% (Chemical Index, 1993).
(Garam) Garam alami selalu mengandung senyawa Magnesium Klorida,
1
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Magnesium Sulfat, Magnesium Bromida, dan senyawa runut
lainnya, sehingga warna garam selain merupakan kristal
transparan juga bisa berwarna kuning, merah, biru atau ungu.
Garam banyak dimanfaatkan dalam berbagai macam industri
dan diestimasikan sekitar 14.000 produk menggunakan garam
sebagai bahan tambahan (The Salt Manufacturer’s Association,
United Kingdom).
. Kandungan Garam
Sebelum mengkaji cara meningkatkan mutu garam rakyat perlu
dilihat dulu komposisi air laut pada salinitas 35 ppt (3,5°Be)
dapat dilihat pada Tabel 1.
2
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Air laut dengan kadar rata-rata seperti diatas mempunyai sifat-
sifat/kelakuan kristalisasi berdasarkan perbedaan kepekatan,
seperti yang tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat Kepekatan dan Senyawa yang Terendapkan dari Air Laut
Tingkat Giliran
kepekatan (ºBe) Mengkristal/Mengendap
3, 00–16, 00 Lumpur/ Pasir/ Fe 2 O3 / CaCO3
17, 00–27, 00 Gips (Kalsium Sulfat )
26, 25–35, 00 Nat rium Klorida
27, 00–35, 00 Garam Magne sium
28, 50–35, 00 Nat rium Bromida
Sumber: Riley and Skirrow (1975) dan PT Garam (2000)
3
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Tabel 3. Kualitas Garam Berdasarkan Kandungan NaCl
No. Substance Ks
Kualit as I NaCl>98% Kandungan Air Maksimum 4%
Kualit as II 94. 4%<NaCl<98% Kandungan Air Maksimum 5%
Kualit as III NaCl<94% Kandungan Air >5%
Sumber: PT Garam (2000)
Hal ini sangat diperlukan karena bila mampu menghasilkan garam yang
bermutu tinggi dengan kadar NaCl lebih dari 95%, Indonesia dapat
mengantisipasi untuk tidak perlu lagi mengimpor garam berkualitas atau
malah sebaliknya Indonesia dapat merencanakan usaha nasional sebagai
swasembada garam bahkan sebagai pengekspor garam bermutu
terkemuka di dunia.
4
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Garam dengan kadar NaCl > 95%, masyarakat bisa membuatnya asal
menggunakan cara-cara yang diterapkan untuk mengurangi kandungan
Kalsium, Magnesium dan Sulfatnya. Sebagai manfaat langsung pada
penghidupan masyarakat adalah dengan program peningkatan mutu
garam akan dapat meningkatkan diversifikasi sumber penghasilan
masyarakat dan Pemerintah Daerah.
. Kualitas Garam Konsumsi
Kualitas garam konsumsi seperti yang telah disebutkan diatas yaitu
menurut SNI adalah minimal mengandung NaCl sebesar 94,7 % yang
masuk kedalam kisaran kualitas baik atau K II. Garam konsumsi selain
mempunyai nilai sesuai dengan SNI juga harus mengandung iodium
sebesar 30 – 80 ppm, oleh karena itu dalam proses pembuatannya harus
ada iodisasi yaitu penambahan iodium dapat dilihat dalam sub bab 2.4.
. Kawasan Pegaraman
. Eksisting Kawasan Pegaraman
Indonesia walaupun merupakan negara kepulauan, tetapi hingga
saat ini pembuatan garam terutama masih terkonsentrasi di
Jawa dan Madura. Potensi luas lahan pegaraman di Indonesia
mencapai ± 33.625 ha tetapi baru sekitar 17.623 ha (52,4%)
yang dapat dimanfaatkan untuk memproduksi garam. Lahan
garam tersebut tersebar di 7 propinsi yaitu Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Sulsel, NTB, NTT. dan Sulteng sebagaimana
digambarkan dalam Gambar 4 Tabel 5 berikut:
Sulteng
18 jt ton
Jabar
130 jt ton
Sulsel
70 jt ton
Jateng
220 jt ton Jatim
615 jt ton NTB
61.5 jt ton NTT
30 jt ton
Gambar 4 Lahan Kawasan Pegaraman di Indonesia (Sumber: Dirj en Bina Pasar & Dist ribusi
Perdagangan Dalam Negeri, 2006)
5
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Tabel 5. Data Areal dan Produksi Garam
6
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Kondisi Iklim di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah sebagai
berikut:
n Suhu udara rata-rata ± 27°C, tertinggi 36°C dan terendah
16°C
n Kelembaban tahunan rata-rata 72%, maksimum 74% dan
terendah 70%
n Kecepatan angin rata-rata: 4,9 m/detik, maksimum 28,1
m/detik serta angin bertiup south east (tenggara) – north
west (barat laut)
n Penguapan tahunan rata-rata: 2.073,6 mm dan penguapan
dimusim kemarau (April-Oktober) 1.313 mm (dibandingkan
dengan Madura ± 650 mm & Australia ± 1800 mm)
n Masa musim kemarau yang panjang: 6-8 bulan (di Madura
4 – 6 bulan dan di Australia 10 bulan)
n Curah Hujan rata-rata: ± 1.030 mm (dibanding dengan
Madura ± 1.260 mm dan Australia ± 200 mm)
Sulsel
Jatim
NTB
NTT
Gambar 5. Pot ensi Kawasan Pegaraman Baru di Indonesia (Sumber: BPPT 2006
dan Dirj en Bina Pasar & Dist ribusi Perdagangan Dalam Negeri, 2006)
7
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
. Apa Itu Artemia
. Biologi Artemia
. Jenis Artemia
Artemia merupakan pakan alami penting untuk ikan dan udang,
termasuk ikan hias. Artemia merupakan kelompok udang-udangan
(Crustaceae) dari phylum Arthopoda, terdapat sekitar 50 strain
(jenis). Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton lain seperti
Copepode dan Daphnia (kutu air). Artemia hidup di danau-danau
garam (berair asin) yang ada di seluruh dunia (Asia, China, Irak,
Iran, Israel, Jepang, turki, Amerika: Great Salt Lake, Kanada,
Australia).
Sista tertua Artemia pernah ditemukan oleh suatu perusahan
pemboran yang bekerja disekitar Danau "Salt Great". Sista
Gambar 6. Art emia salina tersebut diduga berusia sekitar lebih dari 10.000 tahun
(sumber: ht t p: / / www . google. com)
(berdasarkan metoda "carbon dating"). Setelah diuji, ternyata
sista-sista tersebut masih bisa menetas walaupun usianya telah
lebih dari 10.000 tahun.
Artemia dapat hidup dari kisaran 60 – 300 ppt (6°Be - 30°Be).
Ukuran dewasa Artemia berkisar dari 10 – 20 mm, merupakan
pemakan segalanya yang berukuran partikel dengan cara
menyaringnya (filter feeder). Cara berkembang biak (reproduksi)
Gambar 7. Sist a Art emia
dengan ovipar (bertelur) atau ovovivipar, yaitu pada ovipar telur
menjadi sista ( telur Artemia terbungkus korion yang bersifat
dorman, berdiameter 200 – 270 µ m yang dapat hidup lama,
sista menetas jika ada hidrasi dengan salinitas 30 - 35 ppt atau
3 -3,5°Be) dan ovovivipar telur segera menetas menjadi naupli.
. Morfologi dan Siklus Hidup
Siklus hidup Artemia bisa dimulai dari saat menetasnya telur.
Setelah 15 - 20 jam pada suhu 25°C telur akan menetas manjadi
embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap
menempel pada kulit telur. Pada fase ini embrio akan
menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi
naupli yang sudah bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli
Gambar 8 : Perkawinan
akan berwarna oranye kecoklatan akibat masih
Art emia Dewasa mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak
8
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan
sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan ganti kulit dan
memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai
makan, dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus
organik lainnya. Pada dasarnya mereka tidak akan peduli (tidak
pemilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan tersebut
tersedia di air dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti
kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8
hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun
Gambar 9 : Siklus Art emia demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran
Sumber: www. google. com
sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya akan
mencapai 500 kali dibandingkan biomas pada fase naupli.
Dalam tingkat salinitas rendah dan dengan pakan yang optimal,
betina Artemia bisa menghasilkan naupli sebanyak 75 ekor
perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari) mereka bisa
memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10 -11 kali. Dalam
kondisi super ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan
dan memproduksi naupli atau sista sebanyak 300 ekor (butir)
per 4 hari. Sista akan terbentuk apabila lingkungannya berubah
menjadi sangat salin dan bahan pakan sangat kurang dengan
fluktuasi oksigen sangat tinggi antara siang dan malam hari.
Sista yang terbentuk ini dalam proses pengeringan (dehydration)
yang tadinya berbentuk bulat akan berubah menjadi bentuk bola
pingpong penyok.
Artemia dewasa toleran terhadap kisaran suhu -18°C hingga
40 °C. Sedangkan temperatur optimal untuk penetasan sista
dan pertumbuhan adalah 25 °C - 30 °C. Meskipun demikian hal
ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia
menghendaki kadar salinitas antara 30 - 35 ppt, dan mereka
dapat hidup di dalam air tawar salama 5 jam sebelum akhirnya
mati.
Variable lain yang penting adalah pH, cahaya dan oksigen.
Kisaran pH 8-9 merupakan kisaran yang paling baik untuk
pertumbuhan Artemia, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih
tinggi dari 10 dapat membunuh Artemia. Cahaya minimal
diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat
menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar
9
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan Artemia.
Dengan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning
atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan
apabila mereka banyak mengkonsumsi mikro algae. Pada kondisi
yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dan berkembang
biak dengan cepat.
Apabila kadar oksigen dalam air rendah, dan air banyak
mengandung bahan organik, atau apabila salintas meningkat,
Artemia akan memakan bakteria, detritus, dan sel-sel kamir
(yeast). Pada kondisi demikian mereka akan memproduksi
hemoglobin sehingga tampakÊ berwarna merah atau oranye.
Apabila keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai
memproduksi sista.
. Kegunaan Dan Kebutuhan Artemia
Artemia memiliki kegunaan/manfaat yang sangat besar dalam budidaya
perikanan baik perikanan darat maupun laut. Naupli Artemia sebagai
pakan dari berbagai jenis ikan dan krustase (udang), dalam bentuk sista
setiap saat siap pakai sebagai pakan larva ikan/krustase serta memiliki
nilai protein yang sangat tinggi > 40 %.
. Kegunaan Dalam Industri Perikanan
Artemia sangat dibutuhkan dalam usaha budidaya perikanan
baik budidaya laut maupun budidaya tawar terutama dalam
pembenihan ikan dan udang karena size Artemia cocok dengan
size bukaan mulut larva ikan atau udang. Artemia memiliki nutrisi
alami yang baik dan dapat disediakan dalam jumlah yang cukup,
tepat waktu dan berkesinambungan melalui telur dorman/sista
yang dapat diawetkan. Alasan lain penggunaan Naupli bagi
pembenihan Ikan dan Udang antara lain: Nilai gizi yang cukup
tinggi, terutama golongan marine spesies; ukuran relatif kecil;
pergerakan Nauplii cukup lambat sehingga mudah ditangkap;
dapat diperhitungkan jumlah kebutuhan naupli; mudah dikultur;
menetas dalam waktu yang hampir bersamaan; dan dapat
dipergunakan sebagai media boosting nutrien maupun antibiotik
atau bioencapsulations (Bruggeman, E., Sorgeloos, P., and
Vanhaecke, P. 1980).
10
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Pembenihan ikan dan udang selama ini tidak pernah terlepas
dari kebutuhan makanan alami, baik phytoplankton maupun
zooplankton. Perkembangan larva saat endogenous relatif tidak
membutuhkan makanan dikarenakan cadangan makanan masih
tersedia dengan cukup dalam tubuh larva, namun pada saat
stadium exogenous, makanan dari luar sangat dibutuhkan
dimana pada stadium ini merupakan titik kritis bagi kehidupan
larva (Bruggeman, E., Sorgeloos, P., and Vanhaecke, P. 1980.
Nauplii Artemia mulai dibutuhkan umumnya pada stadium lanjutan,
seperti saat mencapai Post Larva (PL) untuk udang, dan begitu
juga untuk ikan-ikan lain, teknologi pemeliharaan larva Gambar 10.
Zooplankton :
Rotifer Larva Ikan
Artemia
Pe ngkayaan
nut risi
Manajemen Pemeliharaan Larva
. Kebutuhan Artemia
Menurut Prihadi, dkk (2005) pemerintah mengembangkan tambak
udang seluas 380.355 ha, baik melalui teknologi intensifikasi
maupun ekstensifikasi. Kebutuhan benur untuk memenuhi
luasan tambak tersebut diperkirakan sebesar 55.240 milyar ekor,
sehingga untuk menunjang pakan alami benur yang ditebar
dibutuhkan sista Artemia sebanyak 398 ton. Sampai saat ini
kebutuhan Artemia dipenuhi dengan impor padahal kita memiliki
teknologi dalam budidaya Artemia di lahan garam yang sudah
dikembangkan sejak tahun 1980 an.
Pemecahan masalah tersebut dapat diatasi dengan 1)
mengembangkan usaha budidaya Artemia baik secara ekstensif
maupun intensif di tambak-tambak garam maupun intensif di
11
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
dalam bak, 2) memperbaiki teknik penanganan telur dan
penetasannya dan 3) menyebarkan bibit Artemia di perairan
yang memenuhi syarat tetapi belum ada Artemia-nya.
Pengembangan budidaya Artemia di Indonesia agaknya cukup
strategis karena kebutuhan sista setiap tahunnya cukup tinggi
baik untuk kegiatan pembenihan ikan/udang air laut dan air
tawar. Budidaya Artemia memang sangat memungkinkan
dilakukan pada salinitas tinggi, karena pada salinitas rendah
masih terlalu banyak predator, sehingga tidak mungkin
dibudidayakan. Sedikitnya Artemia dapat dikembangkan pada
salinitas minimal 70 ppt.
Saat ini pengembangan budidaya Artemia merupakan momentum
yang sangat tepat, dimana industri garam kurang menggairahkan
karena harga jual yang rendah selain tataniaga yang belum
memihak kepada petambak garam. Pada saat musim garam
(tahun 2003) harga garam mencapai Rp. 50,- per kg, sementara
produksi per 1,0 Ha unit garam maksimal menghasilkan 100
ton/tahun, sehingga harga produksi hanya mencapai 5 juta
rupiah. Karena tidak ada pilihan lain bagi petambak, maka
produksi garam masih terus dilakukan walaupun memperoleh
penghasilan yang sangat minim.
Harapan ke depan, dengan adanya kegiatan pengembangan
budidaya Artemia-garam ini , ketersediaan sista maupun biomassa
Artemia di dalam negeri dapat ditingkatkan, sehingga impor
Artemia yang selama ini dilakukan dapat dikurangi dan harga
Artemia di dalam negeri dapat ditekan sesuai dengan kemampuan
daya beli masyarakat pembudidaya.
. Nilai Ekonomi Artemia
Mengingat kegunaan Artemia dalam industri hatchery perikanan
sangat tinggi maka kebutuhan Artemia dalam pasar perikanan
pun sangat bagus. Dengan sendirinya nilai ekonomi Artemia
sangat bagus dimana semua yang dihasilkan dalam budidaya
Artemia baik itu sista dan biomassa-nya termanfaatkan dan
memiliki nilai ekonomi dalam industri perikanan dengan harga
jual yang memuaskan.
12
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
BAB 2
PROSES DASAR PEMBUATAN GARAM
. Teknologi Dan Proses Pembuatan Garam Konsumsi
Bahan baku pada pembuatan garam terutama adalah air laut, diperlukan teknik-teknik
khusus agar mineral-mineral yang kurang dikehendaki dapat dipisahkan. Mineral yang
cukup banyak di dalam garam yang berasal dari air laut adalah Natrium, Magnesium,
Kalsium, Klorida dan Sulfat. Apabila Kalsium dan Magnesium dapat dipisahkan, maka
Sulfat-nya juga akan terikut sehingga diharapkan garam yang dihasilkan mengandung
kadar NaCl > 95%.
Untuk proses pembuatan garam dibutuhkan lahan yang dekat dengan laut, mempunyai
porositas tanah rendah atau tanahnya tidak berpasir. Sumber air laut yang digunakan
harus bersih/tidak terkontaminasi dengan air limbah kota. Selain itu topografi dan sifat
fisik tanah serta iklim sangat berpengaruh pada proses pembuatan garam evaporasi.
Lahan untuk garam dibuat berpetak-petak untuk memisahkan bahan garam yang
kualitasnya rendah dengan kualitas yang lebih baik. Selain itu, dibutuhkan bahan kimia
pembantu atau dengan treatment biologi (budidaya Artemia) agar material yang kurang
diinginkan dapat dipisahkan. Namun yang paling baik adalah dengan menggunakan
Peminian dan penggabungan dengan budidaya Artemia agar garam-garam Kalsium
dan Magnesium dapat terendapkan sehingga menghasilkan garam yang mengandung
kadar NaCl >95% serta ada hasil sampingan berupa sista dan biomassa Artemia.
Teknologi pembuatan garam yang umum dilakukan adalah dengan metode penguapan
air laut/evaporasi dengan tenaga surya (Gambar 11). Cara lain adalah dengan metode
penguapan air laut/brine/air garam dengan bahan bakar, elektrodialisis (ion exchange
membrane) dan dengan metode penambangan garam dari batuan garam (rock salt).
. Konstruksi Tambak Garam
Ada dua macam konstruksi penggaraman yang dipakai di Indonesia:
n Konstruksi tangga (getrapte)
Yaitu konstruksi yang terancang khusus dan teratur dimana suatu
petak penggaraman merupakan suatu unit penggaraman yang
komplit, terdiri dari peminihan-peminihan dan meja-meja garam
13
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
TEKNOLOGI EVAPORASI DENGAN SINAR MATAHARI
Tradisional
Mekanisasi
Produk Ut ama : Garam
Produk Samping : Lar . Bit t e rn
Persyaratan Lokasi : Biaya Inve st asi : Mahal
Lahan yang luas Me mbut uhkan sarana & prasarana :
Angin ke ncang j alan, pe labuhan, list rik, dll
Tanah t idak porous Kapasit as be sar
Curah huj an re ndah Ope rat ing cost paling murah
Humidit y re ndah Kadar NaCl garam 94 - 99 %
Suhu t inggi
Gambar 11. Met ode Pembuat an Garam dengan T eknologi Penguapan/ Evaporasi (Amarullah dan Sriyant o, 2006)
14
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
adalah sebagai berikut:
1. Data iklim dan cuaca yang diperlukan yaitu :
fi Evaporasi / penguapan tinggi (rata-rata > 650 mm/tahun)
fi Kecepatan dan arah angin (>5 m/detik)
fi Suhu udara (>32C)
fi Penyinaran matahari (100%)
fi Kelembaban udara (<50% H)
fi Curah hujan (rendah yaitu antara 1000 -1300 mm/tahun atau
100 mm/bulan)
fi Musim kemarau panjang yang kering tanpa diselingi hari hujan,
untuk menghasilkan produksi garam yang normal, diperlukan
kemarau kering yang terus menerus atau jumlah hari tanpa
hujan minimal 140 hari (14 dekade)
2. Air laut sebagai air baku dalam pembuatan garam harus memenuhi
persyaratan :
fi Kadar garam tinggi dan tidak tercampur aliran air dari muara
sungai yang tawar
fi Jernih dan tidak tercampur dengan lumpur maupun sampah
fi Pada saat air laut pasang, mudah mengalir ke saluran dan petak
penampungan sehingga tidak sulit untuk dipompa ke areal
ladang garam
fi Kondisi pasang surut dan salinitas air laut. Diperlukan kondisi
dengan beda pasang maksimum dan surut minimum sekecil
mungkin dan salinitas air laut sebagai bahan baku garam antara
25 - 35 ppm.
3. Struktur dan morfologi tanah untuk ladang garam : tanah harus
kedap air, ketinggian maksimal 3 meter diatas permukaan rerata air
laut dan harus cukup luas, sebaiknya untuk luas ladang garam
perorangan antara 2 - 5 Ha, sedangkan perusahaan besar minimal
4000 Ha.
4. Topografi:
fi Dikehendaki tanah yang landai atau kemiringan kecil.
fi Untuk mengatur tata aliran air dan meminimilisasi biaya konstruksi
15
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Pasir : Permeabilitas tinggi
Tanah liat : Permeabilitas rendah
Retak pada kelembaban rendah
Untuk peminihan tanah liat untuk penekanan
resapan air (kebocoran)
Untuk meja garam campuran pasir dan tanah liat
guna kualitas dan kuantitas
hasil produksi
5. Saluran yang baik
Agar tanah pada kolam pengkristalan tetap keras dan tidak
lembek (karena kontak langsung dengan air garam), maka pada
kolam-kolam pengkristalan harus memiliki saluran-saluran
pengumpul/pembuang larutan garam sisa. Sehingga kristal-
kristal garam yang telah terbentuk pada kolam-kolam
pengkristalan tidak tercampur dengan air larutan garam sisa
yang juga akan melembekkan lapisan tanah serta membuat
permukaan kolam pengkristalan tidak rata.
6. Bebas dari gangguan kehidupan baik tanaman maupun hewan
Gambar 12. Pembersihan Mej a Garam Gambar 13. Pengerasan dan Perat aan Tanah
Gambar 12. Pembersihan Meja Garam Gambar 13. Pengerasan dan Perataan Tanah
. Tahapan Pembuatan Garam
Pada dasarnya pembuatan garam dari air laut terdiri dari langkah-langkah
proses pemekatan (dengan menguapkan airnya) dan pemisahan garamnya
(dengan kristalisasi).
Bila seluruh zat yang terkandung diendapkan/dikristalkan akan terdiri
dari campuran bermacam-macam zat yang terkandung, tidak hanya
Natrium Klorida yang terbentuk tetapi juga beberapa zat yang tidak
diinginkan ikut terbawa (impurities). Proses kristalisasi yang demikian
disebut “kristalisasi total”. Untuk llebih jelasnya dari tahapan pembuatan
dapat dilihat pada Gambar 14, 15 dan 16.
16
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Pompa
Salinit as 35/ oo at au 3–3, 5Be
Gambar 14. Bagan Proses Pembuat an Garam Evaporasi Kadar NaCl T inggi (Sumber PT Garam, 2000)
Gambar 15. Bagan proses pembuat an garam evaporasi (Sumber PT Garam, 2000)
17
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Angin
Air laut
Angin laut
tertinggi
3-3,5º BE
Bittern yang didapat bisa tidak dibuang tetapi dimanfaatkan dengan dijual
pada pengumpul yang kemudian dimanfaatkan sebagai larutan
obat/suplemen.
. Penampungan Air Laut
Setelah melakukan pembuatan konstruksi tambak dilakukan
pengeringan petak penampungan, peminihan serta meja
kristalisasi untuk mendapatkan garam yang berkualitas baik
terhindar dari tercampurnya lumpur di dasar kolam dengan air
tua bakal garam.
Tahapan pembuatan garam bermutu dimulai dengan
penampungan air laut dimana diharapkan air laut yang masuk
adalah air laut yang berkualitas bebas dari limbah dan jauh dari
muara sungai diharapkan jarak dengan laut kurang dari 10 km
untuk menghindari terjadinya pengkristalan air laut dari tepi
pantai ke lokasi pegaraman.
Pada bak penampungan diharapkan salinitas sudah lebih dari 35
ppt (3,5 °Be), di bak ini diharapkan terjadi pengendapan partikel
lumpur yang ada dalam air laut sekaligus terjadi evaporasi, sehingga
terjadi kenaikan salinitas berkisar antara 50 ppt (5 °Be) - 100 ppt
(10 °Be) yang kemudian dipindahkan ke kolam peminihan I.
Didalam bak penampungan ini pekerjaan Kesap Guluk (K/G)
pertama dilakukan setelah air meja mencapai salinitas 40 ppt
- 60 ppt (4 °Be - 6 °Be).
18
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
. Peminihan
Air laut yang keluar dari bak penampungan diharapkan bersalinitas
lebih dari 50 ppt (5 °Be) dimasukkan ke dalam peminihan I.
Dimana dalam bak ini diharapkan terjadi pengendapan partikel
lumpur kembali serta sebagian senyawa Magnesium, Kalsium
dan Sulfat mengendap pada tahapan ini.
Pada bak peminihan I mulai ditambahkan Oksalat atau Karbonat
untuk membentuk senyawa Magnesium Oksalat/Magnesium
Karbonat, Kalsium Oksalat/Kalsium Karbonat agar Magnesium
dan Kalsium mengendap. Selain dengan penambahan Oksalat
atau Karbonat dalam bak ini juga dapat ditebar (inokulasi) Artemia
yang dapat membantu mengurangi senyawa yang tidak diperlukan
dalam pegaraman.
Pada peminihan I ini diharapkan kenaikan salinitas mencapai
150 ppt (15 °Be). Kemudian air disalurkan pada bak peminihan
II, dalam peminihan II ini pengendapan juga terjadi sehingga air
laut (brine) yang akan masuk ke dalam kolam kristalisasi I sudah
tinggi dengan senyawa NaCl yang akan menjadi garam. Pada
kolam kristalisasi II dimana salinitas sudah mencapai > 150 ppt
(15 °Be) dilakukan pekerjaan Kesap Guluk II (K/G II) yang
dilakukan setelah air meja mencapai salinitas 180 ppt – 220 ppt
(18 °Be - 22 °Be) dan meja/kolam diatasnya dilakukan Kesap
Guluk II (K/G II) dengan perlakuan yang sama
. Kristalisasi
Air laut yang diasumsikan sudah mengandung NaCl pekat dari
bak peminihan II dengan salinitas mencapai 250 ppt (25 °Be)
masuk ke dalam kolam kristalisasi atau meja garam. Pada kolam
ini diharapkan NaCl yang terkandung dalam air laut sebesar >
98 %. Pada kolam kristalisasi atau meja garam I ini diharapkan
salinitas naik menjadi 280 ppt (28 ° Be), baru air dikirim masuk
ke meja kristal/garam II.
Kolam kristalisasi II atau meja garam II NaCl yang terendapkan
> 72% dan air yang masih ada dikenal sebagai air bittern dapat
dimanfaatkan untuk kesehatan. Air bittern banyak mengandung
senyawa Magnesium yang dapat dimanfaatkan sebagai suplemen
kesehatan, selama ini air bittern selalu dibuang para pegaram,
19
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
dengan dikenalnya bittern sebagai suplemen kesehatan/obat
dan adanya penampungan dalam pemasaran bittern diharapkan
dapat sebagai sumber pendapatan sampingan dari pegaram
selain garam.
Pada proses kristalisasi perlu diperhatikan pemeliharaan meja
garam dan dilakukan aflak (perataan permukaan dasar garam).
. Perawatan Dan Pemantauan
Selama proses pegaraman diharapkan selalu ada pemantauan
dan perawatan dari lokasi pegaraman baik pemantauan dari
masuknya debit air laut ke dalam kolam penampungan, kenaikan
salinitas pada tiap-tiap kolam pegaraman juga terhadap tanaman
serta hewan penganggu di areal tambak. Semua itu harus
dipantau setiap hari karena dapat mengganggu proses
pegaraman.
. Panen
Pemanenan dilakukan dengan cara pungutan garam, jika umur
kristal sudah 10 hari, dengan pengaisan garam dilakukan hati-
hati serta ketebalan air meja 3 – 5 cm. Cara ini meliputi jadwal
pungutan yang rutin , umur kristalisasi garam 10 hari dan jadwal
pengerjaan tanah meja (pengerasan dan pengeringan).
Demikian pula kemungkinan dibuatkan alas meja dari kristal
garam yang dikeraskan, makin keras alas meja makin baik.
Pengangkutan garam dari meja ketimbunan membentuk profil
20
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
(ditiriskan) kemudian diangkut ke gudang atau siap untuk proses
pencucian Gambar 19 dan 20.
Pungutan garam sendiri ada 2 sistem yaitu:
n Sistem Portugis
Pungutan garam di atas lantai garam, yang terbuat dari
kristal garam yang dibuat sebelumnya selama 30 hari,
berikut tiap 10 hari dipungut.
n Sistem Maduris
Pungutan garam yang dilakukan di atas lantai tanah, selama
antara 10–15 hari garam diambil di atas dasar tanah.
Proses pencucian dilakukan bertujuan untuk meningkatkan
kandungan NaCl dan mengurangi unsur Mg, Ca dan SO4
(Magnesium, Kalsium dan Sulfat) serta kotoran lainnya. Air
pencuci garam semakin bersih dari kotoran akan menghasilkan
garam cucian lebih baik atau bersih. Air pencuci juga memiliki
persyaratan yaitu 1) air garam (brine) dengan kepekatan 200
ppt -240 ppt (20 °Be-24 °Be) dan 2) kandungan Mg = 10 g/liter.
21
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
. Pengendapan Model Karbonat
Dengan memperhatikan kelarutan Kalsium dan Magnesium dalam bentuk
Karbonatnya (CaCO3 : 4,0 x 10-9, MgCO3 : 1,0x10-5), diharapkan
senyawa Kalsium dan Magnesium sudah terendapkan terlebih dahulu
pada kepekatan larutan garam sekitar 18 – 23 Be. Kalsium Sulfat
(kelarutan 1,2 x 10-6) juga sudah ikut terendapkan, sehingga pada proses
kristalisasi garam pada kepekatan di atas 25 Be, kandungan Kalsium
dan Magnesium dalam garam yang dihasilkan sudah menurun.
Pembentukan Kalsium Karbonat dan Magnesium Karbonat diharapkan
dari kandungan CO2 yang ada di air laut atau sengaja diperlakukan agar
kandungan CO2 di air laut yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan
garam meningkat. Sebagai sumber CO2 dapat digunakan Natrium
Karbonat (Na2CO3) atau Natrium Bikarbonat (NaHCO3) atau dengan
menggunakan sumber CO2 alami (dari ikan dan zooplankton atau
Artemia).
. Pengendapan Model Oksalat
Dengan memperhatikan kelarutan Kalsium dan Magnesium dalam bentuk
Oksalatnya (CaC2O4 : 4,8 x 10-9, MgC2O4 : 1,0 x 10-8), diharapkan
senyawa Kalsium dan Magnesium sudah terendapkan terlebih dahulu
pada kepekatan larutan garam sekitar 18 – 23 Be, Kalsium Sulfat
(kelarutan 1,2 x 10-6) juga sudah ikut terendapkan, sehingga pada proses
kristalisasi garam pada kepekatan di atas 25 Be, kandungan Kalsium
dan Magnesium dalam garam yang dihasilkan sudah menurun.
Kalsium Oksalat dan Magnesium Oksalat diendapkan dengan
menambahkan asam Oksalat ke dalam air baku pembuatan garam.
Berdasarkan kelarutannya, maka pada kepekatan larutan garam sekitar
20 Be, senyawa Kalsium dan Magnesium Oksalat sudah terendapkan.
Walaupun demikian model yang dianjurkan adalah menggunakan Natrium
Karbonat, karena bahannya mudah didapat dan harganya murah.
. Iodisasi
Iodisasi garam adalah memberikan atau menambahkan larutan Iodium kedalam garam
dengan perbandingan tertentu. Iodisasi dilakukan hendaknya setelah garam mengalami
proses pengeringan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kehilangan KIO3
dalam kondisi basah.
Ada 2 cara pemberian larutan KIO3 pada garam yaitu:
1. Drip feeding system
2. Spray mixing system
22
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
FORMULA
Unt uk mendapat kan garam beriodium dengan kualit as 40 sampai dengan 50
ppm di t ingkat produsen maka f ormulanya adalah sebagai berikut :
23
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
4. Peralatan Iodisasi yang Bisa Digunakan
a. Belt Conveyor
b. Screw Conveyor
c. Belt Conveyor dan Screw
d. Mesin dengan Piring berputar
e. Molen
GARAM
KONVEYOR SEKRUP
KE UNIT
PENGEMASAN
24
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
BAB 3
TEKNOLOGI TERPADU GARAM DAN ARTEMIA
. . Teknologi Budidaya Artemia Di Lahan Pegaraman
Teknologi budidaya Artemia di lahan pegaraman merupakan salah satu dari pemanfaatan
pemodelan garam bermutu dengan teknik biofiltrasi dari Artemia itu sendiri. Artemia
di inokulasi (menebar bibit Artemia hidup baik dalam stadia nauplii, Artemia muda
maupun dewasa kedalam media/tambak garam) dalam petak peminihan (petak evaporasi)
I dan diharapkan dipanen pada petak peminihan II, sehingga diharapkan air laut yang
masuk kedalam petak kristalisasi sudah bersih dari mineral Mg, Ca dan lumpur yang
dapat menghasilkan garam dengan kristal besar dan bersih. Untuk lebih jelasnya
tahapan teknologi budidaya Artemia di lahan pegaraman dapat dilihat pada Gambar
22.
TEKNIK BIOFILTRASI
Evaporasi optimal
Pe nge ndalian Kristal garam besar
Inokulasi Artemia Populasi algae dan bersih
Proses
Biofiltrasi
Gambar 22: Teknik Biof ilt rasi (Amarullah dan Sriyant o, 2006)
25
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
30 -40 cm, memiliki iklim seperti curah hujan rendah, suhu tinggi (sinar matahari),
kelembaban rendah, angin kencang dan terjaga dari hewan dan tanaman pengganggu.
. Sumber Artemia
Sumber Artemia didapat dari pembelian sista Artemia dalam kaleng yang kemudian
ditetaskan dalam wadah plastik sebagai bibit yang kemudian diinokulasi (ditebar) dalam
petak peminihan I (petak evaporasi I).
. Tahapan Budidaya
. Persiapan Tambak Garam Untuk Artemia
Kriteria Pemilihan Lokasi Tambak untuk Pemeliharaan Artemia
1. Tersedianya air laut dengan kadar salinitas yang tinggi. Diperlukan
sumber air dengan salinitas 70 ppt yang dapat diperoleh melalui
proses penguapan tambak garam (tetapi air buangan dari petak
kristalisasi tidak diperbolehkan untuk digunakan karena bersifat
toksik bagi Artemia).
2. Kedalaman air yang cukup yaitu sekurangnya 30-40 cm untuk
mencegah terjadinya peningkatan suhu air terlalu tinggi.
3. Memungkinkan penambahan air secara teratur sekali dalam seminggu
tanpa mengganggu pengoperasian proses produksi garam
4. Struktur tambak tidak poros agar mampu mempertahankan salinitas
dan kedalaman air
5. Air yang digunakan tidak berasal dari sumber yang terkontaminasi
atau tercemar termasuk diantaranya adalah pestisida pertanian
Penyiapan Tambak
1. Disain Tambak
n Tambak harus memiliki kedalaman 40 cm atau lebih. Jika tambak
yang ada dangkal maka harus digali untuk mendapatkan
kedalaman yang cukup.
26
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
n Memiliki struktur pemasukan air dapat berupa pintu air seperti
pada tambak ikan ataupun dapat berupa pipa yang dipasang di
pematang tambak. Apapun, air harus dapat dimasukkan ke
dalam tambak secara teratur.
n Struktur tanah tambak tidak poros tetapi liat dan bukan pasir
2. Pemasukan Air (Water Intake)
Inokulasi naupli Artemia hanya dilakukan ketika salinitas air mencapai
100-110 ppt. Sumber air dapat berasal dari penguapan air tambak
garam. Untuk menghemat salinitas awal sebaiknya tidak kurang
dari 70-80 ppt. Air masuk ke tambak Artemia harus disaring dengan
saringan dengan ukuran mesh tidak lebih besar dari 1 mm untuk
mencegah masuknya ikan predator atau larva ikan yang dapat
tumbuh besar di dalam tambak.
3. Pemupukan
Pada saat inokulasi, makanan untuk naupli Artemia sudah harus
tersedia agar kelangsungan hidup Artemia terjamin. Jika tingkat
kekeruhan air 40 cm atau lebih tinggi, tambak harus dipupuk agar
phytoplankton dapat tumbuh lebih baik.
Persiapan tambak garam-Artemia sama dengan persiapan pada lahan
tambak garam dimana pemanfaatan untuk budidaya Artemia
dipergunakan adalah petak evaporasi I dan II (petak peminihan I dan
II) sedangkan untuk kultur plankton dapat dilakukan pada waduk
(bozeem) yang digunakan sebagai pakan Artemia atau penambahan
bungkil kelapa atau dedak.
Persiapan / Perbaikan Tambak yang dapat dilakukan antara lain adalah:
n Pemadatan dan perbaikan pematang keliling dengan konstruksi
kemiringan pematang 30º, menghindari kebocoran dengan
membuat saluran irigasi
n Pengeringan dasar tanah (selama 1 – 3 minggu)
n Pengapuran (200 – 700 kg/Ha)
n Pemupukan: Pupuk kandang (300 – 1000 kg/Ha), Urea (100 –
500 kg/Ha) dan TSP (50 – 200 kg/Ha)
n Pembasmian hama (saponin/brestan 5 – 30 mg/L)
. Inokulasi Artemia
Sebelum inokulasi Artemia dilakukan di lahan garam, sista sebagai bibit harus
didekapsulisasi dan ditetaskan dalam wadah plastik (Gambar 23 dan 24).
27
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Dekapsulisasi merupakan suatu proses untuk menghilangkan lapisan terluar
dari sista Artemia yang "keras" (korion). Proses ini setidaknya akan
mempermudah "bayi" Artemia untuk keluar dari "sarang"nya. Disamping itu
proses ini juga sekaligus merupakan proses disinfeksi terhadap kontaminan
seperti bakteri, jamur.
Untuk ilustrasi cara melakukan dekapsulisasi sista Artemia sebanyak 5 gram
adalah: Rendam 5 g sista Artemia (kurang lebih 1.5 sendok teh) dalam 400
ml air tawar, beri aerasi, dan biarkan selama 1-2 jam, hingga sista tersebut
mengalami hidrasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan bentuk sista yang
sudah membentuk bulatan sempurna. Kemudian tambahkan larutan pemutih
sebanyak 27 ml. Penambahan pemutih akan menyebabkan sista berubah
warna menjadi coklat kemudian manjadi putih dalam waktu kurang lebih 2
menit. Selanjutnya dalam 5-7 menit sista akan berubah warna menjadi oranye.
Apabila 95% sista telah berwarna oranye hentikan reaksi; kemudian segera
cuci dengan air bersih sampai bau klorin hilang. Sista sekarang siap ditetaskan
atau bisa disimpan dalam kulkas untuk selama 1 minggu. Apabila akan
disimpan lebih lama, sista perlu didehidrasi kembali dengan menggunakan
larutan garam 30%. Setelah didehidrasi, sista dapat disimpan dalam kulkas
untuk selama 2-3 bulan.
Setelah didekapsulisasi sista Artemia siap ditetaskan. Sista Artemia dapat
ditetaskan secara optimal, apabila syarat-syarat yang diperlukannya dapat
dipenuhi. Beberapa syarat tersebut adalah:
n Salinitas antara 20-30 ppt (2-3 °Be) atau 1-2 sendok teh garam per
liter air tawar bisa ditambahkan Magnesium Sulfat (konsentrasi 20
%) atau 1/2 sendok teh per liter air.
28
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
n Suhu air 26 - 28 °C.
n Disarankan untuk memberikan sinar selama penetasan untuk
merangsang/mempercepat proses penetasan.
n Aerasi yang cukup, untuk menjaga oksigen terlarut sekitar 3 ppm
n pH 8.0 atau lebih, apabila pH drop dibawah 7.0 dapat ditambahkan
soda kue untuk menaikkan pH.
n Kepadatan sekitar 2 gram per liter.
n Sebelumnya dapat dilakukan proses dekapsulisasi untuk melunakan
cangkang.
Penetasan Sista
n Persiapan wadah penetasan yaitu bak plastik/fiber 50 – 300 L
n Aerasi menggunakan blower 25 -50 watt
n Media penetesan bersalinitas 26 – 30 ppt
n Suhu media 26 – 32 ºC
n Kepadatan penetasan sista antara 1500 – 2000 mg/L
n Periode penetasan antara 18 -24 jam
n Kepadatan penebaran antara 100 -300 nauplius/L
Setelah ditetaskan Artemia dapat diinokulasi dalam petak peminihan I (petak
evaporasi I) dan dipelihara dari gangguan hewan dan pemantauan dalam
salinitas baik untuk Artemia juga untuk garam sebagai hasil utama dari usaha
ini.
. Manajemen Budidaya dan Produksi Artemia
. Manajemen Budidaya Artemia
Dalam manajemen budidaya Artemia pada tambak garam tahapan yang
dilakukan dapat dilihat pada Gambar 25 dan Gambar 26
Manajemen tambak sangat menentukan dalam pemeliharaan Artemia.
Beberapa tahapan manajemen tambak dalam pemeliharaan Artemia
meliputi tahap persiapan, tahap pertumbuhan, tahap ovovivipar, tahap
peningkatan salinitas dan tahap ovipar.
n Tahap persiapan
fi Isi tambak dengan air laut dengan salinitas tinggi dan biarkan
mengalami penguapan
fi Tambak telah siap mencapai salinitas 100 – 110 ppt dengan
kedalaman air sekitar 30-40 cm dan tidak ada lagi predator
fi Jika makanan dalam air dirasa tidak cukup perlu dilakukan
pemupukan.
fi Laksanakan inokulasi naupli Artemia ke dalam tambak
29
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Persiapan/Perbaikan Tambak
Penetasan Kista
Pemeliharaan
Pemanenan
P
R
O
D
U
K
De hidrasi Pe mbe rsihan
A Pe nyimpanan Pe nge ringan
Sist a Pe ncucian
R
T
E
M
I
A
Gambar 26: Teknologi dan proses produksi Art emia (Amarullah dan Sriyant o, 2006)
30
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
n Tahap Pertumbuhan
Pertahankan salinitas pada kisaran salinitas 110-120 ppt melalui
pemasukan air baru sehingga memungkinkan naupli Artemia
yang diinokulasikan tumbuh menjadi dewasa
n Tahap Ovovivipar
Salinitas masih tetap dipertahankan 110 -120 ppt hingga populasi
Artemia dewasa bertambah melalui reproduksi ovovivipar. Agar
dapat mencapai kondisi optimal, densitas Artemia harus dapat
mencapai 40 individu atau lebih per liter.
n Tahap Peningkatan Salinitas
Salinitas air tambak ditingkatkan hingga mencapai 150 ppt
melalui penguapan, tetapi kedalaman air tetap dipertahankan.
n Tahap Ovipar
Pertahankan salinitas pada tingkat 150 ppt melalui penambahan
air secara teratur. Salinitas yang lebih tinggi akan merangsang
terjadinya reproduksi ovipar sehingga sebagian besar populasi
akan menghasilkan sista. Pertahankan pada kondisi ini
sepanjang cuaca memungkinkan, dan terus dilakukan
pemanenan sista
Beberapa catatan penting dalam manajemen tambak diantaranya adalah:
1) melakukan pemeriksaan secara teratur kedalaman air tambak dan
suhu air maksimum. Kedalaman air tidak boleh kurang dari 30 cm
dan suhu air harus lebih rendah dari 38°C;
2) jika air tambak kurang subur perlu dilakukan pemupukan
menggunakan pupuk anorganik ataupun pupuk organik.
Semua tahapan-tahapan yang dilakukan dalam skema Gambar 25 dan
26 harus dapat diatur dengan sebaiknya sehingga pemanenan yang
dihasilkan baik
. Produksi Dan Pemanenan Sista Artemia
Setelah diinokulasi dalam lahan garam pemeliharaan dilakukan dengan
pemberian makanan tambahan dapat berupa bungkil kedelai, dedak,
ampas tahu, bungkil kelapa, tepung terigu, tepung ikan, dll. Frekuensi
waktu pemberian pakan adalah 1 - 4 kali/hari dengan dosis pemberian
pakan adalah 1- 10 kg/Ha.
Artemia dalam waktu 3 – 4 minggu telah bertelur dimana tiap induk
31
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Artemia akan menghasilkan 30 – 70 buah sista/nauplius dengan siklus
reproduksi adalah antara 7 – 10 hari.
Sista yang telah keluar dari lapisan pembungkusnya (yolk suck) akan
mengapung di sudut tambak. Pemanenan dilakukan setiap hari yaitu
pada pagi dan sore hari. Pemanenan sista dilakukan dengan gayung
dan dimasukkan dalam saringan bertingkat (250µ m, 200 µ m, 150 µ m).
Penanganan paska panen untuk sista dicuci hingga bersih dengan air
bersalinitas antara 80 – 150 ppt. Sista bersih disimpan/direndam dalam
larutan garam bersalinitas 150 – 250 ppt dan kualitas sista dapat bertahan
dalam waktu 6 – 12 bulan disebut dengan nama penyimpanan basah.
Sedangkan penyimpanan kering adalah dengan cara sista direndam air
tawar selama 5 – 15 menit, cangkang yang mengapung dibersihkan,
kemudian dipindahkan ke larutan garam 150 -250 ppt dan dibersihkan
kembali sisa partikel-partikel kotoran lainnya yang tenggelam, dilakukan
3 kali pencucian ulang. Sista bersih siap dikeringkan dan dikemas vacuum,
penyimpanan dengan cara ini dapat tahan sampai 3 tahun.
Produksi sista diperkirakan untuk luas tambak 1 ha produksi sista setiap
siklusnya (7 – 10 hari) adalah 50 -125 kg dengan nilai dalam rupiah 20
juta sampai 50 juta (Amarullah dan Sriyanto, 2006).
Gambar 27: Panen sist a Art emia (Sumber Gambar 28: Hasil Panen Sist a Art emia (Sumber
PRPB, 2005) PRPB, 2005)
32
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
BAB 4
ANALISA USAHA DAN PEMASARAN
. Analisa Usaha Garam dan Artemia
Analisa ekonomi diatas terlihat bahwa tambak garam yang berintegrasi dengan Artemia
dapat menguntungkan petani garam dengan meningkatnya kualitas garam yang
Tabel 6 . Analisis usaha budidaya artemia
No. Uraian Kebutuhan Harga Satuan Jumlah
A. Biaya Tetap 9.849.000
- Mesin pompa honda *) 1 unit @ 4.200.000 840.000
- Aerator listrik 25 watt *) 1 unit @ 1.000.000 200.000
- Genset 500 watt *) 1 unit @ 2.500.000 500.000
- Alat panen *) 1 paket @ 1.000.000 200.000
- Pipa PVC *) 6 btg @ 150.000 30.000
- Sewa tambak 1 ha 6.000.000 6.000.000
- Bunga bank (interest) 14 %/thn 2.079.000
D Profit (C - (A + B) 63.311.000
34
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
dihasilkan sehingga dapat menaikan harga jual garam juga mengurangi import garam
dari luar negeri. Selain itu ada produk samping yang menguntungkan pula berupa
Artemia baik sista maupun biomass serta larutan bittern yang dapat dijual oleh petani
garam. Analisa usaha terpadu garam dan Artemia dapat dilihat pada Tabel 6.
Analisa potensi dari usaha tambak garam terintegrasi dengan budidaya Artemia di
setiap sentra garam dapat dilihat pada Tabel 7. Terlihat bahwa usaha ini memiliki potensi
yang menjanjikan dari nilai jual produk utama yaitu garam dan Artemia (sista dan
biomassa) maupun produk sampingannya (ikan bandeng).
Tabel 7. Analisa Total Potensi Nilai Produksi Tambak Garam Terintegrasi
JAWA BARAT 5, 000, 000 12, 666, 667 19, 000, 000 5, 320, 000 19, 000, 000 5, 320, 000 66, 306, 667
JAWA TENGAH 11, 000, 000 21, 333, 333 32, 000, 000 8, 960, 000 32, 000, 000 8, 960, 000 114, 253, 333
JAWA TIMUR 30, 500, 000 66, 666, 667 100, 000, 000 28, 000, 000 100, 000, 000 28, 000, 000 353, 166, 667
BALI 130, 000 340, 000 510, 000 142, 800 510, 000 142, 800 1, 775, 600
NTB 3, 050, 000 7, 000 10, 500 2, 940 10, 500 2, 940 3, 083, 880
NTT 15, 000, 000 4, 000, 000 6, 000, 000 1, 680, 000 6, 000, 000 1, 680, 000 34, 360, 000
SULSEL 3, 500, 000 8, 666, 667 13, 000, 000 3, 640, 000 13, 000, 000 3, 640, 000 45, 446, 667
SULTENG 900, 000 2, 000, 000 3, 000, 000 840, 000 3, 000, 000 840, 000 10, 580, 000
TOTAL 69, 480, 000 116, 727, 000 175, 090, 500 49, 025, 340 175, 090, 500 49, 025, 340 634, 438, 680
. Perdagangan Garam
Perdagangan garam di Indonesia sampai saat ini masih sebagian besar
impor dikarenakan produksi garam nasional tidak dapat memenuhi
kebutuhan garam nasional. Garam impor untuk memenuhi kebutuhan
industri sedangkan garam konsumsi dapat dipenuhi dari produksi garam
lokal bahkan ada kecenderungan over stock saat ini karena merembesnya
garam impor ke garam konsumsi sehingga mengganggu harga pasar
garam konsumsi (Sungkowo, 2006). Pusat sentra garam di Indonesia
adalah Jawa Timur dan Madura hal ini terlihat dalam Gambar 29 tentang
jalur distribusi garam di Indonesia.
35
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Garam = Rp 180 rb/ t on
Garam = Rp 550-600rb/ t on
Garam = Rp. 34 j t t on
Gambar 29. Jalur Dist ribusi Garam di Indonesia (Sumber: Dirj en Bina Pasar & Dist ribusi
Perdagangan Dalam Negeri, 2006)
Gambar 30: Jumlah Backyard Hat chery dan Produksi Benih Ikan
Laut di Indonesia (Sumber: Amarullah dan Sriyant o, 2006)
36
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
DAFTAR PUSTAKA
Abu dan kawan-kawan. 2002. Buku Panduan Pembuatan Garam Bermutu. Pusat
Rise t Wilayah Laut dan Sumbe rdaya Non Hayat i. BRKP. J akart a
Adisukre sno, A. 1983. Mengenal Artemia. Balai Budidaya Air Payau, Je para. 83 hlm.
Amarullah, Husni dan Sriyant o, B. 2006. Teknologi Garam-Artemia dan Produk
Terkait Lainnya. Badan pe ngkaj ian dan pe ne rapan Te knologi. Makalah Workshop
Masa De pan Indust ri Garam di Indone sia
Anonim. 1990. Basic Chemical Industries of Indonesia. The Fe de rat ion of Basic
Che mical Indust rie s of Indone sia. J akart a.
BBAP, 1996. Pe nge mbangan Usaha Produksi Kist a Art e mia Ole h Pe t ambak Garam Di
Madura. Balai Budidaya Air Payau, Dire kt orat J e ndral Pe rikanan, J e para.
Bossuyt , E. , and Sorge loos, P. 1980. Technological Aspects Of The Batch Culturing
Of Artemia in High Desities. The Brine Shirmp Art e mia Unive rsa Pre ss. Vol. 3.
Ecology, Aquacult ure . Use in Cult uring.
Brugge man, E. , Sorge loos, P. , and Vanhae cke , P. 1980. Improvments In The
Decapsulation Technique Of Artemia Cyst. The Brine Shirmp Art e mia : Unive rsa
37
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
Pre ss, We t t e re n, Be lgium. (3), pp. 262-268.
Cholik, F. , dan Daulay, T. 1985. Artemia Salina (Kegunaan, Biologi dan Kulturnya).
Indone sia Fishe rie s Informat ion Syst e m (12) : 26 hlm.
Dhont , J . , and Lave ns, P. 1986. Tank Production and Use Of ongrown Artemia.
Laborat ory of aquacult ure and Art e mia Re fe re nce Ce nt e r. Unive rsit y Of Ge nt ,
Be lgiumDire kt orat Bina Pasar Dalam Ne ge ri.
De pe rindag. 2000. Perdagangan Garam di Indonesia. De part e me n Ke laut an dan
Pe rikanan.
Dire kt orat Indust ri Kimia An Organik. De pe rindag. 2000. Pertumbuhan Permintaan
dan Penyediaan Garam serta Kebijaksanaan Penanganan Garam di Indonesia.
De part e me n Ke laut an dan Pe rikanan.
He rnant o, B. 2006. Standar Kualitas Garam dan Produk Turunannya. Dire kt orat
Indust ri Kimia An Organik. De part e me n Pe rindust rian. Makalah Workshop Masa De pan
Indust ri Garam di Indone sia
38
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia
RI. Makalah Workshop Masa De pan Indust ri Garam di Indone sia
Pe rsoone , G. and Sorge loos, P. 1980. General Aspects of ecology and biogeography
of artemia. The Brine Shirmp Art e mia : Unive rsa Pre ss, We t t e re n, Be lgium. (3),
pp. 3-21.
Sant os, C. , Sorge loos, P. , Lavina, E. , and Be rnardino, A. 1980. Succesfull Inoculation
of Artemia and Production Cyst in Philippines.. The Brine Shirmp Art e mia : Unive rsa
Pre ss, We t t e re n, Be lgium. (3), pp. 159-163.
Prihadi, dkk. 2005. Sistem Teknologi Budidaya Artemia di Tambak Garam di
Indonesia. Pre se nt asi
Proye k Pe ne lit ian Pe rt anian Me nunj ang Transmigrasi. 1980. Team of Reference.
Type A. Publikasi LP. Tanah. Bogor.
PT. Garam. 2000. Teknologi Pembuatan dan Kendala Produksi Garam di Indonesia.
De part e me n Ke laut an dan Pe rikanan.
PT. Indust ri Soda Indone sia. 2000. Garam Produksi. De part e me n Ke laut an dan
Pe rikanan.
Rile y and Che st e r. 1971. Introduction to Marine Chemistry. Acade mic Pre ss. London.
Rile y and Skirrow. 1975. Chemical Oceanograpy. Acade mic Pre ss. London.
Soil Surve y St aff. 1975. Soil Taxonomy. A Basic Syst e m of Soil Classificat ion for
Making and Int e rfre t ing Soil Surve ys USDA. Hand Book No. 436.
Sungkowo, WB. 2006. Garam. PT. Garam , Pe rse ro. Makalah Workshop Masa De pan
Indust ri Garam di Indone sia
Syahfiri dkk (Edit ors). 1990. Basic Chemical Industries of Indonesia. The Fe de rat ion
of Basic Che mical Indust rie s of Indone sia. J akart a.
Wahyuadi, IGK. 2005 . Manfaat, Distribusi dan Produksi Artemia Lokal. Dalam Te mu
Nasional Pe rbe nihan Pe rikanan, J e para 6-8 De se mbe r 2005. Dirj e n Pe rikanan
Budidaya. J awa Te ngah.
Wahyuadi, IGK dan Agung Sudaryono. 2005. Inovasi Budidaya Artemia. Pusat Rise t
Pe rikanan Budiodaya. BRKP.
We lch, P. S. 1952. Limnology. Se cond Edit ion. Ne w York. Toront o. London. McGraw-
Hill, Book Company, Inc.
39
Buku Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia