b. Latar Tempat
Pada naskah ini yang menjadi latar tempat adalah sebuah kamar dan statsiun
kereta. Statsiun kereta sendiri hanya sebagai flashback kejadian karena dalam
naskah ini latar statsiun hanya menjadi tempat pembunuhan yang menjadi latar
belakang permasalahan yang terjadi pada naskah ini. Ini bisa dilihat ketika Firdaus
berdiaalog dengan Eliza ataupun tokoh-tokoh lain yang menyinggung tentang
kejadian pada saat di statsiun.
Latar tempat lainnya adalah di sebuah kamar tepatnya kamar Eliza. Latar tempat
ini menjadi yang utama dalam naskah ini karena adegan pertama hingga adegan
terakhir ada di kamar Eliza ini.
c. Latar Sosial
Latar sosial dalam naskah ini begitu ditonjolkan pada kelompok sosial pekerja
seperti pelacur, gelandangan, anak pejabat, kolonel dan polisi.
Pelacur sendiri bisa kita lihat pada pekerjaan Eliza. Ini terdapat pada dialog
“Aku benci langganan-langganan yang seenaknya saja mampir. Cita-cita ku ialah
menjadikan diriku makhluk yang ideal bagi tiga atau empat orang denganumur
yang terbatas. Seorang pada hari selasa, seorang pada hari kamis, dan seoranglagi
untuk akhirpekan. Santai. Kubilang ini padamu, walau kau kelihatannya
masihingusan, tapi kaukelihatannya serius. Itupun kalau kau mau. Baik, baik, aku
takkan mengoceh lagi. Pikirkansaja. Begitu !Rupanyakau repot juga. Ciumlahaku !
Ciuman yang sangatberartibagiku.Taksudikahkaumenciumku ?”
Atau juga
“Kolonel !Kolonel !Akutidakmau !Sobekkertaspengakuanitu !
Bedebah !!
Sialan !!
Kolonel, akutaksudiuangmu !Akupelacur, kolonel !Akupelacur, kolonel !”
Gelandangan bisa kita lihat pada dialog
“Gelandangan yang mana ? Oh, anakbuahsayasedangmencarinya”
Anak pejabat bisa dilihat pada dialog
“Akuanakseorangpejabat !“
Kolonel bisa dilihat pada dialog
“Masuklah !Bagaimanakolonel ?”
Dan polisi bisa dilihat pada dialog
“Kami polisi ! Engkau Eliza Maryam ?”
B. Pendekatan Ekspresif
Naskah pelacur ini diciptakan oleh Jean Paul Sartre. Dialahir di Paris, Perancis, 21
Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun. Sartre merupakan
seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran
eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi
(L'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan
selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa
lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah
kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre).
Eksistensialisme sendiri adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia
individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara
mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Seorang eksistensialis sadar
bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Pada tahun 1936/1937 Sartre menerbitkan buku berjudul La Transcendence de
L’Ego (Transendensi Ego). Buku ini merupakan hasil studi filsafat fenomenologinya di
Berlin. Sartre menggunakan metode fenomenologi untuk meneliti kesadaran. Sejak
semula Sartre memang menafsirkan fenomenologi Husserl secara realistis.
Fenomenologi bagi Sartre merupakan filsafat untuk mengungkapkan realitas dan
pengalaman nyata sehari-hari. Obyek pertama yang dibedah Sartre dengan fenomenologi
adalah psikologi, khususnya masalah fantasi dan emosi. Sedangkan pada tahun 1938
Sartre menerbitkan karya sastra pertamanya sekaligus yang terpenting yaitu La Nausee
(Rasa Muak). Novel ini menjadi monumen yang menandai awal karier Sartre sebagai
seorang sastrawan. Di dalam novel La Nausee itu kita akan menemukan tema-tema yang
menjadi pokok pembicaraan filsafatnya.
Latar belakang pemikiran J.P Sartre diantaranya pengaruhfenomenologi Edmund
Huserl; yakni 1) pengaruhkesadaransebagaititiktolak, 2) pentingnyafilsafatuntuk
‘kembali kepada realitasnya sendiri’. Kesadaran selalu memiliki penopangnya yakni
‘ada’ dandihubungkandengandunia.
Tema-tema pemikiran Sartre :
Kebebasan dan ‘ada’
Keberadaan manusia dalam tiga (3) tingkat; 1) ada dalam dirinya being in itself,
2) ada untuk dirinya; being for itself; dan 3) ada untuk orang lain; being for others
Pengalaman tentang kebebasan adalah pengalaman tentang kesadaran sendiri.
Lalu apakah manusia yang memiliki kesadaran itu ?
Kebebasan manusia bersifat paradoks sekaligus menyesakkan; sebab kebebasan
seringkali ‘dibebankan’ kepada kita oleh situasi yang tidak kita pilih, tanpa alternatif
lain.
Siapakah yang mengancam kebebasan manusia?---Sartre---menyebut sebagai (rasa
pikat dan ketertarikan) Benda/materi
Pada prinsipnya; eksistensi manusia adalah sia-sia, absurd, penuh permusuhan dan
prasangka.Inilah yang oleh Heidegger (guru Sartre yang lain) disebut sebagai
‘keterlemparan’ eksistensi manusia dimana mansuia tidak mengetahui asal-asul dan
alasan keberadaan hidup kita sendiri.
Bagi Sartre, keberadaan manusia justru terletak dalam pilihan kebebasan dan
tanggungjawab.
Jika kita hubungkan naskah pelacur dengan pola-pola pemikran sartre maka
kebebasan dan tanggung jawab yang dominan dalam naskah ini. Ini bisa kita lihat ketika
seorang pelacur pun bebas untuk mengatakan sebuah kebenaran walaupun dia dari
seorang kasta yang rendah jika dilihat dari strata sosial.
Ataupun jika kita meliha tideologi yang diapakai yaitu eksistensialisme, kalau kita
hubungkan dengan konflik yang terjadi adalah ketika firdaus mengatakan bahwa Thomas
yang membunuh gelandagan itu tidak bersalah karena yang dibunuhnya hanya seorang
gelandangan penggangu yang pernah mencuri. Eksistensialisme sendiri mengatakan
bahwa kebenaran itu relative dan setiap individu bebas menentukan sesuatu yang
dianggapnya benar. Dan dari pengertian tersebut tokoh firdaus ini menentukan bahwa
yang dia bela tomas telah melakukan hal yang benar.
C. Pendekatan Pragmatik
Naskah drama pelacur jika ditinjau dari segi penddekatan pragmatik maka akan
memiliki citra yang berbeda-beda dari setiap pembaca.Hal ini disebabkan adanya
perbedaan pandangan antara pembaca satu dan pembacalain,Adakalanya pembaca
memandang dari sudut estetika. Para pembaca yang memandang naskah pelacur ini dari
sudut pandang estetika akan mengutarakan pendapatnya secara objektif dan mengacu
pada interpretasinya sendiri sehingga terkadang akan muncul pendapat bahwa cerpen ini
adalah suatu karya satra yang indah, diihat dari struktur penyampaian atau penulisannya.
Sedangkan jika dilihat dari segi pendidikan atau juga moral maka pembaca mungkin
akan berpikir bahwa naskah ini kurang baik karena adanya sebuah intrik untuk
menghasilkan sebuah kebohongan atau juga terdapat kegiatan seorang pelacur yang
sedang merayu pelanggannya. Misalnya ketika tokoh Firdaus dan polisi memaksa Eliza
(pelacur) untuk memberikan kesaksian palsu.
Membaca naskah pelacur ini menimbulkan sebuah keironian bahwa kekuasaan yang
seharusnya diaplikasikan dengan benar dalam naskah ini justru kekuasaan bisa memaksa
seseorang yang ingin mengatkan kejujuran dirubah untuk mengatakan sebuah
kebohongan. Dan juga membaca naskah ini membuka mata kita lebar-lebar bahwa
seorang pelacur pun masih punya hati nurani untuk mengatakan kebenaran atau
kejujuran walaupun sudah diiming-imingi dengan uang. Konflik yang berkembang dalam
naskah ini tak ubahnya sebuah maksud atau tujuan penulis kepada para pembaca bahwa
seorang pelacur pun masih bisa mngatakan kebenaran atau juga seorang pelacur memang
buruk tapi tak busuk seperti para penguasa yang menggunakan kekuasaannya untuk
melakukan hal-hal penyimpangan.
Sartre sebagai penulis sangat jeli dalam menyampaikan tujuan yang dia sampaikan
kepada pembaca tentang orang rendahan sekalipun masih lebih baik daripada seorang
penguasa yang mempunyai citra baik tapi dalamnya lebih busuk dari seorang pelacur.
Dalam naskah ini juga dijelaskan sikap teguh tokoh pelacur untuk mengatakan kebenaran
harus tertipu oleh kepintaran seorang kolonel dengan mendatangkan tokoh kakek untuk
membuat tokoh pelacur menjadi iba dan mau memberikan kesaksian palsu. Sehingga
pembaca dapat menarik kesimpulan pada naskah ini bahwa seorang pelacur juga manusia
biasa yang mempunyai rasa simpati terhadap sesamanya.
Melalui cerpen ini pula penulis ingin menyampaikan amanat jangan pernah menilai
seseorang dari pekerjaan atau strata sosialnya. Hal ini tampak pada dialog berikut
berikut.
Eliza :“Akuinginmengatakankebenaran !”
Firdaus :“Kebenaran ?! Lontesepuluhribuperakinginmengatakankebenaran ?!
Tidak ada kebenaran manis. Yang ada hanyalah antara orang terpelajar dan seorang
gelandangan, itu saja.”
Di sini tokoh pelacur memang benar-benar ingin mengatakan kebenaran walaupun sudah
dihina ataupun sudah ditawari uang sebelumnya. Keteguhan hatinya untuk mengatakan
kebenaran harus runtuh ketika seorang kakek datang dan menceritakan latar belakang
hidupnya. Ini bisa dilihat dari dialog berikut.
Eliza : “Initakadil !Mengapaibusebaikdiaharusmenanggungbeban yang seberatini ?
Akupunmelakukanpekerjaanini demi ibuku yang sakit-sakitan di
kampung……..hatikutakinginmembiarkaniniterjadi.”
Kolonel : “Lalusiapakah yang kaupilih ?Gelandangan yang
pernahdipenjarakarenamencuriitu, atauanakdariibu yang baikdanmalangitu ?
Inilahsurat yang haruskautandatangani.”
“Berikantanganmu”
“Mari.”
“Nantikitaakanberjumpalagi, masihada yang haruskitabicarakan.”
Selain itu Sartre ingin menunjukan bahwa setiap kebebasan manusia bersifat
paradoks sekaligus menyesakkan sebab kebebasan seringkali ‘dibebankan’
kepadakitaolehsituasi yang tidakkitapilih, tanpaalternatif lain. Ini diperlihatkan ketika
Eliza (Pelacur) disudutkan antara mengatakan kebenaran atau kesaksian palsu setelah
seorang kakek datang.
D. Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik merupakan pendekatan yang berupaya memahami hubungan
karya sastra dengan realitas/kenyataan. Jika kita beranjak dari pengertian tersebut maka
naskah drama ini sangat kental dengan realitas yang ada.
Jikakitamelihatdarisegikelompok social naskahinimenunjukansebuah strata
sosialbahwa orang rendahanharusselalumenuruti orang yang mempunyai pangkat.
Melihat permasalahan tersebut jika dihubungkan kedalam realita ssosial yang ada
memang benar. Ketika seorang rendahan seperti gelandangan atau pelacur sudah
layaknya seperti objek penderita, berbagai hinaan, cacian cibiran, atau juga makian selalu
menghinggapi mereka. Selalu ada pembatas antara kelas rendahan dengan kelas
penguasa.
Selanjutnya melihat konflik ketika sebuah keputusan menaj dibimbang akibat
muncul sesuatu yang dapa tmembuat hati berperang antara mengucapkanya atau tidak
memang selalu hadir dalam dunianyata juga. Sepertihalnya pemerintah yang tak
konsisten ketika akan menaikan bbm menjadi tidak, akibat semua rakyat berdemo
dimana-mana.
Seperti halnya permasalahan para penguasa yang melakukan penyelewengan
kekuasaan yang dilakukan oleh tokoh kolonel dalam naskah ini. Tak jauh beda dengan
pemerintahan sekarang. Mereka para penguasa melakukan penyelewengan seperti
bertindak korupsi. Dengan kekuasaannya para penguasa bisa melakukan apa saja
termasuk membeli suara rakyat.
ANALISIS KAJIAN NASKAH DRAMA PELACUR KARYA JEAN PAUL SARTRE
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kajian Drama
oleh :
Yadi Suryaman :102121170
Sindi Arifiani :10212171
Muhamad Sayidul Huda : 102121172
Ari Gustian Nurahman : 102121176
Galuh Linggar Brawijaya :102121196
Wahab Ansori : 102121201
Reni sri wulandari :1021212