Anda di halaman 1dari 5

Samuel Krisna Surya Hanggara (6122001036)

Eksegese: PL Taurat
Ujian Tengah Semester
Sexual Abuse: Penghancur Keluhuran Manusia
I. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk ciptaan yang paling luhur. Allah, Sang Pencipta, tidak membuat
manusia secara asal-asalan, melainkan seturut gambar-Nya dan sungguh amat baik. “Maka
Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Gambaran Allah tentu saja
penuh dengan kasih dan kebenaran karena Allah sendiri adalah Sumber Kasih dan Kebenaran
itu sendiri (bdk. Mzm 25:10). Allah tidak pernah sekalipun dengan sengaja menciptakan
manusia yang jahat karena hal tersebut akan mengingkari citra-Nya sendiri.
Namun sayang, manusia kerap kali terlena dengan keluhurannya ini. Keluhuran manusia
kerap kali luntur karena sikap dan tindakannya yang bertentangan dengan Sang Pencipta yang
merupakan Sumber Kasih dan Kebenaran. Kehendak bebas yang dimiliki oleh manusia kerap
kali mengarahkan manusia pada pilihan, keputusan, dan tindakan yang bertentangan dengan
gambaran dirinya yang seharusnya penuh kasih dan kebenaran. Inilah mengapa kejahatan
terus eksis di tengah dunia dengan berbagai macam bentuk yang semakin beragam, salah
satunya adalah kekerasan seksual.
Kekerasan seksual belakangan ini ramai dibicarakan di ranah publik. Korban-korban, yang
mayoritas perempuan, semakin berani bersuara sehingga permasalahan ini muncul ke
permukaan. Keberanian para korban ini yang akhirnya berhasil memperlihatkan kenyataan
bahwa keluhuran manusia menjadi semakin luntur atau bahkan menghilang. Ironisnya,
kekerasan seksual yang merupakan tanda kebobrokan manusia ini terjadi juga di lingkungan
Gereja yang notabene adalah tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan
seluruh umat manusia (Lumen Gentium Art. 1). Fenomena ini yang mengindikasikan bahwa
manusia melupakan kodrat Ilahinya yang merupakan anak Allah dan bahkan gambaran atau
citra Allah itu sendiri.
Tulisan ini berusaha membahas sejauh mana manusia menghargai keluhuran dirinya
dengan bersikap secara baik dan benar, bukan malah merusaknya dengan tindakan sexual
abuse. Pembahasan ini dianggap penting karena tindakan sexual abuse sudah terjadi di
Gereja yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi umat yang berhimpun di dalamnya.
Fenomena yang ada akan coba dikupas dengan menggunakan metode hermeneutika teks
Kitab Suci dengan menggunakan beberapa ayat-ayat yang ada di dalam Kitab Kejadian.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode studi Pustaka dengan menggunakan
dokumen-dokumen Gereja dan buku-buku yang mendukung. Tujuannya jelas, yakni
menyadarkan kembali setiap orang bahwa kodrat manusia itu luhur.
II. Isi
IIa. Sexual Abuse di Dalam Gereja
Masalah sexual abuse ini bukan menjadi sesuatu yang baru bagi masyarakat di Eropa sana.
Ada laporan pelecehan seksual di Keuskupan Munich bahwa telah terjadi kasus kekerasan
seksual dengan korban sebanyak 497 dalam kurun waktu 1945-2019 (74 tahun). 1 Ada juga
kasus di Gereja Prancis yang memakan korban 216.000 orang selama kurun waktu 1950-
2020 (70 tahun). Kasus-kasus ini amat sangat menyeramkan karena terjadi di lingkungan
Gereja dan dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi gembala yang baik bagi
1
https://www.vaticannews.va/en/church/news/2022-01/sex-abuse-report-munich-ratzinger-marx-holy-see-
statement.html, diakses pada 7 Juni 2022, pkl. 20.20 WIB.
para umatnya. Fakta yang semakin membuat sedih dan miris adalah orang-orang yang
menjadi korban adalah anak-anak dan dewasa rentan yang belum dapat membela dirinya.
Paus Fransiskus tentu saja sedih menyadari kenyataan semacam ini. Ia merasakan
kesedihan luar biasa atas kasus pelecehan seksual yang terjadi di Prancis dan berterima kasih
karena para korban telah berani untuk menyuarakan perbuatan keji yang dialami mereka ini.
Paus juga tidak lupa mendoakan para korban agar Dia memberikan para korban penghiburan,
keadilan, dan keajaiban.2
Sikap Paus Fransiskus tentu saja bukan hanya bersedih. Ia juga berusaha untuk mengatasi
kasus demi kasus yang terus menerus terungkap. Jauh sebelum dua kasus tersebut terungkap,
Paus Fransiskus telah lebih dulu menghapus rahasia Kepausan dalam kasus pelecehan seksual
dengan menerbitkan Rescriptum pada tanggal 17 Desember 2019. 3 Hal ini Paus Fransiskus
lakukan guna meningkatkan transparansi dari pihak Gereja terhadap pihak-pihak yang
mengurus kasus kekerasan seksual tersebut.
Kasus kekerasan seksual ini ternyata tidak hanya terjadi di dataran Eropa saja. Di dalam
Gereja Indonesia, kasus kekerasan seksual ini lambat laun mulai terungkap pula. Dalam
artikel berjudul “Bungkamnya Korban Kekerasan Seksual demi Nama Baik Gereja Katolik”
yang diterbitkan oleh tirto.id pada tanggal 28 Juli 2020, terungkap bahwa terjadi pelecehan
seksual di Gereja Maria Bunda Karmel, Tomang dan juga Gereja St. Aloysius Gonzaga,
Cijantung oleh Romo yang bertugas di sana. Ada juga kasus kekerasan seksual terhadap 23
anak yang terjadi di Gereja St. Herkulanus, Depok oleh seorang pembimbing Putra Altar
Gereja.4
IIb. Lunturnya Keluhuran Manusia
Kekerasan seksual ini menunjukkan bahwa terjadi degradasi kemanusiaan di tengah dunia
saat ini, bahkan di dalam Gereja juga. Manusia yang seharusnya saling menghargai dan
mengasihi justru malah berusaha mendominasi satu sama lain. Usaha untuk mendominasi ini
menjadi sangat penting karena keinginan untuk mendominasi adalah akar dari munculnya
kekerasan seksual. Keinginan untuk mendominasi ini termanifestasi dalam perbuatan
merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait
dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara
paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan
seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena
ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat
berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian
secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. 5 Melalui pengertian tersebut terlihat dengan
sangat jelas bahwa gambaran Allah sebagai Sumber Kasih dan Kebenaran tidak tampak
dalam diri para pelaku.

2
https://www.vaticannews.va/fr/pape/news/2021-10/pape-francois-reaction-rapport-ciase-abus-eglise-
france.html, diakses pada 7 Juni 2022, pkl. 20.33 WIB.
3
https://press.vatican.va/content/salastampa/en/bollettino/pubblico/2019/12/17/191217b.html, diakses pada 7
Juni 2022, pkl. 20.29 WIB.
4
https://www.voaindonesia.com/a/korban-kekerasan-seksual-di-gereja-10-tahun-berjuang-sendiri/
5491690.html, diakses pada 7 Juni 2022, pkl. 20.35 WIB.
5
Sonza Rahmanirwana Fushshilat, Nurliana Cipta Apsari, SISTEM SOSIAL PATRIARKI SEBAGAI AKAR DARI
KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN (Universitas Padjajaran: Prosiding Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat, 2020).
Padahal, Allah telah berusaha sungguh untuk membantu manusia dengan menciptakan
banyak penolong bagi dirinya. Allah sadar bahwa manusia memerlukan penolong untuk
mengungkapkan atau memunculkan kesempurnaannya itu.6 Oleh karena itu, Allah
menciptakan segala binatang di hutan dan burung di udara agar manusia dapat mencapai
kesempurnaanNya, “Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan
segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat,
bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap
makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu” (Kej 2:19). Bahkan, Allah sendiri
menciptakan mitra atau penolong yang sepadan dengan diri manusia dan berasal dari diri
manusia itu sendiri. Mitra atau penolong itu di dalam Kitab Suci diberi nama perempuan.
(bdk. Kej 2:21-22). Allah melakukan semuanya ini, sekali lagi, untuk membuat manusia,
makhluk ciptaan-Nya, menjadi luhur dan secitra dengan diri-Nya.
Tindakan atau sikap mendominasi yang terjadi di dalam kekerasan seksual tidak sejalan
dengan tujuan awal Allah menciptakan manusia beserta dengan mitra-mitra lainnya. Allah
menciptakan manusia lain, dalam Kitab Suci perempuan, sebagai mitra atau penolong bagi
setiap manusia. Allah tidak menciptakan manusia lain sebagai objek yang dapat seenaknya
didominasi karena dorongan hasrat serta nafsu sesaat.
Fenomena kekerasan seksual yang terjadi di dalam Gereja lebih mengerikan dan
memalukan. Gereja adalah persekutuan orang beriman terhadap Kristus yang dibentuk
dengan karunia Roh Kudus-Nya (bdk. Gaudium et Spes Art. 32). Ajaran Kristus adalah
ajaran cinta kasih terhadap Tuhan, sesama, dan diri sendiri (bdk. Mat 22:37-39). Cinta kasih
ini yang sebenarnya mendesak para murid Kristus untuk menyiarkan kebenaran yang
membawa keselamatan kepada semua orang (bdk. Gaudium et Spes, Art. 28). Kekerasan
seksual bukanlah tindakan yang mencerminkan ajaran Kristus terkait cinta kasih. Sebab,
kekerasan seksual adalah tindakan yang merugikan orang lain di dalam berbagai unsur
kehidupan dan juga mendatangkan trauma tidak berkesudahan.
III. Penutup
Manusia sebagai Mitra Bagi Manusia Lain
Narasi penciptaan yang terdapat di dalam Kitab Kejadian memperlihatkan bahwa Allah
menciptakan hewan dan juga manusia lain sebagai mitra bagi sesama manusia. Kenyataan
tersebut mengungkapkan gagasan bahwa kenyataan dasariah atau hakiki manusia adalah
seorang makhluk yang dapat, bahkan harus berbagi hidup dengan sesamanya. 7 Sikap
menghargai, melindungi, menghormati sesama manusia adalah kewajiban yang tidak dapat
diganggugugat. Bahkan, seharusnya sikap tersebut seharusnya otomatis ada di dalam diri
manusia.
Mitra dalam Bahasa Indonesia memiliki dua arti. Arti pertama adalah teman; sahabat dan
arti kedua adalah kawan kerja; pasangan kerja; rekan. 8 Mitra dengan begitu dapat diartikan
sebagai sosok yang saling membantu, mendukung, menemani satu sama lain. Dengan begitu,
mitra memiliki makna yang berkonotasi positif. Makna ini seharusnya sudah selalu ada di
dalam diri manusia karena semenjak manusia diciptakan Allah telah menciptakan berbagai
macam hal yang bertujuan sebagai mitra manusia di dunia ini guna melaksanakan tujuan

6
R.F. Bhanu Viktorahadi, Buku Ajar Eksegese: Perjanjian Lama Taurat, (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati,
2022), hlm 109.
7
Ibid. hlm. 111.
8
mitra. 2022. Pada KBBI Daring. Diambil 9 Juni 2022, dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/mitra.
manusia diciptakan, yakni memuji, menghormati serta mengabdi Allah Tuhan kita, dan
dengan itu menyelamatkan jiwanya.9
Pola pikir semacam ini mendesak untuk dilaksanakan oleh setiap manusia. Dengan pola
pikir ini, manusia akan menjadi lebih sadar bahwa kehadiran manusia lain adalah mitra yang
menjadi sarana bantu manusia mencapai tujuannya diciptakan. Keinginan untuk mendominasi
orang lain pasti akan langsung dimentahkan ketika seseorang memiliki pola pikir tersebut.
Selanjutnya, model relasi akan menjadi lebih baik dan sehat ketika seseorang memandang
sesamanya sebagai mitra. Relasi yang tercipta tidak lagi atas-bawah, melainkan teman dan
sahabat yang berjalan bersama meraih satu tujuan yang sama. Model relasi mitra ini juga
perlu untuk dihidupi oleh para kaum rohaniwan yang kerap kali menjadi pelaku sexual abuse
di lingkungan Gereja. Para kaum rohaniwan, secara khusus para Imam perlu menyadari
bahwa mereka menunaikan tugas Kristus sebagai Kepala dan Gembala, mereka atas nama
Uskup menghimpun keluarga Allah sebagai rukun persaudaraan yang sehati sejiwa, dan
melalui Kristus mengantarnya dalam Roh menghadap Allah Bapa (Presbyterorum Ordinis
Art. 6). Para Imam harus terus menerus menyadari panggilannya sebagai Kepala dan
Gembala. Ia harus mampu menempatkan diri sebagai mitra yang baik bagi para umatnya
melalui sikap dan tindakan yang luhur dan terpuji.
Kesadaran bahwa sesama adalah mitra dan model relasi mitra rasa-rasanya dapat menjadi
salah satu jalan keluar untuk mengatasi dan mencegah permasalahan sexual abuse yang
terjadi di tengah masyarakat dan juga Gereja. Setiap orang, sekali lagi, perlu mengingat
bahwa dirinya merupakan gambaran dan citra Allah yang diciptakan secara amat baik, “Maka
Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kejadian 1:31). Makhluk
ciptaan lain bukanlah objek pembantu atau pendukung, melainkan mitra bagi sesama manusia
lainnya. Kesadaran inilah yang menjadi jalan pertama dan terutama untuk mengembalikan
manusia pada kodratnya sebagai makhluk luhur yang secitra dengan Allah.

9
St. Ignatius Loyola, Latihan Rohani, Terj. J. Darminta, SJ (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm 9.
RUJUKAN
Buku
Fushshilat, S. and Apsari, N., 2020. SISTEM SOSIAL PATRIARKI SEBAGAI AKAR
DARI KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN. Prosiding Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Padjajaran, 7(1).
Loyola, S., 1993. Latihan Rohani. Penerj. J. Darminta, SJ. Yogyakarta: Kanisius.
Viktorahadi, R., 2022. Buku Ajar Eksegese: Perjanjian Lama Taurat. Bandung: UIN Sunan
Gunung Djati.
Dokumen Gereja
Dokumen Konsili Vatikan II. Gaudium Et Spes. Penerj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta:
Dokpen KWI, 2021.
Dokumen Konsili Vatikan II. Lumen Gentium. Penerj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Dokpen
KWI, 1990.
Dokumen Konsili Vatikan II. Presbyterorum Ordinis. Penerj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta:
Dokpen KWI, 2022
Website
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/mitra
https://press.vatican.va/content/salastampa/en/bollettino/pubblico/2019/12/17/191217b.html,
diakses pada 7 Juni 2022, pkl. 20.29 WIB
https://www.vaticannews.va/en/church/news/2022-01/sex-abuse-report-munich-ratzinger-
marx-holy-see-statement.html, diakses pada 7 Juni 2022, pkl. 20.20 WIB
https://www.vaticannews.va/fr/pape/news/2021-10/pape-francois-reaction-rapport-ciase-
abus-eglise-france.html, diakses pada 7 Juni 2022, pkl. 20.33 WIB
https://www.voaindonesia.com/a/korban-kekerasan-seksual-di-gereja-10-tahun-berjuang-
sendiri/5491690.html, diakses pada 7 Juni 2022, pkl. 20.35 WIB

Anda mungkin juga menyukai