Anda di halaman 1dari 14

Sekolah Tinggi Teologi SAAT

(Seminari Alkitab Asia Tenggara)

TINJAUAN TERHADAP TUDUHAN GENOSIDA ATAS ALLAH PERJANJIAN

LAMA DARI PERSPEKTIF DOKTRIN KEADILAN ALLAH

Tugas Ini Diserahkan kepada

Daniel Lucas Lukito, Th. D.

Sebagai Salah Satu Syarat Mengikuti Kuliah

Teologi Sistematika II

oleh

Yohanes Marella

20181041526

Malang, Jawa Timur

Oktober 2019

Maintain control of all your content


More
PENDAHULUAN

Kejahatan genosida masih menjadi masalah di beberapa bagian dunia abad ke-21 ini.1

Terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan perkembangan peradaban

manusia di bidang lainnya, kejahatan terhadap kemanusiaan seperti genosida belum

sepenuhnya teratasi.

“Masalahmu sudah menemukan solusinya. Anda harus mati.” Salah satu rekan
Samuel, Manase Bimenyimana, mengingat tanggapan Ntakirutimana sedikit berbeda.
Dia mengatakan kepada saya bahwa kata-kata pendeta adalah “Anda harus
dihilangkan. Tuhan tidak lagi menginginkanmu.”

Ada banyak penyerang, kenang Samuel, dan mereka datang dari semua sisi— “dari
gereja, dari belakang, dari utara dan selatan. Kami mendengar tembakan dan tangisan
dan mereka meneriakkan slogan, ‘Lenyapkan Tutsi.’”2

Genosida dapat dipahami sebagai sebuah kejahatan dan tindakan amoral yang paling

berat dan serius terhadap kemanusiaan.3 Selain Rwanda, terdapat juga beberapa tragedi

genosida lain, seperti yang terjadi di Bosnia, Kosovo, dan Darfur.4 Fakta ini mendorong

beberapa sarjana untuk membahas isu-isu seputar genosida.

1
Genosida di abad ke-21 tidak dapat dipisahkan dari sejarah pasca Perang Dunia II. Sebagai reaksi
terhadap Perang Dunia II yang merendahkan kemanusiaan, dimunculkan sebuah konsensus bahwa setiap orang,
tidak peduli derajat, kebangsaan, agama, atau ras, adalah bernilai sama. Setiap orang harus diperlakukan dengan
adil. Praktik genosida merupakan tindakan amoral dan melanggar keadilan terhadap sesama manusia. Bertolak
dari pemahaman ini, usaha penegakan hak asasi manusia dilakukan hingga terbentuk Konvensi tentang
Penghindaran dan Hukuman Kejahatan Genosida pada tahun 1948 dan diberlakukan sejak 1951.
Konvensi ini mendefinisikan genosida sebagai “usaha-usaha yang dilakukan dengan intensi
membinasakan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama, dengan cara
seperti: (a) membunuh anggota dari suatu kelompok; (b) menyebabkan kerusakan fisik maupun mental yang
serius kepada anggota kelompok; (c) sengaja merencanakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan
kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; (d) melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam
kelompok; atau (e) memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.”
2
Kisah ini penulis kutip dan terjemahkan dari Philip Gourevitch, We Wish to Inform You that
Tomorrow We Will Be Killed with Our Families (New York: Picador, 1998), bab 2, mobi. Dalam buku tersebut,
Gourevitch menuliskan kesaksian-kesaksian para korban selamat dari tragedi genosida Rwanda tahun 1994.
3
Robert Gellately dan Ben Kiernan, The Specter of Genocide: Mass Murder in Historical Perspective
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 14.
4
Dale C. Tatum, Genocide at the dawn of the twenty-first century: Rwanda, Bosnia, Kosovo, and
Darfur, ed. ke-1 (New York: Palgrave Macmillan, 2010), x. Buku ini meninjau dan mengkritisi sikap pasif
Amerika Serikat di dalam menanggapi kasus-kasus genosida di abad ke-21.
1
Dalam beberapa argumen untuk tidak percaya kepada Allah, tokoh-tokoh ateis abad

ke-21 menuduh bahwa Allah di Perjanjian Lama (PL) telah melakukan genosida, khususnya

kepada penduduk Kanaan. Salah satu tuduhan tersebut berasal dari Raymond Bradley5.

Menurut tuduhannya, Yosua 6-12 adalah bukti bahwa Allah telah melakukan praktik

genosida terhadap Bangsa Kanaan. 6 Mengutip perkataan Eric A. Seibert, “Jika teks ini

menunjukkan apa yang benar-benar terjadi, seperti yang dipercaya oleh banyak orang

Kristen, apa yang teks ini nyatakan mengenai karakter Allah? Allah macam apa yang

memerintahkan genosida?”7 Jika tuduhan Bradley di atas dianggap benar, maka keadilan

Allah dalam Perjanjian Lama dapat dipertanyakan.

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis8 melihat bahwa tuduhan genosida atas

Allah Perjanjian Lama yang diajukan oleh tokoh-tokoh ateis abad ke-21 bertentangan dengan

doktrin keadilan Allah. Penulis memandang bahwa pembacaan terhadap teks-teks yang

dianggap genosidal perlu mempertimbangkan doktrin keadilan Allah. Dalam makalah ini,

penulis memulai dengan menyajikan tuduhan-tuduhan yang diajukan oleh beberapa tokoh

ateis abad ke-21 atas teks terhadap moralitas Allah di dalam Perjanjian Lama. Kemudian,

penulis memberikan tanggapan Alkitabiah terhadap tuduhan-tuduhan yang telah diajukan

berdasarkan teks Alkitab yang dituduhkan dan menunjukkan sisi keadilan Allah di dalamnya.

5
Raymond Bradley adalah seorang ahli klimatologi dan profesor terhormat Universitas di Departemen
Geosains di University of Massachusetts Amherst, Amerika Serikat. Introduksi ini diambil dari Glenn Andrew,
“Debate Review: Flannagan vs Bradley,” Right Reason, 02 Agustus 2010, diakses 18 Oktober 2019,
http://www.rightreason.org/2010/debate-review-flannagan-v-bradley.
6
Tuduhan ini didasarkan pada asumsi prinsip moral krusial (Crucial Moral Principle) yang mengatakan
bahwa adalah sebuah kesalahan secara moral untuk dengan sengaja dan tanpa ampun membunuh pria, wanita,
dan anak-anak yang tidak melakukan kesalahan serius apapun. Seperti dikutip dari Paul Copan and Matthew
Flannagan, Did God Really Command Genocide?: Coming to Terms with the Justice of God. (Grand Rapids:
Baker, 2015), bab 1, ePub. Diterjemahkan oleh penulis.
7
Eric A. Seibert, Disturbing Divine Behavior: Troubling Old Testament Images of God (Minneapolis:
Fortress, 2009), 25.
8
Dalam konteks ini, Yohanes Marella sebagai penulis makalah.
2
Dalam bagian penutup, penulis menyimpulkan tanggapan terhadap tuduhan yang diajukan

oleh para tokoh ateis tersebut dari perspektif keadilan Allah.

ISI MAKALAH

Tuduhan-Tuduhan yang Diajukan Kalangan Ateis

Bradley mengajukan tuduhan bahwa Allah telah melakukan genosida terhadap bangsa

Kanaan,

Pikirkan kasus yang di dalamnya Allah memerintahkan Yosua untuk membinasakan


hampir semua penduduk tanah Kanaan. Cerita ini bermula dari pasal ke-6 Kitab
Yosua, mengisahkan bagaimana sang pahlawan dan tentara pasukannya menaklukan
kota Yerikho kuno di mana mereka “benar-benar menghancurkan segala sesuatu yang
ada di dalam kota, baik pria maupun wanita, baik yang muda maupun yang tua.”
Kemudian, pasal ke-7 hingga pasal ke-12 mencatat nasib mengerikan dari tiga puluh
satu kerajaan yang ditaklukan, dan semua kota di dalamnya, yang menjadi korban
kebijakan Yosua dan kebijakan genosida milik Tuhan. Berkali-kali muncul frasa “dia
benar-benar menghancurkan setiap orang yang ada di dalamnya,” “Dia tidak
meninggalkan satu orang pun yang selamat,” dan “tidak ada yang tersisa di antara
yang bernafas.”9

Argumen yang demikian memengaruhi pemahaman mereka tentang Allah; Allah yang

melakukan genosida tidak mungkin dapat dipahami sebagai Allah yang adil.10 Pandangan ini

didukung oleh Richard Dawkins11 yang mengungkapkan, “Allah Perjanjian Lama adalah

karakter yang paling menjijikkan dalam semua fiksi: pencemburu, tidak adil, pembersih etnis

yang haus darah, pelaku genosida, pembunuh bayi dan anak-anak.”12 “Yang membuat saya

terkejut adalah bahwa orang saat ini harus mendasarkan hidup mereka pada peran

9
Seperti dikutip dari Copan dan Flannagan, Did God Really Command Genocide, bab 1, ePub.
Terjemahan dan penekanan oleh penulis.
10
Mengenai hal ini, penulis berhutang kepada penjelasan C. S. Cowles, “The Case for Radical
Discontinuity,” dalam Show Them no Mercy: Four Views on God and Canaanites Genocide (Grand Rapids:
Zondervan, 2003), 18. Cowles mengungkapkan bahwa “untuk menghubungkan genosida dengan Allah
mencemarkan semua atribut lain dalam diri Allah.” Terjemahan oleh penulis.
11
Richard Dawkins adalah seorang tokoh ateis baru (new atheists) yang cukup terkenal dengan
argumentasinya yang menyerang moralitas Allah, khususnya dalam Perjanjian Lama. Untuk informasi singkat
mengenai kelompok ateis baru, penulis menyarankan untuk membaca Paul Copan, “Is Yahweh a Moral
Monster? The New Atheists and Old Testament Ethics,” Philosophia Christi 10, no. 1 (2008): 7-9.
12
Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam, 2006), 31.
3
mengerikan yang diteladankan oleh Yahweh, dan berusaha memaksakan monster jahat yang

sama (entah fakta ataupun fiksi) untuk kita terima.”13

Senada dengan Dawkins, Christopher Hitchens mempertanyakan moralitas Allah

yang dinyatakan dalam Perjanjian Lama.14 Tokoh ateis lainnya, Madalyn Murray O’Hair,

dengan terang-terangan mengatakan, “Allah orang Yahudi adalah monster paling tidak

berbelas kasihan dan sadis yang pernah diciptakan.”15 Dawkins juga memperkuat

argumennya dengan menuduh bahwa keterlibatan bangsa Israel dalam penghapusan etnis

kepada bangsa Kanaan sebagai kekerasan yang haus darah dan berkaitan dengan rangsangan

xenophobic16.17 Hal ini memperkeruh tuduhan genosida atas Allah Perjanjian Lama.

Tanggapan Alkitabiah terhadap Tuduhan Genosida atas Allah Perjanjian Lama

Penulis melihat bahwa tuduhan yang diajukan oleh Bradley dan tokoh-tokoh ateis

abad ke-21 lainnya didasari oleh pembacaan mereka yang keliru pada teks-teks laporan18,

khususnya pada Yosua 6-12, seperti yang disinggung oleh Bradley.

13
Ibid., 248.
14
Christopher Hitchens, God Is Not Great: How Religion Poisons Everything, 1st ed. (New York:
Twelve, 2007), 100.
15
Seperti dikutip dari Seibert, Disturbing Divine Behavior, 48.
16
Xenophobic adalah kebencian berlebihan kepada sebuah etnis tertentu. Istilah ini dipakai juga oleh
Copan dalam Paul Copan, Is God a Moral Monster? Memahami Allah Perjanjian Lama, terj. Timotius Fu
(Malang: Literatur SAAT, 2012), 247.
17
Ibid.
18
Laporan adalah sebuah “narasi yang singkat, berdiri sendiri, sering kali dalam gaya bahasa orang
ketiga, tentang suatu peristiwa atau situasi tunggal yang terjadi di masa lampau.” Ia menceritakan fakta-fakta
dari peristiwa yang telah terjadi dengan menggunakan gaya langsung tanpa ditambahkan embel-embel
kesusastraan. Salah satu jenis teks laporan adalah teks laporan peperangan, seperti Yosua 6-12. Lebih lanjut
mengenai genre-genre teks Perjanjian Lama dapat dibaca dalam William W. Klein, Craig L. Blomberg, dan
Robert L. Hubbard, Introduction to Biblical Interpretation 2, terj. Timotius Lo, cet. ke-2 (Malang: Literatur
SAAT, 2017), 197–330.
4
Memahami Yosua 6-12

Dalam panduannya mengenai penafsiran Alkitab, William W. Klein menaruh konteks

kesusastraan sebagai bagian yang penting. Ia menekankan, “Kesalahpahaman dapat muncul

ketika orang-orang hanya mendengarkan sebagian dari apa yang telah dikatakan dan

membangun pemahaman mereka sendiri atasnya.”19 Hal ini pun berlaku ketika memahami

teks laporan peperangan dalam Yosua 6-1220. Konsep teologi yang mendasari teks ini

berkaitan erat dengan Ulangan 7:2 (ITB), “...maka haruslah kamu menumpas mereka sama

sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau

mengasihani mereka,” dan Ulangan 20:16-17 (ITB), “Tetapi dari kota-kota bangsa-bangsa itu

yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu, janganlah kaubiarkan

hidup apapun yang bernafas, melainkan kautumpas sama sekali, yakni orang Het, orang

Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang Hewi, dan orang Yebus, seperti yang diperintahkan

kepadamu oleh TUHAN, Allahmu.”

Peperangan Ilahi, Larangan, dan Keadilan Allah

Seorang ateis bernama Gerd Lüdemann menulis bahwa “perintah pembasmian

[Kanaan] adalah sangat jahat secara ekstrim”—jauh dari gambaran Allah yang penuh rahmat

yang sering didengungkan Alkitab.21 Di pihak lain, Andrew E. Hill dan John H. Walton

menunjukkan adanya tema pejuang ilahi dan larangan22 Pendapat ini disokong oleh Richard

19
Ibid., 6.
20
Pandangan teks Yosua sebagai laporan militer mengenai penaklukan Kanaan juga diungkapkan dalam
Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, terj. Triyogo Setyatmoko (Malang: Gandum Mas,
2013), 228.
21
Seperti dikutip dari Copan, Is God a Moral Monster, 269.
22
Istilah “larangan” merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari kata “ban,” atau “herem” yang berarti
didedikasikan kepada Allah. Hill dan Walton mendefinisikannya sebagai, “khususkan sesuatu atau seseorang
sebagai suatu persembahan yang tetap dan pasti untuk persembahan; dalam perang, khususkan kota-kota dan
penduduknya untuk dibinasakan; melaksanakan penghancuran ini; sama sekali memusnahkan penduduk daalm
perang; membunuh. Seperti dikutip dari Hill dan Walton, Survei Perjanjian Lama, 233.
5
S. Hess. Ia menunjukkan bahwa konsep dari perang ilahi (holy wars) mengikuti strategi dan

ideologi politik yang juga dipahami oleh bangsa-bangsa sekitar Israel pada waktu itu.23 Motif

peperangan ilahi dan “larangan” merupakan hal lazim dalam kepercayaan dan kebudayaan

Timur Dekat Kuno.

Keadilan Allah

Jika konsep peperangan ilahi menjadi latar belakang dari Yosua 6-12, apakah yang

membedakannya dengan praktik genosida seperti yang dituduhkan oleh kalangan ateis abad

ke-21? Poythress mengungkapkan bahwa ada perkenanan Allah di balik peperangan ilahi,

seperti yang tercatat dalam Yosua 6-12. Tremper Longman III menulis, “Perang ilahi selalu

diinisiasi oleh Allah, tidak pernah oleh bangsa Israel. Allah tidak berkenan untuk

memberikan kemenangan dalam peperangan yang dilakukan oleh Israel sendiri.”24

Perbedaan yang lebih jelas terlihat di dalam penyelamatan Rahab dari penghancuran Yerikho

(Yos. 6:1-27). Dukungan pada hal ini ditunjukkan oleh Hess ketika ia mengungkapkan,

“Meskipun larangan (ban) ini berarti penghancuran total bagi Yerikho, Hal ini tidak berarti

bahwa di dalamnya tidak ada ruang bagi pengampunan (mercy).25

Frame menjelaskan bahwa Allah yang adil itu juga adalah Allah yang menunggu.

Jadi Tuhan adalah Tuhan yang menunggu. Dia dapat mencapai keinginannya secara
instan. Dia dapat membawa penghakiman terakhir pada orang fasik dengan segera.
Tetapi Dia memilih untuk tidak melakukannya. Dia telah memilih untuk menulis
sebuah drama dan menyebarkannya dalam urutan waktu. Jadi Dia mentolerir
kejahatan untuk sementara waktu, menunggu sampai nanti untuk menghakimi
sepenuhnya. Sekarang kita belajar bahwa keputusan Allah untuk menunggu tidaklah
sewenang-wenang, juga tidak terutama untuk kepentingan menciptakan cerita yang

23
Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary, Tyndale Old Testament Commentaries v.
6 (Downers Grove: IVP Academic, 2008), 47.
24
Tremper Longman and Daniel G. Reid, God Is a Warrior, Studies in Old Testament Biblical
Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1995), 33.
25
Hess, Joshua, 146.
6
lebih menarik. Sebaliknya, itu adalah fungsi dari cinta dan rahmat-Nya. Jadi Dia
memberikan orang waktu untuk bertobat.26

Hal yang dikemukakan oleh Frame dapat dilihat dari penghakiman-Nya yang adil atas

Yerikho. Menurut catatan Alkitab, Allah telah menunggu sekitar 430 tahun sebelum

“kedurjanaan orang Amori (salah satu kelompok bangsa Kanaan) itu belum genap” (Kej.

15:16 ITB).27 430 tahun merupakan kesempatan bagi bangsa Kanaan untuk bertobat sebelum

Allah menghakimi mereka dalam catatan Yosua 6-12. Seperti yang dikatakan oleh Hess, Hal

ini menunjukkan keadilan Allah dalam penghakiman yang Ia berikan kepada bangsa Kanaan

pada Yosua 6-12.28 Tidak seperti Rahab dan keluarganya, para penduduk Yerikho (dan

kebanyak orang Kanaan) menolak mengakui satu-satunya Allah yang benar.29

Penghukuman kepada bangsa Kanaan dan Keadilan Allah

Prinsip Moral Krusial (CMP) berbunyi bahwa adalah sebuah kesalahan secara moral

untuk dengan sengaja dan tanpa ampun membunuh pria, wanita, dan anak-anak yang tidak

melakukan kesalahan serius apapun.30 Namun, Alkitab tidak menggambarkan Kanaan

sebagai bangsa yang terbebas dari kesalahan dosa. Kejadian 15:16 (ITB) dengan jelas

mengatakan: “Tetapi kerununan yang keempat akan kembali ke sini, sebab sebelum itu

kedurjanaan orang Amori itu belum genap.”

Keberdosaan orang Kanaan

Dalam artikelnya, Clay Jones menjabarkan dengan baik dosa-dosa yang dilakukan

oleh Kanaan, seperti penyembahan berhala, pernikahan incest, pelacuran, pengorbanan anak,

26
John M. Frame, Systematic Theology: An Introduction to Christian Belief (Phillipsburg, New Jersey:
P&R Publishing, 2013), 432.
27
Copan, Is God a Moral Monster, 270.
28
Hess, Joshua, 56.
29
Copan, Is God a Moral Monster, 305.
30
Seperti dikutip dari Copan dan Flannagan, Did God Really Command Genocide, bab 1, ePub.
7
homoseksualitas, dan bestiality.31 Allah yang benar dan adil harus bertindak menanggapi

keberdosaan manusia. Menyokong pendapat ini, John M. Frame mengungkapkan bahwa

keadilan Allah menjadi dasar dari kemarahan dan ketegasannya terhadap dosa-dosa Kanaan

yang dinyatakan melalui penumpasan bangsa Kanaan oleh bangsa Israel.32 Pendapat serupa

juga dikemukakan oleh Vern S. Poythress. Ia menyebut penaklukan Kanaan oleh bangsa

Israel sebagai bentuk providensia Allah untuk menghukum Kanaan atas dosa-dosa mereka.

Keadilan Allah

Karakter kebenaran dalam pribadi Allah mengimplikasikan bahwa Ia akan

menghukum dosa.33 Yosua 6-12 tidak dipahami sebagai teks genosida yang mengandung

unsur kebencian terhadap kesukuan tertentu, melainkan sebagai sebuah bukti ketegasan Allah

dalam berurusan dengan dosa.34 Beranjak dari konteks penghukuman atas dosa ini, Copan

memberi komentar, “Allah memandang bahwa waktu bagi penghakiman Ilahi atas mereka

sudah genap, yang akan dijalankan Allah seturut dengan rencana penyelamatan-Nya dalam

perjalanan sejarah.”35

Meskipun bangsa Kanaan tidak mengenal maupun mempercayai Allah sebagai Tuhan

mereka, namun mereka tidak dapat luput dari penghakiman-Nya yang adil terhadap semua

makhluk. Copan mengutip Roma 1:19-2036 (ITB) untuk menunjukkan hal tersebut.37

31
Clay Jones, “We Don’t Hate Sin So We Don’t Understand What Happened to The Canaanites: An
Addendum to ‘Divine Genocide’ Arguments,” Philosophia Christi 11, no. 1 (2009): 55.
32
Frame, Systematic Theology, 273.
33
Vern S. Poythress, The Shadow of Christ in the Law of Moses, 1st ed. (Brentwood: Wolgemuth &
Hyatt, 1991), 142.
34
Copan, Is God a Moral Monster, 282
35
Ibid., 272–3.
36
Roma 1:19-20 (ITB), “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab
Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya
yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga
mereka tidak dapat berdalih.” Penekanan oleh penulis.
37
Copan, Is God a Moral Monster, 276–7.
8
Penghakiman ini dilakukan bukan atas dasar kebencian Allah terhadap etnis tertentu, atau

pun favoritisme Allah terhadap bangsa Israel38. Copan menunjukkan bahwa Allah telah

berulang kali memerintahkan Israel untuk memedulikan orang asing (non-Israel) atau para

pendatang di tengah-tengah mereka (Im. 19:34; Ul. 10:18-19).39 Di sisi lain, Allah dengan

adil menentang dosa bangsa Israel sekeras Ia menentang dosa bangsa-bangsa yang menindas

Israel.40 Dalam hal ini, penghukuman Allah dinyatakan tidak pernah sewenang-wenang,

selalu sesuai dengan kekudusan-Nya. 41 Mendukung hal ini Jones pun mengungkapkan

bahwa dari penghukuman yang Allah berikan kepada bangsa Israel yang tidak setia, Allah

menunjukkan diri-Nya tidak melakukan genosida kepada bangsa Kanaan. Tidak ada nuansa

favoritisme atau pun xenophobic. Yang dihadapi oleh bangsa Kanaan pada Yosua 6-12

adalah penghukuman Allah yang adil.42

Tanah Kanaan sebagai Tanah Perjanjian

Bagi masyarakat Timur Dekat Kuno, tanah adalah sumber mata pencaharian utama.

Kepemilikan atas suatu tanah menunjukkan aspek material dari berkat ilahi atas diri

seseorang. 43 Hal ini juga menjadi pemahaman yang dipegang oleh bangsa Israel pada waktu

itu. Menurut Hill dan Walton, dalam pemahaman orang Israel mengenai diri mereka sebagai

umat perjanjian, tidak ada yang lebih utama daripada masuk ke dalam Kanaan, negeri yang

38
Allah memilih Israel semata-mata atas dasar kasih-Nya yang dinyatakan oleh kovenan. Frame
mengungkapkan bahwa “Allah memilih Israel karena Ia mengasihi dia, bukan karena ia berjumlah lebih banyak
daripada bangsa-bangsa lain (Ul. 7:7-8) atau pun karena ia lebih benar (9:4-6). Kasih ini merupakan hak
prerogatif dari pada Allah sendiri, tidak menyalahi aturan keadilan maupun menunjukkan favoritisme. Ia telah
memilih sebelum dunia dijadikan. Seperti dikutip dari Frame, Systematic Theology, 239, 241. Penjelasan
serupa juga diberikan dalam Peter C. Craigie, ed., The Book of Deuteronomy, The New international
commentary on the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1976), 179–180.
39
Ibid., 279.
40
Ibid., 283.
41
Poythress, The Shadow of Christ, 121.
42
Jones, We Don’t Hate Sin, 68. Penekanan oleh penulis.
43
Hess, Joshua, 51.
9
telah dijanjikan.44 Akan tetapi, Hitchens menuduh bahwa Allah telah mengusir bangsa

Kanaan keluar dari tanahnya sendiri tanpa belas kasihan untuk membuat tanah tersebut

menjadi rumah bagi bangsa Israel yang memberontak dan tidak tahu berterima kasih.45 Pada

faktanya, memang Allah menyerahkan seluruh tanah Kanaan kepada bangsa Israel; meskipun

mereka harus menaklukannya.46 Lantas, apakah ada penjelasan alasan Allah telah

“sewenang-wenang” mengusir bangsa Kanaan dari tanahnya sendiri demi kepentingan

bangsa Israel?

Allah sebagai pemilik langit dan bumi

Allah Israel adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi (Kej. 1:1 ITB). Ia

memiliki kuasa atas segala tanah yang ada di bumi, termasuk tanah Kanaan. Ia berhak

menjanjikan tanah Kanaan kepada Israel sebagai pemberian atas dasar kasih-Nya. Kejadian

15:16, 18-21 (ITB) mencatat janji Allah kepada Abraham, “Tetapi keturunan yang keempat

akan kembali ke sini, sebab sebelum itu kedurjanaan orang Amori itu belum genap...Pada

hari itulah TUHAN mengadakan perjanjian dengan Abram serta berfirman: “Kepada

keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar

itu, sungai Efrat: yakni tanah orang Keni, orang Kenas, orang Kadmon, orang Het, orang

Feris, orang Refaim, orang Amori, orang Kanaan, orang Girgasi, dan Yebus itu.” Sebagai

pemegang otoritas tertinggi, Ia berhak untuk melakukan hal itu tanpa menyalahi keadilan-

Nya sendiri.47

Tanah perjanjian sebagai tempat kudus Allah

Bangsa Israel dipilih oleh Allah untuk menjadi kerajaan imam dan bangsa yang kudus

(Kel. 19:6 ITB). Dalam bagian Alkitab yang lain, dengan jelas Allah menuntut, “Kuduslah

44
Hill dan Walton, Survei Perjanjian Lama, 233.
45
Hitchens, God Is Not Great, 101. Terjemahan oleh penulis.
46
Hess, Joshua, 51.
47
Frame, Systematic Theology, 259.
10
kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus” (Im. 19:2 ITB). Masuknya bangsa Israel ke

dalam tanah perjanjian mengharuskan kekudusan dari tanah tersebut. Hal ini mengakibatkan

bangsa Kanaan yang hidup dengan tidak kudus harus meninggalkan tanah Kanaan.

Menyokong pendapat ini, Poythress mengungkapkan bahwa “Penduduk sebelumnya dari

tanah Kanaan telah sangat berdosa dan mencemari Tanah Perjanjian Allah (Kej. 15:16; Im.

18:24-25). Ketika Israel memasuki tanah perjanjian dengan Allah di tengah-tengah mereka,

tanah tersebut telah diklaim oleh Allah, ditahbiskan oleh kehadiran-Nya dan diberikan kepada

Israel. Klaim negara-negara Kanaan atas tanah itu hangus”48 Namun, Allah tidak mengusir

semua orang Kanaan keluar dari negeri tersebut; Ia tetap menerima keberadaan Rahab di

tengah-tengah bangsa Israel. Dengan demikian, penaklukan yang dicatat dalam Yosua 6-12

tidak dapat dikatakan sebagai tindakan yang melanggar keadilan Allah.

PENUTUP

Dari analisis terhadap Yosua 6-12, penulis menarik tiga poin utama. Pertama, dari

konsep teologis mengenai peperangan ilahi dan “larangan,” Allah berlaku adil sebab ia telah

memberikan kesempatan dan pilihan bagi orang-orang Kanaan untuk bertobat. Berbeda

dengan praktik genosida yang berusaha untuk menghabiskan seluruh etnis, Allah

membiarkan Rahab tetap hidup setelah ia menyatakan kepercayaannya kepada-Nya. Kedua,

dari konsep teologis mengenai penghukuman terhadap bangsa Kanaan, Allah berlaku adil

sebab ia telah memberikan penghakiman atas dosa yang telah dilakukan oleh bangsa Kanaan.

Berbeda dengan praktik genosida yang didasarkan pada xenophobia atau pun favoritisme

terhadap salah satu etnis, Allah menunjukkan penghakiman-Nya adil menurut diri-Nya, baik

bagi bangsa Kanaan, maupun bagi bangsa Israel. Ketiga, dari konsep teologis tentang tanah

48
Poythress, The Shadow of Christ in the Law of Moses, 142–143.
11
Kanaan sebagai tanah perjanjian, Allah berlaku adil sebab Ia memiliki otoritas sebagai

Pencipta, dan berlaku setia kepada perjanjian-Nya dengan Abraham. Berbeda dengan

genosida yang mengusir keluar semua anggota etnis tertentu, penaklukan dalam catatan

Yosua 6-12 tetap menyediakan keselamatan bagi orang yang percaya kepada Tuhan seperti

Rahab dan keluarganya.

Dari ketiga peninjauan konsep teologis dari perspektif keadilan Allah tersebut, penulis

menyimpulkan bahwa tuduhan genosida yang diajukan oleh Bradley perlu ditinjau kembali.

Meskipun demikian, penulis menyadari bahwa tinjauan mono-perspektif dalam makalah ini

tidak mengupas banyak argumen komprehensif dari sisi hermeneutis maupun etis. Akhir

kata, berdasarkan analisa kritis di sepanjang makalah ini, penulis menyanggah tuduhan

Bradley tentang praktik genosida yang dilakukan oleh Allah Perjanjian Lama.

12
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Andrew, Glenn. “Debate Review: Flannagan vs Bradley,” Right Reason. August 02, 2019.
Diakses 18 Oktober 2019. http://www.rightreason.org/2010/debate-review-flannagan-
v-bradley/
Copan, Paul. Is God a Moral Monster?: Memahami Allah Perjanjian Lama. Diterjemahkan
oleh Timotius Fu. Malang: Literatur SAAT, 2016.
Copan, Paul. “Is Yahweh a Moral Monster? The New Atheists and Old Testament Ethics.”
Philosophia Christi 10, no. 1 (2008): 7–37.
Copan, Paul, and Matt Flannagan. Did God Really Command Genocide?: Coming to Terms
with the Justice of God. Grand Rapids: Baker Books, 2015.

Craigie, Peter C., ed. The Book of Deuteronomy. The New International Commentary on the
Old Testament. Grand Rapids: Eerdmans, 1976.

Dawkins, Richard. The God Delusion. London: Bantam Press, 2006.

Frame, John M. Systematic Theology: An Introduction to Christian Belief. Phillipsburg, New


Jersey: P&R Publishing, 2013.

Gellately, Robert, and Ben Kiernan. The Specter of Genocide: Mass Murder in Historical
Perspective. Cambridge; New York: Cambridge University Press, 2003.

Hess, Richard S. Joshua: An Introduction and Commentary. Tyndale Old Testament


Commentaries v. 6. Downers Grove, Ill: IVP Academic, 2008.

Hitchens, Christopher. God Is Not Great: How Religion Poisons Everything. 1st ed. New
York: Twelve, 2007.

Jones, Clay. “We Don’t Hate Sin So We Don’t Understand What Happened to The Canaanites:
An Addendum to ‘Divine Genocie’ Arguments.” Philosophia Christi 11, no. 1 (2009):
53-72.
Longman, Tremper, and Daniel G. Reid. God Is a Warrior. Studies in Old Testament Biblical
Theology. Grand Rapids: Zondervan, 1995.

Poythress, Vern S. The Shadow of Christ in the Law of Moses. 1st ed. Brentwood:
Wolgemuth & Hyatt, 1991.

Seibert, Eric A. Disturbing Divine Behavior: Troubling Old Testament Images of God.
Minneapolis: Fortress, 2009.

Tatum, Dale C. Genocide at The Dawn of The Twenty First Century: Rwanda, Bosnia,
Kosovo, and Darfur. Ed. ke-1. New York: Palgrave Macmillan, 2010.

13

Anda mungkin juga menyukai