Teologi Sistematika II
oleh
Yohanes Marella
20181041526
Oktober 2019
Kejahatan genosida masih menjadi masalah di beberapa bagian dunia abad ke-21 ini.1
sepenuhnya teratasi.
“Masalahmu sudah menemukan solusinya. Anda harus mati.” Salah satu rekan
Samuel, Manase Bimenyimana, mengingat tanggapan Ntakirutimana sedikit berbeda.
Dia mengatakan kepada saya bahwa kata-kata pendeta adalah “Anda harus
dihilangkan. Tuhan tidak lagi menginginkanmu.”
Ada banyak penyerang, kenang Samuel, dan mereka datang dari semua sisi— “dari
gereja, dari belakang, dari utara dan selatan. Kami mendengar tembakan dan tangisan
dan mereka meneriakkan slogan, ‘Lenyapkan Tutsi.’”2
Genosida dapat dipahami sebagai sebuah kejahatan dan tindakan amoral yang paling
berat dan serius terhadap kemanusiaan.3 Selain Rwanda, terdapat juga beberapa tragedi
genosida lain, seperti yang terjadi di Bosnia, Kosovo, dan Darfur.4 Fakta ini mendorong
1
Genosida di abad ke-21 tidak dapat dipisahkan dari sejarah pasca Perang Dunia II. Sebagai reaksi
terhadap Perang Dunia II yang merendahkan kemanusiaan, dimunculkan sebuah konsensus bahwa setiap orang,
tidak peduli derajat, kebangsaan, agama, atau ras, adalah bernilai sama. Setiap orang harus diperlakukan dengan
adil. Praktik genosida merupakan tindakan amoral dan melanggar keadilan terhadap sesama manusia. Bertolak
dari pemahaman ini, usaha penegakan hak asasi manusia dilakukan hingga terbentuk Konvensi tentang
Penghindaran dan Hukuman Kejahatan Genosida pada tahun 1948 dan diberlakukan sejak 1951.
Konvensi ini mendefinisikan genosida sebagai “usaha-usaha yang dilakukan dengan intensi
membinasakan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama, dengan cara
seperti: (a) membunuh anggota dari suatu kelompok; (b) menyebabkan kerusakan fisik maupun mental yang
serius kepada anggota kelompok; (c) sengaja merencanakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan
kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; (d) melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam
kelompok; atau (e) memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.”
2
Kisah ini penulis kutip dan terjemahkan dari Philip Gourevitch, We Wish to Inform You that
Tomorrow We Will Be Killed with Our Families (New York: Picador, 1998), bab 2, mobi. Dalam buku tersebut,
Gourevitch menuliskan kesaksian-kesaksian para korban selamat dari tragedi genosida Rwanda tahun 1994.
3
Robert Gellately dan Ben Kiernan, The Specter of Genocide: Mass Murder in Historical Perspective
(Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 14.
4
Dale C. Tatum, Genocide at the dawn of the twenty-first century: Rwanda, Bosnia, Kosovo, and
Darfur, ed. ke-1 (New York: Palgrave Macmillan, 2010), x. Buku ini meninjau dan mengkritisi sikap pasif
Amerika Serikat di dalam menanggapi kasus-kasus genosida di abad ke-21.
1
Dalam beberapa argumen untuk tidak percaya kepada Allah, tokoh-tokoh ateis abad
ke-21 menuduh bahwa Allah di Perjanjian Lama (PL) telah melakukan genosida, khususnya
kepada penduduk Kanaan. Salah satu tuduhan tersebut berasal dari Raymond Bradley5.
Menurut tuduhannya, Yosua 6-12 adalah bukti bahwa Allah telah melakukan praktik
genosida terhadap Bangsa Kanaan. 6 Mengutip perkataan Eric A. Seibert, “Jika teks ini
menunjukkan apa yang benar-benar terjadi, seperti yang dipercaya oleh banyak orang
Kristen, apa yang teks ini nyatakan mengenai karakter Allah? Allah macam apa yang
memerintahkan genosida?”7 Jika tuduhan Bradley di atas dianggap benar, maka keadilan
Allah Perjanjian Lama yang diajukan oleh tokoh-tokoh ateis abad ke-21 bertentangan dengan
doktrin keadilan Allah. Penulis memandang bahwa pembacaan terhadap teks-teks yang
dianggap genosidal perlu mempertimbangkan doktrin keadilan Allah. Dalam makalah ini,
penulis memulai dengan menyajikan tuduhan-tuduhan yang diajukan oleh beberapa tokoh
ateis abad ke-21 atas teks terhadap moralitas Allah di dalam Perjanjian Lama. Kemudian,
berdasarkan teks Alkitab yang dituduhkan dan menunjukkan sisi keadilan Allah di dalamnya.
5
Raymond Bradley adalah seorang ahli klimatologi dan profesor terhormat Universitas di Departemen
Geosains di University of Massachusetts Amherst, Amerika Serikat. Introduksi ini diambil dari Glenn Andrew,
“Debate Review: Flannagan vs Bradley,” Right Reason, 02 Agustus 2010, diakses 18 Oktober 2019,
http://www.rightreason.org/2010/debate-review-flannagan-v-bradley.
6
Tuduhan ini didasarkan pada asumsi prinsip moral krusial (Crucial Moral Principle) yang mengatakan
bahwa adalah sebuah kesalahan secara moral untuk dengan sengaja dan tanpa ampun membunuh pria, wanita,
dan anak-anak yang tidak melakukan kesalahan serius apapun. Seperti dikutip dari Paul Copan and Matthew
Flannagan, Did God Really Command Genocide?: Coming to Terms with the Justice of God. (Grand Rapids:
Baker, 2015), bab 1, ePub. Diterjemahkan oleh penulis.
7
Eric A. Seibert, Disturbing Divine Behavior: Troubling Old Testament Images of God (Minneapolis:
Fortress, 2009), 25.
8
Dalam konteks ini, Yohanes Marella sebagai penulis makalah.
2
Dalam bagian penutup, penulis menyimpulkan tanggapan terhadap tuduhan yang diajukan
ISI MAKALAH
Bradley mengajukan tuduhan bahwa Allah telah melakukan genosida terhadap bangsa
Kanaan,
Argumen yang demikian memengaruhi pemahaman mereka tentang Allah; Allah yang
melakukan genosida tidak mungkin dapat dipahami sebagai Allah yang adil.10 Pandangan ini
didukung oleh Richard Dawkins11 yang mengungkapkan, “Allah Perjanjian Lama adalah
karakter yang paling menjijikkan dalam semua fiksi: pencemburu, tidak adil, pembersih etnis
yang haus darah, pelaku genosida, pembunuh bayi dan anak-anak.”12 “Yang membuat saya
terkejut adalah bahwa orang saat ini harus mendasarkan hidup mereka pada peran
9
Seperti dikutip dari Copan dan Flannagan, Did God Really Command Genocide, bab 1, ePub.
Terjemahan dan penekanan oleh penulis.
10
Mengenai hal ini, penulis berhutang kepada penjelasan C. S. Cowles, “The Case for Radical
Discontinuity,” dalam Show Them no Mercy: Four Views on God and Canaanites Genocide (Grand Rapids:
Zondervan, 2003), 18. Cowles mengungkapkan bahwa “untuk menghubungkan genosida dengan Allah
mencemarkan semua atribut lain dalam diri Allah.” Terjemahan oleh penulis.
11
Richard Dawkins adalah seorang tokoh ateis baru (new atheists) yang cukup terkenal dengan
argumentasinya yang menyerang moralitas Allah, khususnya dalam Perjanjian Lama. Untuk informasi singkat
mengenai kelompok ateis baru, penulis menyarankan untuk membaca Paul Copan, “Is Yahweh a Moral
Monster? The New Atheists and Old Testament Ethics,” Philosophia Christi 10, no. 1 (2008): 7-9.
12
Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam, 2006), 31.
3
mengerikan yang diteladankan oleh Yahweh, dan berusaha memaksakan monster jahat yang
yang dinyatakan dalam Perjanjian Lama.14 Tokoh ateis lainnya, Madalyn Murray O’Hair,
dengan terang-terangan mengatakan, “Allah orang Yahudi adalah monster paling tidak
berbelas kasihan dan sadis yang pernah diciptakan.”15 Dawkins juga memperkuat
argumennya dengan menuduh bahwa keterlibatan bangsa Israel dalam penghapusan etnis
kepada bangsa Kanaan sebagai kekerasan yang haus darah dan berkaitan dengan rangsangan
xenophobic16.17 Hal ini memperkeruh tuduhan genosida atas Allah Perjanjian Lama.
Penulis melihat bahwa tuduhan yang diajukan oleh Bradley dan tokoh-tokoh ateis
abad ke-21 lainnya didasari oleh pembacaan mereka yang keliru pada teks-teks laporan18,
13
Ibid., 248.
14
Christopher Hitchens, God Is Not Great: How Religion Poisons Everything, 1st ed. (New York:
Twelve, 2007), 100.
15
Seperti dikutip dari Seibert, Disturbing Divine Behavior, 48.
16
Xenophobic adalah kebencian berlebihan kepada sebuah etnis tertentu. Istilah ini dipakai juga oleh
Copan dalam Paul Copan, Is God a Moral Monster? Memahami Allah Perjanjian Lama, terj. Timotius Fu
(Malang: Literatur SAAT, 2012), 247.
17
Ibid.
18
Laporan adalah sebuah “narasi yang singkat, berdiri sendiri, sering kali dalam gaya bahasa orang
ketiga, tentang suatu peristiwa atau situasi tunggal yang terjadi di masa lampau.” Ia menceritakan fakta-fakta
dari peristiwa yang telah terjadi dengan menggunakan gaya langsung tanpa ditambahkan embel-embel
kesusastraan. Salah satu jenis teks laporan adalah teks laporan peperangan, seperti Yosua 6-12. Lebih lanjut
mengenai genre-genre teks Perjanjian Lama dapat dibaca dalam William W. Klein, Craig L. Blomberg, dan
Robert L. Hubbard, Introduction to Biblical Interpretation 2, terj. Timotius Lo, cet. ke-2 (Malang: Literatur
SAAT, 2017), 197–330.
4
Memahami Yosua 6-12
ketika orang-orang hanya mendengarkan sebagian dari apa yang telah dikatakan dan
membangun pemahaman mereka sendiri atasnya.”19 Hal ini pun berlaku ketika memahami
teks laporan peperangan dalam Yosua 6-1220. Konsep teologi yang mendasari teks ini
berkaitan erat dengan Ulangan 7:2 (ITB), “...maka haruslah kamu menumpas mereka sama
sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau
mengasihani mereka,” dan Ulangan 20:16-17 (ITB), “Tetapi dari kota-kota bangsa-bangsa itu
yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu, janganlah kaubiarkan
hidup apapun yang bernafas, melainkan kautumpas sama sekali, yakni orang Het, orang
Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang Hewi, dan orang Yebus, seperti yang diperintahkan
[Kanaan] adalah sangat jahat secara ekstrim”—jauh dari gambaran Allah yang penuh rahmat
yang sering didengungkan Alkitab.21 Di pihak lain, Andrew E. Hill dan John H. Walton
menunjukkan adanya tema pejuang ilahi dan larangan22 Pendapat ini disokong oleh Richard
19
Ibid., 6.
20
Pandangan teks Yosua sebagai laporan militer mengenai penaklukan Kanaan juga diungkapkan dalam
Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, terj. Triyogo Setyatmoko (Malang: Gandum Mas,
2013), 228.
21
Seperti dikutip dari Copan, Is God a Moral Monster, 269.
22
Istilah “larangan” merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari kata “ban,” atau “herem” yang berarti
didedikasikan kepada Allah. Hill dan Walton mendefinisikannya sebagai, “khususkan sesuatu atau seseorang
sebagai suatu persembahan yang tetap dan pasti untuk persembahan; dalam perang, khususkan kota-kota dan
penduduknya untuk dibinasakan; melaksanakan penghancuran ini; sama sekali memusnahkan penduduk daalm
perang; membunuh. Seperti dikutip dari Hill dan Walton, Survei Perjanjian Lama, 233.
5
S. Hess. Ia menunjukkan bahwa konsep dari perang ilahi (holy wars) mengikuti strategi dan
ideologi politik yang juga dipahami oleh bangsa-bangsa sekitar Israel pada waktu itu.23 Motif
peperangan ilahi dan “larangan” merupakan hal lazim dalam kepercayaan dan kebudayaan
Keadilan Allah
Jika konsep peperangan ilahi menjadi latar belakang dari Yosua 6-12, apakah yang
membedakannya dengan praktik genosida seperti yang dituduhkan oleh kalangan ateis abad
ke-21? Poythress mengungkapkan bahwa ada perkenanan Allah di balik peperangan ilahi,
seperti yang tercatat dalam Yosua 6-12. Tremper Longman III menulis, “Perang ilahi selalu
diinisiasi oleh Allah, tidak pernah oleh bangsa Israel. Allah tidak berkenan untuk
Perbedaan yang lebih jelas terlihat di dalam penyelamatan Rahab dari penghancuran Yerikho
(Yos. 6:1-27). Dukungan pada hal ini ditunjukkan oleh Hess ketika ia mengungkapkan,
“Meskipun larangan (ban) ini berarti penghancuran total bagi Yerikho, Hal ini tidak berarti
Frame menjelaskan bahwa Allah yang adil itu juga adalah Allah yang menunggu.
Jadi Tuhan adalah Tuhan yang menunggu. Dia dapat mencapai keinginannya secara
instan. Dia dapat membawa penghakiman terakhir pada orang fasik dengan segera.
Tetapi Dia memilih untuk tidak melakukannya. Dia telah memilih untuk menulis
sebuah drama dan menyebarkannya dalam urutan waktu. Jadi Dia mentolerir
kejahatan untuk sementara waktu, menunggu sampai nanti untuk menghakimi
sepenuhnya. Sekarang kita belajar bahwa keputusan Allah untuk menunggu tidaklah
sewenang-wenang, juga tidak terutama untuk kepentingan menciptakan cerita yang
23
Richard S. Hess, Joshua: An Introduction and Commentary, Tyndale Old Testament Commentaries v.
6 (Downers Grove: IVP Academic, 2008), 47.
24
Tremper Longman and Daniel G. Reid, God Is a Warrior, Studies in Old Testament Biblical
Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1995), 33.
25
Hess, Joshua, 146.
6
lebih menarik. Sebaliknya, itu adalah fungsi dari cinta dan rahmat-Nya. Jadi Dia
memberikan orang waktu untuk bertobat.26
Hal yang dikemukakan oleh Frame dapat dilihat dari penghakiman-Nya yang adil atas
Yerikho. Menurut catatan Alkitab, Allah telah menunggu sekitar 430 tahun sebelum
“kedurjanaan orang Amori (salah satu kelompok bangsa Kanaan) itu belum genap” (Kej.
15:16 ITB).27 430 tahun merupakan kesempatan bagi bangsa Kanaan untuk bertobat sebelum
Allah menghakimi mereka dalam catatan Yosua 6-12. Seperti yang dikatakan oleh Hess, Hal
ini menunjukkan keadilan Allah dalam penghakiman yang Ia berikan kepada bangsa Kanaan
pada Yosua 6-12.28 Tidak seperti Rahab dan keluarganya, para penduduk Yerikho (dan
Prinsip Moral Krusial (CMP) berbunyi bahwa adalah sebuah kesalahan secara moral
untuk dengan sengaja dan tanpa ampun membunuh pria, wanita, dan anak-anak yang tidak
sebagai bangsa yang terbebas dari kesalahan dosa. Kejadian 15:16 (ITB) dengan jelas
mengatakan: “Tetapi kerununan yang keempat akan kembali ke sini, sebab sebelum itu
Dalam artikelnya, Clay Jones menjabarkan dengan baik dosa-dosa yang dilakukan
oleh Kanaan, seperti penyembahan berhala, pernikahan incest, pelacuran, pengorbanan anak,
26
John M. Frame, Systematic Theology: An Introduction to Christian Belief (Phillipsburg, New Jersey:
P&R Publishing, 2013), 432.
27
Copan, Is God a Moral Monster, 270.
28
Hess, Joshua, 56.
29
Copan, Is God a Moral Monster, 305.
30
Seperti dikutip dari Copan dan Flannagan, Did God Really Command Genocide, bab 1, ePub.
7
homoseksualitas, dan bestiality.31 Allah yang benar dan adil harus bertindak menanggapi
keadilan Allah menjadi dasar dari kemarahan dan ketegasannya terhadap dosa-dosa Kanaan
yang dinyatakan melalui penumpasan bangsa Kanaan oleh bangsa Israel.32 Pendapat serupa
juga dikemukakan oleh Vern S. Poythress. Ia menyebut penaklukan Kanaan oleh bangsa
Israel sebagai bentuk providensia Allah untuk menghukum Kanaan atas dosa-dosa mereka.
Keadilan Allah
menghukum dosa.33 Yosua 6-12 tidak dipahami sebagai teks genosida yang mengandung
unsur kebencian terhadap kesukuan tertentu, melainkan sebagai sebuah bukti ketegasan Allah
dalam berurusan dengan dosa.34 Beranjak dari konteks penghukuman atas dosa ini, Copan
memberi komentar, “Allah memandang bahwa waktu bagi penghakiman Ilahi atas mereka
sudah genap, yang akan dijalankan Allah seturut dengan rencana penyelamatan-Nya dalam
perjalanan sejarah.”35
Meskipun bangsa Kanaan tidak mengenal maupun mempercayai Allah sebagai Tuhan
mereka, namun mereka tidak dapat luput dari penghakiman-Nya yang adil terhadap semua
makhluk. Copan mengutip Roma 1:19-2036 (ITB) untuk menunjukkan hal tersebut.37
31
Clay Jones, “We Don’t Hate Sin So We Don’t Understand What Happened to The Canaanites: An
Addendum to ‘Divine Genocide’ Arguments,” Philosophia Christi 11, no. 1 (2009): 55.
32
Frame, Systematic Theology, 273.
33
Vern S. Poythress, The Shadow of Christ in the Law of Moses, 1st ed. (Brentwood: Wolgemuth &
Hyatt, 1991), 142.
34
Copan, Is God a Moral Monster, 282
35
Ibid., 272–3.
36
Roma 1:19-20 (ITB), “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab
Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya
yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga
mereka tidak dapat berdalih.” Penekanan oleh penulis.
37
Copan, Is God a Moral Monster, 276–7.
8
Penghakiman ini dilakukan bukan atas dasar kebencian Allah terhadap etnis tertentu, atau
pun favoritisme Allah terhadap bangsa Israel38. Copan menunjukkan bahwa Allah telah
berulang kali memerintahkan Israel untuk memedulikan orang asing (non-Israel) atau para
pendatang di tengah-tengah mereka (Im. 19:34; Ul. 10:18-19).39 Di sisi lain, Allah dengan
adil menentang dosa bangsa Israel sekeras Ia menentang dosa bangsa-bangsa yang menindas
Israel.40 Dalam hal ini, penghukuman Allah dinyatakan tidak pernah sewenang-wenang,
selalu sesuai dengan kekudusan-Nya. 41 Mendukung hal ini Jones pun mengungkapkan
bahwa dari penghukuman yang Allah berikan kepada bangsa Israel yang tidak setia, Allah
menunjukkan diri-Nya tidak melakukan genosida kepada bangsa Kanaan. Tidak ada nuansa
favoritisme atau pun xenophobic. Yang dihadapi oleh bangsa Kanaan pada Yosua 6-12
Bagi masyarakat Timur Dekat Kuno, tanah adalah sumber mata pencaharian utama.
Kepemilikan atas suatu tanah menunjukkan aspek material dari berkat ilahi atas diri
seseorang. 43 Hal ini juga menjadi pemahaman yang dipegang oleh bangsa Israel pada waktu
itu. Menurut Hill dan Walton, dalam pemahaman orang Israel mengenai diri mereka sebagai
umat perjanjian, tidak ada yang lebih utama daripada masuk ke dalam Kanaan, negeri yang
38
Allah memilih Israel semata-mata atas dasar kasih-Nya yang dinyatakan oleh kovenan. Frame
mengungkapkan bahwa “Allah memilih Israel karena Ia mengasihi dia, bukan karena ia berjumlah lebih banyak
daripada bangsa-bangsa lain (Ul. 7:7-8) atau pun karena ia lebih benar (9:4-6). Kasih ini merupakan hak
prerogatif dari pada Allah sendiri, tidak menyalahi aturan keadilan maupun menunjukkan favoritisme. Ia telah
memilih sebelum dunia dijadikan. Seperti dikutip dari Frame, Systematic Theology, 239, 241. Penjelasan
serupa juga diberikan dalam Peter C. Craigie, ed., The Book of Deuteronomy, The New international
commentary on the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1976), 179–180.
39
Ibid., 279.
40
Ibid., 283.
41
Poythress, The Shadow of Christ, 121.
42
Jones, We Don’t Hate Sin, 68. Penekanan oleh penulis.
43
Hess, Joshua, 51.
9
telah dijanjikan.44 Akan tetapi, Hitchens menuduh bahwa Allah telah mengusir bangsa
Kanaan keluar dari tanahnya sendiri tanpa belas kasihan untuk membuat tanah tersebut
menjadi rumah bagi bangsa Israel yang memberontak dan tidak tahu berterima kasih.45 Pada
faktanya, memang Allah menyerahkan seluruh tanah Kanaan kepada bangsa Israel; meskipun
mereka harus menaklukannya.46 Lantas, apakah ada penjelasan alasan Allah telah
bangsa Israel?
Allah Israel adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi (Kej. 1:1 ITB). Ia
memiliki kuasa atas segala tanah yang ada di bumi, termasuk tanah Kanaan. Ia berhak
menjanjikan tanah Kanaan kepada Israel sebagai pemberian atas dasar kasih-Nya. Kejadian
15:16, 18-21 (ITB) mencatat janji Allah kepada Abraham, “Tetapi keturunan yang keempat
akan kembali ke sini, sebab sebelum itu kedurjanaan orang Amori itu belum genap...Pada
hari itulah TUHAN mengadakan perjanjian dengan Abram serta berfirman: “Kepada
keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar
itu, sungai Efrat: yakni tanah orang Keni, orang Kenas, orang Kadmon, orang Het, orang
Feris, orang Refaim, orang Amori, orang Kanaan, orang Girgasi, dan Yebus itu.” Sebagai
pemegang otoritas tertinggi, Ia berhak untuk melakukan hal itu tanpa menyalahi keadilan-
Nya sendiri.47
Bangsa Israel dipilih oleh Allah untuk menjadi kerajaan imam dan bangsa yang kudus
(Kel. 19:6 ITB). Dalam bagian Alkitab yang lain, dengan jelas Allah menuntut, “Kuduslah
44
Hill dan Walton, Survei Perjanjian Lama, 233.
45
Hitchens, God Is Not Great, 101. Terjemahan oleh penulis.
46
Hess, Joshua, 51.
47
Frame, Systematic Theology, 259.
10
kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus” (Im. 19:2 ITB). Masuknya bangsa Israel ke
dalam tanah perjanjian mengharuskan kekudusan dari tanah tersebut. Hal ini mengakibatkan
bangsa Kanaan yang hidup dengan tidak kudus harus meninggalkan tanah Kanaan.
tanah Kanaan telah sangat berdosa dan mencemari Tanah Perjanjian Allah (Kej. 15:16; Im.
18:24-25). Ketika Israel memasuki tanah perjanjian dengan Allah di tengah-tengah mereka,
tanah tersebut telah diklaim oleh Allah, ditahbiskan oleh kehadiran-Nya dan diberikan kepada
Israel. Klaim negara-negara Kanaan atas tanah itu hangus”48 Namun, Allah tidak mengusir
semua orang Kanaan keluar dari negeri tersebut; Ia tetap menerima keberadaan Rahab di
tengah-tengah bangsa Israel. Dengan demikian, penaklukan yang dicatat dalam Yosua 6-12
PENUTUP
Dari analisis terhadap Yosua 6-12, penulis menarik tiga poin utama. Pertama, dari
konsep teologis mengenai peperangan ilahi dan “larangan,” Allah berlaku adil sebab ia telah
memberikan kesempatan dan pilihan bagi orang-orang Kanaan untuk bertobat. Berbeda
dengan praktik genosida yang berusaha untuk menghabiskan seluruh etnis, Allah
dari konsep teologis mengenai penghukuman terhadap bangsa Kanaan, Allah berlaku adil
sebab ia telah memberikan penghakiman atas dosa yang telah dilakukan oleh bangsa Kanaan.
Berbeda dengan praktik genosida yang didasarkan pada xenophobia atau pun favoritisme
terhadap salah satu etnis, Allah menunjukkan penghakiman-Nya adil menurut diri-Nya, baik
bagi bangsa Kanaan, maupun bagi bangsa Israel. Ketiga, dari konsep teologis tentang tanah
48
Poythress, The Shadow of Christ in the Law of Moses, 142–143.
11
Kanaan sebagai tanah perjanjian, Allah berlaku adil sebab Ia memiliki otoritas sebagai
Pencipta, dan berlaku setia kepada perjanjian-Nya dengan Abraham. Berbeda dengan
genosida yang mengusir keluar semua anggota etnis tertentu, penaklukan dalam catatan
Yosua 6-12 tetap menyediakan keselamatan bagi orang yang percaya kepada Tuhan seperti
Dari ketiga peninjauan konsep teologis dari perspektif keadilan Allah tersebut, penulis
menyimpulkan bahwa tuduhan genosida yang diajukan oleh Bradley perlu ditinjau kembali.
Meskipun demikian, penulis menyadari bahwa tinjauan mono-perspektif dalam makalah ini
tidak mengupas banyak argumen komprehensif dari sisi hermeneutis maupun etis. Akhir
kata, berdasarkan analisa kritis di sepanjang makalah ini, penulis menyanggah tuduhan
Bradley tentang praktik genosida yang dilakukan oleh Allah Perjanjian Lama.
12
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Andrew, Glenn. “Debate Review: Flannagan vs Bradley,” Right Reason. August 02, 2019.
Diakses 18 Oktober 2019. http://www.rightreason.org/2010/debate-review-flannagan-
v-bradley/
Copan, Paul. Is God a Moral Monster?: Memahami Allah Perjanjian Lama. Diterjemahkan
oleh Timotius Fu. Malang: Literatur SAAT, 2016.
Copan, Paul. “Is Yahweh a Moral Monster? The New Atheists and Old Testament Ethics.”
Philosophia Christi 10, no. 1 (2008): 7–37.
Copan, Paul, and Matt Flannagan. Did God Really Command Genocide?: Coming to Terms
with the Justice of God. Grand Rapids: Baker Books, 2015.
Craigie, Peter C., ed. The Book of Deuteronomy. The New International Commentary on the
Old Testament. Grand Rapids: Eerdmans, 1976.
Gellately, Robert, and Ben Kiernan. The Specter of Genocide: Mass Murder in Historical
Perspective. Cambridge; New York: Cambridge University Press, 2003.
Hitchens, Christopher. God Is Not Great: How Religion Poisons Everything. 1st ed. New
York: Twelve, 2007.
Jones, Clay. “We Don’t Hate Sin So We Don’t Understand What Happened to The Canaanites:
An Addendum to ‘Divine Genocie’ Arguments.” Philosophia Christi 11, no. 1 (2009):
53-72.
Longman, Tremper, and Daniel G. Reid. God Is a Warrior. Studies in Old Testament Biblical
Theology. Grand Rapids: Zondervan, 1995.
Poythress, Vern S. The Shadow of Christ in the Law of Moses. 1st ed. Brentwood:
Wolgemuth & Hyatt, 1991.
Seibert, Eric A. Disturbing Divine Behavior: Troubling Old Testament Images of God.
Minneapolis: Fortress, 2009.
Tatum, Dale C. Genocide at The Dawn of The Twenty First Century: Rwanda, Bosnia,
Kosovo, and Darfur. Ed. ke-1. New York: Palgrave Macmillan, 2010.
13