Anda di halaman 1dari 20

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

1. Relawan

Kerelawanan secara umum didefinisikan sebagai pekerjaan tanpa keuntungan

harga. Ford (2007) dalam Waikayi, Fearon, Morris dan McLaughlin (2012) dalam

panduan kerelawanannya menyampaikan bahwa kerelawanan lebih sebagai kerja

dibanding kesenangan dengan memperhatikan pada komitmen relawan. Perhatian tentang

relawan disampaikan oleh Oppenheimer (2008) dalam Waikayi et al., (2012) yaitu ketika

pendampingan diberikan tanpa menginginkan keuntungan dalam bentuk waktu,

kemampuan atau jasa kepada organisasi dan mau tanpa ada paksaan. Merrill (2006)

dalam Waikayi et al., (2012) mendefinisikan kerelawanan sebagai berikut :

Kerelawanan merupakan keterlibatan aktif. Tindakan kerelawanan termasuk partisipasi

atau kontribusi aktif dari waktu, energi atau talenta; tidak pernah dilihat sebagai

pemberian finansial atau sumber materi sebagai donor/sponsor.

Merril (2006) dalam Waikayi et al., (2012) lebih lanjut menyampaikan bahwa

kerelawanan selalu dikaitkan dengan kebiasaan baik dari kegiatan santunan atau

organisasi relawan, meskipun jika alasan individu dari kerelawanan sangat bervariasi.

Ketika banyak peneliti banyak memperhatikan subjek kerelawanan, ada perbedaan dalam

definisi dan konseptual dari aktifitas relawan yang disampaikan peneliti (Barnes dan

Sharpe, 2009) dalam Waikayi et al., (2012). Beberapa peneliti menggunakan definisi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sederhana dari aktifitas kerelawanan, yaitu karena untuk kepentingan umum dan tidak

dibayar. Definisi lain memasukkan kemungkinan keinginan pribadi dan kebutuhan untuk

mengenali kebutuhan (Barnes dan Shape, 2009) dalam Waikayi et al., (2012). Cohen

(2008) dalam Waikayi et al., (2012) menjabarkan konsep dari hubungan kemasyarakatan

dan kerelawanan memberikan komponen kunci dari perilaku kepentingan umum dan

timbal balik masyarakat. Fiorillo (2011) membagi motivasi relawan dalam dua kelompok

: satu kelompok fokus kepada penghargaan intrinsik dari menolong orang lain untuk

kepentingannya sendiri; kelompok yang lain termotivasi oleh penghargaan ekstrinsik dari

aktifitas kelompok dan menjadi bagian lingkungan dunia relawan.

2. BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat)

BKM adalah lembaga pimpinan kolektif masyarakat warga/penduduk suatu

kelurahan/desa yang terdiri dari pribadi-pribadi yang dipilih dan dipercaya warga

berdasarkan kriteria luhur kemanusiaan yang disepakati bersama dan dapat mewakili

masyarakat kelurahan/desa dalam berbagai kepentingan (Dirjen Cipta Karya, 2012).

Peran utama BKM adalah mengawal penerapan nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam

proses penangulangan kemiskinan pada khususnya dan kehidupan bermasyarakat pada

umumnya di kelurahan yang bersangkutan.

Anggota BKM terdiri dari 9 sampai dengan 13 orang sesuai kesepakatan masyarakat

kelurahan/desa, yang semuanya adalah relawan dan bekerja sebagai dewan sehingga

keputusan BKM adalah keputusan kolektif. Pemilihan anggota BKM dilakukan tanpa

pencalonan dan tiap pemilih harus menulis sekurang-kurangnya 3 nama (sesuai

kesepakatan warga) secara rahasia, pribadi-pribadi penduduk kelurahan/desa yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dianggap memenuhi kriteria yang telah disepakati, dikumpulkan dan dihitung. Kemudian

dipilih 9 s/d 13 nama yang mendapatkan perolehan suara terbanyak sebagai anggota

BKM. Para anggota BKM tersebut kemudian memilih siapa diantara mereka yang akan

menjadi koordinator, wakil, sekretaris, dan sebagainya sesuai dengan kemampuan

masing-masing (Dirjen Cipta Karya, 2012).

Tidak adanya pencalonan memungkinkan anggota masyarakat memilih tanpa

paksaan siapapun yang mereka anggap bisa mewakili sifat-sifat baik kemanusiaan

tersebut, sesuai pengalaman interaksi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Tidak

mungkin adanya kampanye; karena yang dipilih adalah orang yang perbuatan sehari-

harinya saat ini sesuai dengan kriteria tersebut di atas, bukan perkataan (janji) tentang

masa depan yang belum pasti. Jadi konsepnya adalah membandingkan dan

mengkonfirmasikan perbuatan/perilaku sehari-hari orang yang akan dipilih dan bukan

perkataan (janji) (Dirjen Cipta Karya, 2012).

3. Mediasi Antar Variabel

Baron dan Kenny (1986) dalam Williams, Vandenberg, dan Edwards, (2009),

menyatakan bahwa mediasi ditentukan oleh empat kondisi sebagai berikut : (a) variabel

independen berhubungan dengan variabel dependen, (b) variabel independen

berhubungan dengan variabel mediator, (c) variabel mediator berhubungan dengan

variabel dependen, (d) ketika variabel mediator terkendali secara statistic, variabel

independen tidak lagi berhubungan dengan variabel dependen. Namun penelitian Kenny,

Kashy, dan Bolger (1998) dalam Williams, Vandenberg, dan Edwards, (2009)

menyatakan bahwa langkah satu dan empat tidak diperlukan, dan menyatakan bahwa

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

langkah kedua dan ketiga sebagai syarat yang penting dan cukup dalam menentukan

suatu mediasi.

4. Teori Peran

Kahn et al., (1964) dalam Rizzo et al., (1970) mengenalkan teori peran pada

diharapkan individu tidak sesuai, maka dia akan mengalami stres, depresi, menjadi tidak

puas dan bekerja kurang efektif dibanding jika pengharapan tidak menyebabkan konflik,

sehingga dapat dilihat bahwa konflik peran dapat mempengaruhi secara negatif pikiran

et al. memprediksikan dan menemukan tingkatan yang rendah dari

kepuasan kerja bagi yang mengalami konflik peran yang tinggi. Khan et al., (1964) Rizzo

et al., (1970) menjabarkan teori peran dan meyarankan bahwa lingkungan organisasi

mempengaruhi harapan dari peran karyawan. Pengharapan ditekan dan bertindak normal

sebagaimana mereka diperintahkan. Konflik peran akan dihasilkan ketika permintaan

tidak sesuai dengan tujuan , kemampuan, nilai, dan kepercayaan karyawan. Singh et al.,

(1994) dalam Iqbal et al., (2013) menjelaskan bahwa konflik peran dapat terjadi pada

setiap organisasi.

5. Konflik Peran

Konflik peran menurut Rizzo et al., (1970) adalah kontradiksi peran yang

dirasakan seseorang dalam suatu organisasi. Glissmeyer et al., (1985) dalam Iqbal et al.,

(2013) mendefinisikan konflik peran sebagai tingkat dimana seseorang merasakan

tekanan antara satu peran yang tidak sesuai dengan tekanan mengambil alih peran yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lain. Sementara Cooper et al., 2001) dalam Iqbal et al., (2013) mendefinisikan konflik

aik peran tunggal maupun

peran ganda) yang dapat mengarah kepada reaksi emosional negatif hingga ketidak

berdasarkan sumber konfliknya (Greenhaus dan Beutell, 1985), yaitu konflik pekerjaan-

keluarga (konflik bersumber dari keluarga) dan konflik peran (konflik bersumber dari

pekerjaan). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti konflik peran saja.

5.1 Dimensi Konflik Peran

Kahn et al., (1964) menggunakan konsep konflik peran individu, inter-konflik

peran, konflik intesender, dan konflik intrasender. Gross et al., (1958) dalam Rizzo

et al., (1970) menggunakan konflik peran intra dan inter yang ditekankan pada

dugaan ketidak cocokan dan pada perasaan tidak cocok. Rizzo et al., (1970)

mengklasifikasi dimensi konflik peran sebagai berikut :

1. Person-role conflict antara peran khusus dan sistem nilai individu.

2. Intra-sender conflict. Hal itu terjadi jika salah satu pengirim peran memberikan

lebih dari satu peran kepada yang lain.

3. Role-overload yang mengambil sebanyak mungkin peran tanpa memperhatikan

kemampuan, waktu, dan sumber yang dibutuhkan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4. Inter-sender role conflict, yang muncul melalui penolakan pengharapan dari

peran, menentang kebijakan dan kebutuhan lainnya, dan ketidak cocokan

kriteria.

6. Stres Kerja

Menurut Lazarus dan Launier (1978) stres adalah situasi yang terjadi akibat

tuntutan lingkungan melebihi kemampuan yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan

dan dampaknya dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Stres kerja menurut Behr &

Newman (dalam Rice, 1999) kondisi dimana pekerjaan naik turun sehingga para pekerja

melakukan aktifitas yang sama. Interaksi dan kondisi kerja tersebut akan mempengaruhi

perubahan fungsi fisik dan psikologis dari seorang pekerja. Cooper (dalam Rice, 1999)

mengemukakan bahwa stres kerja adalah ketidakmampuan untuk memahami atau

menghadapi tekanan, dimana tingkat stres setiap individu berbeda-beda dan bereaksi

sesuai perubahan lingkungan atau keadaan. Sekarang ini, konsep dari stres meluas secara

kontroversial, dan dijelaskan melalui beberapa cara (Keinan, 1997) dalam Michael, Court

dan Petal (2009) :

1. Stres sebagai stimulasi stres merupakan stimulasi yang sangat kuat (pada waktu

yang tidak biasa) yang menggabungkan karakteristik kehilangan dan terancam.

2. Stres sebagai reaksi stres merupakan reaksi dari kejadian khusus

3. Stres sebagai relasi/hubungan defiisi ini merupakan gabungan dari definisi

sebelumnya. Istilah stres mengacu pada interaksi antara individu dengan lingkungan

Dalam penelitian stres, Kahn dan Byosiere (1992) dalam Michael et al., (2009)

melihat pengukuran konflik peran, ambiguitas peran, dan pekerjaan berlebih sebagai

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

faktor negatif yang berpengaruh pada karyawan secara fisik maupun psikologis. Dimensi

stres dikembangkan oleh Parker dan Decotiis (1983) yang terdiri dari dua komponen,

yaitu :

1. Stres waktu -

2. Gelisah

Mengelola stres kerja merupakan sesuatu yang harus ditekuni setiap saat dan hal

tersebut tidak hanya terjadi pada karyawan yang dibayar, akan tetapi juga pada relawan.

Relawan yang baik menghargai program, sebagai contoh menjadi relawan dalam jangka

waktu yang lama sebagai bagian dari pengelolaan stres kerja, akan tetapi sangat sedikit

organisasi atau pihak eksternal yang menghargai kerja baik dari relawan. Seringkali

relawan akan berhadapan dengan politik dan birokrasi serta tidak ada yang mengucapkan

terima kasih sehingga relawan akan menjadi mudah stres. Tanpa pemahaman yang jelas

maka tidak banyak keuntungan sebagai relawan menjadi terlupa sebagaimana mereka

terikat pada politik dan kepentingan individu. Mengelola stres kerja, baik itu di

lingkungan berbayar ataupun tidak menjadi kritis dalam seluruh manajemen stres.

Menjadi relawan dalam PNPM tidak hanya sekedar melakukan aturan dan

program yang diterapkan oleh PNPM, akan tetapi menghadapi masyarakat heterogen dan

rekan relawan lain dengan berbagai macam kepentingan, pengelolaan sumber daya waktu

dan kemampuan yang dimiliki relawan, serta keterikatan terhadap moral untuk membantu

sesama seringkali menjadikan beban pikiran bagi relawan yang pada akhirnya

mengakibatkan stres kerja.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

7. Komitmen affective

Komitmen organisasi relawan dapat disimpulkan dari tingkat hubungan seseorang

dengan organisasi, yaitu keinginan untuk mendedikasikan waktu dan usaha yang

signifikan kepada organisasi tanpa imbalan. Penelitian ini menempatkan motivasi

relawan sebagai prediktor yang mempengaruhi komitmen relawan terhadap organisasi

nirlaba. Farmer dan Fedor (2001) dalam Hyejin, Ross dan Reio (2013) melihat bahwa

kontribusi relawan meningkat berdasarkan empat kondisi: ketika permintaan dari peran

relawan konsisten dengan tingkat kontribusinya; ketika interaksi sosial dengan relawan

lain meningkat; ketika peran investasi terikat kuat dengan organisasi; dan ketika motivasi

relawan konsisten dengan fungsi organisasi. Kondisi-kondisi tersebut mendukung

pemikiran bahwa alasan mengapa orang menjadi relawan dalam organisasi bisa

dipengaruhi komitmen mereka terhadap organisasi.

Komitmen affective merupakan emosi individu atau ikatan psikologis untuk

mengidentifikasi, dan berpartisipasi dalam organisasi (Meyer dan Smith, 2000). Secara

ringkas, komitmen affective adalah tingkat dimana anggota organisasi ingin terlibat

dalam organisasi (Stephens, Dawley dan Stephens, 2004). Komitmen continuance

menggambarkan kebutuhan individu untuk bertahan dalam organisasi berdasarkan biaya

yang dirasa dari investasi mereka, dan biaya ketidakberlanjutan sebagai anggota

organisasi (Meyer dan Smith, 2000). Bagaimanapun, dasar komitmen continuance

diidentifikasi oleh Meyer dan Allen (1997) dalam Hyejin et al., (2013) adalah hal yang

lumrah pada pembiayaan ekonomi, bukan masalah bagi relawan ( Cuskelly dan Boag,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2001). Demikian juga Dawley, Stephens dan Stephens (2005) mendukung gagasan bahwa

komitmen continuance mungkin kurang memberikan manfaat dalam konteks relawan.

Meskipun pengorbanan pribadi relawan adalah faktor penting dalam konteks relawan, hal

tersebut dianggap Melyer dan Allen (1997) dalam Hyejin et al., (2013)secara khusus

terfokus pada sesuatu yang bersifat tradisional dan gaji karyawan. (Dawley et al., 2005).

Sehingga komitmen continuance dalam konteks relawan nirlaba dianggap sebagai poin

bagi penelitian mendatang.

Komitmen normative merefleksikan perasaan wajib atau keharusan seseorang

untuk tinggal dalam organisasi (Meyer dan Smith, 2000). Seseorang mungkin merasa

bahwa mereka harus tetap tinggal dalam organisasi karena mereka berpikir bahwa hal

tersebut secara moral adalah benar untuk terus berpartisipasi dalam organisasi yang sama

(Dordevic, 2004). Bagaimanapun, komitmen normative memiliki batasan dalam

hubungannya dengan variabel yang lain. Penelitian Meyer et al. (2002) dalam Hyejin et

al., (2013) dengan meta analisis mengidentifikasi hubungan antara tiga bentuk komitmen

dan variabel yang meliputi anteseden (sesuatu yang mendahului/membentuk tahap),

korelasi, dan konsekuensi. Mereka menemukan bahwa meskipun komitmen affective dan

komitmen continuance berhubungan dengan variabel demografi, perbedaan individu,

pengalaman kerja, dan alternatif sebagai anteseden, komitmen normative diidentifikasi

tidak memiliki sesuatu yang khusus sebagai anteseden. Sebagai tambahan, penelitian

relawan sebelumnya secara konsisten menemukan koefisien reliabel yang rendah pada

komitmen normative (Preston dan Brown, 2004).

Tiga model komponen komitmen organisasi ditunjukkan Meyer dan Allen (1997)

dalam Hyejin et al., (2013) yang menangkap budaya multidimensi dari komitmen

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

organisasi. Bagaimanapun, makin banyak penafsiran efektif tentang komitmen organisasi

untuk menyederhanakan komitmen affective. Penelitian Meyer dan Allen (1997) dalam

Hyejin et al., (2013) menekankan bahwa karyawan yang menunjukkan komitmen

affective kuat akan termotivasi untuk mendapatkan kinerja yang lebih tinggi dan

membuat kontribusi yang lebih berarti dibanding karyawan dengan komitmen normative

dan continuance. Lebih spesifik, komitmen affective menghadirkan ikatan emosi

seseorang pada organisasi dan tujuannya, menghasilkan persetujuan antara nilai individu

dan organisasi (Dordevic, 2004). Penelitian empiris Preston dan Brown (2004)

menghasilkan hubungan antara komitmen dan kinerja dari anggota dewan nirlaba yang

juga diilustrasikan bahwa komitmen affective memiliki hubungan yang kuat dengan

kinerja dewan. Penelitian ini juga hanya memasukkan komitmen affective sebagai

variabel komitmen yang paling penting dalam menguji hubungan antara motivasi

relawan, kepuasan kerja, dan komitmen organisasi.

8. Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan variabel sikap yang menjelaskan bagaimana seseorang

merasakan pekerjaannya dan menegaskan emosi positif yang dihasilkan dari penilaian

terhadap pengalaman kerja seseorang (Locke, 1976). Sementara Spector (1997)

menjabarkan bahwa kepuasan kerja merupakan perluasan dari yang disukai atau tidak

disukai seseorang dari pekerjaannya. Terdapat banyak aspek kepuasan kerja karyawan,

diantaranya adalah interaksi sosial, teman kerja, harga diri, karir, pekerjaan itu sendiri,

dan komunikasi. Karena relawan cenderung mengevaluasi pengalaman relatif hingga

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

motivasinya, pengalaman relawan mungkin menjadi tidak memuaskan ketika harapan

dalam aktifitas relawan tidak terpenuhi (Farrel, Johnston dan Twynam, 1998).

Review dari literatur menyebutkan bahwa terdapat penelitian secara luas pada

kepuasan kerja karyawan berbayar, namun kepuasan relawan belum banyak mendapat

perhatian dari peneliti (Wu, H., Suh, E., and Zhao, J., 2011). Gidron (1983) dalam Wu et

al., (2011) menjabarkan bahwa salah satu alasan yang diketahui mengenai kepuasan kerja

dari relawan adalah bahwa pekerjaan relawan lebih dikenal sebagai tindakan untuk

kepentingan umum murni / altruistik yaitu tindakan yang memberikan kepada

seseorang untuk memberi bukan menerima. Penelitian Gidon menemukan bahwa

keseluruhan kepuasan relawan dikaitkan pada dua fakta dari konten pekerjaan (pekerjaan

itu sendiri dan penghargaan) dan dua fakta dari konteks pekerjaan (kenyamanan dan

ketiadaan stres kerja).

B. Pengembangan Hipotesis

1. Konflik Peran dan Stres Kerja

Beberapa aspek dunia kerja dihubungkan dengan stres. Aspek dari dunia kerja itu

sendiri dapat menjadikan sangat stres, yang disebut sebagai kerja berlebih / overload

(DeFrank dan Ivancevich, 1998; Sparks dan Cooper, 1999; Taylor et al., 1997) dalam

Fairbrother dan Warn, (1997) dan peran berdasarkan faktor seperti kurangnya

kemampuan, ambiguitas peran, dan konflik peran (Burke, 1988; Nelson dan Burke, 2000)

dalam Fairbrother dan Warn, (1997). Dalam penelitian Iqbal et al., (2013) menyebutkan

bahwa konflik peran memberikan pengaruh positif terhadap stres kerja dan pengaruh

negatif terhadap kepuasan kerja.

Berdasarkan dasar uraian di atas, maka dihipotesiskan bahwa :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

H1 : Konflik Peran berpengaruh positif terhadap Stres Kerja

2. Stres Kerja dan Kepuasan Kerja

Stres sering dihubungkan dengan terganggunya fungsi individu di tempat kerja.

Pengaruh negatifnya adalah berkurangnya efisiensi, berkurangnya kapasitas kerja,

hilangnya inisiatif dan berkurangnya keinginan bekerja, meningkatnya kekolotan dalam

berpikir, kurangnya perhatian kepada organisasi dan rekan, dan berkurangnya tanggung

jawab (Greenberg dan Baron, 1995; Matteson dan Ivancevich, 1982) dalam Michael et

al., (2009). Banyak penelitian yang menyampaikan tentang hubungan menurunnya

kepuasan kerja akibat dari meningkatnya stres Sebagai contoh, stres dihubungkan dengan

hasil kedudukan yang penting dari kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan perilaku

penarikan kerja karyawan (Naumman, 1993; Sullivan dan Bhagat, 1992; Tett dan Meyer,

1993; Williams dan Hazer, 1986) dalam Michael et al., (2009). Tingkat kerja yang tinggi

dihubungkan dengan kepuasan kerja yang rendah (Landsbergis, 1988; Terry et al., 1993)

dalam Michael et al., (2009) dan job stressors memprediksi ketidak puasan kerja dan

kecenderungan untuk meninggalkan organisasi. (Cummins, 1990) dalam Michael et al.,

(2009). Berdasarkan uraian di atas, maka dihipotesiskan bahwa :

H2 : Stres Kerja berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja

3. Stres kerja dan Komitmen Organisasi

Dalam penelitian Michael et al., (2009) ditemukan bahwa stres berada dibelakang

perasaan komitmen emosional. Ketika tingkat stres meningkat, perasaan memiliki

menjadi menurun. Disebutkan juga bahwa stres tidak berpengaruh kepada komitmen

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

continuance. Hal tersebut didukung oleh penelitian lain yang dilakukan Khatibi et al.,

(2009) menyebutkan signifikansi dari hubungan negatif antara stres kerja dan komitmen

organisasi. Ketika stres kerja meningkat, maka komitmen organisasi menjadi turun, dan

komitmen continuance tidak berpengaruh secara signifikan. Berdasrkanuraian tersbut,

maka dihipotesiskan bahwa :

H3 : Stres Kerja berpengaruh negatif terhadap Komitmen Organisasi

4. Konflik Peran dan Kepuasan Kerja

Penelitian mengenai hubungan konflik peran terhadap kepuasan kerja telah

banyak dilakukan, beberapa diantaranya penelitian (Kahn, 1964; Rizzo et al., 1970;

Keller et al., 1975) yang menyebutkan bahwa peran stressors, utamanya konflik peran

dan ambiguitas memberi pengaruh negatif terhadap menurunnya kepuasan kerja. Dalam

penelitian Yousef (2002) disebutkan bahwa konflik kerja dan ambiguitas peran memiliki

pengaruh negatif terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Koustelios,

Theodorakis dan Goulimaris (2004) menjabarkan bahwa konflik peran dan ambiguitas

menyebabkan turunnya kepuasan dibanding pekerjaan itu sendiri dan supervisi sebagai

aspek pekerjaan. Dari uraian di atas, maka dihipotesiskan bahwa :

H4 : Konflik Peran berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja

5. Konflik Peran dan Komitmen Organisasi

Siapapun dapat beralasan bahwa seseorang yang merasakan konflik peran tinggi

sebagai sumber stres maka dia akan sedikit berkomitmen kepada organisasi. Seperti

argumen yang disebutkan dalam beberapa literatur. Sebagai contoh, Oliver dan Brief

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(1978) dalam Yousef (2002) melaporkan hubungan negatif antara konflik peran dan

ambiguitas peran terhadap komitmen organisasi. Penelitian Zahra (1985) dalam Yousef

(2002) yang menjabarkan bahwa konflik peran secara negatif berpegaruh terhadap

komitmen organisasi dalam penggunaan satu sampel dan dua sampel, sedangkan

ambiguitas peran secara negatif berhubungan dengan komitmen organisasi dalam dua

sampel. King dan Sethi (1997) dalam Yousef (2002) mengemukakan bahwa hubungan

negatif antara peran stressors (konflik peran dan ambiguitas peran) dengan komitmen

afektif, dan hubungan positif antara peran stressors dengan komitmen continuance.

Sedangkan penelitian Judeh (2011) menyebutkan peran konflik peran dan ambiguias

peran sebagai mediasi hubungan antara sosialisasi dengan komtimen organisaional. Dari

uraian di atas maka dapat dihipotesiskan bahwa :

H5 : Konflik peran berpengaruh negatif terhadap komitmen afektif

6. Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi

Hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi telah mendapat

perhatian yang sangat besar. Literatur organisasi secara empiris mendukung hubungan

positif antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Lok dan Crawford, 2001).

Penelitian mengenai pekerja relawan juga mengindikasikan pentingnya kepuasan sebagai

faktor yang berpengaruh dalam menjelaskan perilaku (Galindo-Khun dan Guzley, 2001;

Omoto dan Snyder, 1995). Secara ringkas, Galindo-Khun dan Guzley, (2001)

menemukan indikasi bahwa integrasi dan partisipasi kelompok secara signifikan

berhubungan dengan kepuasan relawan dan sering memprediksikan maksud untuk tinggal

dalam organisasi. Mempertimbangkan bahwa komitmen organisasi sebagai anteseden

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang kuat terhadap pergantian relawan (Cuskelly dan Boag, 2001), maka dapat

diimplikasikan bahwa tingkat kepuasan kerja akan konsisten pada tingkat komitmen

organisasi dari waktu ke waktu. Penelitian Meyer dan Allen (1997) dalam Hyejin et al.,

(2013) menekankan bahwa karyawan yang menunjukkan komitmen affective kuat akan

termotivasi untuk mendapatkan kinerja yang lebih tinggi dan membuat kontribusi yang

lebih berarti dibanding karyawan dengan komitmen normative dan continuance. Karena

itu, penelitian ini memberikan hipotesis bahwa :

H6 : Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen afektif

7. Mediasi Stres Kerja pada Pengaruh Konflik Peran dengan Kepuasan Kerja

Dalam penelitian Loure et al., (2009) Iqbal et al., (2013) menyimpulkan bahwa

stres yang dirasa memediasai hubungan antara gangguan pekerjaan rumah dengan

kepuasan kerja. Hubungan konflik peran dengan stres kerja yang dimediasi ketidak

amanan kerja adalah signifikan (Safaria et al., 2011) dalam Iqbal et al., (2013). Yousef

(2000) meneliti bahwa peran stressors tidak berpengaruh kepada kepuasan kerja secara

bersama-sama, tapi dapat berpengaruh pada kepuasan kerja secara terpisah. Penelitian

Wu dan Norman (2006) dalam Judeh (2011) menyebutkan hubungan negatif dari peran

stressors dan kepuasan kerja. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa konflik peran

memiliki pengaruh negatif yang kuat terhadap kepuasan kerja (Feldman, 1976; Bhagat et

al., 1985; Netemeyer et al., 1990) dalam Iqbal (2013). Berdasarkan uraian di atas, maka

dihipotesiskan :

H7 : Stres kerja memediasi hubungan antara konflik Peran terhadap Kepuasan

kerja

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

8. Kepuasan Kerja, Stres Kerja dan Komitmen Organisasi

Dalam penelitian Iqbal et al., (2013) menyebutkan bahwa stres kerja memediasi

pengaruh konflik peran terhadap kepuasan kerja. Sedangkan penelitian Elangovan (2001)

menemukan bahwa hubungan kausal yang kuat antara stres dan kepuasan kerja (semakin

tinggi stres mengakibatkan rendahnya kepuasan) dan antara kepuasan dan komitmen

organisasi (menurunnya kepuasan membuat turunnya komitmen) dan hubungan timbal

balik antara komitmen dengan keinginan untuk keluar (komitmen yang rendah

menjadikan keinginan keluar semakin besar, sebagai timbal baliknya, menjadikan

rendahnya komitmen). Berdasarkan uraian di atas, maka dihipotesiskan bahwa :

H8 : Kepuasan kerja memediasi hubungan antara stres kerja terhadap

Komitmen afektif

9. Mediasi Kepuasan Kerja pada Pengaruh Konflik Peran dengan Komitmen

Organisasi

Penelitian yang dilakukan Yousef (2002) menyebutkan peran kepuasan kerja sebagai

mediator dari pengaruh konflik peran dan ambiguitas terhadap komitmen organisasi,

bahwa peran stressors yaitu konflik peran dan ambiguitas peran secara langsung dan

negatif mempengaruhi kepuasan kerja. Ditemukan juga bahwa kepuasan kerja memediasi

peran stressors kepada masalah komitmen organisasi, kecuali komitmen continuance.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dihipotesiskan bahwa :

H9 : Kepuasan kerja memediasi hubungan antara konflik peran dengan

komitmen afektif

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Kerangka Pemikiran Teoritis

Dalam penelitian ini akan diteliti mengenai analisa mediasi kepuasan kerja dan stres kerja

pada pengaruh konflik peran terhadap komitmen organisasi. Penelitian ini merupakan

penyesuaian terhadap teori dinamika peran dari Kahn et al. (1964) dalam Rizzo et al., (1970)

akan mengalami stres, depresi, menjadi tidak puas dan bekerja kurang efektif dibanding jika

pengharapan tidak menyebabkan konflik, sehingga dapat dilihat bahwa konflik peran dapat

Banyak penelitian organisasional mengidentifikasi variabel affective yang terkait dengan

komitmen organisasi, akan tetapi kekurangan hubungan sebab akibat spesifik dengan

variabel-variabel yang menjelaskan proses pengembangan komitmen organisasi (Karrasch,

2003). Sebagai contoh, ketidak jelasan hubungan antara identitas organisasi dan komitmen

organisasi sebagai prediktor (Dorsch et al., 2002) dalam Taylor, Doherty dan McGraw

(2008) apakah langsung atau dimediasi oleh variabel yang lain. Mediator dipertimbangkan

sebagai variabel intervening melalui variabel independen yang dapat mempengaruhi variabel

dependen (Baron dan Kenny, 1986). Berbagai penelitian (Turnley dan Feldman, 2000;

Yousef, 2002) menemukan bahwa kepuasan kerja memainkan peran mediasi dalam

hubungan antara jumlah pekerjaan terkait variabel sikap. Nazilah et al., (2012) juga

menyebutkan kurangnya penelitian variabel komitmen dalam organisasi relawan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat model spesifik pola hubungan kerangka teoritis

yang menggambarkan pengaruh-pengaruh antar variabel dengan model skema sebagai

berikut :

Gambar II.1
Kerangka Pemikiran

STRES
KERJA

KOMITME
N
AFEKTIF

KONFLIK KEPUASAN
PERAN KERJA

Sumber : Kahn et al., (1964); Elangovan (2009)

Keterangan :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Variabel Bebas : Konflik Peran (KP)

Variabel Terikat : Komitmen Organisasi (KO), Kepuasan Kerja (KK), Stres Kerja (SK)

Variabel Mediasi : Kepuasan Kerja (KK), Stres Kerja (SK)

HIPOTESIS PENELITIAN :

H1 - Konflik Peran berpengaruh positif terhadap Stres Kerja

H2 - Stres Kerja berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja

H3 - Stres Kerja berpengaruh negatif terhadap Komitmen Organisasi

H4 - Konflik Peran berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja

H5 - Konflik peran berpengaruh negatif terhadap komitmen afektif

H6 - Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen afektif

H7 - Stres kerja memediasi hubungan antara konflik Peran terhadap Kepuasan kerja

H8 - Kepuasan kerja memediasi hubungan antara stres kerja terhadap Komitmen afektif

H9 - Kepuasan kerja memediasi hubungan antara konflik peran dengan komitmen afektif

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Anda mungkin juga menyukai