Anda di halaman 1dari 14

TUGAS 11

“Teori Atribusi Dalam Krisis”

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Kasus)

Dosen Pengampuh: Suryani Musi, S.sos, M.I.Kom.

Oleh:

Nurul Annisa

507001200012

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN AKADEMIK

2023
TEORI ATRIBUSI DALAM KRISIS
Teori Atribusi (attribution theory) yang dipelopori oleh Bernard Weiner dan Fritz Heider
ini membahas tentang bagaimana individu menarik kesimpulan tentang penyebab dari suatu
perilaku, baik itu perilaku dirinya maupun perilaku seseorang (termasuk organisasi) lainnya
(Kriyantono, 2014). Teori atribusi ini juga kerap kali mempengaruhi komunikasi yang dilakukan
oleh komunikator dengan komunikannya. Sehingga, komunikasi yang dihasilkan komunikator
dengan komunikan tidaklah efektif, disebabkan adanya atribusi yang membuat salah satu dari
komunikator dan komunikan melakukan kesalahan dalam menginterpretasikan pesan-pesan yang
masuk.1
Heath dan McDermott (dalam Kriyantono, 2014) mengatakan bahwa teori atribusi
menurut Weiner dan Heider dapat dideskripsikan dalam beberapa asumsi, yaitu:
1. Individu cenderung ingin mengetahui penyebab yang mereka lihat.
2. Individu menggunakan proses sistematik dalam menjelaskan perilaku.
3. Sekali atribut dibuat, atribut itu mempengaruhi perasaan dan perilaku berikutnya.
4. Individu memiliki alasan untuk membangun impresinya terhadap orang lain.
Impresi yang dihasilkan ini muncul melalui 3 tahapan, yaitu mengamati perilaku,
menentukan apakah perilaku tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak, dan mengategorikan
perilaku tersebut sebagai perilaku yang didorong oleh motivasi internal atau eksternal
(Kriyantoto, 2014).2
Dalam perkembangannya, Teori Atribusi tidak lagi hanya digunakan untuk membahas
fenomena komunkasi interpersonal saja. Tetapi, Teori Atribusi dewasa ini, juga dapat digunakan
untuk membahas fenomena-fenomena yang lainnya, seperti perilaku organisasi. Oleh karena itu,
tak heran apabila Teori Atribusi dalam makalah kali ini lebih mengarah kepada teori atribusi
dalam organisasi.

1
Heider, Fritz, 2010, “Teori Atribusi Merupakan Teori yang Menjelaskan Tentang Perilaku Seseorang”,
http://www.docstoc.com/docs/57790860/Teoriatribusi-merupakan-teori yang-menjelaskan-tentang-
perilakuseseorang.

2
Julius, P., & Nagel, F. (2018). Studi Eksploratori Pola Atribusi Keberhasilan Dan Kegagalan Bisnis : Sebuah
Persepsi Dari Pengusaha Kecil Dan Mikro Pribumi Dan Tionghoa Di Surabaya. Proceeding Seminar Nasional Dan
Call for Papers SANCALL, 978–979.
Teori ini dapat digunakan untuk menganalisa situasi krisis pada suatu organisasi karena
dapat melihat apakah dengan pemberian atribusi akan berdampak pada situasi krisis yang sedang
dialami oleh suatu organisasi tersebut. Teori Atribusi menjelaskan bahwa stakeholder cenderung
membuat atribusi tentang penyebab krisis, siapa yang mesti bertanggung jawab terhadap situasi
krisis, apakah organisasi terlibat, dan situasi sekitar krisis (Coombs, 2010 dalam Kriyanoto,
2014).3
Teori Atribusi beranggapan bahwa setiap individu memiliki karakteristik emosional.
Tetapi, emosi inti yang dimiliki oleh seorang individu adalah kemarahan (anger) dan simpati
(sympathy) (Kriyantono, 2014). Atribusi dan rasa emosional pada seorang individu mempunyai
keterkaitan, dimana atribusi dan rasa emosional itulah yang dapat mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan tertentu dalam merespons situasi krisis. Weiner (dalam Kriyantono, 2014)
menjelaskan bahwa teori atribusi ini beranggapan apabila respons (aksi atau tindakan) seseorang
akan cenderung negatif jika organisasi diatribusikan sebagai pihak yang mesti bertanggung
jawab atas terjadinya krisis dan memicu kemarahan publik. Sebaliknya, apabila organisasi
diatribusikan sebagai pihak yang bebas dari tanggung jawab dan memicu simpati publik, respons
yang dihasilkan akan cenderung positif.
Weiner (dalam Kriyantono, 2014) menjelaskan bahwa emosi pada awalnya terbentuk
melalui proses menginterpretasikan situasi atau peristiwa yang sedang terjadi. Terdapat dua jenis
emosi yang dapat dihasilkan dari proses interpretasi. Pertama yaitu “emosi atribusi independen”.
Emosi atribusi independen dihasilkan dari proses interpretasi awal dan tidak dipengaruhi oleh
situasi atau peristiwa yang sedang terjadi. Individu cenderung terdorong oleh keinginannya untuk
mencari tahu situasi atau peristiwa apa yang sedang terjadi. Jenis emosi yang selanjutnya adalah
“emosi atribusi dependen”. Proses interpretasi pada emosi jenis ini cenderung untuk
menghasilkan informasi yang negatif, tidak terduga, dan penting. Sehingga, atribusi pada emosi
jenis ini mengarah kepada penyebab situasi atau peristiwa, dan mendorong munculya emosi
afektif. Bentuk umum dari emosi atribusi dependen adalah kemarahan (anger) dan simpaty

3
Hewett, R., Shantz, A., Mundy, J., & Alfes, K. (2018). Attribution Theories in Human Resource Management
Research: a Review and Research Agenda. International Journal of Human Resource Management, 29(1), 87–126.
https://doi.org/10.1080/09585192.2017.1380062
(sympathy). Kedua jenis emosi tersebut (emosi atribusi independen dan emosi atribusi dependen)
biasanya terjadi secara bersamaan.4
Proses komunikasi yang terjadi antara komunikator dengan komunikan sangat ditentukan
oleh interpretasi masing-masing pihak terhadap perilaku dirinya sendiri dan lawan bicaranya,
yang dalam hal ini adalah komunikator dan komunikan. Dalam teori atribusi, proses
menginterpretasikan ini disebut sebagai pemberian atribusi atau sebuah tanda terhadap perilaku
dirinya dan lawan bicaranya. Kriyantono (2014) mengatakan bahwa terdapat dua jenis atribusi
dalam Teori Atribusi, yaitu:
1. Atribusi Internal (Atribusi Disposisi)
Atribusi ini terjadi jika seseorang menginterpretasi perilaku orang lain disebabkan oleh
sesuatu dari diri orang lain itu, seperti kepribadiannya, sikapnya, atau latar belakang
(pendidikan, budaya, atau kebiasaan di masa lalu).
2. Atribusi Eksternal (Atribusi Situasi)
Atribusi ini terjadi ketika seseorang menginterpretasi perilaku orang lain disebabkan
situasi di luar diri orang lain itu.
Sehingga dapat dikatakan bahwa, atribusi bukanlah merupakan proses yang tunggal.
Proses atribusi yang terjadi berdasarkan beberapa pertimbangan-pertimbangan tertentu terhadap
orang tersebut, yang dihasilkan dari kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelumnya terhadap
orang tersebut.5
Harrold Kelley (dikutip di McDermott, 2009; dalam Kriyantono, 2014) dan juga Robbins
(2001, dalam Santi 2011) menyebutkan bahwa terdapat tiga faktor yang memengaruhi seseorang
untuk memberikan atribusi terhadap orang lain. Faktor-faktor tersebut ialah:
1. Kekhususan (Kesendirian atau Distinctiveness)
Kekhususan artinya seseorang akan mempersepsikan perilaku individu lain secara
berbedabeda dalam situasi yang berlainan. Apabila perilaku seseorang dianggap suatu hal

4
Martinko, M. J., & Mackey, J. D. (2019). Attribution Theory: An Introduction to The Special Issue. Journal of
Organizational Behavior, 40(5), 523–527. https://doi.org/10.1002/job.2397

5
Pasaribu, E. M., & Wijaya, S. Y. (2019). Implementasi Teori Atribusi untuk Menilai Perilaku Kecurangan
Akuntansi. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 4(1), 41. https://doi.org/10.35590/jeb.v4i1.735
yang tidak biasa, maka individu lain yang bertindak sebagai pengamat akan memberikan
atribusi eksternal terhadap perilaku tersebut dan sebaliknya.
2. Konsensus
Konsensus artinya jika semua orang mempunyai kesamaan pandangan dalam merespon
perilaku seseorang jika dalam situasi yang sama. Apabila konsensusnya tinggi, maka
termasuk atribusi eksternal. Sebaliknya jika konsensusnya rendah, termasuk atribusi internal.
3. Konsistensi
Konsistensi yaitu jika seseorang menilai perilaku-perilaku orang lain dengan respon sama
dari waktu ke waktu. Semakin konsisten perilaku itu, orang akan menghubungkan hal
tersebut dengan sebab-sebab internal, dan sebaliknya.
Dari penjabaran di atas, dapat diasumsikan bahwa teori atribusi memiliki pengaruh
terhadap situasi atau kondisi krisis bagi sebuah organisasi. Faktor-faktor pada Teori Atribusi
dapat menjadikan citra dan reputasi perusahaan semakin turun dan buruk di mata publik, atau
bahkan dapat meningkatkan citra dan reputasi perusahaan tersebut dimata publiknya. Tetapi, hal-
hal tersebut juga bergantung pada bagaimana publik menanggapi krisis yang terjadi di sebuah
organisasi. Weiner (1995, dalam Kriyantono, 2014: 172) berpendapat bahwa “Teori Atribusi
meyakini adanya keterkaitan antara atribusi seseorang dengan respons yang bersifat menghukum
atau punitive respons”. Maka dari itu, tingkatan level pada faktor internal dan eksternal sangat
mempengaruhi citra dan reputasi sebuah organisasi.6
Teori Atribusi dalam Praktik Public Relations
Komunikasi tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusisa, begitupula dalam
organisasi atau perusahaan. Komunikasi sangat dibutuhkan dalam organisasi, terutama saat
sedang mengalami situasi kriris. Komunikasi yang dimaksud disini bukanlah hanya sekedar
komunikasi antara komunikator dengan komunikan saja, melainkan komunikasi dua arah yang
bersifat terbuka, jujur, dan tidak ada upaya untuk menutup-nutupi fakta adalah kunci yang dapat
mendorong terbentuknya atribusi publik yang positif (Kriyantono, 2014). Selain itu, seorang

6
Weiner, B. (2008). Reflections on the History of Attribution Theory and Research: People, Personalities,
Publications, Problems. Social Psychology, 39(3), 151– 156. https://doi.org/10.1027/1864-9335.39.3.151
Public Relations dalam sebuah organisasi juga harus mempunyai informasi dan wawasan yang
luas (well-informed) sehingga publik juga akan mendapatkan informasi yang cukup.7
Terjadinya krisis pada suatu organisasi pasti menyebabkan terjadinya krisis informasi.
Kriyantono (2014) menjelaskan bahwa krisis informasi tidak hanya disebabkan oleh kurangnya
informasi mengenai organisasi yang diterima oleh publik, tetapi juga disebabkan karena
banyaknya informasi yang beredar (overload) dari saluran informal, sehingga sulit membedakan
informasi yang benar dan tidak, serta munculnya rumor atau grapevine. Adanya situasi seperti
ini, praktisi Public Relations diharuskan untuk mengoptimalkan saluran komunikasi formal atau
saluran resmi dari organisasi. Apabila informasi yang tersebar didominasi oleh informasi
informal, maka akan mengakibatkan (Kriyantono, 2014):
1. Organisasi tidak sehat, karena sistem komunikasi organisasi formal tidak berjalan.
2. Informasi yang berkembang bisa dianggap sebagai suatu “kebenaran”, apalagi bila dijadikan
sumber berita oleh media.
3. Menjadi informasi bagi publik dalam menginterpretasi situasi. Akibatnya, atribusi yang
muncul mungkin tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya, seandainya sumber
informasinya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu, praktisi Public Relations haruslah memiliki dan menyediakan informasi
yang benar, sehingga atribusi yang dibuat oleh publik akan sesuai dengan kenyataan. Selain itu,
praktisi Public Relations juga harus memonitor dan mengontrol bagaimana atribusi yang berada
dan berkembang di publiknya. Jenis-jenis atribusi seharusnya juga menjadi perhatian oleh
praktisi Public Relations, terutama dalam kondisi dan situasi krisis pada sebuah organisasi.
“Ancaman terbesar datang dari persepsi publik tentang siapa pihak yang mesti bertanggung
jawab mengatasi dampak krisis” (Coombs, 2007a: 136; dalam Kriyantono, 2014: 173).8

2.2 Situational Crisis Communication Theory (SCCT)

7
Hestanto. 2007. Teori Atribusi Menurut Beberapa Cendekiawan. www.hestanto.web.id/teori atribusi/amp/. Diakses
pada tanggal 4 Januari 2019 Pukul 23.00

8
Julius, P., & Nagel, F. (2013). Studi Eksploratori Pola Atribusi Keberhasilan dan Kegagalan Bisnis: Sebuah
Persepsi Dari Pengusaha Kecil dan Mikro Pribumi dan Tionghoa di Surabaya.
The Situational Crisis Communication Theory (SCCT) merupakan sebuah teori yang
digagas oleh Tymothy W. Coombs dan Holladay S.J. (Coombs, 2007a, 2007b; Coombs &
Holladay, 2002; Kriyantono, 2014). Teori SCC ini dapat digunakan untuk menjelaskan reaksi
publik terhadap situasi krisis dan reputasi yang terjadi pada suatu organisasi. Selain itu, teori
SCC ini juga dapat digunakan untuk memahami bagaimana respon stakeholder strategi krisis
(crisis response) yang dibuat oleh praktisi Public Relations. Kriyantono (2014) mengatakan
bahwa respon yang didapat oleh stakeholder akan digunakan sebagai bahan evaluasi stakeholder
terhadap organisasi, sehingga para stakeholder dapat memutuskan apakah mereka tetap
berinteraksi dengan organisasi tersebut di masa yang akan datang atau tidak. Dengan demikian,
SCCT dapat mengantisipasi reaksi publik terhadap krisis yang dapat mengancam reputasi
organisasi.9
Teori SCC ini beranggapan bahwa pada dasarnya, publik mempunyai atribusi-atribusi
tertentu mengenai krisis, dan hal tersebut menjadi penentu bagi reputasi sebuah organisasi
(Kriyantono, 2014). Selain itu, reputasi organisasi juga sangat dipengaruhi oleh bentuk-bentuk
pilihan pertanggung jawaban respon krisis (Coombs & Holladay, 2002; dalam Wulandari, 2011).
Atribusi pada dasarnya merupakan persepsi publik terhadap organisasi. Persepsi yang dihasilkan
tidak muncul begitu saja, tetapi terdapat beberapa hal yang mempengaruhi munculnya sebuah
persepsi terhadap organisasi. Persepsi tersebut juga digunakan sebagai evaluasi terhadap reputasi
organisasi, yang selanjutnya persepsi ini akan menjadi dasar pertimbangan-pertimbangan publik
untuk memutuskan apakah mereka tetap akan berhubungan atau berinteraksi dengan organisasi
di masa yang akan datang atau tidak.10
Teori ini berusaha untuk menjelaskan beberapa aspek dari krisis yang dapat
mempengaruhi atribusi yang diberikan oleh publik terhadap organisasi. Kriyantono (2014)
mengatakan bahwa titik berat teori ini adalah upaya untuk melindungi publik dan stakeholder
dari kerugian dan kerusakan daripada melindungi reputasi organisasi. Teori ini juga menekankan
bahwa menjamin keseamatan publik dan stakeholder adalah prioritas utama dalam menghadapi
situasi krisis (Kriyantono, 2014). Dengan menjadikan publik dan stakeholder prioritas organisasi

9
Robbins. 2017. "Harapan Dan Teori Atribusi Dalam Kualitas Pelayanan." Meraja Journal 89-96 .

10
Intan Leliana1 , Susilowati2 , Dhefine Armelsa3 , Chepy Nurdiansyah4 , Asriyani Sagiyanto5, Respon Krisis PT
Garuda Indonesia Pada Kasus Postingan Menu Rius Verandes, Jurnal Humaniora, Vol 20 No. 1 Maret 2020
tersebut, maka untuk kedepannya organisasi tersebut dapat dengan mudah menaikkan citra dan
reputasinya kembali karena adanya dampak positif dari menjadikan publik dan stakeholder
sebagai proritas mereka. Coombs (2007b: 165; dalam Kriyantono, 2014: 188) menyatakan:
“Akan menjadi sesuatu yang tidak bertanggung jawab jika mengawali strategi
komunikasi dalam krisis dengan fokus pada reputasi organisasi. Agar etis, manajer krisis harus
memulai upaya-upayanya dengan menggunakan komunikasi yang ditujukan untuk
memperhatikan kepentingan fisik dan psikologis korban. Baru setelah itu manajer krisis dapat
memfokuskan perhatiannya pada aset-aset reputasional organisasi”.11

The Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dapat membantu praktisi Public
Relations dalam mengukur situasi krisis untuk menguji tingkatan ancaman (sejumlah kerusakan
yang ditimbulkan krisis terhadap reputasi jika mengambil tindakan menyelesaikan krisis dengan
baik) terhadap reputasi organisasi (Kriyantono, 2014). Dalam teori ini, konsep utama yang
mendasarinya adalah “reputasi”, dimana pada teori SCC ini berfokus pada upaya menyelamatkan
reputasi organisasi akibat terpaan krisis. Reputasi dapat dikatakan sebagai evaluasi publik
mengenai kualitas organisasi dalam memenuhi harapan publiknya, seperti yang dikatakan oleh
Coombs (2007b: 164; dalam Kriyantono, 2014; 188) bahwa “aset yang bersifat dan bernilai
intangible atau tak terlihat secara fisik”.
Reputasi sebuah organisasi sangat bergantung pada informasi yang tersebar dan diterima
dikalangan publik, sehingga reputasi ini dapat dikatakan memiliki sifat yang evaluatif
(Kriyantono, 2014). Kebanyakan dari informasi yang tersebar dan diterima dikalangan publik
berasal dari berita di media massa, word of mouth (WOM), atau bahkan di jejaring sosial media.
Sehingga, publik dapat membanding-bandingkan berbagai informasi yang telah didapat dan
diterima. Publik berusaha membandingkan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya
adalah untuk mengetahui apakah organisasi tersebut telah memenuhi harapan publik atau tidak.
“Kegagalan organisasi dalam memenuhi harapan publik akan memunculkan kesenjangan
pengharapan (expectation gap)” (Coombs, 2007b; dalam Kriyantono, 2014: 189).12
11
Claeys, A., Cauberghe, V., & Vyncke, P. (2010). Restoring Reputation in Times of Crisis: An20 Experimental
Study of The Situational Crisis Communication Theory and The Moderating Effects of Locus of Control. Public
Relation Review. Retrieved from https://doi.org/10.1016/j.pubrev.2010.05.004

12
Fearn-banks. (2011). Crisis Communications: A Casebook Approach, Fourth Edition. Kennardy.(2017).
Komunikasi Krisis PT Kalbe Farma Dalam Menangani Kasus Kesalahan Pelabelan Obat Buvanest Spinal. Bachelor
Dalam teori SCC, dapat diartikan bahwa reputasi berkorelasi dengan legitimasi. Metzler
(2001, dikutip di Veil, Liu, Erickson, & Sellnow, 2005: 19; dalam Kriyantono, 2014: 189) dan
Culbertson, dkk. (1993: 18; dalam Kriyantono, 2014: 189) menyatakan bahwa “legitimasi adalah
hak suatu organisasi untuk eksis (organization’s right to exist)”. Legitimasi didapatkan atau
diperoleh berdasarkan persetujuan komunitas di sekitar organisasi (Habermas, 1975, dikutip di
Culbertson, dkk., 1993; dalam Kriyantono, 2014) dan dibangun berdasarkan dua aspek, yakni
kompetensi yang dimiliki organisasi (organization’s competence) dan karakter organisasi
(organization’s character) (Hearit, K.M., 1995; Veil, dkk., 2005; dalam Kriyantono, 2014).
Karakter organisasi dapat dicapai apabila publik mempunyai persepsi bahwa organisasi tersebut
memiliki program yang menunjukkan kepedulian terhadap komunitas sosialnya (Veil, dkk.,
2005; Zyglidopoulus, 1999; dalam Kriyantono, 2014). Asumsi karakter ini mengacu pada
pendapat Hearit (1995: 3, dalam Kriyantono, 2014: 189), yang dapat disebut “commuunity
requirement”. Dengan kata lain, agar suatu organisasi memiliki legitimasi, organisasi atau
perusahaan tersebut harus melakukan aktivitas yang dinilai dapat memenuhi standar kualitas
yang telah dikonstruksi secara sosial dan membuktikan bahwa kehadirannya dapat memberikan
manfaat bagi stakeholder-nya.
Oleh karena itu, apabila suatu organisasi ingin mendapatkan reputasi dari publiknya,
aktivitas-aktivitasnya juga harus diarahkan untuk memberi manfaat bagi komunitas sosialnya,
selain juga berupaya memperoleh keuntungan finansial. Dalam hal ini, suatu organisasi dapat
melakukan sebuah program yang biasa disebut dengan tanggung jawab sosial korporasi atau
corporate scial responsibility (CSR). Karena, kompetensi sebuah organisasi berasal dari publik
yang memiliki interpretasi tertentu terhadap organisasi yang menjadi perhatiannya, sehingga agar
mendapatkan interpretasi yang baik dari publiknya, suatu organisasi juga harus harus berupaya
utuk memuaskan publiknya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya level
karakter organisasi ditetukan oleh tinggi rendahnya perhatian organisasi terhadap publiknya
(Kriyantono, 2014).13
Teori Situational Crisis Communication ini menjelaskan bahwa ada tiga variabel dalam
teorinya. Variabel-variabel ini dapat membentuk reputasi positif maupun negatif bagi organisasi.
Thesis. Universitas Multimeldia Nusantara.
13
Ki, E., & Nekmat, E. (2014). Situational crisis communication and interactivity: Usage and effectiveness of
Facebook for crisis management by Fortune 500 companies. Computersin Human Behavior, 140–147.
Pada dasarnya, variabel ini digunakan praktisi Public Relations untuk membantu mereka dalam
mengetahui dan menentukan situasi aktual dalam suatu krisis yang menjadi dasar penentuan
strategi respons untuk mengatasi krisis (Kriyantono, 2014). Ketiga variabel tersebut, yaitu
(Coombs, 2007b; dalam Kriyantono, 2014):
1. Penanggung jawab krisis pertama (initial crisis responsibility)
Tingkat tinggi rendahnya atribusi publik terhadap tanggung jawab organisasi atau
seberapa besar kepercayaan publik bahwa krisis yang terjadi merupakan murni karena
kesalahan perilaku yang dilakukan oleh organisasi. Dalam hal ini termasuk persepsi
mengenai siapa yang seharusnya bertanggung jawab dalam krisis.
2. Sejarah krisis (crisis history)
Variabel ini melihat apakah organisasi tersebut mempunyai pengalaman situasi krisis
yang sama di masa lalu atau tidak.
3. Reputasi organisasi sebelumnya (prior relational reputation)
Variabel ini melihat persepsi publik tentang bagaimana perlakuan organisasi terhadap
korban yang dalam hal ini adalah publik pada situasi sebelumnya. Menurut teori ini, apabila
sebuah organisasi tidak memperlakukan publik dengan baik pada beberapa situasi
sebelumnya, dapat dipastikan bahwa organisasi itu memiliki prior relational reputation yang
buruk.
Atribusi publik mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap krisis yang terjadi pasa
orgaisasi sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga. Tiga kelompok tersebut juga dapat
disebut sebagai klaster krisis (crisis-cluster), yaitu:
1. Klaster korban (victim cluster)
Suatu organisasi dikategorikan ke dalam klaster atau kelompok korban jika publik
meyakini bahwa organisasi bukanlah penyebab dari adanya krisis. Dengan kata lain,
organisasi dianggap dan dipercaya sebagai korban dari krisis.
2. Klaster kecelakaan atau tanpa kesengajan (accidental cluster)
Klaster ini muncul ketika publik menyakini bahwa peristiwa yang terjadi bukanlah
kesengajaan yang dilakukan oleh organisasi. Dengan kata lain, organisasi tidak mempunyai
maksud sengaja yang menyebabkan adanya situasi krisis.
3. Klaster kesengajaan (intentional cluster)
Terjadi pabila suatu organisasi diatribusikan sebagai penyebab dari adaya situasi krisis.
Artinya, krisis yang dihasilkan merupakan murni kesalahan organisasi.14
Coombs (2007a; dalam Kriyantono, 2014) menyimpulkan bahwa atribusi tentang
penanggung jawan situasi krisis berapa pada level sangat rendah atau sangat lemah apabila
organisasi tersebut masuk ke dalam klaster korban. Pada klaster kecelakaan atau tanpa
kesengajaan, tingkat atribusi yang dihasilkan berada pada tingkat yang minimal atau rendah.
Sedangkan apabila suatu organisasi digolongkan ke dalam klaster kesengajaan, akan mempunyai
tingkat atribusi yang sangat kuat atau sangat tinggi mengenai penanggung jawab krisis.
Teori SCC juga dapat disederhanakan dalam suatu model. Coombs (2007a, 2007b; dalam
Kriyantono, 2014) menjelaskan bahwa model dari teori SCC dapat membantu praktisi Public
Relations dalam mengevaluasi ancaman terhadap reputasi organisasi melalui dua langkah.
Pertama, menentukan bagaimana level dari variabel penanggung jawab krisis (crisis
responsibility). Artinya, apakah organisasi tersebut dipersepsikan atau diatribusikan sebagai
pihak yang bertanggung jawab atas timbulnya situasi krisis atau tidak. Langkah ini akan
mengategorisasikan organisasi terhadap ketiga klaster (crisis cluster/types of cluster). Klaster
tersebut akan mencerminkan atribusi publik tentang siapa pihak yang menyebabkan timbulnya
atau penyebab adanya situasi krisis. Selanjutnya, pihak yang sudah ditentukan haruslah
bertanggung jawab terhadap situasi krisis yang terjajdi. Pada langkah kedua, teori SCC
mengadaptasi teori yang dikemukakan oleh Harrold Kelley tentang faktor-faktor yang
menentukan atribusi seseorang terhadap orang lain, yaitu konsistensi dan distinctiveness. Hal ini
semakin membuktikan keterkaitan teori SCC dengan teori atribusi. Langkah kedua yang harus
dilakukan oleh praktisi Public Relations adalah mengukur ancaman reputasi yang disebabkan
oleh sejarah krisis (crisis history) dan reputasi sebelumnya (prior relational reputation).15

14
Kriyantono, R. (2015). Public Relations, Issue & Crisis Management: Pendekatan Critical Public Relations
Etnografi Kritis & Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Meda Group.
15
Purworini, D., Kuswarno, E., Hadisiwi, P., & Rakhmat, A. (2017). Crisis Communication in An Internal Conflict:
A Social Constructionist Perspective. Pertanika Journals Social Sciences& Humanities
DAFTAR PUSTAKA
Heider, Fritz, 2010, “Teori Atribusi Merupakan Teori yang Menjelaskan Tentang Perilaku
Seseorang”, http://www.docstoc.com/docs/57790860/Teoriatribusi-merupakan-teori
yang-menjelaskan-tentang-perilakuseseorang.
Kompasiana.http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-atribusi-bernerweiner-dan
implementasinya-dalam-pembelajaran/ diakses tanggal 17 Desember 2012
Julius, P., & Nagel, F. (2018). Studi Eksploratori Pola Atribusi Keberhasilan Dan Kegagalan
Bisnis : Sebuah Persepsi Dari Pengusaha Kecil Dan Mikro Pribumi Dan Tionghoa Di
Surabaya. Proceeding Seminar Nasional Dan Call for Papers SANCALL, 978–979.
Hewett, R., Shantz, A., Mundy, J., & Alfes, K. (2018). Attribution Theories in Human Resource
Management Research: a Review and Research Agenda. International Journal of Human
Resource Management, 29(1), 87–126. https://doi.org/10.1080/09585192.2017.1380062

Martinko, M. J., & Mackey, J. D. (2019). Attribution Theory: An Introduction to The Special
Issue. Journal of Organizational Behavior, 40(5), 523–527.
https://doi.org/10.1002/job.2397

Pasaribu, E. M., & Wijaya, S. Y. (2019). Implementasi Teori Atribusi untuk Menilai Perilaku
Kecurangan Akuntansi. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 4(1), 41.
https://doi.org/10.35590/jeb.v4i1.735

Weiner, B. (2008). Reflections on the History of Attribution Theory and Research: People,
Personalities, Publications, Problems. Social Psychology, 39(3), 151– 156.
https://doi.org/10.1027/1864-9335.39.3.151

Hestanto. 2007. Teori Atribusi Menurut Beberapa Cendekiawan. www.hestanto.web.id/teori


atribusi/amp/. Diakses pada tanggal 4 Januari 2019 Pukul 23.00

Julius, P., & Nagel, F. (2013). Studi Eksploratori Pola Atribusi Keberhasilan dan Kegagalan
Bisnis: Sebuah Persepsi Dari Pengusaha Kecil dan Mikro Pribumi dan Tionghoa di
Surabaya.

Robbins. 2017. "Harapan Dan Teori Atribusi Dalam Kualitas Pelayanan." Meraja Journal 89-
96.

Intan Leliana1 , Susilowati2 , Dhefine Armelsa3 , Chepy Nurdiansyah4 , Asriyani Sagiyanto5,


Respon Krisis PT Garuda Indonesia Pada Kasus Postingan Menu Rius Verandes, Jurnal
Humaniora, Vol 20 No. 1 Maret 2020

Claeys, A., Cauberghe, V., & Vyncke, P. (2010). Restoring Reputation in Times of Crisis: An20
Experimental Study of The Situational Crisis Communication Theory and The
Moderating Effects of Locus of Control. Public Relation Review. Retrieved from
https://doi.org/10.1016/j.pubrev.2010.05.004

Coombs, W. T. (2007). Protecting Organization Reputations During a Crisis : The Development


and Application of Situational Crisis Communication Theory. Journal of Department of
Communication Studies, 10(3), 163–176. Retrieved from
https://doi.org/10.1057/palgrave.crr.1550049

Fearn-banks. (2011). Crisis Communications: A Casebook Approach, Fourth Edition. Kennardy.


(2017). Komunikasi Krisis PT Kalbe Farma Dalam Menangani Kasus Kesalahan
Pelabelan Obat Buvanest Spinal. Bachelor Thesis. Universitas Multimeldia Nusantara.
Ki, E., & Nekmat, E. (2014). Situational crisis communication and interactivity: Usage and
effectiveness of Facebook for crisis management by Fortune 500 companies.
Computersin Human Behavior, 140–147.

Kriyantono, R. (2015). Public Relations, Issue & Crisis Management: Pendekatan Critical
Public Relations Etnografi Kritis & Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Meda Group.
Purworini, D., Kuswarno, E., Hadisiwi, P., & Rakhmat, A. (2017). Crisis Communication in An
Internal Conflict: A Social Constructionist Perspective. Pertanika Journals Social
Sciences& Humanities

Anda mungkin juga menyukai