2021
KAJIAN
OPTIMALISASI
PENDAPATAN
DAERAH DARI
PENGOLAHAN
SAMPAH KOTA
SEMARANG
BADAN PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DAERAH
(BAPPEDA) KOTA SEMARANG
KATA PENGANTAR
Puji syukur bagi Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan perkenan-Nya, kami dapat merampungkan
penyusunan dokumen Kajian Optimalisasi Pendapatan Dari Pengolahan Sampah Kota Semarang.
Dokumen disusun dengan tujuan supaya Pekerjaan Kajian Optimalisasi Pendapatan Dari Pengolahan Sampah
Kota Semarang ini dapat memberikan gambaran mengenai latar belakang pekerjaan, maksud tujuan dan
sasaran, ruang lingkup, pendekatan dan metodologi pekerjaan, tinjauan kebijakan dan dokumen perencanaan,
sistem persampahan Kota Semarang, Potensi pendapatan dari pengelolaan sampah dan skenario optimalisasi
pendapatan dari pengelolaan sampah.
Dokumen disusun dengan berpedoman pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun
2011-2031, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001, Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017, Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 21 Tahun 2006, Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2012, Peraturan Walikota
Semarang Nomor 18 Tahun 2018, serta Peraturan Walikota Semarang Nomor 52 Tahun 2018. Dengan
demikian, pada penyusunan Dokumen ini telah dilakukan penyelerasan isu-isu pendapatan daerah dari
pengolahan sampah di Kota Semarang sesuai dengan kebutuhan pembangunan di masa mendatang sebagai
Dalam proses penyusunannya, turut menyertakan proses koordinasi, sinergi dan harmonisasi dengan Perangkat
Daerah dan para pemangku kepentingan lainnya. Untuk itu, kami ucapkan penghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh Perangkat Daerah dan para pemangku kepentingan lainnya yang telah
berkontribusi dalam penyusunan Dokumen ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas kerja keras, kerja
cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas kita dalam membangun sektor persampahan di Kota Semarang.
Dalam proses perencanaan dan pelaksanaan penyusunan dokumen ini masih banyak sekali kelemahan dan
kekurangannya, untuk itu saran dan masukan yang membangun sangat penyusun harapkan demi
kesempurnaan laporan.
Tim Penyusun
Hal. ii
DAFTAR ISI
Hal. iii
2.2.1.2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah .................................. 25
2.2.1.3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Hal. iv
2.4. 1 Perkembangan Ekonomi Sirkular ................................................................................................................ 52
2.4. 2 Tantangan Perwujudan Ekonomi Sirkular................................................................................................ 53
3. 3 Kependudukan ................................................................................................................................................... 73
3.3. 1 Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan .............................................................................................. 73
Hal. v
4.2. 1 Kajian Karakteristik Institusi ....................................................................................................................... 106
4.2.1. 1 Kelembagaan Regulator ........................................................................................................................... 106
4.3.4. 3 Proyeksi Potensi Pendapatan Berdasarkan Kajian Retribusi DLH ............................................. 123
4.3.4. 4 Proyeksi Potensi Pendapatan Dari Iuran Warga Yang Bukan Termasuk
BAB V Skenario Optimalisasi Pendapatan Daerah Dari Pengelolaan Sampah ....... 130
5. 1 Isu dan Tantangan Optimalisasi Pendapatan...................................................................................... 130
5.1. 1 Kajian Kesenjangan Realisasi dan Potensi Penerimaan Retribusi Sampah ............................. 130
5.1. 2 Isu Strategis Menurut Dokumen Perencanaan ................................................................................... 134
5.1. 3 Faktor Yang Mempengaruhi Minat Masyarakat Untuk Mengelola Sampah .......................... 137
5.1.3. 1 Faktor Pengaruh Keinginan Membayar Retribusi Sampah Domestik ...................................... 137
5.1.3. 2 Faktor Pengaruh Kesanggupan Membayar Retribusi Sampah Domestik ............................... 139
5.1.3. 3 Faktor Pengaruh Keinginan Membayar Retribusi Sampah Niaga ............................................ 141
5.1.3. 4 Faktor Pengaruh Kesanggupan Membayar Retribusi Sampah Niaga ..................................... 144
Hal. vi
5. 2 Isu Prioritas ....................................................................................................................................................... 146
5. 3 Skenario Optimalisasi Pendapatan.......................................................................................................... 149
Hal. vii
DAFTAR TABEL
Hal. viii
Tabel 4. 8 Perhitungan Prosentase Retribusi Sampah Terhadap PAD Kota
Semarang ............................................................................................................................................. 115
Tabel 4. 15 Bangunan Niaga Besar di Kota Semarang Berdasarkan Kecamatan ............................ 121
Tabel 4. 21 Kondisi Situasional Preferensi Retribusi Sampah Kota Semarang ................................. 128
Tabel 5. 15 Faktor Pengaruh Keinginan Membayar Retribusi Sampah Niaga ................................. 143
Tabel 5. 16 Component Matrix Analysis .......................................................................................................... 144
Hal. ix
Tabel 5. 17 Rotated Component Matrix Analysis ........................................................................................ 145
Tabel 5. 18 Faktor Pengaruh Kesanggupan Membayar Retribusi Sampah Niaga .......................... 146
Hal. x
DAFTAR GAMBAR
Pengelolaan Sampah Wilayah I, Wilayah II, Wilayah III, Wilayah IV Kota ...................... 48
Gambar 2. 2 Struktur Organisasi Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang .......................................... 51
Hal. xi
c endahuluan
Latar belakang, Maksud, tujuan dan sasaran, Dasar hukum, Ruang lingkup,
Sistematika penulisan.
1. 1 Latar Belakang
Pengelolaan Sampah Kota Semarang yang mendasarkan pada regulasi dan
kebijakan utama saat ini, seperti: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan
dan Strategi Nasional tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Rumah Tangga, Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan
Sampah, Peraturan Walikota Semarang Nomor 79 Tahun 2018 tentang Kebijakan dan
Hal. 1
Strategi Daerah tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah
Tangga.
Regulasi dan kebijakan tersebut mengantarkan sistem pengelolaan sampah di
Kota Semarang menjadi lebih komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir yang meliputi
kegiatan pengurangan dan pengolahan sampah yang mampu memberikan manfaat secara
ekonomi, sehat bagi masyarakat dan aman bagi lingkungan, sehingga mampu
mengantarkan kota Semarang mendapatkan penghargaan sebagai Kota Wisata Terbersih
standar ASEAN 2020-2022 (ASEAN Clean City Tourism), pada 16 Januari 2020.
Hanya saja pelaksanaannya masih belum optimal dan ideal, terlihat dari target
JAKSTRADA yang belum tercapai dan Adipura yang belum teraih kembali, serta tumpukan
sampah sudah melebihi kapasitas (overload) pada area TPA Jatibarang. Terbukti masih ada
sekitar 60-ton sampah per hari yang belum terkelola, ini berarti target zero waste
sebagaimana yang diharapkan dari JAKSTRADA belum tercapai. Bebarapa indikasi penyebab
permasalahan tersebut adalah: belum optimalnya penanganan sampah di sektor hulu
(reduce, reuse, recycle), maupun di sektor hilir, serta belum optimalnya pembiayaan
pengelolaan sampah.
Mengacu pada permasalahan utama pengelolaan sampah tersebut dibutuhkan
solusi yang mengarahkan pada upaya perluasan cakupan penanganan sampah,
mengoptimalkan pengurangan sampah hingga 30 persen, pemanfaatan teknologi
pengurangan sampah yang signifikan di sektor hilir dan memperluas lahan TPA Jatibarang,
mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan pengelolaan sampah dari sumber penghasil
sampah dari aktivitas rumah tangga dan komersial.
Implementasi Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah
Tangga, merekomendasikan pengurangan sampah di Hulu sebesar 30% di tahun 2025 harus
terealisasi dan sekaligus menjadi ajang edukasi bagi masyarakat untuk meningkatkan
perilaku mereka dalam mengelola sampah dan mengurangi beban biaya pengelolaan
sampah yang selama ini masih tergantung pada anggaran daerah. Untuk itu diharapkan
efektifitas pengelolaan sampah di hulu mampu bersinergi dengan pengolahan sampah di
hilir.
Pada dasarnya persoalan sampah merupakan tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, dunia usaha, masyarakat, maka pengelolaanya juga harus dilakukan secara
Hal. 2
sinergi antar berbagai stakeholder melalui sistem pengelolaan sampah terpadu. Namun
realisasinya selama ini Pemerintah Kota Semarang membiayai pengelolaan sampah tanpa
diimbangi pembayaran retribusi pengelolaan sampah yang signifikan. Salah satunya dengan
cara meninjau ulang pembayaran retribusi pengelolaan sampah melalui tagihan
berlangganan air minum pada Perusda Tirta Moedal Kota Semarang, sehingga pembayaran
hanya menyasar kepada pelanggan air minum saja dan masyarakat penghasil sampah di luar
pelanggan air minum terbebas membayar retribusi. Pada sisi lain biaya investasi pengelolaan
sampah di sektor hilir sangat tinggi dan diperkirakan akan membebani APBD Kota Semarang
sekitar 100 Miliar per tahun.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah memberi kewenangan yang besar kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam upaya untuk mencapai tujuan
pembangunan daerah yaitu mengentaskan kemiskinan, menciptakan dan menambah
lapangan kerja, serta meningkatkan pendapatan dan kesehjateraan masyarakat. Untuk
mencapai tujuan pembangunan daerah tersebut, Pemda dituntut menghasilkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dari berbagai sumber pendapatan, dan mengelolanya secara maksimal. Ini
sejalan dengan tuntutan dari desentralisasi fiskal dimana Pemda diharapkan mampu
meningkatkan kreativitas dalam menghimpun pendanaan sehinga dapat membiayai atau self
financing pengeluaran daerah sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan amanah dari regulasi tersebut, maka diperlukan cara yang lebih
efektif dalam menghimpun pendapatan pengelolaan sampah yang dilakukan melalui
kegiatan pembiayaan dalam penanganan sampah, mulai dari pengumpulan, pemilahan, dan
pengolahan sampah di TPS, pengangkutan, dan pengolahan akhir; pembentukan dan
peningkatan kapasitas KSM; perbaikan standar pelayanan dalam pengelolaan sampah; serta
monitoring dan evaluasi.
Hal. 3
1.2. 2 Tujuan
Tujuan kegiatan dari penyusunan dokumen Kajian Optimalisasi Pendapatan
Daerah dari Sampah Kota Semarang meliputi:
1) Model tentang sistem pengelolaan sampah berbasis zero waste dan terpadu
(koordinasi, integrasi, sinkronisasi, sinergi);
2) Model tentang sistem pembiayaan pengelolaan sampah berdasarkan prinsip self-
financing, yaitu meningkatkan income generate dari jasa pengelolaan sampah untuk
mengurangi beban APBD.
3) Meningkatkan kapasitas peran pengelola sampah di hulu sampai ke hilir untuk
meningkatkan kesadaran dan perilaku masyarakat dalam pengurangan dan
penanganan sampah.
1.2. 3 Sasaran
Sasaran kegiatan penyusunan dokumen Kajian Optimalisasi Pendapatan Daerah
dari Sampah Kota Semarang meliputi:
1) Identifikasi dan review kondisi pelayanan sampah di Kota Semarang;
2) Identifikasi permasalahan dan isu pembiayaan pengelolaan sampah di Kota Semarang;
3) Menganalisis peran dan kepentingan pelaku pengelolaan sampah di Kota Semarang;
4) Menganalisis potensi pengelolaan sampah yang tepat untuk di hulu dan hilir dalam
rangka optimalisasi pendapatan daerah dari sampah di Kota Semarang.
5) Merekomendasikan skenario optimalisasi pengelolaan sampah yang tepat untuk di
hulu dan hilir, dalam rangka optimalisasi pendapatan daerah dari sampah di Kota
Semarang.
1. 3 Dasar Hukum
Dasar hukum yang digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam penyusunan
Kajian Optimalisasi Pendapatan Daerah dari Sampah Kota Semarang adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Hal. 4
5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
8) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
9) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah
10) Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga.
11) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang.
12) Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga.
13) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21 Tahun 2006 tentang Kebijakan Dan
Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP).
14) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan
Sampah.
15) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012
tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, dan Reuse dan Recycle Melalui Bank Sampah.
16) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 3 Tahun 2013
tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
17) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.10/MENLHK/SETJEN/PLB.0/4/2018 tentang Pedoman Penyusunan Kebiajkan dan
Strategi Daerah Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga.
18) Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum
di Kota Semarang.
19) Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031.
Hal. 5
20) Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah.
21) Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2020 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kota Semarang Tahun Anggaran 2021.
22) Peraturan Walikota Semarang Nomor 37 Tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah.
23) Peraturan Walikota Semarang Nomor 18 Tahun 2018 tentang Perubahan Tarif Retribusi
Pelayanan Persampahan/Kebersihan dan Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan
Kakus
24) Peraturan Walikota Semarang Nomor 52 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan dan retribusi Penyediaan dan/atau
Penyedotan Kakus di Kota Semarang
25) Peraturan Walikota Semarang Nomor 79 Tahun 2018 tentang Kebijakan dan Strategi
Daerah Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Walikota Semarang
Nomor 34 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Semarang Nomor
79 Tahun 2018 Tentang Kebijakan dan Strategi Daerah Dalam Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
26) Peraturan Walikota Semarang Nomor 88 Tahun 2020 tentang Penjabaran Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Semarang Tahun Anggaran 2021.
1. 4 Ruang Lingkup
1.4. 1 Ruang Lingkup Wilayah
Lingkup wilayah yang akan diatur dalam kegiatan ini adalah seluruh wilayah
administratif Kota Semarang. Kota Semarang terletak antara garis 6º 50’ - 7º 10’ LS dan garis
109º 50’ - 110º 35’ BT dengan ketinggian antara 0,75-meter sampai dengan 348 meter di
atas garis pantai. Kota Semarang berbatasan wilayah dengan tiga kabupaten yaitu Kendal,
Semarang, dan Demak. Terdiri atas 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan, Kota Semarang
memiliki luas wilayah sebesar 373,70 km2 (BPS Kota Semarang, 2021).
Hal. 6
1) Identifikasi dan review kondisi pelayanan sampah di Kota Semarang;
2) Identifikasi permasalahan dan isu pembiayaan pengelolaan sampah di Kota Semarang;
3) Menganalisis peran dan kepentingan pelaku pengelolaan sampah di Kota Semarang;
4) Menganalisis potensi pengelolaan sampah yang tepat untuk di hulu dan hilir dalam
rangka optimalisasi pendapatan daerah dari sampah di Kota Semarang.
5) Merekomendasikan skenario optimalisasi pengelolaan sampah yang tepat untuk di
hulu dan hilir, dalam rangka optimalisasi pendapatan daerah dari sampah di Kota
Semarang.
Hal. 7
1. 5 Metode Penyusunan
1.5. 1 Pendekatan Studi
Pendekatan studi dalam penyusunan Kajian Optimalisasi Pendapatan Daerah dari
Sampah Kota Semarang direncanakan untuk menggunakan 4 jenis pendekatan, yaitu
pendekatan keruangan, pendekatan peraturan perundangan, pendekatan ekonomi dan
pendekatan institusionalisme pilihan rasional. Penjelasan dari masing-masing pendekatan
dapat dijelaskan sebagai berikut,
Pendekatan Keruangan
Pendekatan keruangan (Spatial Approach) merupakan metode pendekatan yang
mengkaji rangkaian persamaan dari perbedaan fenomena geosfer dalam ruang
sehingga yang perlu diperhatikan adalah persebaran penggunaan ruang dan
penyediaan ruang yang akan dimanfaatkan. Pada pelaksanaannya, pendekatan
keruangan ini harus tepat dengan prinsip-prinsip yang berlaku, yakni prinsip
penyebaran, internal dan deskripsi. Pendekatan keruangan ini meliputi pendekatan
topik, pendekatan aktivitas manusia dan pendekatan regional. Secara teoritis
pendekatan itu dapat dipisahkan satu sama lain, akan tetapi pada kenyataannya ketiga
hal tersebut saling berhubungan satu sama lain.
Pendekatan Topik
Dalam memahami permasalahan suatu wilayah tertentu, perencana dapat
melakukan pendekatan dari topik khusus yang menjadi perhatian utama dari
perencanaannya. Kunci dari pendekatan topik adalah tidak dapat dipisahkan
hubungannya dengan ruang yang menjadi wadah atau medium dari topik yang
akan dikaji.
Pendekatan Aktivitas Manusia
Pendekatan aktivitas manusia menitik beratkan perhatian utama pada aktivitas
manusia (human activity). Kunci dari pendekatan ini adalah korelasi antara
aktivitas manusia dan ruang sekitarnya, sehingga dapat ditinjau melalui
persebaran, interaksi, dan deskripsi dari korelasi yang terbangun.
Pendekatan Regional
Pendekatan wilayah menitik beratkan pada fenomena geografi yang tidak sama
di setiap wilayah, sehingga kemudian membentuk karakteristik antar wilayah.
Hal. 8
Kunci dari pendekatan ini adalah pada bentuk atau pola ruang atau wilayah yang
berkaitan dengan aktivitas manusia dan topik dari kajian.
Pendekatan keruangan pada dasarnya adalah merupakan suatu cara pandang atau
kerangka analisis yang menekankan eksistensi ruang sebagai penekanan. Eksistensi
ruang dalam perspektif geografi dapat dipandang dari struktur (spatial structure), pola
(spatial pattern), dan proses (spatial processess).
Pendekatan Peraturan Perundangan
Pendekatan peraturan perundangan adalah merupakan salah satu metode yang sering
digunakan dalam kajian hukum normatif. Pendekatan perundang-undangan (statute
approach) merupakan kajian yang mengutamakan bahan hukum yang berupa
peraturan perundang-undangan sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan kajian.
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) biasanya di gunakan untuk
meneliti peraturan perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat
kekurangan atau malah menyuburkan praktek penyimpangan baik dalam tataran
teknis atau dalam pelaksanaannya dilapangan. Pendekatan ini dilakukan dengan
melakukan telaah terhadap semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut
paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan
perundang-undangan ini dilakukan dengan mempelajari konsistensi atau kesesuaian
antara Undang-Undang Dasar 1945 dengan Undang-Undang dan/atau antara Undang-
Undang yang satu dengan Undang-Undang lainnya.
Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ekonomi dilakukan dengan menghitung finansial usaha pengelolaan
sampah dengan komputerisasi program Microsoft Excel dan disajikan dalam bentuk
tabulasi yang digunakan untuk mengklasifikasi data yang ada.
Pendekatan Institusionalisme pilihan rasional
Pendekatan institusionalisme pilihan rasional melihat proses institusionalisasi dan relasi
antar institusi sebagai mekanisme untuk menyelesaikan persoalan bersama melalui
pertimbangan rasional dan untung rugi. Asumsi mendasar dari institusionalisme pilihan
rasional adalah bahwa individu adalah aktor sentral dalam proses politik, dan bahwa
orang-orang bertindak rasional untuk memaksimalkan utilitas pribadi. Salah satu
mencapai tujuan tersebut secara efektif adalah melalui tindakan institusional, dan
perilaku mereka juga dibentuk oleh lembaga (Peters, 1991). Institusionalisme pilihan
Hal. 9
rasional melihat keseimbangan institusional sebagai norma atau aturan-baik formal
maupun informal yang disepakati bersama.
Hal. 10
kondisi faktual sebagai penentu output analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
survei instansional.
Survei instansional dilakukan untuk memperoleh data-data sekunder, baik data-
data numerik maupun data-data (dokumen) kebijakan dan peraturan-peraturan yang terkait
dengan proses Kajian Optimalisasi Pendapatan Daerah dari Sampah Kota Semarang. Dalam
penyusunan kajian ini, kegiatan identifikasi kewilayahan mencakup identifikasi peraturan
perundangan dan studi terdahulu. Untuk menunjang kegiatan pengumpulan data pada
kegiatan kajian ini, maka perlu disusun tahapan-tahapan dari tiap proses pengumpulan data.
Hal. 11
Review data, untuk mengevaluasi kesiapan data dan informasi yang diperlukan untuk
analisis. Tahap ini sekaligus merupakan feedback bagi survey, yang artinya survey
lanjutan dapat dilakukan ketika data yang didapat belum lengkap dan tidak dapat
mencapai target yang diharapkan.
Kompilasi data, merupakan tahap pengolahan data dan informasi yang diperoleh
selama survey. Tujuannya adalah untuk melakukan verifikasi dan klarifikasi data.
Metode yang digunakan adalah desk study. Data akan diseleksi menjadi data yang
relevan untuk digunakan sebagai input dalam analisis. Sebagai tahap akhir dari
kompilasi data, data akan disajikan dalam bentuk tabel, diagram, grafik, maupun
gambar. Ini bertujuan untuk mempermudah dalam pemahaman dan interpretasi data.
Hal. 12
dalam penanganan sampah, mulai dari pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan sampah
di TPS, pengangkutan, dan pengolahan akhir; pembentukan dan peningkatan kapasitas KSM,
perbaikan standar pelayanan dalam pengelolaan sampah, serta biaya retribusi pengelolaan
persampahan. Gambaran Kerangka Pikir dapat dilihat pada Lampiran-1.
Hal. 13
Tabel 4. 2 Identifikasi permasalahan dan isu pembiayaan pengelolaan sampah
Desain Identifikasi Permasalahan dan Isu Pembiayaan Pengelolaan Sampah
Tujuan Mengidentifikasi permasalahan dan isu pembiayaan pengelolaan sampah
Metode Analisis Kualitatif dan Analisis Kuantitatif
Data Hasil Evaluasi Pelayanan Sampah dan Kajian Literatur Model Pembiayaan
Output Permasalahan Pengelolaan Sampah
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 14
Tabel 4. 5 Analisis Finansial Pengelolaan Sampah
Desain Analisis Finansial Pengelolaan Sampah
Tujuan Mendapatkan model pengelolaan persampahan yang optimal di Kota
Semarang.
Metode Analisis Ekonomi dan Finansial
Data Nilai Investasi, Retribusi Persampahan/Kebersihan
Output Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah Dari Pengelolaan Sampah
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 15
melakukan perubahan, mengingat sikap perilaku dan ketrampilan yang dimiliki
menentukan keberhasilan untuk melakukan perubahan dalam organisasi.
Technology (Teknologi), adalah sarana prasarana dan komponen yang membantu atau
memfasilitasi organisasi dalam melaksanakan fungsi koordinasi. Teknologi meliputi
sarana prasarana berupa data dan informasi yang bisa di akses masyarakat melalui
website pemerintah kota semarang maupun melalui media sosial atau sistem aplikasi.
Hal. 16
Pengambilan data di wilayah studi, dilakukan dengan stratified random sampling
sesuai kategori pelanggan. Data diambil dari tiap kategori wajib bayar dan tiap kecamatan.
Jumlah sampel yang diambil berdasarkan rumus Slovin, sesuai dengan Persamaan 1
(Sugiono, 2006).
Hal. 17
mampu dibayarkan oleh reponden. Nilai rata-rata penghasilan diperoleh dengan
menggunakan rumus rata-rata data kelompok (Trimansyah dkk, 2012).
Untuk mengetahui variabel yang mempengaruhi terhadap nilai WTP maka
dilakukan analisis crosstab dan analisis Kruscal Wallis terhadap atribut responden yang terdiri
dari usia, jenis kelamin, penghasilan, pengeluaran, dan jarak rumah terhadap TPS sebagai
variabel bebas dengan nilai WTP sebagai variabel terikat. Uji crosstab akan menganalisa nilai
coefficient contigency hubungan antara varibel bebas dengan nilai WTP (Santosa, 2014). Uji
Kruscal Wallis akan menganalisa nilai signifikasi, apabila nilai signifikansi < 0,05 maka
terdapat perbedaan yang signifikan tingkat WTP pada masing-masing kelompok variabel
bebas.
Responden akan dikelompokan berdasarkan kedekatan dari nilai WTP, dengan
menggunakan analisis cluster. Tujuan dari analisis cluster pada penelitian ini adalah untuk
mengelompokkan responden ke dalam kelompok kriteria nilai WTP berdasarkan pada
kedekatan nilai WTP per kategori wajib bayar (Saifullah, 2013). Metode pengelompokan yang
digunakan dalam analisis cluster ini adalah metode non hirarkis, yaitu jumlah cluster yang
diinginkan sudah ditentukan menjadi 3 cluster yaitu kelompok WTP rendah, sedang, dan
tinggi. Setelah jumlah cluster ditentukan, maka proses cluster dilakukan dengan tanpa
mengikuti proses hirarki. Metode ini biasa disebut “K-Means Cluster”. Hasil dari analisis
cluster akan diperoleh jarak nilai WTP di tiap klaster. Jarak tersebut akan dibandingkan
dengan rata-rata total tiap variabel. Rumus yang digunakan untuk menghitung rata-rata
variabel dalam cluster adalah sesuai dengan Persamaan 3 (Saifullah dkk, 2013).
Hal. 18
Berikutnya, untuk mengetahui keuntungan yang dapat diperoleh dari model
pengelolaan sampah diperlukan analisis investasi. Analisis ini dimaksudkan untuk
memperoleh nilai pendatan yang optimum sebagai dasar dalam perhitungan komersial
pengelolaan sampah di Kota Semarang. Biaya-biaya yang diperhitungkan dalam analisis
investasi ini adalah biaya personel pengangkut, biaya pengangkutan, biaya di TPA, biaya
pendapatan dari hasil pengolahan, dan biaya retribusi. Indikator yang digunakan dalam
melakukan analisis kelayakan finansial (investasi) ini adalah: Net Present Value (NPV), dan
Financial Internal Rate of Return (IRR). Internal Finansial Rate of Return dihitung dengan
menganggap NPV yang sama dengan nol.
1. 6 Sistematika Penulisan
Laporan Akhir kegiatan penyusunan Kajian Optimalisasi Pendapatan Daerah dari
Sampah Kota Semarang yang dilaksanakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Kota Semarang ini disusun dengan sistematika penyajian sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memberikan gambaran mengenai alur penulisan dari Laporan
Pendahuluan, karena pada bab ini memuat tentang latar belakang, maksud,
tujuan dan sasaran, dasar hukum, ruang lingkup yang meliputi ruang lingkup
wilayah dan substansi, metode penyusunan yang terdiri atas pendekatan dan
metodologi serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN KEBIJAKAN DAN LITERATUR
Bab ini memberikan gambaran konsep dan literasi dari penulisan Laporan
Pendahuluan, karena pada bab ini memuat tentang pandangan-pandangan
ahli mengenai Optimalisasi Pendapatan Daerah dari Sampah.
BAB III SISTEM PERSAMPAHAN KOTA SEMARANG
Bab ini memberikan gambaran umum mengenai sistem persampahan di Kota
Semarang yang meliputi gambaran mengenai daerah pelayanan, tingkat
pelayanan, karakteristik dan komposisi sampah, teknik pengelolaan sampah,
serta isu pengelolaan sampah.
Hal. 19
BAB IV POTENSI PENDAPATAN DAERAH DARI PENGELOLAAN SAMPAH
Bab ini memberikan gambaran mengenai pengelolaan sampah kota
semarang, kelembagaan pengelolaan sampah kota semarang, dan
optimalisasi pendapatan dari pengolahan sampah.
BAB V SKENARIO OPTIMALISASI PENDAPATAN DAERAH DARI PENGELOLAAN
SAMPAH
Bab ini memberikan gambaran mengenai Isu dan Tantangan menurut kajian
dokumen dan survei kebutuhan nyata, Isu Prioritas yang akan ditangani, dan
Skenario Optimalisasi Pendapatan Daerah dari Pengolahan Sampah
Hal. 20
g injauan Kebijakan dan Literatur
Kajian hukum: Penyelenggaraan Sistem Persampahan, Konsep Optimalisasi
Pendapatan Daerah
2. 1 Dasar Kebijakan
Penyusunan studi Kajian Optimalisasi Pendapatan Daerah dari Sampah Kota
Semarang didasari oleh adanya kebutuhan sistem optimalisasi pengelolaan sampah yang
mampu menghasilkan income generate untuk pembiayaan pengelolaan sampah di hulu
maupun hilir secara mandiri (self-financing). Kebutuhan akan peningkatan kinerja
penyelenggaraan tersebut diidentifikasi berdasarkan data-data sekunder sebagai berikut:
Kondisi eksisting penyelenggaraan pembangunan di Kota Semarang;
Hal. 21
Potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;
Potensi sumber daya alam;
Peran serta berbagai pemangku kepentingan;
Tren laju pertumbuhan ekonomi Kota Semarang.
Sementara dari sisi kepatuhan mengacu pada dokumen kebijakan Pemerintah
(Pusat) maupun Pemerintah Kota Semarang, yaitu:
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah;
Dalam konsiderans disebutkan dalam huruf c bahwa sampah telah menjadi
permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif
dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi
masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat
dan dalam huruf d bahwa pengelolaan sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan
tanggung jawab dan kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah, serta peran
masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara
proporsional, efektif, dan efisien.
Peraturan Pemerintah Nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga;
Pasal 4 Ayat (3) menyebutkan Pemerintah kabupaten/kota menyusun dan menetapkan
kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah. Selanjutnya
dijelaskan dalam Pasal 5 bahwa kebijakan dan strategi dalam pengelolaan sampah
paling sedikit memuat arah kebijakan pengurangan dan penanganan sampah dan
program pengurangan dan penanganan sampah (memuat target pengurangan
timbulan sampah dan prioritas jenis sampah secara bertahap; dan b. target
penanganan sampah untuk setiap kurun waktu tertentu).
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.10/MENLHK/SETJEN/PLB.0/4/2018 tentang Pedoman Penyusunan Kebiajkan dan
Strategi Daerah Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga;
Dalam konsiderans disebutkan dalam huruf b bahwa Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, menjadi pedoman Pemerintah Daerah provinsi
dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya untuk
Hal. 22
menyusun Kebijakan dan Strategi Daerah Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga dan dalam huruf c bahwa perlu dilakukan
keseragaman dalam penyusunan Kebijakan dan Strategi Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga.
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah;
Pasal 5 menyebutkan Pemerintah Daerah bertugas menjamin terselenggaranya
pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan.
Untuk mendapatkan landasan dan arah dalam penyelesaian permasalahan
penyelenggaraan sistem persampahan, maka Pemerintah Kota Semarang perlu
mempersiapkan studi Kajian Optimalisasi Pendapatan Daerah dari Sampah Kota Semarang.
2. 2 Tinjauan Perundang-Undangan
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28H ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Pasal ini merupakan dasar hukum tertinggi yang memberikan hak
kepada warga Negara untuk dapat hidup sejahtera baik secara lahir maupun batin. Konstitusi
juga memberikan hak kepada warga Negara untuk mendapatkan tempat tinggal dan
lingkungan yang baik dan sehat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam rangka
mewujudkan hal tersebut maka Pemerintah Kota Semarang akan melakukan studi
Optimalisasi Pendapatan Daerah dari Sampah Kota Semarang.
2.2. 1 Undang-Undang
Undang-Undang/Perundang-undangan (UU) adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama
Presiden. Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan dalam kehidupan masyarakat,
sehingga dapat terbentuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan
bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk negara. Undang-undang dapat
pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah,
hak rakyat, dan hubungan di antara keduanya.
Hal. 23
Dalam penyelenggaraan pembangunan, Pemerintah Kota Semarang juga harus
mempertimbangkan kewenangan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai
undang-undang untuk mengetahui dasar dan tata aturan yang berlaku dalam upaya
Pemerintah Kota Semarang mengadakan Kajian Optimalisasi Pendapatan Daerah dari
Sampah Kota Semarang. Undang-undang yang dikaji adalah sebagai berikut,
Hal. 24
Pengawasan dilakukan supaya pentaan ruang terjamin dan tercapai, peningkatan
fungsi dan manfaat penyelenggaraan. Pengawasan penataan ruang pada tingkat
pemerintahan dilakukan oleh pemerintah setingkat diatasnya untuk mengambil langkah
sesuai dengan kewenangannya. Penyelesaian sengketa bisa dilakukan dengan 2 cara yaitu
musyawarah mufakat dan melalui pengadilan sesuai undang-undang yang berlaku. Dalam
pelaksanaan penyelidikan sengketa dilakukan oleh kepolisian untuk melakukan pemeriksaan,
meminta keterangan serta meminta bantuan tenaga ahli. Segala kerugian bisa dituntut
berdasarkan secara pidana dan perdata sesuai hukum acara perdana dan perdata.
Hal. 25
Menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah;
Melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang
dilaksanakan oleh pihak lain;
Menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah
terpadu, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah;
Melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama 20
(dua puluh) tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem
pembuangan terbuka yang telah ditutup;
Menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai
dengan kewenangannya.
Penetapan lokasi tempat pengolahan sampah terpadu dan tempat pemrosesan
akhir sampah merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, pengelolaan sampah rumah tangga
dan sampah sejenis sampah rumah tangga terdiri atas: pengurangan sampah dan
penanganan sampah.
Pengurangan sampah meliputi kegiatan: a. pembatasan timbulan sampah; b.
pendauran ulang sampah; dan/atau c. pemanfaatan kembali sampah. Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan sebagai berikut:
Menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu
tertentu;
Memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan;
Memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan;
Memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang;
Memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang.
Pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan menggunakan bahan produksi yang
menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau
mudah diurai oleh proses alam. Masyarakat dalam melakukan kegiatan pengurangan
sampah menggunakan bahan yang dapat diguna ulang, didaur ulang, dan/atau mudah
diurai oleh proses alam. Untuk upaya tersebut, Pemerintah memberikan insentif kepada
setiap orang yang melakukan pengurangan sampah dan disinsentif kepada setiap orang
yang tidak melakukan pengurangan sampah.
Hal. 26
Kegiatan penanganan sampah meliputi: a. pemilahan dalam bentuk
pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah;
b. pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah
ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu; c.
pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat
penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke
tempat pemrosesan akhir; d. pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi,
dan jumlah sampah; dan/atau e. pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian
sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
Sementara itu, pengelolaan sampah spesifik adalah tanggung jawab Pemerintah.
Hal. 27
Dijelaskan lebih lanjut bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum. Pembangunan industri di level nasional maupun daerah harus selaras
dan mendukung asas maupun tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Oleh
karena itu, dalam melakukan penyelenggaraan sistem persampahan, muatan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sangat penting untuk menjadi acuan dalam
mewujudkan zero waste management.
Hal. 28
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan
ada urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat,
Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam
Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib
yang tidak terkait Pelayanan Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait
Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak
konstitusional masyarakat.
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Daerah provinsi dengan
Daerah kabupaten/kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya akan nampak
dari skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut. Walaupun Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota mempunyai Urusan Pemerintahan masing-masing yang sifatnya
tidak hierarki, namun tetap akan terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK
yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.
Di samping urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan konkuren,
dalam Undang-Undang ini dikenal adanya urusan pemerintahan umum. Urusan
pemerintahan umum menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan yang
terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin hubungan yang serasi berdasarkan suku,
agama, ras dan antar golongan sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara serta
memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam pelaksanaan urusan pemerintahan
umum di Daerah melimpahkan kepada gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi dan
kepada bupati/wali kota sebagai kepala pemerintahan kabupaten/kota.
Hal. 29
2.2.1.5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja disebutkan
bahwa Perencanaan Tata Ruang Wilayah menjelaskan sistem wilayah, dimana pusat
permukiman adalah kawasan perkotaan yang merupakan pusat kegiatan sosial ekonomi
masyarakat, baik pada kawasan perkotaan maupun pada kawasan perdesaan. Dalam sistem
internal perkotaan, pusat permukiman adalah pusat pelayanan kegiatan perkotaan. Sistem
jaringan prasarana, antara lain, mencakup sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi
dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem persampahan dan sanitasi, serta
sistem jaringan sumber daya air. Yang dimaksud dengan "sampah" dalam sistem
persampahan adalah sampah sesuai dengan undang-undang yang mengatur pengelolaan
sampah.
Hal. 30
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat dan menjadikan
sampah sebagai sumber daya.
Dalam Pasal 4 Ayat (3) disebutkan bahwa Pemerintah kabupaten/kota menyusun
dan menetapkan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah.
Kebijakan dan strategi dalam pengelolaan sampah paling sedikit memuat arah kebijakan
pengurangan dan penanganan sampah dan program pengurangan dan penanganan
sampah. Program pengurangan dan penanganan sampah harus memuat target
pengurangan timbulan sampah dan prioritas jenis sampah secara bertahap; dan target
penanganan sampah untuk setiap kurun waktu tertentu.
Kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah ditetapkan
dengan Peraturan Bupati/Walikota. Dalam menyusun kebijakan strategi kabupaten/kota
harus berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional serta kebijakan dan strategi provinsi
dalam pengelolaan sampah. Disebutkan kemudian dalam Pasal 9 Ayat (1) bahwa Pemerintah
kabupaten/kota selain menetapkan kebijakan dan strategi juga menyusun dokumen rencana
induk dan studi kelayakan pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah
rumah tangga. Penyelenggaraan pengelolaan sampah meliputi pengurangan sampah dan
penanganan sampah. Setiap orang wajib melakukan pengurangan sampah dan penanganan
sampah.
Pengurangan sampah meliputi: a. pembatasan timbulan sampah; b. pendauran
ulang sampah; dan/atau c. pemanfaatan kembali sampah. Pengurangan sampah dilakukan
dengan cara: a. menggunakan bahan yang dapat diguna ulang, bahan yang dapat didaur
ulang, dan/atau bahan yang mudah diurai oleh proses alam; dan/atau b. mengumpulkan dan
menyerahkan kembali sampah dari produk dan/atau kemasan yang sudah digunakan.
Penanganan sampah meliputi kegiatan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan,
pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.
Pemilahan sampah dilakukan oleh a. setiap orang pada sumbernya; b. pengelola
kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas
umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya; dan c. pemerintah kabupaten/kota.
Pemilahan dilakukan melalui kegiatan pengelompokan sampah menjadi paling sedikit
5 (lima) jenis sampah yang terdiri atas: a. sampah yang mengandung bahan berbahaya
dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun; b. sampah yang mudah
Hal. 31
terurai; c. sampah yang dapat digunakan kembali; d. sampah yang dapat didaur ulang;
dan e. sampah lainnya.
Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan
khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya dalam melakukan pemilahan
sampah wajib menyediakan sarana pemilahansampah skala kawasan.
Pemerintah kabupaten/kota menyediakan sarana pemilahan sampah skala
kabupaten/kota. Pemilahan sampah harus menggunakan sarana yang memenuhi
persyaratan: a. jumlah sarana sesuai jenis pengelompokan sampah; b. diberi label atau
tanda; dan c. bahan, bentuk, dan warna wadah.
Pengumpulan sampah dilakukan oleh: a. pengelola kawasan permukiman, kawasan
komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan
fasilitas lainnya; dan b. pemerintah kabupaten/kota.
Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan
khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya dalam melakukan
pengumpulan sampah wajib menyediakan: a. TPS; b. TPS 3R; dan/atau c. alat
pengumpul untuk sampah terpilah.
Pemerintah kabupaten/kota menyediakan TPS dan/atau TPS 3R pada wilayah
permukiman. TPS dan/atau TPS 3R harus memenuhi persyaratan: a. tersedia sarana
untuk mengelompokkan sampah menjadi paling sedikit 5 (lima) jenis sampah; b. luas
lokasi dan kapasitas sesuai kebutuhan; c. lokasinya mudah diakses; d. tidak mencemari
lingkungan; dan e. memiliki jadwal pengumpulan dan pengangkutan.
Pengangkutan sampah dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah
kabupaten/kota dalam melakukan pengangkutan sampah perlu menyediakan alat
angkut sampah termasuk untuk sampah terpilah yang tidak mencemari lingkungan
dan melakukan pengangkutan sampah dari TPS dan/atau TPS 3R ke TPA atau TPST.
Dalam pengangkutan sampah, pemerintah kabupaten/kota dapat menyediakan stasiun
peralihan antara. Dalam hal dua atau lebih kabupaten/kota melakukan pengolahan
sampah bersama dan memerlukan pengangkutan sampah lintas kabupaten/kota,
pemerintah kabupaten/kota dapat mengusulkan kepada pemerintah provinsi untuk
menyediakan stasiun peralihan antara dan alat angkut.
Pengolahan sampah meliputi kegiatan: a. pemadatan; b. pengomposan; c. daur ulang
materi; dan/atau d. daur ulang energi. Pengolahan sampah dilakukan oleh: a. setiap
Hal. 32
orang pada sumbernya; b. pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial,
kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya;
dan pemerintah kabupaten/kota.
Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan
khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya wajib menyediakan fasilitas
pengolahan sampah skala kawasan yang berupa TPS 3R.
Pemerintah kabupaten/kota menyediakan fasilitas pengolahan sampah pada wilayah
permukiman yang berupa: a. TPS 3R; b. stasiun peralihan antara; c. TPA; dan/atau d.
TPST.
Pemrosesan akhir sampah dilakukan dengan menggunakan: a. metode lahan urug
terkendali; b. metode lahan urug saniter; dan/atau c. teknologi ramah lingkungan.
Pemrosesan akhir sampah dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Dalam
melakukan pemrosesan akhir sampah, pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan
dan mengoperasikan TPA.
Dalam menyediakan TPA, Pemerintah kabupaten/kota: a. melakukan pemilihan lokasi
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota; b.
menyusun analisis biaya dan teknologi; dan c. menyusun rancangan teknis. Lokasi TPA
paling sedikit memenuhi aspek: a. geologi; b. hidrogeologi; c. kemiringan zona; d. jarak
dari lapangan terbang; e. jarak dari permukiman; f. tidak berada di kawasan
lindung/cagar alam; dan/atau g. bukan merupakan daerah banjir periode ulang 25 (dua
puluh lima) tahun.
TPA yang disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus dilengkapi: a. fasilitas dasar; b. fasilitas perlindungan lingkungan; c.
fasilitas operasi; dan d. fasilitas penunjang. Pengoperasian TPA sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis pengoperasian TPA yang
ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pekerjaan umum. Dalam hal TPA tidak dioperasikan sesuai dengan persyaratan teknis,
harus dilakukan penutupan dan/atau rehabilitasi.
Kegiatan penyediaan fasilitas pengolahan dan pemrosesan akhir sampah dilakukan
melalui tahapan: a. perencanaan; b. pembangunan; dan c. pengoperasian dan
pemeliharaan. Pembangunan meliputi kegiatan: a. konstruksi; b. supervisi; dan c. uji
coba.
Hal. 33
Dalam melakukan kegiatan pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir
sampah, Pemerintah kabupaten/kota dapat: a. membentuk kelembagaan pengelola
sampah; b. bermitra dengan badan usaha atau masyarakat; dan/atau c. bekerjasama
dengan pemerintah kabupaten/kota lain.
Hal. 34
menjelaskan bahwa kebijakan yang diatur meliputi (a) arah kebijakan pengurangan dan
penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga dan (b)
strategi, program, dan target pengurangan dan penanganan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang dilaksanakan dalam periode waktu tahun 2017
sampai dengan tahun 2025.
Arah kebijakan pengurangan dan penanganan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga meliputi peningkatan kinerja di bidang:
Pengurangan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga;
Pengurangan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
dilakukan melalui: a. pembatasan iimbulan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga; b. pendauran ulang Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga; dan/atau c. pemanfaatan kembali Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Penanganan Sampah Rumah Tansga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
dilakukan melalui: pemilahan; pengumpulan; pengangkutan; pengolahan; dan
pemrosesan akhir.
Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa target pengurangan dan penanganan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga meliputi:
Pengurangan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
sebesar 30% (tiga puluh persen) dari angka timbulan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga sebelum adanya kebijakan dan strategi
nasional pengurangan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga di tahun 2025.
Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari angka timbulan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga sebelum adanya kebiiakan dan strategi
nasional penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga di tahun 2025.
Hal. 35
Tabel 2. 1 Target Pengurangan dan Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga tahun 2017-2025
Hal. 36
Peraturan Menteri Kajian
rumah tangga di masing-masing rumah
tangga dan alat angkut dari tempat sampah
rumah tangga ke TPS dan b. menjamin
terwujudnya tertib pemilahan sampah di
masing-masing rumah tangga.
Lembaga pengelola sampah tingkat rukun
warga (RW) mempunyai tugas: a.
mengkoordinasikan lembaga pengelolaan
sampah tingkat rukun tetangga; dan b.
mengusulkan kebutuhan tempat
penampungan sementara ke lurah.
Lembaga pengelola sampah tingkat kelurahan
mempunyai tugas: a. mengkoordinasikan
lembaga pengelolaan sampah tingkat rukun
warga; b. mengawasi terselenggaranya tertib
pengelolaan sampah mulai dari tingkat rukun
tetangga sampai rukun warga; dan c.
mengusulkan kebutuhan tempat
penampungan sementara dan tempat
pengolahan sampah terpadu ke camat.
Lembaga pengelola sampah tingkat
kecamatan mempunyai tugas: a.
mengkoordinasikan lembaga pengelolaan
sampah tingkat kelurahan; b. mengawasi
terselenggaranya tertib pengelolaan sampah
mulai dari tingkat rukun warga sampai
kelurahan dan lingkungan kawasan; dan c.
mengusulkan kebutuhan tempat
penampungan sementara dan tempat
pengolahan sampah terpadu ke SKPD atau
BLUD yang membidangi persampahan.
Lembaga pengelola sampah pada kawasan
komersial, kawasan industri, fasilitas umum,
fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya mempunyai
tugas: menyediakan tempat sampah rumah
tangga di masing-masing kawasan; b.
mengangkut sampah dari sumber sampah ke
TPS/TPST atau ke TPA; dan c. menjamin
terwujudnya tertib pemilahan sampah.
BLUD Persampahan mempunyai tugas
melaksanakan kebijakan, strategi, dan rencana
SKPD yang membidangi persampahan. BLUD
Persampahan dalam melaksanakan tugas
didasarkan atas: a. terlaksananya pengelolaan
sampah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan; b. tersedianya barang
Hal. 37
Peraturan Menteri Kajian
dan/atau jasa layanan untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas pelayanan pengelolaan
persampahan; c. tertib administrasi
pengelolaan persampahan dan
pertanggungjawaban kepada SKPD yang
membidangi persampahan. BLUD
Persampahan dapat memungut dan
mengelola biaya atas barang dan/atau jasa
layanan pengelolaan sampah sesuai tarif yang
ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
Peraturan Menteri Lingkungan Pasal 2 Ayat (2) menyebutkan bahwa Kegiatan 3R
Hidup Republik Indonesia Nomor 13 melalui bank sampah sebagaimana dimaksud pada
Tahun 2012 tentang Pedoman ayat (1) dilaksanakan terhadap sampah rumah
Pelaksanaan Reduce, dan Reuse dan tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga.
Recycle Melalui Bank Sampah Pasal 5 menyebutkan mekanisme kerja bank
sampah meliputi: a. pemilahan sampah; b.
penyerahan sampah ke bank sampah; c.
penimbangan sampah; d. pencatatan; e. hasil
penjualan sampah yang diserahkan dimasukkan ke
dalam buku tabungan; dan f. bagi hasil penjualan
sampah antara penabung dan pelaksana.
Melalui bank sampah dikembangkan konsep EPR.
EPR diartikan sebagai strategi yang didisain dalam
upaya mengintegrasikan biaya-biaya lingkungan ke
dalam seluruh proses produksi suatu barang
sampai produk itu tidak dapat dipakai lagi (post
consumer) sehingga biaya biaya lingkungan
menjadi bagian dari komponen harga pasar produk
tersebut. Dengan strategi EPR tersebut, para
produsen harus bertanggungjawab terhadap
seluruh life cycle produk dan/atau kemasan dari
produk yang mereka hasilkan. Ini artinya,
perusahaan yang menjual dan/atau mengimpor
produk dan kemasan yang potensi menghasilkan
sampah wajib bertanggungjawab, baik secara
finansial maupun fisik, terhadap produk dan/atau
kemasan yang masa pakainya telah usai.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai acuan
dan Perumahan Rakyat Nomor 3 bagi Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
Tahun 2013 tentang Kabupaten/Kota, dan orang yang berkepentingan
Penyelenggaraan Prasarana dan dalam penyelenggaraan PSP. Peraturan Menteri ini
Sarana Persampahan dalam bertujuan untuk: a. mewujudkan penyelenggaraan
Penanganan Sampah Rumah Tangga PSP yang efektif, efisien, dan berwawasan
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah lingkungan; b. meningkatkan cakupan pelayanan
Tangga penanganan sampah; c. meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan; d.
Hal. 38
Peraturan Menteri Kajian
melindungi sumber daya air, tanah, dan udara
terhadap pencemaran serta mitigasi perubahan
iklim; dan e. menjadikan sampah sebagai sumber
daya.
Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi
perencanaan umum, penanganan sampah,
penyediaan fasilitas pengolahan dan pemrosesan
akhir sampah, dan penutupan/rehabilitasi TPA.
Sampah yang diatur dalam peraturan menteri ini
meliputi sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga.
Perencanaan umum penyelenggaraan PSP meliputi:
a. rencana induk; b. studi kelayakan; dan c.
perencanaan teknis dan manajemen persampahan.
Perencanaan umum penyelenggaraan PSP untuk
kota besar dan metropolitan terdiri dari: a. rencana
induk; dan b. studi kelayakan. Perencanaan umum
penyelenggaraan PSP untuk kota sedang dan kecil
berupa perencanaan teknis dan manajemen
persampahan
Peraturan Menteri Lingkungan Disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) bahwa Gubernur
Hidup dan Kehutanan Nomor dan bupati/wali kota sesuai dengan
P.10/MENLHK/SETJEN/PLB.0/4/2018 kewenangannya wajib menyusun Jakstrada.
tentang Pedoman Penyusunan Jakstrada memuat: a. arah kebijakan pengurangan
Kebiajkan dan Strategi Daerah dan penanganan Sampah Rumah Tangga dan
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga; dan b.
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah strategi, program, dan target pengurangan dan
Tangga penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga. Jakstrada
dilaksanakan dalam periode waktu tahun 2018
sampai dengan tahun 2025.
Diatur dalam Pasal 16 bahwa hasil pelaksanaan
Jakstrada dilaporkan kepada: a. Menteri dengan
tembusan kepada menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negeri dan menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perencanaan pembangunan nasional, untuk
Jakstrada provinsi; dan b. Gubernur, untuk
Jakstrada kabupaten/kota. Laporan Jakstrada
dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 39
2.2. 5 Peraturan Daerah Kota Semarang
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Peraturan
Daerah terdiri atas: Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Oleh
karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai Peraturan Daerah untuk mengetahui dasar dan
tata aturan yang berlaku dalam upaya Pemerintah Kota Semarang mengadakan Kajian
Optimalisasi Pendapatan Daerah dari Sampah Kota Semarang. Peraturan Daerah yang dikaji
adalah sebagai berikut,
Hal. 40
Peraturan Daerah Kajian
pada kawasan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi: a. diwajibkan melakukan penghijauan
kawasan sekitar TPA; b. dilarang mengembangkan permukiman
di kawasan TPA; c. diizinkan bersyarat pembangunan fasilitas
pendukung kegiatan pengelolaan sampah di kawasan TPA; dan
d. mengatur penempatan TPST di setiap pusat kawasan.
Pasal 119 Ayat (3) huruf h menyebutkan bahwa setiap kawasan
perumahan diarahkan melakukan pengelolaan sampah secara
terpadu.
Peraturan Daerah Kota Disebutkan dalam pasal 2 bahwa Retribusi Pelayanan
Semarang Nomor 2 Persampahan/Kebersihan digolongkan dalam retribusi jasa
tahun 2012 tentang umum. Dengan nama Retribusi Pelayanan
Retribusi Jasa Umum di Persampahan/Kebersihan dipungut retribusi atas pelayanan
Kota Semarang yang diberikan Pemerintah Daerah dalam pengambilan,
pengangkutan dan pemrosesan akhir serta penyediaan lokasi
pembuangan/pemusnahan/pemrosesan akhir sampah.
Pasal 4 menyebutkan bahwa Obyek Retribusi Pelayanan
Persampahan/Kebersihan adalah pelayanan
persampahan/kebersihan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah, meliputi: a. pengambilan dan
pengangkutan sampah dari sumber sampah ke lokasi tempat
pembuangan/pemusnahan/pemrosesan akhir sampah untuk
sampah Niaga; b. pengambilan dan pengangkutan sampah dari
tempat penampungan sementara ke lokasi tempat
pembuangan/ pemusnahan/pemrosesan akhir sampah untuk
sampah Bukan Niaga; c. Penyediaan lokasi
pembuangan/pemusnahan/pemrosesan akhir sampah. Hal ini
dapat dikecualikan dari obyek retribusi adalah pelayanan
kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial dan
tempat umum lainnya.
Subyek Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan adalah
orang pribadi atau badan yang mendapatkan jasa pelayanan
persampahan/ kebersihan dari Pemerintah Daerah.
Pasal 7 menyebutkan tingkat penggunaan jasa Retribusi
Pengelolaan Persampahan/ Kebersihan, diukur berdasarkan
klasifikasi tempat, volume sampah dan lebar jalan.
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum
ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang
bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan
efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
Struktur dan besarnya Tarif Retribusi Pelayanan Persampahan/
Kebersihan digolongkan dalam: a. Rumah Tangga dan; b. Niaga.
Struktur Tarif Retribusi Pelayanan Persampahan/ kebersihan
rumah tangga dibedakan menurut lebar jalan. Struktur Tarif
Retribusi Pelayanan Persampahan/ kebersihan niaga dibedakan
menurut jenis dan golongan usaha, lebar jalan dan volume
Hal. 41
Peraturan Daerah Kajian
timbulan sampah
Peraturan Daerah Kota Pasal 5 menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah bertugas
Semarang Nomor 6 menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan
Tahun 2012 tentang berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan sebagaimana
Pengelolaan Sampah. dimaksud dalam Peraturan Daerah ini.
Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pengelolaan
sampah wajib memiliki izin dari Walikota. Jenis usaha
pengelolaan sampah terdiri dari: a. pengangkutan sampah dan
b. pengolahan sampah. Keputusan mengenai pemberian izin
pengelolaan sampah harus diumumkan kepada masyarakat.
Pemerintah Daerah menyusun rencana pengurangan dan
penanganan sampah yang dituangkan dalam rencana strategis
dan rencana kerja SKPD. Rencana strategis pengurangan dan
penanganan sampah sekurang-kurangnya memuat: a. target
pengurangan sampah; b. target penyediaan sarana - prasarana
pengurangan dan penanganan sampah mulai dari sumber
timbulan sampah sampai dengan TPA; c. pola pengembangan
kerjasama daerah, kemitraan, dan partisipasi masyarakat; d.
kebutuhan penyediaan pembiayaan yang ditanggung oleh
pemerintahan daerah dan masyarakat sebagai sumber timbulan
sampah; dan e. rencana pengembangan dan pemanfaatan
teknologi yang ramah lingkungan dalam memenuhi kebutuhan
mengguna ulang, mandaur ulang dan penanganan akhir
sampah.
Dalam Pasal 30 disebutkan bahwa Pemerintah daerah
menyediakan TPS, TPST dan TPA sesuai dengankerencana
strategis dan rencana kerja. Penyediaan TPS, TPST dan TPA
memenuhi persyaratan teknis sistem pengolahan sampah yang
aman dan ramah lingkungan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Penyediaan TPS, TPST dan TPA sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang. Pengelola
kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, dan
kawasan khusus wajib menyediakan TPST di kawasan yang
dikelola dengan difasilitasi oleh Pemerintah Daerah. Penyediaan
TPST harus memenuhi persyaratan teknis sistem pengolahan
sampah yang aman dan ramah lingkungan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan. Penyediaan TPST sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang.
Ketentuan Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial,
kawasan industri, dan kawasan khusus wajib menyediakan TPST
di kawasan yang dikelola diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Walikota.
TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dapat diubah
menjadi TPST dengan pertimbangan efektif dan efisien.
Dalam Pasal 42 disebuitkan bahwa Pemerintah daerah dapat
melakukan kerja sama antar pemerintah daerah atau
Hal. 42
Peraturan Daerah Kajian
pemerintah daerah bermitra dengan badan usaha dalam
pengelolaan sampah. Pemerintah daerah dapat bermitra
dengan badan usaha dalam pengelolaan sampah. Lingkup
kemitraan antara lain: a. penarikan retribusi pelayanan
persampahan; b. penyediaan/pembangunan TPS atau TPST,
TPA, serta sarana dan prasarana pendukungnya; c.
pengangkutan sampah dari TPS/TPST ke TPA; d. pengelolaan
TPA; dan/atau e. pengelolaan produk olahan lainnya.
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 43
Potensi bahaya lainnya yang sejenis. Penyusunan sistem tanggap darurat pengelolaan
sampah pada setiap tahapan penanganan sampah merupakan serangkaian kegiatan
pengendalian yang teridri atas pencegahan dan penanggulangan bahaya.
Pasal 33 menyebutkan bahwa Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dalam
bidang Perizinan Pengelolaan Sampah mengelola dan mengembangkan Sistem Informasi
Perizinan Pengelolaan Sampah dengan sistem elektronik dan teknologi informasi yang
memuat:
Syarat dan tata cara Perizinan Pengelolaan Sampah;
Data dan jumlah izin pengelolaan sampah beserta jenis kegiatan usaha pengelolaan
sampah dan pemilik izin usaha yang terdiri atas:
Jumlah izin pengelolaan sampah yang telah diterbitkan;
Jumlah perpanjangan izin pengelolaan sampah yang telah diterbitkan; dan
Jumlah perubahan izin pengelolaan sampah yang telah diterbitkan; serta
Data jumlah pemegang/pemilik izin pengelolaan sampah yang telah melanggar
Peraturan Daerah dan Peraturan Walikota ini telah diberi sanksi administratif.
Hal. 44
Golongan usaha kecil, terdiri atas kantor, warung makan, mini market, toko,
salon, arena olah raga, balai pengobatan/klinik, apotik, hotel tidak
berbintang/losmen/penginapan dan usaha sejenis lainnya terletak di:
Jalan kelas V dengan lebar kurang dari 4 (empat) meter sebesar Rp
18.000,00 (delapan belas ribu rupiah) per bulan.
Jalan kelas IV dengan lebar 4 (empat) meter sampai dengan kurang dari 6
(enam) meter dan kelas III dengan lebar 6 (enam) meter sampai dengan
kurang dari 8 (delapan) meter sebesar Rp 43.000,00 (empat puluh tiga ribu
rupiah) per bulan.
Jalan kelas II dengan lebar 8 (delapan) meter sampai dengan kurang dari
10 (sepuluh) meter dan kelas I dengan lebar 10 (sepuluh) meter keatas
sebesar Rp 75.000,00 (tujuh puluh lima ribu rupiah) per bulan.
Golongan usaha besar terdiri dari hotel berbintang, supermarket/mall,
pabrik/industri/pergudangan, rumah sakit, restoran/rumah makan, komplek
perkantoran dan usaha sejenis lainnya dikenakan tarif dasar pelayanan
persampahan/kebersihan sebesar Rp 350.000,00 (tiga ratus lima puluh ribu
rupiah) per bulan ditambah tarif pelayanan sebesar Rp 55.000,00 (lima puluh lima
ribu rupiah) per meter kubik (m3)
Tarif pengelolaan sampah pasar:
Kios sebesar Rp 1.000,00 (seribu rupiah) per kios per hari.
Los sebesar Rp 1.000,00 (seribu rupiah) per los per hari.
Dasaran terbuka sebesar Rp 1.000,00 (seribu rupiah) per dasaran terbuka per hari.
Tarif pengelolaan sampah PKL:
Jalan kelas V dengan lebar kurang dari 4 (empat) meter sebesar Rp 1.000,00
(seribu rupiah) per bulan.
Jalan kelas IV dengan lebar 4 (empat) meter sampai dengan kurang dari 6 (enam)
meter dan kelas III dengan lebar 6 (enam) meter sampai dengan kurang dari 8
(delapan) meter sebesar Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah) per bulan.
Jalan kelas II dengan lebar 8 (delapan) meter sampai dengan kurang dari 10
(sepuluh) meter dan kelas I dengan lebar 10 (sepuluh) meter keatas sebesar Rp
4.000,00 (empat ribu rupiah) per bulan.
Hal. 45
Tarif pembuangan langsung di TPA sebesar Rp 12.000,00 (dua belas ribu rupiah) per
m3.
2.2.6. 4 Peraturan Walikota Semarang Nomor 79 Tahun 2018 tentang Kebijakan dan
Strategi Daerah Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Walikota Semarang Nomor 34 Tahun 2019 tentang Perubahan
Hal. 46
Atas Peraturan Walikota Semarang Nomor 79 Tahun 2018 Tentang
Kebijakan dan Strategi Daerah Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
Pasal 8 menyebutkan bahwa dalam Penyelenggaraan Jakstrada, Walikota sesuai
dengan kewenangannya bertugas untuk: a. menyusun dan melaksanakan Jakstrada Kota
Semarang; b. melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Jakstrada; dan c.
menyampaikan hasil pelaksanaan Jakstrada kepada Gubernur paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun. Pemerintah Daerah bertanggungjawab menyediakan tanah, sarana,
dan prasarana pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemantauan dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai capaian
pengurangan dan penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga. Pemantauan dikoordinasikan oleh Walikota. Hasil capaian pengurangan dan
penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga disusun
dalam bentuk laporan Jakstrada. Terhadap laporan Jakstrada dilakukan evaluasi oleh
Walikota melalui: a. pembandingan antara capaian dengan target perencanaan; dan b.
identifikasi dan penyelesaian hambatan pelaksanaan.
Tabel 2. 4 Target Pengurangan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga Tingkat Kota Semarang Tahun 2018-2025
Tabel 2. 5 Target Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga Tingkat Kota Semarang Tahun 2018-2025
Hal. 47
2. 3 Kelembagaan Penyelenggaran Sistem Persampahan
2.3. 1 Kelembagaan Sistem Persampahan Wilayah
Organisasi dan manajemen pengelolaan sampah merupakan faktor untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna dari sistem pengelolaan sampah. Organisasi dan
manajemen juga mempunyai peranan pokok dalam menggerakan, mengaktifkan dan
mengarahkan sistem pengelolaan sampah dengan ruang lingkup bentuk institusi pola
organisasi, personalia serta manajemen (perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian) untuk
jenjang strategis, teknis maupun operasional.
Hal. 48
Hidup Kota Semarang, perlu ditinjau kembali dan kemudian ditetapkan bahwa
Pembentukan, Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Dinas Kebersihan dan Pengelolaan Sampah Wilayah I, Wilayah II, Wilayah
III, dan Wilayah IV pada Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang.
UPTD Kebersihan dan Pengelolaan Sampah Wilayah I, Wilayah II, Wilayah III, dan
Wilayah IV adalah unsur pelaksana tugas teknis pada Dinas Lingkungan Hidup. UPTD
Kebersihan dan Pengelolaan Sampah Wilayah I, Wilayah II, Wilayah III, dan Wilayah IV
dipimpin oleh seorang Kepala UPTD yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab
kepada Kepala Dinas melalui Sekretaris. Susunan Organisasi UPTD Kebersihan dan
Pengelolaan Sampah Wilayah I, Wilayah II, Wilayah III, dan Wilayah IV terdiri atas: a. Kepala;
b. Sub Bagian Tata Usaha; dan c. Jabatan Fungsional; Sub Bagian dipimpin oleh seorang
Kepala Sub Bagian yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala
UPTD.
Untuk melaksanakan tugas, UPTD Kebersihan dan Pengelolaan Sampah Wilayah
I, Wilayah II, Wilayah III, dan Wilayah IV fungsi: a. perencanaan program, kegiatan dan
anggaran; b. pendistribusian tugas kepada bawahan; c. pemberian petunjuk kepada
bawahan; d. penyeliaan tugas bawahan dalam lingkup tanggungjawabnya; e. pelaksanaan
kegiatan penyusunan Sasaran Kerja Pegawai; f. pelaksanaan koordinasi dengan perangkat
daerah lainnya dan instansi terkait atas persetujuan pimpinan; g. pelaksanaan penyusunan
pedoman penyelenggaraan pelayanan kebersihan di wilayah kerjanya; h. pelaksanaan
penyusunan rencana kebutuhan prasarana dan sarana kebersihan di wilayah kerjanya; i.
pelaksanaan pelayanan kebersihan dan pembangunan fisik sarana dan prasarana di wilayah
kerjanya; j. pelaksanaan sistem penyapuan, pengumpulan, pengangkutan dan pemilahan
sampah di wilayah kerjanya; k. pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan sarana UPTD
Kebersihan dan Pengelolaan Sampah di wilayah kerjanya; l. pelaksanaan inventarisasi dan
pendataan aset kebersihan dan pengelolaan sampah di wilayah kerjanya; m. pelaksanaan
monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pelayanan kebersihan di wilayah kerjanya; n.
pelaksanaan ketatausahaan UPTD Kebersihan dan Pengelolaan Sampah di wilayah kerjanya;
o. pelaksanaan kegiatan penyusunan dan pelayanan data dan informasi di UPTD Kebersihan
dan Pengelolaan Sampah di wilayah kerjanya; p. pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan di UPTD Kebersihan dan Pengelolaan Sampah di wilayah
kerjanya; q. pelaksanaan penilaian kinerja pegawai dalam lingkup tanggungjawabya; r.
Hal. 49
pelaksanaan monitoring dan evaluasi program dan kegiatan; s. pelaksanaan penyusunan
laporan program dan kegiatan; dan t. pelaksanaan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh
pimpinan sesuai tugas dan fungsinya.
Hal. 50
sarana UPTDTPA; i. pelaksanaan pengelolaan, penampungan dan pemrosesan akhir sampah;
j. pelaksanaan pencatatan dan penimbangan terhadap kendaraan pengangkut sampah yang
masuk ke Tempat Pemrosesan Akhir Sampah; k. pelaksanaan pengaturan penempatan
sampah di Tempat Pemrosesan Akhir Sampah dalam bentuk sel-sel; l. pelaksanaan
penutupan sampah dengan tanah penutup (soil cover); m. pelaksanaan pengolahan leachate
di Tempat Pemrosesan Akhir Sampah; n. pelaksanaan pendataan volume sampah yang
masuk ke Tempat Pemrosesan Akhir Sampah; o. pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan
sarana yang ada di Tempat Pemrosesan Akhir Sampah; p. pelaksanaan monitoring, evaluasi
dan pelaporan pengelolaan tempat pemrosesan akhir sampah; q. pelaksanaan ketatausahaan
UPTD TPA; r. pelaksanaan kegiatan penyusunan dan pelayanan data dan informasi di UPTD
TPA; s. pelaksanaan kegiatan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan di UPTD TPA;
t. pelaksanaan penilaian kinerja pegawai dalam lingkup tanggungjawabnya; u. pelaksanaan
monitoring dan evaluasi program dan kegiatan; v. pelaksanaan penyusunan laporan program
dan kegiatan;dan w. pelaksanaan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh pimpinan sesuai
tugas dan fungsinya.
Hal. 51
Sumber: Peraturan Walikota No 112 Tahun 2016
Hal. 52
Di negara-negara Asia, istilah sampah perkotaan atau Municipal Solid Waste
(MSW) biasanya merujuk kepada seluruh sampah yang dihasilkan oleh masyarakat. MSW
didefinisikan di negara berkembang seperti Indonesia adalah limbah rumah tangga.
Economic Circular menitikberatkan pada model bisnis, sedangkan konsep yang lain
memandang aspek dampak lingkungan secara lebih mendalam sebagai bagian dari suatu
sistem dan produk (Industrial Ecology dan Cradle to Cradle) atau upaya desain/rancangan
dari produk (Biomimicry). Lebih jauh lagi, satu solusi pemikiran yang seringkali dikutip dalam
rangka manajemen sumber daya yang lebih efisien adalah model “bisnis kinerja”/
performance business (misalnya menawarkan suatu produk sebagai layanan). Meskipun
terdapat beberapa perbedaan, seluruh aliran pemikiran tersebut memiliki titik temu yang
sama, yakni bahwa sistem ekonomi industri yang berjalan saat ini ternyata tidak
berkelanjutan dan harus membangun interaksi yang positif dengan lingkungan hidup.
Hal. 53
plastik, makanan, barang listrik dan elektronik), mencegah limbah dihasilkan dan
mengurangi komponen berbahaya dalam limbah dan produk.
Hal. 54
Kunci utama pengelolaan sampah yang perlu diperhatikan untuk pendekatan
ekonomi sirkular adalah sebagai berikut:
Mengendalikan timbulan sampah yang terus meningkat; hanya sedikit yang berhasil
memisahkan total timbulan sampah (yaitu semua sumber sampah) dari populasi dan
pertumbuhan ekonomi.
Mengendalikan perkembangan limbah padat perkotaan. Sebagai contoh dalam studi
yang disusun OECD, seseorang yang tinggal di wilayah amatan OECD menghasilkan
rata-rata 520 kg sampah kota per tahun; ini 20 kg lebih banyak daripada tahun 1990,
tetapi 30 kg lebih sedikit dari tahun 2000.
Memikirkan kembali pola pengelolaan sampah yang sudah semakin banyak diambil
untuk didaur ulang, tetapi penimbunan tetap menjadi metode pembuangan utama.
Tren utama dan perkembangan terkini di sebagian besar negara adalah jumlah
total limbah yang dihasilkan (yaitu semua sumber limbah) terus meningkat secara umum
sejalan dengan pertumbuhan populasi dan ekonomi. Hanya beberapa negara (seperti
Prancis, Hongaria, Jepang, Republik Slovakia, Spanyol) yang berhasil memisahkan total
timbulan sampah mereka dari perkembangan sosial-ekonomi. Jumlah limbah yang
dihasilkan, komposisinya, dan asalnya bervariasi antar negara; mereka berhubungan dengan
struktur ekonomi dan tingkat investasi dalam inovasi dan teknologi yang lebih bersih.
Diperkirakan bahwa di seluruh dunia, sekitar 2 miliar ton sampah kota dihasilkan
pada tahun 2016 (sekitar 270 kg per orang) dan jumlah ini akan terus bertambah (Bank
Dunia, 2019, What a Waste 2.0). Semakin banyak limbah yang dialihkan dari tempat
pembuangan sampah dan insinerator dan dimasukkan kembali ke dalam perekonomian
melalui pemulihan dan daur ulang. Pra-perawatan bio-fisik semakin banyak digunakan untuk
memfasilitasi pemulihan, meningkatkan efisiensi insinerasi, dan mengurangi jumlah yang
ditimbun. Produsen dan importir semakin didorong atau diharuskan untuk menerima
tanggung jawab atas produk mereka setelah titik penjualan, melalui apa yang disebut
“tanggung jawab produsen yang diperluas” atau “pengawasan produk”.
Hal. 55
dikemukakan bahwa: “Optimalisasi adalah hasil yang dicapai sesuai dengan keinginan, jadi
optimalisasi merupakan pencapaian hasil sesuai harapan secara efektif dan efisien”.
Optimalisasi banyak juga diartikan sebagai ukuran dimana semua kebutuhan dapat dipenuhi
dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Menurut Winardi (2007), optimalisasi adalah
ukuran yang menyebabkan tercapainya tujuan sedangkan jika dipandang dari sudut usaha,
optimalisasi adalah usaha memaksimalkan kegiatan sehingga mewujudkan keuntungan yang
diinginkan atau dikehendaki.
Dari uraian tersebut diketahui bahwa optimalisasi hanya dapat diwujudkan
apabila dalam pewujudannya secara efektif dan efisien. Dalam penyelenggaraan organisasi,
senantiasa tujuan diarahkan untuk mencapai hasil secara efektif dan efisien agar optimal.
Dengan kata lain pencapaian tujuan diharapkan mampu berhasil guna dan berdaya guna.
Efektivitas
The Liang Gie (1991), memberikan pengertian efektivitas sebagai berikut:
“Efektivitas adalah Perbandingan terbalik antara input dan output, antara keuntungan
dan biaya, antara hasil pelaksanaan dengan sumber-sumber yang dipergunakan seperti
halnya juga hasil maksimum yang dicapai dengan penggunaan sumber yang terbatas,
dengan kata lain hubungan antara apa yang telah diselesaikan dengan apa yang harus
diselesaikan. Pada pengertian tersebut, input yang dimaksudkan adalah semua sumber
yaitu sarana dan prasarana yang digunakan organiasi untuk mencapai tujuan.”
Jadi efektivitas dilihat dari hasil pekerjaan yang dilakukan dengan manfaat yang
diberikan bagi organisasi. Efektivitas itu sendiri dapat dilihat dari efek dan akibat yang
dikehendaki untuk menjadi suatu kenyataan, yang tentu saja dilakukan dengan
kemampuan maksimal yang dimiliki oleh seseorang yang merupakan komponen
penting dalam organisasi.
Pengertian efektivitas tersebut nampak lebih luas dan memiliki kriteria yang beragam
pula dalam memandang efektivitas, yaitu dapat sudut ekonomi, phsykoligis, psikologi
dan sosial. Dan secara jelas memberikan suatu standar korelasi yang dapat
menentukan hasil akhir dari kegiatan dan efektifitas juga digunakan sebagai standar
nilai apabila dilakukan dengan dengan sepenuh kemampuan yang ada sebagai unsur
peningkatan yang ada sebagai unsur peningkatan prestasi kerja dan produktivitas kerja
secara maksimal dalam menjangkau aspek yang diinginkan secara kolektif.
Hal. 56
Efektivitas dalam hubungannya dengan dengan optimalisasi peningkatan penerimaan
Pajak Daerah diharapkan agar sistem dan prosedur pemungutan bisa berjalan dan
berlangsung dengan baik, itu harus dilihat dari sistem yang digunakan serta prosedur
pelaksanaan pemungutan juga jadwal pemungutan dan pengawasan harus ditetapkan
secara teratur agar menghasilkan penerimaan pajak yang tinggi.
Efisiensi
Di samping efektivitas, keberhasilan organisasi juga perlu didukung dengan efisisensi.
Adapun pengertian Efisiensi menurut Ibnu Syamsi (2007), adalah perbandingan antara
hasil ril yang dicapai seseorang dengan standar hasil minimumnya. Apabila hail rill itu
diatas standar minimum yang telah ditetapkan, berarti kerjanya efisien. Apabila
hasilnya sama dengan standar hasil yang katakan berarti kerjanya normal. Tetapi
apabila hasilnya rill itu berada di bawah standar minimum, berarti kerjanya tidak
efisien.
Pengertian efisiensi juga dikemukakan oleh Hasibuan (1996) yang mengatakan bahwa:
“Efisien adalah perbandingan antara output dengan input atau perbandingan manfaat
dengan biaya.”
Mengacu pada beberapa pengertian diatas maka efesiensi harus dilihat dari
keberhasilannya minimal sesuatu tolak ukur yang ada yaitu segi pengorbanan riil yang
diberikan dengan standar pengorbanan maksimum. Untuk itu, standar harus
ditetapkan dengan cermat, berdasarkan hasil normal dari (a) Pengalaman-pengalaman
yang banyak, (b) Percobaan berkali-kali, dan (c) Menggunakan perkiraan untuk hal-hal
yang sulit diukur.
Efisiensi dalam hubungannya dengan optimalisasi peningkatan penerimaan Pajak
Daerah sangat ditentukan oleh beberapa jumlah biaya yang diperlukan dan
dikeluarkan sebagai biaya pungut dan penggunaan jumlah petugas pemungutan
pajak, juga ketersediaan sarana dan prasarana yang digunakan dalam pelaksanaan
kegiatan pemungutan pajak tersebut agar bisa mencapai hasil pajak yang tinggi
sehingga bisa berdayaguna.
Berdasarkan uraian di atas, maka optimalsasi terhadap suatu kegiatan adalah
merupakan gambaran dari wujud efisiensi dan efektivitas yang dilaksanakan dan
sangat berkaitan erat, karena optimalisasi kegiatan tidak akan terwujud apabila
efisiensi dan efektivitas tidak dapat diwujudkan terlebih dahulu.
Hal. 57
2.5. 2 Pengelolaan
Pengelolaan berasal dari kata kelola yang berarti mengusahakan, mengurus,
menata yang dalam bahasa Inggris sama dengan “to manage”. Menurut Prajudi (2009)
pengelolaan adalah manajemen daripada sumber-sumber daya. Lebih lanjut dia mengatakan
bahwa manajemen itu sendiri adalah pemanfaatan dan pengendalian daripada semua faktor
atau sumber daya yang menurut perencanaan diperlukan untuk mencapaian atau
menyelesaikan suatu prapta atau tujuan kerja tertentu.
Sementara itu, Arikunto dalam Brata (2005) mengatakan bahwa “Pengelolaan
adalah suatu kegiatan sekelompok orang yang menggerakkan orang lain untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.” Dengan pengertian ini, pengelolaan dalam suatu
organisasi berjalan dengan berlandaskan pada fungsi masing-masing bagian. Di antara
bagian itu saling terkait, mendukung dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Pengelolaan yang baik diharapkan suatu pekerjaan akan berjalan dengan baik, lancar,
terarah, dan tepat waktu dalam mencapai tujuan
Pengelolaan pada dasarnya tidak terlepas dari konteks manajemen bahwa
pengelolaan identik dengan istilah manajemen bahkan ahli seperti Terry dan Rue (2005)
menyamakan antara pengelolaan dan manajemen mengatakan bahwa manajemen adalah
suatu kegiatan, pelaksanaannya adalah “managing” atau pengelolaan, sedangkan
pelaksanaanya adalah manajer atau pengelolaan.
Selanjutnya pengelolaan didefenisikan Pamudji (2004) mengatakan bahwa
“Perkataan pengelolaan sebagai pengurusan yang merubah sesuatu sehingga menjadi baru
yang memiliki nilai-nilai yang tinggi, dengan demikian pengelolaan juga mengandung makna
sebagai perubahan yaitu melakukan usaha-usaha untuk membuat sesuatu menjadi lebih atau
lebih cocok dengan kebutuhan menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat.”
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengelolaan, tidak lain adalah
manajemen yaitu bagaimana memanfaatkan sumber daya yang dimiliki secara efektif dan
efisien sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai. Terry (2006) dalam bukunya
“Principles of Management” mengelompokkan dan membedakan rangkaian kegiatan
manajemen dalam empat fungsi pokok yaitu:
Dalam menggerakkan kelompok menetapkan apa yang harus dilaksanakan oleh
anggota-anggota organisasi untuk menyelesaikan pekerjaan. Dalam fase pertama ini
Hal. 58
perlu juga ditetapkan oleh manajer bila ada tentang bagaimana pekerjaan itu harus
dilakukan. Kegiatan dalam fase ini lazim disebut perencanaan (Planning).
Mendistribusikan atau mengalokasikan tugas kepada anggota kelompok,
mendelegasikan kekuasaan dan menetapkan hubungan kerja antara kelompok.
Kegiatan ini lazim disebut pengorganisasian (Organizing).
Setelah kegiatan perencanaan dan pengorganisasian, manajer perlu menggerakkan
kelompok secara efektif dan efisien ke arah pencapaian tujuan, manajer menggunakan
berbagai sarana seperti: Komunikasi, Kepemimpinan, Perundangan-perundangan,
Pemberian instruksi, dan lain-lain. Kegiatan manajer yang menyebabkan organisasi
menjadi lebih bergerak atau berjalan ini lazim disebut penggerakan (Actuating).
Pada organisasi yang bergerak atau berjalan, manejer harus selalu melakukan
pengawasan atau pengendalian agar gerakan atau jalannya organisasi benar-benar
sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan baik mengenai arahnya maupun caranya.
Kegiatan ini lazim disebut pengawasan (Controlling).
Hal. 59
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yaitu:
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang di peroleh dari sumber-sumber
dalam wilayahnya sendiri yang di pungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk meningkatkan PAD sebagai modal dasar dalam penyelenggaraan otomoni
daerah yang nyata dan bertanggung jawab, memang menimbulkan persoalan tersendiri.
Apabila dilakukan dengan memperbesar porsi bantuan pemerintah pusat atau menggalakan
penggalian potensi PAD dengan asumsi bahawa penambahan sumber-sumber pendapatan
tersebut akan memadai guna menunjang pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintah
daerah. Bila dihubungkan dengan kecenderungan dewasa ini, alternatif keduanya
nampaknya lebih realitis. Pengoptimalan potensi PAD sebagai modal dasar pelaksanaan
otomoni daerah dapat dilihat dari dua dimensi. Pertama sejauh mana daerah meningkatkan
pungutan dari sumber-sumber telah memadai berdasarkan analisis forecasting memiliki
prospek yang baik. Kedua sejauhnya kebijakan untuk memberikan kebebasan kepada daerah
yang kemungkinan untuk mendapatkan sumber pembiayaan yang telah besar telah
dijalankan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, sumber-sumber Pendapatan
Asli Daerah terdiri atas:
Hasil Pajak Daerah.
Yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa
imbalan langsung yang tidak dapat dipaksakan dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang terdiri dari: Pajak Hotel, Pajak Restoran,
Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan
Pengelolaan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir,
Hasil Retribusi Daerah.
Yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah dengan
imbalan langsung dan tidak dapat dipaksakan dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah, yang terdiri dari: Retribusi Jasa Umum, Retribusi
Jasa Usaha, dan Retribusi Perijinan Tertentu.
Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Daerah yang Dipisahkan.
Yaitu Bagian laba, Deviden, dan Penjualan saham milik daerah.
Hal. 60
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, seperti penjualan asset tetap daerah dan
jasa giro.
Dari sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah di atas, masih dilihat dari
realitasnya masih adanya hubungan ketergantungan antara keuangan pusat dengan daerah,
sebagai konsekuensi ketergantungan tersebut, maka peranan Pendapatan Asli Daerah
sebagai indikator kemandirian daerah relatif kurang berarti. Selain itu untuk peningkataan
peranan PAD dalam upaya mencapai optimalisasi penerimaan daerah sangatlah ditentukan
oleh intensifnya. Pemungutan pajak dan retribusi daerah.
Hal. 61
“Retribusi (juga disebut Bea) daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran
disebabkan pemakai atau karena memperoleh jasa dari pekerjaan, usaha atau milki daerah
bagi daerah yang berkepentingan atau karena yang diberikan oleh baik langsung maupun
tidak langsung.”
Pengertian retribusi daerah kemudian dijelaskan lagi dalam Undang-Undang
Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yaitu:
“Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau
diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan”
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi
Daerah yang dimaksud dengan:
Retribusi daerah adalah pungutan sebagai pembayaran jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan pribadi atau badan.
Golongan retribusi adalah pengelompokan retribusi yang meliputi retribusi jasa umum,
retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.
Retribusi jasa umum adalah retribusi atas jasa disediakan atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan pemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh pribadi atau badan.
Retribusi jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah
dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh
sektor swasta.
Retibusi perizinan tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah
dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan
untuk pemberian, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas pemanfaatan
ruang, pengguna sumber daya alam, barang, prasarana, saran atau fasilitas tertentu
guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas maka dapat dikemukakan
ciri-ciri dari retribusi daerah sebagaimana yang disebutkan oleh Riwu Kaho (2007) sebagai
berikut:
Retribusi dipungut oleh daerah.
Hal. 62
Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung
dapat di tunjukkan.
Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan/mengenyam jasa yang
disediakaan daerah.
Bila diperhatikan jenis retribusi daerah yang di pungut, dimana hal ini kabupaten
diberi kewenagan untuk mengadakan pungutan retribusi sesuai dengan pertimbangan
potensi daerahnya masing-masing, maka kabupaten mempunyai prospek yang cukup baik
dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerahnya. Hal ini berarti bahwa daerah
kabupaten mempunyai kesempatan yang luas untuk mengadakan ektensifikasi atau
menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah seoptimal mungkin, sesuai dengan
amanah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
Adapun jenis retribusi daerah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 (perubahan dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) adalah:
Retribusi jasa umum adalah:
Retribusi Pelayanan Kesehatan,
Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan,
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda,
Penduduk dan Akta Catatan Sipil,
Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Penguburan Mayat,
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum,
Retribusi Pelayanan Pasar,
Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor,
Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran,
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta,
Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus,
Retribusi Pengolahan Limbah Cair,
Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang,
Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunika.
Retribusi jasa usaha terdiri dari:
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah,
Hal. 63
Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan,
Retribusi Tempat Pelelangan,
Retribusi Terminal,
Retribusi Tempat Khusus Parkir,
Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa,
Retribusi Rumah Potong Hewan,
Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan,
Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga,
Retribusi Penyeberangan di Air, dan
Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
Retribusi perizinan tertentu terdiri dari:
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol,
Retribusi Izin Gangguan,
Retribusi Izin Trayek, dan
Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Retribusi pelayanan persampahan/ kebersihan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menjelaskan bahwa Pelayanan
Persampahan/Kebersihan adalah pelayanan persampahan/ kebersihan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
Pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara,
Pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke
lokasi pembuangan/pembuangan akhir sampah, dan
Penyediaan lokasi pembuangan/ pemusnahan akhir sampah.
Retribusi Pelayanan Persampahan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Semarang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum di Kota Semarang menjelaskan bahwa
Obyek Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan adalah pelayanan
persampahan/kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi: (a)
pengambilan dan pengangkutan sampah dari sumber sampah ke lokasi tempat
pembuangan/pemusnahan/pemrosesan akhir sampah untuk sampah Niaga, (b) pengambilan
dan pengangkutan sampah dari tempat penampungan sementara ke lokasi tempat
pembuangan/ pemusnahan/pemrosesan akhir sampah untuk sampah Bukan Niaga, dan (c)
Hal. 64
Penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan/pemrosesan akhir sampah. Akan tetapi
dikecualikan dari obyek retribusi adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat
ibadah, sosial dan tempat umum lainnya. Sementara itu, subyek Retribusi Pelayanan
Persampahan/Kebersihan adalah orang pribadi atau badan yang mendapatkan jasa
pelayanan persampahan/ kebersihan dari Pemerintah Daerah.
Hal. 65
dan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan. Selain itu diperlukan dalam pelaksanaan
tugas pemungut retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dalam hal ini aparat yang
bertugas sebagai pemungut retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dengan tingkat
kejujuran yang tinggi, adil, bersih dan berwibawa. Serta faktor sarana dan prasarana yang
memadai yang akan mempermudah gerak aktifitas dalam memungut teribusi
persampahan/kebersihan.
Hal. 66
f istem Persampahan Kota Semarang
Geosistem, Penggunaan Lahan, Kependudukan, Sistem Persampahan Kota
Semarang
Hal. 67
Tugu, Mijen, dan Gunungpati, dan di dataran rendah mempunyai ketinggian 0,75 mdpl. Kota
bawah merupakan pantai dan dataran rendah yang memiliki ketinggian 0.75-3,49 mdpl.
Secara lengkap ketinggian tempat di Kota Semarang yaitu sebagai berikut:
Dataran pesisir pantai: 1% dari luas wilayah total dengan ketinggian wilayah 0-0,75
mdpl;
Dataran rendah: 33% dari luas wilayah total dengan ketinggian wilayah 0,75-5 mdpl;
Dataran tinggi: 66% dari luas wilayah total dengan ketinggian wilayah 5-348 mdpl.
Hal. 68
Lereng I (0-2 %), luasan wilayah Kota Semarang dengan kelerengan sebesar 0-2%
adalah sebesar 16574, 6 Ha (43%). Sebaran wilayah dengan tingkat kelerengan ini
sebagian besar berada meliputi kecamatan Genuk Pedurungan, Gayamsari, Semarang
Timur, Semarang Utara dan Tugu serta sebagian wilayah Kecamatan Tembalang
Banyumanik dan Mijen;
Lereng II (2-15 %), dengan luas wilayah sebesar 14.090,5 Ha (37%). Wilayah di Kota
Semarang dengan tingkat kelerengan ini meliputi kecamatan Semarang Barat,
Semarang Selatan, Candisari, Gajahmungkur, Gunungpati dan Ngaliyan;
Lereng III (15-40 %), meliputi wilayah di sekitar Kaligarang dan Kali Kreo (kecamatan
Gunungpati), sebagian wilayah kecamatan Mijen (daerah Wonoplumbon), sebagian
wilayah kecamatan Banyumanik dan kecamatan Candisari dengan luas keseluruhan
sebesar 7050,8 Ha (18%); dan
Lereng IV (> 40 %) meliputi sebagian wilayah Banyumanik (sebelah tenggara), dan
sebagian wilayah Kecamatan Gunungpati, terutama disekitar Kaligarang dan Kali Kripik
yang memiliki keseluruhan luasan sebesar 766,7 Ha (2%).
Hal. 69
Jenis Tanah Kecamatan
Tembalang dan Ngaliyan
Asosiasi Alluvial Kelabu dan Coklat Genuk, Gayamsari, Pedurungan, Semarang Barat,
Kelabuan Semarang Tengah dan Semarang Timur
Alluvial Hidromorf Grumosol Kelabu Tua Tugu, Semarang Selatan, Genuk, Semarang
Utara.
Sumber: BPS, 2020
3.1. 3 Klimatologi
Kota Semarang memiliki iklim tropis dengan dua jenis musim, yaitu musim
kemarau dan musim penghujan yang memiliki siklus bergantian selam lebih kurang enam
bulan. Menurut data dinas meterologi dan geofisika pada umumnya hujan di Kota Semarang
turun pada bulan Desember sampai Mei, sedangkan antara bulan Juni sampai November
merupakan musim kemarau.
Hal. 70
3. 2 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kota Semarang cukup variatif. Penggunaan lahan yang
sangat dominan di Kota Semarang merupakan lahan perumahan dengan luasan sekitar
kurang lebih 45,25 % dari luas wilayah administratif Kota Semarang dan terbagi menjadi
perumahan kepadatan rendah, perumahan kepadatan sedang, perumahan kepadatan tinggi,
serta perumahan perdagangan dan jasa.
Hal. 71
Penggunaan Lahan Luas (ha)
Perumahan Kepadatan Tinggi 2.477,717
Perumahan Perdagangan dan Jasa 6,018
Peruntukan Industri 527,748
Peternakan 5,964
Puskesmas Balai Pengobatan 8,071
RTH Biru 1.122,905
RTH Fungsi Tertentu 3.570,144
RTH Hutan Kota 85,609
RTH Jalur Hijau Jalan 50,190
RTH Pemakaman 175,007
RTH Taman 121,725
Rumah Sakit Khusus 12,480
Rumah Sakit Umum 66,445
Stasiun 23,961
Terminal 16,771
TPA 31,276
Wisata Alam 5,788
Wisata Buatan 82,143
Wisata Budaya 13,187
Total 39.413,818
Sumber: Dinas Tata Ruang Kota Semarang, 2021
Untuk persentase ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non hijau
(RTNH) di Kota Semarang yaitu sebesar 13,53% dari luas administrasi Kota Semarang.
Persentase RTH di Kota Semarang sendiri di dominasi pada Kecamatan Gunungpati sebesar
3,50% dan di ikuti oleh Kecamatan Tembalang sebesar 1,60%. Sedangkan persentase RTNH
di Kota Semarang juga di dominasi oleh Kecamatan Gunungpati, dengan nilai persentase
sebesar 0,46% dan di ikuti oleh Kecamatan Mijen sebesar 0,33%.
Hal. 72
Kecamatan RTH RTNH
Semarang Barat 0,48 0,25
Semarang Selatan 0,16 0,02
Semarang Tengah 0,03 0,02
Semarang Timur 0,13 0,05
Semarang Utara 0,23 0,23
Tembalang 1,60 0,14
Tugu 0,35 0,18
Total (%) 11,37 2,17
Sumber: Dinas Tata Ruang Kota Semarang, 2021
3. 3 Kependudukan
3.3. 1 Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan
Penduduk Kota Semarang dari tahun 2018 hingga tahun 2020 terkonsentrasi
pada Kecamatan Tembalang, Pedurungan, Banyumanik, Semarang Barat, dan Ngaliyan.
Disamping itu, terjadi penurunan jumlah penduduk Kota Semarang antara tahun 2018
Hal. 73
hingga tahun 2020. Penurunan jumlah penduduk tersebut terdapat pada 14 (empat belas)
kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Semarang Tengah, Semarang Utara, Gayamsari,
Gajahmungkur, Candisari, Pedurungan, Banyumanik, Tembalang, Tugu, Mijen, Semarang
Selatan, Ngaliyan, Semarang Barat, dan Semarang Timur.
Penurunan jumlah penduduk Kota Semarang juga memiliki korelasi dengan laju
pertumbuhan penduduk. Dimana dari tahun 2003 hingga tahun 2016 laju pertumbuhan
penduduk menurun sebesar 1,62%. Meskipun pada tahun 2008 laju pertumbuhan penduduk
meningkat dengan nilai persentase sebesar 1,86 akan tetapi pada tahun 2007 kembali
menurun di angka 1,71%. Untuk lebih jelas terkait dengan jumlah dan laju pertumbuhan
penduduk Kota Semarang, dapat dilihat pada grafik dan tabel berikut:
Hal. 74
Kecamatan 2018 (Jiwa) 2019 (Jiwa) 2020 (Jiwa)
Gayamsari 81.755 83.036 70.261
Smg Timur 74.592 75.762 66.302
Smg Utara 117.801 119.647 117.605
Smg Tengah 60.158 61.102 55.064
Smg Barat 162.501 165.048 148.879
Tugu 32.818 33.333 32.822
Ngaliyan 162.622 165.171 141.727
Sumber: Kota Semarang Dalam Angka, 2021
Hal. 75
Kecamatan Tahun 2018 Tahun 2019 Tahun 2020
(Jiwa/Km2) (Jiwa/Km2) (Jiwa/Km2)
Ngaliyan 4.281 4.348 3.731
Sumber: Kota Semarang Dalam Angka, 2021
Hal. 76
1) Empat TPS tambahan – yang telah dilaksanakan (jumlah saat ini 254)
2) Penggantian dan penambahan total 370 motor roda tiga untuk pengumpulan
sampah – yang telah dan sedang dilaksanakan
3) Penyediaan total 70 truk arm roll baru untuk menggantikan dan menambah
armada yang ada – yang tampaknya belum dilaksanakan, atau sudah
dilaksanakan namun sangat terbatas
4) Peningkatan/perbaikan TPS dengan membangun fondasi kontainer sampah dan
memperluas area 101 unit, dan mengganti 344 kontainer – belum dilaksanakan
atau sudah dilaksanakan namun sangat terbatas
5) Perbaikan pengangkutan sampah dari TPS ke TPA – belum dilaksanakan
Meningkatkan daur ulang dari 13% menjadi 24% melalui upaya-upaya berikut:
1) Mengoptimalkan TPST yang ada dan membangun lima unit baru – empat TPST
baru telah didirikan
2) Pembentukan bank sampah dan program pembuatan kompos oleh masyarakat
di 12 wilayah – hanya sebagian yang dilaksanakan
3) Merencanakan sarana MBT – belum dilaksanakan
4) Pembangunan MRF dengan kapasitas 150 ton/hari – belum dilaksanakan
Peningkatan TPA Jatibarang, termasuk pembangunan zona III dan IV,
mengakuisisi 7,5 hektar lahan, memperbaiki sarana jalan, melakukan kajian untuk
optimalisasi, rehabilitasi sarana pengolahan lindi. Kegiatan-kegiatan ini sedang dilaksanakan
kecuali pembangunan sel-sel TPA yang baru. Pemungutan sampah telah dipindahkan ke
lokasi yang berbeda di dalam kawasan, namun sel-sel TPA belum dibangun.
Meningkatkan kesadaran untuk mendaur ulang melalui program-program di
kelurahan dan lingkungan RT/RW – tampaknya belum dilaksanakan atau telah dilaksanakan
namun sangat terbatas.
Studi kelayakan struktur iuran sampah, penerapan struktur iuran sampah bebas,
dan peningkatan anggaran pengelolaan limbah melalui bantuan pemerintah atau pinjaman
swasta. Mengajak sektor swasta untuk berkontribusi dalam pembiayaan pengelolaan sampah
– belum dilaksanakan kecuali Pemerintah Kota menerima beberapa proposal terkait sarana
WtE oleh investor swasta tanpa negosiasi nyata.
Kegiatan-kegiatan Jangka Menengah (2019-2023) meliputi:
Peningkatan layanan persampahan dari 49% menjadi 57% melalui:
Hal. 77
1) Penyediaan total 3.288 kendaraan pengumpul sampah motor roda tiga untuk
menggantikan dan menambah armada.
2) Penyediaan 73 pengangkut/truk arm roll untuk mengganti dan menambah
armada.
3) Pembangunan tiga TPS baru dan perbaikan 61-unit TPS lainnya.
4) Penyediaan 316 kontainer untuk penggantian dan penambahan cadangan.
Meningkatkan prosentase daur ulang dari 26% menjadi 35% melalui:
1) Pembangunan lima TPST baru.
2) Pembentukan 10 bank sampah dan kelompok pembuatan kompos oleh
masyarakat.
3) Pembangunan MRF berkapasitas 150 ton/hari di TPA Jatibarang.
Kegiatan-kegiatan Jangka Panjang (2024-2033) meliputi:
Meningkatkan persentase layanan persampahan dari 59% menjadi 76% melalui:
1) Penyediaan 8.856 kendaraan pengumpul motor beroda tiga untuk penggantian
dan penambahan armada.
2) Penyediaan 205 pengangkut arm roll baru untuk penggantian dan penambahan
armada.
3) Pembangunan 15 TPS baru dan perbaikan 63 TPS yang ada dan
menambahkan/mengganti 797 kontainer.
Meningkatkan prosentase daur ulang dari 37% menjadi 57% melalui:
1) Pembangunan 11 TPST baru.
2) Pendirian 20 bank sampah baru dan kelompok masyarakat pembuat kompos.
Hal. 78
Tabel 3. 6 Tingkat Unit Timbulan Sampah
Perkembangan yang diantisipasi dari angka unit timbulan sampah sebagai akibat
dari pertumbuhan ekonomi yang diprediksikan diperlihatkan dalam tabel tersebut.
Berdasarkan a) perkiraan perkembangan penduduk dan b) perkiraan pertumbuhan ekonomi
dan juga perkiraan laju angka timbulan sampah per unit, tabel berikut ini memperlihatkan
pengkinian kuantitas sampah yang diperkirakan akan dihasilkan per kecamatan di Semarang.
Hal. 79
Tabel 3. 8 Estimasi Timbulan Sampah 2017-2040
Keterangan:
Tingkat timbulan sampah untuk Indonesia pada tahun 2025 yang diprediksi oleh Bank
Dunia adalah 0,85 kg/kapita*hari (naik dari level saat ini yaitu 0,5 kg/kapita*hari), yang
menunjukkan timbulan sampah yang sedikit lebih rendah dari rerata di negara lain
dalam kelompok pendapatan menengah ke bawah.
Perkiraan timbulan sampah Kota Semarang memprediksikan angka timbulan sampah
unit sebesar 0,75 kg/kapita*tahun dibandingkan dengan tingkat yang diprediksi Bank
Dunia sebesar 0,85 kg/kapita*tahun untuk tahun 2025, yang dianggap tinggi
dibandingkan kota-kota yang serupa di kawasan tersebut.
Hal. 80
Tabel 3. 9 Estimasi Komposisi Sampah
Hal. 81
Berdasarkan tabel tersebut, tingkat layanan di tahun 2012/13 hanya mencapai
sekitar 33% yang berarti hanya sekitar 33% sampah yang dikumpulkan. Sebagai
perbandingan, menurut DLH, 79% dari kelurahan-kelurahan yang ada talah mendapatkan
layanan. Selain itu, TPA Jatibarang menerima sampah dengan jumlah sekitar 750 ton/hari,
sama dengan sekitar 275.000 ton/tahun atau sekitar 83% dari sampah yang dihasilkan.
Tabel berikut menunjukkan perkiraan tingkat pengumpulan sampah saat ini
berdasarkan angka yang didapatkan dari DLH sebagai bagian dari proyek saat ini. Data
didasarkan pada informasi mengenai masing-masing kelurahan di kecamatan.
Permasalahan yang ada adalah bahwa tidak semua produsen sampah dilayani
oleh layanan pengumpulan sampah. Menurut informasi dari DLH Semarang, sekitar 13%
penduduk tidak memiliki akses terhadap layanan sampah. Angka tersebut didasarkan pada
ringkasan mengenai kelurahan-kelurahan yang mana yang dilayani, dan jumlah
Hal. 82
penduduknya. Layanan yang diberikan meliputi penyediaan peralatan di TPS/TPST dan
layanan pengumpulan sampah dengan gerobak/gerobak motor. Namun, terbukti bahwa
tidak seluruh sampah dikumpulkan, bahkan tidak pula dari kelurahan-kelurahan yang
dilayani.
Salah satu cara untuk memastikan hal ini adalah dengan membandingkan jumlah
perkiraan sampah yang dihasilkan oleh penduduk dengan jumlah yang diterima di TPA
Jatibarang. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penimbangan sampah di pintu masuk
pada Tahun 2016 diketahui bahwa rata-rata 780 ton/hari sampah masuk ke TPA. Jumlah
tersebut dibandingkan dengan 879 ton/hari yang dihasilkan dari daerah yang dilayani. Dapat
diperkirakan terdapat perbedaan sekitar 100 ton/hari. Hal ini mungkin disebabkan oleh:
Bahan yang dapat didaur ulang yang ditemukan dan dipisahkan dari limbah selama
pengumpulan/pengangkutan atau di TPS.
Ketidakakuratan dalam perkiraan timbulan sampah.
Hal. 83
Sampah tidak dikumpulkan dari daerah yang dilayani di mana penduduk memilih cara
lain untuk membuang sampah.
Hal. 84
Selain itu, sejumlah besar tempat pengumpulan sampah yang berbeda tersedia
di seluruh pelosok kota. Banyak dari sarana prasarana tersebut, kecuali sebagian besar
gerobak motor roda tiga, yang sudah usang dan memerlukan perbaikan/penggantian.
3.4. 6 Pengangkutan
Pengangkutan sampah dari TPS/TPST dan dari pengumpulan secara langsung
disediakan oleh DLH menggunakan truk arm roll dan truk sampah biasa. Seluruh sampah
tersebut dibawa ke TPA Jatibarang.
Hal. 85
ujung selatan lokasi dan dapat diakses dari jalan akses. Juga terdapat rumah pompa dengan
sebuah genset kecil dan beberapa pompa. Lindi diolah dengan penggabungan proses
anaerobik dan aerobik. Tampak beberapa aerator yang dioperasikan di kolam aerobik.
Sarana lainnya meliputi gedung perkantoran, jembatan timbang, dan jalan lingkar ke tempat
pengolahan. Sarana bergerak mencakup bulldozer, eskavator, wheel loader (pemuat beroda),
dan truk sampah.
Hal. 86
pengelolaan menyeluruh untuk lindi, jadwal penutupan pembuangan sampah harian, akses
terbatas untuk orang-orang yang tidak berwenang, dan lain sebagainya. Sehingga
permasalahan yang sering terjadi seperti kebakaran, kontaminasi air permukaan dan air
tanah, polusi udara, bau dan yang lainnya dapat diidentifikasi.
Hal. 87
c otensi Pendapatan Daerah Dari
Pengelolaan Sampah
Pengelolaan Sampah Kota Semarang, Kelembagaan Pengelolaan Sampah Kota
Semarang, Potensi Pendapatan Dari Pengolahan Sampah
Hal. 88
Penyusunan Prastudi Kelayakan dan Pengoperasian Fasilitas Pengelolaan Sampah
Terpadu TPA Jatibarang Berkelanjutan Semarang, 2018
Laporan Akhir Kajian Model Pengelolaan Persampahan di Kota Semarang, 2018
Laporan Prastudi Kelayakan (Outline Business Case) Ver.2 (FINAL) Bantuan Teknis untuk
Proyek Pengolahan Sampah Menjadi Energi Kota Semarang, 2019
Laporan Akhir Kajian Pengelolaan Sampah di Tingkat Hulu di Kota Semarang, 2021
Laporan Kajian Akhir Prastudi Kelayakan (Final Business Case) Dukungan Teknis untuk
Proyek Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) Kota Semarang, 2021
Kota Semarang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah, dan kota
metropolitan terbesar kelima di Indonesia. Populasi penduduk Kota Semarang pada tahun
2017 dilaporkan berjumlah 1.753.992 jiwa, dengan pertumbuhan populasi sebesar 1,37%
antara 2016 dan 2017. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Semarang menyebutkan
bahwa populasi pada tahun 2018 hanya 1.815.729 jiwa. Dalam beberapa tahun terakhir, Kota
Semarang telah berkembang pesat, dengan pertumbuhan ekonomi (berdasarkan Produk
Domestik Regional Bruto pada Harga Pasar Konstan 2010) sebesar 5,80% di tahun 2016 dan
5,64% pada tahun 2017, dan ditandai dengan munculnya beberapa gedung pencakar langit
di berbagai wilayah di kota ini. Selain membawa banyak dampak positif, perkembangan ini
juga mengarah pada kondisi yang memerlukan perhatian lebih serius dari Pemerintah Kota
Semarang, misalnya potensi untuk menghasilkan sampah dalam jumlah besar.
Sumber utama sampah perkotaan adalah sampah rumah tangga, yang
menyumbang sekitar 55% dari total sampah yang timbul, diikuti oleh sampah dari sekolah,
pasar dan restoran.
Hal. 89
Sumber Sampah % dari Total
Pasar 11,6
Hotel 0,6
Industri 0,4
*Sampah Non Medis
Sumber: Cardno, 2021
Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa setiap upaya untuk mengubah dan
meningkatkan praktik pengelolaan persampahan perkotaan di wilayah Semarang perlu
difokuskan pada rumah tangga, sekolah, pasar, dan usaha kecil. Proporsi pengumpulan
sampah tersebut disusun berdasarkan angka yang diberikan oleh Dinas Lingkungan Hidup
(DLH) Kota Semarang untuk SWMP 2018 yang diperbarui.
Saat ini sebagian besar sampah perkotaan yang diproduksi di Kota Semarang
diangkut oleh Petugas Lapangan untuk ditimbun kemudian di TPA Jatibarang. Selama
bertahun-tahun, TPA yang tersedia telah mencapai kapasitasnya, dan cara alternatif untuk
mengelola aliran sampah perkotaan ini perlu dipikirkan kembali. Salah satu solusi yang
diusulkan adalah dengan membangun Fasilitas Pengolahan Sampah untuk sampah
perkotaan. Teknologi yang dipertimbangkan untuk fasilitas pengolahan ini adalah PSEL
dengan metode insinerasi, yang akan mengurangi volume MSW setidaknya 80% dan pada
akhirnya menghasilkan listrik dari sampah ini.
Merujuk pada hasil analisa produksi MSW dilakukan berdasarkan empat sumber
data berbeda, yaitu Laporan Kajian Hulu Sampah (Lampiran 7 OBC), Laporan Rencana Induk
Akhir Kawasan TPA Jatibarang (2020), Rencana Induk Pengelolaan Sampah untuk Kota
Semarang (Pembaruan di tahun 2019), dan Peraturan Walikota Semarang Nomor 34 Tahun
2019 tentang Kebijakan dan Strategi Daerah untuk Pengelolaan Sampah. Data perkiraan
timbulan sampah dari penelitian ini ditunjukkan dalam tabel berikut:
Hal. 90
Indikator 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
Pengurangan
Timbulan
Sampah
Perkiraan 367.290 365.498 363.488 361.252 365.955 368.231 370.450 367.363
Timbulan
Sampah Jika
Pengurangan
Dilaksanakan
(Ton/Tahun)
Sumber: Cardno, 2021
Dalam data yang telah disusun oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang
selama Tahun 2019 hingga Tahun 2020, bentuk upaya pengurangan sampah yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Semarang adalah pendaur ulangan sampah,
pemanfaatan kembali sampah, dan pembatasan timbulan sampah. Selama kurun waktu
2019-2020, Pemerintah berhasil mendorong upaya pengurangan sampah di Kota Semarang.
Hal. 91
Sementara itu merujuk pada data penerimaan sampah yang tercatat dalam
dokumen UPTD TPA Jatibarang pada Tahun 2016-2020 adalah sebagai berikut:
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa data eksistimg sampah yang
diterima TPA Jatibarang pada Tahun 2018-2020 adalah jauh lebih kecil dari perkiraan
timbulan sampah Kota Semarang yang telah diperkirakan oleh Cardno pada Tahun 2021.
Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh data rujukan (tidak semua sampah yang
dihasilkan terangkut ke TPA/Ada wilayah yang belum terlayani, Terdapat Komunitas
Pengolahan Sampah melalui TPST, TPS3R, maupun Bank Sampah, dan faktor lainnya) yang
digunakan dalam analisa.
Di sisi lain, sebelum adanya perubahan tupoksi menjadi Dinas Kebersihan (d/h
Dinas Kebersihan dan Pertamanan), Dinas Kebersihan dan Pertamanan telah menerbitkan
perkiraan data produksi sampah dan total sampah terangkut dari Tahun 2010 hingga Tahun
2021. Kemudian data tersebut disandingkan dengan data estimasi timbulan sampah dalam
Master Plan Sampah Kota Semarang dan Jakstrada Kota Semarang (Peraturan Walikota
Semarang Nomor 79 Tahun 2018 yang telah diubah melalui Peraturan Walikota Semarang
Nomor 34 Tahun 2019). Melalui persandingan tersebut, dapat dilihat bahwa pada Tahun
Hal. 92
2019-2020 timbulan sampah eksisting Kota Semarang yang tercatat dalam Dokumentasi TPA
Jatibarang melalui Dinas Lingkungan Hidup telah berada di bawah angka-angka proyeksi
tersebut (Tahun 2019 sebesar 341.275 ton/tahun dan Tahun 2020 sebesar 328.500
ton/tahun).
Hal. 93
Eksisting DLH memiliki jumlah yang lebih sedikit dari Sampah Terencana dengan selisih
sebesar 616,33 ton/hari. Total Produksi Sampah Eksisting DLH lebih sedikit dibandingkan
dengan Timbulan Sampah JAKSTRADA dengan selisih 253,35 ton/hari tahun 2025. Total
Produksi Sampah Eksisting DLH pada tahun 2025 sebesar 683 ton/hari dari yang sebelumnya
935 ton/hari pada tahun 2020.
Melalui kajian tersebut, bentuk pengelolaan persampahan di Kota Semarang
yang telah berlangsung saat ini telah memberikan dampak positif terhadap upaya
pengurangan produksi timbulan sampah di Kota Semarang. Dengan melanjutkan kinerja dan
program-program yang telah disusun hingga saat ini, maka Pemerintah Kota Semarang akan
menatap dengan optimis untuk mencapai target Jakstrada di Tahun 2030.
Hal. 94
(Participation). Optimalisasi pengelolaan sampah di setiap kelurahan dengan membangun
Unit Pengolah Sampah (UPS), mengurangi timbunan sampah di TPA dengan mengolahnya di
TPS, meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan komposting rumah tangga, dan
memberlakukan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Untuk menjalankan strategi
peningkatan kebersihan tersebut, Dinas Lingkungan Hidup perlu menjamin:
Berlangsungnya konsistensi kebijakan, artinya program-program yang telah ditetapkan
akan dapat diimplementasikan Dinas Lingkungan Hidup secara konsisten dan
konsekuen.
Sinergis dengan instansi terkait, dalam arti bahwa programprogram yang ditetapkan
didukung oleh unit/instansi terkait, terutama unit kerja yang selama ini terkait secara
langsung dengan Dinas Lingkungan Hidup. Asumsi ini sangat penting untuk
menghindari terjadinya over lapping maupun Tarik menarik kepentingan yang bersifat
ego sentris dari setiap unit kerja yang terkait.
Dukungan sarana prasarana penunjang secara memadai artinya tanpa dukungan
sarana dan prasarana secara memadai, program-program yang telah ditetapkan tidak
akan dapat terimplementasikan secara optimal.
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012, masyarakat berperan
penting dalam pengelolaan sampah di Kota Semarang. Pengelolaan sampah berbasis
masyarakat merupakan pengelolaan sampah yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Masyarakat dilibatkan pada pengelolaan sampah dengan tujuan agar mayarakat menyadari
bahwa permasalahan sampah merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat
(Cecep, 2012: 92).
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah yang dimaksud adalah
dengan tindakan masyarakat, langsung atau tidak langsung yang membantu mengurangi
tugas pengelola kebersihan dalam pengelolaan persampahan. Peran serta masyarakat dalam
pengelolaan sampah di Kota Semarang dibagi dalam dua bentuk yaitu peran serta pada
pembiayaan dan peran serta pada teknis operasional pengelolaan. Peran serta masyarakat
didalam pengelolaan persampahan sangat diperlukan yang meliputi partisipasi masyarakat
dalam pemeliharaan lingkungan, membayar retribusi kebersihan serta pengadaan secara
swadaya berupa tempat sampah dan becak sampah atau gerobak sampah. Peran serta
masyarakat dalam penataan ruang kawasan perkotaan merupakan keharusan agar berbagai
Hal. 95
ide dan aspirasi pemerintah dapat terlaksana secara adil dan seimbang, termasuk bagi
masyarakat perkotaan.
Sesuai penjelasan dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 tahun 2012
tentang Retribusi Jasa Umum di Kota Semarang, pengelolaan sampah dikenai retribusi yang
tergolong dalam retribusi jasa umum sebagai Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan.
Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan dipungut
retribusi atas pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah dalam pengambilan,
pengangkutan dan pemrosesan akhir serta penyediaan lokasi
pembuangan/pemusnahan/pemrosesan akhir sampah. Selanjutnya disampaikan dalam pasal
4 bahwa Obyek Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan adalah pelayanan
persampahan/kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
Pengambilan dan pengangkutan sampah dari sumber sampah ke lokasi tempat
pembuangan/pemusnahan/pemrosesan akhir sampah untuk sampah Niaga;
Pengambilan dan pengangkutan sampah dari tempat penampungan sementara ke
lokasi tempat pembuangan/ pemusnahan/pemrosesan akhir sampah untuk sampah
Bukan Niaga;
Penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan/pemrosesan akhir sampah. Hal ini dapat
dikecualikan dari obyek retribusi adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman,
tempat ibadah, sosial dan tempat umum lainnya.
Gambar 4. 3 Ilustrasi Pengenaan Iuran Sampah dan Retribusi Sampah Pada Domestik
Hal. 96
Selanjutnya dalam dokumen Kajian Model Pengelolaan Persampahan di Kota
Semarang terdapat analisa model pengelolaan persamapahan yang mengacu pada laporan
periodik perbulan terhadap volume sampah harian Kota Semarang tahun 2012. Pendekatan
yang digunakan dalam kajian tersebut terdiri atas 5 aspek berupa teknik operasional,
kelembagaan, pembiayaan dan retribusi, pengaturan/hukum, dan peran serta masyarakat.
Melalui 5 aspek tersebut, maka diperoleh beberapa model pengelolaan persampahan di Kota
Semarang, yaitu sebagai berikut:
Hal. 97
Dilihat dari sisi kelembagaan, beberapa aktor berperan dalam praktek pengelolaan
persampahan. Pihak-pihak yang terlibat ini merupakan gabungan dari unsur informal
dan unsur formal. Para pihak ini mempunyai kontribusi masing-masing dalam setiap
prosesnya.
Pada aspek hukum, proses pengelolaan persampahan di masyarakat tidak selamanya
didasarkan pada peraturan yang bersifat formal. Sebaliknya, terdapat beberapa
tahapan proses yang dilakukan melalui mekanisme kerja yang didasarkan pada
kesepakatan yang bersifat informal.
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan persampahan di tingkat masyarakat
bergantung kepada proses pengolahan sampah yang terjadi. Partisipasi masyarakat
yang tinggi muncul pada tahapan pengelolaan sampah di tingkat komunitas.
Adanya variasi dalam pengelolaan persampahan yang terjadi di tingkat
masyarakat tersebut menyulitkan upaya-upaya untuk membuat kebijakan yang seragam
pada skala kota. Perbedaan yang terjadi tersebut muncul karena berbagai macam faktor
yang tidak mudah untuk dicari persamaan dan tingkat keumuman (generalisasi). Karena
itulah, upaya untuk mengembangkan dan menerapkan model yang seragam pada skala kota
seharusnya mempertimbangkan beberapa aspek, seperti kondisi sosial-ekonomi masyarakat,
kondisi lingkungan permukiman, serta keberadaan prasarana dan sarana pendukung
pengelolaan persampahan yang ada pada saat ini.
Mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut, kemudian Kajian Model
Pengelolaan Persampahan di Kota Semarang mengarahkan Pemerintah Kota Semarang
untuk mempertimbangkan beberapa model pengelolaan persampahan menjadi 3 yaitu
model pengelolaan skala kota, model skala komunitas (TPST, TPS3R, Bank Sampah), dan
model skala komunitas kerjasama swasta (Non TPST, TPS3R, Bank Sampah).
Kebijakan-kebijakan pengelolaan persampahan yang diusulkan dalam Kajian
Model Pengelolaan Persampahan di Kota Semarang adalah sebagai berikut:
Standarisasi aspek-aspek teknis pengelolaan persampahan yang di dalamnya
mencakup juga panduan untuk teknis pengolahan sampah yang terintegrasi dengan
sistem kota, baik pengolahan sampah konvensional maupun pengolahan sampah
dengan menggunakan model daur-ulang.
Mengatur ulang sistem retribusi persampahan dengan mempertimbangkan beban
pembiayaan individual yang ditanggung oleh masyarakat.
Hal. 98
Mengembangkan kerangka regulasi menyeluruh yang mengatur berbagai jenis
kegiatan pengelolaan persampahan yang ada di masyarakat, baik sampah domestik
maupun sampah nondomestik.
Menambah ketersediaan TPS sehingga seluruh wilayah di Kota Semarang terjangkau
dengan fasilitas TPS sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Selain hal-hal tersebut di atas, upaya terkini pemerintah untuk membangun
instalasi pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) pada TPA Jatibarang yang menjadi bagian
dari kebijakan nasional pengelolaan persampahan perlu mempertimbangkan beberapa hal
sebagai berikut:
Adanya kecenderungan peningkatan pengelolaan persampahan dengan daur ulang
mempunyai potensi untuk mengurangi pasokan sampah sebagai bahan baku utama
instalasi PLTSa. Dalam jangka panjang hal ini bisa diselesaikan dengan membangun
kerjasama dengan pemerintah daerah di sekitar Semarang sehingga PLTSa Jatibarang
bisa bersifat regional.
Keberadaan PLTSa tersebut bisa didukung dengan upaya pemilahan sampah yang
teringrasi sehingga jenis sampah yang combustible bisa dipilah dan dikumpulkan
secara kolektif. Proses ini jika dilakukan secara integratif pada skala kota akan
memberikan kontribusi positif dalam pengembangan PLTSa yang akan dibangun.
Beberapa model yang sama yang telah dilaksanakan di negara-negara maju seperti
misalnya Jepang, bisa diadopsi untuk tindak lanjut pelaksanaannya.
Pemerintah Kota bisa memanfaatkan peluang kerjasama dengan Lembaga-lembaga
internasional yang selama ini telah menjadikan Semarang sebagai kota percontohan
dalam pembangunan perkotaan untuk mengembangkan kebijakan yang integratif
sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Hal. 99
pengolahan sampah menjadi energi PLTSa dan pengambilan sampah oleh pemulung.
Gambar berikut merupakan model pengelolaan persampahan skala kota.
Hal. 100
Pembiayaan retribusi persampahan dilakukan melalui dua jalur berdasarkan
langganan PDAM dan non-PDAM. Pembiayaan retribusi melalui PDAM bagi masyarakat yang
berlangganan PDAM, bagi masyarakat yang tidak berlangganan PDAM retribusi sampah
dibayarkan ke pihak kelurahan. Kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan persampahan
skala kota diantaranya DLH, UPTD, kelurahan dan pihak kecamatan serta peluang kerja sama
dengan pihak swasta terkait pengangkutan sampah dari TPS ke TPA.
Hukum yang mengatur terkait proses pemindahan dan pemrosesan akhir
meliputi hukum formal. Hukum tersebut meliputi peraturan terkait retribusi dan teknis pada
model pengelolaan persampahan. Partisipasi dalam pengelolaan persampahan skala kota
berkaitan dengan pengangkutan sampah. Pihak yang paling berperan dalam tahap
pemindahan dan pemrosesan yaitu pihak DLH, UPTD, dan BUMD dalam pengangskutan dan
pemrosesan akhir sampah.
Dalam pengelolaannya, model pengelolaan ini masih dianggap kurang optimal
dalam mendukung pemenuhan target pendapatan pemerintah dari pengolahan sampah.
Beberapa permasalahan yang mengemuka adalah (1) tidak seluruh rumah tangga di Kota
Semarang terlayani PDAM, (2) kurang optimalnya retribusi yang diterima dari rumah tangga
non-PDAM, serta (3) partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pengelolaan persampahan
melalui model ini adalah rendah apabila dibandingkan dengan model komunitas.
Hal. 101
masukkan dalam kas komunitas. Pihak rumah tangga dan KSM memiliki peran yang penting
dalam pengolahan sampah.
Dengan model ini angka pengurangan sampah diperkirakan dalam Kajian
Pengelolaan Sampah di Tingkat Hulu di Kota Semarang Tahun 2021 masih berada di bawah
target pengurangan sampah nasional sebesar 30% pada tahun 2030. Bahkan, target ini pun
belum dapat dicapai pada tahun 2040 karena hanya dapat mencapai 27,56%. Dinyatakan
bahwa menaikkan angka pengurangan sampai dengan 30% sangat sulit dan kemungkinan
mengganggu kelayakan PSEL. Terlepas dari target tersebut, perwujudan target pengurangan
sampah sebagaimana skenario ini membutuhkan sarana prasarana pendukung. Sarana
prasarana yang dibutuhkan dan strategi pemenuhannya adalah sebagai berikut:
Mempromosikan pemilahan dari sumber dengan ketentuan sebagai berikut:
Sampah dibagi menjadi tiga yakni sampah organik, anorganik, dan residu
(termasuk limbah berbahaya dan beracun),
Penyediaan gerobak dengan sekat minimal dua bagian, dengan penyesuaian
pengaturan jadwal pengambilan. Jadwal pengambilan sampah organik
setidaknya dua hari sekali ditempatkan di sekat pertama gerobak dan sekat
kedua untuk sampah anorganik atau residu.
Pemilahan di tingkat sumber dilanjutkan dengan pemilahan di tingkat TPS3R
yang diharapkan mencapai 80% dari potensi bahan adur ulang dan
pengomposan sampah makanan setidaknya 80%.
Apabila pengomposan tidak berjalan maka jenis sampah kantong plastik (kresek)
tidak dapat dipungut dan menjadi masukan untuk PSEL.
Mengembangkan TPS3R minimal 80% dari kebutuhan yang mencapai 923-unit pada
tahun 2040. Untuk mencapai jumlah tersebut perlu dilakukan:
Menambah unit-unit TPS3R baru menyesuaikan dengan jumlah dan kepadatan
penduduk.
Mengubah TPS menjadi TPS3R dengan memberi atap, ruang pemilahan, dan
pengomposan.
Apabila model TPS3R tidak dapat diwujudkan pada suatu wilayah maka dapat
dikembangkan model TPS dan Bank Sampah sebagai alternatif. Yang terpenting
adalah cara kerja pengurangan sampah dimana terjadi pemilahan dari tingkat
sumber dan pemilahan lanjutan.
Hal. 102
Sumber: Kajian Model Pengelolaan Persampahan di Kota Semarang, 2018
Hal. 103
Peningkatan kapasitas operator agar tingkat pemulihan bahan daur ulang dapat
ditingkatkan. Tingkat pemulihan bahan daur ulang pada tahun 2020 mencapai
5,93 ton per tahun sementara untuk mencapai skenario ini setiap unit TPS3R
harus dapat memulihkan bahan daur ulang sebanyak 16% dari total sampah
yang dikelola ditambah pengomposan sampah makanan.
Setiap TPS3R harus tersedia kontainer sampah yang tertutup/beratap untuk
menjaga nilai kalor dan diangkut sesuai jadwal.
Dalam pengelolaannya, model pengelolaan ini masih dianggap kurang optimal
dalam mendukung pemenuhan target pendapatan pemerintah dari pengolahan sampah.
Beberapa permasalahan yang mengemuka adalah (1) Pengelolaan TPST, TPS3R, dan Bank
Sampah masih belum diatur penyertaannya sebagai wajib retribusi sampah dan (2)
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan persampahan melalui model ini
masih tergolong rendah.
Hal. 104
Sumber: Kajian Model Pengelolaan Persampahan di Kota Semarang, 2018
Hal. 105
Kendala lainnya adalah probabilitas adanya kesulitan dana pendonor.
Terbatasnya dana swasta untuk memberi bantuan dan menjalin kemitraan terkadang
membuat kemitraan tidak berjalan dengan optimal. Berdasarkan hasil di lapangan selama ini
memang beberapa program terus dimitrakan. Aktif memasarkan program merupakan salah
satu upaya yang ditempuh agar kemitraan tersebut mengalami keberlanjutan. Dengan aktif
memasarkan program, rekan bermitra menjadi memiliki pengetahuan dan dapat ikut
bermitra guna keberlanjutan program PLPBK.
Selanjutnya adalah dengan memperkuat kelembagaan BKM dan tim pengelola.
Upaya ini dilakukan karena dirasa masyarakat sendiri memang tim pengelola belum terlibat
aktif dalam program PLPBK terutama saat pasca program dibangun. Untuk itu, sangat
penting jika dilakukan kelembangaan BKM untuk memperkuat lembaganya. Upaya lain yang
dilakukan adalah dengan konsistensi kesepakatan bersama. Selama ini yang dirasakan
masyarakat bahwa memang masyarakat sendiri kurang konsisten dalam menjalankan
kesepakatan bersama. Padahal kesepakatan tersebut sudah dibuat namun komitmen dari
masyarakat sendiri masih dirasa kurang untuk penyelenggaraan model ini.
Hal. 106
berdasarkan peraturan yang berlaku, terutama dalam mewajibkan pengelolaan persampahan
pada seluruh pihak di Kota Semarang.
Hal. 107
Peningkatan peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui pendidikan formal sejak
dini, penyuluhan yang intensif, terpadu, dan terus menerus serta diterapkannya sistem
insentif dan disinsentif.
Masyarakat bertanggung jawab atas penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pewadahan
dan atau meyelenggarakan pengumpulan / pengolahan sampah.
Hal. 108
4.2. 2 Strategi Pengelolaan Persampahan
Institusi yang ditunjuk sebagai lembaga pengelola sampah saat ini adalah Dinas
Lingkungan Hidup, UPTD TPA Kota Semarang, dan KSM untuk TPST, TPS 3R, dan Bank
Sampah. Kota Semarang telah mengembangkan "Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6
Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah”. Peraturan ini bertujuan sebagai pedoman untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah
sebagai sumber daya. Peraturan tersebut berisi tata aturan penyelenggaraan pelayanan
pengelolaan sampah sesuai dengan Masterplan. Peraturan tentang petunjuk pelaksanaannya
juga telah dikembangkan berdasarkan “Peraturan Walikota Semarang Nomor 37 Tahun 2015
tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Sampah”.
Dalam rangka pengelolaan sampah, selain regulasi tersebut juga telah dibentuk
lembaga yang mengelola operasional sampah di kota Semarang sesuai dengan Peraturan
Walikota Semarang Nomor 72 Tahun 2016, Peraturan Walikota Semarang Nomor 112 Tahun
2016, dan Peraturan Walikota Semarang Nomor 77 Tahun 2018 adalah Dinas Lingkungan
Hidup yang operasionalnya diselenggarakan oleh UPTD TPA dan UPTD Kebersihan dan
Pengelolaan Sampah Wilayah I, Wilayah II, Wilayah III, dan Wilayah IV. Sementara untuk
institusi penyelenggara pemungutan retribusi sesuai dengan Peraturan Walikota Semarang
Nomor 52 Tahun 2018 adalah PDAM bagi pelanggan PDAM, RT/RW/Kelurahan/Dinas bagi
yang tidak berlangganan PDAM, dan UPTD TPA bagi yang langsung membuang di TPA.
Penyelenggaraan sampah awalnya berada di bawah Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Semarang, namun dalam perkembangannya berubah dan menjadi
kewenangan Dinas Lingkungan Hidup melalui Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14
Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Semarang dan
Peraturan Walikota Nomor 72 Tahun 2016 tentang Pembentukan, kedudukan, susunan
organisasi, tugas dan fungsi serta tata kerja Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang. Yang
bertindak sebagai Regulator adalah Bappeda, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas
Perumahan dan Kawasan Permukiman, sementara yang bertindak sebagai Operator adalah
UPTD TPA dan UPTD Kebersihan dan Pengelolaan Sampah Wilayah I, Wilayah II, Wilayah III,
dan Wilayah IV.
Selain UPTD TPA dan UPTD Kebersihan dan Pengelolaan Sampah Wilayah I,
Wilayah II, Wilayah III, dan Wilayah IV, Kota Semarang melalui kegiatan pemberdayaan, telah
Hal. 109
memiliki beberapa TPST/TPS 3R dan Bank Sampah pada daerah padat penduduk. TPST/TPS
3R dan Bank Sampah tersebut kemudian dikelola secara mandiri oleh masyarakat dengan
membentuk KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dengan rata-rata memiliki 200
SR/lokasi/titik.
Secara umum Struktur KSM adalah sebagai berikut;
KETUA KSM
SEKRETARIS
BENDAHARA
SEKSI PERNCANAAN SEKSI PELAKSANAAN SEKSI PENGAWASAN SEKSI LAIN JIKA PERLU
Pembentukan KSM ini melalui SK Kepala Kelurahan, dengan tugas meliputi: 1).
Bertangung jawab atas pemeliharaan sarana sanitasi tahun anggaran; 2). Bertangung jawab
atas keberlanjutan pemanfaatan sarana sanitasi pada kegiatan Sanitasi Berbasis Masyarakat
Tahun Anggaran; 3). Bertanggung jawab atas pengembangan sarana sanitasi. KSM ini
selanjutnya menjadi mitra pembangunan sarana prasarana air limbah yang dibangun oleh
Pemerintah melalui suatu Perjanjian Kerjasama.
Hal. 110
Masyarakat / KSM, dan lainnya. Model-model kelembagaan tersebut sangat dipengaruhi
setidaknya oleh tingkat beban kerja, jenis sarana dan prasarana, penganggaran, aset, situasi
dan lingkungan pekerjaannya.
Struktur dan organisasi Peragkat Daerah/Bidang/Seksi, melekat dan menjadi
kesatuan dengan Perangkat Daerah Induknya, dan belum terjadi kejelasan pemisahan atara
peran regulator dan operatornya. Sementara jika dalam bentuk UPTD, walaupun masih
melekat dengan perangkat daerah induknya, sudah ada kejelasan pemisahan antara peran
regulator dan operatornya.
Struktur dan organisasi UPTD PPK- BLUD, sebagai pengembangan model UPTD
memiliki keluwesan dalam aspek pengelolaan keuangan, memiliki peran yang diperkenankan
melakukan pengelolaan keuangannya / belanjanya melebihi pagu, dan diperbolehkan
melakukan hutang & piutang, pinjaman jangka panjang dengan persetujuan Walikota.
Struktur dan organisasi BUMD sebagai Badan Usaha Milik Daerah,
kelembagannya dibentuk secara mandiri dan terpisah dari perangkat daerah, namun
kepemilikan modalnya masih milik Pemerintah Daerah yang membentuk. Percontohan dalam
Pengelolaan Kebersihan/Sampah oleh BUMD terdapat di Kota Bandung oleh PD Kebersihan
Kota. Secara garis besar Tugas Pokok Kelembagaan/Institusi Penyelenggaran Sampah
tersebut, setidaknya meliputi; 1). Perencanaan dan Penganggaran; 2). Pembangunan; 3).
Pengangkutan; 4). Pengolahan; 5). Operasi Pemeliharaan; 6). Pelayanan; 7). Koordinasi &
Kerjasama; 8). Pemanfaatan; 9). Administrasi; 10). Pembinaan; 11). Pengawasan dan
Penegndalian;12). Evaluasi; dan 13). Pelaporan.
Dari masing-masing model kelembagaan tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Dalam perspektif iIndikator prioritas, model-model
kelembagaan tersebut dapat dibedakan sebagai berikut;
Hal. 111
No Indikator Prioritas Bentuk Kelembagaan Catatan
3 Pengurangan Subsidi/ UPTD PPK BLUD Peningkatan partisipasi
Keseimbangan konsumen seimbang,
Badan Pengawas.
4 Pembebasan Subsidi/ BUMD Melekat dengan Dukungan aktif Pelanggan/
Mandiri PDAM atau Berdiri Sendiri Forum Pelanggan/ Badan
Pengawas.
5 Hubungan dengan UPTD PPK BLUD & BUMD Keterlibatan Pelanggan.
Pelanggan
6 Stabilias Pegawai Akibat BUMD Profesional, stabil, fleksibel.
Mutasi
7 Sistem Penyesuaian Tarif OPD/UPTD; UPTD PPK- Semua model
BLUD, BUMD kelembagaan
membutuhkan
penyesuaian tarif ini,
namun untuk OPD relatif
lamban.
8 Sistem Pemungutan Tarif OPD/UPTD; UPTD PPK- Semua model
BLUD, BUMD kelembagaan menata
sistem ini, namun OPD
relatif rumit.
Sumber: Penyusun 2021
Hal. 112
Pertama. Unit Pelaksanan Teknis Daerah (UPT/D) yang mengemban misi pelayanan
untuk masyarakat tanpa mengutamakan mendapatkan keuntungan. Kelembagaan
(layanan) UPTD dipilih apabila diperkirakan pendapatan UPTD sebagai operator
layanan belum dapat mengkompensasi pengeluaran operasinya. Perencanaan dan
penganggaran kegiatan UPTD seluruhnya masih menginduk pada Rencana Kegiatan
dan Anggaran (RKA) dinas otonom dimana UPTD bernaung.
Kedua. UPTD yang menerapkan Pola Penerapan Keuangan Badan Layanan Umum
(PPK-BLU/D) yang mengemban misi pelayanan pada masyarakat, tanpa
mengutamakan mencari keuntungan. Perencanaan dan penganggaran kegiatannya
sebagiannya masih menginduk pada Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) dinas
otonom di mana UPTD bernaung. UPTD yang menerapkan PPK-BLU/D dapat menjadi
pilihan apabila tingkat pendapatannya sebagai operator layanan mulai berimbang
dengan pengeluaran operasinya (cost recovered).
Ketiga. Badan Layanan Umum daerah (BLU/D) yang selain mengemban misi pelayanan
pada masyarakat, juga sudah mulai bertujuan mencari keuntungan. Perencanaan dan
penganggaran kegiatannya tidak lagi menginduk pada Rencana Kegiatan dan
Anggaran (RKA) dinas otonom dimana UPTD bernaung. BLU/D dapat menjadi pilihan
apabila tingkat pendapatannya sebagai operator layanan mulai melebihi pengeluaran
operasinya, lebih-lebih lagi jika dapat membiayai investasi dengan modal (equity)
sendiri.
Keempat. Badan Keswadayaan Masyarakat dan Kelompok Swadaya Masyarakat
(BKM/KSM). Misi lembaga yang telah lama hadir di tingkat masyarakat ini semata-mata
adalah memberikan pelayanan pada masyarakat dan tidak bertujuan mencari
keuntungan. Perencanaan dan penganggaran kegiatannya mandiri, tidak menginduk
pada RKA dinas otonom di mana BKM/KSM berafiliasi. BKM/KSM dapat menjadi
pilihan apabila tingkat pendapatan sebagai operator layanan diperkirakan dapat digali
bersama secara swadaya oleh masyarakat dan pengeluarannya pun dibiayai
masyarakat.
Hal. 113
Aspek UPTD Perusda (BUMD) BKM/KSM
Penetapan Status Bupati/Walikota Menteri/Kepala Perangkat Wilayah
Daerah (Lurah)
Risiko Usaha Kabupaten/Kota Daerah Komunitas
Pengambilan Keputusan Tidak Independen Sangat Independen Sangat
Independen
Keberlanjutan Layanan Sedang Sangat Tinggi Sedang
Pembagian Keuntungan Diatur Kab/Kota Diatur Untuk Modal Diatur AD/ART
Equity atau Kesepakatan
Pengurus
O&P Kabupaten/Kota Dana Sendiri Dana Komunitas
Biaya Investasi APBD+APBN Penyertaan Modal Hibah Pemerintah
Pemerintah
Kerjasama Pihak Ke-3 Sedang Sangat Tinggi Sedang
SDM ASN Professional Semi-Professional
Sumbangan ke PAD - Tinggi -
Sumber: Penyusun, 2021
Keterangan:
P : Kontribusi retribusi sampah
RX : Realisasi penerimaan retribusi sampah
RY : Realisasi PAD
n : Tahun tertentu
Dengan dilakukan perhitungan kontribusi maka dapat diketahui berapa besar
kontribusi yang diberikan retribusi sampah terhadap PAD Kota Semarang sesuai dengan
kriteria pada tabel berikut,
Prosentase Kriteria
0% - 10% Sangat kurang
Hal. 114
Prosentase Kriteria
10% - 20% Kurang
20% - 30% Sedang
30% - 40% Cukup
40% - 50% Baik
Di atas 50% Sangat Baik
Sumber: Halim, 2004
Prosentase Penerimaan
Retribusi Sampah thd
PAD 1,0352% 1,1448% 1,1099%
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 115
meningkatkan layanan persampahan pada tahap midstream. Hal ini dapat dicapai dengan
beberapa langkah strategis seperti mengadvokasi kepala daerah dan legislatif, memberikan
media KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) bagi masyarakat, serta menyusun payung
hukum yang berisi besaran tarif retribusi, penarikan dan pemanfaatan hasil retribusi sampah.
Target dan realisasi retribusi pelayaan persampahan di Kota Semarang tahun 2018-2021
(sampai dengan Bulan Agustus 2021 dapat dilihat dalam grafik sebagai berikut,
Dari data yang tertuang dalam grafik di atas dapat dilihat bahwa realisasi
penerimaan retribusi pelayanan persampahan mengalami fluktuasi selama 3 tahun terakhir.
Realisasi pada tahun 2108 sebesar Rp 18.854.306.000,00 meningkat menjadi Rp
23.655.170.000,00 pada tahun 2019 dan t mengalami penurunan pada tahun 2020 menjadi
Rp 22.471.335.000,00. Pada tahun 2017 (tidak terdapat dalam grafik) realisasi penerimaan
retribusi pelayanan kebersihan Kota Semarang adalah sebesar Rp 15.576.444.500,00.
Hal. 116
analisis potensi menurut Harmolie Harun (17:2003) menggunakan persamaan sebagai
berikut,
PtKS = Tarif Retribusi Kebersihan Sampah x Rumah (1)
Hal. 117
sejenis lainnya
Sumber: Peraturan Walikota Nomor 18 Tahun 2018 tentang Perubahan Tarif Retribusi Pelayanan Persampahan/
Kebersihan dan Retribusi Penyediaan dan/ Atau Penyedotan Kakus
Tabel 4. 12 Rencana Penambahan Nilai Retribusi Sampah Tahun 2022 Menurut Kajian
DLH Kota Semarang
Hal. 118
Klasifikasi Golongan Kelas Jalan Market Value 2022 Catatan
PKL Kelas V Rp 1.385 per hari
Kelas IV Rp 3.464 per hari
Kelas III Rp 3.464 per hari
Kelas II Rp 4.849 per hari
Kelas I Rp 4.849 per hari
Pembuangan TPA (Direct) Rp 15.468 per m3
Sumber: DLH Kota Semarang, 2021
Hal. 119
Tabel 4. 13 Bangunan Rumah Tangga di Kota Semarang Berdasarkan Kecamatan
Hal. 120
Tabel 4. 15 Bangunan Niaga Besar di Kota Semarang Berdasarkan Kecamatan
Sementara itu, detail untuk pemetaan niaga berupa kawasan industri, PKL, Pasar,
dan Rumah Sakit dapat ditinjau pada Lampiran 2.
Hal. 121
Tabel 4. 16 Potensi Pendapatan Berdasarkan Pertumbuhan Pendapatan (Serial Times)
Asumsi yang dibangun pada perhitungan tersebut adalah asumsi apabila jumlah
wajib retribusi yang aktif membayar retribusi adalah senilai n%. Sehingga dapat dibangun
bentuk evaluasi serapan pendapatan dari pengolahan sampah dan dibangun strategi untuk
optimalisasi penyerapannya. Hasil perhitungan lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6.
Hal. 122
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 123
Asumsi yang dibangun pada perhitungan tersebut adalah asumsi apabila jumlah
wajib retribusi yang aktif membayar retribusi adalah senilai n%. Sehingga dapat dibangun
bentuk evaluasi serapan pendapatan dari pengolahan sampah dan dibangun strategi untuk
optimalisasi penyerapannya. Hasil perhitungan lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6.
4.3.4. 4 Proyeksi Potensi Pendapatan Dari Iuran Warga Yang Bukan Termasuk
Pendapatan Daerah Dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2
Tahun 2012
Merujuk pada hasil survei yang telah diselenggarakan oleh Bintari berkaitan
dengan Iuran Warga yang ditarik sebagai biaya untuk pengangkutan sampah dari rumah
tangga menuju TPS, besarnya iuran warga yang dipungut adalah berkisar antara Rp 5.000,-
sampai dengan Rp 60.000,- per bulan. Dengan menggunakan ilustrasi berupa grafik, dapat
dilihat bahwa iuran dengan kisaran Rp 7.500 sampai dengan Rp 15.000,- adalah rentang nilai
iuran yang terpopuler yaitu mencapai 80 RT di Kota Semarang, sementara itu iuran dengan
nilai tertinggi adalah sebesar Rp 75.000,- dan hanya terdapat pada 1 (satu) lokasi saja, yaitu
pada Tempat Pembuangan Sampah di daerah Manyaran.
Hal. 124
Sumber: Penyusun, 2021
Dengan menggunakan data dasar berupa daftar iuran warga sesuai hasil
inventarisasi yang telah disusun sebelumnya oleh Bintari juga mempergunakan hasil
identifikasi potensi wajib retribusi di Kota Semarang, maka diperoleh hasil perhitungan
potensi pendapatan daerah yang belum terserap sama sekali yaitu sebesar Rp
100.157.796.000,- setahun dengan asumsi 100 persen warga membayar iuran. Sementara itu,
jika sumsinya 75 % warga membayar iuran sampah, maka potensi penerimaaan retribuai dari
sampah domestic sebesar Rp 75.118.347.000,-. Detail Perhitungan dapat dilihat pada
Lampiran 6.
Hal. 125
Mendapatkan nilai WTP
Nilai WTP diperoleh secara langsung dimana responden menuliskan sendiri besar biaya
yang bersedia dikeluarkan untuk membayar jasa pelayanan pengelolaan sampah.
Menghitung dugaan rata-rata WTP
Nilai dugaan rata-rata WTP, yaitu jumlah keseluruhan nilai WTP dibagi jumlah
responden, dapat dilihat pada rumus berikut,
Keterangan:
EWTP = estimasi rata-rata WTP
Wi = nilai WTP ke-i
n = jumlah sampel
Kurva WTP
Kurva WTP menggambarkan hubungan nilai WTP dengan jumlah responden yang
bersedia mengeluarkan biaya untuk jasa pelayanan pengelolaan sampah.
Menjumlahkan data (Total WTP)
Proses dimana rata-rata penawaran dikalikan total populasi.
Keterangan:
TWTP = estimasi rata-rata WTP
WTPi = nilai WTP ke-i
ni = jumlah sampel ke-i yang bersedia membayar sebesar WTP
i = responden ke-i yang bersedia membayar (i = 1,2,3…n)
Hal. 126
No Kelas Jalan Besarnya Tarif Keterangan
dengan kurang 10 meter
5 Jalan Kelas I dengan lebar 10 meter ke atas Rp 15.000,-/bulan Persil Rumah tangga
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 127
ATP = WTP Menunjukkan kemampuan dan keinginan untuk membayar jasa yang
dikonsumsi pengguna tersebut sama. Pada kondisi ini telah terjadi keseimbangan
antara utilitas pengguna dengan biaya yang dikeluarkan oleh pengguna jasa tersebut.
ATP < WTP Kondisi ini menggambarkan keinginan pengguna untuk membayar jasa
lebih besar dari kemampuan yang dimiliki. Sangatlah wajar bagi seseorang yang
memiliki nilai ATP rendah memiliki nilai WTP yang tinggi karena nilai WTP ditentukan
oleh pertimbangan psikologis pengguna (Ajzen, Rosenthal dan Brown, 2000: 2448). Hal
ini dapat terjadi karena pengguna yang berpenghasilan rendah memiliki utilitas yang
tinggi terhadap jasa tersebut. Keinginan pengguna membayar jasa yang tertahan oleh
kemampuan membayar jasa disebut pengguna tertahan (captive riders).
Bila parameter ATP dan WTP yang ditinjau, maka aspek pengguna dalam hal ini
dijadikan subyek yang menentukan nilai tarif yang diberlakukan dengan prinsip sebagai
berikut (Permata, 2012: 36):
ATP merupakan fungsi dari kemampuan membayar sehingga nilai tarif yang
diberlakukan sedapat mungkin tidak melebihi nilai ATP kelompok masyarakat sasaran.
Campur tangan pemerintah dalam bentuk subsidi langsung, subsidi silang maupun
dukungan pemerintah lainnya dibutuhkan pada kondisi nilai tarif berlaku lebih besar
dari ATP. Hal ini diperlukan agar nilai tarif sama dengan nilai ATP.
WTP merupakan fungsi dari tingkat kepuasan terhadap pelayanan angkutan umum,
sehingga bila nilai WTP masih berada dibawah ATP maka masih dimungkinkan
melakukan peningkatan nilai tarif dengan perbaikan kinerja pelayanan.
Apabila perhitungan tarif berada jauh dibawah ATP dan WTP, maka terdapat
keleluasaan dalam perhitungan/pengajuan nilai tarif baru.
Dengan adanya pertimbangan situasional terhadap posisi AtP dan WtP tersebut,
maka dapat dijelaskan bahwa kondisi penentuan retribusi persampahan di Kota Semarang
adalah sebagai berikut,
Hal. 128
No Kelas Jalan Korelasi AtP dan WtP Keterangan
2 Jalan Kelas IV dengan lebar 4 meter AtP < WtP Keinginan wajib
sampai dengan kurang 6 meter retribusi untuk
membayar retribusi
sampah lebih besar
dari kemampuan
yang dimiliki.
3 Jalan Kelas III dengan lebar 6 meter AtP < WtP Keinginan wajib
sampai dengan kurang 8 meter retribusi untuk
membayar retribusi
sampah lebih besar
dari kemampuan
yang dimiliki.
4 Jalan Kelas II dengan lebar 8 meter AtP = WtP Kemampuan dan
sampai dengan kurang 10 meter keinginan wajib
retribusi untuk
membayar retribusi
sampah adalah sama.
5 Jalan Kelas I dengan lebar 10 meter ke AtP = WtP Kemampuan dan
atas keinginan wajib
retribusi untuk
membayar retribusi
sampah adalah sama.
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 129
f kenario Optimalisasi Pendapatan
Daerah Dari Pengelolaan Sampah
Kajian Isu dan Tantangan, Isu Prioritas, dan Skenario Optimalisasi
Hal. 130
dan Peraturan Walikota Semarang Nomor 18 Tahun 2018 dan Peraturan Walikota Semarang
Nomor 52 Tahun 2018.
Hal. 131
Tabel 5. 3 Realisasi Penerimaan Retribusi Sampah Domestik Dari PDAM
Hal. 132
Nomor 6 Tahun 2020, retribusi adalah biaya pengangkutan sampah dari TPS menuju TPA.
Pemahaman yang tidak utuh inilah yang kemudian menjadi isu dalam optimalisasi
penerimaan retribusi sampah domestik.
Sementara itu, dengan nilai realisasi penerimaan retribusi sampah Tahun 2020
sebesar Rp 22.471.335.400,00 dan realisasi penerimaan retribusi sampah domestik dari
PDAM sebesar Rp 17.161.675.000,00 maka dapat disebutkan bahwa penerimaan retribusi
dari Rumah Tangga Non-PDAM serta Niaga Kecil dan Niaga Besar adalah sebesar Rp
5.309.660.400,00. Mempertimbangkan asumsi penerimaan sebesar 30% yang telah
diperhitungkan oleh Konsultan, maka seharusnya ada sekitar kurang lebih Rp
22.899.913.200,00 yang diterima oleh Pemerintah Kota Semarang dari variabel tersebut.
Bahkan dengan asumsi penerimaan Rumah Tangga PDAM, seharusnya Pemerintah Kota
Semarang masih mendapatkan penerimaan sebesar Rp 10.731.261.800,00 dari variable
tersebut. Setidaknya dengan asumsi nilai terendah tersebut, penerimaan dari Rumah Tangga
Non-PDAM serta niaga kecil dan niaga besar adalah Rp 10.731.261.800,00 atau terdapat
margin negatif sebesar Rp 5.421.601.400,00 dari asumsi 30% potensinya. Sehingga dapat
diidentifikasi bahwa pemungutan retribusi dari sektor Rumah Tangga Non-PDAM, Niaga
kecil, dan Niaga Besar masih belum optimal.
Hal. 133
Variabel Potensi Realisasi Selisih Catatan
PDAM, Niaga Kecil, dan
Niaga Besar.
^Selisih dari potensi
Niaga dengan asumsi
30%
^^ Selisih dari potensi
niaga dengan asumsi
30% dikurangi realisasi
Rumah Tangga PDAM
Sumber: Penyusun, 2021
Dengan menggunakan data dasar berupa daftar iuran warga sesuai hasil
inventarisasi yang telah disusun sebelumnya oleh Bintari juga mempergunakan hasil
identifikasi potensi wajib retribusi di Kota Semarang, maka diperoleh hasil perhitungan
potensi pendapatan daerah yang belum terserap sama sekali yaitu sebesar Rp
100.157.796.000,- setahun dengan asumsi 100 persen warga membayar iuran. Sementara itu,
jika sumsinya 75 % warga membayar iuran sampah, maka potensi penerimaaan retribuai dari
sampah domestic sebesar Rp 75.118.347.000,-. Untuk mengelola penyerapan dana iuran
warga yang memiliki potensi sangat besar ini, Pemerintah Kota Semarang perlu
mempertimbangkan untuk merubah substansi pengenaan retribusi dan mekanisme
pengelolaan sampah dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2012.
Hal. 134
yang mulanya sebagai benda yang membebani PAD menjadi sumber daya yang mampu
memberikan manfaat secara ekonomi. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah perlu
memetakan isu-isu strategis yang berkaitan dengan upaya optimalisasi pendapatan dari
pengolahan sampah sehingga dapat diketahui Langkah-langkah yang diperlukan dalam
upaya perwujudannya. Pemetaan isu strategisnya dapat ditampilkan sebagai berikut,
Hal. 135
Dokumen Perencanaan Isu Strategis
dilayani oleh sektor informal
Organisasi pemerintah yang bertanggung jawab
atas pengelolaan sampah tidak memiliki peralatan
pengumpulan dan pengangkutan sampah yang
memadai, dan peralatan yang mereka gunakan
pada umumnya usang dan tidak terawat
Belum sesuainya kemampuan indikatif Pemerintah
Kurangnya pemahaman untuk pengaturan
pembiayaan sektor persampahan
Belum tersedianya aspek legal yang mendukung
pengelolaan 3-R.
Kapasitas kelembagaan dan operasional
pemerintah daerah dan operator layanan/sarana
persampahan belum memadai bagi permintaan
yang terus meningkat
Kurangnya pemahaman di antara masyarakat
umum mengenai sampah
Tingkat Pelayanan yang belum mencakup seluruh
wilayah adminisitratif Kota Semarang
Tingkat kepentingan pelaku komersial dalam
mengikuti aturan penyelenggaraan pengolahan
sampah oleh Pemerintah Kota Semarang
Laporan Akhir Kajian Model Tingkat Pelayanan yang belum mencakup seluruh
Pengelolaan Persampahan di wilayah adminisitratif Kota Semarang
Kota Semarang, 2018 Kapasitas sarana dan prasarana pengangkutan
sampah yang belum mendukung
kebutuhan/volume pengangkutan.
Belum tersedianya aspek legal yang mendukung
pengelolaan 3-R.
Kurangnya pemahaman di antara masyarakat
umum mengenai sampah
Buku Putih SSK Kota Belum optimalnya cakupan penanganan sampah
Semarang, 2020 Belum optimalnya penanganan sampah di sektor
hulu (reduce, reuse, recycle)
Belum optimalnya penggunaan teknologi
pemusnahan sampah di sektor hilir
Keterbatasan lahan di TPA Jatibarang
Belum optimalnya pembiayaan pengelolaan
sampah
Laporan Akhir Kajian Belum sesuainya upaya integrasi Sektor Informal
Pengelolaan Sampah di dalam Sistem Pengelolaan Sampah Kota
Tingkat Hulu di Kota Sistem pemungutan retribusi sampah domestic
Semarang, 2021 yang belum optimal.
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 136
5.1. 3 Faktor Yang Mempengaruhi Minat Masyarakat Untuk Mengelola Sampah
5.1.3. 1 Faktor Pengaruh Keinginan Membayar Retribusi Sampah Domestik
Analisa faktor yang mempengaruhi keinginan membayar retribusi sampah
diproses dengan menggunakan hasil survei kebutuhan nyata dan diolah dengan statistik
(SPSS). Terdapat 13 faktor yang diasumsikan pada awal penyusunan memiliki pengaruh
terhadap keinginan membayar retribusi sampah, namun melalui pengujian terdapat 5
variabel yang tervalidasi memiliki pengaruh terhadap keinginan masyarakat untuk membayar
retribusi sampah. Faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan untuk membayar adalah
Pendapatan Masyarakat (0,668), Frekuensi Pembuangan Sampah (0,561), Media
Pembuangan Sampah (0,637), Tempat Pembuangan Sampah (0,524), dan Sistem Pengelolaan
Pembuangan Sampah (0,611).
Melalui pengujian lebih lanjut, dilakukan pengelompokan untuk memperoleh
faktor-faktor yang paling mempengaruhi keinginan membayar retribusi sampah. Pengujian
dilakukan dengan melihat korelasi dari masing-masing faktor yang telah tervalidasi.
Component Matrixa
Component
Kategori
1 2
Pendapatan Masyarakat -0,607 0,204
Frekuensi Pembuangan Sampah 0,656 -0,270
Media Pembuangan Sampah 0,416 -0,684
Tempat Pembuangan Sampah 0,686 0,430
Sistem Pengelolaan Sampah 0,414 0,701
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 137
Tabel 5. 8 Rotated Component Matrix Analysis
Hal. 138
Tabel 5. 9 Faktor Pengaruh Keinginan Membayar Retribusi Sampah Domestik
Variabel Faktor
►Frekuensi Pembuangan Sampah
1
►Media Pembuangan Sampah
►Pendapatan Masyarakat
►Tempat Pembuangan Sampah 2
►Sistem Pengelolaan Sampah
Sumber: Penyusun, 2021
Component Matrixa
Component
Kategori
1 2
Pendapatan Masyarakat -0,607 0,204
Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah -0,468 -0,168
Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah 0,439 0,191
Pemilahan Sampah Oleh Masyarakat 0,595 0,387
Kesediaan Masyarakat Untuk Memilah Sampah -0,755 -0,175
Ketertarikan Pengelolaan Sampah Oleh Pemerintah -0,323 0,767
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 139
Kepuasan Pengelolaan Sampah memiliki korelasi dengan faktor 2 sebesar -0,168, variabel
Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah memiliki korelasi dengan faktor 1 sebesar 0,439,
variabel Pemilahan Sampah Oleh Masyarakat memiliki korelasi dengan faktor 1 sebesar
0,595, variabel Kesediaan Masyarakat Untuk Memilah Sampah memiliki korelasi dengan
faktor 2 sebesar -0,175 serta variabel Ketertarikan Pengelolaan Sampah Oleh Pemerintah
memiliki korelasi dengan faktor 2 sebesar 0,767.
Hal. 140
Merujuk pada uji pengelompokan tersebut, diketahui bahwa pendapatan
masyarakat, alasan kualitas pengelolaan sampah, dan pemilahan sampah oleh masyarakat
menjadi satu kategori faktor yang kemudian diidentifikasi sebagai faktor-1 dan tingkat
kepuasan pengelolaan sampah, kesediaan masyarakat untuk memilah sampah, dan
ketertarikan pengelolaan sampah oleh pemerintah menjadi satu kategori tersendiri yang
selanjutnya diidentifikasi sebagai faktor-2. Berdasarkan hasil pengujian tersebut diketahui
bahwa faktor-1 (pendapatan masyarakat, alasan kualitas pengelolaan sampah, dan
pemilahan sampah oleh masyarakat) menjadi faktor yang paling mempengaruhi
kesanggupan masyarakat dalam membayar retribusi sampah.
Variabel Faktor
►Pendapatan Masyarakat
►Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah 1
►Pemilahan Sampah Oleh Masyarakat
►Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah
►Kesediaan Masyarakat Untuk Memilah Sampah 2
►Ketertarikan Pengelolaan Sampah Oleh Pemerintah
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 141
Tabel 5. 13 Component Matrix Analysis
Component Matrixa
Component
Kategori
1 2 3
Pendapatan Usaha per Bulan -0,208 0,830 0,081
Media Pembuangan Sampah -0,050 -0,163 0,655
Tempat Pembuangan Sampah 0,821 0,249 -0,008
Masalah Pembuangan Sampah -0,088 0,555 -0,552
Komposisi Sampah Kertas -0,014 0,510 0,681
Frekuensi Pengangkutan Sampah 0,859 0,019 0,020
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 142
kategori tertentu. Kesimpulan yang diperoleh melalui hasil pengujian dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Variabel Pendapatan Usaha per Bulan termasuk dalam kelompok faktor 2 karena
memiliki nilai korelasi faktor 2 > faktor 3 > faktor 1.
Variabel Media Pembuangan Sampah termasuk dalam kelompok faktor 2 karena
memiliki nilai korelasi faktor 2 > faktor 1 > faktor 3.
Variabel Tempat Pembuangan Sampah termasuk dalam kelompok faktor 1 karena
memiliki nilai korelasi faktor 1 > faktor 2 > faktor 3.
Variabel Masalah Pembuangan Sampah termasuk dalam kelompok faktor 3 karena
memiliki nilai korelasi faktor 3 > faktor 2 > faktor 1.
Variabel Komposisi Sampah Kertas termasuk dalam kelompok faktor 2 karena memiliki
nilai korelasi faktor 2 > faktor 1 > faktor 3.
Variabel Frekuensi Pengangkutan Sampah termasuk dalam kelompok faktor 1 karena
memiliki nilai korelasi faktor 1 > faktor 3 > faktor 2.
Merujuk pada uji pengelompokan tersebut, diketahui bahwa tempat
pembuangan sampah dan frekuensi pengangkutan sampah menjadi satu kategori faktor
yang kemudian diidentifikasi sebagai faktor-1, kemudian pendapatan usaha per bulan, media
pembuangan sampah, komposisi sampah kertas menjadi satu kategori tersendiri yang
selanjutnya diidentifikasi sebagai faktor-2, sementara masalah pembuangan sampah menjadi
ketgori tersendiri yang selanjutnya diidentifikasi sebagai faktor-3. Berdasarkan hasil
pengujian tersebut diketahui bahwa faktor-1 (tempat pembuangan sampah dan frekuensi
pembuangan sampah) menjadi faktor yang paling mempengaruhi keinginan niaga dalam
membayar retribusi sampah.
Variabel Faktor
►Tempat Pembuangan Sampah
1
►Frekuensi Pengangkutan Sampah
►Pendapatan Usaha per Bulan
►Media Pembuangan Sampah 2
►Komposisi Sampah Kertas
►Masalah Pembuangan Sampah 3
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 143
5.1.3. 4 Faktor Pengaruh Kesanggupan Membayar Retribusi Sampah Niaga
Analisa faktor yang mempengaruhi kesanggupan membayar retribusi sampah
niaga diproses dengan menggunakan hasil survei kebutuhan nyata dan diolah dengan
statistik (SPSS). Terdapat 10 faktor yang diasumsikan pada awal penyusunan memiliki
pengaruh terhadap keinginan membayar retribusi sampah, namun melalui pengujian
terdapat 8 variabel yang tervalidasi memiliki pengaruh terhadap kesanggupan niaga untuk
membayar retribusi sampah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesanggupan untuk
membayar adalah Pendapatan Usaha per Bulan (0,537), Biaya Pengelolaan Sampah (0,538),
Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah (0,510), Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah (0,544),
Pemilahan Sampah (0,649), Kesediaan Memilah Sampah (0,678), Jarak Tempat Usaha ke TPSS
(0,508) dan Pengelolaan Sampah Yang Diinginkan (0,647).
Melalui pengujian lebih lanjut, dilakukan pengelompokan untuk memperoleh
faktor-faktor yang paling mempengaruhi kesanggupan membayar retribusi sampah.
Pengujian dilakukan dengan melihat korelasi dari masing-masing faktor yang telah
tervalidasi.
Component Matrixa
Component
Kategori
1 2 3
Pendapatan Usaha per Bulan 0,514 0,633 0,180
Biaya Pengelolaan Sampah 0,784 0,084 0,132
Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah -0,689 0,394 0,269
Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah 0,592 -0,390 -0,276
Pemilahan Sampah -0,634 -0,325 0,098
Kesediaan Memilah Sampah 0,241 0,175 0,647
Jarak Tempat Usaha ke TPSS -0,027 -0,431 0,639
Pengelolaan Sampah Yang Diinginkan -0,283 0,528 -0,273
Sumber: Penyusun, 2021
Hal. 144
Pemilahan Sampah memiliki korelasi dengan faktor 3 sebesar 0,098, variabel Kesediaan
Memilah Sampah memiliki korelasi dengan faktor 3 sebesar 0,647, variabel Jarak Tempat
Usaha ke TPSS memiliki korelasi dengan faktor 3 sebesar 0,639, dan variabel Pengelolaan
Sampah Yang Diinginkan memiliki korelasi dengan faktor 2 sebesar 0,528. Nilai-nilai tersebut
perlu diuji kembali dengan menggunakan rotated component matrix agar dapat divalidasi
pengelompokannya.
Hal. 145
Variabel Kesediaan Memilah Sampah termasuk dalam kelompok faktor 3 karena
memiliki nilai korelasi faktor 3 > faktor 2 > faktor 1.
Variabel Jarak Tempat Usaha ke TPSS termasuk dalam kelompok faktor 3 karena
memiliki nilai korelasi faktor 3 > faktor 1 > faktor 2.
Variabel Pengelolaan Sampah Yang Diinginkan termasuk dalam kelompok faktor 1
karena memiliki nilai korelasi faktor 1 > faktor 2 > faktor 3.
Merujuk pada uji pengelompokan tersebut, diketahui bahwa tingkat kepuasan
pengelolaan sampah, pemilahan sampah, pengelolaan sampah yang diinginkan menjadi satu
kategori faktor yang kemudian diidentifikasi sebagai faktor-1, kemudian pendapatan usaha
per bulan, biaya pengelolaan sampah, dan alasan kualitas pengelolaan sampah menjadi satu
kategori tersendiri yang selanjutnya diidentifikasi sebagai faktor-2, sementara kesediaan
memilah sampah dan jarak tempat usaha ke TPSS menjadi kategori tersendiri yang
selanjutnya diidentifikasi sebagai faktor-3. Berdasarkan hasil pengujian tersebut diketahui
bahwa faktor-1 (tingkat kepuasan pengelolaan sampah, pemilahan sampah, dan pengelolaan
sampah yang diinginkan) menjadi faktor yang paling mempengaruhi keinginan niaga dalam
membayar retribusi sampah.
Variabel Faktor
►Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah
►Pemilahan Sampah 1
►Pengelolaan Sampah Yang Diinginkan
►Pendapatan Usaha per Bulan
►Biaya Pengelolaan Sampah 2
►Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah
►Kesediaan Memilah Sampah
3
►Jarak Tempat Usaha ke TPSS
Sumber: Penyusun, 2021
5. 2 Isu Prioritas
Berdasarkan hasil analisa konsultan terhadap isu-isu yang mempengaruhi
pendapatan Pemerintah Kota Semarang dari pengolahan sampah, diperoleh isu-isu sebagai
berikut:
1. Belum optimalnya pemungutan retribusi domestik non-PDAM dan niaga
2. Ketidaksesuaian antara target/data dan realisasi pengangkutan sampah
Hal. 146
3. Tingkat pelayanan yang belum mencakup seluruh wilayah administratif Kota Semarang
4. Kapasitas sarana dan prasarana pengangkutan yang belum mendukung
kebutuhan/volume pengangkutan
5. Keterbatasan SDM dalam mendukung ketepatan pengangkutan dan frekuensi
pengangkutan
6. Struktur organisasi yang tersedia belum ditunjang dengan kapasitas yang memadai
sesuai dengan kewenangannya
7. Kurangnya koordinasi dan Kerjasama antara instansi terkait yang ada di lapangan
8. Pelimpahan kewenangan pada perangkat daerah (Kecamatan) dalam pemungutan
retribusi belum tepat sasaran
9. Tingginya biaya operasional
10. Belum sesuainya kemampuan indikatif Pemerintah untuk pengelolaan sampah
11. Belum sesuainya pemahaman antar stakeholder untuk pengaturan pembiayaan sektor
persampahan
12. Tingkat kepentingan pelaku niaga dalam mengikuti aturan penyelenggaraan
pengelolaan sampah
13. Belum optimalnya peran serta masyarakat dalam menangani sampah di sektor hulu
14. Belum optimalnya penggunaan teknologi pemusnahan sampah di sektor hilir
15. Belum sesuainya upaya integrasi sektor informal dalam sistem pengelolaan sampah
kota
Merujuk pada hasil diskusi dengan tim teknis yang diselenggarakan pada tanggal
5 Oktober 2021, diperoleh 2 tambahan isu yang merujuk pada aspek hukum yaitu (1) Belum
adanya aspek legal yang bersifat memaksa bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam
membayar retribusi sampah dan (2) Belum adanya aspek legal yang mengatur sanksi atas
pelanggaran terhadap substansi yang mengatur persampahan. Berdasarkan keterkaitan
antara permasalahan/isu-isu strategis yang diidentifikasi tersebut, maka disusunlah pokok
permasalahan yang disusun hingga diperoleh isu-isu strategis dengan mengacu pada
Peraturan Pemerintah 81 Nomor 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, Pengelolaan sampah, yaitu:
Pembiayaan Pengelolaan Sampah (Ekonomi)
1. Tingginya biaya operasional
2. Belum sesuainya kemampuan indikatif Pemerintah untuk pengelolaan sampah
Hal. 147
3. Tingkat kepentingan pelaku niaga dalam mengikuti aturan penyelenggaraan
pengelolaan sampah
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah (Sosial Budaya)
1. Belum sesuainya pemahaman antar stakeholder untuk pengaturan pembiayaan
sektor persampahan
2. Belum optimalnya peran serta masyarakat dalam menangani sampah di sektor
hulu
Teknik Operasional Pengelolaan Sampah (Teknis)
1. Kapasitas sarana dan prasarana pengangkutan yang belum mendukung
kebutuhan/volume pengangkutan
2. Belum optimalnya penggunaan teknologi pemusnahan sampah di sektor hilir
3. Belum sesuainya upaya integrasi sektor informal dalam sistem pengelolaan
sampah kota
Tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi
ke generasi berikutnya (Tata Kelola dan Kelembagaan)
1. Belum optimalnya pemungutan retribusi pada sektor domestik yang tidak
dipungut oleh PDAM dan sektor niaga
2. Ketidaksesuaian antara target/data dan realisasi pengangkutan sampah
3. Tingkat pelayanan yang belum mencakup seluruh wilayah administratif Kota
Semarang
4. Keterbatasan SDM dalam mendukung ketepatan pengangkutan dan frekuensi
pengangkutan
5. Struktur organisasi yang tersedia belum ditunjang dengan kapasitas yang
memadai sesuai dengan kewenangannya
6. Kurangnya koordinasi dan Kerjasama antara instansi terkait yang ada di lapangan
7. Pelimpahan kewenangan pada perangkat daerah (Kecamatan) dalam
pemungutan retribusi belum tepat sasaran
Kepastian hukum dalam pengelolaan persampahan (Hukum)
1. Belum adanya aspek legal yang bersifat memaksa bagi masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam membayar retribusi sampah
2. Belum adanya aspek legal yang mengatur sanksi atas pelanggaran terhadap
substansi yang mengatur persampahan
Hal. 148
5. 3 Skenario Optimalisasi Pendapatan
Sehubungan dengan penentuan isu strategis yang telah dihasilkan melalui
pandangan tenaga ahli, untuk mendapatkan gambaran kondisi pemungutan retribusi
sampah untuk mendukung optimalisasi pendapatan daerah, maka perlu dilakukan
penyusunan pemodelan dengan skenario optimalisasi pengolahan sampah. Kajian
Optimalisasi Pendapatan dari Pengolahan Sampah disusun dengan 3 permodelan skenario
yang nantinya dapat terpilih satu scenario yang dapat digunakan sebagai acuan optimalisasi
pendapatan. Pilihan skenario yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah adalah
sebagai berikut,
Skenario-1. Ekstensifikasi Pendapatan
---Perubahan mekanisme pemungutan retribusi untuk meningkatkan jumlah
Wajib Retribusi---
Ekstensifikasi pendapatan dapat diselenggarakan dengan pengelolaan sumber
penerimaan baru serta penjaringan Wajib Retribusi baru. Pengelolaan sumber penerimaan
baru terutama untuk masyarakat yang pemungutan retribusinya belum terlayani oleh PDAM.
Penjaringan skema kemitraan baru dapat dilakukan melalui Kerjasama dengan institusi yang
memiliki relasi yang melekat dengan masyarakat seperti PLN maupun Bapenda dengan
pengelolaan Pajak PBB. Penjaringan skema kemitraan perlu mempertimbangkan situasi dan
kondisi kebijakan dari masing-masing institusi berkaitan dengan rewards and punishment
dalam kepatuhan konsumen dalam melakukan pembayaran.
Skenario-2. Intensifikasi Pendapatan
---Penghitungan ulang nilai retribusi sebagai acuan peningkatan tarif retribusi
sampah----
Intensifikasi pendapatan dapat dilakukan dengan optimalisasi penerimaan sesuai
potensi daerah serta optimalisasi penerimaan. Salah satu kunci untuk mencapai potensi
retribusi daerah yaitu melalui pemutakhiran atau validasi data retribusi daerah. Validasi data
retribusi daerah dapat dilakukan dengan pengecekan di lapangan secara bertahap apakah
data wajib retribusi masih sama atau sudah berubah. Jika terdapat perubahan perlu
penyesuaian pada basis data. Untuk nilai retribusi perlu dilakukan penyesuaian nilai tarif agar
tidak terlalu jauh dari biaya operasional yang dibutuhkan.
Penyesuaian nilai tarif ini perlu mempertimbangkan beberapa aspek yang dapat
diperbaiki sehingga meningkatkan penerimaan masyarakat dan niaga dalam upaya
Hal. 149
penyesuaian tarif retribusi. Berdasarkan hasil analisa terdapat 3 hal utama yang perlu
dipertimbangkan dalam menetapkan penyesuaian tarif retribusi, yaitu pendapatan
masyarakat/niaga per bulan, pengelolaan sampah yang diinginkan, dan pemilahan sampah.
Selain penyesuaian nilai tarif retribusi, biaya retribusi tertunggak oleh wajib
retribusi merupakan salah satu permasalahan yang harus dapat diselesaikan dan akan
menjadi salah satu sumber penerimaan daerah. Oleh sebab itu, perlu dilakukan verifikasi
retribusi tertunggak kepada seluruh wajib retribusi di Kota Semarang untuk memastikan
kebenaran data tunggakan yang dapat ditagih. Oleh karena itu, untuk ketetapan pengaturan
retribusi tertunggak perlu diatur lebih lanjut penyelenggaraannya dalam peraturan
perundang-undangan melalui peraturan kepala daerah atau ketetapan kepala daerah.
Skenario-3. Penguatan Kelembagaan
---Optimalisasi mekanisme eksisting dalam mencapai potensi pendapatan dari
retribusi sampah---
Penguatan kelembagaan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam
optimalisasi penerimaan daerah. Pengutan kelembagaan dapat dilakukan melalui
restrukturisasi organisasi sesuai kebutuhan daerah, peningkatan kapasitas Sumber Daya
Manusia (SDM), modernisasi administrasi retribusi daerah serta penyederhanaan proses
bisnis.
Kendala yang dihadapi oleh banyak daerah saat ini yaitu kurangnya SDM yang
memiliki keahlian di bidang retribusi khususnya pemungutan dan penindakan, sehingga
perlu upaya peningkatan wawasan SDM melalui penyertaan aparat melalui pelibatan di
setiap Diklat, Workshop, Focus Group Discussion (FGD) dan forum-forum lainnya.
Modernisasi administrasi retribusi daerah melalui penguatan mekanisme
pemungutan retribusi daerah yang dimulai dari pendataan, pendaftaran, pembayaran,
pengawasan, penagihan hingga pemeriksaan. Selain itu pemungutan retribusi dilakukan
melalui pendekatan teknologi informasi dalam pengelolaan retribusi daerah dan kerjasama
dengan instansi terkait antara lain Badan Pendapatan Daerah untuk sinergi pengelolaan data
PBB dan Wajib Retribusi Sampah, Kejaksaan Negeri untuk pendampingan dalam penagihan
retribusi daerah, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP)
untuk sinergi perizinan dan integrasi sistem informasi.
Dengan berbagai upaya yang dilakukan tersebut diatas, diharapkan mampu
meningkatkan pendapatan daerah dari pengolahan sampah. Inovasi yang dilakukan oleh
Hal. 150
daerah dalam upaya peningkatan pendapatan daerah akan menjadi salah satu kunci
keberhasilan. Optimalisasi potensi yang ada di daerah diperlukan untuk dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Hal. 151
masyarakat bukan pelanggan PDAM, karena potensi penerimaannya masih jauh lebih
besar dari yang saat ini dikelola oleh PDAM. Untuk upaya pengembangan SDM dapat
dilakukan melalui beberapa kegiatan berikut,
Menyelenggarakan kegiatan Pengembangan Kapasitas.
Memberikan insentif/reward atas capaian potensi yang telah dicapai.
Optimalisasi Pemanfaatan Teknologi Informasi
Arus Informasi yang cepat didukung dengan teknologi yang baik dapat memudahkan
Pemerintah Kota Semarang dalam optimalisasi penyerapan pendapatan daerah dari
retribusi sampah (Misalnya e-retribusi yang terintegrasi dengan berbagai jaringan
terkait) sehingga OPD teknis terkait mendapatkan kiriman data secara langsung Ketika
terjadi transaksi pembayaran untuk selanjutnya dilakukan monitoring oleh BAPENDA
Kota Semarang. BAPENDA perlu dipertimbangkan untuk mengambil peran dalam
menyambut era teknologi dimana semua dapat di akses lewat komputerisasi tanpa
harus bertemu petugas. Upaya yang dapat dilakukan dalam mengoptimalkan
pemanfaatan Teknologi Informasi antara lain,
Pemanfaatan teknologi informasi berbasis online dimana masyarakat dapat
mengakses informasi apapun terkait retribusi sampah dimana pun dan kapanpun
karena semua informasi dapat diakses lewat komputer ataupun handphone.
Penggunaan Program e-retribusi perlu disederhanakan agar mempermudah
percepatan aliran transaksi tanpa adanya kecurigaan atas penerimaannya.
Bekerjasama dengan beberapa merchant dalam pengadaan perangkat elektronik
pendukung di kantor pemerintahan (Kecamatan maupun Kota) untuk
mempermudah masyarakat yang ingin mengurus retribusi sampah sendiri tanpa
harus mendatangi petugas.
Peningkatan Kesadaran Masyarakat Sebagai Wajib Retribusi
Berdasarkan data penerimaan yang dihimpun dari DLH dan PDAM, maka dapat
disimpulkan bahwa banyak wajib retribusi yang terdaftar tapi masih belum taat untuk
membayarkan kewajiban retribusinya. Berdasarkan hasil kajian, terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi jumlah wajib retribusi yang belum taat dalam pembayaran,
yaitu:
Belum tercapainya integrasi kerjasama dengan Instansi lain (pihak ketiga) guna
mendapatkan data mengenai potensi Wajib Retribusi yang valid.
Hal. 152
Masih belum tersampaikan secara utuh untuk informasi yang semestinya
disebarkan dan dapat diterima masyarakat mengenai peranan retribusi sampah
sebagai sumber penerimaan daerah dan segi-segi positif lainnya.
Adanya anggapan masyarakat bahwa timbal balik (kontra prestasi) retribusi
sampah belum bisa dinikmati secara langsung, bahkan wujud pembangunan
sarana prasana belum merata, meluas, apalagi menyentuh beberapa wilayah
administrasi.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, Pemerintah Kota Semarang perlu menyusun
strategi untuk mengajak kembali para wajib retribusi bersama-sama membayar
kewajiban retribusinya untuk pembangunan daerah. Wajib retribusi perlu memahami
manfaat dari membayar retribusi. Wajib retribusi perlu mengetahui bahwa pajak yang
mereka bayarkan sangat membantu dalam mendukung upaya Pemerintah Kota
Semarang dalam menghimpun kebutuhan dana untuk pembangunan daerah. Selain itu
Pemerintah Kota Semarang juga perlu mempertimbangkan pengenaan punishment
yang tepat bagi Wajib Retribusi yang tidak taat dalam pembayaran sebagai
kewajibannya.
Hal. 153
REFERENSI
Peraturan Pemerintah Nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga.
Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21 Tahun 2006 tentang Kebijakan Dan Strategi
Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan
Sampah.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pelaksanaan Reduce, dan Reuse dan Recycle Melalui Bank Sampah.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 3 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Hal. 154
Strategi Daerah Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga.
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031.
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah.
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2020 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kota Semarang Tahun Anggaran 2021.
Peraturan Walikota Semarang Nomor 79 Tahun 2018 tentang Kebijakan dan Strategi Daerah
Dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Walikota Semarang Nomor 34
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Semarang Nomor 79 Tahun
2018 Tentang Kebijakan dan Strategi Daerah Dalam Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Hal. 155
Lampiran 1
KERANGKA PIKIR & KERANGKA ANALISIS
KERANGKA PIKIR
KERANGKA ANALISIS
Lampiran 1
PENDEKATAN IDENTIFIKASI WAJIB RETRIBUSI
JUMLAH SALURAN RUMAH TANGGA MENURUT KELAS JALAN
KOTA SEMARANG
LATAR BELAKANG
Pengelolaan Sampah Kota Semarang yang mendasarkan pada regulasi dan kebijakan utama saat ini,
seperti: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,
Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga, Peraturan Daerah Kota
Semarang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Walikota Semarang Nomor
79 Tahun 2018 tentang Kebijakan dan Strategi Daerah tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Rumah Tangga.
Hanya saja pelaksanaannya masih belum optimal dan ideal, terlihat dari target JAKSTRADA yang
belum tercapai dan Adipura yang belum teraih kembali, serta tumpukan sampah sudah melebihi
kapasitas (overload) pada area TPA Jatibarang. Terbukti masih ada sekitar 60-ton sampah per hari
yang belum terkelola, ini berarti target zero waste sebagaimana yang diharapkan dari JAKSTRADA
belum tercapai. Bebarapa indikasi penyebab permasalahan tersebut adalah: belum optimalnya
penanganan sampah di sektor hulu (reduce, reuse, recycle), maupun di sektor hilir, serta belum
optimalnya pembiayaan pengelolaan sampah.
Mengacu pada permasalahan utama pengelolaan sampah tersebut dibutuhkan solusi yang
mengarahkan pada upaya perluasan cakupan penanganan sampah, mengoptimalkan pengurangan
sampah hingga 30 persen, pemanfaatan teknologi pengurangan sampah yang signifikan di sektor hilir
dan memperluas lahan TPA Jatibarang, mengoptimalkan sumber-sumber pembiayaan pengelolaan
sampah dari sumber penghasil sampah dari aktivitas rumah tangga dan komersial.
Implementasi Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga, merekomendasikan
pengurangan sampah di Hulu sebesar 30% di tahun 2025 harus terealisasi dan sekaligus menjadi
ajang edukasi bagi masyarakat untuk meningkatkan perilaku mereka dalam mengelola sampah dan
mengurangi beban biaya pengelolaan sampah yang selama ini masih tergantung pada anggaran
daerah. Untuk itu diharapkan efektifitas pengelolaan sampah di hulu mampu bersinergi dengan
pengolahan sampah di hilir.
Pada dasarnya persoalan sampah merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah, dunia
usaha, masyarakat, maka pengelolaanya juga harus dilakukan secara sinergi antar berbagai
stakeholder melalui sistem pengelolaan sampah terpadu. Namun realisasinya selama ini Pemerintah
Kota Semarang membiayai pengelolaan sampah tanpa diimbangi pembayaran retribusi pengelolaan
sampah yang signifikan. Salah satunya dengan cara meninjau ulang pembayaran retribusi pengelolaan
sampah melalui tagihan berlangganan air minum pada Perusda Tirta Moedal Kota Semarang, sehingga
pembayaran hanya menyasar kepada pelanggan air minum saja dan masyarakat penghasil sampah di
luar pelanggan air minum terbebas membayar retribusi. Pada sisi lain biaya investasi pengelolaan
sampah di sektor hilir sangat tinggi dan diperkirakan akan membebani APBD Kota Semarang sekitar
100 Miliar per tahun.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi
kewenangan yang besar kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri dalam upaya untuk mencapai tujuan pembangunan daerah yaitu mengentaskan
kemiskinan, menciptakan dan menambah lapangan kerja, serta meningkatkan pendapatan dan
kesehjateraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan pembangunan daerah tersebut, Pemda dituntut
menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari berbagai sumber pendapatan, dan mengelolanya
secara maksimal. Ini sejalan dengan tuntutan dari desentralisasi fiskal dimana Pemda diharapkan
mampu meningkatkan kreativitas dalam menghimpun pendanaan sehinga dapat membiayai atau self-
financing pengeluaran daerah sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan amanah dari regulasi tersebut, maka diperlukan cara yang lebih efektif dalam
menghimpun pendapatan pengelolaan sampah yang dilakukan melalui kegiatan pembiayaan dalam
penanganan sampah, mulai dari pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan sampah di TPS,
pengangkutan, dan pengolahan akhir; pembentukan dan peningkatan kapasitas KSM; perbaikan
standar pelayanan dalam pengelolaan sampah; serta monitoring dan evaluasi..
LANGKAH KEGIATAN
Kegiatan ini terdiri dari survei langsung door to door kepada masyarakat calon pemanfaat sarana dan
prasarana persampahan.
Untuk populasi domestik pada tahun 2020 yaitu sebanyak 1.653.524 jiwa dan dengan
menggunakan asumsi 4 jiwa per keluarga, maka jumlah Kepala Keluarga atau Rumah Tangga
adalah sebanyak 413.381 Kepala Keluarga atau Rumah Tangga sedangkan non-domestik
(usaha) yang terdiri dari industri, hotel, restoran, pertokoan dan pasar tradisional sebanyak
7.508. (Data diperoleh dari Kegiatan SPALD Tahun 2019).
b. Teknik Sampling
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode pengambilan sample secara acak
dengan menggunakan teknik pengambilan sampel acak bertingkat (multi stage sampling).
Proses pengambilan sampel jenis ini dilakukan secara bertingkat. Baik itu bertingkat dua, tiga
atau lebih.
Mengingat jumlah penduduk Kota Semarang adalah 1.653.524 jiwa atau lebih dari 100.000
maka perhitungan penentuan sampel tidak dapat menggunakan tabel Krejcie dan Nomogram
Harry King. Penentuan jumlah sampel perlu dihitung dengan menggunakan rumus lemeshow
sebagai berikut,
Melalui rumus tersebut maka jumlah sampel yang akan diambil dengan menggunakan derajat
kepercayaan 95% dan sampling eror sebesar 10% adalah sebagai berikut,
Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik random sampling. Menurut
Sugiyono (2015, hlm 64-65) teknik random sampling merupakan pengambilan anggota
sampel dari populasi secara acak sehingga memberikan kesempatan yang sama bagi setiap
anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik sampling yang dikhususkan
yaitu teknik sampling Proportionate Stratified Random Sampling. Proportionate Stratified
Random Sampling merupakan teknik yang digunakan bila populasi mempunya anggota/unsur
yang tidak homogen dan berstrata secara proposional. Adapun rumus Proportionate Stratified
Random Sampling menurut Sugiyono yang dikutip Riduwan (2013, hal 66), yaitu:
Ni = Ni . n
N
Keterangan:
ni = Jumlah sampel setiap usaha
n = Jumlah sampel seluruhnya
Ni = Jumlah populasi setiap usaha
N = Populasi seluruhnya
Seperti telah disampaikan diatas, bahwa populasi yang akan dicari sample nya adalah populasi
dari kepala keluarga (domestik) berjumlah 413.381 KK serta dari sektor usaha (non domestik)
berjumlah 7.508 unit usaha.
Dari rumus diatas dapat diketahui bahwa jumlah sampel untuk domestik adalah 100 sampel
dan jumlah sampel yang dapat diambil untuk populasi Non Domestik sebanyak 100 sampel.
Dari hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa jumlah sampel baik domestik maupun non
domestik dapat dilihat di bawah ini:
No Keterangan Jumlah Jumlah Sampel
Populasi Derajat Kepercayaan 95% dan
Sampling Error 10%
I DOMESTIK
Kepala Keluarga Non-PDAM 252.641 (252.641/413.381).100=61,11 96
Note:
Asumsi Pengembangan Perumahan dan
Kawasan Permukiman 1:2:3 maka
direncanakan jumlah sampel adalah 6
sampel per Kecamatan (16) sehingga
total 96 sampel.
Kepala Keluarga PDAM 160.740 (160.740/413.381).100=38,89 39
Note:
Terbagi dalam 6 kategori yaitu RT1, RT2,
RT3, RT4, RT5, dan RT Niaga.
Total Domestik 413.381 135
II NON DOMESTIK
1. Industri
A Industri Besar (> 100 tenaga Kerja) 246 (246/7508).100 = 0,03 4
B Industri Sedang (20 – 99 tenaga kerja) 132 (132/7508).100 = 0,01 2
C Industri Kecil (5 – 9 tenaga kerja) 420 (420/7508).100 = 0,05 5
D Industri Rumah Tangga (> 4 tenaga 1.746 (1.746/7508).100 = 0,23 24
kerja)
2. Hotel dan Penginapan 174 (174/7508).100 = 0,02 2
3. Pertokoan, Mall, Supermarket, 446 (446/7508).100 = 0,05 5
Minimarket
4. Perkantoran 450 (450/7508).100 = 0,05 5
5. Apartemen 12 (12/7508).100 = 0,01 1
6. Rumah Sakit 40 (40/7508).100 = 0,01 1
7. Pasar Tradisional 53 (53/7508).100 = 0,01 1
8. Restoran dan Rumah Makan 3.789 (3.789/7508).100= 0,50 50
Total Non Domestik 7.508 100
Jumlah sampel domestik = 135
Jumlah Sampel Non-Domestik = 100
Total = 235
Selain melakukan penyebaran kuesioner survei juga dilakukan dengan mengadakan
wawancara, mengajukan wawancara langsung kepada masyarakat (rumah tangga) atau
responden yang terpilih secara acak dan dianggap dapat memberikan keterangan yang
diperlukan, sehingga diperoleh informasi yang tepat mengenai permasalahan yang diteliti.
c. Pelaksana Survei
Direncanakan pelaksanaan survei akan dikerjakan oleh tenaga surveyor yang berasal dari
konsultan dan telah melalui proses penyeleksian. Pelaksanaan yang dilakukan oleh surveyor
tersebut terdiri dari kegiatan pelatihan enumerator, ujicoba kuesioner, survey lapangan, entri
data, analisis data serta pelaporan.
Waktu pelaksanaan untuk survey sampai dengan laporan diserahkan selama 14 hari.
d. Koordinasi dan Presentasi Laporan
Melakukan kegiatan koordinasi dan presentasi hasil survei yang telah dilaksanakan. Kegiatan
koordinasi dilakukan apabila diperlukan dalam proses pelaksanaan kegiatan survey serta hasil
survey perlu di presentasikan.
WAKTU PELAKSANAAN
Total pelaksanaan sosialisasi dan Kegiatan Real Demand Survey dari mulai persiapan sampai dengan
laporan diperkirakan memerlukan waktu sampai dengan 14 hari.
Lampiran Kuesioner
KUESIONER KAJIAN OPTIMALISASI PENDAPATAN DAERAH DARI
PENGOLAHAN SAMPAH KOTA SEMARANG
Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi
kewenangan yang besar kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri dalam upaya untuk mencapai tujuan pembangunan daerah yaitu mengentaskan
kemiskinan, menciptakan dan menambah lapangan kerja, serta meningkatkan pendapatan dan
kesehjateraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan pembangunan daerah tersebut, Pemda dituntut
menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari berbagai sumber pendapatan, dan mengelolanya
secara maksimal. Ini sejalan dengan tuntutan dari desentralisasi fiskal dimana Pemda diharapkan
mampu meningkatkan kreativitas dalam menghimpun pendanaan sehinga dapat membiayai atau
self-financing pengeluaran daerah sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan amanah dari regulasi tersebut, maka diperlukan cara yang lebih efektif dalam
menghimpun pendapatan pengelolaan sampah yang dilakukan melalui kegiatan pembiayaan dalam
penanganan sampah, mulai dari pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan sampah di TPS,
pengangkutan, dan pengolahan akhir; pembentukan dan peningkatan kapasitas KSM; perbaikan
standar pelayanan dalam pengelolaan sampah; serta monitoring dan evaluasi.
Persetujuan Responden
Kuesioner ini akan direkam hanya untuk kebutuhan studi oleh surveyor. Semua rekaman akan
dimusnahkan setelah studi ini berakhir. Tidak ada paksaan bagi anda untuk menjawab pertanyaan
yang diberikan dan pertanyaan dapat dihentikan jika anda tidak berkenan untuk menjawab
pertanyaan selanjutnya. Hasil dari kuesioner ini akan dipublikasikan dalam dokumen Kajian
Optimalisasi Pendapatan Daerah Dari Pengolahan Sampah Kota Semarang. Mohon berikan
persetujuan anda untuk berpartisipasi
Tanda Tangan :
Nama Terang :
Tanggal :
Surveyor :
Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi
kewenangan yang besar kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri dalam upaya untuk mencapai tujuan pembangunan daerah yaitu mengentaskan
kemiskinan, menciptakan dan menambah lapangan kerja, serta meningkatkan pendapatan dan
kesehjateraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan pembangunan daerah tersebut, Pemda dituntut
menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari berbagai sumber pendapatan, dan mengelolanya
secara maksimal. Ini sejalan dengan tuntutan dari desentralisasi fiskal dimana Pemda diharapkan
mampu meningkatkan kreativitas dalam menghimpun pendanaan sehinga dapat membiayai atau
self-financing pengeluaran daerah sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan amanah dari regulasi tersebut, maka diperlukan cara yang lebih efektif dalam
menghimpun pendapatan pengelolaan sampah yang dilakukan melalui kegiatan pembiayaan dalam
penanganan sampah, mulai dari pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan sampah di TPS,
pengangkutan, dan pengolahan akhir; pembentukan dan peningkatan kapasitas KSM; perbaikan
standar pelayanan dalam pengelolaan sampah; serta monitoring dan evaluasi.
Persetujuan Responden
Kuesioner ini akan direkam hanya untuk kebutuhan studi oleh surveyor. Semua rekaman akan
dimusnahkan setelah studi ini berakhir. Tidak ada paksaan bagi anda untuk menjawab pertanyaan
yang diberikan dan pertanyaan dapat dihentikan jika anda tidak berkenan untuk menjawab
pertanyaan selanjutnya. Hasil dari kuesioner ini akan dipublikasikan dalam dokumen Kajian
Optimalisasi Pendapatan Daerah Dari Pengolahan Sampah Kota Semarang. Mohon berikan
persetujuan anda untuk berpartisipasi
Tanda Tangan :
Nama Terang :
Tanggal :
Surveyor :
retribusi sampah di Kota Semarang yang selanjutnya disebut survei RDS dalam 16
kecamatan di Kota Semarang. Survei dilakukan untuk mendapatkan pemapaham serta
yang dibantu oleh CV. Reswara Praptama. Jumlah total responden adalah 235 yang
terdiri dari responden domestik sebanyak 135 orang dan non-domestik sebanyak 100
orang.
Data Responden
Berikut adalah tabel dan diagram lingkaran jumlah frekuensi serta persentase
responden berdasarkan jenis kelamin pada survei RDS – Domestik:
Tabel 2 Frekuensi dan Persentase Jenis Kelamen Responden Survei RDS
diketahui bahwa tingkat pendidikan tertinggi dari responden didominasi oleh lulusan
dari perguruan tinggi/akademi serta SMA/MA. Dapat disimpulkan bahwa terdapat
potensi tenaga kerja yang dapat diserap terutama di tingkat perguruan tinggi atau
SMA.
Tabel 3 Tingkat Pendidikan Responden Domestik
Berdasarkan hasil survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang Tahun 2021, dapat
diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) klasifikasi kelas jalan pada pendapatan masyarakat
Kriteria Keterangan
Rumah Tangga 1 (RT 1) Rumah Tipe/Luas Bangunan <36 m²
Rumah Tangga 2 (RT 2) Rumah Tipe/Luas Bangunan >36 m² - 54 m²
Rumah Tangga 3 (RT 3) Rumah Tipe/Luas Bangunan >54 m² - 100 m²
Rumah Tangga 4 (RT 4) Rumah Tipe/Luas Bangunan >100 m² - 200 m²
Rumah Tangga 5 (RT 5) Rumah Tipe/Luas Bangunan >200 m² - 300 m²
Rumah Tangga 6 (RT 6) Rumah Khusus seperti apartemen atau Rumah Tipe/Luas Bangunan >300 m²
Sumber: Hasil Survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang, 2021
Berdasarkan hasil survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang Tahun 2021, dapat
diketahui bahwa sebagian besar masyarakat telah dapat mengakses media elekronik
dengan frekuensi setiap hari. Hal ini dapat diketahui melalui tabel dibawah ini:
Berdasarkan hasil survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang Tahun 2021, dapat
diketahui bahwa sebesar 53% masyarakat tidak setuju bahwa media elektronik dapat
meningkatkan kepedulian terhadap pengelolaan sampah. Hal ini dapat diketahui
karena itu, diperlukan cara-cara yang efektif dalam media sosial untuk meningkatkan
kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sampah khususnya di Kota Semarang.
membuang sampah setiap hari dengan presentase 76%. Dapat disimpulkan bahwa
masyarakat telah mengetahui pentingnya mengelola sampah setiap hari agar tidak
Berdasarkan survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang Tahun 2021, media
membuang sampah langsung pada Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan tidak
menggunakan tong sampah terlebih dahulu.
Sebagian besar responden membuang sampah pada waktu yang tidak tentu.
yang memilih membuang sampah pada pukul 06.00-18.00 WIB. Hal tersebu dapat
diketahui melalui table dibawah ini:
Berdasarkan hasil survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang, dapat disimpulkan
bahwa komposisi produksi sampah domestik didominasi oleh sampah rumah tangga
sebesar 65% sedangkan untuk jenis sampah kaleng memiliki tingkat yang paling
rendah komposisinya pada responden domestik sebesar 0,19%.
Sistem pengelolaan sampah yang digunakan oleh responden domestik adalah melalui
komunitas yaitu yang berkaitan dengan RT, TPS3R, dan sebagainya. Selain itu,
masyarakat lebih memilih sistem pengelolaan sampah melalui pemerintah dan swasta
bahkan ada yang mengelola sendiri yaitu dengan cara dibakar dan dibuang langsung
ke TPS terdekat.
hari dan juga setiap dua hari sekali. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penumpukan
sampah pada daerah lingkungan responden domestik.
Berdasarkan hasil survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang tahun 2021, dapat
orang responden dari 135 responden domestik atau sekitar 21% responden membayar
biaya pengelolaan sampah sebesar Rp 20.000,00 - <Rp 40.000,00.
diketahui melalui Tabel 1.14, responden domestik rata-rata tidak melakukan pemilahan
sampah sehingga komposisi sampah masih tercampur antara organik dan non-
organik. Sedangkan berdasarkan tabel 1.15 dapat diketahui bahwa sebanyak 88% atau
119 orang responden masyarakat domestik bersedia untuk memilah sampah sebelum
Berdasarkan hasil RDS Kota Semarang 2021, disimpulkan bahwa 93% rumah tangga
Berdasarkan survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang Tahun 2021, berikut
adalah tabel kesediaan membayar dari 126 responden yang bersedia untuk dikelola
Berdasarkan survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang, sebesar 85% atau 107
responden dari 126 responden yang bersedia dikelola sampahnya oleh pemerintah
Keinginan Waktu
Jumlah KK Persentase
Pengangkutan Sampah
Pagi Hari 107 85%
Siang Hari 5 4%
Keinginan Waktu
Jumlah KK Persentase
Pengangkutan Sampah
Sore Hari 11 9%
Malam Hari 3 2%
Sumber: Hasil Survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang, 2021
responden atau sekitar 105 responden domestik setuju dengan pernyataan tersebut.
Selain itu 94 responden atau sekitar 70% responden dari 135 responden domestik
memiliki ketertarikan untuk terlibat dalam komunitas TPS 3R dan Bank Sampah.
Sementara itu 41 responden tidak memiliki ketertarikan untuk terlibat dalam
komunitas.
Tabel 24 Kesediaab Masyarakat Untuk Terlibat Pengelolaan TPS 3R dan Bank Sampah
Data Responden
Berikut adalah tabel dan diagram lingkaran jumlah frekuensi serta persentase
responden berdasarkan jenis kelamin pada survei RDS – Non Domestik:
BAB 4 Sumber: Hasil Survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang, 2021
Berdasarkan survei RDS – Non Domestik Manajemen Sampah Kota Semarang Tahun
2021, jenis usaha dengan jumlah terbesar adalah Rumah Makan/Warung yaitu sebesar
53 bangunan, sedangkan jenis usaha dengan jumlah terkecil adalah ekspedisi, toko
sepatu, minimarket, dan pasar dengan jumlah 1 bangunan. Hal tersebut dapat dilihat
Berdasarkan hasil survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang Tahun 2021, dapat
diketahui nilai pendapatan masyarakat non domestik pada tabel dibawah ini:
Pendapatan usaha paling tinggi terdapat pada jenis usaha sewa perkantoran dan
apartemen sebesar Rp 7.500.000.000,00, sedangkan paling rendah berada di sektor
responden non domestik telah mengetahui pentingnya mengelola sampah setiap hari
agar tidak timbul permasalahan terkait sampah yang menumpuk pada non domestik.
Berdasarkan survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang Tahun 2021, media
pembuangan sampah yang digunakan oleh responden non domestik adalah plastik
sampah dan tong sampah. Penggunaan plastik sampah dalam membuang sampah
mendominasi media pembuangan sampah responden non domestik hingga 65% dan
Tempat pembuangan sampah yang digunakan oleh responden non domestik dalam
membuang sampah didominasi penggunaan tong sampah sebesar 87%. Selain itu,
Sebagian besar responden membuang sampah pada waktu yang tidak tentu.
Terkadang masyarakat tidak terlalu memikirkan waktu saat membuang sampah.
bahwa komposisi produksi sampah non domestik didominasi oleh sampah niaga
sebesar 71% sedangkan untuk jenis sampah kaleng memiliki tingkat yang paling
rendah komposisinya pada responden domestik sebesar 1%.
BAB 6 Sumber: Hasil Survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang, 2021
melalui komunitas yaitu yang berkaitan dengan RT, TPS 3R, dan sebagainya. Selain itu,
responden non domestik juga memilih sistem pengelolaan sampah dengan mengelola
sendiri yaitu dengan menggunakan alat incinerator. Hal tersebut dapat diketahui
melalui tabel dibawah ini:
setiap hari dan juga setiap dua hari sekali. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
penumpukan sampah pada daerah lingkungan responden domestik. Selain itu,
Berdasarkan hasil survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang tahun 2021, dapat
diketahui biaya yang dikeluarkan responden non domestik untuk pengelolaan sampah
pada lingkungannya berkisar pada nilai Rp 0,00 - <Rp 10.000,00. Sebanyak 35 orang
responden dari 100 responden non domestik atau sekitar 35% responden membayar
biaya pengelolaan sampah sebesar ≥Rp 40.000,00.
usaha niaga.
Berdasarkan hasil survei RDS manajemen sampah Kota Semarang tahun 2021, dapat
diketahui melalui Tabel 1.33, responden non domestik rata-rata tidak melakukan
pemilahan sampah sehingga komposisi sampah masih tercampur antara organik dan
non-organik. Sedangkan berdasarkan tabel 1.34 dapat diketahui bahwa sebanyak 98%
atau 98 orang responden masyarakat non domestik bersedia untuk memilah sampah
ketersediaan TPSS pada lingkup pelaku usaha sebesar 68% atau sebanyak 68
responden dari 100 responden non domestik tidak memiliki TPSS terdekat. Berbanding
terbalik dengan responden rumah tangga, hanya sedikit dari pelaku usaha yang
memiliki TPSS terdekat dari tempat usahanya.
Tabel 38 Ketersediaan TPSS Responden Non Domestik
responden pelaku usaha non domestik bersedia untuk dikelola sampahnya oleh
Tabel 39 Kesediaan Pelaku Usaha dan Niaga terhadap Pengelolaan Sampah Oleh Pemerintah
Berdasarkan hasil RDS Kota Semarang 2021, disimpulkan bahwa 95% pelaku usaha
bersedia untuk dikelola sampahnya oleh pemerintah dengan kecamatan terkecil
kesediaannya adalah Kecamatan Semarang Selatan yaitu sebesar 63%.
Kesediaan Pelaku Usaha Membayar (Affordability to Pay)
Berdasarkan survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang Tahun 2021, berikut
adalah tabel kesediaan membayar dari 95 responden yang bersedia untuk dikelola
sampahnya oleh pemerintah adalah sebesar Rp 0,00 sebanyak 29 pelaku usaha dan Rp
16.000,00 – Rp 30.000,00 per bulan sebanyak 19 pelaku usaha dan niaga.
untuk frekuensi pengangkutan sampah terbesar adalah setiap hari dengan nilai 97%
atau sekitar 92 responden dari 95 responden non domestik yang bersedia sampahnya
Berdasarkan survei RDS Manajemen Sampah Kota Semarang, sebesar 78% atau 74
responden dari 95 responden yang bersedia dikelola sampahnya oleh pemerintah
pelaku usaha atau sekitar 13% dari total responden non domestik menginginkan waktu
pengangkutan sampah pada malam hari.
Anti-Image Matrices
Anti-Image Matrices digunakan untuk mengetahui dan menentukan variabel yang layak untuk digunakan dalam analisis faktor. Kode huruf (a)
pada kolom yang diberi warna kuning mengartikan tanda Measure of Sampling Adequacy (MSA). Berikut adalah tabel matriks anti-image:
Pendap Media Tempat Permasalahan Komposisi Frekuensi
Frekuensi Waktu Komposisi Komposisi Komposisi Komposisi Sistem
atan Pembuan Pembuan dalam Sampah Pengangkutan
Pembuang Pembuangan Sampah Sampah Sampah Sampah Pengelolaan
Masyar gan gan Membuang Rumah Sampah Oleh
an Sampah Sampah Plastik Kertas Kaleng Lainnya Sampah
akat Sampah Sampah Sampah Tangga Petugas
Pendapatan .668a 0,061 0,102 0,088 -0,331 -0,107 -0,032 0,071 -0,079 0,012 0,069 -0,110 0,154
Masyarakat
Frekuensi 0,061 .561a -0,190 -0,048 0,017 -0,207 0,286 0,077 -0,157 0,238 0,147 -0,033 -0,076
Pembuangan
Sampah
Media 0,102 -0,190 .637a 0,020 0,093 0,036 0,065 0,077 0,055 -0,149 0,017 0,134 0,033
Pembuangan
Sampah
Tempat 0,088 -0,048 0,020 .524a 0,099 0,308 -0,040 -0,087 0,130 -0,020 -0,117 -0,126 -0,372
Pembuangan
Sampah
Waktu -0,331 0,017 0,093 0,099 .488a 0,058 0,057 -0,012 0,148 -0,212 0,014 0,045 -0,294
Pembuangan
Sampah
Permasalahan -0,107 -0,207 0,036 0,308 0,058 .454a -0,221 -0,238 0,035 -0,149 -0,135 0,098 -0,290
dalam
Membuang
Sampah
Komposisi -0,032 0,286 0,065 -0,040 0,057 -0,221 .409a 0,751 -0,144 0,240 0,857 0,069 0,067
Sampah
Rumah Tangga
Pendap Media Tempat Permasalahan Komposisi Frekuensi
Frekuensi Waktu Komposisi Komposisi Komposisi Komposisi Sistem
atan Pembuan Pembuan dalam Sampah Pengangkutan
Pembuang Pembuangan Sampah Sampah Sampah Sampah Pengelolaan
Masyar gan gan Membuang Rumah Sampah Oleh
an Sampah Sampah Plastik Kertas Kaleng Lainnya Sampah
akat Sampah Sampah Sampah Tangga Petugas
Komposisi 0,071 0,077 0,077 -0,087 -0,012 -0,238 0,751 .198a -0,199 0,167 0,721 -0,005 0,108
Sampah Plastik
Komposisi -0,079 -0,157 0,055 0,130 0,148 0,035 -0,144 -0,199 .397a -0,387 -0,174 -0,104 -0,051
Sampah Kertas
Komposisi 0,012 0,238 -0,149 -0,020 -0,212 -0,149 0,240 0,167 -0,387 .356a 0,186 -0,010 0,007
Sampah
Kaleng
Komposisi 0,069 0,147 0,017 -0,117 0,014 -0,135 0,857 0,721 -0,174 0,186 .369a 0,022 0,182
Sampah
Lainnya
Sistem -0,110 -0,033 0,134 -0,126 0,045 0,098 0,069 -0,005 -0,104 -0,010 0,022 .611a -0,084
Pengelolaan
Sampah
Frekuensi 0,154 -0,076 0,033 -0,372 -0,294 -0,290 0,067 0,108 -0,051 0,007 0,182 -0,084 .413a
Pengangkutan
Sampah Oleh
Petugas
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Berdasarkan tabel tersebut, terdapat 5 (lima) variabel yang memiliki nilai MSA > 0.5 dimana seharusnya apabila suatu variabel memiliki nilai MSA
> 0.5 maka variabel tersebut dapat digunakan dalam analisis faktor ini. Berdasarkan tabel tersebut pula, variabel yang memiliki nilai MSA > 0.5
adalah Pendapatan Masyarakat (0,668), Frekuensi Pembuangan Sampah (0,561), Media Pembuangan Sampah (0,637), Tempat Pembuangan
Sampah (0,524), dan Sistem Pengelolaan Pembuangan Sampah (0,611). Oleh karena itu, diperlukan analisis ulang Kembali menggunakan dengan
variabel yang memiliki nilai MSA > 0.5.
Anti-Image Matrices
Setelah analisis Kembali menggunakan variabel yang memiliki nilai MSA>0,5, ditemukan 5
(lima) variabel yaitu Pendapatan Masyarakat, Frekuensi Pembuangan Sampah, Media
Pembuangan Sampah, Tempat Pembuangan Sampah, serta Sistem Pengelolaan Sampah
dengan nilai yang berbeda namun nilai MSA>0,5. Berikut adalah tabel matriks anti-image:
Tabel Anti-Image Matrices Analisis Faktor Pengaruh Keinginan Masyarakat Membayar Retribusi
Sampah
Anti-image Matrices
Frekuensi Media Tempat Sistem
Pendapatan
Pembuangan Pembuangan Pembuangan Pengelolaan
Masyarakat
Sampah Sampah Sampah Sampah
a
Anti- Pendapatan .569 0,112 0,124 0,255 -0,083
image Masyarakat
Correlation Frekuensi 0,112 .590a -0,273 -0,110 -0,107
Pembuangan
Sampah
Media 0,124 -0,273 .525a 0,019 0,132
Pembuangan
Sampah
Tempat 0,255 -0,110 0,019 .536a -0,319
Pembuangan
Sampah
Sistem -0,083 -0,107 0,132 -0,319 .615a
Pengelolaan
Sampah
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Berdasarkan tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa variabel Pendapatan Masyarakat (0,569),
Frekuensi Pembuangan Sampah (0,590), Media Pembuangan Sampah (0,525), Tempat
Pembuangan Sampah (0,536), serta Sistem Pengelolaan Sampah (0,615) layak untuk
digunakan dalam analisis faktor.
Communalities
Tahap ini adalah tahap untuk mengetahui kemampuan variabel untuk menjelaskan faktor.
Variabel dianggap dapat menjelaskan faktor apabila nilai Extraction>0,5. Berikut adalah tabel
output communalities:
Tabel Output Communalities Analisis Faktor Pengaruh Keinginan Masyarakat Membayar
Retribusi Sampah
Communalities
Initial Extraction
Pendapatan Masyarakat 1,000 0,411
Frekuensi Pembuangan Sampah 1,000 0,503
Media Pembuangan Sampah 1,000 0,641
Tempat Pembuangan Sampah 1,000 0,655
Sistem Pengelolaan Sampah 1,000 0,663
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Tahap ini dilakukan untuk mengetahui jumlah variasi atau banyaknya faktor yang dapat
terbentuk. Jumlah faktor yang dapat terbentuk dapat dilihat dari bagian Extraction Sums of
Squared Loadings. Selain itu, tahap ini juga dilakukan untuk melihat variabel yang dapat
dijadikan sebagai faktor dimana nilai komponen Eigenvalue>1.
Tabel Total Variance Explained Analisis Faktor Pengaruh Keinginan Masyarakat Membayar
Retribusi Sampah
Scree Plot
Scree plot merupakan gambar kurva untuk melihat jumlah faktor yang dapat terbentuk pula.
Kurva ini menunjukkan jumlah faktor yang terbentuk melalui nilai Eigenvalue>1 melalui kurva.
Berdasarkan gambar kurva yang dihasilkan, terdapat dua nilai Eigenvalue>1 yaitu pada
Component 1 dan Component 2, maka dapat diartikan bahwa terdapat 2 faktor yang dapat
terbentuk.
Component Matrix
Component Matrix dilakukan untuk mengetahui nilai korelasi antara masing-masing variabel
dengan faktor yang akan terbentuk. Berikut adalah tabel component matrix yang telah
dihasilkan:
Tabel Component Matrix Analisis Faktor Pengaruh Keinginan Masyarakat Membayar Retribusi
Sampah
Component Matrixa
Component
1 2
Pendapatan Masyarakat -0,607 0,204
Frekuensi Pembuangan Sampah 0,656 -0,270
Media Pembuangan Sampah 0,416 -0,684
Tempat Pembuangan Sampah 0,686 0,430
Sistem Pengelolaan Sampah 0,414 0,701
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa variabel Pendapatan Masyarakat memiliki
korelasi dengan faktor 2 sebesar 0,204, kemudian variabel Frekuensi Pembuangan Sampah
memiliki korelasi dengan faktor 1 sebesar 0,656, variabel Media Pembuangan Sampah
memiliki korelasi dengan faktor 1 sebesar 0,416, variabel Tempat Pembuangan Sampah
memiliki korelasi dengan faktor 1 sebesar 0,686, serta variabel Sistem Pengelolaan Sampah
memiliki korelasi dengan faktor 2 sebesar 0,701.
Tahap rotated component matrix dilakukan untuk mengetahui pengelompokkan faktor dari
variabel yang ada. Berikut adalah tabel rotated component matrix:
Tabel Rotated Component Matrix Analisis Faktor Pengaruh Keinginan Masyarakat Membayar
Retribusi Sampah
Tabel Kesimpulan Analisis Faktor Pengaruh Keinginan Masyarakat Membayar Retribusi Sampah
Variabel Faktor
►Frekuensi Pembuangan Sampah
1
►Media Pembuangan Sampah
►Pendapatan Masyaraka
►Tempat Pembuangan Sampah 2
►Sistem Pengelolaan Sampah
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Tahap ini menjelaskan tentang korelasi antarcomponent. Berikut adalah tabel component
transformation matrix yang dihasilkan:
Component Transformation
Matrix
Component 1 2
1 0,801 0,599
2 -0,599 0,801
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Tabel component transformation matrix diatas menunjukkan bahwa pada component 1 nilai
korelasinya sebesar 0,801 atau > 0,5 dan component 2 nilai korelasinya sebesar 0,801 atau >
0,5, maka kedua faktor tersebut dapat mewakili seluruh variabel yang dianalisis.
Kesimpulan
Pada tabel kesimpulan analisis faktor pengaruh keinginan masyarakat membayar retribusi
sampah, terdapat dua faktor utama dimana kedua faktor tersebut hanya sebagai kategorisasi
dan penamaan sedangkan untuk mengetahui keinginan untuk membayar retribusi sampah
dapat dilihat melalui 5 variabel didalamnya.
Berdasarkan hasil analisis faktor pada poin (7) dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui
pengaruh keinginan masyarakat untuk membayar retribusi sampah dapat dilihat melalui 5
variabel tersebut, yaitu Pendapatan Masyarakat, Frekuensi Pembuangan Sampah, Media
Pembuangan Sampah, Tempat Pembuangan Sampah, & Sistem Pengelolaan Sampah.
HASIL PERHITUNGAN ANALISIS FAKTOR PENGARUH
KESANGGUPAN MASYARAKAT MEMBAYAR RETRIBUSI SAMPAH
Anti-Image Matrices
Anti-Image Matrices digunakan untuk mengetahui dan menentukan variabel yang layak untuk digunakan dalam analisis faktor. Kode huruf (a)
pada kolom yang diberi warna kuning mengartikan tanda Measure of Sampling Adequacy (MSA). Berikut adalah tabel matriks anti-image:
Kesediaan Ketertarikan
Tingkat Alasan Pemilahan Jarak
Masyarakat Keinginan Pengelolaan
Pendapatan Kepuasan Kualitas Sampah Ketersediaan TPSS dari
Untuk Sistem Sampah
Masyarakat Pengelolaan Pengelolaan Oleh TPSS Lokasi
Memilah Pengelolaan Oleh
Sampah Sampah Masyarakat Tinggal
Sampah Pemerintah
Pendapatan .664a 0,128 -0,087 -0,008 0,131 -0,027 -0,006 0,105 0,148
Masyarakat
Tingkat 0,128 .654a 0,009 -0,004 -0,180 0,029 0,062 -0,025 0,043
Kepuasan
Pengelolaan
Sampah
Alasan Kualitas -0,087 0,009 .516a -0,073 0,122 -0,027 -0,121 -0,368 0,086
Pengelolaan
Sampah
Pemilahan -0,008 -0,004 -0,073 .529a 0,267 -0,283 -0,208 0,035 -0,006
Sampah Oleh
Masyarakat
Kesediaan 0,131 -0,180 0,122 0,267 .643a 0,109 0,116 -0,059 -0,087
Masyarakat
Untuk Memilah
Sampah
Ketersediaan -0,027 0,029 -0,027 -0,283 0,109 .473a 0,636 -0,055 0,040
TPSS
Kesediaan Ketertarikan
Tingkat Alasan Pemilahan Jarak
Masyarakat Keinginan Pengelolaan
Pendapatan Kepuasan Kualitas Sampah Ketersediaan TPSS dari
Untuk Sistem Sampah
Masyarakat Pengelolaan Pengelolaan Oleh TPSS Lokasi
Memilah Pengelolaan Oleh
Sampah Sampah Masyarakat Tinggal
Sampah Pemerintah
Jarak TPSS dari -0,006 0,062 -0,121 -0,208 0,116 0,636 .459a 0,055 -0,076
Lokasi Tinggal
Keinginan 0,105 -0,025 -0,368 0,035 -0,059 -0,055 0,055 .459a -0,115
Sistem
Pengelolaan
Ketertarikan 0,148 0,043 0,086 -0,006 -0,087 0,040 -0,076 -0,115 .617a
Pengelolaan
Sampah Oleh
Pemerintah
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Berdasarkan tabel tersebut, terdapat 6 (enam) variabel yang memiliki nilai MSA > 0.5 dimana seharusnya apabila suatu variabel memiliki
nilai MSA > 0.5 maka variabel tersebut dapat digunakan dalam analisis faktor ini. Berdasarkan tabel tersebut pula, variabel yang memiliki nilai
MSA > 0.5 adalah Pendapatan Masyarakat (0,664), Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah (0,654), Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah (0,516),
Pemilahan Sampah Oleh Masyarakat (0,529), Kesediaan Masyarakat Untuk Memilah Sampah (0,643), dan Ketertarikan Pengelolaan Sampah Oleh
Pemerintah (0,617). Oleh karena itu, diperlukan analisis ulang Kembali dengan variabel yang memiliki nilai MSA > 0.5
Anti-Image Matrices
Setelah analisis Kembali menggunakan variabel yang memiliki nilai MSA>0,5, ditemukan 6
(enam) variabel yaitu Pendapatan Masyarakat, Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah, Alasan
Kualitas Pengelolaan Sampah, Pemilahan Sampah Oleh Masyarakat, Kesediaan Masyarakat
Untuk Memilah Sampah, serta Ketertarikan Pengelolaan Sampah Oleh Pemerintah dengan nilai
yang berbeda namun nilai MSA>0,5. Berikut adalah tabel matriks anti-image:
Anti-image Matrices
Kesediaan
Tingkat Alasan Pemilahan Masyarakat Ketertarikan
Kepuasan Kualitas Sampah Untuk Pengelolaan
Pendapatan Pengelolaan Pengelolaan Oleh Memilah Sampah Oleh
Masyarakat Sampah Sampah Masyarakat Sampah Pemerintah
Pendapatan .633a 0,129 -0,049 -0,015 0,139 0,202
Masyarakat
Tingkat Kepuasan 0,129 .619a 0,010 0,009 -0,193 0,065
Pengelolaan
Sampah
Alasan Kualitas -0,049 0,010 .730a -0,091 0,125 0,017
Pengelolaan
Sampah
Pemilahan Sampah -0,015 0,009 -0,091 .600a 0,321 -0,014
Oleh Masyarakat
Kesediaan 0,139 -0,193 0,125 0,321 .603a -0,081
Masyarakat Untuk
Memilah Sampah
Ketertarikan 0,202 0,065 0,017 -0,014 -0,081 .548a
Pengelolaan
Sampah Oleh
Pemerintah
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Berdasarkan tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa variabel Pendapatan Masyarakat (0,633),
Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah (0,619), Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah (0,730),
Pemilahan Sampah Oleh Masyarakat (0,600), Kesediaan Masyarakat Untuk Memilah Sampah
(0,603), serta Ketertarikan Pengelolaan Sampah (0,548) layak untuk digunakan dalam analisis
faktor pengaruh kesanggupan masyarakat membayar retribusi sampah.
Communalities
Tahap ini adalah tahap untuk mengetahui kemampuan variabel untuk menjelaskan faktor.
Variabel dianggap dapat menjelaskan faktor apabila nilai Extraction>0,5. Berikut adalah tabel
output communalities:
Communalities
Initial Extraction
Pendapatan Masyarakat 1,000 0,556
Tingkat Kepuasan 1,000 0,247
Pengelolaan Sampah
Alasan Kualitas Pengelolaan 1,000 0,229
Sampah
Pemilahan Sampah Oleh 1,000 0,504
Masyarakat
Kesediaan Masyarakat Untuk 1,000 0,600
Memilah Sampah
Ketertarikan Pengelolaan 1,000 0,693
Sampah Oleh Pemerintah
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Tahap ini dilakukan untuk mengetahui jumlah variasi atau banyaknya faktor yang dapat
terbentuk. Jumlah faktor yang dapat terbentuk dapat dilihat dari bagian Extraction Sums of
Squared Loadings. Selain itu, tahap ini juga dilakukan untuk melihat variabel yang dapat
dijadikan sebagai faktor dimana nilai komponen Eigenvalue>1.
Tabel Total Variance Explained Analisis Faktor Pengaruh Kesanggupan Masyarakat Membayar
Retribusi Sampah
Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat 2 (dua) variasi faktor komponen
dimana Component 1 memiliki nilai sebesar 1,740 atau >1 serta menjelaskan 29,005% variasi,
dan Component 2 memiliki nilai sebesar 1,090 atau >1 dengan menjelaskan 18,171% variasi.
Scree Plot
Scree plot merupakan gambar kurva untuk melihat jumlah faktor yang dapat terbentuk pula.
Kurva ini menunjukkan jumlah faktor yang terbentuk melalui nilai Eigenvalue>1 melalui kurva.
Berdasarkan gambar kurva yang dihasilkan, terdapat dua nilai Eigenvalue>1 yaitu pada
Component 1 dan Component 2, maka dapat diartikan bahwa terdapat 2 faktor yang dapat
terbentuk.
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Component Matrix
Component Matrix dilakukan untuk mengetahui nilai korelasi antara masing-masing variabel
dengan faktor yang akan terbentuk. Berikut adalah tabel component matrix yang telah
dihasilkan:
Retribusi Sampah
Component Matrixa
Component
1 2
Pendapatan Masyarakat 0,548 -0,506
Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah
-0,468 -0,168
Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah
0,439 0,191
Pemilahan Sampah Oleh Masyarakat
0,595 0,387
Kesediaan Masyarakat Untuk Memilah Sampah
-0,755 -0,175
Ketertarikan Pengelolaan Sampah Oleh
-0,323 0,767
Pemerintah
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa variabel Pendapatan Masyarakat memiliki
korelasi dengan faktor 1 sebesar 0,548, kemudian variabel Tingkat Kepuasan Pengelolaan
Sampah memiliki korelasi dengan faktor 2 sebesar -0,168, variabel Alasan Kualitas Pengelolaan
Sampah memiliki korelasi dengan faktor 1 sebesar 0,439, variabel Pemilahan Sampah Oleh
Masyarakat memiliki korelasi dengan faktor 1 sebesar 0,595, variabel Kesediaan Masyarakat
Untuk Memilah Sampah memiliki korelasi dengan faktor 2 sebesar -0,175 serta variabel
Ketertarikan Pengelolaan Sampah Oleh Pemerintah memiliki korelasi dengan faktor 2 sebesar
0,767.
Tabel Rotated Component Matrix Analisis Faktor Pengaruh Kesanggupan Masyarakat Membayar
Retribusi Sampah
Component Transformation
Matrix
Component 1 2
1 0,881 -0,473
2 0,473 0,881
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Tabel component transformation matrix diatas menunjukkan bahwa pada component 1 nilai
korelasinya sebesar 0,881 atau > 0,5 dan component 2 nilai korelasinya sebesar 0,881 atau >
0,5, maka kedua faktor tersebut dapat mewakili seluruh variabel yang dianalisis.
Kesimpulan
Pada tabel kesimpulan analisis faktor pengaruh kesanggupan masyarakat membayar retribusi
sampah, terdapat dua faktor utama dimana kedua faktor tersebut hanya sebagai kategorisasi
dan penamaan sedangkan untuk mengetahui kesanggupan untuk membayar retribusi sampah
dapat dilihat melalui 6 variabel didalamnya.
Berdasarkan hasil analisis faktor pada poin (7) dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui
pengaruh kesanggupan masyarakat untuk membayar retribusi sampah dapat dilihat melalui 6
variabel tersebut, yaitu Pendapatan Masyarakat, Kualitas Pengelolaan Sampah, Pemilahan
Sampah, Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah, Kesediaan Masyarakat untuk Memilah
Sampah & Ketertarikan Pengelolaan Sampah oleh Pemerintah.
HASIL PERHITUNGAN ANALISIS FAKTOR PENGARUH
KEINGINAN NIAGA MEMBAYAR RETRIBUSI SAMPAH
Pendapatan .735a 0,022 0,016 -0,030 0,241 -0,087 -0,071 -0,175 -0,169 0,014 -0,270 0,271 0,132
Usaha per Bulan
Frekuensi 0,022 .379a -0,069 -0,176 0,195 -0,053 -0,309 -0,337 -0,192 -0,136 -0,240 -0,039 -0,187
Membuang
Sampah
Media 0,016 -0,069 .674a -0,001 0,096 0,051 0,138 -0,041 -0,027 -0,102 0,175 0,011 0,052
Pembuangan
Sampah
Tempat -0,030 -0,176 -0,001 .546a -0,095 -0,017 0,065 0,133 -0,008 0,039 0,024 0,044 -0,419
Pembuangan
Sampah
Waktu 0,241 0,195 0,096 -0,095 .361a -0,148 -0,038 -0,111 -0,098 0,060 -0,051 0,096 0,044
Pembuangan
Sampah
Masalah -0,087 -0,053 0,051 -0,017 -0,148 .622a -0,087 -0,083 0,176 -0,155 -0,185 0,238 0,031
Pembuangan
Sampah
Komposisi -0,071 -0,309 0,138 0,065 -0,038 -0,087 .414a 0,734 0,317 0,542 0,900 -0,126 0,024
Sampah Niaga
Media Waktu Sistem
Pendapata Frekuensi Tempat Masalah Komposisi Komposisi Komposisi Komposisi Komposisi Frekuensi
Pembuang Pembuang Pengelolaan
n Usaha Membuan Pembuanga Pembuanga Sampah Sampah Sampah Sampah Sampah Pengangkutan
an an Sampah
per Bulan g Sampah n Sampah n Sampah Niaga Plastik Kertas Kaleng Lainnya Sampah
Sampah Sampah Eksisting
Komposisi -0,175 -0,337 -0,041 0,133 -0,111 -0,083 0,734 .206a 0,115 0,442 0,678 -0,168 -0,077
Sampah Plastik
Komposisi -0,169 -0,192 -0,027 -0,008 -0,098 0,176 0,317 0,115 .562a 0,122 0,222 0,065 0,040
Sampah Kertas
Komposisi 0,014 -0,136 -0,102 0,039 0,060 -0,155 0,542 0,442 0,122 .111a 0,503 -0,048 0,049
Sampah Kaleng
Komposisi -0,270 -0,240 0,175 0,024 -0,051 -0,185 0,900 0,678 0,222 0,503 .392a -0,186 0,012
Sampah Lainnya
Sistem 0,271 -0,039 0,011 0,044 0,096 0,238 -0,126 -0,168 0,065 -0,048 -0,186 .458a 0,008
Pengelolaan
Sampah Eksisting
Frekuensi 0,132 -0,187 0,052 -0,419 0,044 0,031 0,024 -0,077 0,040 0,049 0,012 0,008 .579a
Pengangkutan
Sampah
Berdasarkan tabel tersebut, terdapat 6 (enam) variabel yang memiliki nilai MSA > 0.5 dimana seharusnya apabila suatu variabel memiliki
nilai MSA > 0.5 maka variabel tersebut dapat digunakan dalam analisis faktor ini. Berdasarkan tabel tersebut pula, variabel yang memiliki nilai
MSA > 0.5 adalah Pendapatan Usaha per Bulan (0,735), Media Pembuangan Sampah (0,674), Tempat Pembuangan Sampah (0,546), Masalah
Pembuangan Sampah (0,622), Komposisi Sampah Kertas (0,562), dan Frekuensi Pengangkutan Sampah (0,579). Oleh karena itu, diperlukan analisis
ulang Kembali menggunakan dengan variabel yang memiliki nilai MSA > 0.5
Anti-Image Matrices
Setelah analisis Kembali menggunakan variabel yang memiliki nilai MSA>0,5, ditemukan 6
(enam) variabel yaitu Pendapatan Usaha per Bulan, Media Pembuangan Sampah, Tempat
Pembuangan Sampah, Masalah Pembuangan Sampah, Komposisi Sampah Kertas, dan
Frekuensi Pengangkutan Sampah dengan nilai yang berbeda namun nilai MSA>0,5. Berikut
adalah tabel matriks anti-image:
Tabel Anti-Image Matrices Analisis Faktor Pengaruh Keinginan Niaga Membayar Retribusi
Sampah
Anti-image Matrices
Pendapatan Media Tempat Masalah Komposisi Frekuensi
Usaha per Pembuangan Pembuangan Pembuangan Sampah Pengangkutan
Bulan Sampah Sampah Sampah Kertas Sampah
Anti- Pendapatan .552a 0,055 -0,046 -0,268 -0,307 0,116
image Usaha per
Correlation Bulan
Media 0,055 .543a 0,026 0,086 -0,114 0,012
Pembuangan
Sampah
Tempat -0,046 0,026 .592a -0,061 -0,048 -0,458
Pembuangan
Sampah
Masalah -0,268 0,086 -0,061 .641a 0,152 0,039
Pembuangan
Sampah
Komposisi -0,307 -0,114 -0,048 0,152 .521a -0,011
Sampah
Kertas
Frekuensi 0,116 0,012 -0,458 0,039 -0,011 .593a
Pengangkutan
Sampah
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Berdasarkan tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa variabel Pendapatan Usaha per Bulan
(0,552), Media Pembuangan Sampah (0,543), Tempat Pembuangan Sampah (0,592), Masalah
Pembuangan Sampah (0,641), Komposisi Sampah Kertas (0,521), serta Frekuensi
Pengangkutan Sampah (0,593) layak untuk digunakan dalam analisis faktor.
Communalities
Tahap ini adalah tahap untuk mengetahui kemampuan variabel untuk menjelaskan faktor.
Variabel dianggap dapat menjelaskan faktor apabila nilai Extraction>0,5. Berikut adalah tabel
output communalities:
Tabel Output Communalities Analisis Faktor Pengaruh Keinginan Niaga Membayar Retribusi
Sampah
Communalities
Initial Extraction
Pendapatan Usaha per 1,000 0,739
Bulan
Media Pembuangan 1,000 0,458
Sampah
Tempat Pembuangan 1,000 0,736
Sampah
Masalah Pembuangan 1,000 0,621
Sampah
1,000 0,724
Komposisi Sampah Kertas
Tabel Total Variance Explained Analisis Faktor Pengaruh Keinginan Niaga Membayar Retribusi
Sampah
Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) variasi faktor komponen
dimana Component 1 memiliki nilai sebesar 1,465 atau >1 serta menjelaskan 24,411% variasi,
Component 2 memiliki nilai sebesar 1,346 atau >1 dengan menjelaskan 22,438% variasi, dan
Component 3 memiliki nilai sebesar 1,205 atau >1 dengan menjelaskan 20,079% variasi.
Scree Plot
Scree plot merupakan gambar kurva untuk melihat jumlah faktor yang dapat terbentuk pula.
Kurva ini menunjukkan jumlah faktor yang terbentuk melalui nilai Eigenvalue>1 melalui kurva.
Berdasarkan gambar kurva yang dihasilkan, terdapat dua nilai Eigenvalue>1 yaitu pada
Component 1, Component 2, dan Component 3, maka dapat diartikan bahwa terdapat 3 variasi
faktor yang dapat terbentuk.
Tabel Component Matrix Analisis Faktor Pengaruh Keinginan Niaga Membayar Retribusi Sampah
Component Matrixa
Component
1 2 3
Pendapatan Usaha per Bulan -0,208 0,830 0,081
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa variabel Pendapatan Usaha per Bulan
memiliki korelasi dengan faktor 2 sebesar 0,830, kemudian variabel Media Pembuangan
Sampah memiliki korelasi dengan faktor 3 sebesar 0,655, variabel Tempat Pembuangan
Sampah memiliki korelasi dengan faktor 1 sebesar 0,821, variabel Masalah Pembuangan
Sampah memiliki korelasi dengan faktor 2 sebesar 0,555, variabel Komposisi Sampah Kertas
memiliki korelasi dengan faktor 3 sebesar 0,681, dan variabel Frekuensi Pengangkutan Sampah
memiliki korelasi dengan faktor 1 sebesar 0,859.
Variabel Faktor
►Tempat Pembuangan Sampah
1
►Frekuensi Pengangkutan Sampah
►Pendapatan Usaha per Bulan
►Media Pembuangan Sampah 2
►Komposisi Sampah Kertas
►Masalah Pembuangan Sampah 3
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Component Transformation Matrix
Tahap ini menjelaskan tentang korelasi antarfaktor. Berikut adalah tabel component
transformation matrix yang dihasilkan:
Tabel Component Transformation Matrix Analisis Faktor Pengaruh Keinginan Niaga Membayar
Retribusi Sampah
Component 1 2 3
1 0,989 -0,142 -0,050
2 0,148 0,859 0,490
3 0,026 0,492 -0,870
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Tabel component transformation matrix diatas menunjukkan bahwa pada component 1 nilai
korelasinya sebesar 0,989 atau > 0,5, component 2 nilai korelasinya sebesar 0,859 atau > 0,5,
dan component 3 nilai korelasinya sebesar -0,870 atau < 0,5 maka kedua faktor yang memiliki
nilai korelasi > 0,5 dapat mewakili seluruh variabel yang dianalisis, sedangkan faktor ketiga
tidak dapat mewakili seluruh variabel karena nilai korelasi < 0,5
Kesimpulan
Pada tabel kesimpulan analisis faktor pengaruh keinginan niaga membayar retribusi sampah,
terdapat tiga faktor utama dimana ketiga faktor tersebut hanya sebagai kategorisasi dan
penamaan sedangkan untuk mengetahui keinginan niaga untuk membayar retribusi sampah
dapat dilihat melalui 6 variabel didalamnya.
Berdasarkan hasil analisis faktor pada poin (7) dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui
pengaruh keinginan niaga untuk membayar retribusi sampah dapat dilihat melalui 6 variabel
tersebut, yaitu Pendapatan Usaha per Bulan, Media Pembuangan Sampah, Tempat
Pembuangan Sampah, Masalah Pembuangan Sampah, Komposisi Sampah Kertas, dan
Frekuensi Pengangkutan Sampah.
HASIL PERHITUNGAN ANALISIS FAKTOR PENGARUH
KESANGGUPAN NIAGA MEMBAYAR RETRIBUSI SAMPAH
Anti-Image Matrices
Anti-Image Matrices digunakan untuk mengetahui dan menentukan variabel yang layak untuk digunakan dalam analisis faktor. Kode huruf (a)
pada kolom yang diberi warna kuning mengartikan tanda Measure of Sampling Adequacy (MSA). Berikut adalah tabel matriks anti-image:
Jarak Ketertarikan
Tingkat Alasan Pengelolaan
Pendapatan Biaya Kesediaan Tempat Pengeolaan
Kepuasan Kualitas Pemilahan Ketersediaan Sampah
Usaha per Pengelolaan Memilah Usaha Sampah
Pengelolaan Pengelolaan Sampah TPSS Yang
Bulan Sampah Sampah ke Oleh
Sampah Sampah Diinginkan
TPSS Pemerintah
Anti- Pendapatan .537a -0,418 -0,194 -0,023 0,191 -0,086 0,000 0,052 -0,137 0,157
image Usaha per
Correlation Bulan
Biaya -0,418 .538a 0,464 0,090 0,229 -0,075 0,165 0,046 0,098 -0,251
Pengelolaan
Sampah
Tingkat -0,194 0,464 .510a 0,421 0,013 -0,085 0,136 0,087 -0,040 -0,175
Kepuasan
Pengelolaan
Sampah
Alasan -0,023 0,090 0,421 .544a 0,187 -0,058 0,170 0,141 0,091 -0,168
Kualitas
Pengelolaan
Sampah
Pemilahan 0,191 0,229 0,013 0,187 .649a 0,037 0,290 0,119 -0,060 -0,127
Sampah
Jarak Ketertarikan
Tingkat Alasan Pengelolaan
Pendapatan Biaya Kesediaan Tempat Pengeolaan
Kepuasan Kualitas Pemilahan Ketersediaan Sampah
Usaha per Pengelolaan Memilah Usaha Sampah
Pengelolaan Pengelolaan Sampah TPSS Yang
Bulan Sampah Sampah ke Oleh
Sampah Sampah Diinginkan
TPSS Pemerintah
Kesediaan -0,086 -0,075 -0,085 -0,058 0,037 .678a 0,016 -0,030 0,059 0,044
Memilah
Sampah
Ketersediaan 0,000 0,165 0,136 0,170 0,290 0,016 .489a 0,699 -0,115 0,002
TPSS
Jarak Tempat 0,052 0,046 0,087 0,141 0,119 -0,030 0,699 .508a -0,006 -0,062
Usaha ke
TPSS
Pengelolaan -0,137 0,098 -0,040 0,091 -0,060 0,059 -0,115 -0,006 .647a -0,115
Sampah
Yang
Diinginkan
Ketertarikan 0,157 -0,251 -0,175 -0,168 -0,127 0,044 0,002 -0,062 -0,115 .328a
Pengeolaan
Sampah
Oleh
Pemerintah
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Berdasarkan tabel tersebut, terdapat 8 (delapan) variabel yang memiliki nilai MSA > 0.5 dimana seharusnya apabila suatu variabel memiliki
nilai MSA > 0.5 maka variabel tersebut dapat digunakan dalam analisis faktor ini. Berdasarkan tabel tersebut pula, variabel yang memiliki nilai
MSA > 0.5 adalah Pendapatan Usaha per Bulan (0,537), Biaya Pengelolaan Sampah (0,538), Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah (0,510), Alasan
Kualitas Pengelolaan Sampah (0,544), Pemilahan Sampah (0,649), Kesediaan Memilah Sampah (0,678), Jarak Tempat Usaha ke TPSS (0,508) dan
Pengelolaan Sampah Yang Diinginkan (0,647). Oleh karena itu, diperlukan analisis ulang Kembali dengan variabel yang memiliki nilai MSA > 0.5.
Anti-Image Matrices
Setelah analisis kembali menggunakan variabel yang memiliki nilai MSA>0,5, ditemukan 8
(delapan) variabel yaitu Pendapatan Usaha per Bulan, Biaya Pengelolaan Sampah, Tingkat
Kepuasan Pengelolaan Sampah, Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah, Pemilahan Sampah,
Kesediaan Memilah Sampah, Jarak Usaha ke TPSS, dan Pengelolaan Sampah Yang Diinginkan
dengan nilai yang berbeda namun nilai MSA>0,5. Berikut adalah tabel matriks anti-image:
Tabel Anti-Image Matrices Analisis Faktor Pengaruh Kesanggupan Niaga Membayar Retribusi
Sampah
Anti-image Matrices
Jarak
Tingkat Alasan Tempat Pengelolaan
Pendapatan Biaya Kepuasan Kualitas Kesediaan Usaha Sampah
Usaha per Pengelolaan Pengelolaan Pengelolaan Pemilahan Memilah ke Yang
Bulan Sampah Sampah Sampah Sampah Sampah TPSS Diinginkan
Pendapatan .552a -0,402 -0,172 0,003 0,225 -0,094 0,088 -0,122
Usaha per
Bulan
Biaya -0,402 .609a 0,428 0,021 0,164 -0,070 -0,125 0,093
Pengelolaan
Sampah
Tingkat -0,172 0,428 .577a 0,389 -0,053 -0,082 -0,027 -0,047
Kepuasan
Pengelolaan
Sampah
Alasan 0,003 0,021 0,389 .663a 0,126 -0,055 0,017 0,095
Kualitas
Pengelolaan
Sampah
Pemilahan 0,225 0,164 -0,053 0,126 .759a 0,040 -0,136 -0,044
Sampah
Kesediaan -0,094 -0,070 -0,082 -0,055 0,040 .659a -0,054 0,066
Memilah
Sampah
Jarak 0,088 -0,125 -0,027 0,017 -0,136 -0,054 .536a 0,096
Tempat
Usaha ke
TPSS
Pengelolaan -0,122 0,093 -0,047 0,095 -0,044 0,066 0,096 .669a
Sampah
Yang
Diinginkan
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Berdasarkan tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa variabel Pendapatan Usaha per
Bulan (0,552), Biaya Pengelolaan Sampah (0,609), Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah
(0,577), Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah (0,663), Pemilahan Sampah (0,759), Kesediaan
Memilah Sampah (0,659), Jarak Usaha ke TPSS (0,536), dan Pengelolaan Sampah Yang
Diinginkan (0,669) layak untuk digunakan dalam analisis faktor pengaruh kesanggupan
masyarakat membayar retribusi sampah.
Communalities
Tahap ini adalah tahap untuk mengetahui kemampuan variabel untuk menjelaskan faktor.
Variabel dianggap dapat menjelaskan faktor apabila nilai Extraction>0,5. Berikut adalah tabel
output communalities:
Tabel Output Communalities Analisis Faktor Pengaruh Kesanggupan Niaga Membayar Retribusi
Sampah
Communalities
Initial Extraction
Pendapatan Usaha per Bulan 1,000 0,698
Biaya Pengelolaan Sampah 1,000 0,640
Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah 1,000 0,703
Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah 1,000 0,578
Pemilahan Sampah 1,000 0,517
Kesediaan Memilah Sampah 1,000 0,507
Jarak Tempat Usaha ke TPSS 1,000 0,595
Pengelolaan Sampah Yang Diinginkan 1,000 0,433
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Tabel Total Variance Explained Analisis Faktor Pengaruh Kesanggupan Niaga Membayar Retribusi
Sampah
Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) variasi faktor komponen
dimana Component 1 memiliki nilai sebesar 2,246 atau >1 serta menjelaskan 28,069% variasi,
Component 2 memiliki nilai sebesar 1,316 atau >1 dengan menjelaskan 16,446% variasi, dan
Component 3 memiliki nilai sebesar 1,110 atau >1 dengan menjelaskan 13,875% variasi.
Scree Plot
Scree plot merupakan gambar kurva untuk melihat jumlah faktor yang dapat terbentuk pula.
Kurva ini menunjukkan jumlah faktor yang terbentuk melalui nilai Eigenvalue>1 melalui kurva.
Berdasarkan gambar kurva yang dihasilkan, terdapat dua nilai Eigenvalue>1 yaitu pada
Component 1, Component 2, dan Component 3, maka dapat diartikan bahwa terdapat 3 faktor
yang dapat terbentuk.
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Component Matrix
Component Matrix dilakukan untuk mengetahui nilai korelasi antara masing-masing variabel
dengan faktor yang akan terbentuk. Berikut adalah tabel component matrix yang telah
dihasilkan:
Tabel Component Matrix Analisis Faktor Pengaruh Kesanggupan Niaga Membayar Retribusi
Sampah
Component Matrixa
Component
1 2 3
Pendapatan Usaha per Bulan 0,514 0,633 0,180
Biaya Pengelolaan Sampah 0,784 0,084 0,132
Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah -0,689 0,394 0,269
Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah 0,592 -0,390 -0,276
Pemilahan Sampah -0,634 -0,325 0,098
Kesediaan Memilah Sampah 0,241 0,175 0,647
Jarak Tempat Usaha ke TPSS -0,027 -0,431 0,639
Pengelolaan Sampah Yang Diinginkan -0,283 0,528 -0,273
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa variabel Pendapatan Usaha per Bulan
memiliki korelasi dengan faktor 2 sebesar 0,633, variabel Biaya Pengelolaan Sampah memiliki
korelasi dengan faktor 1 sebesar 0,784, variabel Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah
memiliki korelasi dengan faktor 2 sebesar 0,394, variabel Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah
memiliki korelasi dengan faktor 1 sebesar 0,592, variabel Pemilahan Sampah memiliki korelasi
dengan faktor 3 sebesar 0,098, variabel Kesediaan Memilah Sampah memiliki korelasi dengan
faktor 3 sebesar 0,647, variabel Jarak Tempat Usaha ke TPSS memiliki korelasi dengan faktor 3
sebesar 0,639, dan variabel Pengelolaan Sampah Yang Diinginkan memiliki korelasi dengan
faktor 2 sebesar 0,528.
Tabel Rotated Component Matrix Analisis Faktor Pengaruh Kesanggupan Niaga Membayar
Retribusi Sampah
Tabel Kesimpulan Analisis Faktor Pengaruh Kesanggupan Niaga Membayar Retribusi Sampah
Variabel Faktor
►Tingkat Kepuasan Pengelolaan Sampah
►Pemilahan Sampah 1
►Pengelolaan Sampah Yang Diinginkan
►Pendapatan Usaha per Bulan
►Biaya Pengelolaan Sampah 2
►Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah
►Kesediaan Memilah Sampah
3
►Jarak Tempat Usaha ke TPSS
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Component 1 2 3
1 -0,717 0,690 0,096
2 0,577 0,666 -0,472
3 0,390 0,283 0,876
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Tabel component transformation matrix diatas menunjukkan bahwa pada component 1 nilai
korelasinya sebesar -0,717 atau < 0,5, component 2 nilai korelasinya sebesar 0,666 atau > 0,5,
dan component 3 nilai korelasinya sebesar 0,876 atau > 0,5 maka kedua faktor yang memiliki
nilai korelasi faktor > 0,5 tersebut dapat mewakili seluruh variabel yang dianalisis sedangkan
faktor yang memiliki nilai < 0,5 tidak dapat mewakili seluruh variabel.
Kesimpulan
Pada tabel kesimpulan analisis faktor pengaruh kesanggupan masyarakat membayar retribusi
sampah, terdapat tiga faktor utama dimana ketiga faktor tersebut hanya sebagai kategorisasi
dan penamaan sedangkan untuk mengetahui kesanggupan niaga untuk membayar retribusi
sampah dapat dilihat melalui 8 variabel didalamnya.
Berdasarkan hasil analisis faktor pada poin (7) dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui
pengaruh kesanggupan niaga untuk membayar retribusi sampah dapat dilihat melalui 8
variabel tersebut, yaitu Pendapatan Usaha per Bulan, Biaya Pengelolaan Sampah, Tingkat
Kepuasan Pengelolaan Sampah, Alasan Kualitas Pengelolaan Sampah, Pemilahan Sampah,
Kesediaan Memilah Sampah, Jarak Usaha ke TPSS, dan Pengelolaan Sampah Yang Diinginkan
(Preferensi Pengelolaan Sampah).
Lampiran 6
PERHITUNGAN POTENSI
Perhitungan Potensi Domestik
Grand Total 2.184 1.965.600.000 9.882 8.893.800.000 2.918 1.505.688.000 9.543 4.924.188.000 9.138.744.000
PERHITUNGAN POTENSI RETRIBUSI RUMAH SAKIT
10 M R I C A N - 180 - 54.000.000
Potensi
No Kecamatan
JUMLAH Penerimaan/th
1 Gayamsari 0 -
2 Candisari 0 -
3 Gajahmungkur 29 8.700.000
4 Pedurungan 61 18.300.000
5 Semarang Timur 62 18.600.000
6 Banyumanik 0 -
7 Ngaliyan 0 -
8 Semarang Tengah 842 252.600.000
9 Semarang Utara 0 -
10 Semarang SeIatan 363 108.900.000
11 Semarang Barat 0 -
12 Genuk 0 -
13 Gunung Pati 0 -
14 Mijen 0 -
15 Tugu 0 -
16 Tembalang 50 15.000.000
Total 422.100.000
PERHITUNGAN POTENSI INDUSTRI BESAR
Kecamatan Kelurahan Total Bangunan Besarnya Iuran Potensi / bulan Potensi Per Tahun 75% yang membayar
Banyumanik 3.833 16.000 61.328.000 735.936.000 551.952.000
Gedawang 3.349 20.000 66.980.000 803.760.000 602.820.000
Jabungan 1.245 25.000 31.125.000 373.500.000 280.125.000
Banyumanik
Ngesrep 4.652 25.000 116.300.000 1.395.600.000 1.046.700.000
Padangsari 3.818 5.000 19.090.000 229.080.000 171.810.000
Pedalangan 4.696 15.000 70.440.000 845.280.000 633.960.000
Pudak Payung 8.352 25.000 208.800.000 2.505.600.000 1.879.200.000
Srondol Kulon 4.042 35.000 141.470.000 1.697.640.000 1.273.230.000
Srondol Wetan 6.361 35.000 222.635.000 2.671.620.000 2.003.715.000
Sumur Boto 4.176 20.000 83.520.000 1.002.240.000 751.680.000
Tinjomoyo 3.191 25.000 79.775.000 957.300.000 717.975.000
Banyumanik Total 47.715 1.101.463.000 13.217.556.000 9.913.167.000
Candi 2.487 5.000 12.435.000 149.220.000 111.915.000
Jatingaleh 2.898 15.000 43.470.000 521.640.000 391.230.000
Candisari Jomblang 3.914 10.000 39.140.000 469.680.000 352.260.000
Kaliwiru 1.046 15.000 15.690.000 188.280.000 141.210.000
Karanganyar
Gunung 4.006 25.000 100.150.000 1.201.800.000 901.350.000
Tegalsari 3.416 15.000 51.240.000 614.880.000 461.160.000
Wonotingal 1.907 15.000 28.605.000 343.260.000 257.445.000
Candisari Total 19.674 290.730.000 3.488.760.000 2.616.570.000
Gajah Mungkur Bendan Duwur 1.447 15.000 21.705.000 260.460.000 195.345.000
Bendan Ngisor 1.626 20.000 32.520.000 390.240.000 292.680.000
Bendungan 1.110 20.000 22.200.000 266.400.000 199.800.000
Gajah Mungkur 4.486 20.000 89.720.000 1.076.640.000 807.480.000
Kecamatan Kelurahan Total Bangunan Besarnya Iuran Potensi / bulan Potensi Per Tahun 75% yang membayar
Karangrejo 2.597 20.000 51.940.000 623.280.000 467.460.000
Lempongsari 1.783 20.000 35.660.000 427.920.000 320.940.000
Petompon 1.956 20.000 39.120.000 469.440.000 352.080.000
Sampangan 3.435 20.000 68.700.000 824.400.000 618.300.000
Gajah Mungkur Total 18.440 361.565.000 4.338.780.000 3.254.085.000
Gayamsari 3.419 10.000 34.190.000 410.280.000 307.710.000
Kaligawe 2.167 6.000 13.002.000 156.024.000 117.018.000
Gayamsari
Pandean Lamper 4.310 10.000 43.100.000 517.200.000 387.900.000
Sambirejo 2.419 20.000 48.380.000 580.560.000 435.420.000
Sawah Besar 2.390 6.000 14.340.000 172.080.000 129.060.000
Siwalan 1.966 15.000 29.490.000 353.880.000 265.410.000
Tambakrejo 2.496 5.000 12.480.000 149.760.000 112.320.000
Gayamsari Total 19.167 194.982.000 2.339.784.000 1.754.838.000
Bangetayu Kulon 4.447 15.000 66.705.000 800.460.000 600.345.000
Bangetayu Wetan 4.469 10.000 44.690.000 536.280.000 402.210.000
Banjar Dowo 2.860 10.000 28.600.000 343.200.000 257.400.000
Genuk Gebangsari 2.324 10.000 23.240.000 278.880.000 209.160.000
Genuksari 5.832 20.000 116.640.000 1.399.680.000 1.049.760.000
Karang Roto 4.407 10.000 44.070.000 528.840.000 396.630.000
Kudu 2.115 10.000 21.150.000 253.800.000 190.350.000
Muktiharjo Lor 2.270 10.000 22.700.000 272.400.000 204.300.000
Penggaron Lor 2.061 15.000 30.915.000 370.980.000 278.235.000
Sembungharjo 4.393 15.000 65.895.000 790.740.000 593.055.000
Terboyo Kulon 359 10.000 3.590.000 43.080.000 32.310.000
Terboyo Wetan 1.000 10.000 10.000.000 120.000.000 90.000.000
Trimulyo 1.320 10.000 13.200.000 158.400.000 118.800.000
Genuk Total 37.857 491.395.000 5.896.740.000 4.422.555.000
Kecamatan Kelurahan Total Bangunan Besarnya Iuran Potensi / bulan Potensi Per Tahun 75% yang membayar
Cepoko 988 20.000 19.760.000 237.120.000 177.840.000
Gunungpati 2.771 25.000 69.275.000 831.300.000 623.475.000
Jatirejo 601 20.000 12.020.000 144.240.000 108.180.000
GOAL/TUJUAN
Tujuan dalam analisis ini adalah untuk mengetahui rekomendasi sistem optimalisasi pengelolaan
sampah yang dapat mampu menghasilkan income-generate untuk pembiayaan pengelolaan sampah
di hulu maupun hilir secara mandiri (self-financing).
KRITERIA
Berdasarkan tujuan tersebut, diapat dirumuskan kriteria untuk mengetahui rekomendasi sistem
optimalisasi pengelolaan sampah tersebut:
Tercapainya Kebutuhan Pembiayaan Pengelolaan Sampah
Optimalnya Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah
Teknis Operasional Sampah yang Telah Sesuai
Penyelenggaran Tata Kelola Sampah yang Telah Mampu Menunjang Kebutuhan Pengelolaan
Sampah
Terselenggaranya Kepastian Hukum yang Bersifat Memaksa Sektor Domestik dan Non-
Domestik Agar Berperan Aktif dalam Pembayaran Retribusi Sampah
Berdasarkan hasil analisis awal konsultan, berikut adalah 3 (tiga) skenario yang dapat diselenggarakan
sebagai alternatif kebijakan optimalisasi pendapatan dari pengelolaan sampah di Kota Semarang:
Skenario 1: Perubahan mekanisme pemungutan retribusi untuk meningkatkan jumlah wajib retribusi
(merupakan upaya ekstensifikasi pendapatan yang dapat diselenggarakan dengan
pengelolaan sumber penerimaan baru serta penjaringan Wajib Retribusi baru.
Pengelolaan sumber penerimaan baru terutama untuk masyarakat yang pemungutan
retribusinya belum terlayani oleh PDAM. Penjaringan skema kemitraan baru dapat
dilakukan melalui Kerjasama dengan institusi yang memiliki relasi yang melekat dengan
masyarakat seperti PLN maupun Bapenda dengan pengelolaan Pajak PBB
Skenario 2: Penghitungan ulang nilai retribusi sebagai acuan peningkatan tarif retribusi sampah
(Merupakan upaya intensifikasi pendapatan yang dapat dilakukan dengan optimalisasi
penerimaan sesuai potensi daerah serta optimalisasi penerimaan. Salahsatu kunci untuk
mencapai potensi retribusi daerah yaitu melalui pemutakhiran atau validasi data retribusi
daerah. Validasi data retribusi daerah dapat dilakukan dengan pengecekan di lapangan
secara bertahap apakah data wajib retribusi masih sama atau sudah berubah. Jika
terdapat perubahan perlu penyesuaian pada basis data. Untuk nilai retribusi perlu
dilakukan penyesuaian nilai tarif agar tidak terlalu jauh dari biaya operasional yang
dibutuhkan)
Skenario 3: Optimalisasi mekanisme pemungutan retribusi eksisting dalam mencapai potensi
pendapatan dari retribusi sampah (Modernisasi administrasi retribusi daerah melalui
penguatan mekanisme pemungutan retribusi daerah yang dimulai dari pendataan,
pendaftaran, pembayaran, pengawasan, penagihan, hingga pemeriksaan. Selain itu,
pemungutan retribusi dilakukan melalui pendekatan teknologi informasi dalam
pengelolaan retribusi daerah dan kerjasama dengan instansi terkait antara lain Badan
Pendapatan Daerah untuk sinergi pengelolaan data PBB dan Wajib Retribusi Sampah,
Kejaksanaan Negeri untuk pendampingan dalam penagihan retribusi daerah, Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) untuk sinergi perizinan
dan integrasi sistem informasi. Dengan berbagai upaya yang dilakukan tersebut diatas,
diharapkan mampu meningkatkan pendapatan daerah dari pengolahan sampah. Inovasi
yang dilakukan oleh daerah dalam upaya peningkatan pendapatan daerah akan menjadi
salahsatu kunci keberhasilan)
HASIL ANALISIS
Analisis dilakukan dengan melihat skala prioritas permasalahan sebagai kriteria untuk mengetahui
sistem optimalisasi sampah yang mampu menghasilkan income-generate secara mandiri. Selain itu,
analisis juga mengambil skala prioritas yang ditentukan oleh para ahli yang terdiri dari Bappeda Kota
Semarnag, Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, Perusahaan Daerah Air Minum Kota Semarang,
BINTARI, Setda Kota Semarang Bagian Hukum, Pemerintah Kecamatan Ngaliyan, dan Pemerintah
Kelurahan. Masing-masing narasumber memberikan skala derajat prioritas dan bobot terhadap kriteria
dan alternatif kebijakan, sehingga dapat dihasilkan ouput seperti pada gambar dibawah:
Nilai dan ouput dapat digunakan apabila nilai inconsistency < 0,25. Berdasarkan hasil analisis yang
dapat dilihat dari Gambar 1, dapat disimpulkan bahwa nilai dan output yang dikeluarkan dapat
digunakan karena memiliki nilai inconsistency < 0,25. Output yang dihasilkan berupa tabel dan nilai
bobot pada masing-masing kriteria untuk menentukan seberapa besar kepentingan pada alternatif
kebijakan setelah dikalikan dengan bobot tersebut. Berikut adalah tabel output analisis tersebut:
Bedasarkan penjabaran pada hasil analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa alternatif skenario yang
diprioritaskan adalah Skenario 3 dengan jumlah bobot 0,87, kemudian Skenario 1 dengan jumlah
bobot 0,64, serta Skenario 2 dengan jumlah bobot 0,21. Berikut adalah tabel kesimpulan alternatif
kebijakan optimalisasi pengelolaan sampah yang dapat menghasilkan income-generate secara
mandiri.